Hariman Satria
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari
Jl. KH. Ahmad Dahlan No. 10, Kendari 93117
E-mail: hariman85antikorupsi@gmail.com
Naskah diterima: 23 Januari 2017; revisi: 14 Agustus 2017; disetujui 14 Agustus 2017
Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria) | 155
subject to additional criminal charges. As a result, a quo offender.
decision is not maximal both in terms of state financial
Keywords: additional charges, criminal liability,
losses recovery and criminal sanction of fines to the
corporate, environment.
Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria) | 157
perbuatan melawan hukum tersebut. PT KA KA. Dengan demikian kerugian negara termasuk
selaku tergugat kemudian dikenai hukuman ganti biaya pemulihan belum terselesaikan dengan
kerugian sebesar Rp251.765.250.000,-. Jumlah baik.
ini diperhitungkan sebagai biaya pemulihan
Pasal 119 huruf c Undang-Undang
lingkungan atas kebakaran lahan yang terjadi.
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Namun demikian, dalam putusan a quo sama
Hidup, membuka kemungkinan penjatuhan
sekali tidak menyebutkan bahwa dengan adanya
pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa
sanksi ganti kerugian ini maka tergugat (PT KA)
perbaikan akibat tindak pidana. Di sinilah letak
sudah tidak dapat diproses hukum lagi untuk
permasalahannya, sebab putusan perkara pidana
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
hanya berupa pidana denda dalam jumlah yang
Kembali pada putusan perkara pidana, minimal tanpa ada pidana tambahan kepada
menurut penulis dalam putusan a quo, terdakwa PT KA. Inilah salah satu alasan yang
pertimbangan majelis hakim menyimpan mendasari penulis sehingga melakukan penelitian
sejumlah masalah serius dan cenderung ambigu. dalam putusan a quo.
Di satu sisi majelis hakim meyakini bahwa
perbuatan terdakwa PT KA menimbulkan B. Rumusan Masalah
kerugian negara dalam jumlah yang tidak sedikit
yaitu sebesar Rp366.098.669.000,-. Di sisi yang Merujuk pada latar belakang di atas,
lain, majelis hakim justru menguatkan putusan permasalahan yang akan diteliti dalam
Pengadilan Negeri Meulaboh yang menghukum tulisan ini adalah bagaimanakah penerapan
terdakwa untuk membayar pidana denda hanya pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
sebesar Rp3 miliar. tindak pidana lingkungan hidup kaitannya dengan
pidana tambahan berupa pemulihan kerugian
Putusan ini tentu jumlahnya tergolong akibat kerusakan lingkungan yang terjadi?
sedikit sebab setara dengan ancaman pidana
minimal pada Pasal 108 Undang-Undang
C. Tujuan dan Kegunaan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Padahal majelis hakim sebetulnya masih Tujuan tulisan ini adalah untuk mengetahui,
bisa mengenakan ancaman pidana denda yang mengidentifikasi, dan menganalisis penerapan
lebih berat. Sebab dalam Pasal 108 a quo ancaman pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
pidana denda maksimalnya sebesar Rp10 miliar. tindak pidana lingkungan hidup kaitannya dengan
pidana tambahan berupa pemulihan kerugian
Cara pandang hakim dalam menilai perlu
akibat kerusakan lingkungan yang terjadi.
tidaknya, terdakwa PT KA membayar biaya
pemulihan ternyata dipengaruhi oleh kenyataan Kegunaan bagi ilmu pengetahuan adalah
bahwa terdakwa juga telah dihukum secara perdata diharapkan hasil penelitian ini dapat memperkaya
dan diwajibkan membayar biaya pemulihan. Jadi pemahaman filosofis, teoritik, dan praktis serta
majelis hakim dalam perkara a quo menyerahkan dapat memberikan wacana yang utuh mengenai
biaya pemulihan kepada majelis hakim yang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
menangani gugatan keperdataan terhadap PT tindak pidana lingkungan hidup.
Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria) | 159
collar crime are to describe criminal activity by Masih mengenai pertanggungjawaban
persons of high social status and respectability pidana korporasi, pada dasarnya ada lima teori.
who use their occupational position as a means Pertama, teori identifikasi (identification theory)
violate the law (Sutherland & Cressey, 1955: 82). biasa disebut dengan direct corporate criminal
liablity atau pertanggungjawaban pidana
Secara teoritis dikenal tiga prototipe
korporasi secara langsung (Pinto & Evans, 2003:
kejahatan korporasi yaitu: crimes for corporation,
46). Menurut teori ini korporasi bisa melakukan
crimes against corporation, dan criminal
sejumlah delik secara langsung melalui pengurus
corportions. Pada dasarnya crimes for corporation
yang sangat berhubungan erat dengan korporasi,
inilah yang disebut sebagai kejahatan korporasi.
bertindak untuk dan atas nama korporasi sehingga
Dalam hal ini dapat dikatakan corporate crime
dipandang sebagai perusahaan itu sendiri (Reid,
are clearly commited for the corporate, and
1995: 53).
not against. Kejahatan korporasi dilakukan
untuk kepentingan korporasi bukan sebaliknya. Kedua, strict liability. Smith & Hogan
Sementara itu crimes against corporation adalah (1998: 79), mendefinisikan strict liability sebagai
kejahatan yang dilakukan oleh pengurus korporasi crimes which do not require intention, recklessness
itu sendiri (employes crime). Dalam hal ini or even negligent or more element in the actus
korporasi sebagai korban dan pengurus sebagai reus. Karena itu strict liability diartikan sebagai
pelaku. Sedangkan criminal corporation adalah pertanggungjawaban yang ketat menurut undang-
korporasi yang sengaja dibentuk untuk melakukan undang tanpa memandang siapa yang melakukan
kejahatan (Simpson & Weisburd, 2009: 3). kesalahan. Berkenaan dengan itu Dobson (2008:
22) menarasikan strict liability sebagai some
Secara substantif terdapat tiga model
crimes for which with regard to at least one
pertanggungjawaban pidana korporasi. Pertama,
element of the actus reus, no mens rea is required.
pengurus korporasi sebagai pembuat dan
penguruslah yang bertanggung jawab. Gagasan Ketiga, vicarious liability. Pada dasarnya
ini dilandasi oleh pemikiran bahwa badan ajaran ini erat hubungannya dengan doctrine
hukum tidak dapat dipertanggungjawabkan of respondeat superior yaitu adanya hubungan
secara pidana, karena penguruslah yang akan antara master dan servant atau antara principal
selalu dianggap sebagai pelaku dari delik dan agent. Hubungan itu kemudian dikuatkan
tersebut. Kedua, korporasi sebagai pembuat dan oleh adagium yang berbunyi qui facit per alium
pengurus yang bertanggung jawab. Jadi model facit per se artinya seseorang yang berbuat
ini menyadari bahwa korporasi sebagai pembuat melalui orang lain dianggap dia sendiri yang
namun untuk pertanggungjawabannya diserahkan melakukan perbuatan itu (Sjahdeini, 2006: 84).
kepada pengurus. Ketiga, korporasi sebagai
Menurut LaFave (2003: 224), vicarious
pembuat dan juga sebagai yang bertanggung
liability is one wherein one person, though without
jawab. Model ini memperhatikan perkembangan
personal fault, is more liable for the counduct of
korporasi itu sendiri, karena ternyata hanya
another. Intinya adalah bahwa vicarious liability
dengan menetapkan pengurus sebagai yang
merupakan pengecualian pertanggungjawaban
bertanggung jawab, tidaklah cukup (Muladi &
individu yang dianut dalam hukum pidana
Priyatno, 2010: 148)
Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria) | 161
definisi singkat, Jonkers hanya menyinggung kasus bertolak pada ratio decidendi yaitu alasan
soal perbuatan pidana tetapi pada definisi luas ia hukum yang digunakan oleh hakim sampai pada
mulai menyinggung pertanggungjawaban pidana putusannya. Menurut Goodheart, ratio decidendi
(Jonkers, 1987: 135). dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta
materiil (Mcleod, 1999: 144).
