Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak ditemukan

di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika

tengah, Amerika dan Karibia. Host alami DBD adalah manusia, agent-nya adalah

virus dengue. Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang disebabkan

oleh virus Dengue yang ditularkan dari orang ke orang melalui vektor nyamuk Aedes

aegypti dan Aedes albopictus yang terinfeksi.1,2

Nyamuk penular dengue ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia,

kecuali di tempat yang memiliki ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan

laut. Penyakit DBD banyak dijumpai terutama di daerah tropis dan sering

menimbulkan kejadian luar biasa (KLB). Beberapa faktor yang mempengaruhi

munculnya DBD antara lain rendahnya status kekebalan kelompok masyarakat dan

kepadatan populasi nyamuk penular karena banyaknya tempat perindukan nyamuk

yang biasanya terjadi pada musim penghujan.1,2

Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropis dan

subtropis bahkan cenderung terus meningkat. Indonesia, India, dan Myanmar adalah

tiga negara dengan case fatality rate (CFR) yang lebih tinggi dibandingkan dengan

negara Asia Tenggara lainnya. Di Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi KLB di

beberapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah

penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang lebih. Pada tahun-tahun

1
berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah kematian turun secara bermakna

dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus tahun 2008 sebanyak 137.469

orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality rate (CFR) 0,86% serta kasus

tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian 1.384 orang atau CFR 0,89%.

Pada tahun 2014, sampai pertengahan bulan Desember tercatat penderita DBD di 34

provinsi di Indonesia sebanyak 71.668 orang, dan 641 diantaranya meninggal dunia.

Angka tersebut lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya, yakni tahun 2013

dengan jumlah penderita sebanyak 112.511 orang dan jumlah kasus meninggal

sebanyak 871 penderita.1,2,3

Munculnya kejadian DBD, dikarenakan penyebab majemuk, artinya munculnya

kesakitan karena berbagai faktor yang saling berinteraksi, diantaranya agent (virus

dengue), host yang rentan serta lingkungan yang memungkinan tumbuh dan

berkembang biaknya nyamuk Aedes spp. Selain itu, juga dipengaruhi faktor

predisposisi diantaranya kepadatan dan mobilitas penduduk, kualitas perumahan,

jarak antar rumah, pendidikan, pekerjaan, sikap hidup, golongan umur, suku bangsa,

kerentanan terhadap penyakit, dan lainnya.2

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. ETIOLOGI

Virus dengue termasuk ke dalam grup B arthropod borne virus (arboviruses)

dan sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, famili Flaviviridae, yang mempunyai

4 jenis serotipe yaitu den-1, den-2, den-3, dan den-4. Infeksi dengan salah satu

serotipe akan menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe yang

bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe yang lain. Seseorang

yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4

serotipe selama hidupnya. Keempat jenis serotipe virus dengue dapat ditemukan di

berbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan

sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe

ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe den-3 merupakan serotipe yang

dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat.4

2. FAKTOR RISIKO

Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk

perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan prasarana

transportasi dan terganggu atau melemahnya pengendalian populasi sehingga

memungkin terjadinya KLB. Faktor risiko lainnya adalah kemiskinan yang

mengakibatkan orang tidak mempunyai kemampuan untuk menyediakan rumah yang


3
layak dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah yang benar. Tetapi di

lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk yang lebih makmur terutama yang

biasa bepergian. Dari penelitian di Pekanbaru Provinsi Riau, diketahui faktor yang

berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah pendidikan dan pekerjaan masyarakat,

jarak antar rumah, keberadaan tempat, penampungan air, keberadaan tanaman hias

dan pekarangan serta mobilisasi penduduk, sedangkan tata letak rumah dan

keberadaan jentik tidak menjadi faktor risiko. Faktor risiko yang menyebabkan

munculnya antibodi IgM anti dengue yang merupakan reaksi infesksi primer,

berdasarkan hasil penelitian di wilayah Amazon Brasil adalah jenis kelamin laki-laki,

