Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR

DI SUSUN OLEH
SILVI MALIA SINTA
G3A017250

PROGRAM STUDI PROFESI NERS GENAP

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

2018
A. Definisi Fraktur
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik yang
bersifat total maupun sebagaian (Chairudin, 2010). Fraktur dikenal dengan
istilah patah tulang. Biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.
Kekuatan, sudut, tenaga, kedaan tulang, dah jaringan lunak di sekitar tulang
akan menentukan apakah fraktur yang terjadi tersebut lengkap atau tidak
lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan
fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang
dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan pukulan langsung, gaya
meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem
(Bruner & Sudarth, 2002).
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan
fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada
tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung
(Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer,
2010).

B. Etiologi Fraktur
a. Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda
paksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang
mengakibatkan fraktur
b. Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh
dari tempat kejadian kekerasan.
c. Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal (kongenital, peradangan,
neuplastik dan metabolik).
C. Klasifikasi Fraktur
a. Fraktur traumatik. Terjadi karena trauma yang tiba-tiba mengenai tulang
dengan kekuatan yang besar dan tulang tidak mampu menahan trauma
tersebut sehingga terjadi patah.
b. Fraktur patologis. Terjadi karena kelemahan tulang sebelumnya akibat
kelainan patologis di dalam tulang. Fraktur patologis terjadi pada daerah-
daerah tulang yang telah menjadi lemah karena tumor atau proses
patologis lainnya. Tulang sering kali menunjukkan penurunan densitas.
Penyebab yang paling sering dari fraktur-fraktur semacam ini adalah
tumor, baik tumor primer maupun tumor metastasis.
c. Fraktur stres. Terjadi karena adanya trauma yang terus menerus pada
suatu tempat tertentu.
Dalam beberapa keadaan gangguan sistem muskuloskeletal, perawat
dihadapkan pada beberapa masalah klinis klien akibat trauma pada tulang.
Manifestasi kelainan akibat trauma pada tulang bervariasi. Pengamatan
secara klinis memberikan gambaran kelainan pada tulang. Secara umum,
keadaan patah tulang secara klinis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Fraktur tertutup (simple fracture). Fraktur tertutup adalah fraktur yang
fragmen tulangnya tidak menembus kulit sehingga tempat fraktur tidak
tercemar oleh lingkungan/tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (compound fracture). Fraktur terbuka adalah fraktur yang
mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui luka pada kulit dan
jaringan lunak, dapat berbentuk from within (dari dalam), ataufrom
without (dari luar).
c. Fraktur dengan komplikasi (complicated fracture). Fraktur dengan
komplikasi adalah fraktur yang disetai dengan komplikasi, misalnyamal-
union, delayed union, non-union, dan infeksi tulang.
D. Patofisiologis
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang
yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah
terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan
terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga
medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang
patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya
respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan
leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan
dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur:
1. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang
tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat
menyebabkan fraktur.
2. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan
daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi
dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau
kekerasan tulang.

E. Manifestasi Klinis Fraktur


Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan
warna.
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid
seperti normalnya. Peregseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai
menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa
diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal.
Ekstremitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena
kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen
sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1
sampai 2 inci).
d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa
baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

