Anda di halaman 1dari 7

PRINSIP KEADILAN DALAM PUTUSAN PIDANA OLEH HAKIM:

TINJAUAN KRITIS TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI


TASIKMALAYA NO. 425/PID. B/2017/PN TSM

Agustin, SH
NPM:

Abstrak
Penegakan hukum yang berjalan selama ini terkesan kuat masih berkutat dalam bentuk
keadilan prosedural yang sangat menekankan pada aspek regularitas dan penerapan
formalitas legal semata. Akibatnya, penegakan hukum menjadi kurang atau bahkan tidak
mampu menyelesaikan inti persoalan sebenarnya. Penelitian ini mengangkat masalah prinsip
keadilan putusan dalam peradilan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
yuridis normatif. Sedangkan sumber datanya berupa data sekundair dan metode analisis yang
digunakan adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam penangan
kasus hukum, hakim hanya melihat dari sisi formalnya saja (keadilan prosedural), disarankan
hakim harus melihat keadilan dari sisi substantifnya.

Kata Kunci: keadilan, putusan, hakim

Abstract
Law enforcement that has been running so far seems strongly still struggling in the form of
procedural justice which emphasizes the regularity aspect and the application of legal
formalities only. As a result, law enforcement becomes less or even unable to solve the core
of the real problem. This research raises the issue of the principle of justice in decisions in
the court. The approach used in this study is normative juridical. While the data source is in
the form of secondary data and the analytical method used is qualitative descriptive. The
results of the study show that in handling legal cases, judges only look at the formal side
(procedural justice), it is suggested that the judge should look at justice from the substantive
side.

Keywords: justice, decision, judge

A. PENDAHULUAN
Putusan hakim dewasa ini sering kali ditemukan putusan-putusan yang sangat
merugikan masyarakat. Bahkan sering mencuat menjadi bahan perbincangan publik karena
putusan peradilan dianggap mengabaikan nilai-nilai keadilan yang semestinya dirasakan oleh
masyarakat dan pencari keadilan, baik bagi tersangka maupun korban. Proses hukum di
lingkungan peradilan Indonesia hingga saat ini dianggap belum sepenuhnya mencerminkan
nilai-nilai keadilan yang sesungguhnya. Padahal, proses hukum harus lebih mengutamakan isi
dan substansi di atas prosedur atau cara-cara untuk mencapai substansi tersebut. 1
Penegakan hukum yang berjalan selama ini terkesan kuat masih berorientasi dalam
bentuk keadilan prosedural yang sangat menekankan pada aspek regularitas dan penerapan
formalitas legal. Sejalan dengan itu rekayasa hukum menjadi fenomena yang cukup kuat
dalam hampir setiap penegakan hukum di negeri ini. Keadilan substantif sebagai sumber
keadilan prosedural masih bersifat konsep parsial dan belum menjangkau seutuhnya ide-ide
dan realitas yang seharusnya menjadi bagian intrinsik dari konsep dan penegakan keadilan. 2
Akibatnya, penegakan hukum menjadi kurang tidak mampu menyelesaikan inti
persoalan sebenarnya. Suara orang atau masyarakat yang tertindas sebagai subjek yang sangat
memerlukan keadilan hampir terabaikan sama sekali. Orang yang selama ini mengalami
ketidakadilan, atau bahkan masyarakat secara keseluruhan kian jauh dari sentuhan dan rasa
keadilan. Bahkan, sering terjadi, atas nama keadilan, para pencari keadilan menjadi korban
penegakan hukum formal. Realitas ini menjadikan penegakan keadilan berwajah ambivalen
yang jauh dari nilai-nilai keadilan hakiki dan terkadang justru menyodok rasa keadilan itu
sendiri. Keadilan terbesar menurut Hans Kelsen adalah pemenuhan keinginan sebanyak-
banyaknya orang. 3
Dalam tataran ideal, untuk mewujudkan putusan hakim yang memenuhi harapan
pencari keadilan, yang mencerminkan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat, ada
beberapa unsur yang harus dipenuhi dengan baik. Gustav Radbruch mengemukakan idealnya
dalam suatu putusan harus memuat idee des recht, yang meliputi 3 unsur yaitu keadilan
(Gerechtigkeit), kepastian hukum (Rechtsicherheit) dan kemanfaatan (Zwechtmassigkeit). 4
Ketiga unsur tersebut semestinya oleh Hakim harus dipertimbangkan dan diakomodir secara
proporsional, sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan putusan yang berkualitas dan
memenuhi harapan para pencari keadilan.
Mochtar Kusumaatmadja 5 mengemukakan bahwa hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara, bebas dari campur tangan masyarakat, eksekutif maupun legislatif. Dengan
kebebasan yang demikian itu, diharapkan hakim dapat mengambil keputusan berdasarkan
hukum yang berlaku dan juga berdasarkan keyakinannya yang seadil-adilnya serta

