Anda di halaman 1dari 48

BAB I

PENDAHULUAN

Tuli kongenital merupakan gangguan pendengaran yang timbul pada saat lahir yang
disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat kelahiran. Ketulian
ini dapat berupa tuli sebagian (hearing impaired) atau tuli total (deaf). Tuli kongenital dibagi
menjadi genetik herediter dan non genetik.1,2 Tuli kongenital merupakan salah satu masalah pada
anak yang akan berdampak pada perkembangan bicara, sosial, kognitif dan akademik. Masalah
makin bertambah bila tidak dilakukan deteksi dan intervensi secara dini.

Di negara maju, angka tuli kongenital berkisar antara 0,1 - 0,3 % kelahiran hidup,
sedangkan di Indonesia berdasarkan survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan di 7
Provinsi pada tahun 1994 - 1996 yaitu sebesar 0,1 %.2 Tuli kongenital di Indonesia diperkirakan
sebanyak 214.100 orang bila jumlah penduduk sebesar 214.100.000 juta (Profil Kesehatan,
2005). Jumlah ini akan bertambah setiap tahun dengan adanya pertambahan penduduk akibat
tingginya angka kelahiran sebesar 0,22%. WHO memperkirakan setiap tahun terdapat 38.000
anak tuli lahir di Asia Tenggara. Pertemuan WHO di Colombo pada tahun 2000 menetapkan tuli
kongenital sebagai salah satu penyebab ketulian yang harus diturunkan prevalensinya. Ini tentu
saja memerlukan kerjasama dengan disiplin ilmu lain dan masyarakat selain tenaga kesehatan.2

Congenital Rubella Syndrome Rubella atau campak Jerman adalah penyakit yang
disebabkan oleh infeksi virus rubella. Di anak-anak, infeksi biasanya hanya menimbulkan sedikit
keluhan atau tanpa gejala. Infeksi pada orang dewasa dapat menimbulkan keluhan demam, sakit
kepala, lemas dan konjungtivitis. Tujuh puluh persen kasus infeksi rubella di orang dewasa
menyebabkan terjadinya atralgi atau artritis. Jika infeksi virus rubella terjadi pada kehamilan,
khususnya trimester pertama sering menyebabkan Congenital Rubella Syndrome (CRS). CRS
mengakibatkan terjadinya abortus, bayi lahir mati, prematur dan cacat apabila bayi tetap
hidup.Per definisi CRS merupakan gabungan beberapa keabnormalan fisik yang berkembang di
bayi sebagai akibat infeksi virus rubella maternal yang berlanjut dalam fetus. Nama lain CRS
ialah Fetal Rubella Syndrome. Cacat bawaan (Congenital defect) yang paling sering dijumpai
ialah tuli sensoneural, kerusakan mata seperti katarak, gangguan kardiovaskular, dan retardasi
mental.3,4
BAB II

DAFTAR PUSTAKA

1. Defenisi

Tuli kongenital adalah gangguan pendengaran yang terjadi saat lahir, disebabkan oleh
terganggunya kemampuan telinga untuk mengubah energi mekanik getaran suara menjadi energi
listrik impuls saraf.1,5

2. Anatomi dan Fisiologi Telinga

a. Telinga Luar
Telinga luar, yang terdiri dari aurikula (atau pinna) dan kanalis auditorius
eksternus,dipisahkan dari telinga tengah oleh struktur seperti cakram yang dinamakan
membrana timpani (gendang telinga). Aurikulus memiliki 3 lapis struktur. Lapisan utama
oleh kartilago fibroelastis, lainnya oleh lapisan kulit.Terdapat jaringan subkutan minimal
antara kulit dan perikondrium. Aurikulus membantu pengumpulan gelombang suara dari
luar ke kanalis auditorius eksternus. 7.8

Gambar 1. Aurikula7
Kanalis auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5-3 sentimeter. Sepertiga lateral
mempunyai kerangka kartilago dan fibrosa padat di mana kulit terlekat. Dua pertiga
medial tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis.Tragus membentuk bagian anterior
dari kerangka kartilago. Secara langsung berada di depan kelenjar parotis. Nervus facialis
keluar dari foramen stylomastoid, 1 cm dari ujung tragus. Antara bagian anterior dan
inferior kerangka kartilago, terdapat fenestrasi kecil antara kartilago dinamakan fisura
Santorini. Bagian luar segmen kartilago, tebal dan mengandung rambut dan kelenjar,
keduanya memperoduksi sebasea dan serumen. Elemen ini dikenal sebagai unit
apopilosebaceous. Kulit 2/3 medial kanalis auditoeius eksternus sangat tipis, hanya
memiliki sedikit rambu dan tidak mengandung kelenjar, namun memiliki inervasi yang
baikdan sangat sensitif terhadap sentuhan, berkebalikan dengan kulit aurikula. Bagian
tulang kanalis auditorius eksternus dikenal juga sebagai cincin timpani.7.8

1. 1/3 luar Meatus Akustikus


Eksternus (MAE): pars
cartilagenous
2. Kelenjar parotis
3. 2/3 dalam MAE: pars osseus
4. Dinding lateral epitympanum
5. Antrum mastoid
6. Epitympanum
7. Fossa temporomandibular joint
8. N. Vestibulocochlearis
9. Tuba eustachii
10. Bone of tympanic ring
11. Fissura Santorini
Gambar 2. Potongan frontal telinga. 7
Kanalis auditorius eksternus diinervasi oleh cabang dari empat nervus: N.V, N.VII, IX
dan X. Tiga nervus terakhir, paling utama menginervasi kanal, mengirimkan impulsnya
ke batang otak melalui nervus intermedius dan nervus Arnold.7
Secara fisiologis, fungsi telinga luar yaitu antena akustik yang mentrasmisikan
gelombang suara ke struktur sensitif telinga tengah. Aurikula dan kanalis auditorius
eksternus bersama-sama menyalurkan pita frekuensi yang dipilih, terutama dengan
kisaran 2-4 kHz. Amplifikasi tidak melibatkan peningkatan amplitudo gelombang suara,
namun berd asarkan resonasi, yang berarti beberapa panjang gelombang memiliki vibrasi
yang lebih baik. Adanya perbedaan refraksi gelombang suara karena bentuk aurikula,
terdapat dua jalan akustik yang berbeda: rute langsung melalui kavum konka dan rute
tidak langsung melalui helix dan antihelix. Aurikula juga berfungsi sebagai ’wind break’
sehingga menciptakan turbulensi udara, dengan demikian mengurangi efek akustik
konstan dari udara yang bergerak.9
b. Telinga Tengah
Telinga tengah tersusun atas rongga yang terisi udara, terbagi menjadi cavum timpani dan
sel udara mastoid. Berhubungan dengan nasofaring melalui tuba eustachius.Secara
topografi, ruang utama dari telinga tengah yaitu kavum timpani. Dipisahkan dari telinga
luar oleh membran timpani, yang secara mekanis berhubungan dengan telinga dalam oleh
osikuli auditori.9
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga,
berukuran lebar 8 mm dan tinggi 10 mm serta terlihat oblik terhadap sumbu telinga
tengah.5 Membran timpani terdiri atas tiga lapiasan: luar,tengah dan dalam. Lapisan luar
berasal dari ektoderm, yang terdiri atas epitel squamosa. Lapisan dalam berasal dari
endoderm dan terdiri dari epitel mukosa kuboid. Lapisan tengah berasal dari jaringan
mesenkim dan disebut sebagai lapisan fibrosa. Lapisan fibrosa membran timpani terdiri
dari serat radial dan sirkumferensial. Serat ini penting untuk menjaga kekuatan membran
timpani serta memberikan vibrasi membran timpani yang sesuai dengan berbagai
frekuensi suara.9.11
Membran timpani memiliki garis tengah oleh processus longus malleus (manubrium).
Membran timpani dikelilingi oleh annulus fibrosa. Bagian atas disebut pars flaksida
(membrane Sharpnell), sedangkan bagian bawah pars tensa (membrane propria). Lapisan
fibrosa pars flaksida lebih lemah dibandingkan pars tensa.7.8 Oleh karena itu, pada daerah
ini dapat mengalami retraksi ketika tekanan udara telinga tengah lebih rendah
dibandingkan udara lingkungan. Selain itu, pada daerah ini sering menjadi titik awal
kolesteatoma attik, Pembuluh darah memasuki membran timpani melalui kulit bagian
superior kanalis auditorius eksternus dan secara sirkumferensial mengelilingi annulus
fibrosus. 7.9
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membrane timpani disebut sebagai
umbo. Dari umbo bermula suatu reflek cahaya (cone of light) kearah bawah yaitu pada
pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pukul 5 untuk membrane timpani kanan.
Adanya serat pada lapisan fibrosa membran timpani yang menyebabkan terjadinya reflex
cahaya ini.7
Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis serah dengan processus
longus maleus dan garis tegak lurus pada garis umbo, sehingga didapatkan bagian atas-
depan, atas belakang, bawah-depan serta bawah-belakang.7

Gambar 3.Anatomi membran timpani.7


Cavum timpani secara embriologi berasal dari kantong branchial pertama. Berhubungan
dengan nasofaring melalui tuba eustachius. Bagian posterior cavun timpani adalah sel
udara mastoid, yang berhubungan dengan bagian attik pars flaksida melalui aditus ad
antrum. Secara anatomi, cavum timpani terbagi atas lima bagian berdasarkan
hubungannya dengan annulus timpani: mesotimpanum, hipotimpanum, attic,
protimpanum dan retrotimpanum.9 Hipotimpanum merupakan bagian dari telinga tengah
yang berada di inferior tuba eustacius. Mesotimpanum daerah terbatas superior canal
facialis. Pada daerah ini terdapat tingkap lonjong dan tingkap bulat, tulang stapes, otot
stapedius dan kanal otot tensor timpani. Bagian paling anterior dari telinga tengah disebut
protimpanum berbatasan secara superior dengan orificium tuba eustachius dan secara
anterior dengan kanal arteri karotis interna. Epitimpanum merupakan bagian telinga
tengah yang terbatas secara superior oleh atap tulang telinga tengah yang disebut tegmen
timpani. Ruangan epitimpanum berhubungan secara posterior dengan tractus mastoid
sentral melalui aditus ad antrum.11
Gambar 4. Cavum timpani7
Suara di transmisikan dari membran timpani melewati ruang telinga tengah oleh rantai
osikular yang terdiri atas malleus, incus dan stapes. Caput malleus dan corpus incus
seebagai unit yang tertahan oleh ligamen di epitimpanum. Ujung dari processus longus
incus berartikulasi dengan caput stapes sehingga energi suara yang ditansmisikan
diinisiasi oleh medial membran timpani dibawa secara paralel oleh elongasi processus
malleus dan incus ke caput, crura dan footplate stapes. Oleh karena permukaan membran
timpani lebih besar dibandingkan footplate stapes dengan rasio 25:1, densitas suara pada
tingkap lonjong dan cairan telinga dalam meningkat.11

