Anda di halaman 1dari 26

A.

ST ELEVATION INFARK MIOCARD (STEMI)


1. DEFINISI

STEMI merupakan sindroma klinis yang ddidefinisikan dengan tanda gejala


dan karakteristik iskemi miokard dan berhubungan dengan persisten ST elevasi dan
pengeluaran biomarker dari nekrosis miokard. Cardiac troponin merupakan
biomarker yang digunakan untuk diagnosis infark miokard. (AHA, 2012).

Infark miokard adalah kematian jaringan miokard yang diakibatkan oleh


kerusakan aliran darah koroner miokard (Carpenito, 2012). Infark miocard akut
(IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang menyebabkan sel otot
jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi sumbatan
koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah di
sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran darah
atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot
jantung, dikatakan mengalami infark (Guyton & Hall, 2011).

IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua kategori, yaitu ST-
elevation infark miocard (STEMI) dan non ST-elevation infark miocard (NSTEMI).
STEMI merupakan oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan area infark
yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai dengan adanya
elevasi segmen ST pada EKG. Sedangkan NSTEMI merupakan oklusi sebagian dari
arteri koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada
elevasi segmen ST pada EKG.

2. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO


Infark miokard disebabkan oleh oklusi arteri koroner setelah terjadinya
rupture vulnerable atherosclerotic plaque. Pada sebagian besar kasus, terdapat
beberapa faktor presipitasi yang muncul sebelum terjadinya STEMI, antara lain
aktivitas fisik yang berlebihan, stress emosional, dan penyakit dalam lainnya. Selain
itu, terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya IMA pada
individu.Faktor-faktor resiko ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian besar, yaitu faktor
resiko yang tidak dapat dirubah dan faktor resiko yang dapat dirubah.
a. Faktor yang tidak dapat dirubah :
1) Usia
Walaupun akumulasi plak atherosclerotic merupakan proses yang progresif,
biasanya tidak akan muncul manifestasi klinis sampai lesi mencapai ambang
kritis dan mulai menimbulkan kerusakan organ pada usia menengah maupun
usia lanjut. Oleh karena itu, pada usia antara 40 dan 60 tahun, insiden infark
miokard pada pria meningkat lima kali lipat (Kumar, et al., 2009).
2) Ras
Amerika-Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis daripada orang kulit putih.
3) Jenis kelamin
Infark miokard jarang ditemukan pada wanita premenopause kecuali jika
terdapat diabetes, hiperlipidemia, dan hipertensi berat.Setelah menopause,
insiden penyakit yang berhubungan dengan atherosclerosis meningkat bahkan lebih
besar jika dibandingkan dengan pria.
4) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang positif terhadap penyakit jantung koroner (saudara,
orang tua yang menderita penyakit ini sebelum usia 50 tahun) meningkatkan
kemungkinan timbulnya IMA.
b. Faktor resiko yang dapat dirubah :
1) Merokok
Merupakan faktor risiko pasti pada pria, dan konsumsi rokok mungkin
merupakan penyebab peningkatan insiden dan keparahan atherosclerosis pada
wanita (Kumar, et al., 2009). Efek rokok adalah menyebabkan beban miokard
bertambah karena rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya komsumsi
O2 akibat inhalasi CO atau dengan perkataan lain dapat menyebabkan
takikardi, vasokonstrisi pembuluh darah, merubah permeabilitas dinding
pembuluh darah dan merubah 5-10 % Hb menjadi carboksi -Hb. Disamping
itu dapat menurunkan HDL kolesterol tetapi mekanismenya belum jelas.
Makin banyak jumlah rokok yang dihidap, kadar HDL kolesterol makin
menurun. Perempuan yang merokok penurunan kadar HDL kolesterolnya
lebih besar dibandingkan laki-laki perokok. Merokok juga dapat meningkatkan
tipe IV abnormal pada diabetes disertai obesitas dan hipertensi, sehingga orang
yan gmerokok cenderung lebih mudah terjadi proses aterosklerosis dari pada
yang bukan perokok.
2) Hiperlipidemia
Merupakan peningkatan kolesterol dan/atau trigliserida serum di atas batas
normal. Peningkatan kadar kolesterol di atas 180 mg/dl akan meningkatkan
resiko penyakit arteri koronaria, dan peningkatan resiko ini akan lebih cepat
terjadi bila kadarnya melebihi 240 mg/dl. Peningkatan kolosterol LDL
dihubungkan dengan meningkatnya resiko penyakit arteri koronaria, sedangkan
kadar kolesterol HDL yang tinggi berperan sebagai faktor pelindung terhadap
penyakit ini.
3) Hipertensi
Merupakan faktor risiko mayor dari IMA, baik tekanan darah systole maupun
diastole memiliki peran penting. Hipertensi dapat meningkatkan risiko ischemic
heart disease (IHD) sekitar 60% dibandingkan dengan individu normotensive.
Tanpa perawatan, sekitar 50% pasien hipertensi dapat meninggal karena gagal
jantung kongestif, dan sepertiga lainnya dapat meninggal karena stroke
(Kumar, et al., 2009). Mekanisme hipertensi berakibat IHD:
- Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk jantung,
sehingga menyebabkan hipertropi ventrikel kiri atau pembesaran ventrikel kiri
(faktor miokard). Keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi.
- Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma langsung
terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga memudahkan
terjadinya arterosklerosis koroner (faktor koroner) Hal ini menyebabkan
angina pektoris, Insufisiensi koroner dan miokard infark lebih sering
didapatkan pada penderita hipertensi dibanding orang normal.
4) Diabetes mellitus
Diabetes Melitus menginduksi hiperkolesterolemia dan juga meningkatkan
predisposisi atherosclerosis. Insiden infark miokard dua kali lebih tinggi pada
seseorang yang menderita diabetes daripada tidak. Juga terdapat peningkatan
risiko stroke pada seseorang yang menderita diabetes mellitus.
5) Gaya hidup monoton, berperan pada timbulnya penyakit jantung koroner.
6) Stres Psikologik, stres menyebabkan peningkatan katekolamin yang
bersifat aterogenik serta mempercepat terjadinya serangan.
3. MANIFESTASI KLINIS
1) Keluhan Utama Klasik
a. Volume dan denyut nadi cepat, namun pada kasus infark miokard berat nadi
menjadi kecil dan lambat. Bradikardi dan aritmia juga sering dijumpai.
Tekanan darah menurun atau normal selama beberapa jam atau hari. Dalam
waktu beberapa minggu, tekanan darah kembali normal.
b. Nyeri
Nyeri merupakan manifestasi yang paling umum ditemukan pada pasien
dengan STEMI.Karakteristik nyeri yang dirasakan yaitu dalam dan visceral,
yang biasa dideskripsikan dengan nyeri terasa berat dan seperti diremas,
seperti ditusuk, atau seperti terbakar. Karakteristik nyeri pada STEMI hampir
sama dengan pada angina pectoris, namun biasanya terjadi pada saat istirahat,
lebih berat, dan berlangsung lebih lama. Nyeri biasa dirasakan pada bagian
tengah dada dan/atau epigastrium, dan menyebar ke daerah
lengan.Penyebaran nyeri juga dapat terjadi pada abdomen, punggung, rahang
bawah, dan leher.Nyeri sering disertai dengan kelemahan, berkeringat, nausea,
muntah, dan ansietas (Fauci, 2009).
c. Dari auskultasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang melemah.
Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi
sistolik abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung.
Penemuan suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara
jantung dan paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda
disfungsi ventrikel jantung.
2) Temuan fisik
Sebagian besar pasien mengalami ansietas dan restless yang menunjukkan
ketidakmampuan untuk mengurangi rasa nyeri.Pallor yang berhubungan dengan
keluarnya keringat dan dingin pada ekstremitas juga sering ditemukan pada pasien
dengan STEMI.Nyeri dada substernal yang berlangsung selama >30 menit dan
diaphoresis menunjukkan terjadinya STEMI. Meskipun sebagian besar pasien
menunjukkan tekanan darah dan frekuensi nadi yang normal selama satu jam
pertama STEMI, sekitar 25% pasien dengan infark anterior memiliki manifestasi
hiperaktivitas sistem saraf simpatik (takikardia dan/atau hipertensi), dan 50%
pasien dengan infark inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardi
dan/atau hipotensi).
Impuls apical pada pasien dengan STEMI mungkin sulit untuk dipalpasi.
Tanda fisik dari disfungsi ventrikel lain antara adanya S3 dan S4, penurunan
intensitas bunyi jantung pertama, dan paradoxical splitting dari S2. Selain itu juga
sering terjadi penurunan volume pulsasi carotis, yang menunjukkan adanya
penurunan stroke volume. Peningkatan temperature tubuh di atas 380C mungkin
ditemukan selama satu minggu post STEMI.
4. PATOFISIOLOGI
Proses aterosklerotik dimulai ketika adaya luka pada sel endotel yang bersentuhan
langsung dengan zat-zat dalam darah. Permukaan sel endotel yang semula licin
menjadi kasar, sehingga zat-zat didalam darah menempel dan masuk kelapisan
dinding arteri. Penumpukan plaque yang semakin banyak akan membuat lapisan
pelindung arteri perlahan-lahan mulai menebal dan jumlah sel otot bertambah.
Setelah beberapa lama jaringan penghubung yang menutupi daerah itu berubah
menjadi jaringan sikatrik, yang mengurangi elastisitas arteri. Semakin lama semakin
banyak plaque yang terbentuk dan membuat lumen arteri mengecil.
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak
setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya. Stenosis
arteri koroner derajat tinggi yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu
STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu. (Black & Hawk,
2005; Libby, 2008 & Alwi, 2006).
Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plaque aterosklerosis mengalami fisura,
rupture atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis
sehingga mengakibatkan oklusi arteri koroner. Pada STEMI gambaran patologis
klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi alasan pada STEMI
memberikan respon terhadap terapi trombolitik.
Pada lokasi ruptur plaque, berbagai agonis (kolagen, ADP epinefrin dan
serotonin) memicu aktivasi trombosit, selanjutnya akan memproduksi dan
melepaskan tromboksan A2 (vasokontriktor lokal yang poten). Aktifitas trombosit
juga akan memicu terjadinya agregasi platelet dan mengaktifasi faktor VII dan X
sehingga menkonversi protombin menjadi thrombin dan fibrinogen menjadi fibrin.
Pembentukan trombus pada kaskade koagulasi akan menyebabkan oklusi oleh
trombus sehinga menyebabkan aliran darah berhenti secara mendadak dan
mengakibatkan STEMI (Black & Hawk, 2005; Lily, 2008; Libby, 2008 & Alwi, 2006).

