Anda di halaman 1dari 17

PENERAPAN PIDANA TAMBAHAN DALAM

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI


PADA TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP
Kajian Putusan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015

THE IMPLEMENTATION OF ADDITIONAL CRIMINAL CHARGES


OF CORPORATE CRIME LIABLITY IN ENVIRONMENTAL CRIME
An Analysis of Court Decision Number 1554 K/PID.SUS/2015

Hariman Satria
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari
Jl. KH. Ahmad Dahlan No. 10, Kendari 93117
E-mail: hariman85antikorupsi@gmail.com

Naskah diterima: 23 Januari 2017; revisi: 14 Agustus 2017; disetujui 14 Agustus 2017

ABSTRAK pemulihan kerugian keuangan negara, maupun dari sisi


sanksi pidana denda kepada pelaku.
Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 1554 K/PID.
SUS/2015 menghukum terdakwa PT KA yang diwakili Kata kunci: pidana tambahan, pertanggungjawaban
oleh SR selaku direktur utama, karena melakukan pidana, korporasi, lingkungan hidup.
pembakaran hutan yang merusak lingkungan hidup,
dengan pidana denda sebesar Rp3.000.000.000,-
Permasalahan yang timbul adalah bagaimanakah ABSTRACT
penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Supreme Court convicted PT KA represented by SR as
tindak pidana lingkungan hidup, kaitannya dengan the President Director, through Court Decision Number
pidana tambahan berupa pemulihan kerugian akibat 1554 K/PID.SUS/2015 on an environmentally-damaging
kerusakan lingkungan yang terjadi? Metode penelitian forest fire to a maximum fine of Rp3,000,000,000,- The
yang digunakan adalah penelitian hukum normatif problem addressed in this research analysis is how
dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan the implementation of corporate criminal liability in
kasus dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian environmental crime related to additional criminal
ini menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana charges, in the form of compensation for environmental
korporasi belum dilakukan secara maksimal karena damage caused? The method used is a normative
didasari oleh tiga alasan. Pertama, terdakwa dipidana legal research, focusing on two approaches: case
denda dengan menggunakan ancaman pidana minimal and conceptual approaches. The results indicated
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 108 Undang- that corporate criminal liability has not performed
Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan optimally for three reasons. First, the defendant is
Hidup. Kedua, terdakwa tidak dikenai pidana tindakan subject to minimal criminal sanction as mentioned in
tata tertib seperti perbaikan akibat tindak pidana Article 108 of Law on Environmental Protection and
guna memulihkan kerugian keuangan negara. Ketiga, Management. Second, the defendant is not subject to
terdakwa juga tidak dikenai pidana tambahan. Tegasnya sanction of disciplinary action, such as the restoration
putusan a quo belum maksimal baik dilihat dari sisi of state financial losses. Third, the defendant is also not

Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria) | 155
subject to additional criminal charges. As a result, a quo offender.
decision is not maximal both in terms of state financial
Keywords: additional charges, criminal liability,
losses recovery and criminal sanction of fines to the
corporate, environment.

I. PENDAHULUAN meyakinkan (Satria, 2016: 290). Itu artinya sejak


undang-undang lingkungan hidup diformulasi
A. Latar Belakang
dan diberlakukan, hanya ada satu korporasi yang
Berbicara mengenai tindak pidana dipidana yakni PT KA.
lingkungan hidup, tentunya tidak dapat dipisahkan
Menelusuri jejak keterlibatan PT KA,
dari aktor atau pelakunya (dader). Akhir-akhir
dalam tindak pidana lingkungan hidup di
ini aktor kerusakan lingkungan mengerucut pada
Kabupaten Nagan Raya, Meulaboh –dapat dilihat
dua subjek hukum yakni manusia (naturalijke
melalui pertimbangan hukum (ratio decidendi)
person) dan badan hukum (recht person). Atas
majelis hakim melalui Putusan Nomor 1554 K/
dasar itu, dalam Pasal 1 butir 32 Undang-Undang
Pid.Sus/2015. Berawal dari pembukaan lahan
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
dengan cara membakar semak-semak dan jalur-
Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan
jalur rumpukan yang terletak dalam blok milik
bahwa setiap orang adalah orang perseorangan
PT KA. Kemudian api menyebar dengan cepat
atau badan usaha, baik yang berbadan hukum
sehingga membakar hutan yang ada di sekeliling
maupun yang tidak berbadan hukum.
wilayah usaha PT KA.
Pendeknya peraturan lingkungan hidup
Peristiwa ini terjadi berulang kali sehingga
telah mengidentifikasi sejak awal bahwa pelaku
mengakibatkan kebakaran yang semakin meluas.
kejahatan, tidak melulu manusia, tetapi bisa
Dari kebakaran ini telah dilakukan penyelidikan
juga badan usaha/korporasi. Oleh karena itu,
oleh PPNS Kehutanan dan penyidik Polres
penegakan hukum lingkungan adresatnya adalah
Meulaboh, kemudian didapati fakta bahwa
manusia dan korporasi. Namun demikian, sejak
pelakunya bernama KY, yang notabene adalah
Indonesia memberlakukan undang-undang
karyawan PT KA. KY sendiri dalam persidangan
lingkungan hidup, sangat sedikit di antara
mengakui, bahwa ia hanya menjalankan
korporasi yang diproses pidana – padahal aroma
kebijakan perusahaan PT KA dalam hal
keterlibatan korporasi pada sejumlah tindak
melakukan pembakaran lahan. Atas perbuatannya
pidana lingkungan sangat kental terasa.
KY ditersangkakan sebagai pelaku tindak pidana
Tercatat hanya ada dua korporasi yang pembakaran hutan yang merusak lingkungan.
telah diproses pidana karena dugaan perusakan
Penyidik dan penuntut umum, kemudian
lingkungan yakni PT NMR (Putusan Nomor
menghadirkan ahli di bidang kehutanan untuk
284/Pid.B/2005/PN.Mdo) dan PT KA (Putusan
menganalisis dan memberi penjelasan tentang
Nomor 1554 K/Pid.Sus/2015). Kecuali PT
kebakaran hutan tersebut. Adapun ahli yang
KA, PT NMR oleh putusan Pengadilan Negeri
dihadirkan adalah Bambang Hero Sahardjo (guru
Manado dinyatakan tidak bersalah secara sah dan