Gambar 5. Osikuli auditori7


Osikuli auditori dikontrol oleh dua otot telinga tengah, otot tensor timpani dan otot
stapedius. Otot tensor timpani berada di tulang semikanal anterior mesotimpanum,
superior dari orificium tuba eustachius. Otot tensor timpani diinervasi oleh cabang dari
N.V. Motorneuronnya berada pada sentral divisi parvocellular nucleus motorik
trigeminal, aksinya menyebabkan gendang telinga tertarik ke medial dan meningkatkan
resonansi frekuensi sistem konduksi suara. Otot stapedius keluar dari kanal fallopian dan
diikuti oleh bagian motorik nervus facialis. Otot stapedius diinervasi oleh cabang dari
N.VII dan motorneuronnya berada di batang otak antara nucleus nervus facialis dan
superior lateral nervus olivarius. Kontraksi otot stapedius menyebabkan stapes tertarik ke
posterior dan melemahkan transmisi suara cincin osikular. Oleh karena refleks kontraksi
otot stapedius diaktifkan oleh suara, hal ini berfungsi sebagai mekanisme protektif
koklea.11
Tuba eustachius merupakan penghubung penting antara nasofaring dan telinga tengah.
Tuba eustachius berfungsi untuk pneumatisasi telinga tengah dan mastoid dalam menjaga
tekanan normal antara telinga tengah dan atmosfer. Skeleton ¾ tuba eustachius
merupakan kartilago yang dikelilingi jaringan lunak, jadingan adiposa dan epitel
respiratorik.11
Secara fisiologis, fungsi utama telinga tengah adalah untuk mencocokkan impedansi.
Dikarenakan perbedaan akustik impedansi udara dan cairan, perbedaan resistensi antara
setiap medium menyebabkan propagansi suara dengan transmisi langsung vibrasi udara
ke ruang cairan telinga dalam menyebabkan lebih dari 99% insidensi suara direfleksikan
permukaan cairan. Fungsi telinga tengah untuk menjaga hilangnya transmisi sekecil
mungkin pada frekuensi tertentu, mentrasmisikan secara virtual seluruh energi vibrasi
udara ke cairan telinga dalam.10
Seperti telinga luar, telinga dalam memiliki resonansi frekuensi yang mana energi suara
dapat ditransmisikan secara efisien. Frekuensinya kurang lebih 1 kHz. Akan tetapi dalam
rangka melakukan pencocokan impedansi setiap waktu, bahkan pada saat perubahan
tekanan atmosfer, telinga tengah memiliki fungsi penting kedua yaitu mempertahankam
tekanan udara statis.10
c. Telinga Dalam
Telinga dalam berada pada bagian petrous tulang temporal, terdiri dari ductus
interkoneksi multiple yang berkumpul disebut labirin. Labirin membranosa terisi atas
cairan kaya kalium, endolimfe, silia sel sensoris yang dikenal sebagai sel rambut. Labirin
membranosa terbagi atas labirin vestibular dan koklea (labirin koklea), keduanya
dihubungkan oleh ductus reuniens. Labirin vestibular tersusun atas utrikulus, sakulus,
dan tiga kanalis semisirkularis. Utrikulus dan sakulus dibuhungkan oleh ductus
utricolosaculus.11

Gambar 6. Labirin vestibular dan labirin membran6

Koklea berbentuk seperti rumah siput terdiri atas skala media (ductus koklea) yang
berupa dua setengah lingkaran.5 Membran basilaris membentuk sisi horizontal dari
segitiga, membran reissner, sisi superior dan stria vascularis dengan ligamen spiral pada
sisi vertikal.11
Gambar 7. Potongan axial koklea

Organ corti merupakan kunsi area sensorik di skala media. Di tempat ini sel rambut
dalam dan luar terstimulasi oleh lengkukan stereosilia oleh gelombang suara. Gelombang
ditransmisikan dari vibrasi footplate stapes melalui cairan perilimfe ke membrana
basilaris. Membran ini menyempit dekat tingkap lonjong, tempat diterimanya frekuensi
tinggi dan secara perlahan melebar pada apex koklea tempat diterimanya frekuensi
rendah. Sel rambut mengirimkan impulnya melalui serat saraf di lamina spiralis menuju
nervus auditorik yang merubah energi mekanik menjadi energi elektrik.7

Gambar 8.Organ corti10


Labirin membranosa tertanam dalam labirin tulang diantara tulang petrous. Labirin
membranosa dan labirin tulang dipisahkan oleh ruangan yang terisi perilimfe. Komposisi
perilimfe berbeda dengan endolimfe yang menyerupai kompartemen cairan ekstraselular.
Labirin tulang dapat terbagi menjadi tiga bagian: sistem kanalis semisirkularis, koklea
dan vestibula. Labirin tulang melingkupi dan membentuk kanalis semisirkularis
membranosa. Duktus koklea tersambung dengan dinding dalam dan luat tulang
koklea.Susunan ini menciptakan dua duktus terpisah disebut skala vestibuli dan skala
timpani yang dihubungkan pada apex koklea oleh helikotrema.10
Antara kanalis semisirkularis dan koklea, vestibula membentuk ruangan yang terisi
sakulus, utrikulus, dasar ductus koklea dan ductus penghubung labirin membranosa.
Tingkap lonjong menghubungkan telinga dalam dan telinga tengah yang dilapisi footplate
stapes, sebagai jalan masuk suara ke labirin. Di tempat ini impedansi vibrasi akustik
yang telah dicocokkan ditransmisikan dari telinga tengah ke perilimfe. Dikarenakan
keseluruhan labirin tulang terisi perilimfe , tingkap bulat yang berlokasi di inferior
yingkap lonjong, berfungsi sebagai katup tekanan yang mentransmisikan vibrasi.
Ruangan perilimfe berhubungan dengan ruang cairan serebrospinal subarachnoid melalui
ductus perilimfatik, yang juga dikenal sebagai aqueductus koklear.10
Telinga dalam mendapat suplai perdarahan dari arteri labitrintin, yang umumnya berasal
dari arteri cerebellaris anterior inferior atau arteri basilaris. Bersama dengan nervus
vestibulocochlearis melewati kanalis auditorius internus, kemudian terbagi atas arteri
vestibular dan arteri koklear. Pembuluh darah ini yang beranastomose dengan pembuluh
darah telinga tengah. Drainase vena dari telinga dalam ke bulbus superior vena jugularis
dan sinus petrosus inferior.10

Embriologi Pendengaran
a. Telinga Luar
Liang telinga berasal dari celah brankhial pertama ektoderm. Membran timpani mewakili
membran penutup celah tersebut. Selama satu stadium perkembangannya, liang telinga
akhirnya tertutup sama sekali oleh suatu sumbatan jaringan telinga tetapi kemudian terbuka
kembali, namun demikian kejadian ini mungkin merupakan suatu faktor penyebab dari
beberapa kasus atresia atau stenosis. Pinna (aurikula) berasal dari pinggir-pinggir celah
brankhial pertama dan arkhus brankhialis pertama dan kedua. Aurikula dipersarafi oleh
cabang aurikulo temporal dari saraf mandibularis serta saraf aurikularis mayor dan oksipitalis
minor yang merupakan cabang pleksus servikalis. (Lihat gambar 9) 13.14

Gambar 9. A. Embrio berumur 6 minggu, tampakan lateral kepala dan 6


hillocks auricular yang mengelilingi bagian dorsal dari celah faringeal pertama,
B. Embrio berumur 6 minggu seperti gambar A, C-E. Penggabungan dari
masing-masing hillocks hingga membentuk struktur aurikula dewasa.13

b. Telinga Tengah

Rongga telinga tengah berasal dari celah brankhialis pertama endoderm. Rongga berisi
udara ini meluas kedalam resesus tubutimpanikus (Gambar 10) yang selanjutnya meluas di
sekitar tulang- tulang dan saraf dari telinga tengah (Gambar 11) dan meluas kurang lebih
kedaerah mastoid. Osikula berasal dari rawan arkus brankhialis.untuk mempermudah
pemikiran ini maleus dapat dianggap berasal dari rawan arkus brankhialis pertama (kartilago
meekel), sedangkan inkus dan sapes dari rawan arkus brankhialis kedua (kartilago Reichert).
Saraf korda timpani berasal dari arkus kedua (fasialis) menuju saraf pada arkus pertama
(mandibularis- lingualis). Saraf timpanikus dari (dari jacobson) berasal dari saraf arkus
brankhialis ketiga (glosofaringeus) menuju saraf fasialis. Kedua saraf ini terletak dalam
telinga tengah. Otot- otot telinga tengah berasal dari otot- otot arkus brankhialis. Otot tensor
timpani yang melekat pada maleus, berasal dari arkus pertama dan dipersarafi oleh saraf
mandibularis (saraf kranialis kelima). Otot stapedius berasal dari arkus kedua, dipersarafi
oleh suatu cabang saraf ketujuh.13

Gambar 10. dasar faring embrio memperlihatkan pembentukan resesus tubotimpanikus

Gambar 11. Potongan memanjang telinga luar dan tengah memperlihatkan perluasan mesenkim secara
progresif ke dorsal
c. Telinga Dalam
Plakoda otika ektoderm terletak pada permukaan lateral dari kepala embrio. Plakoda ini
kemudian tenggelam dan membentuk suatu lekukanotika dan akhirnya terkubur dibawah
permukaan sebagai vesikel otika. Letak vesikel otika dekat dengan otak belakang yang sedang
berkembang dan sekelompok neuron yang dikenal sebagai ganglion akustikofasialis. Ganglion
ini penting dalam perkembangan dari saraf fasialis, akustikus dan vestibularis. Vesikel
auditorius membentuk suatu divertikulum yang terletak dekat dengan serabut saraf yang
sedang berkembang dan kelak menjadi duktus endolimfatikus. Vesikel otika kemudian
berkerut membentuk suatu utrikulus superior (atas) dan sakulus inferior (bawah). Dari
utrikulus kemudian timbul tiga benjolan mirip gelang.lapisan membran yang jauh dari perifer
gelang diserap, meninggalkan tiga kanalis semisirkularis pada perifer gelang.sakulus
kemudian membentuk duktus koklearis berbentuk spiral. Secara filogenik, organ- organ akhir
khusus berasal dari neuromast yang tidak terlapisi yang berkembang dari dalam kanalis
semisirkularis untuk membentuk krista, dalam utrikulus dan sakulus membentuk makula, dan
dalam koklea membentuk organ korti. Organ-organ ini kemudian berhubungan dengan
neuron- neuron ganglion akustikofasialis. Neuron-neuron inilah yang membentuk ganglia
saraf vestibularis dan ganglia spiralis dari saraf koklearis.13

Gambar 12. Tahap-tahap perkembangan otokis. A. Tahap plakoda ektodermal, B. Lekuk


otik, C. pemanjangan vesikel terpisah dari permukaan ektodermal, D sampai F urutan
peristiwa pembentukan labirin membranosa.13
Mesenkim disekitar ganglion otikum memadat membentuk suatu kapsul rawan di sekitar
turunan membranosa dari vesikel otika. Rawan ini diserap pada daerah- daerah tertentu
disekitar apa yang dikenal sebagai labirin membrananosa berisi endolimfe. Tulang yang
berasal dari kapsul rawan vesikel otika adalah jenis tulang khusus yang dikenal sebagai
tulang endokondral.13

Mesenkim yang mengelilingi duktus kokhlea akan berdiferensiasi menjadi kartilago,


Dalam 10 minggu kehidupan, kartilago ini akan menjadi vakuolisasi dan terdapat ruang
perilimfatik, yaitu skala vestibuli dan skala timpani, dukuts kokhlearis dipisahkan dengan
skala vestibuli oleh membrana vestibular, dan dengan skala timpani oleh membrana
basilaris. Dinding lateral dari duktus kokhlea melekat pada kartilago disekitarnya oleh
ligmamen spiral, di bagian median dihubungkan oleh prosesus longus yaitu modiolus. Sel
sensoris dan membrana tektoria bersama membentuk organon Corti (lihat gambar 13;
gambar 14) . 14