Merujuk pada uraian perbuatan pidana
di atas, maka kontekstual perbuatan pidana Kedua, pendekatan konseptual (conceptual
lingkungan hidup adalah suatu perbuatan yang approach). Pendekatan konseptual adalah
dilarang dalam undang-undang lingkungan bertolak dari pandangan-pandangan dan
hidup atau peraturan lain yang terkait dengan itu, doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu
yang mana pelanggaran atas larangan tersebut hukum. Pemahaman terhadap pandangan dan
diancam dengan pidana oleh badan yang berhak. doktrin tersebut dapat menjadi sandaran dalam
Rahmadi (2014: 221) kemudian menegaskan membangun dan memecahkan permasalahan
bahwa perbuatan pidana lingkungan hidup adalah penelitian (Marzuki, 2014: 95).
perintah dan larangan undang-undang kepada
subjek hukum yang jika dilanggar diancam III. HASIL DAN PEMBAHASAN
dengan penjatuhan sanksi-sanksi pidana dengan
tujuan melindungi lingkungan hidup secara Apabila kita memperhatikan dengan
keseluruhan. saksama Putusan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015,
kelihatannya tidak ada masalah serius. Putusan ini
bahkan boleh dikatakan sebagai salah satu putusan
II. METODE
yang paling progresif dan membawa angin segar
Menurut Istanto (2007: 29), penelitian dalam upaya menuntut dan menghukum korporasi
hukum adalah penelitian yang diterapkan atau nakal. Dikatakan demikian, sebab untuk pertama
diberlakukan khusus pada ilmu hukum. Cohen & kalinya pengadilan memidana korporasi sebagai
Olson (1992: 1) mendefinisikan penelitian hukum pelaku tindak pidana lingkungan hidup. Karena
sebagai the process of identifing and retrieving itu kita patut mengapresiasi majelis hakim dalam
information necessary to support legal decision- perkara a quo, yang secara responsif memberi
making. putusan yang monumental.
Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria) | 163
pembakaran lahan sebagaimana disebutkan umum sehingga tidak menyulitkan majelis
dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h Undang-Undang hakim dalam pembuktian.
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
2. Dalam surat tuntutan disebutkan bahwa
Hidup. Pembakaran lahan tersebut kemudian
terdakwa diwakili oleh direkturnya yang
menimbulkan kerusakan lingkungan sehingga
bernama SR. Hal ini telah sesuai pula
terdakwa dituntut secara pidana.
dengan ketentuan dalam Pasal 116 ayat (1)
huruf a sebagaimana disebutkan dalam surat
B. Surat Tuntutan
dakwaan. Bahwa ketika korporasi yang
Tercatat ada empat poin penting yang dituntut maka korporasi tersebut diwakili
menjadi tuntutan penuntut umum dalam perkara a oleh pengurusnya. In qasu a quo diwakili
quo, yaitu: oleh direktur PT KA (SR). Dengan demikian
surat tuntutan penuntut umum adalah tepat.
1. Menyatakan terdakwa PT KA yang diwakili
oleh SR selaku direktur telah terbukti 3. Tuntutan pidana denda kepada terdakwa (PT
melakukan pembakaran lahan sebagaimana KA) sebesar Rp3 miliar. Bila dihubungkan
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h dengan ketentuan Pasal 108 Undang-Undang
yang dilakukan secara berlanjut sebagaimana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
diatur dalam Pasal 108 jo. Pasal 69 ayat (1) Hidup maka pada dasarnya jumlah tuntutan
huruf h, Pasal 116 ayat (1) huruf a, Pasal 118, pidana denda kepada terdakwa tentu masih
Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun jauh perbedaannya. Sebab dalam peraturan
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan a quo kisaran ancaman pidana dendanya
Lingkungan Hidup dan Pasal 64 KUHP; adalah minimal Rp3 miliar dan maksimal
Rp10 miliar.