kemiskinan, dan migrasi. Sedangkan faktor risiko terjadinya infeksi sekunder yang

menyebabkan DBD adalah jenis kelamin laki-laki, riwayat pernah terkena DBD pada

periode sebelumnya serta migrasi ke daerah perkotaan.1

3. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

Walaupun DD dan DBD disebabkan oleh virus yang sama, tapi mekanisme

patofisiologisnya berbeda dan menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan utama

adalah adanya renjatan yang khas pada DBD yang disebabkan kebocoran plasma

yang diduga karena proses immunologi, pada demam dengue hal ini tidak terjadi.

Manifestasi klinis DD timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus yang

berkembang di dalam peredaran darah dan ditangkap oleh makrofag. Selama 2 hari

akan terjadi viremia (sebelum timbul gejala) dan berakhir setelah lima hari timbul

gejala panas. Makrofag akan menjadi antigen presenting cell (APC) dan mengaktifasi

sel T-helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-

4
helper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah

memfagosit virus juga mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Ada 3 jenis

antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemaglutinasi,

antibodi fiksasi komplemen. Proses tersebut akan menyebabkan terlepasnya

mediator-mediator yang merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri

sendi, otot, malaise dan gejala lainnya.1,5

Patofisiologi primer DBD dan dengue shock syndrome (DSS) adalah

peningkatan akut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke

dalam ruang ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan

tekanan darah. Pada kasus berat, volume plasma menurun lebih dari 20%, hal ini

didukung penemuan post mortem meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan

hipoproteinemi. Setelah masuk dalam tubuh manusia, virus dengue berkembang biak

dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang

berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi ini, muncul respon imun baik humoral maupun

selular, antara lain anti netralisasi, anti-hemaglutinin dan anti komplemen. Antibodi

yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue primer

antibodi mulai terbentuk, dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada

jadi meningkat. Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah

sekitar demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan

menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar

antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi

primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari

ke-14 sedang pada infeksi sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh

5
karena itu diagnosa dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi

antibodi IgM setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan

lebih dini dengan adanya peningkatan antibodi IgG dan IgM yang cepat. Patofisiologi

DBD dan DSS sampai sekarang belum jelas, oleh karena itu muncul banyak teori

tentang respon imun.1,6,7

Pada infeksi pertama terjadi antibodi yang memiliki aktivitas netralisasi yang

mengenali protein E dan monoklonal antibodi terhadap NS1, Pre M dan NS3 dari

virus penyebab infeksi akibatnya terjadi lisis sel yang telah terinfeksi virus tersebut

melalui aktivitas netralisasi atau aktifasi komplemen. Akhirnya banyak virus

dilenyapkan dan penderita mengalami penyembuhan, selanjutnya terjadilah

kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus yang sama, tetapi apabila terjadi

antibodi nonnetralisasi yang memiliki sifat memacu replikasi virus, keadaan penderita

akan menjadi parah apabila epitop virus yang masuk tidak sesuai dengan antibodi

yang tersedia di hospest. Pada infeksi kedua yang dipicu oleh virus dengue dengan

serotipe yang berbeda, virus dengue berperan sebagai super antigen setelah difagosit

oleh monosit atau makrofag. Makrofag ini menampilkan antigen presenting cell

(APC) yang membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari mayor

histocompatibility complex (MHC).1,8

Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfeksi virus dengue, akan tetap infektif

sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan pada saat

menggigit dan menghisap darah. Setelah masuk ke dalam tubuh manusia, virus

dengue akan menuju organ sasaran yaitu sel Kuffer hepar, endotel pembuluh darah,

nodus limfatikus, sumsum tulang serta paru-paru. Beberapa penelitian menunjukkan,