1
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998
2
Philippe Nonet & Philip Selznick. Hukum Responsif, Pilihan di Masa Transisi. Penerjemah Rafael Edy Bosco.
3
Jimly Asshiddiqi, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta: Setjen Kepaniteraan MK-RI, 2006, hlm 18
4
Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum, Problematik Ketertiban yang Adil, Bandung: CV Mandar Maju,
2011, hal 15.
5
Muchtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Bina
Cipta, 1986, hlm. 319-320
memberikan manfaat bagi masyarakat. Dengan demikian, maka hukum dan badan-badan
pengadilan akan dapat berfungsi sebagai penggerak masyarakat dalam pembangunan hukum
dan pembinaan tertib hukum.
Dalam implementasinya terkadang tidak mudah untuk mensinergikan ketiga unsur
tersebut di atas, terutama antara unsur keadilan dengan kepastian hukum bisa saja saling
bertentangan. Putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya No. 425/Pid. B/2017/PN Tsm
menetapkan Morky Santeja Bin Engkos Koswara telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana penggelapan dalam hubungan pekerjaan yang dilakukan
secara berlanjut, sebagaimana dakwaan pasal 374 KUHP jo. pasal 64 ayat (1) KUHP, dan
menghukumnya dengan penjara selama 9 (sembilan) bulan, atas penggelapan yang dilakukan
terhadap uang perusahaan sebesar Rp. 146.326.000,-.
Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, maka dapat ditarik rumusan
masalah, sebagai berikut: Bagaimanakah hakim dalam mengambil suatu putusan sehingga
tercermin prinsip keadilan dalam putusan pengadilan?
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif. Metode penelitian hukum normatif merupakan jenis penelitian bahan hukum
sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan primer yang meliputi
rancangan peraturan perundang-undangan dan hasil penelitian. 6 Pada penelitian hukum jenis
ini sering kali di konsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku
manusia yang dianggap pantas. 7

B. PEMBAHASAN
Putusan Pengadilan atau putusan hakim merupakan aspek penting dan diperlukan
untuk menyelesaikan perkara. Putusan hakim haruslah mempunyai kepala pada bagian
putusan berbunyi Demi Keadilan berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa. Kepala putusan
ini memberikan kekuatan eksekutorial pada putusan apabila kepala putusan ini tidak
dibubuhkan pada suatu putusan pengadilan maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan
tersebut. 8
Kepala putusan memiliki kekuatan eksekutorial kepada putusan pengadilan.
Pencantuman kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam
putusan pengadilan oleh pembuat Undang-Undang juga dimaksudkan agar hakim selalu