Gambar 13. Perkembangan dari skala timpani dan skala vestibuli, A. duktus kokhlea dikelilingi
oleh lapisan kartilaginosa. B. selama 10 minggu pertama, vakuol besar muncul pada lapisan
kartilaginosa, C. Duktus kokhlea (skala media) terpisah dari skala timpani dan skala vestibuli oleh
membrana basilaris.12
Gambar 14. Perkembangan dari organ corti, A. 10 minggu, B. 5 bulan, C. Neonatus
cukup bulan.13

d. Tulang Temporal

Tulang temporal yang membentuk telinga berasal dari empat bagian terpisah. Bagian
liang telinga yang bertulang berasal dari cincin timpani. Prosesus stiloideus berasal dari
rawan brakhialis kedua. Pars skuamosa berkembang dalam rawan, sedangkan pars petrosa
berasal dari kapsula kartilaginosa vesikel otika.terdapat garis- garis sutura di antar bagian-
bagian iniyang dapat terlihat pada tulang temporal. Prosesus mastoideus belum terbentuk
pada saat lahir dan ini bearti saraf fasialis bayi terletak sangat superfisialis. Turunan
resesustubotimpanikus yang terisi udara meluas dari telinga tengah melalui aditus sampai
antrum, yaitu daerah yang berisi udara dalam tulang mastoid. Namun demikian seberapa jauh
perluasan pneumatisasi pada bagian prosesus mastoideus yang terisi sangatlah
bervariasi.sebagian tulang amat sangat buruk pneumatisasinya atau menjadi sklerotik,
lainnya dengan pneumatisasi sedang atau diploik, tapi tulang mastoid sebagian besar tulang
petrosa dan sebagian tulang skuamous temporal umumnya dapat terisi oleh sel- sel udara.13
3. Klasifikasi dan Patofisiologi

Tuli kongenital dapat dibagi menjadi dua yaitu genetik dan didapat. Mekanisme dan
patofisiologi dapa dibedakan menjadi dua bentuk dibawah ini:

a. Tuli Kongenital Genetik

Mutasi genetik dapat mempengaruhi komponen perjalanan pendengaran. Sebagian besar


gen yang berimplikasi pada sindrom gangguan pendengaran berhubungan dengan sindrom
epinomik. Pada dasarnya tuli kongenital genetik dipengaruhi oleh gen yang berhubungan
homeostasis telinga dalam (produksi endolimfe) dan transduksi mekano-elekrik (khususnya
pembentukan stereosilia dan fungsinya).15

Homeostasis telinga dalam: stria vaskularis dan endolimfe

Homeostasis utama telinga dalam adalah stia vascularis yang berada pada dinding lateral
ductus koklear. Jaringan khusus ini secara spesifik memproduksi cairan unik, endolimfe,
membasahi sel rambut sensoris pada telinga dalam yang berperan penting dalam
transduksi auditorik. Komposisi unik endolimfe, kaya ion kalium (K+, 150 mM), rendah
ion natrium (Na+, 1 mM) dan dengan potensi positif endokoklear (+80-100 mV),
mencerminkan fungsi sejumlah kanal, pompa dan gap junstion. Stria vascularis terdiri
dari lapisan marginal, intermediet dan basal. Sel marginal permukaan langsung
endolimfe, sel intermediet dan basal berhubungann melalui gap junction satu sama lain
serta fibrosit dari ligamen spiralis (periosteum tebal yang membentuk dinding luar ductus
coclearis) dinding lateral. Jaringan gap junction ini, dengan protein yang dikodekan oleh
protein gen gap junction beta 2 dan 6, GJB2 dan GJB6, dan lainnya, memfasilitasi
transport ion antar sel. Mutasi pada GJB2 merupakan penyebab utama tuli kongenital
autosomal resesif berat di berbagai populasi.15

Ruang intrastrial (lapisan sel intermediet dan kapiler), terpisah dari lapisan sel marginal
dan lapisan sel basal oleh dua penghubung tebal, yang membatasi pergerakan pasif ion.
Komponen penghubung tebal meliputi klaudin, seperti Klaudin-14 yang dikode oleh
CLDN14 dan domain MARVEL yang mengandung protein 2 (dikenal sebagai
tricellulin), dikode oleh MARVELD2 dan mutasi pada salah satu gen tersebut
menyebabkan tuli kongenital autosomal resesif sindromik pada manusia. Mutasi pada
sejumlah gen diekspresikan pada stria vaskularis yang penting dalam homeostasis ion
dalam endolimfe menyebabkan berbagai bentuk sindrom ketulian (tabel 1) dan ketulian
non sindrom.15

Tabel 1. Bentuk sindrom umum tuli kongenital

Sindrom Protein yang terlibat (kode Karakteristik klinis


genetik)
Jervell dan Potassium voltage-gated Aritmia jantung (QT interval
Lange–Nielsen channel subfamily E member 1 memanjang)
(KCNE1) dan potassium
voltage-gated channel
subfamily KQT member 1
(KCNQ1)
Usher Sindrom Usher tipe 1: Retinitis pigmentosa
Unconventional myosin-VIIa
(MYO7A), harmonin
(USH1C), cadherin-23
(CDH23), protocadherin-15
(PCDH15), Sindrom Usher
tipe-1G (USH1G) dan calcium
and integrin-binding family
member 2 (CIB2)
Sindrom Usher Tipe 2: usherin
(USH2A), adhesion G
proteincoupled receptor V1
(ADGRV1) dan whirlin
(WHRN)

Sindrom Usher Tipe 3: clarin-1


(CLRN1)
Alport Collagen alpha-3(IV) Penyakit glomerulus dinjal dan
chain(COL4A3), collagen kelainan mata
alpha-4(IV) chain (COL4A4)
dan collagen alpha-5(IV) chain
(COL4A5)
Branchio-oto- Eyes absent homolog 1 Kista brankial atau fistula, kelainan
renal (EYA1), homeobox protein telinga tengah atau telinga luar dan
SIX1 (SIX1) and homeobox kelainan ginjal.
protein SIX5 (SIX5)
Waardenburg Paired box protein Pax-3 Kelainan pigmentasi kulit, rambut
(PAX3), microphthalmia dan iris.
associated transcription factor
(MITF, endothelin-3 (EDN3),
endothelin B receptor
(EDNRB), zinc finger protein
SNAI2 (SNAI2) dan faktor
transkripsi SOX-10 (SOX10)
Pendred Pendrin (SLC26A4) Aquaduktus vestibular membesar
dan tiroid goiter.
Stickler Collagen alpha-1151 chain Kelainan pada tulang dan sendi,
(COL2A1), Collagen alpha- miopia, dan degenerasi vitreoretina
1(IX) chain (COL9A1),
Collagen alpha-2(IX) chain
(COL9A2), Collagen alpha-
1(XI) chain (COL11A1) dan
Collagen alpha-2(XI) chain
(COL11A2)
Treacher Protein treacle (TCOF1), DNA- Bentuk wajah yang khas
Collins directed RNA polymerases I diakibatkan oleh hambatan
and III subunit RPAC1 perkembangan dari tulang wajah
(POLR1C) dan DNA-directed (malar, zygomatik, rahang yang
RNA polymerases I and III kecil), bibir sumbing, koloboma
subunit RPAC2 (POLR1D) kelopak mata, dan kelainan telinga
tengah atau telinga luar.

Sebagian besar gen yang berimplikasi pada sindrom gangguan pendengaran berhubungan
dengan sindrom genetik tertentu, masing-masing dari sindrom tersebut ditransmisikan secara
genetik dengan pola tertentu (autosomal dominan, resesif dan lain-lain, fenotipe tertentu dan gen
terkait yang khusus. (lihat tabel 2)16

Tabel 2. Penyebab utama gangguan pendengaran dengan sindrom terkait16

Sindrom Genetik
Transm Fenotipe Gen terkait
isi
Autoso WAARDEBURG (2-5% dari ketulian pada bayi) Tuli Tipe I, PAX3 Tipe II,
mal sensorineural, kelainan pigmentasi dari kulit dan MITF
domina rambut, dystopia canthorum, heterochromia iridis
nt dan hidung kurus.
Sindrom BRANCHIO-OTO-RENAL (2% dari tuli -
pada bayi) tuli sensorineural atau konduktif, telinga
berbentuk cangkir, lubang preaurikular, fistula
brankial dan kelainan ginjal bilateral.
Sindrom STICKLER, tuli sensorineural progresif
dengan bibir sumbing, perkembangan abnormal dari Tipe I, COL2A1, Tipe II,
epifisis, kelainan vertebra, osteoartritis, miopati, COL11A1 Tipe III,
ablasio retina dan degenerasi vitreoretina pada tipe 1 COL11A2
dan tipe 3.
TREACHER COLLINS, mikrotia dan malformasi Treacle
telinga, hipoplasia wajah, kelainan celah palpebra,
koloboma dari 1/3 luar kelopak mata bawah dan
mikrognatia.
NEUROFIBROMATOSIS TIPE II hipoakusis
Sensorineural dengan spot cafè-au-lait, meningioma NF2, SCH
(intrakranial dan spinal), ependimoma, glioma,
Kekeruhan lensa presenil, schwannoma (kranial,
spinal dan saraf tepi)
Autoso Sindrom USHER (3-5% dari tuli pada bayi) beberapa Miosina VIIa
mal subtipe berdasarkan tingkat ketuian. Disfungsi
recessiv vestibular, dan onset retinitis pigmentosa. Degenerasi (Hanya untuk Uscher Ib)
e retina bertahap mengakibatkan penurunan penglihatan
malam, penghilatan lapangan pandang perifer dan
kebutaan.
Sindrom PENDRED tuli sensorineural dan kelainan SLC26A4 (PDS)
metabolisme iodin dengan goiteer eutiroid. Terkadang
dideteksi saat lahir tetapi sering tidak terlihat secara
klinis hingga umur 8 tahun.
Sindrom JERVELL dan LANGE-NIELSEN tuli berat KVLQT1 KCNE1
hingga sangat berat dan interval QT memanjang
X- Sindrom ALPORT tuli sensorineural progresif COL4A5
linked disertai dengan kelainan ginjal (glomerulonephritis,
haematuria, kelainan ginjal dan kelainan mata)
Sindrom DOWN, setiap regio dari kepala dan leher
Kondisi dapat terpengaruh. Ketulian bersifat konduktif
kromos sekunder karena kelainan telinga tengah kronik atau
om karena kelainan tulang pendengaran. Selain itu sistem
(trisomi lain seperti kardiovaskular, genitourinaria,
a 21) muskuloskeletal dan okuler.
Sindrom kongenital (Penyebab tidak diketahui)
Sindrom GOLDENHAR (Sindrom Oculo-auricolo-vertebral)
kelainan perkembangan dari arkus brankial pertama dan kedua
dengan manifestasi otologik termasuk mikrotia/anotia dan
ketulian (konduktif > sensorineural), kelainan abnormal,
kelainan okuler, mokrosomia hemifasial, dan kelainan retina.

