Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Selulitis preseptal merupakan suatu inflamasi dan infeksi pada kelopak mata
(termasuk jaringan lunak periorbita), septum anterior orbital, yang dikategorikan
sebagai eritema dan edema akut pada kelopak mata.1
Selulitis preseptal umumnya merupakan penyakit pada anak-anak, dengan
80% anak dibawah 10 tahun dan sebagian besarnya dibawah 5 tahun.2
Pasien dengan selulitis orbita dapat menunjukkan gejala bengkak pada
kelopak mata, nyeri pada mata, merah, hingga demam sehingga dibutuhkan terapi
yang adekuat dalam pengobatan ini karena ditakutkan terjadinya komplikasi berupa
meningitis.
Dakriosistitis adalah suatu infeksi pada kantong air mata yang terletak di
antara sudut bagian dalam kelopak mata dengan hidung. Dakriosistitis biasanya
disebabkan oleh karena adanya blockade pada saluran yang mengalirkan air mata
dari kantong air mata ke hidung. Duktus yang terhalang menjadi terinfeksi.
Dakriosistitis dapat berupa akut maupun kronik. Hal ini dapat dihubungkan dengan
suatu malformasi pada duktus lakrimalis, luka, infeksi pada mata, maupun
trauma.2,3
Dakriosistitis akut ditandai dengan gejala mendadak berupa nyeri dan
kemerahan pada daerah kantus medialis, adanya epifora merupakan karakteristik
pada peradangan kronik pada duktus lakrimalis.4
Bentuk khas dari peradangan pada kantong air mata adalah dakriosistitis
congenital, yang secara patofisiologi sangat erat kaitannya dengan embryogenesis
system eksresi lakrimal. Dakriosistitis sering timbul pada bayi yang disebabkan
karena duktus lakrimalis belum berkembang dengan baik. Pada orang dewasa,
infeksi dapat berasal dari luka atau peradangan pada hidung. Meskipun demikian,
pada kebanyakan kasus, penyebabnya tidak diketahui.4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi
Aparatus lakrimalis terdiri dari 2 bagian : 11,12,13
1. Kelenjar lakrimalis yang berhubungan dengan pembentukan air mata (sistem
sekresi lakrimal)
2. Saluran air mata yang diteruskan ke dalam hidung (sistem ekskresi lakrimal)

Bagian-bagian dari aparatus lakrimalis adalah:12,13


1. Kelenjar lakrimalis terdapat pada fossa lakrimal, sisi medial prosesus zigomatikum
os frontal. Berbentuk oval, kurang lebih bentuk dan besarnya menyerupai almond,
dan terdiri dari dua bagian, disebut kelenjar lakrimal superior (pars orbitalis) dan
inferior (pars palpebralis). Duktus kelenjar ini, berkisar 6-12, berjalan pendek
menyamping di bawah konjungtiva.
2. Kelenjar aksesori ( kelenjar wolfring dan kelenjar Krause )
3. Pungtum lakrimalis : ukuran punctum lakrimalis dengan diameter 0.3 mm terletak
di sebelah medial bagian superior dan inferior dari kelopak mata. Punctum relatif
avaskular dari jaringan disekitarnya selain itu warna pucat dari punctum ini sangat
membantu jika ditemukan adanya sumbatan. Punctum lalkrimalis biasanya tidak
terlihat kecuali jika kelopak bawah mata dibalik sedikit. Jarak superior dan inferior
punctum 0,5 mm, sedangkan jarak masing-masing ke canthus medial kira-kira
6,5mm dan 6,0 mm. Air mata dari canthus medial masuk ke punctum lalu masuk
ke canalis lakrimalis.
4. Kanalikuli lakrimalis : Lacrimal ducts (lacrimal canals), berawal pada orifisium
yang sangat kecil, bernama puncta lacrimalia, pada puncak papilla lacrimales,
terlihat pada tepi ekstremitas lateral lakrimalis. Duktus superior, yang lebih kecil
dan lebih pendek, awalnya berjalan naik, dan kemudian berbelok dengan sudut
yang tajam, dan berjalan ke arah medial dan ke bawah menuju lacrimal sac. Duktus
inferior awalnya berjalan turun, dan kemudian hamper horizontal menuju lacrimal
sac. Pada sudutnya, duktus mengalami dilatasi dan disebut ampulla. Pada setiap
lacrimal papilla serat otot tersusun melingkar dan membentuk sejenis sfingter.
5. Saccus lakrimalis (kantong lakrimal) : ujung bagian atas yang dilatasi dari duktus
nasolakrimal, dan terletak dalam cekungan (groove) dalam yang dibentuk oleh

2
tulang lakrimal dan prosesus frontalis maksila. Bentuk lacrimal sac oval dan
ukuran panjangnya sekitar 12-15 mm; bagian ujung atasnya membulat; bagian
bawahnya berlanjut menjadi duktus nasolakrimal.
6. Duktus naso lakrimalis : kanal membranosa, panjangnya sekitar 18 mm, yang
memanjang dari bagian bawah lacrimal sac menuju meatus inferior hidung,
dimana saluran ini berakhir dengan suatu orifisium, dengan katup yang tidak
sempurna, plica lacrimalis (Hasneri), dibentuk oleh lipatan membran mukosa.
Duktus nasolakrimal terdapat pada kanal osseous, yang terbentuk dari maksila,
tulang lakrimal, dan konka nasal inferior.

