Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
Tuli kongenital merupakan gangguan pendengaran yang timbul pada saat lahir yang
disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan maupun pada saat kelahiran. Ketulian
ini dapat berupa tuli sebagian (hearing impaired) atau tuli total (deaf). Tuli kongenital dibagi
menjadi genetik herediter dan non genetik.1,2 Tuli kongenital merupakan salah satu masalah pada
anak yang akan berdampak pada perkembangan bicara, sosial, kognitif dan akademik. Masalah
makin bertambah bila tidak dilakukan deteksi dan intervensi secara dini.
Di negara maju, angka tuli kongenital berkisar antara 0,1 - 0,3 % kelahiran hidup,
sedangkan di Indonesia berdasarkan survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan di 7
Provinsi pada tahun 1994 - 1996 yaitu sebesar 0,1 %.2 Tuli kongenital di Indonesia diperkirakan
sebanyak 214.100 orang bila jumlah penduduk sebesar 214.100.000 juta (Profil Kesehatan,
2005). Jumlah ini akan bertambah setiap tahun dengan adanya pertambahan penduduk akibat
tingginya angka kelahiran sebesar 0,22%. WHO memperkirakan setiap tahun terdapat 38.000
anak tuli lahir di Asia Tenggara. Pertemuan WHO di Colombo pada tahun 2000 menetapkan tuli
kongenital sebagai salah satu penyebab ketulian yang harus diturunkan prevalensinya. Ini tentu
saja memerlukan kerjasama dengan disiplin ilmu lain dan masyarakat selain tenaga kesehatan.2
Congenital Rubella Syndrome Rubella atau campak Jerman adalah penyakit yang
disebabkan oleh infeksi virus rubella. Di anak-anak, infeksi biasanya hanya menimbulkan sedikit
keluhan atau tanpa gejala. Infeksi pada orang dewasa dapat menimbulkan keluhan demam, sakit
kepala, lemas dan konjungtivitis. Tujuh puluh persen kasus infeksi rubella di orang dewasa
menyebabkan terjadinya atralgi atau artritis. Jika infeksi virus rubella terjadi pada kehamilan,
khususnya trimester pertama sering menyebabkan Congenital Rubella Syndrome (CRS). CRS
mengakibatkan terjadinya abortus, bayi lahir mati, prematur dan cacat apabila bayi tetap
hidup.Per definisi CRS merupakan gabungan beberapa keabnormalan fisik yang berkembang di
bayi sebagai akibat infeksi virus rubella maternal yang berlanjut dalam fetus. Nama lain CRS
ialah Fetal Rubella Syndrome. Cacat bawaan (Congenital defect) yang paling sering dijumpai
ialah tuli sensoneural, kerusakan mata seperti katarak, gangguan kardiovaskular, dan retardasi
mental.3,4
BAB II
DAFTAR PUSTAKA
1. Defenisi
Tuli kongenital adalah gangguan pendengaran yang terjadi saat lahir, disebabkan oleh
terganggunya kemampuan telinga untuk mengubah energi mekanik getaran suara menjadi energi
listrik impuls saraf.1,5
a. Telinga Luar
Telinga luar, yang terdiri dari aurikula (atau pinna) dan kanalis auditorius
eksternus,dipisahkan dari telinga tengah oleh struktur seperti cakram yang dinamakan
membrana timpani (gendang telinga). Aurikulus memiliki 3 lapis struktur. Lapisan utama
oleh kartilago fibroelastis, lainnya oleh lapisan kulit.Terdapat jaringan subkutan minimal
antara kulit dan perikondrium. Aurikulus membantu pengumpulan gelombang suara dari
luar ke kanalis auditorius eksternus. 7.8
Gambar 1. Aurikula7
Kanalis auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5-3 sentimeter. Sepertiga lateral
mempunyai kerangka kartilago dan fibrosa padat di mana kulit terlekat. Dua pertiga
medial tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis.Tragus membentuk bagian anterior
dari kerangka kartilago. Secara langsung berada di depan kelenjar parotis. Nervus facialis
keluar dari foramen stylomastoid, 1 cm dari ujung tragus. Antara bagian anterior dan
inferior kerangka kartilago, terdapat fenestrasi kecil antara kartilago dinamakan fisura
Santorini. Bagian luar segmen kartilago, tebal dan mengandung rambut dan kelenjar,
keduanya memperoduksi sebasea dan serumen. Elemen ini dikenal sebagai unit
apopilosebaceous. Kulit 2/3 medial kanalis auditoeius eksternus sangat tipis, hanya
memiliki sedikit rambu dan tidak mengandung kelenjar, namun memiliki inervasi yang
baikdan sangat sensitif terhadap sentuhan, berkebalikan dengan kulit aurikula. Bagian
tulang kanalis auditorius eksternus dikenal juga sebagai cincin timpani.7.8
Koklea berbentuk seperti rumah siput terdiri atas skala media (ductus koklea) yang
berupa dua setengah lingkaran.5 Membran basilaris membentuk sisi horizontal dari
segitiga, membran reissner, sisi superior dan stria vascularis dengan ligamen spiral pada
sisi vertikal.11
Gambar 7. Potongan axial koklea
Organ corti merupakan kunsi area sensorik di skala media. Di tempat ini sel rambut
dalam dan luar terstimulasi oleh lengkukan stereosilia oleh gelombang suara. Gelombang
ditransmisikan dari vibrasi footplate stapes melalui cairan perilimfe ke membrana
basilaris. Membran ini menyempit dekat tingkap lonjong, tempat diterimanya frekuensi
tinggi dan secara perlahan melebar pada apex koklea tempat diterimanya frekuensi
rendah. Sel rambut mengirimkan impulnya melalui serat saraf di lamina spiralis menuju
nervus auditorik yang merubah energi mekanik menjadi energi elektrik.7
Embriologi Pendengaran
a. Telinga Luar
Liang telinga berasal dari celah brankhial pertama ektoderm. Membran timpani mewakili
membran penutup celah tersebut. Selama satu stadium perkembangannya, liang telinga
akhirnya tertutup sama sekali oleh suatu sumbatan jaringan telinga tetapi kemudian terbuka
kembali, namun demikian kejadian ini mungkin merupakan suatu faktor penyebab dari
beberapa kasus atresia atau stenosis. Pinna (aurikula) berasal dari pinggir-pinggir celah
brankhial pertama dan arkhus brankhialis pertama dan kedua. Aurikula dipersarafi oleh
cabang aurikulo temporal dari saraf mandibularis serta saraf aurikularis mayor dan oksipitalis
minor yang merupakan cabang pleksus servikalis. (Lihat gambar 9) 13.14
b. Telinga Tengah
Rongga telinga tengah berasal dari celah brankhialis pertama endoderm. Rongga berisi
udara ini meluas kedalam resesus tubutimpanikus (Gambar 10) yang selanjutnya meluas di
sekitar tulang- tulang dan saraf dari telinga tengah (Gambar 11) dan meluas kurang lebih
kedaerah mastoid. Osikula berasal dari rawan arkus brankhialis.untuk mempermudah
pemikiran ini maleus dapat dianggap berasal dari rawan arkus brankhialis pertama (kartilago
meekel), sedangkan inkus dan sapes dari rawan arkus brankhialis kedua (kartilago Reichert).