2. Menjatuhkan pidana denda terhadap
terdakwa PT KA yang diwakili oleh SR Artinya penuntut umum menuntut
selaku direktur, dengan pidana denda terdakwa dengan ancaman pidana denda
sebesar Rp3 miliar; minimal. Hal ini sebetulnya masih terlalu
ringan bagi korporasi sebab mengingat
3. Menyatakan barang bukti PT KA nomor perbuatannya berupa pembakaran lahan
1 sampai dengan 9 tetap terlampir dalam secara berlanjut sehingga menimbulkan
berkas perkara; dan kerusakan lingkungan yang luar biasa, maka
4. Menetapkan supaya terdakwa PT KA yang sudah sepantasnya terdakwa dituntut pidana
diwakili oleh SR dibebani biaya perkara denda yang lebih berat, misalnya dengan
sebesar sepuluh ribu rupiah. mengikuti ancaman pidana denda maksimal
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 108
Berdasarkan surat tuntutan di atas terdapat tersebut.
beberapa hal penting yang dianalisis secara kritis,
yaitu: Penggunaan ancaman pidana denda
maksimal ini secara teori dapat dibenarkan
1. Secara sistematis ada korelasi positif antara sebab peraturan a quo mengadopsi stelsel
surat dakwaan dan surat tuntutan penuntut strafmaat berupa indeterminate sentence
Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria) | 165
merupakan perbuatan melanggar hukum karena memproduksi kebijakan di bidang lingkungan
hasilnya tidak dapat dipertanggungjawabkan hidup tetapi ditujukan juga kepada siapapun yang
berdasarkan prinsip lingkungan hidup. Terkait dalam kegiatannya memberi dampak terhadap
dengan prinsip lingkungan hidup ini, majelis kualitas lingkungan hidup. Apalagi dampak
hakim tidak menyebutkannya secara tegas, prinsip tersebut sulit dicegah maka prinsip kehatian-
mana yang dianggap dilanggar oleh terdakwa (PT hatian mesti menjadi patronnya. Pendeknya
KA). Dalam bayangan penulis, salah satu prinsip prinsip kehati-hatian sasarannya adalah mencegah
yang secara nyata dilanggar adalah prinsip kehati- agar tidak terjadi kerusakan lingkungan hidup.
hatian (precautionary principle).
In qasu a quo, terdakwa sama sekali tidak
Prinsip ini dihasilkan dari United Nations menggunakan prinsip ini dalam melaksanakan
Conference on Enviroment and Development kegiatannya. Dengan demikian, ia layak
(UNCED) di Rio de Janeiro, Brazil, tanggal 3-4 dihukum atau dipidana atas kesalahannya. Sebab
Juni 1992. Secara gamblang dinyatakan bahwa in telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang
order to protect the enviroment, the precautionary massif dan merugikan negara dalam jumlah yang
approach shall be widely applied by states signifikan.
according to their capabilities. Where there are
Kedua, bahwa perbuatan terdakwa PT KA
threats of serious or irreversible damage, lack
sebagai akibat terjadinya kebakaran lahan telah
of full scientific certainty shall not be used as a
merugikan keuangan negara dalam bentuk biaya
reason for postponing cost-effective measures
pemulihan rehabilitasi lahan guna memfungsikan
to prevent envirometal degradation (Frestone,
kembali ekologi yang rusak sebesar
1994: 193-200).
Rp366.098.669.000,-. Dalam pertimbangan
Merujuk pada Deklarasi Rio tersebut, selanjutnya majelis hakim menyatakan bahwa
maka White (2011: 123-128) mengatakan karena kerugian keuangan negara dalam
bahwa the essence of precautionary concept, the bentuk pemulihan/rehabilitasi telah dibebankan
precautionary principle, is that once a risk has dalam Putusan Nomor 651 K/PDT/2015 yang
been identified the lack of the scientific proof of berhubungan dengan perkara a quo maka tidak
cause and effect shall not be used as a reason for dibebankan lagi.
not taking action to protect the enviroment.