Kelenjar lakrimalis terdiri dari struktur-struktur berikut ini : 12,13


1. Bagian Orbita berbentuk kenari, terletak di dalam fossa glandulae lakrimalis di
segmen temporal atas anterior orbita yang dipisahkan dari bagian palpebra oleh
kornu lateralis muskulus levator palpebra. Untuk mencapai bagian kelenjar ini
dengan pembedahan, harus diiris kulit, muskulus orbikularis okuli, dan septum
orbita.
2. Bagian Palpebra yang lebih kecil terletak tepat di atas segmen temporal forniks
konjungtiva superior. Duktus sekretorius lakrimal, yang bermuara pada sekitar 10

3
lubang kecil, yang mengubungkan bagian orbita dan bagian palpebra kelenjar
lakrimal dengan forniks konjungtiva superior. Pengangkatan bagian palpebra
kelenjar akan memutus semua saluran penghubung dan mencegah seluruh kelenjar
bersekresi.

Kelenjar Lakrimal aksesorius terletak di dalam substansia propria di konjungtiva


palpebra dan hanya dapat dilihat secara mikroskopik.

Persarafan Aparatus Lakrimalis.13


Kelenjar air mata dipersarafi oleh :
1. Nervus Lakrimalis (sensoris), suatu cabang dari devisi pertama Trigeminus.
2. Nervus Petrosus superficialis magna (sekretoris ), yang datang dari nukleus
salivarius superior.
3. Saraf simpatis yang menyertai arteria dan nervus lakrimalis.

4
B. Selulitis Preseptal
1. Definisi
Selulitis preseptal merupakan suatu inflamasi dan infeksi pada kelopak mata
(termasuk jaringan lunak periorbita), septum anterior orbital, yang dikategorikan
sebagai eritema dan edema akut pada kelopak mata.1
Infeksi ini sering terjadi dan tidak separah apabila dibandingkan dengan
selulitis orbita (yang dikenal sebagai selulitis postseptal). Hal ini bisa disebabkan
akibat penyebaran dari infeksi saluran nafas bagian atas, infeksi mata luar, atau
trauma kelopak mata.1
Pada selulitis preseptal, jaringan lunak anterior hingga septum orbita terkena,
dan struktur posterior orbita hingga septum tidak terinfeksi namun bisa terinfeksi
akibat dari infeksi sekunder yang disebabkan abses subperiosteal dan abses orbita.
Pada kasus yang lebih parah, hal ini bisa menyebabkan thrombosis sinus
kavernosus atau meningitis. Pasien dengan edema periorbita, eritem, dan
peningkatan hiperemis local tanpa proptosis, oftalmoplegi, dan perburukan
penglihatan, dapat diperkirakan sebagai selulitis preseptal.1

2. Epidemiologi
` Berdasarkan National Center for Disease Statistics, pada tahun 1995,
terdapat 5000 pasien di Amerika Serikat memiliki diagnosis inflamasi pada kelopak
mata. Selulitis preseptal umumnya merupakan penyakit pada anak-anak, dengan
80% anak dibawah 10 tahun dan sebagian besarnya dibawah 5 tahun.2

3. Etiologi
Selulitis preseptal dapat disebabkan oleh inokulasi yang diikuti oleh trauma
atau infeksi pada kulit, penyebaran dari infeksi pada sinus, saluran nafas bagian
atas, dan infeksi lainnya yang menyebar melalui darah. Termasuk gigitan serangga
atau kalazion yang diikuti infeksi pada kelopak mata.3
Lebih dari dua pertiga kasus selulitis, dilaporkan berhubungan dengan
infeksi saluran nafas bagian atas, dimana setengahnya dari sinusitis.
Mikroorganisme penyebab tersering adalah Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, Stretococcus species, dan anaerob yang dikenal

5
sebagai penyebab umum pada infeksi saluran nafas bagian atas dan infeksi kelopak
mata eksternal.3
Streptococcus pneumonia dominan infeksi terjadi akibat perkembangan dari
sinusitis, dimana Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes sering
disebabkan oleh trauma local. Haemophylus influenzae B jarang, namun biasanya
terjadi diikuti oleh penyebaran bakteri dai focus primer seperti otitis media atau
pneumonia.4
Penurunan fungsi imun merupakan efek samping dari penggunaan antibiotic
dan diabetes mellitus, dimana dapat meningkatkan infeksi jamur, seperti
aspergilosis atau mucormikosis.

Tabel 2.1 Faktor Risiko Umum Pada Selulitis Preseptal


Faktor Risiko Persentase (%)
Konjungtivitis 74,1
Infeksi Saluran Nafas Bagian Atas 34,7
Lesi fokal pada wajah atau dekat mata 25,2
Sinusitis 24,5
Infeksi gigi atau karies gigi 19,4
Trauma 10,8
Alergi 3,6
Hordeolum 3,6
Lain-lain 6,5

Penyebab selulitis preseptal dapat dikategorikan sebagai berikut:5,6


a. Eksogen (trauma, post operasi)
b. Endogen (bacteremia)
c. Perpanjangan struktur periorbital (sinus paranasal, infeksi gigi, intracranial)
d. Intraorbital (endoftalmitis, dakrioadenitis)