F. Faktor Penyembuhan Fraktur


faktor-faktor yang menentukan lama penyembuhan adalah sebagai berikut:
a. Usia penderita. Waktu penyembuhan tulang anak-anak jauh lebih cepat
dari pada orang dewasa. Hal ini terutama disebabkan proses aktivitas
osteogenesis pada periosteum dan endosteum serta pembentukan tulang
pada janin sangat aktif. Apabila usia bertambah, usia berkurang.
b. Lokalisasi dan konfigurasi fraktur. Lokalisasi fraktur memegang peranan
penting. Penyembuhan fraktur metafisis lebih cepat daripada fraktur
diafisis. Disamping itu, konfigurasi fraktur seperti fraktur transversal lebih
lambat penyembuhannya dibandingkan dengan fraktur oblik karena kontak
yang lebih banyak.
c. Pergeseran awal fraktur. Pada fraktur yang periosteriumnya tidak bergeser,
penyembuhanya dua kali lebih cepat dibandingkan dengan frktur yang
bergeser.
d. Vaskularisasi pada kedua fragmen. Apabila kedua fragmen mempunya
vaskularisasi yang lebih baik, penyembuhanya tanpa komplikasi. Bila
salha satu sisi frak tur mempunyai vaskularisasi yang jelek sehingga
mengalami kematian, pembentukan union akan terhambat atau mungkin
terjadi non union.
e. Reduksi serta imobilisasi. Reposisi fraktur akan memberikan kemungkinan
untuk vaskularisasi yang lebih baik dalm bentuk asalnya.imobilisasi yang
sempurna akan mencegah pergerakan dan kerusakan pembuluh darah yang
mengganggu penyembuhan fraktur.
f. Waktu imobilisasi . bila imobilisasi tidak dilakukan sesuai waktu
penyembuhan sebelum terjadi union, keminkinan terjadi non union sangat
besar.
g. Ruangan di antara kedua fragmen serta interposisi oleh jaringan lunak.
Adanya interposisi jaringan, baik berupa periosteum maupun otot atau
jaringan fibrosa lainnnya akan menghambat vaskularisasi kedua ujung
fraktur.
h. Fraktur adanya infeksi atau keganasan .
i. Cairan sinovial . cairan synovial yang terdapat pada persendian merupakan
hambatan dalam penyembuhan fraktur.
j. Gerakan aktif dan pasif pada anggota gerak. Gerakan aktif dan pasif pad
anggota gerak akan meningkatkan vaskularisasi daerah fraktur. Akan
tetapi, gerakan yang dilakukan pada daerah fraktur tanpa imobilisasi yang
baik juga akan menggangu vaskularisasi.
Penyembuhan fraktur berkisar antara tiga minggu sampai empat bulan. Secra
kasar, waktu penyembuhan pada anak ½ waktu penyembuhan orang dewasa.
Faktor lain yang mempercepat fraktur adalah nutrisi yang baik, hormon-
hormon pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, vitamin D, dan steroid anabolik,
seperti kortikosteroid ( manghambat kecepatan perbaikan).
G. Komplikasi Fraktur
Komplikasi Fraktur meliputi:
a. Komplikasi awal
1) Kerusakan arteri. Pecahnya arteri karena trauma dapat ditandai dengan
tidak adanya nadi, CRT(capillary refill time) menurun, sianosis pada
bagian distal, hematoma melebar, dan dingin pada ekstremitas yang
disebabkan oleh tindakan darurat splinting, perubahan posisi pada
sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
2) Syndrome kompartemen. Syndrome kompartemen merupakan
komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf,
dan pembuluh darag dalm jaringan parut. Hal ini disebabkan oleh
edema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah,
atau karena tekanan dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu
kuat.
3) Fat embolism syndrome. Fat embolism syndrome (FES) adalah
komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang
panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone
marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan kadar oksigen
dalam darah menjadi rendah. Hal tersebut ditandai dengan gangguan
pernafasan, takikardia, hipertensi, takipnea, dan demam.
4) Infeksi. Sistem pertahanan tubuh akan rusak bila ada trauma pada
jaringan. Pada trauma ortopedi, infeksi dimulai pada kulit(superficial)
dan masuk kedalam. Hal ini biasanya terjadi ada kasus fraktur terbuka,
tetapi dapat juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan,
seperti pin (ORIF & OREF) dan plat. Peran perawat sangat diperlukan
dalam melakukan perawatn luka dengan baik untuk menghindari
terjadinya infeksi pada klien fraktur terbuka dan pascaoperasi
pemasngan pin.
5) Nekrosis avaskular. Nekrosis avaskular terjadi karena aliran darah ke
tulang rusak atau terganggu sehinga menyababkan nekrosis tulang
biasanya, diawali dengan adanya iskemia volkman.
6) Syok. Terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan oksigenasi menurun. Hal
ini biasanya terjadi pada fraktur. Pada beberapa kondisi tertentu, syok
neurogenik sering terjadi pada fraktur femur karena rasa sakit yang
hebat pada klien.
b. Komplikasi lama
1) Delayed union. Delayed union merupakan kegagalan fraktur
berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk
menyambung. Hal ini terjadi karena suplai darah tulang menurun.
Delayed union adalah fraktur yang tidak sembuh setelah selang waktu
3-5 bulan (tiga bulan untuk anggota atas dan lima bulan untuk
anggota gerak bawah).
Etiologi delayed union sama dengan etiologi pada non-union.
a) Vaskularisasi yang kurang pada ujung-ujung fragmen
b) Reduksi yang tidak adekuat
c) Imobilisasi yang tidak adekuat sehingga terjadi gerakan pada
kedua fragmen
d) Waktu imobilisasi yang tidak cukup
e) Infeksi
f) Distraksi pada kedua ujung karena adanya traksi yang berlebihan
g) Interposisi jaringan lunak pada kedua fragmen
h) Terdapat jarak yang cukup besar antara kedua fragmen
i) Destruksi tulang, misalnya karena tumor atau atau osteomelitis
(fraktur patologis)
j) Dissolusi hematoma fraktur oleh jaringan sinovia (fraktur
intrakapsular)
k) Kerusakan periosteum yang hebat sewaktu sewaktu terjadi fraktur
atau operasi
l) Fiksasi internal yang tidak sempurna
m) Delayed union yang tidak diobati
n) Pengobatan yang salah atau sama sekali tidak dilakukan
o) Terdapat benda asing antarakedua fraktur, misalnya pemasangan
screw diantara kedua fragmen
Gambaran klinis delayed union:
a) Nyeri anggota gerak pada pergerakan dan waktu berjalan.
b) Terdapat pembengkakan.
c) Nyeri tekan.
d) Terdapat gerakn yang abnormal pada daerah fraktur.
e) Pertambahan deformitas.
2) Non-union. Non-union merupakan fraktur yang tidak sembuh antara
6-8 bulan dan tidak didapatkan konsolidasi sehinga terdapat
pseudoartrosis (sendi palsu). Pseudoartrosis dapat terjadi bersama-
sama infeksi yang disebut infected pseydoarthrosis.
Beberapa jenis non-union terjadi menurut keadaan ujung-ujung
fragmen tulang sebgai berikut:
a) hipertrofik. Ujung-ujung tulang bersifat sklerotik dan lebih besar
dari keadaan normal yang disebut gambaran elephant’s foot. Garis
fraktur tampak dengan jelas. Ruangan anatr tulang diisi dengan
tulang rawan dan jaringan ikat fibrosa. Pada jenis ini,
vaskularisasi baik sehingga biasanya hanya diperlukan fiksasi
yang rigid tanpa pemasangan bonegraft.
b) atrofik (oligotrofik).Tidak ada tanda-tanda aktifitas selular pada
ujung fraktur . ujung tulang lebih kecil dan bulat serta
osteoporotic dan avaskular. Pada jenis ini, disamping dilakukan
fiksasi rigid, juga diperlukan pemasangan bonegraft.
Gambaran klinis atrofik:
(1) Nyeri ringan atau sama sekali tidak ada.
(2) Gerakan abnormal pada daerah fraktur membentuk sendi palsu
yang disebut pseudoartrosis .
(3) Nyeri tekan sedikmit atau sama sekali tidak ada.
(4) Pembengkakan dapat ditemukan dan dapat juga tidak terdapat
pembengkakan sama sekali
(5) Saat diraba perwat dapat menemukan rongga diantara kedua
fragmen.
3) Mal-union. Mal-union adalah keadaan ketika fraktur menyembuh
pada saatnya, teteapi terdapat deformitas yang berbentuk angulasi,
varus/valgus, rotasi, pemendekan, atau union secara menyilang
misalnya pada fraktur tibia-fibula. Etiologi mal-union adalah fraktur
tanpa pengobatan, pengobatan yang tidak adekuat, reduksi dan
imobilisasi yang tidak baik, pengambilan keputusan serta tehnik yang
salah pada awal pengobatan, osifikasi premature pada lempeng
epifisis karena adanya trauma.