6
Suratman &Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Cet Ke-6. Bandung: Alfabeta, 2013. hlm. 66
7
Amiruddin & Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,Cet Ke- 6. Jakarta: Grafindo Persada, 2012,
hlm. 118
8
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. Cet.kelima. Yogjakarta: Liberty 1998. Hlm.185.
menginsafi, bahwa karena sumpah jabatannya ia tidak hanya bertanggung jawab pada hukum,
diri sendiri, dan kepada rakyat, tetapi juga bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha
Esa. 9
Hakim adalah pejabat yang memimpin persidangan. Istilah "hakim" sendiri berasal
dari kata (hakima) yang berarti "aturan, peraturan, kekuasaan, pemerintah". Ia yang
memutuskan hukum bagi pihak yang dituntut. Hakim harus dihormati di ruang pengadilan
dan pelanggaran akan hal ini dapat menyebabkan hukuman.
Tugas pokok hakim adalah menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan dan
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Meskipun demikian tugas dan
kewajiban hakim dapat diperinci lebih lanjut yang dalam hal ini dapat dibedakan menjadi
beberapa macam, yaitu tugas hakim secara normative dan tugas hakim secara konkret dalam
mengadili suatu hukum.
Beberapa tugas dan kewajiban pokok hakim dalam bidang peradilan secara normatif
telah diatur dalam UU No. 4 Tahun 2004 antara lain: (1) Mengadili menurut hukum dengan
tidak membeda-bedakan orang (pasal 5 ayat 1). (2) Membantu para pencari keadilan dan
berusaha sekeras-kerasnya mengetasi segala hambatan dan rintangan demi terciptanya
peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan (pasal 5 ayat 2). (3) Tidak boleh menolak
untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya (pasal 14 ayat 1).
(4) Memberi keterangan, pertimbangan dan nasihat-nasihat tentang soal-soal hukum kepada
lembaga Negara lainnya apabia diminta (pasal 25). (5) Hakim wajib menggali, mengikuti dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (pasal 28
ayat1).
Keadilan merupakan salah satu tujuan dari setiap sistem hukum, bahkan merupakan
tujuannya yang terpenting. Masih ada tujuan hukum yang lain yang juga selalu menjadi
tumpuan hukum, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan ketertiban. Di samping tujuan
hukum, keadilan dapat juga dilihat sbagai suatu nilai (value). Bagi suatu kehidupan manusia
yang baik, ada empat nilai yang merupakan fondasi pentingnya, yaitu : (1) Keadilan; (2)
Kebenaran ; (3) Hukum dan (4) Moral. Akan tetapi dari keempat nilai tersebut, menurut
filosof besar bangsa Yunani, yaitu Plato, keadilan merupakan nilai kebajikan yang tertinggi.
Menurut Plato : “Justice is the supreme virtue which harmonize all other virtues”. Para
filosof Yunani memandang keadilan sebagai suatu kebajikan individual (individual virtue).

9
Bismar Siregar, Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan, Jakarta: Gema Insani Press, 1995, hlm. 19-20
Oleh karena itu dalam Institute of Justinian, diberikanlah definisi keadilan yang sangat
terkenal itu, yang mengartikan kadilan sebagai suatu tujuan yang kontinyu dan konstan untuk
memberikan kepada setiap orang haknya. “Justice is the constant and continual purpose
which gives to everyone his own”. 10
Mahkamah Agung sendiri dalam intruksinya No. KMA/015/INST/VI/1998 tanggal 1
juni 1998 mengintruksikan agar para hakim memantapkan profesionalisme dalam
mewujudkan peradilan yang berkualitas, dengan menghasilkan putusan hakim yang
eksekutabel, berisikan ethos (integritas), pathos (pertimbangan yuridis yang utama), filosofis
(berintikan rasa keadilan dan kebenaran), sosiologis (sesuai dengan tata nilai budaya yang
berlaku dalam masyarakat), serta logos (dapat diterima akal sehat), demi terciptanya
kemandirian para penyelenggara kekuasaan kehakiman. 11
Dalam konteks putusan hakim peradilan, terutama yang sering disinggungsinggung
adalah berupa keadilan prosedural (procedural justice) dan keadilan substantif (substantive
justice). Dalam hal ini kami mencoba memberi batasan apa yang dimaksud dengan keadilan
prosedural dan keadilan substantif ini. Keadilan prosedural adalah keadilan yang didasarkan
pada ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dari peraturan hukum formal, seperti mengenai
tenggat waktu maupun syarat-syarat beracara di pengadilan lainnya. Keadilan substantif
adalah keadilan yang didasarkan pada nilainilai yang lahir dari sumber-sumber hukum yang
responsif sesuai hati nurani.
Dengan demikian konsep keadilan sebenarnya sudah banyak dikemukakan oleh para
ahli karena keadilan sesungguhnya sesuatu yang sangat dekat dengan pemenuhan hak dan
kepentingan manusia. Hanya saja yang tidak mudah dalam praktek adalah merumuskan apa
yang menjadi tolok ukur atau parameter keadilan itu sendiri. Proses penyelesaian perkara di
pengadilan melibatkan setidaknya dua pihak yang masingmasing sedang terlibat konflik
kepentingan (conflict of interest) satu dengan lainnya. Sehingga bisa saja terjadi ketika
putusan hakim dijatuhkan akan dirasakan berbeda oleh kedua belah pihak, yaitu satu pihak
merasa adil karena keinginannya dikabulkan, tetapi pihak yang lain merasa putusannya tidak
adil karena keinginannya tidak dapat terpenuhi. Sehingga hakekatnya persoalan keadilan itu
implementasinya dalam praktik dirasakan adil atau tidak adil adalah berdasarkan penilaian
masing-masing pihak, yang sangat mungkin berbeda secara diametral parameternya.