6
Trauma local kulit Infeksi lokal Infeksi jauh

Selulitis preseptal

Infeksi Tidak infeksi

Selulitis preseptal Dermatoblefaritis Selulitis preseptal


supuratif post trauma dan selulits preseptal non supuratif

Gambar 2.1 Patofisiologi Selulitis Preseptal

4. Diagnosis
Pasien dengan selulitis preseptal dapat menunjukkan gejala bengkak pada
kelopak mata, nyeri pada mata, merah, hingga demam. Refleks pupil, ketajaman
visus, dan motilitas okular tidak terganggu, namun nyeri pada saat pergerakan bola
mata. Infeksi fokal pada sinus juga menunjukkan gejala discharge pada hidung.
Khas pada anak-anak yang disebabkan oleh Haemophylus influenza
memiliki riwayat infeksi saluran nafas bagian atas dengan gejala berupa
demamtinggi, iritabilitas, dan koriza. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan
leukositosis.
Pemeriksaan ultrasonografi orbita dapat membantu dalam mendiagnosis
peradangan orbita meskipun memerlukan pengamatan dan peralatan khusus. CT
Scan dapat menggambarkan tingkat keterlibatan orbita. Pada selulitis preseptal,
yang ditemukan pada CT Scan adalah:
a. Pembengkakan kelopak mata dan jaringan lunak preseptal yang
berdekatan.
b. Ada atau tidaknya inflamasi orbita (ini cukup sulit untuk membedakan

selulitis preseptal dan selulitis orbita)

7
5. Diagnosis Banding9
Ada beberapa diagnosis banding pada selulitis preseptal, sebagai berikut:
a. Rhabdoyosarcoma
b. Retinoblastoma
c. Orbital pseudotumor (inflamasi orbita idiopatik)
d. Perioculartinea
e. Selulitis orbita
f. Konjungtivitis
g. Dacryoadenitis
h. Hordeolum

6. Terapi
Anak dibawah 1 tahun harus follow up ke rumah sakit, kemungkinan akibat
dari infeksi saluran nafas bagian atas atau sinusitis. Pemberian terapi inisial
antibiotik empirik untuk menutupi flora disana. Pasien rawat jalan, diberikan terapi
sefalosporin generasi pertama, amoksisilin atau seftriakson. Jika pengobatan
selama 48-72 jam tidak ada respon, diberikan terapi secara intravena. Pada pasien
anak, diberikan terapi intravena dan observasi. Selain itu diberikan pula terapi
sefalosporin generasi kedua atau ketiga, sefalosporin, atau penisilin. Jika kuman
penyebab anaerob disertai S. aureus, diberikan klindamisin ditambah sefalosporin.
Terapi harus diberikan selama 14 hari pada pengobatan oral. 10

7. Komplikasi
Meningitis merupakan komplikasi terpenting terutama pada anak-anak yang
terinfeksi selulitis preseptal akibat H. influenza, merupakan infeksi sekunder dari
bacteremia. 10

C. Dakriosistitis
1. Defenisi
Dakriosistitis adalah peradangan pada sakus lakrimalis akibat adanya
obstruksi pada duktus nasolakrimalis. Obstruksi pada anak-anak biasanya akibat
tidak terbukanya membran nasolakrimal, sedangkan pada orang dewasa akibat
adanya penekanan pada salurannya, misal adanya polip hidung.2,3,4

8
2. Epidemiologi
Penyakit ini sering ditemukan pada anak-anak atau orang dewasa di atas 40
tahun, terutama perempuan dengan puncak insidensi pada usia 60 hingga 70 tahun.4
Dakriosistitis pada bayi yang baru lahir jarang terjadi, hanya sekitar 1% dari jumlah
kelahiran yang ada dan jumlahnya hampir sama antara laki-laki dan perempuan.
Jarang ditemukan pada orang dewasa usia pertengahan kecuali bila didahului
dengan infeksi jamur.5

3. Klasifikasi
Berdasarkan perjalanan penyakitnya, dakriosistitis dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis
5
, yaitu:
a. Kongenital
Merupakan penyakit yang sangat serius sebab morbiditas dan mortalitasnya
juga sangat tinggi. Jika tidak ditangani secara adekuat, dapat menimbulkan
selulitis orbita, abses otak, meningitis, sepsis, hingga kematian.
Dakriosistitis kongenital dapat berhubungan dengan amniotocele, di mana
pada kasus yang berat dapat menyebabkan obstruksi jalan napas.
Dakriosistitis kongenital yang indolen sangat sulit didiagnosis dan biasanya
hanya ditandai dengan lakrimasi kronis, ambliopia, dan kegagalan
perkembangan.

Gambar 4. Dakriosistitis Kongenital

9
b. Akut
Pasien dapat menunjukkan morbiditasnya yang berat namun jarang
menimbulkan kematian. Morbiditas yang terjadi berhubungan dengan abses
pada sakus lakrimalis dan penyebaran infeksinya.

Gambar 5. Dakriosistitis Akut

c. Kronis
Morbiditas utamanya berhubungan dengan lakrimasi kronis yang berlebihan
dan terjadinya infeksi dan peradangan pada konjungtiva.

4. Etiologi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya obstruksi duktus
nasolakrimalis 6,7:
a) Terdapat benda yang menutupi lumen duktus, seperti pengendapan kalsium,
atau koloni jamur yang mengelilingi suatu korpus alienum.
b) Terjadi striktur atau kongesti pada dinding duktus.
c) Penekanan dari luar oleh karena terjadi fraktur atau adanya tumor pada sinus
maksilaris.
d) Obstruksi akibat adanya deviasi septum atau polip.