Mempertahankan pH endolimfe juga penting dalam homeostasis telinga dalam. Mutasi


pada pengodean gen untuk transport ion dan pompa yang mengontrol pH dan komposisi ion dari
endolimfe dapat menyebabkan sindrom Pendred (menyebabkan ketulian dan gondok), asidosis
tubulus renal distal disertai ketulian atau ketulian berat non-sindronik onset awal, berhubungan
dengan pembesaran aqueductus vestibular. Pembesaran aqueductus vestibular, baik sindromik
(sindrom Pendred) atau non-sindromik, menyebabkan ketulian fluktuatif pada 1/3 pasien.
Fluktuasi ini dapat berhubungna dengan hydrops endolimfe (berlebihnya akumulasi endolimfe di
koklea dan sistem vestibular), namun mekanisme pasti yang menyebabkan gangguan
pendengaran dan penurunan pendengaran cepat belum jelas diketahui.15

Tranduksi mekano-elektrik: stereosilia


Beberapa bentuk tuli genetik berhubungan dengan morfologi atau fungsi
stereosilia dari sel rambut luar dan dalam, sel ini mengonversikan stimulus mekanik
menjadi aktivitas elektrik. Stereosilia merupakan proyeksi kaya aktin pada permukaan
apikal sel rambut yang tersusun seperti tangga dan ditambatkan bersama tautan protein.
Ujung dari stereosilia tertinggi dari sel rambut luar melekat pada membran tektorial,
sebuah gel aselular yang terdiri dari serat kolagen radial pada glikoprotein non-kolagen
seperti alpha-tectorin, beta-tectorin, otogelin, otogelin like protein, otolin-1 dan antigen
carcinoembryonic- related cell adhesion molecule. Kemudian, ketika membran basilar
bergerak dengan respon suara, sterosilia yang melekat pada sel rambut bergerak melawan
membran tektorial menyebabkan gerakan perpotongan.15
Gambar 15. Fisiologi mekanoelektrik pada pendengaran kanal transduksi13

Defleksi stereosilia secara fisik menyebabkan terbukanya kanal transduksi mekano-


elektris pada permukaan apikal stereosilia (gambar 15) dan menyebabkan aliran K+ ke sel
rambut sensorik dibawah gradien elektrokimia. Depolarisasi influx K+ sel rambut ini
menyebabkan kaskade penyebab aktivitas serat saraf auditorik. K+ dalam sel rambut kemudian
dilepaskan dari permukaan basolateral melalui kanal yang dikode oleh gen kanal kalium voltase
subfamili Q member 4 (KCNQ4). Mutasi KCNQ4 menyebabkan bentuk umum tuli progresif
autosomal dominan non-sindromik.15
Antara stereosilia, terdapat serat longitudinal aktin-terikat untuk kekuatan dan rigiditas
oleh beberapa protein, salah satunya adalah espin, yang dikode oleh gen ESPN. Mutasi pada
ESPN menyebabkan tuli autosomal nonresesif non-sindromik yang disertai atau tanpa gangguan
keseimbangan (hilangnya refleks), atau tuli autosomal dominan yang progresif dengan
keseimbangan normal. Pada dasar stereosilia, filamen aktin terkumpul padat membentuk akar,
yang memanjang menjadi badan sel. Mutasi pada TRIOBP, gen yang menode sitoskeleton terkait
TRIO dan F-actin binding protein, mencegah filamen aktin membentuk ikatan kuat dan
menyebabkan ketulian resesif non-sindromik (DFNB28). Pada dasar sel rambut dalam terdapat
pita sinaps, yang terspesialisasi ragam sinaps neuronal dengan ratusan vesikel yang mengandung
neurotransmitter glutamat (dilepaskan oleh eksositosis dependen kalsium). Struktur ini
memungkinkan pelepasan cepat dan lambat ratusan vesikel yang secara akurat mengode
intensitas dan ketajaman suara yang penting bagi persepsi suara. Dalam eksositosis ini, otoferlin
(dikode oleh OTOF) memainkan peran penting. Mutasi OTOF pada manusia dapat menyebabkan
Spektrum Gangguan Neuropati Auditorik.15

Gambar 16. Kumpulan keseluruhan 42 gen yang berimplikasi pada gangguan


pendengaran autosomal resesif 15

b. Tuli Kongenital Di Dapat


 Infeksi

Beberapa infeksi dapat menyebabkan tuli kongenital didapat seperti TORCH :


toxoplasmosis, other (HIV, syphilis), rubella, cytomegalovirus dan herpes (lihat tabel 3).
Selain itu kasus kegawatan kongenital infeksi virus Zika sebagai penyebab utama cedera
fetus dan disabilitas neonates, telah diketahui bahwa virus ini dapat menyebabkan tuli
kongenital. Analisis 70 bayi berusia 0-10 bulan dengan mikrosefali dan bukti infeksi
virus Zika secara laboratorium di Brasil memperlihatkan sebanyak 7% mengalami tuli
sensorineural.15

A. Rubella

Rubella, juga dikenal sebagai cacar jerman, merupakan family virus Togaviridae.
Genom virus ini memiliki rantai tunggal RNA dan ditutupi oleh kapsul isosahedral.
Rubella paling sering ditransmisikan melalui sekresi respiratorik selama batuk, bersin dan
berbicara. Pada dewasa immunokompeten, virus dapat timbul sebagai demam subfebris,
nyeri pergerakan bola mata, konjungtivitis, nyeri tenggorokan, sakit kepala, mual,
penurunan nafsu makan, arthritis transient dan nyeri tekan limpadenopati. Sebaliknya
pada kehamilan, virus berpotensi teratogen.5

Bayi dengan infeksi virus rubella kongenital umumnya lahir aterm, namun sering
memiliki berat lahir rendah dibandingkan neonatus yang tidak terinfeksi dengan umur
kehamilan yang sama. Komplikasi paling utama dari infeksi rubella kongenital adalah
gangguan pendengaran sensorineural (58%) dan paling sering terlihat apabila infeksi
maternal terjadi pada 16 minggu pertama kehamilan. Penemuan umum lainnya yaitu
defek jantung, katarak, hepato-splenomegali dan mikrosefali. .5.15 Gangguan
pendengaran, katarak dan penyakit jantung bawaan merupakan trias klasik manifestasi
sindrom rubella kongenital, walaupun gejala klinis dapat bervariasi berdasarkan waktu
infeksi fetus. Gangguan pendengaran yang berhubungan dengan sindrom rubella
kongenital dapat tidak terjadi sampai kelahiran.15 Mekanisme infeksi rubella yang
menginduksi gangguan pendengaran tidak dapat dijelaskan secara penuh, walaupun virus
dapat secara langsung menyebabkan kerusakan koklea, kematian sel organ corti dan stria
vascularis serta gangguan komposisi endolimfe yang diikuti kerusakan stria.5.15

 Patogenesis Congenital Rubella Syndrome


Virus rubella ditransmisikan melalui pernapasan dan mengalami replikasi di
nasofaring dan di daerah kelenjar getah bening. Viremia terjadi antara hari ke-5 sampai
hari ke-7 setelah terpajan virus rubella. Dalam ruangan tertutup, virus rubella dapat
menular ke setiap orang yang berada di ruangan yang sama dengan penderita. Masa
inkubasi virus rubella berkisar antara 14–21 hari. Masa penularan 1 minggu sebelum dan
empat (4) hari setelah permulaan (onset) ruam (rash). Pada episode ini, Virus rubella
sangat menular.27.28.29.30
Infeksi transplasenta janin dalam kandungan terjadi saat viremia berlangsung. Infeksi
rubella menyebabkan kerusakan janin karena proses pembelahan terhambat. Dalam
rembihan (secret) tekak (faring) dan air kemih (urin) bayi dengan CRS, terdapat virus
rubella dalam jumlah banyak yang dapat menginfeksi bila bersentuhan langsung. Virus
dalam tubuh bayi dengan CRS dapat bertahan hingga beberapa bulan atau kurang dari 1
tahun setelah kelahiran.27.28.30
Kerusakan janin disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya oleh kerusakan sel akibat
virus rubella dan akibat pembelahan sel oleh virus. Infeksi plasenta terjadi selama
viremia ibu, menyebabkan daerah (area) nekrosis yang tersebar secara fokal di epitel vili
korealis dan sel endotel kapiler. Sel ini mengalami deskuamasi ke dalam lumen
pembuluh darah, menunjukkan (indikasikan) bahwa virus rubella dialihkan (transfer) ke
dalam peredaran (sirkulasi) janin sebagai emboli sel endotel yang terinfeksi. Hal ini
selanjutnya mengakibatkan infeksi dan kerusakan organ janin. Selama kehamilan muda
mekanisme pertahanan janin belum matang dan gambaran khas embriopati pada awal
kehamilan adalah terjadinya nekrosis seluler tanpa disertai tanda peradangan.27.28.30
Sel yang terinfeksi virus rubella memiliki umur yang pendek. Organ janin dan bayi
yang terinfeksi memiliki jumlah sel yang lebih rendah daripada bayi yang sehat. Virus
rubella juga dapat memacu terjadinya kerusakan dengan cara apoptosis. Jika infeksi
maternal terjadi setelah trimester pertama kehamilan, kekerapan (frekuensi) dan beratnya
derajat kerusakan janin menurun secara tiba-tiba (drastis). Perbedaan ini terjadi karena
janin terlindung oleh perkembangan melaju (progresif) tanggap (respon) imun janin, baik
yang bersifat humoral maupun seluler, dan adanya antibodi maternal yang dialihkan
(transfer) secara pasif.27.28.30

 Kriteria Klinis Kongenital Rubella Sindrom


Risiko infeksi janin beragam berdasarkan waktu terjadinya infeksi maternal. Apabila
infeksi terjadi pada 0–12 minggu usia kehamilan, maka terjadi 80–90% risiko infeksi
janin. Infeksi maternal yang terjadi sebelum terjadi kehamilan tidak mempengaruhi janin.
Infeksi maternal pada usia kehamilan15–30 minggu risiko infeksi janin menurun yaitu
30% atau 10–20%.27.28
Bayi di diagnosis mengalami CRS apabila mengalami 2 gejala pada kriteria A atau 1
kriteria A dan 1 kriteria B, sebagai berikut:1,2 a) Katarak, glaukoma bawaan, penyakit
jantung bawaan (paling sering adalah patient ductus arteriosus atau peripheral
pulmonary artery stenosis), kehilangan pendengaran, pigmentasi retina. B) Purpura,
splenomegali, jaundice, mikroemsefali, retardasi mental, meningoensefalitis dan
radiolucent bone disease (tulang tampak gelap pada hasil foto roentgen).