156 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171


besar Fakultas Kehutanan IPB Bogor) yang pada koporasi dengan menggunakan sarana hukum
intinya menekankan empat hal. Pertama, dari pidana. Namun demikian, bagi penulis masih
hasil pengamatan dan analisa sampel didapati terdapat beberapa hal yang menarik untuk dikaji
bukti, bahwa telah terjadi perusakan lingkungan sehubungan dengan putusan tersebut. Paling
akibat pembakaran tanah gambut dalam tidak terdapat lima pertimbangan majelis hakim
pembuatan kebun kelapa sawit. yang menunjukkan adanya suatu kontradiksi
yang mesti dianalisis. Pertama, majelis hakim
Kedua, hasil analisa juga menunjukkan
menegaskan bahwa PT KA telah terbukti secara
bahwa tanah yang dibakar menimbulkan
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
kerusakan lingkungan sifat fisik, kimia, dan
pidana membuka lahan untuk perkebunan kelapa
biologi. Ketiga, akibat yang lain adalah kerusakan
sawit dengan cara merusak lingkungan secara
aspek flora dan keragaman spesies sehingga
berlanjut. Kedua, PT KA kemudian dijatuhi
menyebabkan hutan dan populasi menjadi hilang
pidana denda sebesar Rp3 miliar. Dalam putusan
seketika. Keempat, PT KA sama sekali tidak
a quo juga ditegaskan, bahwa PT KA diwakili
punya menara pengawas api yang memadai
oleh SR selaku direktur.
sehingga ketika terjadi kebakaran, sulit dihindari.
Ketiga, majelis hakim mengakui dalam
Atas kejadian ini, negara ditaksir mengalami
pandangannya, bahwa kerugian negara
kerugian sebesar Rp366.098.669.000,- termasuk
dalam tindak pidana tersebut berjumlah
di dalamnya adalah biaya yang dibutuhkan
Rp366.098.669.000,- Keempat, karena kerugian
untuk pemulihan kondisi lingkungan. Dalam
keuangan negara dalam bentuk rehabilitasi
kasus kebakaran lahan ini, penyidik selain
telah dibebankan dalam Putusan Nomor 651 K/
menersangkakan KY selaku karyawan PT KA,
PDT/2015 yang berhubungan dengan perkara a
penyidik juga ikut menersangkakan PT KA yang
quo, maka dalam perkara a quo tidak dibebankan
diwakili oleh SR selaku direktur utama, dengan
lagi. Kelima, majelis hakim tidak memperbaiki
tuduhan melanggar Pasal 108 jo. Pasal 69 ayat
putusan pidana Pengadilan Negeri Meulaboh
(1) huruf h, Pasal 116 ayat (1) huruf a, Pasal 118,
yang tidak memberikan pidana tambahan kepada
dan Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun
terdakwa PT KA padahal hal itu menjadi pintu
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
masuk untuk meminta ganti rugi.
Lingkungan Hidup dan jo. Pasal 64 ayat (1)
KUHP. Dalam perkembangannya, merujuk Bertalian dengan Putusan Nomor 651 K/
pada fakta persidangan di Pengadilan Negeri PDT/2015 tersebut, dapat penulis abstraksikan,
Meulaboh, diketahui bahwa PT KA yang diwakili bahwa PT KA digugat oleh Menteri Negara
oleh SR dijatuhi pidana denda sebesar Rp3 miliar.
Lingkungan Hidup dengan dalih melakukan
Putusan ini kemudian dikuatkan dalam Putusan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
Nomor 1554 K/PID.SUS/2015. sesuai dengan Pasal 1365 Burgelijk Wetboek
jo. Pasal 90 Undang-Undang Perlindungan
Terkait dengan Putusan Nomor 1554 K/
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berupa
PID.SUS/2015 ini, secara eksplisit menunjukkan
pembukaan lahan dengan cara membakar yang
adanya suatu progresif positif dalam upaya
merusak lingkungan. Pengadilan kemudian
melakukan penuntutan dan penghukuman kepada
memutuskan, bahwa PT KA terbukti melakukan

Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria) | 157
perbuatan melawan hukum tersebut. PT KA KA. Dengan demikian kerugian negara termasuk
selaku tergugat kemudian dikenai hukuman ganti biaya pemulihan belum terselesaikan dengan
kerugian sebesar Rp251.765.250.000,-. Jumlah baik.
ini diperhitungkan sebagai biaya pemulihan
Pasal 119 huruf c Undang-Undang
lingkungan atas kebakaran lahan yang terjadi.
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Namun demikian, dalam putusan a quo sama
Hidup, membuka kemungkinan penjatuhan
sekali tidak menyebutkan bahwa dengan adanya
pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa
sanksi ganti kerugian ini maka tergugat (PT KA)
perbaikan akibat tindak pidana. Di sinilah letak
sudah tidak dapat diproses hukum lagi untuk
permasalahannya, sebab putusan perkara pidana
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
hanya berupa pidana denda dalam jumlah yang
Kembali pada putusan perkara pidana, minimal tanpa ada pidana tambahan kepada
menurut penulis dalam putusan a quo, terdakwa PT KA. Inilah salah satu alasan yang
pertimbangan majelis hakim menyimpan mendasari penulis sehingga melakukan penelitian
sejumlah masalah serius dan cenderung ambigu. dalam putusan a quo.
Di satu sisi majelis hakim meyakini bahwa
perbuatan terdakwa PT KA menimbulkan B. Rumusan Masalah
kerugian negara dalam jumlah yang tidak sedikit
yaitu sebesar Rp366.098.669.000,-. Di sisi yang Merujuk pada latar belakang di atas,
lain, majelis hakim justru menguatkan putusan permasalahan yang akan diteliti dalam
Pengadilan Negeri Meulaboh yang menghukum tulisan ini adalah bagaimanakah penerapan
terdakwa untuk membayar pidana denda hanya pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
sebesar Rp3 miliar. tindak pidana lingkungan hidup kaitannya dengan
pidana tambahan berupa pemulihan kerugian
Putusan ini tentu jumlahnya tergolong akibat kerusakan lingkungan yang terjadi?
sedikit sebab setara dengan ancaman pidana
minimal pada Pasal 108 Undang-Undang
C. Tujuan dan Kegunaan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Padahal majelis hakim sebetulnya masih Tujuan tulisan ini adalah untuk mengetahui,
bisa mengenakan ancaman pidana denda yang mengidentifikasi, dan menganalisis penerapan
lebih berat. Sebab dalam Pasal 108 a quo ancaman pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
pidana denda maksimalnya sebesar Rp10 miliar. tindak pidana lingkungan hidup kaitannya dengan
pidana tambahan berupa pemulihan kerugian
Cara pandang hakim dalam menilai perlu
akibat kerusakan lingkungan yang terjadi.
tidaknya, terdakwa PT KA membayar biaya
pemulihan ternyata dipengaruhi oleh kenyataan Kegunaan bagi ilmu pengetahuan adalah
bahwa terdakwa juga telah dihukum secara perdata diharapkan hasil penelitian ini dapat memperkaya
dan diwajibkan membayar biaya pemulihan. Jadi pemahaman filosofis, teoritik, dan praktis serta
majelis hakim dalam perkara a quo menyerahkan dapat memberikan wacana yang utuh mengenai
biaya pemulihan kepada majelis hakim yang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam
menangani gugatan keperdataan terhadap PT tindak pidana lingkungan hidup.