Dakriosistitis dapat disebabkan oleh bakteri Gram positif maupun Gram


negatif. Bakteri Gram positif Staphylococcus aureus merupakan penyebab
utama terjadinya infeksi pada dakriosistitis akut, sedangkan Coagulase
Negative-Staphylococcus merupakan penyebab utama terjadinya infeksi pada

10
dakriosistitis kronis. Selain itu, dari golongan bakteri Gram negatif,
Pseudomonas sp. juga merupakan penyebab terbanyak terjadinya dakriosistitis
akut dan kronis.67
Literatur lain menyebutkan bahwa dakriosistitis akut pada anak-anak
sering disebabkan oleh Haemophylus influenzae, sedangkan pada orang dewasa
sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan Streptococcus β-
haemolyticus. Pada literatur ini, juga disebutkan bahwa dakriosistitis kronis
sering disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae.8

5. Patofisiologi
Awal terjadinya peradangan pada sakus lakrimalis adalah adanya
obstruksi pada duktus nasolakrimalis. Obstruksi duktus nasolakrimalis pada
anak-anak biasanya akibat tidak terbukanya membran nasolakrimal, sedangkan
pada orang dewasa akibat adanya penekanan pada salurannya, misal adanya
polip hidung.2,3,6
Obstruksi pada duktus nasolakrimalis ini dapat menimbulkan
penumpukan air mata, debris epitel, dan cairan mukus sakus lakrimalis yang
merupakan media pertumbuhan yang baik untuk pertumbuhan bakteri.2
Ada 3 tahapan terbentuknya sekret pada dakriosistitis. Hal ini dapat
diketahui dengan melakukan pemijatan pada sakus lakrimalis. Tahapan-tahapan
tersebut antara lain:2,3,6,7
a) Tahap obstruksi
Pada tahap ini, baru saja terjadi obstruksi pada sakus lakrimalis, sehingga
yang keluar hanyalah air mata yang berlebihan.
b) Tahap Infeksi
Pada tahap ini, yang keluar adalah cairan yang bersifat mukus,
mukopurulen, atau purulent tergantung pada organisme penyebabnya.
c) Tahap Sikatrik
Pada tahap ini sudah tidak ada regurgitasi air mata maupun pus lagi. Hal ini
dikarenakan sekret yang terbentuk tertahan di dalam sakus sehingga
membentuk suatu kista.

11
6. Gejala Klinis
Gejala umum pada penyakit ini adalah keluarnya air mata dan kotoran.9,10
a) Pada dakriosistitis kongenital biasanya ibu pasien akan mengeluh mata
pasien merah pada satu sisi, bengkak pada daerah pangkal hidung dan keluar
air mata diikuti dengan keluarnya nanah terus-menerus. Bila bagian yang
bengkak tersebut ditekan pasien akan merasa kesakitan (epifora).
b) Pada dakriosistitis akut, pasien akan mengeluh nyeri di daerah kantus medial
(epifora) yang menyebar ke daerah dahi, orbita sebelah dalam dan gigi
bagian depan. Sakus lakrimalis akan terlihat edema, lunak dan hiperemi
yang menyebar sampai ke kelopak mata dan pasien juga mengalami demam.
Jika sakus lakrimalis ditekan, maka yang keluar adalah sekret mukopurulen
c) Pada dakriosistitis kronis gejala klinis yang dominan adalah lakrimasi yang
berlebihan terutama bila terkena angin. Dapat disertai tanda-tanda inflamasi
yang ringan, namun jarang disertai nyeri. Bila kantung air mata ditekan akan
keluar sekret yang mukoid dengan pus di daerah punctum lakrimal dan
palpebra yang melekat satu dengan lainnya.10

7. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis dakriosistitis dibutuhkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dapat dilakukan
dengan cara autoanamnesis dan heteroanamnesis. Setelah itu, dilakukan
pemeriksaan fisik. Jika, dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik masih belum
bisa dipastikan penyakitnya, maka boleh dilakukan pemeriksaan penunjang.7
Beberapa pemeriksaan fisik yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui
ada tidaknya obstruksi serta letak dan penyebab obstruksi. Pemeriksaan fisik
yang digunakan untuk memeriksa ada tidaknya obstruksi pada duktus
nasolakrimalis adalah dye dissapearence test, fluorescein clearance test dan
John's dye test. Ketiga pemeriksaan ini menggunakan zat warna fluorescein 2%
sebagai indikator. Sedangkan untuk memeriksa letak obstruksinya dapat
digunakan probing test dan anel test. 6,7,10

12
Dye dissapearance test (DDT) dilakukan dengan meneteskan zat warna
fluorescein 2% pada kedua mata, masing-masing 1 tetes. Kemudian permukaan
kedua mata dilihat dengan slit lamp. Jika ada obstruksi pada salah satu mata akan
memperlihatkan gambaran seperti di bawah ini.7