H. Penatalaksanaan fraktur
Pada umumnya, metode pengobatan yang digunakan sebagai berikut:
a. Penatalaksanaan konservatif. Penatalaksanaan konservatif merupakan
penatalaksanaan nonpembedahan agar imobilisasi pada patah tulang dapat
terpenuhi.
a) Proteksi. Proteksi fraktur terutama mencegah trauma lebih lanjut
dengan cara memberikan sling (mitela).
b) Imobilisasi dengan bidai eksterna. Imobilisasi pada fraktur dengan bidai
eksterna hanya memberikan sedikit imobilisasi. Biasanya menggunakan
balut elastis.
c) Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi eksterna yang
menggunakan gips. Reduksi tertutup yang diartikan manipulasi
dilakukan dengan pembiusan umum dan lokal. Reposisi yang dilakukan
melawan kekuatan terjadinya fraktur. Penggunaan gips untuk
imobilisasi merupakan alat utama pada teknik ini.
d) Reduksi tertutup dengan traksi. Traksi yang digunakan untuk
meminimalkan spasme otot; untuk mereduksi, menyejajarkan, dan
mengimobilisasi fraktur; dan untuk mengurangi deformitas.
b. Penatalaksanaan pembedahan sangat penting diketahui oleh perawat
sebagai dasar pemberian asuhan keperawatan. Jika ada keputusan bahwa
klien diindikasikan untuk menjalani pembedahan, perawat mulai berperan
dalam memberikan asuhan keperawatan perioperatif. Penatalaksanaan
pada klien fraktur meliputi hal-hal sebagai berikut.
a) Reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal atau fiksasi perkutan dengan
K-Wire. Setelah dilakukan reduksi tertutup pada fraktur yang bersifat
tidak stabil, reduksi dapat dipertahankan dengan memasukkan K-Wire
perkutan.
b) Reduksi terbuka dan fiksasi inetrnal. Perawat perlu mengenal tindakan
medis operasi reduksi terbuka, baik fiksasi internal/ORIF (Open
Reduction Internal Fixation) maupun fiksasi eksternal/OREF (Open
Reduction External Fixation) karena suhan keperawatan yang
diperlukan berbeda. Implikasi keperawatan yang perlu dikenal perawat
setelah operasi adalah adanya nyeri dan risiko infeksi yang merupakan
masalah utama. Beberapa indikasi keadaan klien yang mengalami
fraktur dan dislokasi perlu diketahui untuk menjelaskan kemungkinan
tindakan medis dan masalah keperawatan yang akan timbul dari
tindakan medis ORIF dan OREF.

I. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “ pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (sinar X). Untuk mendapatkan gambar tiga
dimensi dari keadaan dan kedudukan tulang yang sulit kita memerlukan dua
proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan
proyeksi tambahan (khusus) jika ada indikasi untuk memperlihatkan
patologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa
permintaan sinar X harus ada dasar kegunaan. Pemeriksaan penunjang dan
hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan.
Selain foto polos sinar X (plane X-ray) mungkin diperlukan teknik khusus,
seperti hal-hal berikut:
a) Tomografi, menggambarkan tidak hanya satu struktur saja, tetapi juga
strukur tertup yang sulit divisualisasikan. Pada kasus ini ditemukan
kerusakan struktur yang kompleks, tidak hanya pada satu struktur saja,
tetapi pada struktur lain yang juga mengalami kerusakan
b) Mielografi, menggambrkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh
darah diruang tulang vertebra yang mengalami kerusakan akibat trauma
c) Artrografi, menggambarkan jaringan ikat yang rusak ruda paksa
d) Coumputed Tomography- Scanning, menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang tempat terdapatnya struktur tulang yang rusak.
b. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang lazim digunakan untuk mengetahui lebih
jauh kelainan yang terjadi meliputi hal-hal sebagai berikut:
a) Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan
tulang
b) Fosfatase alkali meningkat pada saat kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang
c) Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehidroginasi (LDH-5),
aspartat amino transferase (AST) dan aldolase meningkat pada tahap
penyembuhan tulang
c. Pemeriksaan lain-lain
Pada pemeriksaan kultut mikroorganisme dan tes sensitivitas didapatkan
mikroorganisme penyebab infeksi
a) Biopsi tulang dan otot : pada intinya, pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas, tetapi lebih diindikasikan bila terjadi infeksi
b) Elektromiografi: Terdapat kerusakan konduksi saraf akibat fraktur
c) Artroskopi: Didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena
trauma yang berlebihan.
d) Indium imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada
tulang
e) MRI : Menggambarkan kerusakan akibat fraktur
A. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Keperawatan
a. Anamnesis
1) Keluhan utama. Nyeri pada bagian lengan dan bahu kanan.
2) Riwayat penyakit sekarang. Klien mengatakan terjatuh dari pohon, lalu
tangan dan bahu kanannya sakit.
3) Riwayat penyakit dahulu. Apakah klien pernah mengalami gangguan
tulang.
4) Riwayat penyakit keluarga. Apakah ada keluarga yang mengalami
abnormalitas tulang.
b. Pemeriksaan Fisik
Hal yang perlu diketahui dalam pemeriksaan fisik klien fraktur adalah
sebagai berikut:
1) Gambaran umum. Perawat pemeriksa perlu memerhatikan pemeriksaan
secara umum yang meliputi hal-hal sebaga berikut.
2) keadaan umum. Keadaan baik atau buruknya klien. Keadaan yang perlu
dicatat adalah sebagai berikut.
a) Kesadaran klien: apatis, sopor, koma, gelisah, kompos mentis, yang
bergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronis, ringan, sedang, berat,
dan pada kasus fraktur biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan.
3) Secara sistemik, dari kepala sampai kelamin.
Perawat harus memperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal
klien, terutama mengenai status neurovaskular.
4) Keadaan lokal. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah
sebagai berikut.
a) look (inspeksi). Perhatikan apa yang dapat dilihat, antara lain
sebagai berikut.
 Sikatriks (jaringan parut)
 Fistula
 Warna kemerahan atau kebiruan (livid) atau hiperpigmentasi
 Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang
tidak biasa (abnormal)
 Posisi dan bentuk ekstremitas (deformitas)
b) feel (palpasi). Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi
kliendiperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada
dasranya, hal ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien. Hal yang perlu
dicatat adalah sebagai berikut.
 perubahan suhu di sekitar trauma (hangat) dan kelembapan
kulit.
 apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
edema terutama di sekitar persendian.
 nyeri tekan (tenderness), krepitasi, letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal).
 tonus otot pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. selain itu,
periksa status neurovaskular. apabila ada benjolan, peraat perlu
mendeskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan
terhadap dasar atau permukaan, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
 move (pergerakan terutama rentang gerak).
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b.d agen cedera fisik ditandai dengan keluhan nyeri, distraksi,
fokus pada diri sendiri / fokus menyempit wajah menunjukkan nyeri,
perilaku berhati-hati , melindungi, perubahan tonus otot, respon otonomik
b. Kerusakan integritas jaringan b.d mekanik (tekanan, teriris, gesekan)
ditandai dengan keluhan gatal, nyeri, tekanan pada area yang sakit / area
sekitar, gangguan permukaan invasi struktur tubuh, destruksi lapisan kulit
/ jaringan
c. Kerusakan mobilitas fisik b.d kerusakan rangka neuromuskular : nyeri /
ketidaknyamanan, terapi restriktif (imobilisasi tungkai) ditandai dengan
ketidakmampuan untuk bergerak sesuai tujuan dalam lingkungan fisik,
menolak untuk bergerak, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan /
kontrol otot
d. Resiko infeksi b.d tidak adekuatnya pertahanan primer, kerusakan kulit,
trauma jaringan prosedur invasive, traksi tulang.
e. Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan b.d kurang terpajannya informasi, salah interpretasi informasi
ditandai dengan pernyataan / permintaan informasi, pernyataan alah
konsepsi