Saraf korda timpani berasal dari arkus kedua (fasialis) menuju saraf pada arkus pertama
(mandibularis- lingualis). Saraf timpanikus dari (dari jacobson) berasal dari saraf arkus
brankhialis ketiga (glosofaringeus) menuju saraf fasialis. Kedua saraf ini terletak dalam
telinga tengah. Otot- otot telinga tengah berasal dari otot- otot arkus brankhialis. Otot tensor
timpani yang melekat pada maleus, berasal dari arkus pertama dan dipersarafi oleh saraf
mandibularis (saraf kranialis kelima). Otot stapedius berasal dari arkus kedua, dipersarafi
oleh suatu cabang saraf ketujuh.13
Gambar 11. Potongan memanjang telinga luar dan tengah memperlihatkan perluasan mesenkim secara
progresif ke dorsal
c. Telinga Dalam
Plakoda otika ektoderm terletak pada permukaan lateral dari kepala embrio. Plakoda ini
kemudian tenggelam dan membentuk suatu lekukanotika dan akhirnya terkubur dibawah
permukaan sebagai vesikel otika. Letak vesikel otika dekat dengan otak belakang yang sedang
berkembang dan sekelompok neuron yang dikenal sebagai ganglion akustikofasialis. Ganglion
ini penting dalam perkembangan dari saraf fasialis, akustikus dan vestibularis. Vesikel
auditorius membentuk suatu divertikulum yang terletak dekat dengan serabut saraf yang
sedang berkembang dan kelak menjadi duktus endolimfatikus. Vesikel otika kemudian
berkerut membentuk suatu utrikulus superior (atas) dan sakulus inferior (bawah). Dari
utrikulus kemudian timbul tiga benjolan mirip gelang.lapisan membran yang jauh dari perifer
gelang diserap, meninggalkan tiga kanalis semisirkularis pada perifer gelang.sakulus
kemudian membentuk duktus koklearis berbentuk spiral. Secara filogenik, organ- organ akhir
khusus berasal dari neuromast yang tidak terlapisi yang berkembang dari dalam kanalis
semisirkularis untuk membentuk krista, dalam utrikulus dan sakulus membentuk makula, dan
dalam koklea membentuk organ korti. Organ-organ ini kemudian berhubungan dengan
neuron- neuron ganglion akustikofasialis. Neuron-neuron inilah yang membentuk ganglia
saraf vestibularis dan ganglia spiralis dari saraf koklearis.13
Gambar 13. Perkembangan dari skala timpani dan skala vestibuli, A. duktus kokhlea dikelilingi
oleh lapisan kartilaginosa. B. selama 10 minggu pertama, vakuol besar muncul pada lapisan
kartilaginosa, C. Duktus kokhlea (skala media) terpisah dari skala timpani dan skala vestibuli oleh
membrana basilaris.12
Gambar 14. Perkembangan dari organ corti, A. 10 minggu, B. 5 bulan, C. Neonatus
cukup bulan.13
d. Tulang Temporal
Tulang temporal yang membentuk telinga berasal dari empat bagian terpisah. Bagian
liang telinga yang bertulang berasal dari cincin timpani. Prosesus stiloideus berasal dari
rawan brakhialis kedua. Pars skuamosa berkembang dalam rawan, sedangkan pars petrosa
berasal dari kapsula kartilaginosa vesikel otika.terdapat garis- garis sutura di antar bagian-
bagian iniyang dapat terlihat pada tulang temporal. Prosesus mastoideus belum terbentuk
pada saat lahir dan ini bearti saraf fasialis bayi terletak sangat superfisialis. Turunan
resesustubotimpanikus yang terisi udara meluas dari telinga tengah melalui aditus sampai
antrum, yaitu daerah yang berisi udara dalam tulang mastoid. Namun demikian seberapa jauh
perluasan pneumatisasi pada bagian prosesus mastoideus yang terisi sangatlah
bervariasi.sebagian tulang amat sangat buruk pneumatisasinya atau menjadi sklerotik,
lainnya dengan pneumatisasi sedang atau diploik, tapi tulang mastoid sebagian besar tulang
petrosa dan sebagian tulang skuamous temporal umumnya dapat terisi oleh sel- sel udara.13
3. Klasifikasi dan Patofisiologi
Tuli kongenital dapat dibagi menjadi dua yaitu genetik dan didapat. Mekanisme dan
patofisiologi dapa dibedakan menjadi dua bentuk dibawah ini:
Homeostasis utama telinga dalam adalah stia vascularis yang berada pada dinding lateral
ductus koklear. Jaringan khusus ini secara spesifik memproduksi cairan unik, endolimfe,
membasahi sel rambut sensoris pada telinga dalam yang berperan penting dalam
transduksi auditorik. Komposisi unik endolimfe, kaya ion kalium (K+, 150 mM), rendah
ion natrium (Na+, 1 mM) dan dengan potensi positif endokoklear (+80-100 mV),
mencerminkan fungsi sejumlah kanal, pompa dan gap junstion. Stria vascularis terdiri
dari lapisan marginal, intermediet dan basal. Sel marginal permukaan langsung
endolimfe, sel intermediet dan basal berhubungann melalui gap junction satu sama lain
serta fibrosit dari ligamen spiralis (periosteum tebal yang membentuk dinding luar ductus
coclearis) dinding lateral. Jaringan gap junction ini, dengan protein yang dikodekan oleh
protein gen gap junction beta 2 dan 6, GJB2 dan GJB6, dan lainnya, memfasilitasi
transport ion antar sel. Mutasi pada GJB2 merupakan penyebab utama tuli kongenital
autosomal resesif berat di berbagai populasi.15
Ruang intrastrial (lapisan sel intermediet dan kapiler), terpisah dari lapisan sel marginal
dan lapisan sel basal oleh dua penghubung tebal, yang membatasi pergerakan pasif ion.