Gambar 6. Terdapat obstruksi pada duktus nasolakrimalis kiri

Fluorescein clearance test dilakukan untuk melihat fungsi saluran


ekskresi lakrimal. Uji ini dilakukan dengan meneteskan zat warna fluorescein
2% pada mata yang dicurigai mengalami obstruksi pada duktus
nasolakrimalisnya. Setelah itu pasien diminta berkedip beberapa kali dan pada
akhir menit ke-6 pasien diminta untuk beringus (bersin) dan menyekanya dengan
tissue. Jika pada tissue didapati zat warna, berarti duktus nasolakrimalis tidak
mengalami obstruksi.7,8
Jones dye test juga dilakukan untuk melihat kelainan fungsi saluran
ekskresi lakrimal. Uji ini terbagi menjadi dua yaitu Jones Test I dan Jones Test
II. Pada Jones Test I, mata pasien yang dicurigai mengalami obstruksi pada
duktus nasolakrimalisnya ditetesi zat warna fluorescein 2% sebanyak 1-2 tetes.
Kemudian kapas yang sudah ditetesi pantokain dimasukkan ke meatus nasal
inferior dan ditunggu selama 3 menit. Jika kapas yang dikeluarkan berwarna
hijau berarti tidak ada obstruksi pada duktus nasolakrimalisnya. Pada Jones Test
II, caranya hampir sama dengan Jones test I, akan tetapi jika pada menit ke-5
tidak didapatkan kapas dengan bercak berwarna hijau maka dilakukan irigasi
pada sakus lakrimalisnya. Bila setelah 2 menit didapatkan zat warna hijau pada
kapas, maka dapat dipastikan fungsi sistem lakrimalnya dalam keadaan baik.
Bila lebih dari 2 menit atau bahkan tidak ada zat warna hijau pada kapas sama
sekali setelah dilakukan irigasi, maka dapat dikatakan bahwa fungsi sistem
lakrimalnya sedang terganggu. 4,5

13
Gambar 7. Irigasi mata setelah ditetesi fluorescein pada Jones dye test II

Anel test merupakan suatu pemeriksaan untuk menilai fungsi ekskresi air
mata ke dalam rongga hidung. Tes ini dikatakan positif bila ada reaksi menelan.
Hal ini menunjukkan bahwa fungsi sistem ekskresi lakrimal normal.
Pemeriksaan lainnya adalah probing test. Probing test bertujuan untuk
menentukan letak obstruksi pada saluran ekskresi air mata dengan cara
memasukkan sonde ke dalam saluran air mata. Pada tes ini, punctum lakrimal
dilebarkan dengan dilator, kemudian probe dimasukkan ke dalam sackus
lakrimal. Jika probe yang bisa masuk panjangnya lebi dari 8 mm berarti kanalis
dalam keadaan normal, tapi jika yang masuk kurang 8 mm berarti ada obstruksi.7

Gambar 8. Anel Test

Pemeriksaan penunjang juga memiliki peranan penting dalan


penegakkan diagnosis dakriosistitis. CT scan sangat berguna untuk mencari
tahu penyebab obstruksi pada dakriosistitis terutama akibat adanya suatu massa

14
atau keganasan. Dacryocystography (DCG) dan dacryoscintigraphy sangat
berguna untuk mendeteksi adanya kelainan anatomi pada sistem drainase
lakrimal.13

Gambar 9. Probing Test

8. Diagnosis Banding
a. Dakrioadenitis
Radang akut kelenjar lakrimal merupakan keadaan langka yang paling
sering terlihat padda anak – anak sebagai komplikasi protitis, infeksi
virus Estein-Barr, campak atau influenza. Dakrioadenitis kronik
mungkun akibat limfostik jinak, limfoma, leukemia atau tuberculosis.
Keadaan ini sesekali dijumpai bilateral sebagai manifestasi sarkoidosis.
Bila menyertai pembengkakan kelenjar parotis disebut Syndrome
Miculicz. Nyeri hebat, pembengkakan dan pelebaran pembuluh darah
terjadi diaspek temporal palpebra superior. Jika terdapat infeksi bakteri,
berikan antibiotic sistemik.4

15
Gambar 10. Dakriodenitis

b. Selulitis Orbita
Selulitis orbita merupakan peradangan supuratif jaringan ikat longgar
intraorbita di belakang septum orbita. Selulitis orbita akan memberikan
gejala demam, mata merah, kelopak sangat edema dan kemotik, mata
proptosis, atau eksoftalmus diplopia, sakit terutama bila digerakkan, dan
tajam penglihatan menurun bila terjadi penyakit neuritis retrobulbar.
Pada retina terlihat tanda stasis pembuluh vena dengan edema papil. 7

Gambar 11. Selulitis Orbita

16
c. Hordeolum
Hordeolum merupakan peradangan supuratif kelenjar kelopak mata.
Dikenal bentuk hordeolum internum dan eksternum. Horedeolum
eksternum merupakan infeksi pada kelenjar Zeiss atau Moll. Hordeolum
internum merupakan infeksi kelenjar Meibom yang terletak di dalam
tarsus. Gejalanya berupa kelopak yang bengkak dengan rasa sakit dan
mengganjal, merah dan nyeri bila ditekan. Hordeolum eksternum atau
radang kelenjar Zeis atau Moll akan menunjukkan penonjolan terutama
ke daerah kulit kelopak. 9

Gambar 12. Hordeolum

9. Penatalaksanaan
Pengobatan dakriosistitis pada anak (neonatus) dapat dilakukan
dengan masase kantong air mata ke arah pangkal hidung. Dapat juga
diberikan antibiotik amoxicillin/clavulanate atau cefaclor 20-40
mg/kgBB/hari dibagi dalam tiga dosis dan dapat pula diberikan antibiotik
topikal dalam bentuk tetes (moxifloxacin 0,5% atau azithromycin 1%) atau
menggunakan sulfonamid 4-5 kali sehari 10.
Pada orang dewasa, dakriosistitis akut dapat diterapi dengan
melakukan kompres hangat pada daerah sakus yang terkena dalam frekuensi
yang cukup sering. Amoxicillin dan chepalosporine (cephalexin 500mg p.o.
tiap 6 jam) juga merupakan pilihan antibiotik sistemik yang baik untuk
orang dewasa. Untuk mengatasi nyeri dan radang, dapat diberikan analgesik