Dua pertimbangan majelis hakim tersebut,
Tegasnya, dalam prinsip kehati-hatian intinya menegaskan bahwa di satu sisi negara
terkandung tiga hal, yaitu: 1) apabila telah mengalami kerugian akibat ulah terdakwa PT
diidentifikasi potensi kerugian yang akan terjadi; KA yang melakukan pembakaran lahan sehingga
2) ada ancaman serius atau kerugian yang merusak lingkungan tetapi karena terdakwa telah
sulit dipulihkan kembali sehingga berdampak dihukum secara perdata untuk memulihkan atau
selamanya pada lingkungan hidup; dan 3) apabila merehabilitasi lingkungan hidup, maka terdakwa
tidak ada kemampuan untuk menganalisis tidak lagi dikenai pidana denda dalam jumlah
kemungkinan adanya akibat. yang lebih besar. Ratio logis yang dibangun
oleh majelis hakim dalam perkara a quo rasanya
Intinya bahwa prinsip kehati-hatian
terlalu sumir dan ambigu. Sebab meskipun
tidak hanya dibebankan kepada negara dalam
Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria) | 167
penerapan asas geen straf zonder schuld karena 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
kesalahan individu pimpinan atau pengurus Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada perkara
korporasi yang memberi perintah pada suatu a quo, pembuktian adanya tindak pidana
badan hukum atau yang menjalankan perintah lingkungan hidup ditempuh melalui tiga alat
(pelaku fisik) diatribusikan sebagai kesalahan bukti yakni keterangan saksi, keterangan ahli,
korporasi tersebut. Menurut Wolter sebagaimana dan surat berupa hasil pemeriksaan laboratorium.
dikutip oleh Sahetapy, bahwa kepelakuan
Ketiga alat bukti inilah yang mendukung
fungsional adalah karya interpretasi kehakiman.
keyakinan majelis hakim sehingga memidana
Hakim menginterpretasikan tindak pidana itu
terdakwa PT KA. Dengan kata lain sistem
sedemikian rupa sehingga pemidanaannya
pembuktian negatief wettelijk bewijs theorie
memenuhi tuntutan masyarakat (Sahetapy, 2002:
yaitu pembuktian menurut keyakinan hakim yang
37-38).
timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang
Dalam perkara a quo, bila dianalisis secara secara negatif telah diadopsi oleh majelis hakim
normatif dan doktrinal –keputusan majelis hakim dalam perkara a quo.
yang menghukum terdakwa PT KA yang diwakili
Kelima, pertimbangan majelis hakim
oleh SR sebagai direktur sudah sangat tepat.
yang lain dan menarik dianalisis adalah ihwal
Namun demikian majelis hakim seharusnya bisa
perdebatan antara penuntut umum dan terdakwa
mengeksplorasi lebih jauh keterangan para saksi
yang menyoal adanya dugaan pelanggaran asas
apakah pembakaran lahan tersebut semata-mata
nebis in idem dalam putusan a quo. Munculnya
hanya diketahui oleh direktur atau ada pihak
dugaan ini disebabkan oleh adanya gugatan
lain yang memerintahkan suatu tindakan. Bila
perdata terlebih dahulu terhadap PT KA dengan
ada yang memberi perintah maka seharusnya ia
reg Nomor 12/Pdt.G/2012, PN. Mbo.
ikut diproses hukum sebagaimana ditekankan
pada Pasal 116 ayat (1) huruf b Undang-Undang Terdakwa PT KA dituntut secara pidana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. atas tuduhan melanggar Pasal 108 jo. Pasal 116
Proses hukum kepada pemberi perintah ini, ayat (1) huruf a Undang-Undang Perlindungan
secara doktrin juga dapat dibenarkan karena hal dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal
ini didukung oleh ajaran functioneel daderschap 64 KUHP dengan locus dan tempus yang sama.
baik yang dikemukakan oleh Roling maupun Melihat perdebatan tersebut majelis hakim dalam
oleh Wolter. pertimbangannya menyatakan bahwa perkara
a quo tidaklah melanggar prinsip nebis in idem
Keempat, bahwa membuka lahan
sebab ada perbedaan ranah hukum yakni ranah
perkebunan dengan cara merusak lingkungan,
hukum perdata dan ranah hukum pidana.