Komponen penghubung tebal meliputi klaudin, seperti Klaudin-14 yang dikode oleh
CLDN14 dan domain MARVEL yang mengandung protein 2 (dikenal sebagai
tricellulin), dikode oleh MARVELD2 dan mutasi pada salah satu gen tersebut
menyebabkan tuli kongenital autosomal resesif sindromik pada manusia. Mutasi pada
sejumlah gen diekspresikan pada stria vaskularis yang penting dalam homeostasis ion
dalam endolimfe menyebabkan berbagai bentuk sindrom ketulian (tabel 1) dan ketulian
non sindrom.15
Sebagian besar gen yang berimplikasi pada sindrom gangguan pendengaran berhubungan
dengan sindrom genetik tertentu, masing-masing dari sindrom tersebut ditransmisikan secara
genetik dengan pola tertentu (autosomal dominan, resesif dan lain-lain, fenotipe tertentu dan gen
terkait yang khusus. (lihat tabel 2)16
Sindrom Genetik
Transm Fenotipe Gen terkait
isi
Autoso WAARDEBURG (2-5% dari ketulian pada bayi) Tuli Tipe I, PAX3 Tipe II,
mal sensorineural, kelainan pigmentasi dari kulit dan MITF
domina rambut, dystopia canthorum, heterochromia iridis
nt dan hidung kurus.
Sindrom BRANCHIO-OTO-RENAL (2% dari tuli -
pada bayi) tuli sensorineural atau konduktif, telinga
berbentuk cangkir, lubang preaurikular, fistula
brankial dan kelainan ginjal bilateral.
Sindrom STICKLER, tuli sensorineural progresif
dengan bibir sumbing, perkembangan abnormal dari Tipe I, COL2A1, Tipe II,
epifisis, kelainan vertebra, osteoartritis, miopati, COL11A1 Tipe III,
ablasio retina dan degenerasi vitreoretina pada tipe 1 COL11A2
dan tipe 3.
TREACHER COLLINS, mikrotia dan malformasi Treacle
telinga, hipoplasia wajah, kelainan celah palpebra,
koloboma dari 1/3 luar kelopak mata bawah dan
mikrognatia.
NEUROFIBROMATOSIS TIPE II hipoakusis
Sensorineural dengan spot cafè-au-lait, meningioma NF2, SCH
(intrakranial dan spinal), ependimoma, glioma,
Kekeruhan lensa presenil, schwannoma (kranial,
spinal dan saraf tepi)
Autoso Sindrom USHER (3-5% dari tuli pada bayi) beberapa Miosina VIIa
mal subtipe berdasarkan tingkat ketuian. Disfungsi
recessiv vestibular, dan onset retinitis pigmentosa. Degenerasi (Hanya untuk Uscher Ib)
e retina bertahap mengakibatkan penurunan penglihatan
malam, penghilatan lapangan pandang perifer dan
kebutaan.
Sindrom PENDRED tuli sensorineural dan kelainan SLC26A4 (PDS)
metabolisme iodin dengan goiteer eutiroid. Terkadang
dideteksi saat lahir tetapi sering tidak terlihat secara
klinis hingga umur 8 tahun.
Sindrom JERVELL dan LANGE-NIELSEN tuli berat KVLQT1 KCNE1
hingga sangat berat dan interval QT memanjang
X- Sindrom ALPORT tuli sensorineural progresif COL4A5
linked disertai dengan kelainan ginjal (glomerulonephritis,
haematuria, kelainan ginjal dan kelainan mata)
Sindrom DOWN, setiap regio dari kepala dan leher
Kondisi dapat terpengaruh. Ketulian bersifat konduktif
kromos sekunder karena kelainan telinga tengah kronik atau
om karena kelainan tulang pendengaran. Selain itu sistem
(trisomi lain seperti kardiovaskular, genitourinaria,
a 21) muskuloskeletal dan okuler.
Sindrom kongenital (Penyebab tidak diketahui)
Sindrom GOLDENHAR (Sindrom Oculo-auricolo-vertebral)
kelainan perkembangan dari arkus brankial pertama dan kedua
dengan manifestasi otologik termasuk mikrotia/anotia dan
ketulian (konduktif > sensorineural), kelainan abnormal,
kelainan okuler, mokrosomia hemifasial, dan kelainan retina.
A. Rubella
Rubella, juga dikenal sebagai cacar jerman, merupakan family virus Togaviridae.