17
oral (acetaminofen atau ibuprofen), bila perlu dilakukan perawatan di rumah
sakit dengan pemberian antibiotik secara intravena, seperti cefazoline tiap 8
jam. Bila terjadi abses dapat dilakukan insisi dan drainase. Dakriosistitis
kronis pada orang dewasa dapat diterapi dengan cara melakukan irigasi
dengan antibiotik. Sumbatan duktus nasolakrimal dapat diperbaiki dengan
cara pembedahan jika sudah tidak radang lagi.
Penatalaksaan dakriosistitis dengan pembedahan bertujuan untuk
mengurangi angka rekurensi. Prosedur pembedahan yang sering dilakukan
pada dakriosistitis adalah dacryocystorhinostomy (DCR). Di mana pada
DCR ini dibuat suatu hubungan langsung antara sistem drainase lakrimal
dengan cavum nasal dengan cara melakukan bypass pada kantung air mata.
Dulu, DCR merupakan prosedur bedah eksternal dengan pendekatan
melalui kulit di dekat pangkal hidung. Saat ini, banyak dokter telah
menggunakan teknik endonasal dengan menggunakan scalpel bergagang
panjang atau laser.5,7

Gambar 13. Teknik Dakriosistorinostomi Eksternal

18
Dakriosistorinostomi internal memiliki beberapa keuntungan jika
dibandingkan dengan dakriosistorinostomi eksternal. Adapun
keuntungannya yaitu, (1) trauma minimal dan tidak ada luka di daerah
wajah karena operasi dilakukan tanpa insisi kulit dan eksisi tulang, (2) lebih
sedikit gangguan pada fungsi pompa lakrimal, karena operasi merestorasi
pasase air mata fisiologis tanpa membuat sistem drainase bypass, dan (3)
lebih sederhana, mudah, dan cepat (rata-rata hanya 12,5 menit). 9
Kontraindikasi pelaksanaan DCR ada 2 macam, yaitu kontraindikasi
absolut dan kontraindikasi relatif. Kontraindikasi relatif dilakukannya DCR
adalah usia yang ekstrim (bayi atau orang tua di atas 70 tahun) dan adanya
mucocele atau fistula lakrimalis. Beberapa keadaan yang menjadi
kontraindikasi absolut antara lain:
a. Kelainan pada kantong air mata :
- Keganasan pada kantong air mata.
- Dakriosistitis spesifik, seperti TB dan sifilis
b. Kelainan pada hidung :
- Keganasan pada hidung
- Rhinitis spesifik, seperti rhinoskleroma
- Rhinitis atopik
c. Kelainan pada tulang hidung, seperti periostitis

19
Gambar 14. Teknik Dakriosistorinostomi Internal

10. Komplikasi
Dakriosistitis yang tidak diobati dapat menyebabkan pecahnya
kantong air mata sehingga membentuk fistel. Bisa juga terkadi abses
kelopak mata, ulkus, bahkan selulitis orbita.6,9
Komplikasi juga bisa muncul setelah dilakukannya DCR.
Komplikasi tersebut di antaranya adalah perdarahan pascaoperasi, nyeri
transien pada segmen superior os.maxilla, hematoma subkutaneus
periorbita, infeksi dan sikatrik pascaoperasi yang tampak jelas.6

11. Prognosis
Dakriosistitis sangat sensitif terhadap antibiotika namun masih
berpotensi terjadi kekambuhan jika obstruksi duktus nasolakrimalis tidak
ditangani secara tepat, sehingga prognosisnya adalah dubia ad malam. Akan
tetapi, jika dilakukan pembedahan baik itu dengan dakriosistorinostomi

20
eksternal atau dakriosistorinostomi internal, kekambuhan sangat jarang
terjadi sehingga prognosisnya dubia ad bonam. 2,3

21
BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS

Nama : Ny. PRD

Umur : 26 tahun

Agama : Islam

Pekerjaan : Bidan

Alamat : Banjarbaru

MRS : 4 September 2018

ANAMNESIS
Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang keluhan mata sebelah kanan bengkak, nyeri merah dan keluar cairan
berisi campuran air mata dan kotoran mata. Keluhan sudah dirasakan oleh pasien
sejak 2 hari, pasien sebelumnya rutin kontrol ke poli mata dengan keluhan serupa,
namun saat ini keluhan tidak kunjung membaik dan terasa nyeri. Tidak ada keluhan
sakit kepala, mual muntah, ataupun penurunan penglihatan.
• Pasien mengaku keluhan sudah dirasakan sejak kecil, keluhan mulai sering
dirasakan setelah mendapatkan trauma di mata kanan akibat dipukul oleh teman
saat usia 7 tahun.