6
sel monosit dan makrofag mempunyai peran pada infeksi ini, dimulai dengan

menempel dan masuknya genom virus ke dalam sel dengan bantuan organel sel dan

membentuk komponen perantara dan komponen struktur virus. Setelah komponen

struktur dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Infeksi ini menimbulkan reaksi

immunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut tetapi tidak ada cross protective

terhadap serotipe virus lainnya. Secara invitro, antobodi terhadap virus dengue

mempunyai 4 fungsi biologis yaitu netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody

dependent cell-mediated cytotoxity (ADCC) dan ADE. Berdasarkan perannya, terdiri

dari antobodi netralisasi atau neutralizing antibody yang memiliki serotipe spesifik

yang dapat mencegah infeksi virus, dan antibody non netralising serotype yang

mempunyai peran reaktif silang dan dapat meningkatkan infeksi yang berperan dalam

pathogenesis DBD dan DSS.1

Terdapat dua teori atau hipotesis immunopatogenesis DBD dan DSS yang

masih kontroversial yaitu infeksi sekunder (secondary heterologus infection) dan

antibody dependent enhancement (ADE). Dalam teori atau hipotesis infeksi sekunder

disebutkan, bila seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe virus

dengue, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi serotipe virus dengue tersebut

untuk jangka waktu yang lama. Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi

sekunder oleh serotipe virus dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi yang berat. Ini

terjadi karena antibody heterologus yang terbentuk pada infeksi primer, akan

membentuk kompleks dengan infeksi virus dengue serotipe baru yang berbeda yang

tidak dapat dinetralisasi bahkan cenderung membentuk kompleks yang infeksius dan

bersifat oponisasi internalisasi, selanjutnya akan teraktifasi dan memproduksi IL-1,

7
IL-6, tumor necrosis factor-alpha (TNF-A) dan platelet activating factor (PAF);

akibatnya akan terjadi peningkatan (enhancement) infeksi virus dengue. TNF alpha

akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma

ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah yang

mekanismenya sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Pendapat lain

menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk akan merangsang komplemen yang

farmakologisnya cepat dan pendek dan bersifat vasoaktif dan prokoagulan sehingga

menimbulkan kebocoran plasma (shock hipovolemik) dan perdarahan. Anak di bawah

usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus dengue dan terjadi infeksi dari

ibu ke anak, dalam tubuh anak tersebut terjadi non neutralizing antibodies akaibat

adanya infeksi yang persisten. Akibatnya, bila terjadi infeksi virus dengue pada anak

tersebut, maka akan langsung terjadi proses enhancing yang akan memacu makrofag

mudah terinfeksi dan teraktifasi dan mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga

PAF.1,

Pada teori ADE disebutkan, jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus

tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut, tetapi

sebaliknya apabila antibodinya tidak dapat menetralisasi virus, justru akan

menimbulkan penyakit yang berat. Kinetik immunoglobulin spesifik virus dengue di

dalam serum penderita DD, DBD dan DSS, didominasi oleh IgM, IgG1 dan IgG3.

Selain kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang pathogenesis DBD, di

antaranya adalah teori virulensi virus yang mendasarkan pada perbedaan serotipe

virus dengue yaitu den-1, den-2, den-3, dan den-4 yang kesemuanya dapat ditemukan

pada kasus-kasus fatal tetapi berbeda antara daerah satu dengan lainnya. Selanjutnya

8
ada teori antigen-antibodi yang berdasarkan pada penderita atau kejadian DBD terjadi

penurunan aktivitas sistem komplemen yang ditandai penurunan kadar C3, C4 dan

C5. Disamping itu, pada 48-72% penderita DBD, terbentuk kompleks imun antara

IgG dengan virus dengue yang dapat menempel pada trombosit, sel B dan sel organ

tubuh lainnya dan akan mempengaruhi aktivitas komponen sistem imun yang lain.