158 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171


D. Tinjauan Pustaka ini ditandai dengan usaha-usaha agar perbuatan
pidana yang dilakukan badan hukum, dibatasi
1. Teori-Teori Pertanggungjawaban
pada perorangan (naturalijek persoon).
Pidana Korporasi
Kedua, pasca Perang Dunia I. Pada tahap
Secara etimologis, kata korporasi berasal
ini dalam undang-undang telah ditentukan
dari bahasa latin, corporatio. Kata ini berasal
bahwa suatu perbuatan pidana dapat dilakukan
dari bahasa latin yang lebih tua yakni corporare.
oleh korporasi namun tanggung jawab untuk
Corporare sendiri berasal dari kata corpus yang
itu masih menjadi beban dari pengurus atau
berarti memberikan badan atau membadankan
anggota pimpinan dari badan hukum tersebut.
(Stone, 2005: 17). Dari kata corporatio tersebut
Ketiga, pada waktu dan sesudah Perang
diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di
Dunia II, tanggung jawab pidana langsung
Eropa, seperti corporatie (Belanda), corporation
dari korporasi dianut juga. Secara kumulatif
(Inggris), corporation (Jerman). Dapat diduga
korporasi dipertanggungjawabkan menurut
dari kata corporatie (Belanda) tersebut akhirnya
hukum pidana, di samping mereka yang memberi
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi
perintah atau memimpin secara nyata telah
korporasi. Thomas W. Dunfee mendefinisikan
berperan dalam perbuatan pidana itu. Apabila
korporasi sebagai personae fictie, latin for fictious
kita memperhatikan narasi pengakuan korporasi
legal persons entities which the law threat, in most
sebagai subjek hukum pidana, berikut tahapan
cacses, as being separate and distinct from the
pertanggungjawabannya yang dikemukakan
shareholders who own them (Sjawie, 2013: 32).
oleh Schaffmeister, Keijzer, & Sutorius tersebut,
Awal mulanya, gagasan sekilas kita dapat menyimpulkan bahwa korporasi
pertanggungjawaban pidana korporasi dapat melakukan kejahatan. Dikatakan demikian
mengalami penolakan dengan berpegang pada karena ia mulai diakui sebagai subjek hukum
asas universitas delinquere non potest artinya sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban
korporasi tidak dapat dipidana dan asas societes pidana. Pertanyaan kemudian adalah apakah
delinqere non potest artinya korporasi tidak kejahatan korporasi itu? Simpson (2005: 6),
mungkin melakukan tindak pidana, yang sangat mengatakan: corporate crime is type of white
dipengaruhi oleh ajaran Savigny. Savigny collar crime. Demikian pula Braithwaite (1984:
berpendapat bahwa badan hukum hanyalah suatu 6), mengatakan bahwa corporate crime is the
fiksi saja (persona ficta; legal fiction). Bahwa conduct of a corporation, or of employees acting
kepribadian hukum sebagai satu kesatuan dengan on behalf of a corporation, which is prescribed
manusia hanya khayalan semata. Kepribadian and punishible by law.
yang sebenarnya hanya ada pada manusia
Menyangkut istilah white collar crime,
(Remmelink, 2003: 272).
sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari seorang
Schaffmeister, Keijzer, & Sutorius sosio kriminolog yang bernama Sutherland.
(1995: 274-276) menyebutkan bahwa proses Pada tahun 1939 di hadapan American
penerimaan korporasi sebagai subjek hukum Sociological Society, Sutherland berpidato dan
pidana terbagi dalam tiga tahap. Pertama, yaitu memperkenalkan istilah white collar crime
sejak KUHP dibentuk tahun 1886. Pada tahap dengan mengatakan bahwa the concept of white

Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria) | 159
collar crime are to describe criminal activity by Masih mengenai pertanggungjawaban
persons of high social status and respectability pidana korporasi, pada dasarnya ada lima teori.
who use their occupational position as a means Pertama, teori identifikasi (identification theory)
violate the law (Sutherland & Cressey, 1955: 82). biasa disebut dengan direct corporate criminal
liablity atau pertanggungjawaban pidana
Secara teoritis dikenal tiga prototipe
korporasi secara langsung (Pinto & Evans, 2003:
kejahatan korporasi yaitu: crimes for corporation,
46). Menurut teori ini korporasi bisa melakukan
crimes against corporation, dan criminal
sejumlah delik secara langsung melalui pengurus
corportions. Pada dasarnya crimes for corporation
yang sangat berhubungan erat dengan korporasi,
inilah yang disebut sebagai kejahatan korporasi.
bertindak untuk dan atas nama korporasi sehingga
Dalam hal ini dapat dikatakan corporate crime
dipandang sebagai perusahaan itu sendiri (Reid,
are clearly commited for the corporate, and
1995: 53).
not against. Kejahatan korporasi dilakukan
untuk kepentingan korporasi bukan sebaliknya. Kedua, strict liability. Smith & Hogan
Sementara itu crimes against corporation adalah (1998: 79), mendefinisikan strict liability sebagai
kejahatan yang dilakukan oleh pengurus korporasi crimes which do not require intention, recklessness
itu sendiri (employes crime). Dalam hal ini or even negligent or more element in the actus
korporasi sebagai korban dan pengurus sebagai reus. Karena itu strict liability diartikan sebagai
pelaku. Sedangkan criminal corporation adalah pertanggungjawaban yang ketat menurut undang-
korporasi yang sengaja dibentuk untuk melakukan undang tanpa memandang siapa yang melakukan
kejahatan (Simpson & Weisburd, 2009: 3). kesalahan. Berkenaan dengan itu Dobson (2008:
22) menarasikan strict liability sebagai some
Secara substantif terdapat tiga model
crimes for which with regard to at least one
pertanggungjawaban pidana korporasi. Pertama,
element of the actus reus, no mens rea is required.
pengurus korporasi sebagai pembuat dan
penguruslah yang bertanggung jawab. Gagasan Ketiga, vicarious liability. Pada dasarnya
ini dilandasi oleh pemikiran bahwa badan ajaran ini erat hubungannya dengan doctrine
hukum tidak dapat dipertanggungjawabkan of respondeat superior yaitu adanya hubungan
secara pidana, karena penguruslah yang akan antara master dan servant atau antara principal
selalu dianggap sebagai pelaku dari delik dan agent. Hubungan itu kemudian dikuatkan
tersebut. Kedua, korporasi sebagai pembuat dan oleh adagium yang berbunyi qui facit per alium
pengurus yang bertanggung jawab. Jadi model facit per se artinya seseorang yang berbuat
ini menyadari bahwa korporasi sebagai pembuat melalui orang lain dianggap dia sendiri yang
namun untuk pertanggungjawabannya diserahkan melakukan perbuatan itu (Sjahdeini, 2006: 84).
kepada pengurus. Ketiga, korporasi sebagai
Menurut LaFave (2003: 224), vicarious
pembuat dan juga sebagai yang bertanggung
liability is one wherein one person, though without
jawab. Model ini memperhatikan perkembangan
personal fault, is more liable for the counduct of
korporasi itu sendiri, karena ternyata hanya
another. Intinya adalah bahwa vicarious liability
dengan menetapkan pengurus sebagai yang
merupakan pengecualian pertanggungjawaban
bertanggung jawab, tidaklah cukup (Muladi &
individu yang dianut dalam hukum pidana
Priyatno, 2010: 148)