Genom virus ini memiliki rantai tunggal RNA dan ditutupi oleh kapsul isosahedral.
Rubella paling sering ditransmisikan melalui sekresi respiratorik selama batuk, bersin dan
berbicara. Pada dewasa immunokompeten, virus dapat timbul sebagai demam subfebris,
nyeri pergerakan bola mata, konjungtivitis, nyeri tenggorokan, sakit kepala, mual,
penurunan nafsu makan, arthritis transient dan nyeri tekan limpadenopati. Sebaliknya
pada kehamilan, virus berpotensi teratogen.5
Bayi dengan infeksi virus rubella kongenital umumnya lahir aterm, namun sering
memiliki berat lahir rendah dibandingkan neonatus yang tidak terinfeksi dengan umur
kehamilan yang sama. Komplikasi paling utama dari infeksi rubella kongenital adalah
gangguan pendengaran sensorineural (58%) dan paling sering terlihat apabila infeksi
maternal terjadi pada 16 minggu pertama kehamilan. Penemuan umum lainnya yaitu
defek jantung, katarak, hepato-splenomegali dan mikrosefali. .5.15 Gangguan
pendengaran, katarak dan penyakit jantung bawaan merupakan trias klasik manifestasi
sindrom rubella kongenital, walaupun gejala klinis dapat bervariasi berdasarkan waktu
infeksi fetus. Gangguan pendengaran yang berhubungan dengan sindrom rubella
kongenital dapat tidak terjadi sampai kelahiran.15 Mekanisme infeksi rubella yang
menginduksi gangguan pendengaran tidak dapat dijelaskan secara penuh, walaupun virus
dapat secara langsung menyebabkan kerusakan koklea, kematian sel organ corti dan stria
vascularis serta gangguan komposisi endolimfe yang diikuti kerusakan stria.5.15
Beberapa kasus hanya mempunyai satu gejala dan kehilangan pendengaran merupakan
cacat paling umum yang ditemukan di bayi dengan CRS. Definisi kehilangan
pendengaran menurut WHOadalah batas pendengaran ≥ 26 dB yang tidak dapat
disembuhkan dan bersifat permanen.27.28.31
Diagnosis kongenital Rubella Sindrom
Meskipun infeksi bawaan dapat dipastikan (konfirmasi) dengan mengasingkan
(isolasi) virus dari swab tenggorokan, air kemih dan cairan tubuh lainnya, tetapi
pengasingan tersebut mungkin memerlukan pemeriksaan berulang. Sehingga
pemeriksaan serologis merupakan pemeriksaan yang sangat dianjurkan. Pemeriksaan
antibodi IgM spesifik ditunjukkan untuk setiap neonatus dengan berat badan lahir rendah
yang juga memiliki gejala klinis rubella bawaan. Adanya IgM di bayi tersebut
menandakan bahwa ia telah terinfeksi secara bawaan, karena antibodi ini tidak dapat
melalui perbatasan (barier) plasenta.27.9
Antibodi IgG spesifik rubella mungkin dapat dihasilkan oleh bayi secara in vitro.
Masuknya IgG maternal melalui perintangan (barier) plasenta, menyebabkan sulitnya
membedakan antara antibodi yang dialihkan (transfer) secara pasif dan antibodi spesifik
yang dihasilkan sendiri oleh bayi. IgG spesifik rubella yang kanjang (persisten) hingga
berumur 6–12 bulan. Hal itu menandakan bahwa antibodi tersebut dihasilkan oleh bayi
dan menandakan adanya infeksi bawaan.7 Congenital Rubella Syndrome yang moderat
maupun berat dapat dikenali pada saat kelahiran, tetapi kasus ringan berupa gangguan
jantung ringan, tuli sebagian kadang tidak tertemukan pemeriksaan serologis rubella
berguna dalam studi epideimologi untuk menentukan keterlibatan virus rubella sebagai
penyebab kehilangan pendengaran sensorineural pada anak-anak.
B. Cytomegalovirus
CMV, merupakan famili Herpesviridae, salah satu agen infeksius penyebab disabilitas
perinatal. Sekali individu terinfeksi, DNA virus dapat terdeteksi dalam cairan tubuhnya
selama berbulan-bulan, khususnya di saliva dan urin anak dan berisiko terpapar pada
wanita hamil. Risiko infeksi CMV kongenital utamanya infeksi selama kehamilan,
dengan risiko transmisi vertical sebanyak 32%. Pada ibu dengan seropositive, risiko
transmisi selama reaktivasi dan reinfeksi hanya 1.4%. Seropositive CMV wanita pasca
persalinan di negara berkembang ~ 50%, insidensi infeksi CMV kongenital secara kasar
sebanyak 1 dari 100-200 kelahiran hidup.13
Patofisiologi yang mendasari tuli sensorineural infeksi CMV kongenital belum jelas
diketahui. Penelitian pada tulang temporal memperlihatkan inflamasi dan edema dari
koklea dan ganglion spiral, serta antigen virus ditemukan pada ganglion spiral, organ
corti, scala media dan membrane Reissner .Virulensi virus dan respon imunibu, fetus dan
plasenta memainkan peran penting pada hasil akhir. Kurang lebih 10% neonatus
terinfeksi CMV, simptomatik saat kelahiran dan risiko infeksi maternal paling tinggi
terjadi selama konsepsi atau selama trimester pertama kehamilan.13
Pasien dengan infeksi CMV asimptomatik sekitar 5% anak akan mengalami tuli
sensorineural ≥70 dB pada umur 12 bulan pada minimal 1 telinga sehingga skrining pada
bayi baru lahir sangat penting untuk identifikasi infeksi CMV asimptomatik yang dapat
berkembang menjadi tuli sensorineural.15
C. Toxoplasma
Pada toksoplasmosis kongenital, infeksi primer pada janin diawali dengan masuknya
darah ibu yang mengandung parasit ke dalam plasenta, sehingga terjadi plasentitis. Hal
ini ditandai dengan gambaran plasenta dengan reaksi inflamasi menahun pada desidua
kapsularis dan fokal reaksi pada vili. Inflamasi tali pusat jarang dijumpai. Parasit akan
menimbulkan keadaan patologik yang manifestasinya tergantung usia kehamilan.18
D. Herpes simpleks
Virus herpes simpleks tipe 1 dan 2 (HSV-1 dan HSV-2) adalah golongan herpeviridae
yang sering menginfeksi manusia. Di amerika sendiri infeksi virus ini diperkirakan
1/3200 kelahiran dengan mayoritas tipe HSV-2. 19
Infeksi herpes kongenital umumnya terjadi akibat terpapar HSV- 1 atau HSV-2 selama
persalinan. Infeksi neonatus lebih sering terjadi pada wanita yang terkena infeksi selama
masa akhir kehamilan atau memeiliki lesi herpetik pada jalan lahir. Disamping itu, 30%
wanita hamil dapat memberikan hasil serologi positif tanpa riwayat infeksi HSV-2 serta
bersifat asimptomatik, hal ini dapat menyebabkan infeksi pada neonatus.4 Transmisi
sekitar 85% peripartum, 10% postnatal dan 5% in utero. Prevalensi dari kejadian tuli
kongenital akibat infeksi virus herpes simpleks HSV-2 bervariasi mulai dari 0-33%.19
E. Sifilis
Sifilis kongenital dan post natal diakibatkan oleh infeksi bakteri Treponema pallidum.