Selain itu ada teori moderator yang menyatakan bahwa makrofag yang terinfeksi

virus dengue akan melepas berbagai mediator seperti interferon, IL-1, IL-6, IL-12,

TNF dan lain-lain, yang bersama endotoksin bertanggungjawab pada terjadinya syok

septik, demam dan peningkatan permeabilitas kapiler. Pada infeksi virus dengue,

viremia terjadi sangat cepat, hanya dalam beberapa hari dapat terjadi infeksi di

beberapa tempat tapi derajat kerusakan jaringan (tissue destruction) yang ditimbulkan

tidak cukup untuk menyebabkan kematian karena infeksi virus, kematian yang terjadi

lebih disebabkan oleh gangguan metabolik.1,6

4. MANIFESTASI KLINIS

Awal penyakit biasanya mendadak, disertai gejala prodormal seperti nyeri

kepala, nyeri berbagai bagian tubuh, anoreksia, rasa menggigil, dan malaise.

Dijumpai trias sindrom, yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan, dan

timbulnya ruam (rash). Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali,

yaitu pada hari sakit ke 3-5 dan berlangsung selama 3-4 hari. Ruam bersifat

makulopapular yang menghilang pada tekanan. Ruam terdapat di dada, tubuh, serta

abdomen, menyebar ke anggota gerak, dan wajah. Pada beberapa penderita dapat

dilihat bentuk kurva suhu yang menyerupai pelana kuda atau bifasik, tetapi pada

9
penelitian selanjutnya bentuk kurva ini tidak didapatkan pada semua pasien sehingga

tidak dapat dianggap sebagai suatu patognomonik. Tiga fase presentasi klinis

diklasifikasikan sebagai demam, kritis, dan masa penyembuhan. Fase kritis, yang

berlangsung 24-48 jam, dengan kebocoran plasma cepat yang mengarah ke gangguan

peredaran darah.1,4

a. Fase demam2,4

Anamnesis:

Demam tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40°C, serta terjadi kejang demam. Dijumpai

facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dengan faring

hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga kanan, dan nyeri perut.

Pemeriksaan fisik:

- Manifestasi perdarahan

 Uji bendung positif (≥10 petekie/inch2) merupakan manifestasi perdarahan

yang paling banyak pada fase demam awal.

 Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur vena.

 Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak.

 Epistaksis, perdarahan gusi

 Perdarahan saluran cerna

 Hematuria (jarang)

 Menorrhagia

10
- Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan dan kelainan fungsi hati

(transaminase) lebih sering ditemukan pada DBD.

Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak normal,

perembesan plasma (khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal),

hipovolemia, dan syok, karena terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Perembesan

plasma yang mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga pleura dan rongga

peritoneal terjadi selama 24-48 jam.

b. Fase kritis2

Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa transisi dari

saat demam ke bebas demam (disebut fase time of fever defervescence) ditandai

dengan:

- Peningkatan hematokrit 10%-20% di atas nilai dasar

- Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema pada

dinding kandung empedu. Foto dada (dengan posisi right lateral decubitus =

RLD) dan ultrasonografi dapat mendeteksi perembesan plasma tersebut.

- Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar / <3.5 g% yang

merupakan bukti tidak langsung dari tanda perembesan plasma

- Tanda-tanda syok: anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran,

sianosis, nafas cepat, nadi teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi,

tekanan nadi ≤20 mmHg, dengan peningkatan tekanan diastolik. Akral

dingin, capillary refill time memanjang (>3 detik). Diuresis menurun (<

1ml/kg berat badan/jam), sampai anuria.


11
- Komplikasi berupa asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan

elektrolit, kegagalan multipel organ, dan perdarahan hebat apabila syok tidak

dapat segera diatasi.

c. Fase penyembuhan (convalescence, recovery)2

Fase penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu makan

kembali merupakan indikasi untuk menghentikan cairan pengganti. Gejala umum

dapat ditemukan sinus bradikardia/ aritmia dan karakteristik confluent petechial rash

seperti pada DD.

Untuk diagnosis DBD/DSS ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan

laboratorium.2

a. Kriteria klinis

- Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus

selama 2-7 hari.

- Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie, purpura,

ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan/melena.

- Pembesaran hati.

- Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (≤20

mmHg), hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak

gelisah.

12
b. Kriteria laboratorium

- Trombositopenia (≤100.000/mikroliter).

- Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit ≥20% dari nilai dasar /

menurut standar umur dan jenis kelamin.

Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan,

- Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi/

peningkatan hematokrit ≥20%.

- Dijumpai hepatomegali sebelum terjadi perembesan plasma

- Dijumpai tanda perembesan plasma, seperti:

o Efusi pleura (foto toraks/ultrasonografi)

o Hipoalbuminemia

- Perhatian pada kasus syok

o Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia yang

jelas, mendukung diagnosis DSS.

o Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari

syok sepsis.

13
Tabel 1. Derajat DBD berdasarkan klasifikasi WHO 2011

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan laboratorium2,4

1. Pemeriksaan darah perifer, yaitu hemoglobin, leukosit, hitung jenis, hematokrit,

dan trombosit. Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1 setelah demam dan akan

menurun sehingga tidak terdeteksi setelah hari sakit ke-5-6. Deteksi antigen virus

ini dapat digunakan untuk diagnosis awal menentukan adanya infeksi dengue,

namun tidak dapat membedakan penyakit DD/DBD.

2. Uji serologi IgM dan IgG anti dengue

- Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-5 sakit, mencapai

puncaknya pada hari sakit ke 10-14, dan akan menurun/ menghilang pada akhir

minggu keempat sakit.

14
- Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada hari sakit ke-14.

dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun. Sedangkan pada infeksi sekunder

IgG anti dengue akan terdeteksi pada hari sakit ke-2.

- Rasio IgM/IgG digunakan untuk membedakan infeksi primer dari infeksi sekunder.

Apabila rasio IgM:IgG >1,2 menunjukkan infeksi primer namun apabila IgM:IgG

rasio <1,2 menunjukkan infeksi sekunder.

b. Pemeriksaan radiologis2

Pemeriksaan foto dada dalam posisi right lateral decubitus dilakukan atas

indikasi:

- Distres pernafasan/ sesak

- Dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan

radiologis terjadi apabilapada perembesan plasma telah mencapai 20%-40%

- Pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan, dan untuk menilai edema

paru karena overload pemberian cairan.

- Kelainan radiologi yang dapat terjadi: dilatasi pembuluh darah paru terutama daerah

hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak dibandingkan yang kiri, kubah

diafragma kanan lebih tinggi daripada kanan, dan efusi pleura.

- Pada pemeriksaan ultrasonografi dijumpai efusi pleura, kelainan dinding vesika

felea, dan dinding buli-buli.

6. DIAGNOSIS BANDING

Selama fase akut penyakit, sulit untuk membedakan DBD dari demam dengue

dan penyakit virus lain yang ditemukan di daerah tropis. Maka untuk membedakan

15
dengan campak, rubela, demam chikungunya, leptospirosis, malaria, demam tifoid,

perlu ditanyakan gejala penyerta lainnya yang terjadi bersama demam. Pemeriksaan

laboratorium diperlukan sesuai indikasi. Penyakit darah seperti trombositopenia

purpura idiopatik (ITP), leukemia, atau anemia aplastik, dapat dibedakan dari

pemeriksaan laboratorium darah tepi lengkap disertai pemeriksaan pungsi sumsum

tulang apabila diperlukan. Penyakit infeksi lain seperti sepsis, atau meningitis, perlu

dipikirkan apabila anak mengalami demam disertai syok.4

7. TATALAKSANA2,4

Tanda kegawatan dapat terjadi pada setiap fase pada perjalanan penyakit

infeksi dengue, seperti berikut:

- Tidak ada perbaikan klinis/perburukan saat sebelum atau selama masa

transisi ke fase bebas demam / sejalan dengan proses penyakit

- Muntah yg menetap, tidak mau minum

- Nyeri perut hebat.

- Letargi dan/atau gelisah, perubahan tingkah laku mendadak.