160 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171


berdasarkan adagium nemo puniturpro alieno yang berbeda-beda. Moeljatno (2008: 59-61)
delicto (artinya: tidak ada seorang pun yang mengartikan strafbaar feit sebagai perbuatan
dihukum karena perbuatan orang lain). pidana. Prodjodikoro (2003: 59), menyebutnya
sebagai tindak pidana. Sementara Saleh (1980:
Keempat, teori agregasi. Ajaran ini
13), di samping memakai istilah perbuatan pidana
memungkinkan agregasi atau kombinasi kesalahan
juga menggunakan istilah delik. Sedangkan
dari sejumlah orang, untuk diatribusikan kepada
Hiariej (2014: 121), memiliki pandangan yang
korporasi sehingga korporasi dapat dibebani
sama dengan Moeljatno (2008) dan Saleh
pertanggungjawaban (Sjahdeini, 2006: 108).
(1980), yang mengartikan strafbaar feit sebagai
Intinya, doktrin ini menekankan bahwa semua
perbuatan pidana.
perbuatan dan semua unsur mental (mens rea) dari
berbagai orang yang terkait secara relevan dalam Terkait dengan perbedaan pemaknaan
lingkungan perusahaan dianggap dilakukan oleh strafbaar feit oleh beberapa ahli hukum pidana
satu orang saja (Clarkson & Keating, 2007: 242- maka Sudarto mengatakan, pemakaian istilah
260). yang berbeda-beda di atas sebaiknya tidak
perlu dipersoalkan, sepanjang mengetahui isi
Kelima, doktrin corporate cultural model
dari pengertian istilah tersebut. Tindak pidana
atau model budaya kerja. Doktrin ini pada
merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum
intinya menegaskan bahwa badan hukum dapat
pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian
dipertanggungjawabkan secara pidana apabila
yuridis yang berbeda dengan istilah perbuatan
tindakan seseorang memiliki dasar yang rasional
jahat atau kejahatan yang dapat dimaknai secara
bahwa badan hukum tersebut memberikan
yuridis atau kriminologis (Supriyadi, 2015: 159).
wewenang atau mengizinkan perbuatan dilakukan
Menurut Moeljatno (2008: 20) perbuatan pidana
(Hiariej, 2014: 207). Secara gamblang diuraikan
adalah perbuatan yang dilarang dalam undang-
oleh Laufer (2006: 44), corporate culture is an
undang dan diancam dengan pidana barang siapa
attitude, policy, rule, course of conduct or practice
yang melanggar larangan itu.
existing within the body corporate generally or
within the area of the body corporate in which the Senada dengan Moeljatno, ahli hukum
relevant activities take places. Inti dari ajaran ini pidana Indonesia yang lain – Saleh (1980: 13),
adalah kebijakan badan hukum yang tersurat dan menyebut perbuatan pidana sebagai perbuatan
tersirat memengaruhi cara kerja badan hukum yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan
tersebut. sebagai perbuatan yang terlarang. Sementara itu
Jonkers mendefinisikan perbuatan pidana dalam
2. Konsep Tindak Pidana Lingkungan dua bentuk. Pertama, definisi singkat –sempit.
Hidup Kedua, definisi panjang –luas. Definisi singkat:
perbuatan pidana adalah perbuatan yang menurut
Terminologi tindak pidana pada dasarnya undang-undang dapat dijatuhi pidana. Definisi
diterjemahkan dari kata strafbaar feit dalam luas: perbuatan pidana adalah suatu perbuatan
hukum pidana Belanda (Poernomo, 1993: 90- dengan sengaja atau alpa yang dilakukan
91). Mengenai strafbaar feit ini, para ahli dengan melawan hukum oleh seseorang yang
hukum pidana Indonesia memiliki pandangan dapat dipertanggungjawabkan. Tegasnya dalam

Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria) | 161
definisi singkat, Jonkers hanya menyinggung kasus bertolak pada ratio decidendi yaitu alasan
soal perbuatan pidana tetapi pada definisi luas ia hukum yang digunakan oleh hakim sampai pada
mulai menyinggung pertanggungjawaban pidana putusannya. Menurut Goodheart, ratio decidendi
(Jonkers, 1987: 135). dapat diketemukan dengan memperhatikan fakta
materiil (Mcleod, 1999: 144).
Merujuk pada uraian perbuatan pidana
di atas, maka kontekstual perbuatan pidana Kedua, pendekatan konseptual (conceptual
lingkungan hidup adalah suatu perbuatan yang approach). Pendekatan konseptual adalah
dilarang dalam undang-undang lingkungan bertolak dari pandangan-pandangan dan
hidup atau peraturan lain yang terkait dengan itu, doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu
yang mana pelanggaran atas larangan tersebut hukum. Pemahaman terhadap pandangan dan
diancam dengan pidana oleh badan yang berhak. doktrin tersebut dapat menjadi sandaran dalam
Rahmadi (2014: 221) kemudian menegaskan membangun dan memecahkan permasalahan
bahwa perbuatan pidana lingkungan hidup adalah penelitian (Marzuki, 2014: 95).
perintah dan larangan undang-undang kepada
subjek hukum yang jika dilanggar diancam III. HASIL DAN PEMBAHASAN
dengan penjatuhan sanksi-sanksi pidana dengan
tujuan melindungi lingkungan hidup secara Apabila kita memperhatikan dengan
keseluruhan. saksama Putusan Nomor 1554 K/PID.SUS/2015,
kelihatannya tidak ada masalah serius. Putusan ini
bahkan boleh dikatakan sebagai salah satu putusan
II. METODE
yang paling progresif dan membawa angin segar
Menurut Istanto (2007: 29), penelitian dalam upaya menuntut dan menghukum korporasi
hukum adalah penelitian yang diterapkan atau nakal. Dikatakan demikian, sebab untuk pertama
diberlakukan khusus pada ilmu hukum. Cohen & kalinya pengadilan memidana korporasi sebagai
Olson (1992: 1) mendefinisikan penelitian hukum pelaku tindak pidana lingkungan hidup. Karena
sebagai the process of identifing and retrieving itu kita patut mengapresiasi majelis hakim dalam
information necessary to support legal decision- perkara a quo, yang secara responsif memberi
making. putusan yang monumental.

Putusan a quo tetap saja dapat dianalisis


Berangkat dari pemikiran Istanto dan Cohen
tersebut, maka usulan penelitian ini merupakan
secara kritis sehingga dapat bermanfaat bagi
penelitian hukum (legal research). Sesuai dengan
peradilan dan masyarakat pada umumnya.
permasalahan yang diteliti, maka penelitian ini
Singkatnya bahwa di satu sisi kita menghargai
merupakan penilitian hukum normatif (normative
terobosan majelis hakim dalam menghukum
law research). Untuk mencari dan menemukan
korporasi, tetapi di sisi yang lain masih ada
jawaban permasalahan dalam penelitian ini maka
sejumlah catatan kritis yang perlu disoroti. Secara
penulis menggunakan dua metode pendekatan.
praktis ada dua alasan yang menarik sehingga
putusan a quo layak dianalisis, yaitu: 1) telah
Pertama, pendekatan kasus (case
berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde);
approach). Dalam menggunakan pendekatan
dan 2) secara substantif menyangkut pemidanaan