Beberapa kasus hanya mempunyai satu gejala dan kehilangan pendengaran merupakan
cacat paling umum yang ditemukan di bayi dengan CRS. Definisi kehilangan
pendengaran menurut WHOadalah batas pendengaran ≥ 26 dB yang tidak dapat
disembuhkan dan bersifat permanen.27.28.31
 Diagnosis kongenital Rubella Sindrom
Meskipun infeksi bawaan dapat dipastikan (konfirmasi) dengan mengasingkan
(isolasi) virus dari swab tenggorokan, air kemih dan cairan tubuh lainnya, tetapi
pengasingan tersebut mungkin memerlukan pemeriksaan berulang. Sehingga
pemeriksaan serologis merupakan pemeriksaan yang sangat dianjurkan. Pemeriksaan
antibodi IgM spesifik ditunjukkan untuk setiap neonatus dengan berat badan lahir rendah
yang juga memiliki gejala klinis rubella bawaan. Adanya IgM di bayi tersebut
menandakan bahwa ia telah terinfeksi secara bawaan, karena antibodi ini tidak dapat
melalui perbatasan (barier) plasenta.27.9
Antibodi IgG spesifik rubella mungkin dapat dihasilkan oleh bayi secara in vitro.
Masuknya IgG maternal melalui perintangan (barier) plasenta, menyebabkan sulitnya
membedakan antara antibodi yang dialihkan (transfer) secara pasif dan antibodi spesifik
yang dihasilkan sendiri oleh bayi. IgG spesifik rubella yang kanjang (persisten) hingga
berumur 6–12 bulan. Hal itu menandakan bahwa antibodi tersebut dihasilkan oleh bayi
dan menandakan adanya infeksi bawaan.7 Congenital Rubella Syndrome yang moderat
maupun berat dapat dikenali pada saat kelahiran, tetapi kasus ringan berupa gangguan
jantung ringan, tuli sebagian kadang tidak tertemukan pemeriksaan serologis rubella
berguna dalam studi epideimologi untuk menentukan keterlibatan virus rubella sebagai
penyebab kehilangan pendengaran sensorineural pada anak-anak.
B. Cytomegalovirus

CMV, merupakan famili Herpesviridae, salah satu agen infeksius penyebab disabilitas
perinatal. Sekali individu terinfeksi, DNA virus dapat terdeteksi dalam cairan tubuhnya
selama berbulan-bulan, khususnya di saliva dan urin anak dan berisiko terpapar pada
wanita hamil. Risiko infeksi CMV kongenital utamanya infeksi selama kehamilan,
dengan risiko transmisi vertical sebanyak 32%. Pada ibu dengan seropositive, risiko
transmisi selama reaktivasi dan reinfeksi hanya 1.4%. Seropositive CMV wanita pasca
persalinan di negara berkembang ~ 50%, insidensi infeksi CMV kongenital secara kasar
sebanyak 1 dari 100-200 kelahiran hidup.13

Infeksi cytomegalovirus kongenital menyebabkan spektrum gangguan yang meliputi


gangguan pendengaran sensorineural (SNHL), kebutaan dan keterlambatan
perkembangan. Mayoritas (85-90%) kasus asimptomatik saat lahir namun
progresivitasnya dapat berkembang dikemudian hari.14 Di Amerika Serikat, 900 bayi
dengan infeksi CMV kongenital asimptomatik diestimasikan memiliki tuli sensorineural
dalam jangka 8 minggu kehidupan, walaupun setengah berhasil melewati skrining
neonatus. Anak dengan onset SNHL lambat terjadi selama 9 bulan pertama lebih
menguntungkan untuk diberikan intervensi. Saat berumur 5 tahun, 2% anak dengan
16
infeksi kongenital asimptomatik secara potensial sebagai kandidat implentasi koklea.
CMV asimtomatik timbul berupa kelainan pendengaran sensorineural (isolated
sensorineural hearing loss), gejala ringan (hepatomegali, trombositopenia, atau
peningkatan alanin aminotransferase), serta gejala sedang-berat yaitu hepatomegali,
trombositopeni, splenomegali, IUGR dan keterlibatan sistem saraf pusat
(ventrikulomegali, kalsifikasi intraserebral, malformasi kortikal atau cerebellar).17

Patofisiologi yang mendasari tuli sensorineural infeksi CMV kongenital belum jelas
diketahui. Penelitian pada tulang temporal memperlihatkan inflamasi dan edema dari
koklea dan ganglion spiral, serta antigen virus ditemukan pada ganglion spiral, organ
corti, scala media dan membrane Reissner .Virulensi virus dan respon imunibu, fetus dan
plasenta memainkan peran penting pada hasil akhir. Kurang lebih 10% neonatus
terinfeksi CMV, simptomatik saat kelahiran dan risiko infeksi maternal paling tinggi
terjadi selama konsepsi atau selama trimester pertama kehamilan.13

Pasien dengan infeksi CMV asimptomatik sekitar 5% anak akan mengalami tuli
sensorineural ≥70 dB pada umur 12 bulan pada minimal 1 telinga sehingga skrining pada
bayi baru lahir sangat penting untuk identifikasi infeksi CMV asimptomatik yang dapat
berkembang menjadi tuli sensorineural.15

C. Toxoplasma

Pada toksoplasmosis kongenital, infeksi primer pada janin diawali dengan masuknya
darah ibu yang mengandung parasit ke dalam plasenta, sehingga terjadi plasentitis. Hal
ini ditandai dengan gambaran plasenta dengan reaksi inflamasi menahun pada desidua
kapsularis dan fokal reaksi pada vili. Inflamasi tali pusat jarang dijumpai. Parasit akan
menimbulkan keadaan patologik yang manifestasinya tergantung usia kehamilan.18

Risiko toksoplasmosis kongenital sekitar 10 – 25% apabila infeksi akut maternal


terjadi pada trimester pertama kehamilan dan meningkat hingga 60 – 90% apabila terjadi
pada trimester ketiga. Namun, manifestasi toksoplasmosis kongenital lebih parah jika
infeksi terjadi pada trimester pertama. Trias klasik toksoplasmosis kongenital meliputi
korioretinitis, kalsifikasi intrakranial, dan hidrosefalus. Tanda dan gejala toksoplasmosis
kongenital lainnya meliputi abnormalitas cairan spinal, anemia, kejang, demam, tuli,
gangguan pertumbuhan, hepatomegali, ikterik, gangguan pembelajaran, limfadenopati,
ruam makulopapular, retardasi mental, mikrosefali, spastisitas, splenomegali,
trombositopenia, dan gangguan penglihatan. Sebagian besar bayi yang terinfeksi
intrauterin lahir dengan gejala tidak khas, lebih dari 80% berkembang menjadi gangguan
penglihatan, pendengaran, perkembangan, dan IQ yang lebih rendah pada masa anak-
anak.18

D. Herpes simpleks

Virus herpes simpleks tipe 1 dan 2 (HSV-1 dan HSV-2) adalah golongan herpeviridae
yang sering menginfeksi manusia. Di amerika sendiri infeksi virus ini diperkirakan
1/3200 kelahiran dengan mayoritas tipe HSV-2. 19
Infeksi herpes kongenital umumnya terjadi akibat terpapar HSV- 1 atau HSV-2 selama
persalinan. Infeksi neonatus lebih sering terjadi pada wanita yang terkena infeksi selama
masa akhir kehamilan atau memeiliki lesi herpetik pada jalan lahir. Disamping itu, 30%
wanita hamil dapat memberikan hasil serologi positif tanpa riwayat infeksi HSV-2 serta
bersifat asimptomatik, hal ini dapat menyebabkan infeksi pada neonatus.4 Transmisi
sekitar 85% peripartum, 10% postnatal dan 5% in utero. Prevalensi dari kejadian tuli
kongenital akibat infeksi virus herpes simpleks HSV-2 bervariasi mulai dari 0-33%.19

E. Sifilis

Sifilis kongenital dan post natal diakibatkan oleh infeksi bakteri Treponema pallidum.
Kasus sifilis kongenital di Amerika pada tahun 2013 yaitu 0,9/100.000 kelahiran, kasus
ini cukup jarang sehingga kasus tuli kongenital akibat sifilis juga sering tidak
diidentifikasi. Gejala khas dari sifilis kongenital yaitu trias hutchinson berupa keratitis
interstisial, incisors nothced dan tuli sensorineural, tetapi dapat pula muncul dengan
gejala hanya tuli sensorineural saja.19

F. Obat teratogenik

Beberapa jenis obat ototoksik dan tertogenik berpotensi mengganggu proses


organogenesis sdan merusak sel-sel rambut koklea seperti salisilat, kina, neomisin,
dihidro steptomisin, gentamisin, barbiturat, thalidomide dll.5 Antibiotik jenis
aminoglikosida telah didokumentasi dalam berbagai penilitian menunjukkan efek
dominan vestibulotoksik (seperti neomycin, kanamycin, amikacin dan
dihydrostreptomycin) terhadap koklea. Toksisitas telah ditunjukkan berhubungan dengan
onset fungsi auditorik. 21

Mekanisme ototoksisitas tidak sepenuhnya diketahui. Aminoglikosida diketahui dapat


menjangkau stria vaskularis, yang memperlihatkan aminoglikosida memasuki telinga
dalam melalui kapiler stria vaskularis dan berakumulasi di sel rambut. Disamping itu,
titik masuk aminoglikosida ke sl rambut koklea belum diketahui. Beberapa penelitian
menyiratkan endositosis sebagai mekanisme utama. Penelitian lainnya mendukung kanal
transduser mekano elektik di stereosilia. Di dalam sel rambut, terdapat beberapa
spekulasi bahwa mitokondria merupakan target toksisitas aminiglikosida. Potensi
toksisitas dihasilkan dari inhibisi sintesis protein mitokondria.21
4. Skrining dan Diagnosa
Dekade sebelumnya, skrining tertarget dilakukan secara eksklusif pada bayi yang
dinilai memiliki risiko tinggi gangguan pendengaran (bayi yang mendapatkan perawatan
di unit perawatan intensif neonatus dan dengan riwayat keluarga gangguan pendengaran
atau anomali craniofacial). Akan tetapi penemuan yang berkembang didapatkan deteksi
dini gangguan pendengaran bermanfaat terhadap perkembangan anak, program sreening
neonatus universal telah diperkenalkan. Di beberapa negara berkembang, skrining
pendengaran neonatus sudah terjangkau dan umumnya menggunakan paradigma
skrining dua fase.15

a. Penilaian status pendengaran


Skrining status pendengaran umumnya terdiri dari penilaian oto-accoustic emission
yang diulang dua kali, penilaian oto-accoustic emission dan automated auditory brain
stem responses, atau penilaian automated auditory brain stem responses diulang dua kali.
Bayi yang tidak lolos skrining memerlukan evaluasi audiologi dan medis untuk
mengonfirmasi adanya gangguan pendengaran, secara ideal sebelum usia 3 bulan. Akan
tetapi, neonatus yang lulus tes pendengaran tidak dieksklusi secara progresif, tuli onset
lambat dan ringan (30-40 dB), yang sebagian besar tidak terdeteksi dalam program
skrining neonatus. Anak yang berhasil melewati skrining pendengaran namun memiliki
faktor risiko gangguan pendengaran atau orang tua dengan kekhawatiran terhadap
kemampuan pendengaran anaknya memerlukan follow-up reguler, dikarenakan gangguan
pendengaran dapar berkembang di kemudian hari, bergantung pada penyebab
utamanya.13
Disamping skrining pendengaran neonatus, penilaian audiometri menyeluruh
dibutuhkan untuk memastikan adanya gangguan pendengaran dan menilai berat serta
lateralisasinya (unilateral atau bilateral). Derajat beratnya gangguan pendengaran harus di
bandingkan dengan telinga yang sehat dengan ambang baata 500, 1000, 2000 dan 4000
Hz. Gangguan pendengaran diklasifikan berdasarkan lateralisasinya dan derajatnya antara
lain ringan (20-40 dB), moderate (41-70 dB), berat (71-95 dB) dan profound (> 95 dB).13
Penilaian audiometri meliputi elektrofisiologi (oto-acoustic emissions, yang menilai
fungsi sel rambut luar, dan auditory brain stem responses, yang menilai fungsi sel rambut
dalam dan integritas jalur auditorik) dan tes perlakuan (audiometri). Dalam praktik klinis,
integritas fungsional telinga dinilai oleh berbagai cross-check berbeda menghasilkan nilai
fisiologis dan perlakuan.13 Adapun perbandingan metode diagnostik ditampilkan dalam
tabel 4.
 Otoacoustic emission

Otoacoustic emission menghasilkan suara yang disebabkan pergerakan sel rambut luar
sebagai respon stimulus auditorik. Transient evoked otoacoustic emission terjadi setelah
stimulus tekan. Gelombang tekanan suara berosilasi sebagai respon terhadap pergerakan
membran timpani yang terdorong ke belakang dan kedepan oleh fluktuasi tekanan di
koklea. Respon transient evoked oto-acoustic emission memberikan frekuensi spesifik
yang mengindikasikan secara spesifik status koklear dan dapat dinilai dengan alat kecil di
kanalis auditorik eksternus. Untuk mendeteksi membutuhkan transmisi suara adekuat dari
dan ke koklea, oto-acoustic emissions bukan merupakan tes individu untuk menilai status
pendengaran normal, namun harus diinterpretasikan dalam konteks otoskopi,
timpanometri dan tes auditory brain stem responses.13

 Auditory brain stem responses (ABR/BERA) dan auditory steady state response
(ASSR)

Auditory brain stem response merupakan potensial elektrik yang dikeluarkan stimulus
auditorik yang merefleksikan aktivitas neural pada beberapa titik keluarnya sepanjang
perjalanan auditorik. Aktivitas ini direkam dari elektroda kulit kepala menggunakan
teknik rerata komputer. Auditory brain stem response klik dan nada umumnya digunakan
dan sebagai gold standar untuk penilaian objektif standar pada bayi dan anak di semua
usia. Ambang batas umumnya berjarak 10 dB dari ambang batas auditorik pada frekuensi
tinggi (2000-4000 Hz).13

Auditory steady state response merupakan stimulus nada dimodulasi AM/FM.