- Perdarahan: epistaksis, buang air besar hitam, hematemesis, menstruasi yang

hebat, warna urin gelap (hemoglobinuria)/hematuria.

- Giddiness (pusing/perasaan ingin terjatuh) .

- Pucat, tangan - kaki dingin dan lembab.

- Diuresis kurang/tidak ada dalam 4-6 jam.

Parameter yang harus dimonitor mencakup:

- Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan, dan tanda dan gejala lain

16
- Perfusi perifer sesering mungkin karena sebagai indikator awal tanda syok,

serta mudah dan cepat untuk dilakukan.

- Tanda vital: suhu, nadi, pernapasan, tekanan darah, diperiksa minimal setiap

2-4 jam pada pasien non syok & 1-2 jam pada pasien syok.

- Pemeriksaan hematokrit serial setiap 4-6 jam pada kasus stabil dan lebih

sering pada pasien tidak stabil/ tersangka perdarahan.

- Diuresis setiap 8-12 jam pada kasus tidak berat dan setiap jam pada pasien

dengan syok berkepanjangan / cairan yg berlebihan.

- Jumlah urin harus 1 ml/kg berat badan/jam ( berdasarkan berat badan ideal).

Indikasi pemberian cairan intravena:

- Pasien tidak dapat asupan yang adekuat untuk cairan per oral ataumuntah

- Hematokrit meningkat 10%-20% meskipun dengan rehidrasi oral

- Ancaman syok atau dalam keadaan syok

Prinsip umum terapi cairan pada DBD:

- Kristaloid isotonik harus digunakan selama masa kritis.

- Cairan koloid digunakan pada pasien dengan perembesan plasma hebat, dan

tidak ada respon pada minimal volume cairan kristaloid yang diberikan.

- Volume cairan rumatan + dehidrasi 5% harus diberikan untuk menjaga

volume dan cairan intravaskular yang adekuat.

- Pada pasien dengan obesitas, digunakan berat badan ideal sebagai acuan

untuk menghitung volume cairan.

17
Kecepatan cairan intravena harus disesuaikan dengan keadaan klinis.

- Transfusi suspensi trombosit pada trombositopenia untuk profilaksis tidak

dianjurkan.

- Pemeriksaan laboratorium baik pada kasus syok maupun non syok saat tidak

ada perbaikan klinis walaupun penggantian volume sudah cukup, maka

perhatikan ABCS yang terdiri dari, A – Acidosis: gas darah, B – Bleeding:

hematokrit, C – Calsium: elektrolit, Ca++ dan S – Sugar: gula darah

(dekstrostik)

Pasien dapat dipulangkan apabila telah terjadi perbaikan klinis sebagai

berikut:

- Bebas demam minimal 24 jam tanpa menggunakan antipiretik

- Nafsu makan telah kembali

- Perbaikan klinis, tidak ada demam, tidak ada distres pernafasan, dan nadi

teratur

- Diuresis baik

- Minimum 2-3 hari setelah sembuh dari syok

- Tidak ada kegawatan napas karena efusi pleura, tidak ada asites

- Trombosit >50.000 /mm3. Pada kasus DBD tanpa komplikasi, pada

umumnya jumlah trombosit akan meningkat ke nilai normal dalam 3-5 hari.

18
19
20
21
22
Tabel 2. Cairan yang dibutuhkan berdasarkan berat badan

Tabel 3. Kecepatan cairan intravena

8. PENCEGAHAN

Masyarakat perlu mewaspadai dan mengantisipasi serangan penyakit DBD

dengan menjaga kebersihan lingkungan di dalam rumah maupun di luar rumah, antara

lain melalui peningkatan Gerakan Jumat Bersih untuk membrantas sarang dan jentik-

jentik nyamuk. Saat ini, pencegahan DBD yang paling efektif dan efisien adalah

kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dengan cara 3M Plus, yaitu: 1)