162 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171


kepada korporasi yang melakukan tindak pidana yakni nama lengkap, tempat lahir, umur atau
lingkungan hidup (crime of enviroment). tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat
tinggal, agama dan pekerjaan tersangka.
Secara sistematis, dalam putusan a quo
tertuang tiga hal, yaitu: 1) surat dakwaan; 2) surat Syarat materiil terdiri atas dua yaitu: 1)
tuntutan; dan 3) amar putusan majelis hakim. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai
Tiga poin ini saling berkorelasi satu sama lain tindak pidana yang didakwakan; dan 2) menyebut
sehingga perlu disampaikan dalam ulasan ini. waktu dan tempat tindak pidana dilakukan (locus
Namun demikian fokus utama analisis adalah delicti dan tempus delicti). Jika syarat formal tidak
terhadap pertimbangan hukum majelis hakim terpenuhi maka surat dakwaan dapat dibatalkan
(ratio decidendi) sehingga sampai pada amar (vernietigebaar), sedangkan bila syarat materiil
putusan yang memidana PT KA (terdakwa). tidak terpenuhi, maka sesuai ketentuan Pasal
143 ayat (3), surat dakwaan tersebut batal demi
A. Surat Dakwaan hukum atau null and void (Harahap, 2009: 391).
Itu berarti surat dakwaan dianggap tidak pernah
Terdakwa (PT KA) didakwa melakukan ada.
perbuatan sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 108 jo. Pasal 69 ayat (1) huruf h, Pasal Dilihat dari bentuk surat dakwaan maka
116 ayat (1) huruf a, Pasal 118, dan Pasal 119 dakwaan yang digunakan penuntut umum
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang dalam perkara a quo adalah dakwaan kumulatif
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan (cummulative en lettslegging) yaitu surat dakwaan
Hidup, serta Pasal 64 ayat (1) KUHP. Secara yang disusun secara berlapis dan seluruhnya
substantif Pasal 108 menyangkut tindakan setiap harus dibuktikan. Dengan kata lain penuntut
orang yang melakukan pembakaran lahan; Pasal umum menggunakan dakwaan kumulatif dalam
116 ayat (1) huruf a bertalian dengan tuntutan concursus idealis yaitu satu perbuatan yang
dan sanksi pidana kepada badan usaha; Pasal 118 melanggar lebih dari satu pasal peraturan pidana,
terkait dengan pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 63 ayat (1)
jika terjadi tindak pidana atas nama badan usaha; KUHP. In qasu a quo terdakwa melanggar Pasal
Pasal 119 berhubungan dengan pidana tambahan. 108 jo. Pasal 116 ayat 1 huruf a dan Pasal 64 ayat
Sedangkan Pasal 64 KUHP bertalian dengan (1) KUHP. Dalam hal ini, terdakwa melakukan
perbuatan berlanjut. Bila dihubungkan dengan pembakaran lahan secara berlanjut. Jadi kita
surat dakwaan pada putusan a quo, dengan jelas dapat menyimpulkan bahwa penuntut umum
menunjukkan bahwa baik syarat formal maupun dalam menyusun surat dakwaan secara kumulatif
syarat materiil telah terpenuhi. berbentuk concursus idealis dan perbuatan
berlanjut (vooertgezettehandeling). Dimulai
Pasal 143 ayat (1) dan (2) KUHAP dari Pasal 108 jo. Pasal 116 Undang-Undang
disebutkan ada dua syarat sahnya surat dakwaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
yakni syarat formal dan syarat materiil. Syarat Hidup, kemudian diikuti dengan penerapan
formal harus memuat hal-hal sebagai berikut: 1) ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dengan
diberi tanggal dan ditandatangani oleh penuntut kata lain penuntut umum meyakini bahwa
umum; dan 2) menyebutkan identitas terdakwa terdakwa secara berlanjut melakukan perbuatan

Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria) | 163
pembakaran lahan sebagaimana disebutkan umum sehingga tidak menyulitkan majelis
dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h Undang-Undang hakim dalam pembuktian.
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
2. Dalam surat tuntutan disebutkan bahwa
Hidup. Pembakaran lahan tersebut kemudian
terdakwa diwakili oleh direkturnya yang
menimbulkan kerusakan lingkungan sehingga
bernama SR. Hal ini telah sesuai pula
terdakwa dituntut secara pidana.
dengan ketentuan dalam Pasal 116 ayat (1)
huruf a sebagaimana disebutkan dalam surat
B. Surat Tuntutan
dakwaan. Bahwa ketika korporasi yang
Tercatat ada empat poin penting yang dituntut maka korporasi tersebut diwakili
menjadi tuntutan penuntut umum dalam perkara a oleh pengurusnya. In qasu a quo diwakili
quo, yaitu: oleh direktur PT KA (SR). Dengan demikian
surat tuntutan penuntut umum adalah tepat.
1. Menyatakan terdakwa PT KA yang diwakili
oleh SR selaku direktur telah terbukti 3. Tuntutan pidana denda kepada terdakwa (PT
melakukan pembakaran lahan sebagaimana KA) sebesar Rp3 miliar. Bila dihubungkan
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h dengan ketentuan Pasal 108 Undang-Undang
yang dilakukan secara berlanjut sebagaimana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
diatur dalam Pasal 108 jo. Pasal 69 ayat (1) Hidup maka pada dasarnya jumlah tuntutan
huruf h, Pasal 116 ayat (1) huruf a, Pasal 118, pidana denda kepada terdakwa tentu masih
Pasal 119 Undang-Undang Nomor 32 Tahun jauh perbedaannya. Sebab dalam peraturan
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan a quo kisaran ancaman pidana dendanya
Lingkungan Hidup dan Pasal 64 KUHP; adalah minimal Rp3 miliar dan maksimal
Rp10 miliar.
2. Menjatuhkan pidana denda terhadap
terdakwa PT KA yang diwakili oleh SR Artinya penuntut umum menuntut
selaku direktur, dengan pidana denda terdakwa dengan ancaman pidana denda
sebesar Rp3 miliar; minimal. Hal ini sebetulnya masih terlalu
ringan bagi korporasi sebab mengingat
3. Menyatakan barang bukti PT KA nomor perbuatannya berupa pembakaran lahan
1 sampai dengan 9 tetap terlampir dalam secara berlanjut sehingga menimbulkan
berkas perkara; dan kerusakan lingkungan yang luar biasa, maka
4. Menetapkan supaya terdakwa PT KA yang sudah sepantasnya terdakwa dituntut pidana
diwakili oleh SR dibebani biaya perkara denda yang lebih berat, misalnya dengan
sebesar sepuluh ribu rupiah. mengikuti ancaman pidana denda maksimal
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 108
Berdasarkan surat tuntutan di atas terdapat tersebut.
beberapa hal penting yang dianalisis secara kritis,
yaitu: Penggunaan ancaman pidana denda
maksimal ini secara teori dapat dibenarkan
1. Secara sistematis ada korelasi positif antara sebab peraturan a quo mengadopsi stelsel
surat dakwaan dan surat tuntutan penuntut strafmaat berupa indeterminate sentence