Stimulus sinyal yang berkelanjutan dan memberikan rerata tekanan suara tinggi
dibandingkan stimulus klik, menyebabkan auditory steady state response bermanfaat
untuk mengumpulkan data ambang dengar pada anak-anak dengan tuli profound (>90
dB). Hilangnya ambang dengar auditory steady state response mengindikasikan tidak ada
pendengaran yang berfungsi dan memprediksikan lemahnya kinerja alat bantu dengar.
Pada seluruh tipe gangguan pendengaran, terdapat korelasi yang dekat antara auditory
brain stem response klik dan rerata ambang batas auditory steady state responses di
2000 dan 4000 Hz, dengan perbedaan ≤ 10 dB antara ambang batas terukur dengan dua
metode pada mayoritas kasus. Auditory steady state response juga berguna untuk
mengestimasikan ambang batas konduktivitas tulang dan membedakan gangguan
pendengaran konduktif dengan gangguan pendengaran sensorineural.13

 Audiometri

Visual re-enforcement audiometry dapat digunakan sebagai tes pendengaran pada


anak-anak berusia 6-24 bulan. Pada anak dengan pendengaran adekuat, suara baru akan
memprovokasi refleks terhadap suara. Audiologis terampil dapat mendapatkan hasil yang
sesuai. Play audiometry digunakan pada anak-anak berusia 2-4 tahun, dalam artian
mengondisikan respon anak-anak tersebut terhadap stimulus suara melalui aktivitas
bermain. Usia diatas 4 tahun umumnya audiometry standar digunakan, dengan transducer
konduksi udara (contohnya, earphone) atau transducer koduksi tulang. Tes ini menilai
integritas sistem auditorik kompleks, dimana transducer memberikan vibrasi pada tulang
tengkorak, yang menstimulasi koklea secara langsung melewati telinga luar dan telinga
tengah. Ambang batas konduksi udara dan tulang, sebagian besar didapatkan frekuensi
oktaf 250-8000 Hz, berbeda pada gangguan pendengaran sensorineural dan gangguan
pendengaran konduktif.13

Rekomendasi skrining dari International Pediatric Otolaryngology Group (IPOG)


terhadap bayi baru lahir yang dicurigai mengalami gangguan pendengaran (lihat gambar
17). Pada bayi baru lahir yang berisiko tinggi untuk menderita gangguan pendengaran
kongenital maka dilakukan skrining dengan OAE dan ABR otomatis. Bayi baru lahir
yang berisiko tinggi yaitu : bayi dengan infeksi TORCH, berat bayi lahir kurang dari
1500 gram, hiperbilirubinemia yang membutuhkan transfusi tukar, pengobatan ototoksik
> 5 hari, meningitis bakterial, ventilasi mekanik > 5 hari, trauma kepala, kelainan
neurodegeneratif, dirawat di NICU lebih dari 5 hari atau terdaoat riwayat keluarga yang
menderita gangguan pendengaran. 20
Gambar 17. skrining pada bayi baru lahir20
Tabel. 4 Metode diagnosis: prosedur diagnostik objektif dan subjektif15

Tes Umur Metode Aplikasi klinis Kekurangan


Tes Obejektif
Emisi Sejak hari Fenomena -tes pilihan -Tidak ada respon yang
otoakustik kedua atau otoakustik yang pertama untuk ditangkap pada kelainan
ketiga dapat diukur pada skrining telinga tengahdan tuli
kehidupan kanal telinga, yang pendengaran bayi yang melebihi 30-40 dB
berhubungan baru lahir (murah,
dengan aktifitas mudah dan valid) -informasi hanya fungsi
elektromotif dari normal dari sel rambut
sel rambut luar -bermanfaat untuk luar, tetapi bukan dari
kokhlea dan mengevaluasi tipe kelainan
amplifikasi dari fungsi kokhlea pendengaran
telinga tengah. ketika respon
auditori absen -Narrow frequency range
(tuli retrokokhlea) studied (1-3 kHz)

-Keterbatasan teknis
(posisi dari probe,
obstruksi, bising)
Auditory Bayi Tipe dari potensial -Standar baku dari -Evaluasi ambang (tidak
Brain-Stem berumur 26 auditori adalah seri skrining bayi lebih dari 80-90 dB)
Evoked minggu dari 7 puncak yang dengan risiko terbatas pada frekuensi 1
Response (ketika muncul dari nervus tinggi audiologi dan 4 kHz
(ABR) myelnisasi auditorius dan (dapat dipercaya,
mulai) struktur batang murah) -amplitudo terlalu kecil,
penanganan otak yang muncul gelombang I dari nervus
ini hingga dalam 10 msec dari -Perkiraan auditorius
umur 3 intensitas sedang objektif ambang
bulan. dari stimulus klik. pendengaran -Kelainan diatas dari
Setelah kllikulus inferior tidak
umur 12-18 -Pemeriksaan teridentifikasi
bulan, dengan kondisi
parametern nyaman. (spontan, -Perhatian dari diagnosis
ya sama sedasi) definitif dari kelainan
dengan pendengaran pada bayi
dewasa. -Bermanfaat baru lahir karena variasi
dengan anak yang dari proses maturasi
tidak kooperatif
-interpretasi cukup sulit
-Diagnosis pada respon dari anak
banding antara dengan efusi telinga
patologis kokhlea tengah
dan retrokokhlea
Auditory Semua Pemeriksaan ASSR - Konjugasi -Hasil dipengaruhi oleh
Steady-State umur dipicu oleh nada diantara intensitas ritme tidur-bangun,
Response berkelanjutan tinggi stimulasi pergerakan dari pasien
(ASSR) (pembawa) suara dan dan pemberian obat.
dimodulasi pada frekuensi spesifik.
frekuensi dan/atau
amplitudo. Respon - Rekonstruksi
yang diberikan dari pendengaran
dengan gelombang dengan ambang
kompleks yang yang sesuai
berhubungan dengan stimulus
dengan fase nada
definitif dari
stimulus. -peningkatan
korelasi dengan
frekuensi sedang-
rendah
Elektrokokhleo Semua Elektrokokhleograf -Pilihan kedua -Metode invasif yang
grafi umur i menggunakan setelah ABR membuthkan
respon elektrik dari untuk estimasi pembedahan dan
koklea mengikuti ambang pembiusan umu
suara masif dari pendengaran
stimulus potensial -evaluasi audiologis
kemudian direkam -karakteristik terbatas pada frekuensi 1-
dari elektroda yang lebih baik pada 4 kHz
diletakkan pada ketulian
kokhlea dibandingkan -mahal
dengan ABR

-menguatkan
gelombang I pada
ABR

-bermanfaat pada
kasus dimana
tidak terdapat
respon ABR
Timpanometri Semua -tes yang -Metode non -Pada umur kurang dari 6
umur mengukur dari invasif, yang tidak bulan sensitifitas tes akan
compliance dari membutuhkan berkurang akibat
membran timpani partisipasi aktif peningkatan ketegangan
dari kanal telinga
-Bermanfaat
untuk mendeteksi -membutuhkan tes
kelainan telinga tambahan (otoskopi,
tengah utamanya refleks, audiometri
pada anak
Refleks Semua Tes unuk refleks -Berguna pada -Tidak bisa mengukur
akustik umur kontraksi dari otot ketulian pada ambang pendengaran
intratimpani yang anak untuk
dihasilkan dari evaluasi dari -tes tambahan
stimulasi suara fungsi telinga dibutuhkan
intensitas tinggi tengah

-Diagnosis
penyakit
neurologis
Tes subjektif
CRIB-O- 0-6 bulan -berdasarkan Tes preliminer - evaluasi non spesifik
GRAM observasi, postural pada bayi - variasi masing-masing
dan reaksi individu
psikoemotif setelah - sering terjadi kesalahan
stimulasi suara. akibat reaksi dari bayi
Tes Boel 6-12 bulan Tes ini Tes multifungsi -metode non definitif
mengevaluasi yang yang membutuhkan tes
refleks tidak mengkombinasika diagnostik
terkondisi dari n visual dan
pandangan mata stimulus suara
setelah stimulasi
suara.
Behavioural > 6 bulan Observasi positif - BOA dapat - diskriminasi prosedur
Observation atau negatif respon menyediakan -respon perilaku pada
Audiometry perilaku pada pandangan pada suara dapat saja
(BOA) orientasi dan lokasi kualitas memberikan ambang
dari suara pada pendengaran anak pendengaran yang tidak
lapangan bebas responsif dan akurat
memprediksi dari
kurva audiometrik

Visual 1-3 tahun Pada VRA kondisi • Tes yang Respon variabilitas
Reinforcement dari kepala pada mengukur akibat beberapa faktor
Audiometry atraktif stimulus ambang (umur, kondisi anak,
(VRA) visual yang pendengaran stres emosional akibat
teraktifasi dari binaural pada lingkungan)
sumber suara lapangan bebas
Conditioned 2-5 tahun Respon kondisi Menyediakan tes Variabilitas akibat
Play dari suara pendengaran beberapa faktor (anak,
Audiometry menunjukkan binaural udara dan stres emosional
pendekatan yang tulang.
efeltif pada anak
yang lebih tua
b. Diagnosa

Pada saat tuli kongenital permanen bilateral telah ditegakkan, perlu dilakukan pencarian
etiologi penyebabnya. Pedoman yang telah tersedia meliputi skrining infeksi kongenital,
pencitraan dan tes genetik. Lini pertama tes genetik umumnya terbatas pada pemeriksaan
mutasi GJB2 dan GJB6. Pemeriksaan disertakan dengan skrining oftalmlogi untuk menilai
tanda okular infeksi kongenital dan sindrom spesifik terkait, ultrasonografi ginjal untuk
melihat malformasi kongenital, elektrokardiogram untuk melakukan eksklusi terhadap
sindrom long QT (Jervell Lange-Nielsen) dan tes lainnya yang didasarkan pada penemuan
klinis. Pada gangguan pendengaran unilateral, pemeriksaan etiologi dapat dibatasi melalui
pemeriksaan klinis sindrom penyebab gangguan pendengaran, pemeriksaan infeksi
kongenital yang kemungkinan terjadi dan pencitraan telinga dalam. Sebagian besar pedoman
pemeriksaan etiologi tuli kongenital tidak memasukkan kekuatan giagnostik teknologi
sequens DNA lanjut dan tes genetik komprehensif menggunakan panel gen. Pedoman yang
dipublikasikan oleh American College of Medical Genetic sand Genomics mengakui nilai
teknologi terbaru dan merekomendasikan penggunaan panel gen. Disamping itu, penggunaan
algoritma diagnostik berdasarkan derajat gangguan pendengaran dianjurkan pada anak
dengan tuli kongenital bilateral dan melalui pendekatan multidisiplin,faktor etiologi dapat
diidentifikasi pada kurang lebih setengah pasien.12