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Nilai pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi diagnosis STEMI
dapat dibagi menjadi 4, yaitu: ECG, serum cardiac biomarker, cardiac imaging, dan
indeks nonspesifik nekrosis jaringan dan inflamasi.
a. Electrocardiograf (ECG)
Adanya elevasi segmen ST pada sadapan tertentu
1. Lead II, III, aVF : Infark inferior
2. Lead V1-V3 : Infark anteroseptal
3. Lead V2-V4 : Infark anterior
4. Lead 1, aV L, V5-V6 : Infark anterolateral
5. Lead I, aVL : Infark high lateral
6. Lead I, aVL, V1-V6 : Infark anterolateral luas
7. Lead II, III, aVF, V5-V6 : Infark inferolateral
8. Adanya Q valve patologis pada sadapan tertentu
b. Serum Cardiac Biomarker
Beberapa protein tertentu, yang disebut biomarker kardiak, dilepas dari otot
jantung yang mengalami nekrosis setelah STEMI.Kecepatan pelepasan protein
spesifik ini berbeda-beda, tergantung pada lokasi intraseluler, berat molekul, dan
aliran darah dan limfatik local.Biomarker kardiak dapat dideteksi pada darah
perifer ketika kapasitas limfatik kardiak untuk membersihkan bagian interstisium
dari zona infark berlebihan sehingga ikut beredar bersama sirkulasi.
1) Cardiac Troponin (cTnT dan cTnI)
Cardiac-specific troponin T (cTnT) dan cardiac-specific troponin I (cTnI)
memiliki sekuens asam amino yang berbeda dari protein ini yang ada dalam
otot skeletal.Perbedaan tersebut memungkinkan dilakukannya quantitative
assay untuk cTnT dan cTnI dengan antibody monoclonal yang sangat
spesifik.Karena cTnT dan cTnI secara normal tidak terdeteksi dalam darah
individu normal tetapi meningkat setelah STEMI menjadi >20 kali lebih
tinggi dari nilai normal, pengukuran cTnT dan cTnI dapat dijadikan sebagai
pemeriksaan diagnostic.Kadar cTnT dan cTnI mungkin tetap meningkat
selama 7-10 hari setelah STEMI.
2) CKMB (Creatine Kinase-MB isoenzym)
Creatinine phosphokinase (CK) meningkat dalam 4-8 jam dan umumnya
kembali normal setelah 48-72 jam.Pengukuran penurunan total CK pada
STEMI memiliki spesifisitas yang rendah, karena CK juga mungkin
meningkat pada penyakit otot skeletal, termasuk infark
intramuscular.Pengukuran isoenzim MB dari CK dinilai lebih spesifik untuk
STEMI karena isoenzim MB tidak terdapat dalam jumlah yang signifikan
pada jaringan ekstrakardiak. Namun pada miokarditis, pembedahan kardiak
mungkin didapatkan peningkatan kadar isoenzim MB dalam serum.
Marker Waktu Awal Waktu Waktu Nilai
Peningkatan Puncak Kembali Rujukan
(jam) Peningkatan Normal
(jam)