3. Intervensi Keperawatan
DX.1. Nyeri akut b.d agen cedera fisik. Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama ...X24 jam, diharapkan nyeri yang dialami pasien
terkontrol dengan kriteria hasil :
a. Pasien dapat mengkaji faktor penyebab, durasi terjadinya nyeri
b. Pasien melaporkan nyerinya terkontrol
c. Pasien dapat menggunakan teknik non-analgetik untuk menangani nyeri
Intervensi :
a. Lakukan pengkajian secara komprehensif tentang nyeri meliputi lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, qualitas, intensitas nyeri dan faktor
presipitasi
R/ : Mempengaruhi pilihan / pengawasan keefektifan intervensi
b. Observasi respon nonverbal dari ketidaknyamanan terutama
ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara efektif
R/ : Tingkat ansietas dapat mempengaruhi persepsi / reaksi terhadap
nyeri
c. Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman
nyeri dan penerimaan respon nyeri pasien
R/ : Strategi komunikasi terapeutik dapat membantu untuk menentukan
intervensi yang diperlukan
d. Kaji efek pengalaman nyeri terhadap kualitas hidup (ex. Tidur, aktivitas,
kognisi, oerasaan, hubungan, pekerjaan)
R/ : Mengetahui pengaruh nyeri terhadap kualitas hidup pasien.
e. Ajarkan menggunakan teknik nonanalgetik (relaksasi, nafas dalam,
imajinasi visualisasi, sentuhan terapeutik, akupresure)
R/ : Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol dan
dapat meningkatkan kekuatan otot; dapat meningkatkan harga diri dan
kemampuan koping.
f. Sediakan informasi tentang nyeri seperti : penyebab nyeri, berapa alam
nyeri itu akan berakhir, antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
R/ : Meningkatkan pengetahuan pasien
g. Laksanakan penggunaan kontrol analgetik, jika perlu
R/ : Analgetik dapat menurunkan nyeri dan spasme otot
DX.2. Kerusakan Integritas Jaringan. Setelahdilakukan tindakan keperawatan
selama ...X24 Jam diharapkan luka dapat sembuh dengan kriteria hasil :
a. Tidak ada bau
b. Tidak ada kemerahan disekiar luka
c. Tidak terjadi peningkatan suhu tubuh
d. Luka menjadi kering
e. Cairan pada luka telah kering
Intervensi :
a. Catat karakteristik luka
R/: Memberikan informasi tentang masalah yang mungkin disebabkan
oleh alat pemasangan gips, bebat / traksi
b. Catat karakteristik cairan
R/: Untuk mengobservasi adanya cairan yang timbul dari luka
c. Berikan masase pada area sekitar luka
R/: Mempunyai efek pengering, yang menguatkan kulit. Krim dan losion
tidak dianjurkan karena terlalu banyak minyak dapat menutup perimeter
gips, tidak memungkinkan gips untuk “bernapas”. Bedak tidak
dianjurkan karena potensial akumulasi berlebihan di dalam gips.
d. Memelihara kepatenan pada saluran drainage
R/: Untuk mengurangi resiko terjadinya infeksi
e. Berikan balutan
R/: Untuk mencegah terkontaminasi dengan lingkungan
f. Memelihara kesterilan dalam merawat luka
R/: Untuk mencegah terkontaminasi dengan bakteri
g. Memberi posisi pada bagian yang terluka agar tidak menjadi tegang
R/ : Untuk meminimalkan tekanan pada bagian yang terluka
h. Ajari pasien dan keluarga bagaiamana cara merawat luka
R/ : Untuk memberikan informasi kepada keluarga dan pasien tentang
cara perawatan luka yang baik dan benar untuk mencegah terjadinya
infeksi.