10
Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2003, hlm. 52-53.
11
A. Mukti Arto, Mencari Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 98
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya No. 425/Pid. B/2017/PN Tsm
menetapkan Morky Santeja Bin Engkos Koswara telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana penggelapan dalam hubungan pekerjaan yang dilakukan
secara berlanjut, sebagaimana dakwaan pasal 374 KUHP jo. pasal 64 ayat (1) KUHP, dan
menghukumnya dengan penjara selama 9 (sembilan) bulan, atas penggelapan yang dilakukan
terhadap uang perusahaan sebesar Rp. 146.326.000,-, terlihat bahwa unsur keadilan dengan
kepastian hukum bisa saja saling bertentangan.
Tidak mengherankan, hakim memutuskan perkara dan menghukum tersangka dengan
dengan pidana penjara 9 (sembilan) bulan. Hal ini karena terbukti dan meyakinkan bahwa
tersangka melakukan tindak pidana penggelapan berdasarkan bukti-bukti dan keterangan
saksi yang diperlihatkan dalam sidang. Namun, sebagaimana disebutkan bahwa unsur
keadilan sering kali bertentangan dengan unsur kepastian hukum, tersangka harus menjalani
sanksi pidana atas perbuatannya, namun atas penggelapan tersebut, tidak ada ganti rugi
kepada korban. Hal ini seringkali menjadi kekhawatiran bagi korban penipuan dan
penggelapan untuk mencari keadilan di Pengadilan di Indonesia. Akibat dari perbuatannya,
tersangka akan dikenakan pidana pejara sesuai prosedural hukum, namun tidak ada ganti rugi
atas perbuatan tersangka kepada korban.

C. PENUTUP DAN SIMPULAN


Prinsip keadilan putusan dalam peradilan masih membuka ruang kajian yang lebih
dalam, karena kompleksitasnya masalah penegakan hukum di Indonesia, termasuk banyaknya
konsep keadilan, implementasinya serta penentuan tolok ukur keadilan itu sendiri masih
berbeda-beda. Tetapi khususnya terkait dengan wacana penegakan substantif di lembaga
peradilan, sepanjang tidak mengabaikan keadilan proseduralnya adalah hal yang patut
diapresiasi.
Diharapkan Hakim sebagai pemegang kekuasaan kehakiman memiliki peran penting
dalam penegakan keadilan. Hakim dalam jabatannya harus mampu memberikan rasa keadilan
dalam masyarakat. Tanggung jawab hakim bukan kepada negara, bukan kepada bangsa,
tetapi pertama kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana dalam kepala putusan memiliki
kekuatan eksekutorial. Posisi hakim dalam proses peradilan tentu sangat dibutuhkan seorang
hakim yang memiliki integritas tinggi, loyalitas, dan tingkat keimanan yang tinggi pula serta
dalam memberikan keadilan harus bermartabat.
D. DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin & Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja, 2012.
Grafindo Persada.
Arto, A. Mukti, Mencari Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006
Asshiddiqi, Jimly, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta: Setjen Kepaniteraan MK-RI,
2006
Fuady, Munir, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2003
Kusumohamidjojo, Budiono, Filsafat Hukum, Problematik Ketertiban yang Adil, Bandung:
CV Mandar Maju, 2011
Kusumaatmadja, Muchtar, Fungsi dan Perkembangan hukum dalam Pembangunan Nasional,
Bandung: Bina Cipta, Bandung, 1986
Mahfud MD, Moh., Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1998
Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty Yogjakarta, 1998.
Nonet, Philippe & Philip Selznick. Hukum Responsif, Pilihan di Masa Transisi. Penerjemah
Rafael Edy Bosco.
Suratman &Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Alfabeta, 2013.
Siregar, Bismar, Hukum Hakim dan Keadilan Tuhan, Gema Insani Press, Jakarta, 1995

Anda mungkin juga menyukai