Kasus sifilis kongenital di Amerika pada tahun 2013 yaitu 0,9/100.000 kelahiran, kasus
ini cukup jarang sehingga kasus tuli kongenital akibat sifilis juga sering tidak
diidentifikasi. Gejala khas dari sifilis kongenital yaitu trias hutchinson berupa keratitis
interstisial, incisors nothced dan tuli sensorineural, tetapi dapat pula muncul dengan
gejala hanya tuli sensorineural saja.19
F. Obat teratogenik
Otoacoustic emission menghasilkan suara yang disebabkan pergerakan sel rambut luar
sebagai respon stimulus auditorik. Transient evoked otoacoustic emission terjadi setelah
stimulus tekan. Gelombang tekanan suara berosilasi sebagai respon terhadap pergerakan
membran timpani yang terdorong ke belakang dan kedepan oleh fluktuasi tekanan di
koklea. Respon transient evoked oto-acoustic emission memberikan frekuensi spesifik
yang mengindikasikan secara spesifik status koklear dan dapat dinilai dengan alat kecil di
kanalis auditorik eksternus. Untuk mendeteksi membutuhkan transmisi suara adekuat dari
dan ke koklea, oto-acoustic emissions bukan merupakan tes individu untuk menilai status
pendengaran normal, namun harus diinterpretasikan dalam konteks otoskopi,
timpanometri dan tes auditory brain stem responses.13
Auditory brain stem responses (ABR/BERA) dan auditory steady state response
(ASSR)
Auditory brain stem response merupakan potensial elektrik yang dikeluarkan stimulus
auditorik yang merefleksikan aktivitas neural pada beberapa titik keluarnya sepanjang
perjalanan auditorik. Aktivitas ini direkam dari elektroda kulit kepala menggunakan
teknik rerata komputer. Auditory brain stem response klik dan nada umumnya digunakan
dan sebagai gold standar untuk penilaian objektif standar pada bayi dan anak di semua
usia. Ambang batas umumnya berjarak 10 dB dari ambang batas auditorik pada frekuensi
tinggi (2000-4000 Hz).13
Audiometri
-Keterbatasan teknis
(posisi dari probe,
obstruksi, bising)
Auditory Bayi Tipe dari potensial -Standar baku dari -Evaluasi ambang (tidak
Brain-Stem berumur 26 auditori adalah seri skrining bayi lebih dari 80-90 dB)
Evoked minggu dari 7 puncak yang dengan risiko terbatas pada frekuensi 1
Response (ketika muncul dari nervus tinggi audiologi dan 4 kHz
(ABR) myelnisasi auditorius dan (dapat dipercaya,
mulai) struktur batang murah) -amplitudo terlalu kecil,
penanganan otak yang muncul gelombang I dari nervus
ini hingga dalam 10 msec dari -Perkiraan auditorius
umur 3 intensitas sedang objektif ambang
bulan. dari stimulus klik. pendengaran -Kelainan diatas dari
Setelah kllikulus inferior tidak
umur 12-18 -Pemeriksaan teridentifikasi
bulan, dengan kondisi
parametern nyaman. (spontan, -Perhatian dari diagnosis
ya sama sedasi) definitif dari kelainan
dengan pendengaran pada bayi
dewasa. -Bermanfaat baru lahir karena variasi
dengan anak yang dari proses maturasi
tidak kooperatif
-interpretasi cukup sulit
-Diagnosis pada respon dari anak
banding antara dengan efusi telinga
patologis kokhlea tengah
dan retrokokhlea
Auditory Semua Pemeriksaan ASSR - Konjugasi -Hasil dipengaruhi oleh
Steady-State umur dipicu oleh nada diantara intensitas ritme tidur-bangun,
Response berkelanjutan tinggi stimulasi pergerakan dari pasien
(ASSR) (pembawa) suara dan dan pemberian obat.
dimodulasi pada frekuensi spesifik.