DX.3. Kerusakan mobilitas fisik. Setelah dilakukan tindakan keperawatan


selama ...X 24 jam, diharapkan dapat meningkatkan mobilitas dengan kriteria
hasil :
a. Pasien dapat memperlihatkan keseimbangan saat berjalan
b. Pasien dapat menggerakkan otot
c. Pasien dapat menggerakkan sendi
d. Pasien dapat berpindah : berjalan
Intervensi :
a. Kaji keterbatasan pergerakan sendi dan efek fungsinya
R/: Pasien mungkin dibatasi oleh andangan diri / persepsi diri tentang
keterbatasan fisik aktual, memerlukan informasi / intervensi untuk
meningkatkan kemajuan kesehatan
a. Kaji tingkat motivasi pasien untuk memelihara / mengembalikan
pergerakan sendi
R/: Motivasi diri pasien dapat mempercepat proses penyembuhan
b. Lindungi pasien dari trauma selama latihan
R/: Mencegah untuk mengurangi resiko jatuh pada pasien
c. Instruksikan kepada pasien / keluarga bagaimana melaksanakan latihan
ROM pasif secara sistematis atau ROM aktif
R/: Meningkatkan pengetahuan pasien / keluarga mengenai latihan ROM
aktif / pasif
d. Dorong pasien untuk duduk ditempat tidur, disamping tempat tidur, kursi
jika ditoleransi
R/: Mencegah / menurunkan insiden komplikasi kulit / pernafasan (ex.
Dekubitus, Pneumonia)
e. Kolaborasikan dengan terapi fisik dalam mengembangkan dan
melaksanakan program latihan
R/: Berguna dalam membuat aktifitas individual / program latihan.
Pasien dapat memerlukan bantuan jangka panjang dengan gerakan,
kekuatan dan aktifitas yang mengandalkan berat badan, juga penggunaan
alat

DX.4.Resiko Infeksi. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama ...X 24