dapat dibuktikan berdasarkan keterangan
beberapa orang saksi, keterangan ahli, dan Komentar penulis atas pertimbangan
saksi ahli yang diperoleh berdasarkan hasil majelis hakim tersebut sebagai berikut: bahwa
pemeriksaan laboratorium. Pertimbangan ini asas nebis in idem atau nemo debet bis vexari
secara implisit mengarah pada alat-alat bukti berarti tidak seorangpun atas perbuatannya dapat
dan sistem pembuktian yang disebutkan dalam dituntut untuk kedua kalinya. Dalam sistem
Pasal 184 jo. Pasal 183 Undang-Undang Nomor hukum Anglo Saxon istilah ini diterjemahkan
Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria) | 169
DAFTAR PUSTAKA mind: The failure of corporate criminal libility.
Chicago & London: The University of Chicago
Braithwaite, J. (1984). Corporate crime in the
Press.
pharmaceutical industry. London: Routledge
& Kegan Paul. Marzuki, P.M. (2014). Penelitian hukum (Edisi revisi).
Jakarta: Kencana Pernada Media.
Clarkson & Keating. (2007). Criminal law: Text and
material. London: Sweet and Maxwell. Mcleod, T.I. (1999). Legal theory. London:
Macmillan.
Cohen, M.L., & Olson, K.C. (1992). Legal research.
New York: West Thompson Publishing Moeljatno. (2008). Asas-asas hukum pidana. Edisi
Company. Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.
Dobson, P. (2008). Criminal law (Eight edition). Muladi & Priyatno, D. (2010). Pertanggungjawaban
London: Thomson Sweet and Maxwell. pidana korporasi (Edisi revisi). Jakarta:
Kencana Pernada Media Group.
Fletcher, G.P. (2000). Rethinking criminal law. New
York: Oxford University Press. Pinto, A., & Evans, M. (2003). Corporate criminal
liability. London: Sweet and Maxwell.
Frankel, M.E. (1993). Criminal sentences: Law
without order (Third edition). New York: Hill Poernomo, B (1993). Asas-asas hukum pidana.
and Wang. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Frestone, D. (1994). The road from Rio: International Prodjodikoro, W. (2003). Asas-asas hukum pidana di
enviromental law after the earth summit. Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
Journal of Enviromental Law, 6, 193-200.
Rahmadi, T. (2014). Hukum lingkungan di Indonesia.
Harahap, M.Y. (2009). Pembahasan permasalahan & Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
penerapan KUHAP: Penyidikan & penuntutan.
Reid, S.T. (1995). Criminal law (Third edition). New
Jakarta: Sinar Grafika.
York: Prentice Hall.
Hiariej, E.O.S. (2014). Prinsip-prinsip hukum pidana.
Remmelink, J. (2003). Hukum pidana: Komentar atas
Yogyakarta: Cahya Atma Pustaka.
pasal-pasal terpenting dari Kitab Undang-
Istanto, F.S. (2007). Penelitian hukum. Yogyakarta: Undang Hukum Pidana Belanda & padanannya
CV Ganda. dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Jonkers, J.E. (1987). Buku pedoman hukum pidana
Hindia Belanda. Jakarta: PT Bina Aksara. Sahetapy, J.E. (2002). Kejahatan korporasi. Bandung:
Refika Aditama.
Kelsen, H. (2006). General theory of law & state.
New York: Russel & Russel. Saleh, R. (1980). Perbuatan pidana &
pertanggungjawaban pidana: Dua pengertian
LaFave, W.R. (2003). Principle of criminal law
dasar dalam hukum pidana. Jakarta: Aksara
(Second edition). New York: West A Thomson
Baru.
Reuters Bussines.
Samaha, J. (2014). Criminal law (11th edition).
Laufer, W.S. (2006). Corporate bodies & guilty
Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria) | 171