frekuensi dan/atau
amplitudo. Respon - Rekonstruksi
yang diberikan dari pendengaran
dengan gelombang dengan ambang
kompleks yang yang sesuai
berhubungan dengan stimulus
dengan fase nada
definitif dari
stimulus. -peningkatan
korelasi dengan
frekuensi sedang-
rendah
Elektrokokhleo Semua Elektrokokhleograf -Pilihan kedua -Metode invasif yang
grafi umur i menggunakan setelah ABR membuthkan
respon elektrik dari untuk estimasi pembedahan dan
koklea mengikuti ambang pembiusan umu
suara masif dari pendengaran
stimulus potensial -evaluasi audiologis
kemudian direkam -karakteristik terbatas pada frekuensi 1-
dari elektroda yang lebih baik pada 4 kHz
diletakkan pada ketulian
kokhlea dibandingkan -mahal
dengan ABR
-menguatkan
gelombang I pada
ABR
-bermanfaat pada
kasus dimana
tidak terdapat
respon ABR
Timpanometri Semua -tes yang -Metode non -Pada umur kurang dari 6
umur mengukur dari invasif, yang tidak bulan sensitifitas tes akan
compliance dari membutuhkan berkurang akibat
membran timpani partisipasi aktif peningkatan ketegangan
dari kanal telinga
-Bermanfaat
untuk mendeteksi -membutuhkan tes
kelainan telinga tambahan (otoskopi,
tengah utamanya refleks, audiometri
pada anak
Refleks Semua Tes unuk refleks -Berguna pada -Tidak bisa mengukur
akustik umur kontraksi dari otot ketulian pada ambang pendengaran
intratimpani yang anak untuk
dihasilkan dari evaluasi dari -tes tambahan
stimulasi suara fungsi telinga dibutuhkan
intensitas tinggi tengah
-Diagnosis
penyakit
neurologis
Tes subjektif
CRIB-O- 0-6 bulan -berdasarkan Tes preliminer - evaluasi non spesifik
GRAM observasi, postural pada bayi - variasi masing-masing
dan reaksi individu
psikoemotif setelah - sering terjadi kesalahan
stimulasi suara. akibat reaksi dari bayi
Tes Boel 6-12 bulan Tes ini Tes multifungsi -metode non definitif
mengevaluasi yang yang membutuhkan tes
refleks tidak mengkombinasika diagnostik
terkondisi dari n visual dan
pandangan mata stimulus suara
setelah stimulasi
suara.
Behavioural > 6 bulan Observasi positif - BOA dapat - diskriminasi prosedur
Observation atau negatif respon menyediakan -respon perilaku pada
Audiometry perilaku pada pandangan pada suara dapat saja
(BOA) orientasi dan lokasi kualitas memberikan ambang
dari suara pada pendengaran anak pendengaran yang tidak
lapangan bebas responsif dan akurat
memprediksi dari
kurva audiometrik
Visual 1-3 tahun Pada VRA kondisi • Tes yang Respon variabilitas
Reinforcement dari kepala pada mengukur akibat beberapa faktor
Audiometry atraktif stimulus ambang (umur, kondisi anak,
(VRA) visual yang pendengaran stres emosional akibat
teraktifasi dari binaural pada lingkungan)
sumber suara lapangan bebas
Conditioned 2-5 tahun Respon kondisi Menyediakan tes Variabilitas akibat
Play dari suara pendengaran beberapa faktor (anak,
Audiometry menunjukkan binaural udara dan stres emosional
pendekatan yang tulang.
efeltif pada anak
yang lebih tua
b. Diagnosa
Pada saat tuli kongenital permanen bilateral telah ditegakkan, perlu dilakukan pencarian
etiologi penyebabnya. Pedoman yang telah tersedia meliputi skrining infeksi kongenital,
pencitraan dan tes genetik. Lini pertama tes genetik umumnya terbatas pada pemeriksaan
mutasi GJB2 dan GJB6. Pemeriksaan disertakan dengan skrining oftalmlogi untuk menilai
tanda okular infeksi kongenital dan sindrom spesifik terkait, ultrasonografi ginjal untuk
melihat malformasi kongenital, elektrokardiogram untuk melakukan eksklusi terhadap
sindrom long QT (Jervell Lange-Nielsen) dan tes lainnya yang didasarkan pada penemuan
klinis. Pada gangguan pendengaran unilateral, pemeriksaan etiologi dapat dibatasi melalui
pemeriksaan klinis sindrom penyebab gangguan pendengaran, pemeriksaan infeksi
kongenital yang kemungkinan terjadi dan pencitraan telinga dalam. Sebagian besar pedoman
pemeriksaan etiologi tuli kongenital tidak memasukkan kekuatan giagnostik teknologi
sequens DNA lanjut dan tes genetik komprehensif menggunakan panel gen. Pedoman yang
dipublikasikan oleh American College of Medical Genetic sand Genomics mengakui nilai
teknologi terbaru dan merekomendasikan penggunaan panel gen. Disamping itu, penggunaan
algoritma diagnostik berdasarkan derajat gangguan pendengaran dianjurkan pada anak
dengan tuli kongenital bilateral dan melalui pendekatan multidisiplin,faktor etiologi dapat
diidentifikasi pada kurang lebih setengah pasien.12
Pemeriksaan etiologi untuk tuli kongenital harus dilaksanakan dengan berbagai alasan.
Pemeriksaan dapat memberikan jawaban kepada orang tua mengenai alasan anak mereka
mengalami gangguan pendengaran, dapat memberikan konseling genetik secara akurat dan
personal, serta memberikan kebebasan atas rasa bersalah pada beberapa kasus dan
tatalaksana bantuan. Diagnosis genetik memberikan estimasi akurat terhadap risiko gangguan
pendegaran pada anak kedepannya dan dapat berguna bagi orang tua untuk membuat
perencanaan keluarga. Identifikasi etiologi dapat membantu pemilihan terapi yang sesuai
atau pilihan tataksana (contohnya alat bantu dengar, implantasi koklea atau kebutuhan
edukasional), dapat mengidentifikasikan masalah kesehatan terkait yang perlu diterapi atau
dipantau, melindungi terhadap faktor risiko gangguan pendengaran di kemudian hari (seperti
penggunaan aminoglikosida dan trauma kepala) serta dapat memprediksikan progesivitas
gangguan pendengaran hingga titik tertentu.