164 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171


artinya pembentuk undang-undang Remmelink kemudian menguraikan
menentukan batas minimum khusus dan bahwa sanksi pidana (straf) berkenaan
maksimum khusus pidana yang dapat dengan pembalasan berupa pemberian
dijatuhkan oleh hakim (Frankel, 1993: 90). derita atau nestapa sebagai upaya menjaga
ketenteraman masyarakat sehingga lebih
Penuntutan dan penjatuhan pidana secara
condong pada prevensi umum (general
maksimal akan memberikan efek jera
preventie). Sedangkan sanksi tindakan
kepada pelaku. Hal ini selaras dengan
(maatregel) meskipun tetap memberikan
teori relatif (doel theorien) yang pada
derita kepada terpidana tetapi lebih condong
intinya menegaskan bahwa pencegahan
pada prevensi khusus atau speciale preventie
ditujukan kepada masyarakat sebagai
(Remmelink, 2003: 458). Masih mengenai
pencegahan umum atau generale preventie
double track system, pada hakikatnya sistem
dan pencegahan yang ditujukan kepada si
ini menghendaki agar unsur pencelaan/
penjahat itu sendiri sebagai pencegahan
penderitaan dan unsur pembinaan sama-
khusus atau speciale preventie (Samaha,
sama diakomodasi. Inilah yang menjadi
2014: 26).
dasar penjelasan mengapa dalam double
Terkait dengan pencegahan ini von Feuerbach track system dituntut adanya kesetaraan
mengenalkan teori de psicologische dwang antara sanksi pidana dan sanksi tindakan
atau paksaan psikologis yang berarti (Sholehuddin, 2004: 23).
adanya pidana yang dijatuhkan kepada
Dalam konteks perkara a quo, tuntutan
seseorang yang melakukan kejahatan akan
penuntut umum seharusnya tidak hanya
memberikan rasa takut kepada orang lain
fokus pada sanksi pidana semata tetapi
untuk tidak berbuat jahat (Fletcher, 2000:
juga sanksi tindakan seperti kewajiban
652).
mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak
4. Tidak ada tuntutan pidana tambahan (pembayaran biaya pemulihan lingkungan)
berupa tindakan tata tertib sementara, dan penutupan seluruh atau sebagain tempat
seperti perbaikan akibat tindak pidana dan usaha.
penutupan seluruh atau sebagian tempat
usaha, sebagaimana disebutkan dalam Pasal C. Ratio Decidendi Majelis Hakim
119 Undang-Undang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Padahal Paling tidak terdapat lima pertimbangan
pembentuk undang-undang, jauh-jauh hari hukum majelis hakim yang menarik disoroti
secara sengaja menggunakan konsep double dan dianalisis dalam putusan a quo. Sebab ratio
track system atau sistem dua jalur dalam decidendi tersebut akhirnya menjadi jalan lapang
menyusun pemidanaan kepada badan usaha. dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa (PT
Artinya jika badan usaha yang melakukan KA).
tindak pidana lingkungan hidup maka selain Pertama, majelis hakim berpendapat bahwa
dikenai sanksi pidana, dikenai pula sanksi cara-cara kebiasaan yang selama ini dilakukan
tindakan tata tertib. oleh perusahaan, termasuk PT KA adalah

Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria) | 165
merupakan perbuatan melanggar hukum karena memproduksi kebijakan di bidang lingkungan
hasilnya tidak dapat dipertanggungjawabkan hidup tetapi ditujukan juga kepada siapapun yang
berdasarkan prinsip lingkungan hidup. Terkait dalam kegiatannya memberi dampak terhadap
dengan prinsip lingkungan hidup ini, majelis kualitas lingkungan hidup. Apalagi dampak
hakim tidak menyebutkannya secara tegas, prinsip tersebut sulit dicegah maka prinsip kehatian-
mana yang dianggap dilanggar oleh terdakwa (PT hatian mesti menjadi patronnya. Pendeknya
KA). Dalam bayangan penulis, salah satu prinsip prinsip kehati-hatian sasarannya adalah mencegah
yang secara nyata dilanggar adalah prinsip kehati- agar tidak terjadi kerusakan lingkungan hidup.
hatian (precautionary principle).
In qasu a quo, terdakwa sama sekali tidak
Prinsip ini dihasilkan dari United Nations menggunakan prinsip ini dalam melaksanakan
Conference on Enviroment and Development kegiatannya. Dengan demikian, ia layak
(UNCED) di Rio de Janeiro, Brazil, tanggal 3-4 dihukum atau dipidana atas kesalahannya. Sebab
Juni 1992. Secara gamblang dinyatakan bahwa in telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang
order to protect the enviroment, the precautionary massif dan merugikan negara dalam jumlah yang
approach shall be widely applied by states signifikan.
according to their capabilities. Where there are
Kedua, bahwa perbuatan terdakwa PT KA
threats of serious or irreversible damage, lack
sebagai akibat terjadinya kebakaran lahan telah
of full scientific certainty shall not be used as a
merugikan keuangan negara dalam bentuk biaya
reason for postponing cost-effective measures
pemulihan rehabilitasi lahan guna memfungsikan
to prevent envirometal degradation (Frestone,
kembali ekologi yang rusak sebesar
1994: 193-200).
Rp366.098.669.000,-. Dalam pertimbangan
Merujuk pada Deklarasi Rio tersebut, selanjutnya majelis hakim menyatakan bahwa
maka White (2011: 123-128) mengatakan karena kerugian keuangan negara dalam
bahwa the essence of precautionary concept, the bentuk pemulihan/rehabilitasi telah dibebankan
precautionary principle, is that once a risk has dalam Putusan Nomor 651 K/PDT/2015 yang
been identified the lack of the scientific proof of berhubungan dengan perkara a quo maka tidak
cause and effect shall not be used as a reason for dibebankan lagi.
not taking action to protect the enviroment.
Dua pertimbangan majelis hakim tersebut,
Tegasnya, dalam prinsip kehati-hatian intinya menegaskan bahwa di satu sisi negara
terkandung tiga hal, yaitu: 1) apabila telah mengalami kerugian akibat ulah terdakwa PT
diidentifikasi potensi kerugian yang akan terjadi; KA yang melakukan pembakaran lahan sehingga
2) ada ancaman serius atau kerugian yang merusak lingkungan tetapi karena terdakwa telah
sulit dipulihkan kembali sehingga berdampak dihukum secara perdata untuk memulihkan atau
selamanya pada lingkungan hidup; dan 3) apabila merehabilitasi lingkungan hidup, maka terdakwa
tidak ada kemampuan untuk menganalisis tidak lagi dikenai pidana denda dalam jumlah
kemungkinan adanya akibat. yang lebih besar. Ratio logis yang dibangun
oleh majelis hakim dalam perkara a quo rasanya
Intinya bahwa prinsip kehati-hatian
terlalu sumir dan ambigu. Sebab meskipun
tidak hanya dibebankan kepada negara dalam

