Anda di halaman 1dari 7

Perjanjian Tertutup dan Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri Dalam Praktek Larangan Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat

A. Pendahuluan

Prinsip ekonomi yang telah menjadi rahasia umum adalah dengan modal yang seminimal mungkin
akan mendapatkan untung semaksimal mungkin. Pelaku usaha akan berusaha untuk mengeluarkan
modal seminimal mungkin untuk mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin.

Setiap pelaku usaha tentunya akan saling bersaing untuk mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin
dari modal yang seminimal mungkin dikeluarkan oleh para pelaku usaha. Era globalisasi sekarang ini
tambah menyeret para pelaku pasar untuk bersaing mendapatkan keuntungan yang lebih luas. Agar
mendapatkan keuntungan yang maksimal, pelaku usaha terkadang bahkan sering melakukan tindakan
yang kurang bahkan tidak jujur yang dapat menghambat pelaku usaha lain dalam melaksanakan prinsip
ekonominya.

Pelaku usaha dapat menggunakan kekuatannya sendiri atau ada juga yang melakukannya dengan
berkolaborasi dengan orang lain guna mencapai keuntungan semaksimal mungkin. Pelaku usaha yang
berkolaborasi dengan pelaku usaha lain untuk membentuk rekayasa pasar sesuai dengan keuntungan
yang diharapkan.

Agar para pelaku pasar tidak saling menjadi serigala antarpelaku pasar maka dibentuklah suatu
aturan yang membatasi tindak tanduk pelaku pasar dalam meraup keuntungannya. Pembatasan itu
diundangkan oleh pembentuk undang-undang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Tujuan pembentuk undang-undang mengundangkan undang-undang ini dinyatakan dalam pasal 3,


yaitu:

a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;

b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga
menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha
menegah dan pelaku usaha kecil;

c. Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku
usaha; dan

d. Terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha

Untuk mencapai tujuan tersebut, negara yang mengumumkan undang-undang ini dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3817, mengatur berbagai perjanjian dan perbuatan yang dilarang. Perjanjian yang dilarang
menurut undang-undang ini adalah:
1. Oligopoli (pasal 4)

2. Penetapan Harga (pasal 5 – pasal 8)

3. Pembagian Wilayah (pasal 9)

4. Pemboikotan (pasal 10)

5. Kartel (pasal 11)

6. Trust (pasal 12)

7. Oligopsoni (pasal 13)

8. Integrasi Vertikal (pasal 14)

9. Perjanjian Tertutup (pasal 15)

10. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri (pasal 16)

Perbuatan yang dilarang dalam undang-undang ini diatur dalam pasal 17 sampai dengan pasal 29, yaitu:

1. Monopoli

2. Monopsoni

3. Penguasaan Pasar

4. Persekongkolan

5. Posisi Dominan

6. Jabatan Rangkap

7. Pemilikan Saham

8. Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan

Dalam perjanjian yang dilarang, terdapat perjanjian tertutup dan perjanjian dengan pihak luar negeri
yang sedikit terpublikasikan, padahal perjanjian ini memiliki dampak yang signifikan dalam persaingan
usaha. Pertanyaan yang timbul, apa dan bagaimana perjanjian tertutup dan perjanjian dengan pihak luar
negeri yang dimaksudkan dalam pasal 15 dan pasal 16 dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?

B. Pembahasan

Secara yuridis formil, Perjanjian yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehatadalah suatu perbuatan satu atau
lebih dari pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama
apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis (pasal 1 angka 7). Perjanjian yang dimaksud undang-undang
ini adalah perbuatan baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang dilakukan oleh pelaku usaha.
Perjanjian bukan hanya dalam bentuk tulisan akan tetapi juga perbuatan-perbuatan yang membuat
hilangnya persaingan, pembatasan produksi dan peningkatan harga[1].

Pelaku usaha sebagai subjek hukum dalam undang-undang ini adalah setiap orang perorangan atau
badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggara-kan berbagai kegiatan usaha dalam bidang
ekonomi.

Pasal 15 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, melarang pelaku usaha membuat perjanjian tertutup atau secara umum
dikenal sebaga Dealing Agreement, dengan:

1. pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya
akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan
atau pada tempat tertentu (ayat 1).

2. pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus
bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok (ayat 2).

3. pihak lain mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat
persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasokharus
bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau tidak akan membeli barang
dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha
pemasok (ayat 3).

Ayat 1 secara umum dikenal sebagai exclusive distribution agreement, dimana pelaku usaha
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk hanya atau tidak memasok kembali produksi
kepada pihak tertentu atau pada tempat tentu. Exclusive distribution agreement biasanya dilakukan oleh
perusahaan manufaktur yang menghasilkan suatu produk dari hasil industri yang memiliki beberapa
pelaku usaha lain yang menjadi distributor atau penyalur atas hasil produksi industrinya. Pelaku usaha
tidak menghendaki terjadinya persaingan usaha yang sehat di tingkat distributor atau penyalur hasil
produksi. Jika tidak terjadi persaingan usaha dalam tingkat distributor maka harga atas hasil produksi
akan menjadi mahal dan akan memberikan keuntungan dari hasil rekayasa kepada pelaku usaha yang
memproduksi. Pembatasan di tingkat distributor dan wilayah pemasarannya menimbulkan kedudukan
istimewa atau ekslusif bagi pihak distributor untuk meningkatkan harga dan akan memberikan
keuntungan dari hasil rekayasa kepada pihak distributor dan pelaku usaha yang memproduksi.