CK 4-8 12-24 71-96 jam


CK-MB 4-8 12-24 48-72 jam 10-13
units/L
Mioglobin 2-4 4-9 <24 jam <110 ng/mL
LDH 10-12 48-72 7-10 hari
Troponin I 4-6 12-24 3-10 hari <1,5 ng/mL
Troponin T 4-6 12-48 7-10 hari <0,1 ng/mL
Tabel 1 cardiac marker pada Miokard Infark
c. Cardiac Imaging
1) Echocardiography (ECG)
Abnormalitas pergerakan dinding pada two-dimentional echocardiography
hampir selalu ditemukan pada pasien STEMI. Walaupun STEMI akut tidak dapat
dibedakan dari scar miokardial sebelumnya atau dari iskemia berat akut dengan
echocardiography, prosedur ini masih digunakan karena keamanannya. Ketika
tidak terdapat ECG untuk metode diagnostic STEMI, deteksi awal maka nada
atau tidaknya abnormalitas pergerakan dinding dengan echocardiography dapat
digunakan untuk mengambil keputusan, seperti apakah pasien harus mendapatkan
terapi reperfusi. Estimasi echocardiographic untuk fungsi ventrikel kiri sangat
berguna dalam segi prognosis, deteksi penurunan fungsi ventrikel kiri
menunjukkan indikasi terapi dengan inhibitor RAAS.Echocardiography juga dapat
mengidentifikasi infark pada ventrikel kanan, aneurisma ventrikuler, efusi
pericardial, dan thrombus pada ventrikel kiri.Selain itu, Doppler echocardiography
juga dapat mendeteksi dan kuantifikasi VSD dan regurgitasi mitral, dua komplikasi
STEMI.
2) Angiografi
Tes diagnostik invasif dengan memasukan katerterisasi jantung yang
memungkinkan visualisasi langsung terhadap arteri koroner besar dan pengukuran
langsung terhadap ventrikel kiri.
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat
(culprit) digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in
myocardial infarction (TIMI) grading system:
- Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang
terkena infark.
- Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik
obstruksi tetapi tanpa perfusi vascular distal.
- Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke bagian
distal tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan arteri normal.
- Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark
dengan aliran normal.
3) High Resolution MRI
Infark miokard dapat dideteksi secara akurat dengan high resolution cardiac
MRI.
d. Indeks Nonspesifik Nekrosis Jaringan dan Inflamasi
Reaksi nonspesifik terhadap injuri myocardial berhubungan dengan
leukositosis polimorfonuklear, yang muncul dalam beberapa jam setelah onset
nyeri dan menetap selama 3-7 hari.Hitung sel darah putih seringkali mencapai
12.000- 15.000/L. Kecepatan sedimentasi eritrosit meningkat secara lebih lambat
dibandingkan dengan hitung sel darah putih, memuncak selama minggu pertama
dan kadang tetap meningkat selama 1 atau 2 minggu (Muttaqin, 2009).