166 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171


terdakwa dalam perkara perdata telah dibebani Pertimbangan majelis hakim tersebut bila
tanggung jawab pemulihan lingkungan tetapi dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal
hal itu tidak menghilangkan kewenangan hakim 116 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang
pidana untuk menjatuhkan hukuman yang serius Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
kepada terdakwa. Artinya bahwa di sini ada dua Hidup, yang pada intinya menyebutkan bahwa
rezim hukum yang sama-sama harus dihormati. apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan
oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan
Rezim hukum keperdataan telah
pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada
membuktikan bahwa PT KA merusak lingkungan
badan usaha dan/atau orang yang memberi
sehingga dibebani biaya pemulihan lingkungan
perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut
hidup melalui Putusan Nomor 651 K/PDT/2015.
atau orang yang bertindak sebagai pemimpin
Namun demikian rezim hukum pidana juga
kegiatan dalam tindak pidana tersebut.
mengatur sanksi pidana sendiri yang tentu
berbeda dengan sanksi perdata. Jadi sanksi pidana Ketentuan ini ditegaskan kembali dalam
kepada terdakwa juga harus maksimal sehingga Pasal 118 Undang-Undang Perlindungan dan
menghilangkan atau paling tidak mengurangi Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi:
niat jahat (dolus malus) terdakwa atau korporasi terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud
lain untuk melakukan tindakan yang serupa. dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana
dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili
Singkat kata, seharusnya majelis hakim
oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam
dalam perkara a quo memberi sanksi pidana
dan di luar pengadilan sesuai dengan peraturan
yang berat kepada terdakwa berupa pidana denda
perundang-undangan selaku pelaku fungsional.
maksimal sebagaimana disebutkan dalam Pasal 108
Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Dalam perkara a quo, majelis hakim
Lingkungan Hidup. Denda makismal ini akan telah menghukum terdakwa yang diwakili
lebih efektif dan logis bila jumlahnya disesuaikan oleh SR selaku direktur PT KA. Artinya proses
dengan kerugian negara yang ditimbulkan. hukum kepada pelaku sudah sesuai dengan
ketentuan Pasal 116 ayat (1) huruf a jo. Pasal 118
Ketiga, bahwa pertanggungjawaban
Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan
korporasi harus memiliki kewajiban untuk
Lingkungan Hidup. Hal ini selaras dengan ajaran
membuat kebijakan dan melakukan langkah-
kepelakuan fungsional (functioneel daderschap)
langkah yang harus diambilnya. Direktur tidak
yang dikemukakan oleh Roling (Kelsen, 2006:
dapat melepaskan diri dan tanggung jawab pidana
96). Ajaran ini pada pokoknya menegaskan
dalam hal terjadi tindak pidana pencemaran
bahwa pertanggungjawaban pidana diperluas
atau kerusakan lingkungan berupa pembakaran,
kepada yang memberikan perintah atau pimpinan
karena direksi memiliki kemampuan dan
dalam suatu badan hukum yang secara fisik
kewajiban untuk mengawasi kegiatan korporasi
bukanlah sebagai pelaku tindak pidana (fysieke
termasuk kewajiban untuk melakukan pelestarian
daderschap).
lingkungan. Bahwa dalam hal terjadi kebakaran
lahan yang bertanggung jawab adalah pemilik Shofie (2011: 31-32) mengatakan bahwa
lahan (pengurus dan korporasi). ajaran ini memberi ruang yang lebih luas bagi

Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria) | 167
penerapan asas geen straf zonder schuld karena 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
kesalahan individu pimpinan atau pengurus Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada perkara
korporasi yang memberi perintah pada suatu a quo, pembuktian adanya tindak pidana
badan hukum atau yang menjalankan perintah lingkungan hidup ditempuh melalui tiga alat
(pelaku fisik) diatribusikan sebagai kesalahan bukti yakni keterangan saksi, keterangan ahli,
korporasi tersebut. Menurut Wolter sebagaimana dan surat berupa hasil pemeriksaan laboratorium.
dikutip oleh Sahetapy, bahwa kepelakuan
Ketiga alat bukti inilah yang mendukung
fungsional adalah karya interpretasi kehakiman.
keyakinan majelis hakim sehingga memidana
Hakim menginterpretasikan tindak pidana itu
terdakwa PT KA. Dengan kata lain sistem
sedemikian rupa sehingga pemidanaannya
pembuktian negatief wettelijk bewijs theorie
memenuhi tuntutan masyarakat (Sahetapy, 2002:
yaitu pembuktian menurut keyakinan hakim yang
37-38).
timbul dari alat-alat bukti dalam undang-undang
Dalam perkara a quo, bila dianalisis secara secara negatif telah diadopsi oleh majelis hakim
normatif dan doktrinal –keputusan majelis hakim dalam perkara a quo.
yang menghukum terdakwa PT KA yang diwakili
Kelima, pertimbangan majelis hakim
oleh SR sebagai direktur sudah sangat tepat.
yang lain dan menarik dianalisis adalah ihwal
Namun demikian majelis hakim seharusnya bisa
perdebatan antara penuntut umum dan terdakwa
mengeksplorasi lebih jauh keterangan para saksi
yang menyoal adanya dugaan pelanggaran asas
apakah pembakaran lahan tersebut semata-mata
nebis in idem dalam putusan a quo. Munculnya
hanya diketahui oleh direktur atau ada pihak
dugaan ini disebabkan oleh adanya gugatan
lain yang memerintahkan suatu tindakan. Bila
perdata terlebih dahulu terhadap PT KA dengan
ada yang memberi perintah maka seharusnya ia
reg Nomor 12/Pdt.G/2012, PN. Mbo.
ikut diproses hukum sebagaimana ditekankan
pada Pasal 116 ayat (1) huruf b Undang-Undang Terdakwa PT KA dituntut secara pidana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. atas tuduhan melanggar Pasal 108 jo. Pasal 116
Proses hukum kepada pemberi perintah ini, ayat (1) huruf a Undang-Undang Perlindungan
secara doktrin juga dapat dibenarkan karena hal dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal
ini didukung oleh ajaran functioneel daderschap 64 KUHP dengan locus dan tempus yang sama.
baik yang dikemukakan oleh Roling maupun Melihat perdebatan tersebut majelis hakim dalam
oleh Wolter. pertimbangannya menyatakan bahwa perkara
a quo tidaklah melanggar prinsip nebis in idem
Keempat, bahwa membuka lahan
sebab ada perbedaan ranah hukum yakni ranah
perkebunan dengan cara merusak lingkungan,
hukum perdata dan ranah hukum pidana.
dapat dibuktikan berdasarkan keterangan
beberapa orang saksi, keterangan ahli, dan Komentar penulis atas pertimbangan
saksi ahli yang diperoleh berdasarkan hasil majelis hakim tersebut sebagai berikut: bahwa
pemeriksaan laboratorium. Pertimbangan ini asas nebis in idem atau nemo debet bis vexari
secara implisit mengarah pada alat-alat bukti berarti tidak seorangpun atas perbuatannya dapat
dan sistem pembuktian yang disebutkan dalam dituntut untuk kedua kalinya. Dalam sistem
Pasal 184 jo. Pasal 183 Undang-Undang Nomor hukum Anglo Saxon istilah ini diterjemahkan

168 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171


menjadi no one could be put twice in jeopardy tidak melanggar asas nebis in idem atau
for the some offence/double jeopardy. double jeopardy.