22
STATUS OFTALMIKUS

Status Oftalmikus OD OS
Visus tanpa koreksi 5/5 5/5
Visus dengan koreksi 5/5 5/5
Refleks Fundus + +
Palpebra Edem (+), Hiperemis (+), ekskoriasi Edem (-), Hiperemis
(+) (-) ekskoriasi (-)
Konjungtiva Palpebra Hiperemis (+) Folikel (-) Hiperemis (-) Folikel
Papil (-) (-) Papil (-)
Aparatus Lakrimalis Pus (+) Dalam batas normal
Konjungtiva Fornics Hiperemis (+) Hiperemis (-)
Konjungtiva Bulbii Hiperemis (+) Hiperemis (-)
Sklera Putih Putih
Kornea Bening Bening
Iris Coklat, rugae (+) Coklat, rugae (+)
Pupil Bulat, Reflek cahaya + /+ Bulat, Reflek cahaya
d = 3mm + /+
d = 3mm
Lensa Bening Bening
Korpus Vitreum Jernih Jernih
Tekanan Bulbus Okuli N (palpasi) N (palpasi)
Posisi Bulbus Okuli Ortho Ortho
Gerakan Bulbus Okuli Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah

DIAGNOSIS KERJA:

Selulitis Praseptal OD e.c Dacriosistitis

PENATALAKSANAAN

IVFD RL 20 tpm

Inj. Ceftriaxone 2x1 gr

Inj. Ketorolac 3x30 mg

Tobramicyn tetes mata 6x1 tts (OD)

23
Follow up 1

Status Oftalmikus OD OS
Visus tanpa koreksi 5/5 5/5
Visus dengan koreksi 5/5 5/5
Refleks Fundus + +
Palpebra Edem (+), Hiperemis (+), ekskoriasi Edem (-), Hiperemis
(+) (-) ekskoriasi (-)
Konjungtiva Palpebra Hiperemis (+) Folikel (-) Hiperemis (-) Folikel
Papil (-) (-) Papil (-)
Aparatus Lakrimalis Pus (+) Dalam batas normal
Konjungtiva Fornics Hiperemis (+) Hiperemis (-)
Konjungtiva Bulbii Hiperemis (+) Hiperemis (-)
Sklera Putih Putih
Kornea Bening Bening
Iris Coklat, rugae (+) Coklat, rugae (+)
Pupil Bulat, Reflek cahaya + /+ Bulat, Reflek cahaya
d = 3mm + /+
d = 3mm
Lensa Bening Bening
Korpus Vitreum Jernih Jernih
Tekanan Bulbus Okuli N (palpasi) N (palpasi)
Posisi Bulbus Okuli Ortho Ortho
Gerakan Bulbus Okuli Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah

Terapi :

IVFD RL 20 tpm

Inj. Ceftriaxone 2x1 gr

Inj. Ketorolac 3x30 mg

Tobramicyn tetes mata 6x1 tts (OD)

24
Follow up 2

Status Oftalmikus OD OS
Visus tanpa koreksi 5/5 5/5
Visus dengan koreksi 5/5 5/5
Refleks Fundus + +
Palpebra Edem (+), Hiperemis (+), ekskoriasi Edem (-), Hiperemis
(+) (-) ekskoriasi (-)
Konjungtiva Palpebra Hiperemis (+) Folikel (-) Hiperemis (-) Folikel
Papil (-) (-) Papil (-)
Aparatus Lakrimalis Pus (+) Dalam batas normal
Konjungtiva Fornics Hiperemis (+) Hiperemis (-)
Konjungtiva Bulbii Hiperemis (+) Hiperemis (-)
Sklera Putih Putih
Kornea Bening Bening
Iris Coklat, rugae (+) Coklat, rugae (+)
Pupil Bulat, Reflek cahaya + /+ Bulat, Reflek cahaya
d = 3mm + /+
d = 3mm
Lensa Bening Bening
Korpus Vitreum Jernih Jernih
Tekanan Bulbus Okuli N (palpasi) N (palpasi)
Posisi Bulbus Okuli Ortho Ortho
Gerakan Bulbus Okuli Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah

Terapi :

IVFD RL 20 tpm

Inj. Ceftriaxone 2x1 gr

Inj. Ketorolac 3x30 mg

Tobramicyn tetes mata 6x1 tts (OD)

25
Follow up 3

Status Oftalmikus OD OS
Visus tanpa koreksi 5/5 5/5
Visus dengan koreksi 5/5 5/5
Refleks Fundus + +
Palpebra Edem (+), Hiperemis (+), ekskoriasi Edem (-), Hiperemis (-
(+) ) ekskoriasi (-)
Konjungtiva Tarsalis Hiperemis (+) Folikel (-) Hiperemis (-) Folikel
Papil (-) (-) Papil (-)
Aparatus Lakrimalis Pus (+) Dalam batas normal
Konjungtiva Fornics Hiperemis (+) Hiperemis (-)
Konjungtiva Bulbii Hiperemis (+) Hiperemis (-)
Sklera Putih Putih
Kornea Bening Bening
Iris Coklat, rugae (+) Coklat, rugae (+)
Pupil Bulat, Reflek cahaya + /+ Bulat, Reflek cahaya +
d = 3mm /+
d = 3mm
Lensa Bening Bening
Korpus Vitreum Jernih Jernih
Tekanan Bulbus Okuli N (palpasi) N (palpasi)
Posisi Bulbus Okuli Ortho Ortho
Gerakan Bulbus Okuli Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah

Terapi :

IVFD RL 20 tpm

Inj. Ceftriaxone 2x1 gr

Inj. Ketorolac 3x30 mg

Tobramicyn tetes mata 6x1 tts (OD)