5. PENATALAKSANAAN
1) Pre Hospital
Tatalaksana pra-rumah sakit, prognosis STEMI sebagian besar tergantung
adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu komplikasi elektrikal (aritmia) dan
komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian besar kematian di luar RS pada STEMI
disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24
jam pertama onset gejala. Dan lebih dari separuhnya terjadi pada jam pertama.
Sehingga elemen utama tatalaksana pra-RS pada pasien yang dicurigai STEMI :
a. Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis
b. Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan
resusitasi
c. Transportasi pasien ke RS yang memiliki fasilitas ICCU/ICU serta staf medis
dokter dan perawat yang terlatih
d. Terapi REPERFUSI
Tatalaksana di IGD. Tujuan tatalaksana di IGD pada pasien yang dicurigai
STEMI mencakup mengurangi/menghilangkan nyeri dada, identifikasi cepat
pasien yang merupakan kandidat terapi reperfusi segera, triase pasien risiko
rendah ke ruangan yang tepat di RS dan menghindari pemulangan cepat
pasien dengan STEMI.
2) Hospital
a. Aktivitas
Faktor-faktor yang meningkatkan kerja jantung selama masa-masa awal infark
dapat meningkatkan ukuran infark. Oleh karena itu, pasien dengan STEMI harus
tetap berada pada tempat tidur selama 12 jam pertama. Kemudian, jika tidak
terdapat komplikasi, pasien harus didukung untuk untuk melanjutkan postur tegak
dengan menggantung kaki mereka ke sisi tempat tidur dan duduk di kursi dalam
24 jam pertama. Latihan ini bermanfaat secara psikologis dan biasanya
menurunkan tekanan kapiler paru. Jika tidak terdapat hipotensi dan komplikasi
lain, pasien dapat berjalan-jalan di ruangan dengan durasi dan frekuensi yang
ditingkatkan secara bertahap pada hari kedua atau ketiga. Pada hari ketiga, pasien
harus sudah dapat berjalan 185 m minimal tiga kali sehari.
b. Diet
Karena adanya risiko emesis dan aspirasi segera setelah STEMI, pasien hanya
diberikan air peroral atau tidak diberikan apapun pada 4-12 jam pertama.Asupan
nutrisi yang diberikan harus mengandung kolesterol ± 300 mg/hari.Kompleks
karbohidrat harus mencapai 50-55% dari kalori total.Diet yang diberikan harus
tinggi kalium, magnesium, dan serat tetapi rendah natrium.
c. Bowel
Bedrest dan efek narkotik yang digunakan untuk menghilangkan nyeri
seringkali menyebabkan konstipasi. Laksatif dapat diberikan jika pasien mengalami
konstipasi.
3) Farmakoterapi
a. Nitrogliserin (NTG)
Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg
dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain mengurangi
nyeri dada, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen dengan menurunkan
preload dan meningkatkan suplai oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh
darah koroner yang terkena infark atau pembuluh darah kolateral. Jika nyeri dada
terus berlangsung, dapat diberikan NTG intravena. NTG IV juga dapat diberikan
untuk mengendalikan hipertensi dan edema paru.Terapi nitrat harus dihindarkan
pada pasien dengan tensi sistolik <90 mmHg atau pasien yang dicurigai menderita
infark ventrikel kanan.
b. Morfin
Morfin sangat efektif mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan
dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg
dan dapat diulangi dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek
samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan
arteriolar melalui penurunan, sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi
curah jantung dan tekanan arteri. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik
yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien
dengan infark posterior. Efek ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian
atropine 0,5 mg IV.
c. Aspirin
Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan
efektif pada spektrum SKA. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang
dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukkal
dengan dosis 160-325 mg di UGD. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis
75-162 mg.
d. Beta-adrenoreceptor blocker
Pemberian beta blocker intravena secara akut dapat memperbaiki hubungan
supply-demand oksigen, menurunkan nyeri, menurunkan ukuran infark, dan
menurunkan insiden ventricular aritmia (Smeltzer, 2010).
4) Terapi reperfusi
Terapi reperfusi yaitu menjamin aliran darah koroner kembali menjadi lancar.
Reperfusi ada 2 macam yaitu berupa tindakan kateterisasi (PCI) yang berupa
tindakan invasive (semi-bedah) dan terapi dengan obat melalui jalur infuse (agen
fibrinolitik).
Sasaran terapi perfusi pada pasien STEMI adalah door-to-needle (atau
medical contact-to-needle) time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai
dalam 30 menit atau door-to-ballon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90
menit. Tujuan manajemen medis dicapai dengan reperfusi melalui penggunaan
obat trombolitik atau PTCA (percutaneous transluminal coronary angioplasty).
PTCA dapat dikenal juga sebagai PCI (percutaneous cardiac intervention). PCI
(Percutaneous Cardiac Intervention) primer: metode reperfusi yang
direkomendasikan untuk dilakukan dengan cara yang tepat waktu oleh tenaga ahli
berpengalaman. Dilakukan pada klien dengan STEMI dan gejala iskemik pada
waktu kurang dari 12 jam. PCI dilakukan untuk membuka hambatan pada arteri
koroner dan menunjang reperfusi pada area yang kekurangan oksigen. Biasanya
dilakukan dengan menggunakan balon/ stent/ ring.