Hal ini selaras dengan postulat nihil in lege


intolerabilius est (quam) eandem rem diverso IV. KESIMPULAN
jure censeri artinya hukum tidak membiarkan Dalam Putusan Nomor 1554 K/Pid.
kasus yang sama diadili di beberapa pengadilan. Sus/2015, terdakwa PT KA yang diwakili oleh
Secara teori, ada tiga tujuan perumusan asas SR selaku direktur, dipidana dengan pidana denda
nebis in idem, yaitu: sebesar Rp3 miliar. Artinya, bahwa terdakwa
1. Untuk menjaga kehormatan dan keluhuran dipidana dengan menggunakan ancaman pidana
martabat hakim yang telah memutus suatu minimal sebagaimana yang disebutkan dalam
perkara. Res judicata in criminalibus: Pasal 108 Undang-Undang Perlindungan dan
hakim tidak dipaksa untuk mengulang- Pengelolaan Lingkungan Hidup. Padahal selain
ulang dalam memeriksa suatu kasus atau ancaman pidana minimal peraturan a quo juga
membantah pandangan-pandangan hakim mengadopsi ancaman pidana maksimal. Karena
lain (Remmelink, 2003: 425). perbuatan terdakwa menimbulkan akibat yang
sangat signifikan maka idealnya ia dijatuhi
2. Untuk menjamin hak asasi manusia. pidana maksimal, sehingga mampu memberi
Dalam hal ini seorang individu tidak dapat efek jera baik kepada terdakwa maupun kepada
lagi diadili atas perkaranya yang telah perusahaan lain.
berkekuatan hukum tetap.
Demikian pula, terdakwa tidak dikenai
3. Negara harus memberikan kepastian hukum pidana tindakan tata tertib seperti perbaikan
(Hiariej, 2014: 423). Tegasnya syarat akibat tindak pidana guna memulihkan kerugian
adanya nebis in idem adalah res judicata keuangan negara. Terdakwa juga tidak dikenai
artinya ada suatu tindak pidana yang telah pidana tambahan berupa pencabutan seluruh
diperiksa dan diputus oleh pengadilan yang atau sebagai tempat usaha, padahal Pasal 119
telah berkekuatan hukum tetap (inkracht Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan
van gewijsde). Lingkungan Hidup telah membuka kemungkinan
penjatuhan sanksi tindakan tata tertib atau pidana
4. Dalam konteks perkara a quo, pemeriksaan
tambahan. Padahal dalam Undang-Undang
terhadap terdakwa sama sekali tidak dapat
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
dikaitkan melanggar asas nebis in idem.
secara ekspressive verbis telah mengakomodasi
Sebab perkara tindak pidana lingkungan
konsep double track system atau sistem dua jalur
hidup yang dilakukan oleh terdakwa PT
yakni penjatuhan sanksi pidana dan tindakan
KA belum pernah diperiksa dan diputus
secara bersamaan kepada pelaku tindak pidana
oleh pengadilan lain. Meskipun di saat
lingkungan hidup. Namun demikian dalam
bersamaan ada gugatan perdata kepada
putusan a quo belum maksimal baik dilihat dari
terdakwa tetapi hal itu adalah dua hal yang
sisi pemulihan kerugian keuangan negara maupun
berbeda. Dengan demikian proses hukum
dari sisi sanksi pidana denda kepada pelaku.
kepada terdakwa PT KA adalah tepat dan

Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria) | 169
DAFTAR PUSTAKA mind: The failure of corporate criminal libility.
Chicago & London: The University of Chicago
Braithwaite, J. (1984). Corporate crime in the
Press.
pharmaceutical industry. London: Routledge
& Kegan Paul. Marzuki, P.M. (2014). Penelitian hukum (Edisi revisi).
Jakarta: Kencana Pernada Media.
Clarkson & Keating. (2007). Criminal law: Text and
material. London: Sweet and Maxwell. Mcleod, T.I. (1999). Legal theory. London:
Macmillan.
Cohen, M.L., & Olson, K.C. (1992). Legal research.
New York: West Thompson Publishing Moeljatno. (2008). Asas-asas hukum pidana. Edisi
Company. Revisi. Jakarta: Rineka Cipta.

Dobson, P. (2008). Criminal law (Eight edition). Muladi & Priyatno, D. (2010). Pertanggungjawaban
London: Thomson Sweet and Maxwell. pidana korporasi (Edisi revisi). Jakarta:
Kencana Pernada Media Group.
Fletcher, G.P. (2000). Rethinking criminal law. New
York: Oxford University Press. Pinto, A., & Evans, M. (2003). Corporate criminal
liability. London: Sweet and Maxwell.
Frankel, M.E. (1993). Criminal sentences: Law
without order (Third edition). New York: Hill Poernomo, B (1993). Asas-asas hukum pidana.
and Wang. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Frestone, D. (1994). The road from Rio: International Prodjodikoro, W. (2003). Asas-asas hukum pidana di
enviromental law after the earth summit. Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
Journal of Enviromental Law, 6, 193-200.
Rahmadi, T. (2014). Hukum lingkungan di Indonesia.
Harahap, M.Y. (2009). Pembahasan permasalahan & Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
penerapan KUHAP: Penyidikan & penuntutan.
Reid, S.T. (1995). Criminal law (Third edition). New
Jakarta: Sinar Grafika.
York: Prentice Hall.
Hiariej, E.O.S. (2014). Prinsip-prinsip hukum pidana.
Remmelink, J. (2003). Hukum pidana: Komentar atas
Yogyakarta: Cahya Atma Pustaka.
pasal-pasal terpenting dari Kitab Undang-
Istanto, F.S. (2007). Penelitian hukum. Yogyakarta: Undang Hukum Pidana Belanda & padanannya
CV Ganda. dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Jonkers, J.E. (1987). Buku pedoman hukum pidana
Hindia Belanda. Jakarta: PT Bina Aksara. Sahetapy, J.E. (2002). Kejahatan korporasi. Bandung:
Refika Aditama.
Kelsen, H. (2006). General theory of law & state.
New York: Russel & Russel. Saleh, R. (1980). Perbuatan pidana &
pertanggungjawaban pidana: Dua pengertian
LaFave, W.R. (2003). Principle of criminal law
dasar dalam hukum pidana. Jakarta: Aksara
(Second edition). New York: West A Thomson
Baru.
Reuters Bussines.
Samaha, J. (2014). Criminal law (11th edition).
Laufer, W.S. (2006). Corporate bodies & guilty

170 | Jurnal Yudisial Vol. 10 No. 2 Agustus 2017: 155 - 171


United States-Minesota: Wadsworth Cengage Sutherland, E.H., & Cressey, D.R. (1955).
Learning. Criminology (Sixth edition). New York: JB
Lippincott Company.
Satria, H. (2016, Juni). Pertanggungjawaban pidana
korporasi dalam tindak pidana sumber daya White, R. (2011). Transnational enviromental crime:
alam. Jurnal Mimbar Hukum, 28(2), 288-300. Toward an eco-global criminology. London
dan New York: Routledge Taylor and Francis
Schaffmeister, D., Keijzer, N., & Sutorius, E.P.H.
Group.
(1995). Hukum Pidana. Sahetapy, J.E. (Ed).
Yogyakarta: Liberty.

Shofie, Y (2011). Tanggung jawab pidana korporasi


dalam hukum perlindungan konsumen di
Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Sholehuddin, M. (2004). Sistem sanksi dalam hukum


pidana: Ide dasar double track system &
implementasinya. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.

Simpson, S.S., & David Weisburd. (2009). The


Criminology of White-Collar Crime, New
York: Springer Science and Business Media.

Simpson, S.S. (2005). Corporate crime, law,


and social control. New York: Cambridge
University Press.

Sjahdeini, S.R. (2006). Pertanggungjawaban pidana


korporasi. Jakarta: Grafiti Pers.

Sjawie, H.F. (2013). Direksi perseroan terbatas


serta pertanggungjawaban pidana korporasi.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Smith, J.C., & Hogan, B. (1998). Criminal law


(Fourth edition). London: Butterworths.

Stone, J.R. (2005). Dictionary of Latin quotations:


The illiterati’s guide to Latin maxims, mottoes,
proverbs, & sayings. New York: Routledge
Taylor and Francis Group.

Supriyadi. (2015). Reformulasi kewenangan


mengadili tindak pidana umum oleh militer
di Indonesia. Disertasi. Yogyakarta: Fakultas
Hukum Universitas Gajah Mada.

Penerapan Pidana Tambahan dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Hariman Satria) | 171

Anda mungkin juga menyukai