Diagnostik genetik
Diagnostik genetik selalu diawali dengan riwayat keluarga dan membuat silsilah
keluarga. Informasi ini bermanfaat untuk mengetahui kemungkinan terbesar bentuk
pewarisan, yang secara langsung memberikan daftar gen kausatif potensial. Pasien tanpa
anggota keluarga dengan riwayat serupa kemungkinan merupakan kasus keturunan
autosomal resesif, namun penyebab gangguan pendengaran dari lingkungan harus selalu
dipertimbangkan.
Gambar 20. algoritma pada bayi baru lahir dengan tuli konduktif atau campuran
(conductive or mixed hearing loss)22
Diagnostik tuli kongenital didapat
Setiap neonatus dengan tanda infeksi kongenital harus dilakukan tes terhadap infeksi
CMV, sebagaimana diketahui infeksi CMV menyebabkan kasus tuli kongenital non
genetik di negara berkembang. Infeksi ini harus dipertimbangkan pada anak dengan
gangguan pendengaran pada anak yang sehat dan asimptomatik. 13
Diagnosis infeksi pada perempuan dengan kecurigaan terinfeksi CMV yang menderita
gejala demam, kelelahan dan sakit kepala dengan tes serologi yaitu IgG, IgM, dan IgG
avidity, konfirmasi diagnosis pada janin dapat dilakukan setelah umur 20-21 dari gestasi
dan minimum 6 bulan dari infeksi pada ibu dengan tes PCR menggunakan cairan
amnion.17
Tanda dan gejala infeksi CMV meliputi retardasi intrauterine, mikrosefali dan ikterik
dengan gangguan pendengaran sensorineural pada 30% anak terinfeksi CMV
simptomatik. Oleh karena itu, evaluasi diagnostik diindikasikan. Pada keadaan pre-natal,
PCR CMV pada cairan amnion dapat memastikan infeksi CMV kongenital (nilai
prediktif positif mendekati 100%).13
Setelah kelahiran, urin, saliva atau spsimen swab neonatus harus diambil (sample
harus diambil selama 3 minggu kelahiran, karena setelah waktu ini virus direfleksikan
sebagai infeksi didapat postnatal dan bukan infeksi kongenital) dan dilakukan analisa.
Pada anak yang sedang dievaluasi etiologi tuli sensorineural berusia dibawah 3 minggu,
infeksi CMV kongenital hanya dapat dipastikan secara retrospektif, menggunakan dried
newborn blood spots yang disimpan sebagai bahan diagnosis PCR.16 Di beberapa negara
berkembang, sampe darah rutin diambil pada minggu pertama kelahiran sebagai skrining
metabolik, endokrin dan penyakit lainnya. Ketersediaan sample ini, bergantung terhadap
kebijakan penyimpanan lokal, disamping itu, bloodspots memiliki sensitivitas diagnostik
suboptimal dibandingkan sampe saliva atau urin yang didapatkan secara langsung.13
Diagnosis laboratorium infeksi rubella kongenital dapat dibuat dalam waktu 12 bulan
setelah kelahiran. Infeksi rubella didiagnosa apabila memenuhi salah satu dari 4 kriteria:
titer IgM anti-rubella posytif (dapat dinilai menggunakan enzim immunoassay),
peningkatan titer IgG anti-rubella setelah fase akut infeksi atau titer tinggi secara
persisten melebihi perkiraan transfer pasif antibodi maternal, isolasi virus rubella dari
kultur spesimen tenggorok, darah, urin dan cairan serebrospinal atau deteksi virus dengan
transkriptase PCR pada swab tenggorok, cairan serebrospinal atau sampe operatif (dari
katarak kongenital, virus dapat diisolasi dari lensa). Hasil laboratorium tambahan dapat
memastikan infeksi rubella kongenital antara lain trombositopenia, hiperbilirubunemia
dan leukopenia. Infeksi rubella kongenital masih endemik pada beebrapa negara dengan
pendapatan rendah, oleh karena itu infeksi rubella harus dipertimbangkan pada gangguan
pendengaran apabila infeksi didapatkan pada riwayat dan secara epidemiologi.13
a. Tatalaksana
Manajemen non bedah saat ini berfokus pada dua area intervensi yaitu terapi antimikroba
spesifik dan anti inflamasi untuk mengurangi respon imun tubuh terhadap infeksi sehingga
mengurangi kerusakan pada cochlea. Selain itu dapat juga diberikan anti-oksidan atau terapi
nanopartikel. Penanganan bedah juga diperlukan pada kasus dimana terdapat air-bone gap
yang hanya dapat dikoreksi dengan pembedahan. Penangnan lainnya yaitu dengan edukasi
dan latihan bahasa isyarat13
a. Terapi nonbedah
- Cytomegalovirus
- Infeksi lain
b. Restorasi pendengaran
- Alat bantu dengar konvensional
- Implan koklea
Pasien dengan tuli sensorineural sedang sampai berat, penggunaan alat bantu
dengar konvensional dapat memberikan rehabilitasi pendengaran yang
memuaskan. Tetapi jika derajat ketulian telah mencapai tingkat berat-sangat berat,
maka alat bantu konvensional tidak dapat lagi memberikan hasil pemahaman yang
baik terhadap suara dan implan kokhlea menjadi lebih dipilih. Saat ini implant
kokhlea tidak terbatas pada pasien dengan tuli berat-sangat berat, saat ini pasien
dengan pendengaran frekuensi rendah yang baik namun buruk saat frekuensi tinggi
pun dapat menggunakannya. Pada pasien seperti ini, implan hybrid atau stimulasi
otoakustik menjadi pilihan karena dapat meningkatkan kualitas suara dengan
kombinasi suara alami pada frekuensi rendah. Implan kokhlea saat ini menjadi
penanganan standar bagi anak dengan tuli kongenital sangat berat dimana orang
tua pasien memilih untuk berkomunikasi secara oral. Hasil dari implan kokhlea
pada anak bergantung dari etiologi dan komorbiditas, utamanya pada anak dengan
syndromic hearing loss.13
1. Hendarmin H, Suwento R. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak. Dalam: Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher, edisi keenam. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. 32-36.