Gambar pemasangan PCI


Beberapa hal baru dipertimbangkan dalam seleksi jenis terapi reperfusi antara lain:
1) Waktu onset gejala
- Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan predictor penting luas
infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolisis dalam
menghancurkan thrombus sangat tergantung dengan waktu. Terapi
fibrinolisis yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam
pertama) terkadang menghentikan infark miokard dan secara dramatis
menurunkan angka kematian.
- Sebaliknya, kemampuan memperbaiki arteri yang mengalami infark menjadi
paten, kurang banyak tergantung pada lama gejala pasien yang menjalani PCI.
Beberapa laporan menunjukkan tidak ada pengaruh keterlambatan waktu
terhadap laju mortalitas jika PCI dikerjakan setelah 2 sampai 3 jam setelah
gejala.
- The Task Force on the Management of Acute Myocardial Infraction of the
European Society of Cardiology dan ACC/AHA merekomendasikan target
medical contact-to-balloon atau door-tto-balloon time dalam waktu 90 menit.
2) Risiko STEMI
Beberapa model telah dikembangkan yang membantu dokter dalam menilai risiko
mortalitas pada pasien STEMI. JIka estimasi mortalitas dengan fibrinolisis sangat
tinggi, seperti pada pasien renjatan kardiogenik, bukti klinis menunjukkan strategi
PCI lebih baik.
3) Risiko Perdarahan
Penilaian terapi reperfusi juga melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika
terapii reperfusi bersama-sama tersedia PCI dan fibrinolisis, semakin tinggi risiko
perdarahan dengan terapi fibrinolisis, semakin kuat keputusan untuk memilih PCI.
Jika PCI tidak tersedia, manfaat terapi reperfusi farmakologis harus
mempertimbangkan mafaat dan risiko.
4) Waktu yang Dibutuhkan untuk Transport ke Laboratorium PCI Adanya fasilitas
kardiologi Intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan.
Untuk fasilitas yang dapat mengerjakan PCI, penelitian menunjukkan PCI lebih
superior dari reperfusi farmakologis.