Contoh exclusive distribution agreement adalah suatu industri yang memproduksi mobil mewah
membuat perjanjian dengan distributornya untuk menjual hasil produksi berupa mobil mewah hanya di
ibukota negara saja. Oleh karena hanya dijual di ibukota negara saja maka membuat harga untuk
pembelian di daerah menjadi lebih mahal dan tidak memberikan kesempatan kepada distributor di
daerah untuk menjadi distributor.

Ayat 2 dikenal secara umum sebagai tying agreement, dimana pelaku usaha membuat perjanjian
dengan pelaku usaha lainnya yang mensyaratkan pihak yang menerima barang atau jasa tertentu harus
bersedia membeli barang atau jasa lain dari pelaku usaha yang memproduksi. Pelaku usaha melakukan
perluasan usahanya secara monopoli pada hasil produksi yang pertama kali dijual dan hasil produksi
yang dipaksakan harus dibeli juga oleh konsumen. Kekuatan monopoli yang dimiliki oleh pelaku usaha
yang memproduksi secara sekaligus atas hasil produksi yang dijual dan wajib dibeli dapat mengganggu
kesempatan pelaku usaha pesaing untuk bersaing secara sehat. Di sisi konsumen, typing agreement
membuat konsumen tidak bebas memilih hasil produksi yang dibutukannya dengan harus membeli
barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan oleh konsumen.

Contoh kasus untuk typing agreement adalah kasus perjanjian penjualan tiket PT. (Persero)
Perusahaan Penerbangan Garuda Indonesia (Garuda) pada biro perjalanan. Dalam proses reservasi tiket
Garuda dapat dilakukan secara manual melalui telepon atau melalui sistem online. Garuda
mengembangkan teknologi penjualan tiket secara online pada tahun 2000 dan mulai mensyaratkan
kepada para biro perjalanan untuk melakukan reservasi tiketnya melalui suatu sistem aplikasi bernama
AGRA. Untuk dapat mengakses AGRA, semua biro perjalanan yang hendak menjual tiket harus menyewa
sistem jaringan hasil produksi dari Abacus Connection. Penyewaan yang sifatnya wajib ini mengakibatkan
biro perjalanan harus mengeluarkan biaya persewaan sistem jaringan Abacus Connection, dan biaya
persewaan ini menjadi biaya produksi yang memberatkan biro perjalanan dan konsumen.

Ayat 3 dikenal sebagai secara umum sebagai vertical agreement on discount, dimana pelaku usaha
membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memberikan potongan harga atas hasil produksi
yang dibeli pelaku usaha lain. Pelaku usaha harus bersedia membeli produk lain dari pelaku usaha
pemasok atau tidak akan membeli produk sejenis dari pelaku usaha pesaing dari pelaku usaha pemasok.
Vertical agreement on discount dapat menghilangkan kesempatan pelaku usaha pesaing dari pelaku
usaha pemasok untuk membeli bersaing secara sehat.

Contoh dari vertical agreement on discount ini adalah perjanjian ABC dengan pemilik toko atau
grosir di Jawa dan Bali. Perjanjian itu diadakan untuk menyukseskan Program Geser Kompetitor selama
Maret 2004 hingga Juni 2004 yang digalakkan oleh ABC. Dalam perjanjian itu, ABC akan memberikan
potongan harga sebesar 2% (dua persen) jika toko atau grosir memajang baterai ABC dan tambahan
potongan 2% jika tidak menjual baterai Panasonic. Hal ini secara jelas dan nyata mengganggu pelaku
usaha lain (Panasonic) untuk bersaingan di pasar Jawa dan Bali selama Maret 2004 hingga Juni 2004.

Perjanjian dengan pihak luar negari yang dalam pasal 16 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, adalah perjanjian pelaku usaha
dalam negeri dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Setiap subjek hukum diperkenankan
untuk melakukan perjanjian dengan siapapun tanpa dibatasi, akan tetapi apabila perjanjian tersebut
menjadi bertentangan dengan undang-undang jika pihak luar negeri tersebut membuat perjanjian yang
pada prinsipnya terkategorikan sebagai Oligopoli, Penetapan Harga, Pembagian Wilayah, Pemboikotan,
Kartel, Trust, Oligopsoni, Integrasi Vertikal, Perjanjian Tertutup, Monopoli, Monopsoni, Penguasaan
Pasar, Persekongkolan, Posisi Dominan, Jabatan Rangkap, Pemilikan Saham, Penggabungan, Peleburan
dan Pengambilalihan.