Pemeriksaan etiologi untuk tuli kongenital harus dilaksanakan dengan berbagai alasan.
Pemeriksaan dapat memberikan jawaban kepada orang tua mengenai alasan anak mereka
mengalami gangguan pendengaran, dapat memberikan konseling genetik secara akurat dan
personal, serta memberikan kebebasan atas rasa bersalah pada beberapa kasus dan
tatalaksana bantuan. Diagnosis genetik memberikan estimasi akurat terhadap risiko gangguan
pendegaran pada anak kedepannya dan dapat berguna bagi orang tua untuk membuat
perencanaan keluarga. Identifikasi etiologi dapat membantu pemilihan terapi yang sesuai
atau pilihan tataksana (contohnya alat bantu dengar, implantasi koklea atau kebutuhan
edukasional), dapat mengidentifikasikan masalah kesehatan terkait yang perlu diterapi atau
dipantau, melindungi terhadap faktor risiko gangguan pendengaran di kemudian hari (seperti
penggunaan aminoglikosida dan trauma kepala) serta dapat memprediksikan progesivitas
gangguan pendengaran hingga titik tertentu.

 Diagnostik genetik

Diagnostik genetik selalu diawali dengan riwayat keluarga dan membuat silsilah
keluarga. Informasi ini bermanfaat untuk mengetahui kemungkinan terbesar bentuk
pewarisan, yang secara langsung memberikan daftar gen kausatif potensial. Pasien tanpa
anggota keluarga dengan riwayat serupa kemungkinan merupakan kasus keturunan
autosomal resesif, namun penyebab gangguan pendengaran dari lingkungan harus selalu
dipertimbangkan.

Tabel 5. Tes genetik sistematik gangguan pendengaran13

SNHL sesuai umur Mutasi penyebab


Bilateral SNHL dengan tes pendengaran yang sesuai GJB2
(0-15 tahun)
Bilateral SNHL dengan tes pendengaran yang sesuai A1555G&A3243G
(0-50 tahun) DNA mitokondria
Patologik Monoalel mutasi GJB2 (0-15 tahun) GJB3, GJB6
Neuropati Auditory dengan OAE dan ABR (0-4 OTOF
tahun)
Pembesaran akuaduktus vestibular dengan CT SLC26A4
telinga (0-50 tahun)
SNHL pada frekuensi rendah (0-30 tahun) Dominan, WFS Exon 8
ringan-berat
SNHL pada frekuensi tengah (0-20 tahun) Dominan, Domain TECTA ZP
ringan-berat
SNHL pada frekuensi tengah (0-4 tahun) Resesif, TECTA
berat
SNHL pada frekuensi tinggi (0-40 tahun) Progresif, Region KCNQ4 pore
dominan
Progresif cepat, resesif (5-15 tahun) TEMPRSS3 exon 4-12
Progresif, dominan, ringan-berat (30-50 tahun) Domain COCH LCCL
Kelainan keseimbangan
Keturunan, kehilangan pendengaran progresif, 12S rRNA; tRNA Ser
ringan-berat (0-50 tahun) (UCN) tRNA
Leu(UUR); tRNA Lys
tRNA Glu
Diagnostik DNA untuk gangguan pendengaran non sindromik sulit dilakukan, terdapat
beragam gen yang kemungkinan bertanggung jawab dan petunjuk diagnostik umum
berdasarkan fenotip. Dengan perkembangan teknologi, sequens DNA generasi
selanjutnya, dapat melakuakan analisis simultan sejumlah besar gen. Menggunakan
teknik ini, beberapa laboratorium menawarkan tes genetik panel besar yang berhubungan
dengan gangguan pendengaran sindromik dan non sindromik dengan harga terjangkau.
Tes genetik komprehensif saat ini merupakan alat diagnostik paling sering digunakam
pada evaluasi gangguan pendengaran setelah dilakukan konfirmasi dengan hasil
audiometri.13

Diagnosis Auditory Neuropathy Spectrum Disorder (ANSD) dipertimbangkan jika


terjadi emisi otoakustik dan/atau microphonic cochlear muncul saat hasil ABR abnormal
atau tidak ada. Pencitraan tulang temporal dan MRI direkomendasikan saat ANSD
unilateral dan harus dipertimbangkan saat didapatkan bilateral ANSD (lihat gambar 18).
22
Gambar 18. Kelainan Auditory Neuropathy Spectrum Disorder (ANSD)21
Untuk menangani anak dengan kelainan pendengaran tipe sensorineural
maka dibutuhkan informasi mengenai riwayat, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan
audiologis yang sesuai (lihat gambar 19). Pada anak dengan kelainan pendengaran
unilateral, pemeriksaan genetik tidak memiliki peran yang banyak kecuali jika
dicurigai terdapat sindrom kehilangan pendengaran (syndromic hearing loss).
Pencitraan tulang temporal perlu untuk dipertimbangkan saat diagnosis dari
kehilangan pendengaran unilateral.22

Gambar 19. Kelainan tuli sensorineural22


Pada anak-anak juga dapat timbul tuli konduktif atau mixed hearing loss.
Manajemen efusi pada neonatus tergantung dari umur saat keadaaan tersebut
diidentifikasi (lihat gambar 20.). Waktu untuk observasi anak dengan efusi telinga
tengah yaitu 3 bulan. Anak dengan efusi persisten harus menjalani miringotomi dan
pemasangan pipa dengan follow up ABR.22

Gambar 20. algoritma pada bayi baru lahir dengan tuli konduktif atau campuran
(conductive or mixed hearing loss)22
 Diagnostik tuli kongenital didapat

Setiap neonatus dengan tanda infeksi kongenital harus dilakukan tes terhadap infeksi
CMV, sebagaimana diketahui infeksi CMV menyebabkan kasus tuli kongenital non
genetik di negara berkembang. Infeksi ini harus dipertimbangkan pada anak dengan
gangguan pendengaran pada anak yang sehat dan asimptomatik. 13

Diagnosis infeksi pada perempuan dengan kecurigaan terinfeksi CMV yang menderita
gejala demam, kelelahan dan sakit kepala dengan tes serologi yaitu IgG, IgM, dan IgG
avidity, konfirmasi diagnosis pada janin dapat dilakukan setelah umur 20-21 dari gestasi
dan minimum 6 bulan dari infeksi pada ibu dengan tes PCR menggunakan cairan
amnion.17

Tanda dan gejala infeksi CMV meliputi retardasi intrauterine, mikrosefali dan ikterik
dengan gangguan pendengaran sensorineural pada 30% anak terinfeksi CMV
simptomatik. Oleh karena itu, evaluasi diagnostik diindikasikan. Pada keadaan pre-natal,
PCR CMV pada cairan amnion dapat memastikan infeksi CMV kongenital (nilai
prediktif positif mendekati 100%).13

Setelah kelahiran, urin, saliva atau spsimen swab neonatus harus diambil (sample
harus diambil selama 3 minggu kelahiran, karena setelah waktu ini virus direfleksikan
sebagai infeksi didapat postnatal dan bukan infeksi kongenital) dan dilakukan analisa.
Pada anak yang sedang dievaluasi etiologi tuli sensorineural berusia dibawah 3 minggu,
infeksi CMV kongenital hanya dapat dipastikan secara retrospektif, menggunakan dried
newborn blood spots yang disimpan sebagai bahan diagnosis PCR.16 Di beberapa negara
berkembang, sampe darah rutin diambil pada minggu pertama kelahiran sebagai skrining
metabolik, endokrin dan penyakit lainnya. Ketersediaan sample ini, bergantung terhadap
kebijakan penyimpanan lokal, disamping itu, bloodspots memiliki sensitivitas diagnostik
suboptimal dibandingkan sampe saliva atau urin yang didapatkan secara langsung.13

Jika dicurigai infeksi CMV, tes laboratorium tambahan, pencitraan otak


(ultrasonografi atau MRI serebral), penilaian fungsi visual dan penilaian pendengaran
dibutuhkan. Akan tetapi, 90% neonatus infeksi CMV kongenital umumya asimptomatik.
Secara umum, tidak ada temuan spesifik pada sistem cochleovestibular pada gambaran
MRI maupun CT scan. Pada infeksi CMV kongenital didapatkan kelainan intrakranial
berupa kalsifikasi, Kehilangan volume cerebrum dan cerebellum, plimicrogyra, dan white
matter disease.23 Neonatus umumnya lebih sering menunjukkan gangguan
neurodevelopmental pada kasus simptomatik, tetapi 10% tetap akan mengalami gangguan
pendengaran pada masa anak-anak.13

Diagnosis laboratorium infeksi rubella kongenital dapat dibuat dalam waktu 12 bulan
setelah kelahiran. Infeksi rubella didiagnosa apabila memenuhi salah satu dari 4 kriteria:
titer IgM anti-rubella posytif (dapat dinilai menggunakan enzim immunoassay),
peningkatan titer IgG anti-rubella setelah fase akut infeksi atau titer tinggi secara
persisten melebihi perkiraan transfer pasif antibodi maternal, isolasi virus rubella dari
kultur spesimen tenggorok, darah, urin dan cairan serebrospinal atau deteksi virus dengan
transkriptase PCR pada swab tenggorok, cairan serebrospinal atau sampe operatif (dari
katarak kongenital, virus dapat diisolasi dari lensa). Hasil laboratorium tambahan dapat
memastikan infeksi rubella kongenital antara lain trombositopenia, hiperbilirubunemia
dan leukopenia. Infeksi rubella kongenital masih endemik pada beebrapa negara dengan
pendapatan rendah, oleh karena itu infeksi rubella harus dipertimbangkan pada gangguan
pendengaran apabila infeksi didapatkan pada riwayat dan secara epidemiologi.13

a. Tatalaksana
Manajemen non bedah saat ini berfokus pada dua area intervensi yaitu terapi antimikroba
spesifik dan anti inflamasi untuk mengurangi respon imun tubuh terhadap infeksi sehingga
mengurangi kerusakan pada cochlea. Selain itu dapat juga diberikan anti-oksidan atau terapi
nanopartikel. Penanganan bedah juga diperlukan pada kasus dimana terdapat air-bone gap
yang hanya dapat dikoreksi dengan pembedahan. Penangnan lainnya yaitu dengan edukasi
dan latihan bahasa isyarat13
a. Terapi nonbedah
- Cytomegalovirus

Infeksi CMV kongenital dengan keterlibatan sistem saraf pusat membutuhkan


pengobatan antivirus. Terapi dengan ganciclovir intravena atau valganciclovir oral
selama 6 minggu dipilih sebagai terapi walaupun terdapat efek samping neutropenia13.
Pengobatan infeksi CMV kongenital dapat menggunakan oral valganciclovir,
penggunaan valganciclovir selama 6 bulan pada neonatus yang terinfeksi CMV
menunjukkan peningkatan kemampuan mendengar serta bertahan hingga umur 24
bulan. Selain itu dibutuhkan penggunaan alat bantu dengar dan terapi bicara. Pada
pasien dengan gangguan pendengaran berat-sangat berat maka implan cochlea dapat
dipertimbangkan23. Pemberian valgancyclovir dengan dosis 16 mg/kgbb oral, dua
kali sehari selama 6 minggu merupakan dosis yang disarankan17.