6. KOMPLIKASI
1) Disfungsi ventrikel
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan bentuk, ukuran, dan
ketebalan baik pada segmen yang infark maupun non infark. Proses ini
dinamakan remodeling ventricular.Secara akut, hal ini terjadi karena ekspansi
infark, disrupsi sel-sel miokardial yang normal, dan kehilangan jaringan pada
zona nekrotik.Pembesaran yang terjadi berhubungan dengan ukuran dan
lokasi infark.
2) Gagal pemompaan (pump failure)
Merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI.Perluasaan
nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa
dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya.Tanda klinis
yang sering dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan
S4 gallop.Pada pemeriksaan rontgen dijumpai kongesti paru.
3) Aritmia
Insiden aritmia setelah STEMI meningkat pada pasien setelah gejala
awal.Mekanisme yang berperan dalam aritmia karena infark meliputi
ketidakseimbangan sistem saraf otonom, ketidakseimbangan elektrolit,
iskemia, dan konduksi yang lambat pada zona iskemik.
4) Gagal jantung kongestif
Hal ini terjadi karena kongesti sirkulasi akibat disfungsi
miokardium.Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menimbulkan
kongesti vena pulmonalis, sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal
jantung kanan mengakibatkan kongesti vena sistemik.
5) Syok kardiogenik
Diakibatkan oleh disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami infark yang
massif, biasanya mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri.Timbul lingkaran
setan akibat perubahan hemodinamik progresif hebat yang ireversibel dengan
manifestasi seperti penurunan perfusi perifer, penurunan perfusi koroner,
peningkatan kongesti paru-paru, hipotensi, asidosis metabolic, dan
hipoksemia yang selanjutnya makin menekan fungsi miokardium.
6) Edema paru akut
Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik di rongga
interstisial maupun dalam alveoli.Edema paru merupakan tanda adanya
kongesti paru tingkat lanjut, di mana cairan mengalami kebocoran melalui
dinding kapiler, merembes keluar, dan menimbulkan dispnea yang sangat
berat.Kongesti paru terjadi jika dasar vascular paru menerima darah yang
berlebihan dari ventrikel kanan yang tidak mampu diakomodasi dan diambil
oleh jantung kiri.Oleh karena adanya timbunan cairan, paru menjadi kaku dan
tidak dapat mengembang serta udara tidak dapat masuk, akibatnya terjadi
hipoksia berat..
7) Disfungsi otot papilaris
Disfungsi iskemik atau ruptur nekrotik otot papilaris akan mengganggu fungsi
katup mitralis, sehingga memungkinkan eversi daun katup ke dalam atrium
selama sistolik. Inkompetensi katup mengakibatkan aliran retrograde dari
ventrikel kiri ke dalam atrium kiri dengan dua akibat yaitu pengurangan aliran
ke aorta dan peningkatan kongesti pada atrium kiri dan vena pulmonalis.
8) Defek septum ventrikel
Nekrosis septum interventrikular dapat menyebabkan rupture dinding
septum sehingga terjadi defek septum ventrikel.
9) Rupture jantung
Rupture dinding ventrikel yang bebas dapat terjadi pada awal perjalanan
infark selama fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum pembentukan
parut. Dinding nekrotik yang tipis pecah, sehingga terjadi peradarahan massif
ke dalam kantong pericardium yang relative tidak elastic dapat
berkembang.Kantong pericardium yang terisi oleh darah menekan jantung,
sehingga menimbulkan tamponade jantung. Tamponade jantung ini akan
mengurangi aliran balik vena dan curah jantung.
10) Aneurisma ventrikel
Aneurisma ini biasanya terjadi pada permukaan anterior atau apeks jantung.
Aneurisma ventrikel akan mengembang bagaikan balon pada setiap sistolik
dan teregang secara pasif oleh sebagian curah sekuncup.
11) Tromboembolisme Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan
endotel menjadi kasar yang merupakan predisposisi pembentukan thrombus.
Pecahan thrombus mural intrakardium dapat terlepas dan terjadi embolisasi
sistemik.
12) Perikarditis
Infark transmural membuat lapisan epikardium langsung berkontak dan
menjadi kasar, sehingga merangsang permukaan pericardium dan
menimbulkan reaksi peradangan.
PATHWAY STEMI
Kemampuan sintesa ATP secara
Modified Risk Blok pada arteri koroner Blok sebagian NON STEMI
aerob berkurang
Factor jantung
Non-Modified
Risk Factor
Blok total STEMI Iskemia miokard Produksi ATP Anaerob

Penimbunan trombosit ATP yang dihasilkan Asam laktat


dan faktor pembekuan Sel pecah (lisis) Sel terisi ion Pompa natrium, meningkat
Inflamasi kondisi infark natrium dan air kalium berhenti sangat sedikit

Pelepasan histamin dan Nyeri dada


prostaglandin Protein intrasel keluar ke Edema dan bengkak
sistemik dan interstitial sekitar miokard
Dx: Nyeri Akut

Vsokontriksi dan Jalur hantaran


trombosan Pompa jantung tidak listrik terganggu
terkoordinir
Otot rangka
Dx : Penurunan kekurangan
curah jantung Hambatan depol Dx: Intoleransi
Vol. Sekuncup turun oksigen dan Aktivitas
atrium/ventrikel ATP

Respon baroreseptor Penurunan TD


sistemik Disritmia Komplikasi: gagal
jantung dan
Aktivitas saraf simpatis, sistem renin- kematian
angiotensin, peningkatan adh, Parasimpatis berkurang Hipoksia meluas, iskemia meluas,
pelepasan stress (ACTH, kortisol), infark meluas
peningkatan Prod. gula Aliran darah ke CRT di ekstremitas
HR dan TPR Meningkat perifer semakin >2 dtk, pucat
Beban jantung meningkat menurun bahkan sianosis

Darah ke ginjal Produkdi urin Volume plasma Aliran balik vena Dx: gangguan
menurun menurun meningkat meningkat pertukaran gas
ERCUTANEOUS CORONARY INTERVENTION (PCI)/ INTERVENSI
KORONER PERKUTAN (IKP)
1. DEFINISI
IKP adalah suatu teknik untuk menghilangkan trombus dan melebarkan
pembuluh darah koroner yang menyempit dengan memakai kateter balon dan
seringkali dilakukan pemasangan stent. Tindakan ini dapat menghilangkan
penyumbatan dengan segera, sehingga aliran darah dapat menjadi normal kembali,
sehingga kerusakan otot jantung dapat dihindari (Majid, 2009).
Prosedur intervensi koroner diukur dari keberhasilan dan komplikasi yang
dihubungkan dengan mekanisme alat-alat yang digunakan dan juga memperhatikan
klinis dan faktor anatomi pasien (AHA, 2012).