Perbuatan yang merugikan pihak lain akan mengganggu keseimbangan dari kehidupan sosial
masyarakat. Kerugian di pihak lain tentunya membawa konsekuensi logis adanya keuntungan di pihak
lain. Kerugian dapat dialami oleh masyarakat umum dan/atau pelaku usaha pesaing sedangkan
keuntungan dalam hal ini dinikmati oleh pelaku usaha yang melakukan rekayasa pasar. Keadaan yang
seimbang bertentangan dengan asas kesimbangan yang menjadi asas dasar yang difundamentalkan oleh
negara dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat.

Contoh kasus dalam perjanjian dengan pihak luar adalah kasus perjanjian antara Astro All Asia Network
dan PT. Direct Vision dengan ESPN Star Sport dalam halhak siar ekslusif Barcalys Premier League. Astro
All Network dan EPN Star Sport telah membuat perjanjian untuk penunjukan operator televise di
Indonesia yang mendapatkan hak siar ekslusif Barcalys Premier League. Pihak Astro All Network
membuat perjanjian penunjukan langsung kepada PT.Direct Vision yang mendapatkan satu-satunya hak
siar atas Barcalys Premier League di Indonesia. Atas penunjukan langsung kepada satu-satunya pelaku
usaha maka akan mengganggu atau menghambat operator televisi di Indonesia lainnya untuk bersaing.

Perjanjian Tertutup dan Perjanjian dengan Pihak Luar tidak semua dilarang dalam praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat. Pembentuk undang-undang memberikan batasan atau pengecualian pada
pasal 50 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat, terhadap[2]:

1. Perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan


yang berlaku;

2. Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti paten, merek, hak cipta,
desain industri, tata letak sirkuit terpadu, rahasia dagang, varietas tanaman. Meskipun tidak secara tegas
dijelaskan, pengecualian ini hanya berlaku secara terbatas sepanjang tidak menghalangi persaingan
usaha dan tidak melanggar undang-undang;

3. Perjanjian yang berkaitan dengan waralaba. Meskipun tidak secara tegas dijelaskan, pengecualian ini
hanya berlaku secara terbatas sepanjang tidak menghalangi persaingan usaha dan tidak melanggar
undang-undang;

4. Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan/atau jasa yang tidak mengekang dan/atau
menghalangi persaingan usaha;

5. Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali
barang dan/atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang tela diperjanjikan
sebelumnya;
6. Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas;

7. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia;

8. Perbuatan dan/atau perjanjian yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan
dan/atau pasokan pasar dalam negeri;

9. Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggota-anggotanya;

10. Perbuatan pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil. Meskipun tidak secara tegas dijelaskan,
pengecualian ini ditafsirkan terbatas oleh karena pelaku usaha kecil pun tidak dapat melanggar
peraturan-peraturan larangan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

Pengecualian ini merupakan dasar atau alasan pembenar atas suatu praktek monopoli dan persaingan
usaha yang tidak sehat dilakukan dalam bentuk perjanjian tertutup dan perjanjian dengan pihak luar.
Pembentuk undang-undang juga menyadari kedudukan pelaku usaha yang diistimewakan tetap harus
dilindungi. Monopoli dan persaingan usaha tidak hanya mengikat tata perekonomian dalam negeri saja,
akan tetapi juga tata pergaulan ekonomi dunia. Pengecualian ini dapat menjadi penyelundupan hukum
para pelaku usaha dalam praktek monopoli dan persaingan usaha pada perjanjian tertutup dan
perjanjian dengan pihak luar. Pelaku usaha dapat memanfaatkan celah pengecualian ini agar dapat
memberikan keuntungan yang semaksimal mungkin pelaku usaha, yang dapat mencederai asas
keseimbangan yang menjadi prinsip dasar pencapaian kesejahteraan rakyat.

C. Kesimpulan

Perjanjian Tertutup atau Dealing Agreement diatur secara tegas dalam pasal 15 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pelarangan
ini meliputi exclusive distribution agreement (ayat 1), typing agreement (ayat 2), dan vertical agreement
on discount (ayat 3)

Perjanjian dengan pihak luar yang dilarang dalam pasal 16 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah perjanjian pelaku usaha
dengan pihak lain dari luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat

Perjanjian tertutup dan perjanjian dengan pihak luar tidak sepenuhnya dilarang karena
mengakibatkan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, akan tetapi terdapat pengecualian yang
dibenarkan dalam pasal 50 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Pengecualian ini pada prinsipnya tetap menempatkan kesejahteraan
rakyat sebagai tujuan yang hendak dicapai meskipun sedikit atau bahkan menghilangkan asas
keseimbangan dalam larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
D. Daftar Pustaka

Ditha Wiradiputra, Perjanjian Dilarang, Bahan Mengajar Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2008

Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktinya di Indonesia, Rajawali Pers, 2010

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3817

[1] Ditha Wiradiputra, Perjanjian Dilarang, Bahan Mengajar Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2008

[2] Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha (Teori dan Praktinya di Indonesia, hal. 230-231

Anda mungkin juga menyukai