Jam diharapkan resiko infeksi tidak menjadi aktual, dengan kriteria hasil :
a. Tidak ada tanda-tanda infeksi
b. Suhu tubuh dalam batas normal
c. Kadar WBC dalam batas normal (4,10-10,9 10^3/uL)
Intervensi :
a. Kaji tanda-tanda infeksi
R/: Mengetahui dini terjadinya infeksi
b. Batasi jumlah pengunjung
R/: Mengurangi kontaminasi silang
c. Inspeksi kulit dan membran mukosa selama kemerahan, panas tinggi
atau drainase
R/: Apabila kulit kembali kemerahan dan terdapat drainase purulen,
menandakan terjadi proses inflamasi bakteri
d. Dorong intake cairan
R/: Mempertahankan keseimbangan cairan untuk mendukung perfusi
jaringan
e. Anjurkan intake nutrisi yang cukup
R/: Mempertahankan keseimbangan nutrisi untuk mendukung perfusi
jaringan dan memberikan nutrisi yang perlu untuk regenerasi selular dan
penyembuhan jaringan
f. Instruksikan pasien untuk minum antibiotik sesuai indikasi
R/: Antibiotik dapat menghambat proses infeksi
g. Monitor absolute granulosit, WBC dan hasil normal
R/: WBC merupakan salah satu data penunjang yang dapat
mengidentifikasi adanya bakteri di dalam darah. Sel darah putih akan
meningkat sebagai kompensasi untuk melawan bakteri yang menginvasi
tubuh.

DX.5.Kurang pengetahuan. Setelah dilakukan tindakan keperwatan selama ...


X 24 jam diharapkan pengetahuan asien mengenai prosedur perawatan
meningkat dengan kriteria hasil :
a. Pasien dapat mendiskripsikan prosedur perawatan
b. Psien dapat menjelaskan tujuan prosedur
c. Pasien dapat menjelaskan langkah-langkah pengobatan
d. Pasien dapat menunjukkan prosedur perawatan
Intervensi :
a. Informasikan kepada keluarga tentang kapan dan dimana prosedur
perawatan akan dilaksanakan
R/: Memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat
pilihan berdasarkan informasi
b. Informasikan kepada pasien tentang berapa lama prosedur atau
perawatan yang diharapkan berakhir
R/: Dapat mengurangi kecemasan pasien sehingga mengurangi pikran
pasien
c. Informasikan kepada pasien tentang siapa yang akan melakukan
prosedur / perawatan
R/: Memberi pasien informasi mengenai pelaku prosedur perawatan
sehingga kepecayaan pasien meningkat kepada petugas
d. Kaji pengalaman pasien sebelumnya dan tingkat pengetahuan
berhubungan dengan prosedur perawatan
R/: Pengalaman pasien sebelumnya dapat mempengaruhi perawatan saat
ini dapat berkembang menjadi baik maupun buruk tergantung persepsi
pasien mengenai pengalaman prosedur perawatan sebelumnya.
e. Jelaskan tujuan prosedur perawatan
R/: Meningkatkan pengetahuan pasien dan mengurangi tingkat
kecemasan pasien
f. Diskusikan peralatan tertentu yang diperlukan dan fungsinya
R/: Meningkatkan pengetahuan pasien dan mengurangi tingkat
kecemasan pasien mengenai rosedur pengobatan
g. Sediakan informasi apa yang didengar, dicium, dilihat, dirasakan sesuai
prosedur perawatan
R/: Meningkatkan pengetahuan pasien dan memberi intervensi yang
tepat sat asien menanyakan informasi mengenai persepsi sensori yang
dirasakan pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Vol 3.
Jakarta : EGC.

Carpenitto, Lynda Juall. (2006). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Alih bahasa :
Monica Ester, Edisi 8. EGC : Jakarta.

Mansjoer, A dkk. 2010. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius

Nurarif, A. H. 2015. Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis &


NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: Mediaction Publishing

Potter, P. A, & Perry, A.G (2006). Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep,
proses, dan praktik, Jakarta: EGC.

Smeltzer, S.C., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.

Wilkinson, Judith M.(2012).Buku Saku Diagnosa keperwatan NANDA NIC


NOC.Edisi 9. Penerbit Buku Kedokteran EGC.Jakarta

Anda mungkin juga menyukai