- Infeksi lain

Infeksi lain yang dapat mengakibatkan terjadinya tuli sensorineural seperti


toksoplamosis kongenital yang diakibatkan oleh Toksoplasma gondii, berhubungan
dengan kalsifikasi intrakranial, korioretinitis dan hidrosefalus. Pada ibu dengan infeksi
toksoplasma dapat diobati dengan spiramycin, sedangkan pada neonatus yaitu dengan
pyrimethamine dan sulfadiazine. Semua anak yang lahir dari permpuan yang dicurigai
terinfeksi virus zika perlu mendapatkan skrining pendengaran dalam bulan pertama
kehidupan, jika tes normal maka ulang tes auditori brain stem ressponse pada umur 4-6
bulan.13

b. Restorasi pendengaran
- Alat bantu dengar konvensional

Alat bantu dengar konvensional diindikasikan pada anak dengan gangguan


pendengaran sedang hingga berat yang menginduksi keterlambatan berbicara dan
gangguan artikulasi. Pasien dengan tuli sensorineural, program rehabilitasi mencakup
penggunaan alat bantu dengar. Disamping dari keunggulan alat bantu dengar tersebut,
terdapat pula kekurangannya seperti harga yang mahal dan komplikasi berupa oklusi dari
kanal auditoris eksterna serta kosmetik.13,14

- Implan koklea

Pasien dengan tuli sensorineural sedang sampai berat, penggunaan alat bantu
dengar konvensional dapat memberikan rehabilitasi pendengaran yang
memuaskan. Tetapi jika derajat ketulian telah mencapai tingkat berat-sangat berat,
maka alat bantu konvensional tidak dapat lagi memberikan hasil pemahaman yang
baik terhadap suara dan implan kokhlea menjadi lebih dipilih. Saat ini implant
kokhlea tidak terbatas pada pasien dengan tuli berat-sangat berat, saat ini pasien
dengan pendengaran frekuensi rendah yang baik namun buruk saat frekuensi tinggi
pun dapat menggunakannya. Pada pasien seperti ini, implan hybrid atau stimulasi
otoakustik menjadi pilihan karena dapat meningkatkan kualitas suara dengan
kombinasi suara alami pada frekuensi rendah. Implan kokhlea saat ini menjadi
penanganan standar bagi anak dengan tuli kongenital sangat berat dimana orang
tua pasien memilih untuk berkomunikasi secara oral. Hasil dari implan kokhlea
pada anak bergantung dari etiologi dan komorbiditas, utamanya pada anak dengan
syndromic hearing loss.13

- Bone-anchored hearing aid

Peningkatan kemampuan mendengar pada anak dengan tuli konduktif disertai


dengan kelainan kongenital cukup sulit. Seperti atresia kanalis auditori eksterna.
Pada anak dengan atresia tulang komplit, alat bantu konduksi udara konvensional
bukan merupakan pilihan, jika bedah rekonstruksi tidak dapat dilakukan maka alat
bantu dengar bone-anchored menjadi pilihan. Prinsip kerja bone – anchored
hearing aid (BahA) berdasarkan konduksi suara melalui tulang melewati implant
terintegrasi tulang. Secara umum, keuntungan metode ini paling memuaskan pada
anak dengan konduksi tulang nada murni lebih dari 45 dB.13,14

c. Penanganan bedah lainnya


Pasien dengan tuli konduktif karena abnormalitas dari kanal auditoris
seperti atresia aural kongenital, membran timpani, atau tulang pendengaran, maka
penanganan secara bedah dapat diberikan untuk menangani defek tersebut
dengan hasil yang memuaskan.13
b. Pencegahan
Enam puluh persen tuli pada anak merupakan akibat dari penyebab yang dapat
dicegah, 30 persen diakibatkan oleh infeksi seperti rubella, mumps, meningitis dan
measles. Hal -hal tersebut dapat diegah dengan peningkatan imunisasi. Sedangkan tuli
akibat komplikasi proses kelahiran seperti kurang asupan oksigen, berat bayi lahir
rendah, berjumlah sekitar 17% dan dapat dicegah dengan dengan pelayanan ibu dan anak
yang lebih baik dengan meningkatkan nutrisi, kesadaran akan hidup sehat, pengetahuan
akan proses kelahiran yang aman, manajemen yang tepat pada infeksi neonatal dan
jaundice.23
Setiap wanita hamil harus mendapatkan edukasi mengenai infeksi CMV, CMV
hiperimunoglobulin tidak seharusnya diberikan secara rutin pada ibu hamil dengan
adanya infeksi primer CMV untuk mencegah infeksi CMV pada janin, terapi antivirus
rutin pada ibu hamil tidak direkomendasikan. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
menghindari transmisi CMV pada ibu hamil yaitu : tidak berbagi makanan atau minuman
dengan anak, tidak memasukkan benda yang telah kontak dengan mulut anak ke mulut
ibu, menghindari kontak dengan saliva anak, cuci tangan rutin setelah mengganti popok
anak, membersihkan barang-barang yang telah terkena saliva atau urin anak 24.
Vaksinasi pre-pubertas dapat mencegah infeksi rubella kongenital. Virus rubella
hidup yang telah diperlemah diberikan dalam formula trivalen, dikombinasikan dengan
vaksin measles dan mumps, atau dalam formula quadrivalen termasuk vaksin varicella.
Vaksinasi direkomendasikan pada anak dengan umur 12-15 bulan, dengan booster pada
umur 4-5 tahun, dan untuk wanita dengan umur menyusui yang sedang tidak hamil dan
tes antibodi hemaglutinin negatif.13
DAFTAR PUSTAKA

1. Hendarmin H, Suwento R. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak. Dalam: Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi keenam. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. 32-36.
2. Vos, Bénédicte et al. “Newborn Hearing Screening Programme in Belgium: A Consensus
Recommendation on Risk Factors.” BMC Pediatrics 15 (2015): 160. PMC. Web.
3. Reef S, Coronado V. Congenital Rubella Syndrome. http://www.deafblind.com/crs.htlm.
(accesed Agustus 30, 2006).
4. Anonim. The Delayed effects of Congenital Rubella Syndrome.
http://www.sense.org.uk/publication/all pubs/rubella/R03.htm. (accesed 11 Januari,
2007).

5. Crowe, Kathryn, Sharynne McLeod, and Teresa Y.C. Ching. “The Cultural and
Linguistic Diversity of 3-Year-Old Children with Hearing Loss.” The Journal of Deaf
Studies and Deaf Education 17.4 (2012): 421–438. PMC.
6. Cohen, Brandon E., Anne Durstenfeld, and Pamela C. Roehm. “Viral Causes of Hearing
Loss: A Review for Hearing Health Professionals.” Trends in Hearing 18 (2014):
2331216514541361. PMC. Web. 9 Sept.
7. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J.. Buku Ajar Ilmu Kesehata Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. 2012.Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
8. Menner, Albert L. A Pocket Guide to the Ear. 2003. New York: Thieme Medical
Publishers
9. Mahony JB, Chernesky MA. Rubella Virus. In: Manual of Clinical Laboratory
Immunology. Sixth Ed. Washington DC, American Society of Microbiology, 2002; 687–
95.
10. Lalwani A K. Current diagnosis and treatment Otolaryngology Head and Neck Surgery.
2007.New York : McGraw-Hill
11. Probst R et al. Basic Otorhinolaringology. 2006.New York: Thieme Medical Publishers.
12. Snow, James B Jr. Ballenger’s Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery.
2002. London: BC Decker
13. Paulsen F& Waschke J. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Edisi 23 Jilid 3. 2012. Jakarta:
EGC
14. Adams, G.L., Boies, L.R. dan Higler, P.A. BOIES buku ajar penyakit THT edisi 6. 2002.
Jakarta : EGC.
15. Sadler, T.W. Langman’s Medical Embryology 12th edition. 2012.USA : Lippincott
Williams & Wilkins.
16. Korver et al. Congenital hearing loss. 2018. Nat Rev Dis Primers . ; 3: 16094.
doi:10.1038/nrdp.2016.94
17. Paludetti G. Infant hearing loss: from diagnosis to therapy Official Report of XXI
Conference of Italian Society of Pediatric Otorhinolaryngology. 2012. ACTA
Otorhinolaryngologica italica ;32:347-370
18. Lenzieri, T.M., Chung, W., Flores, M., Blum, P., Caviness C., Bialek, S.R. dkk.. Hearing
Loss in Children With Asymptomatic Congenital Cytomegalovirus Infection. 2017.
PEDIATRICS Vol 139 (3) :e 20162610
19. Lanzieri, T.M dkk. Long-term outcomes of children with symptomatic congenital
cytomegalovirus disease. J Perinatol . 2017 July ; 37(7): 875–880. doi:10.1038/jp.
20. Rawlinson, W.D., Bappona, S.B., Fowler,K.B., Kimberlin, D.W., Lazzarotta, T., Alain,
S., dkk. Congenital cytomegalovirus in pregnancy and the neonate : consensus
recommendation for prevention, diagnosis and therapy. 2017. Lancet infect dis Vol.17
pe177-e188.
21. Aryani I.G.A D. Toxoplasmosis Kongenital. 2017. CDK-255/ vol. 44 no. 8 th.
22. Kenna, M.A. Acquired hearing loss in children. 2015. Otolaryngology Clin An M p1-2
23. B. J. Liming, J. Carter, A. Cheng, D. Choo, J. Curotta, D. Carvalho dkk. International
Pediatric Otolaryngology Group (IPOG) Consensus Recommendations: Hearing Loss in
the Pediatric Patient. 2016. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology, doi:
10.1016/j.ijporl.2016.09.016.

24. Butler B E & Lomber S.G.. Functional and structur changes throghout the auditory
system following congenital and early onset deafness: implication for hearing restoration.
2013 Frontiers in system neuroscience. Vol.7 (92)
25. WHO. 2016. Childhood hearing loss : strategies for prevention and care.
26. Dobbie, A.M. Evaluation and management of cytomegalovirus associated congenital
hearing loss. 2017. Curr opin head and neck surg Vol 25 (5) p390-39.
27. Department of Health and Human Services. Center for Disease Control and prevention.
Epidemiology and Prevention of Vaccine Preventable Disease. 2005.
http://www.cdc.gov. (accesed Agustus 30, 2006).
28. Anonim. Rubella. http://www.cdc.gov/nip/publications/pink/rubella.pdf. (accesed
Agustus 30, 2006).
29. Matuscak R. Rubella Virus Infection and Serology. In: Clinical Immunolgy Principles
and Laboratory Diagnosis. Philadelphia, JB Lipincott Co. 1990; 215–23.
30. Banatvala JE, Brown DWG. Rubella. Prosiding Scientific Book (Compilation) Additional
Torch Infections Articles. PDS-PATKLIN Temu Ilmiah Surabaya (The Indonesian
Association of Clinical Pathologists). 2005; 7–14.
31. Gnansia ER. Congenital Rubella Syndrome. 2004.
http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-rubella.pdf. (accesed Agustus 30, 2006).

Anda mungkin juga menyukai