Menguras, adalah membersihkan tempat yang sering dijadikan tempat penampungan

air seperti bak mandi, ember air, tempat penampungan air minum, penampung air

lemari es, dan lain-lain; 2) Menutup, yaitu menutup rapat-rapat tempat-tempat

penampungan air seperti drum, kendi, toren air, dan sebagainya; dan 3)

Memanfaatkan kembali atau mendaur ulang barang bekas yang memiliki potensi
23
untuk jadi tempat perkembangbiakan nyamuk penular DBD. Adapun yang dimaksud

dengan Plus adalah segala bentuk kegiatan pencegahan, seperti: 1) Menaburkan

bubuk larvasida pada tempat penampungan air yang sulit dibersihkan; 2)

Menggunakan obat nyamuk atau anti nyamuk; 3) Menggunakan kelambu saat tidur;

4) Memelihara ikan pemangsa jentik nyamuk; 5) Menanam tanaman pengusir

nyamuk; 6) Mengatur cahaya dan ventilasi dalam rumah; 7) Menghindari kebiasaan

menggantung pakaian di dalam rumah yang bisa menjadi tempat istirahat nyamuk,

dan lain-lain. PSN perlu ditingkatkan terutama pada musim penghujan dan

pancaroba, karena meningkatnya curah hujan dapat meningkatkan tempat-tempat

perkembangbiakan nyamuk penular DBD, sehingga seringkali menimbulkan kejadian

luar biasa (KLB) terutama pada saat musim penghujan.3

24
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, seorang anak perempuan berumur 16 tahun datang ke RSDI

Idaman Banjarbaru dengan keluhan utama berupa demam mendadak yang muncul 3

hari sebelum masuk rumah sakit. Dari anamnesis juga ditemukan bahwa pasien

mengeluhkan nyeri kepala, nyeri seluruh badan, nyeri tenggorokan. Keluhan serupa

sebelumnya disangkal. Terdapat keluhan serupa pada teman sekolah pasien.

Dari anamnesis dapat untuk menegakkan diagnosa demam berdarah dengue

seperti :

1. Demam.

Demam merupakan tanda utama infeksi dengue, terjadi mendadak tinggi,

selama 2-7 hari. Pada pasien ini didapatkan bahwa demam yang terjadi merupakan

demam di hari ke-4, sesuai dengan kriteria diagnosis demam berdarah dengue.

demam yang mendadak tinggi dan naik turun dengan obat penurun demam. Saat

masuk rumah sakit, demam masih tinggi walaupun sudah dinerikan obat penurun

panas.

2. Mual dan Muntah

Mual dan muntah yang terjadi disini dicurigai akibat gangguan keseimbangan

karena turunnya jumlah trombosit di dalam tubuh yang dicurigai ikut berperan serta

mengakibatkan gangguan sistem pencernaan.

25
Pasien pada kasus ini mengalami riwayat mual dan muntah 2x 5 hari sebelum

masuk rumah sakit. Pada saat dirawat di rumah sakit keluhan mual dan muntah

menghilang.

3. Batuk dan sesak nafas.

Batuk dan sesak nafas yang terjadi pada pasien demam berdarah dengue

terkadang mengindikasikan adanya salah satu dari tanda-tanda kebocoran plasma

yaitu efusi pleura. Pada pasien ini dicurigai terjadinya efusi pleura namun tidak

dilakukan foto rontgen untuk memastikan hal tersebut.

4. Penurunan nafsu makan & Lesu.

Penurunan nafsu makan dan lesu pada anak merupakan gejala penyerta yang

biasanya sering ditemukan pada pasien demam berdarah dengue.

Menurut teori, pada hasil anamnesa telah ditemukan beberapa gejala klinis DBD.

Terdapat perdarahan spontan pada pasien yakni petekie. Pada DBD, terdapat

perdarahan kulit, uji torniket positif, memar, dan perdarahan pada tempat

pengambilan darah vena. Petekia halus yang tersebar di anggota gerah, wajah, dan

aksila merupakan tanda yang sering ditemukan pada masa dini demam. Pada pasien

ini tidak terdapat perburukan kondisi yang dapat mengarah ke DBD dengan syok.