26
BAB IV

PEMBAHASAN

Telah dilaporkan kasus seorang pasien perempuan berumur 26 tahun yang


dirawat di ruang perawatan RSDI Banjarbaru sejak tanggal 4 September 2018
dengan diagnosis kerja Selulitis Praseptal OD e.c Dakriosistitis.
Dasar diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik mata.
Dari anamnesis didapatkan bahwa mata kanan pasien nyeri dan bengkak yang sudah
lama hilang-timbul dan pasien rutin kontrol ke dokter spesialis mata. Namun
beberapa hari terakhir nyeri dan bengkak tidak berkurang dengan pengobatan, dari
mata keluar air mata bercampur kotoran mata, dari pemeriksaan fisik mata kanan
didapatkan visus 5/5, palpebra mata kanan inferior edem dan hiperemis, konjuntiva
mata kanan hiperemis. Hal tersebut sesuai dengan kepustakaan yang menyebutkan
bahwa selulitis preseptal bermanifestasi sebagai edema inflamasi pada kelopak
mata dan kulit periorbital tanpa melibatkan orbita dan struktur di dalamnya. Maka
itu, karakteristik dari penyakit ini adalah pembengkakan periorbital akut, eritema,
dan hiperemia pada kelopak mata tanpa adanya gejala-gejala proptosis, kemosis,
gangguan visus, dan gangguan gerakan bola mata.
Organisme terbanyak penyebab selulitis preseptal adalah staphylococcus
aureus dan streptococcus pyogenes. Selain itu, beberapa bakteri anaerob juga sering
menjadi etiologi dari selulitis preseptal. Jalur masuk infeksi sendiri dapat dibagi
menjadi infeksi eksogen misalnya seperti trauma atau gigitan serangga, penyebaran
infeksi jaringan sekitar seperti sinusitis, dakriosistisis, atau hordeolum dan infeksi
endogen yang berasal dari penyebaran infeksi dari tempat yang jauh seperti saluran
napas atas melalui rute hematogen, menurut pengakuan pasien, saat masih kecil
pasien pernah mengalami trauma di mata kanan karena dipukul oleh teman, yang
diduga merupakan salah satu penyebab terjadinya selulitis preseptal pada pasien.
Terapi yang diberikan kepada pasien adalah Ceftriaxon 2 x 1 gram IV
sebagai antibiotik dan diharapakan memberikan efek sistemik. Kemudian
TOBRO® ed 6x1 OD, TOBRO® merupakan pengobatan topikal dan mengandung
Tobramycin yang memiliki efek bakterisid terutama pada bakteri gram negatif dan

27
golongan Staphylococci, dan juga diberikan Ketorolac 3x1 sebagai antinyeri untuk
mengatasi nyeri yang dikeluhakn pada mata kanan pasien.

28
BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan pasien atas nama Ny. PRD, 26 tahun. keluhan mata
sebelah kanan bengkak, nyeri merah dan keluar cairan berisi campuran air mata dan
kotoran mata. Pasien sebelumnya rutin kontrol ke poli mata dengan keluhan serupa,
namun saat ini keluhan tidak kunjung membaik dan terasa nyeri. Tidak ada keluhan
sakit kepala, mual muntah, ataupun penurunan penglihatan.
Adapun terapi yang diberikan sudah sesuai dengan literature yang ada.
Tetapi butuhnya evaluasi lanjutan seperti anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang yang tepat dan benar sehingga pasien tidak mengalami
perburukan keadaan.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Fida, Monica, Kocinaj alma, Abazi Flora, Arjeta Grezda. Preseptal

Cellulitis. Common Eye Infection. Intech. 2013. Pg: 107-22.

2. Kwitko, Geoffrey M, Preseptal Cellulitis. Medscape.

3. Oxford LE, McClay J. Complications of Acute Sinusitis in Children.

Otolaryngol Head Neck Surg. 2005; 133 pg: 31-37

4. Ambati BK, Ambati J, Azar N, et al, Periorbital and orbital cellulitis before

and After the advent of Haemophilusinfluenzae type B vaccination.

Ophtalmology. 2000; 107 pg: 176

5. Chaudhry IA, Shamsi FA, Elzaridi E, Al-Rashed W, Al-Amri A, Arat YO.

Inpatient Preseptal Cellulitis; experience from a tertiary eye care centre. Br

J Ophthalmol. 2008; 92(10) ; 1337-41

6. Babar TF, Zaman M, Khan MN, Khan MD, Risk Factor of Preseptal and

Orbital Cellulitis. J Coll Physicians Sur Pak. Jan 2009; 19 (1): pg: 39-42

7. 7. Sobol SE, Marchand J, Tewfik TL, Manoukian JJ, Schloss MD, Orbital

Complication of Sinusitis in Children. J Otolaryngol. 2002; 31 pg: 131-36

8. Goldberg F, Berne AS, Oski FA. Differentiation of Orbital Cellulitis from

PReseptal Cellulitis by Computed Tomography. Pediatrics. 1978; 62; 1000-

1005.

9. Finger Basak SA, Berk DR, Lueder GT, Bayliss SJ. Common features of

perioculartinea. Arch Ophthalmol. 2001; 129 (3); 306-9

10. Carlisle RT, Fredrick GT. Preseptal and Orbital Cellulitis. Clinical Review

Article. 2006 pg; 15-20.

30
11. Ilyas, S.Ilmu Penyakit Mata Edisi 3. Fakultas Kedokteran

UniversitasIndonesia. Jakarta.2004. Hal. 1-13, 101-102

12. J. Jack, Kanski Clinical Opthalmology, sixth edition, hal.151-163

13. Eva. Roirdan Paul & Whitcher J.P. Oftalmologi Umum Vaughan & Asbury, Ed.

17.EGC.Jakarta.2007

31

Anda mungkin juga menyukai