2. Vos, Bénédicte et al. “Newborn Hearing Screening Programme in Belgium: A Consensus
Recommendation on Risk Factors.” BMC Pediatrics 15 (2015): 160. PMC. Web.
3. Reef S, Coronado V. Congenital Rubella Syndrome. http://www.deafblind.com/crs.htlm.
(accesed Agustus 30, 2006).
4. Anonim. The Delayed effects of Congenital Rubella Syndrome.
http://www.sense.org.uk/publication/all pubs/rubella/R03.htm. (accesed 11 Januari,
2007).
5. Crowe, Kathryn, Sharynne McLeod, and Teresa Y.C. Ching. “The Cultural and
Linguistic Diversity of 3-Year-Old Children with Hearing Loss.” The Journal of Deaf
Studies and Deaf Education 17.4 (2012): 421–438. PMC.
6. Cohen, Brandon E., Anne Durstenfeld, and Pamela C. Roehm. “Viral Causes of Hearing
Loss: A Review for Hearing Health Professionals.” Trends in Hearing 18 (2014):
2331216514541361. PMC. Web. 9 Sept.
7. Soetirto I, Hendarmin H, Bashiruddin J.. Buku Ajar Ilmu Kesehata Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. 2012.Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
8. Menner, Albert L. A Pocket Guide to the Ear. 2003. New York: Thieme Medical
Publishers
9. Mahony JB, Chernesky MA. Rubella Virus. In: Manual of Clinical Laboratory
Immunology. Sixth Ed. Washington DC, American Society of Microbiology, 2002; 687–
95.
10. Lalwani A K. Current diagnosis and treatment Otolaryngology Head and Neck Surgery.
2007.New York : McGraw-Hill
11. Probst R et al. Basic Otorhinolaringology. 2006.New York: Thieme Medical Publishers.
12. Snow, James B Jr. Ballenger’s Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery.
2002. London: BC Decker
13. Paulsen F& Waschke J. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Edisi 23 Jilid 3. 2012. Jakarta:
EGC
14. Adams, G.L., Boies, L.R. dan Higler, P.A. BOIES buku ajar penyakit THT edisi 6. 2002.
Jakarta : EGC.
15. Sadler, T.W. Langman’s Medical Embryology 12th edition. 2012.USA : Lippincott
Williams & Wilkins.
16. Korver et al. Congenital hearing loss. 2018. Nat Rev Dis Primers . ; 3: 16094.
doi:10.1038/nrdp.2016.94
17. Paludetti G. Infant hearing loss: from diagnosis to therapy Official Report of XXI
Conference of Italian Society of Pediatric Otorhinolaryngology. 2012. ACTA
Otorhinolaryngologica italica ;32:347-370
18. Lenzieri, T.M., Chung, W., Flores, M., Blum, P., Caviness C., Bialek, S.R. dkk.. Hearing
Loss in Children With Asymptomatic Congenital Cytomegalovirus Infection. 2017.
PEDIATRICS Vol 139 (3) :e 20162610
19. Lanzieri, T.M dkk. Long-term outcomes of children with symptomatic congenital
cytomegalovirus disease. J Perinatol . 2017 July ; 37(7): 875–880. doi:10.1038/jp.
20. Rawlinson, W.D., Bappona, S.B., Fowler,K.B., Kimberlin, D.W., Lazzarotta, T., Alain,
S., dkk. Congenital cytomegalovirus in pregnancy and the neonate : consensus
recommendation for prevention, diagnosis and therapy. 2017. Lancet infect dis Vol.17
pe177-e188.
21. Aryani I.G.A D. Toxoplasmosis Kongenital. 2017. CDK-255/ vol. 44 no. 8 th.
22. Kenna, M.A. Acquired hearing loss in children. 2015. Otolaryngology Clin An M p1-2
23. B. J. Liming, J. Carter, A. Cheng, D. Choo, J. Curotta, D. Carvalho dkk. International
Pediatric Otolaryngology Group (IPOG) Consensus Recommendations: Hearing Loss in
the Pediatric Patient. 2016. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology, doi:
10.1016/j.ijporl.2016.09.016.
24. Butler B E & Lomber S.G.. Functional and structur changes throghout the auditory
system following congenital and early onset deafness: implication for hearing restoration.
2013 Frontiers in system neuroscience. Vol.7 (92)
25. WHO. 2016. Childhood hearing loss : strategies for prevention and care.
26. Dobbie, A.M. Evaluation and management of cytomegalovirus associated congenital
hearing loss. 2017. Curr opin head and neck surg Vol 25 (5) p390-39.
27. Department of Health and Human Services. Center for Disease Control and prevention.
Epidemiology and Prevention of Vaccine Preventable Disease. 2005.
http://www.cdc.gov. (accesed Agustus 30, 2006).
28. Anonim. Rubella. http://www.cdc.gov/nip/publications/pink/rubella.pdf. (accesed
Agustus 30, 2006).
29. Matuscak R. Rubella Virus Infection and Serology. In: Clinical Immunolgy Principles
and Laboratory Diagnosis. Philadelphia, JB Lipincott Co. 1990; 215–23.
30. Banatvala JE, Brown DWG. Rubella. Prosiding Scientific Book (Compilation) Additional
Torch Infections Articles. PDS-PATKLIN Temu Ilmiah Surabaya (The Indonesian
Association of Clinical Pathologists). 2005; 7–14.
31. Gnansia ER. Congenital Rubella Syndrome. 2004.
http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-rubella.pdf. (accesed Agustus 30, 2006).