Pasien tidak tampak lesu, gelisah, kulit lembab dan akral dingin disertai tekanan

darah yang menurun. Dari hasil laboratorium didapatkan penurunan trombosit sebesar

73.000/mm3. Jika dilihat berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik, diagnosis

kerja pasien ini adalah DBD derajat II dimana ditemukan dua kriteria klinis DBD

berupa demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas dan berlangsung terus

26
menerus selama 2-7 hari, manifestasi perdarahan berupa uji bendung positif dan

ptekie, serta kriteria laboratorium berupa trombositopenia (≤100.000/mikroliter). 4

Pasien mendapatkan terapi sesuai standar pelayanan medis anak penderita

DBD derajat II yaitu berupa terapi cairan, antipiretik, dan harus dimonitor ketat tanda

vital serta produksi urin. Pemberian cairan isotonik berupa larutan Ringer laktat

manintenance. Indikasi pemberian cairan intravena adalah pasien yang tidak dapat

asupan yang adekuat untuk cairan peroral.

Dilakukan pemantauan tanda vital setiap 6 jam dan pemeriksaan darah rutin

ulang setiap 6-12 jam untuk mengetahui apakah terdapat hemokonsentrasi yang dapat

mengarah ke syok. Palpasi hati setiap hari serta memastikan jumlah urin harus

minimal 1 ml/kgBB/jam berdasarkan berat badan ideal.

Pasien dapat dipulangkan apabila telah terjadi perbaikan klinis sebagai

berikut:

- Bebas demam minimal 24 jam tanpa menggunakan antipiretik

- Nafsu makan telah kembali

- Perbaikan klinis, tidak ada demam, tidak ada distres pernafasan, dan nadi

teratur

- Diuresis baik

- Minimum 2-3 hari setelah sembuh dari syok

- Tidak ada kegawatan napas karena efusi pleura, tidak ada asites

- Trombosit >50.000 /mm3. Pada kasus DBD tanpa komplikasi, pada

umumnya jumlah trombosit akan meningkat ke nilai normal dalam 3-5 hari.

27
28
BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan kasus seorang anak perempuan berusia 12 tahun yang

ditangani di IGD RSUD Datu Sanggul Tapin. Pasien datang dengan keluhan demam

mendadak sejak 3 hari yang lalu. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium

mengarah pada diagnosis DBD derajat II. Penatalaksanaan awal pasien adalah terapi

cairan, antipiretik dan tirah baring yang sesuai untuk DBD derajat II.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Candra A. Demam berdarah dengue: epidemiologi, patogenesis, dan faktor


risiko penularan. Aspiratoar, 2012: 2(2); 110-119.

2. WHO. 2009.Dengue: guidelines for diagnosis, treatment, prevent, and control


(new edition). World Health Organization.

3. Kementerian Kesehatan RI. Demam berdarah biasanya mulai meningkat di


Januari, (online), (diakses pada tanggal 5 Mei 2018),
(http://www.depkes.go.id/article/view/15011700003/demam-berdarah-
biasanya-mulai-meningkat-di-januari.html).

4. Tim Unit Kerja Koordinasi Infeksi dan Pediatri Tropis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. 2010. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis. Jakarta: IDAI.

5. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HR, Behrman RE. 2013. Nelson Ilmu
Kesehatan Anak Edisi 6. Jakarta: EGC.

6. Price SA, Wilson LM. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit, Edisi 6, Volume 2. Jakarta: Penerbit EGC.

7. Sellahewa KH. Pathogenesis of dengue haemorrhagic fever and its impact on


case management. Hindawi, 2013: 1-6.

8. Shepherd SM. Pathophysiology of dengue haemorrhagic fever. (online),


(diakses tanggal 5 Mei 2018), (http://emedicine.medscape.com/article/215840-
overview#a3)

30

Anda mungkin juga menyukai