2. PROSEDUR
Persiapan pasien yang akan dilakukan pemasangan cincin atau balon jantung.
Persiapan-persiapan yang dilakukan sebelum tindakan PCI Jantung yaitu :
a. Pemeriksaan laboratorium darah
b. Pemeriksaan EKG.
c. Uji latih beban (Treadmill).
d. Foto dada ( Rontgen Dada .)
e. Puasa makan 4 - 6 jam sebelum tindakan, minum obat seperti biasa.
f. Mendapat penjelasan tentang prosedur tindakan.
g. Diminta untuk menandatangi persetujuan tindakan (inform consent).
h. Dicukur pada daerah mana kateter akan dimasukkan.
i. Dipasang infus di lengan / tungkai kiri.
j. Minum Obat Platelet sesuai terapi dokter.
Perawatan pasien PCI PTCA Kateterisasi adalah sebagai berikut :
a. Pasien diperbolehkan makan atau minum.
b. Kaki area tindakan tidak boleh ditekuk selama 12 jam.
c. Apabila tindakan dari lengan, 4 jam setelah tindakan tangan tidak boleh ditekuk
atau untuk mengenggam.
d. Dirawat di ruang ICCU selama 1 hari untuk pengawasan.
e. Bila tidak ada komplikasi atau kelainan lainnya, pada keesokan harinya bisa
diperbolehkan pulang.Jadi tindakan ini biasanya hanya 3 hari.Hari pertama
masuk dan cek laborat lengkap, hari kedua tindakan dan hari ketiganya boleh
diperbolahkan pulang.
Adapun prosedur melakukan tindakan IKP terdiri dari beberapa langkah.
a. Pertama melakukan akses perkutan. Dalam proses ini arteri femoralis harus
diidentifikasi lebih dahulu (atau yang lebih jarang bisa menggunakan arteri
radialis atau arteri brachialis pada lengan) dengan menggunakan suatu alat yang
disebut jarum pembuka. (Eileen, 2009)
b. Setelah jarum sudah masuk, sheath introducer diletakkan pada jalan pembuka
untuk mempertahankan arteri tetap terbuka dan mengontrol perdarahan. Melalui
sheath introducer ini, guiding catheter dimasukkan. Ujung guiding catheter
ditempatkan pada ujung arteri koroner. Dengan guiding catheter, penanda
radiopak diinjeksikan ke arteri koroner, hingga kondisi dan lokasi kelainan dapat
diketahui.
c. Selama visualisasi sinar X , ahli jantung memperkirakan ukuran arteri koroner
dan memilih ukuran balon kateter serta guide wire coronary yang sesuai. Guiding
wire coronary adalah sebuah selang yang sangat tipis dengan ujung radio opak
yang fleksibel yang kemudian dimasukkan melalui guiding cathether mencapai
arteri koroner. Dengan visualisasi langsung, ahli jantung memandu kabel
mencapai tempat terjadinya blokade . Ujung kabel kemudian dilewatkan
menembus blokade.
d. Setelah kabel berhasil melewati stenosis, balon kateter dilekatkan dibelakang
kabel. Angioplasti kateter kemudian didorong kedepan sampai balon berada di
dalam blokade. Kemudian baru balon balon dikembangkan dan balon akan
mengkompresi atheromatous plak dan menekan arteri sehingga mengembang.
Jika stent ada pada balon, maka stent diimplantkan atau ditinggalkan pada tubuh
untuk mendukung arteri dari dalam agar tetap mengembang.
IKP seharusnya dilakukan oleh orang berpengalaman, dari operator dan
institusi tinggi. Dalam melaksanakan tindakan ini tidak diperlukan anastesi, walaupun
pasien dikasi obat pereda nyeri/sedatif. Pasien biasanya boleh bergerak beberapa jam
selepas tindakan, dan pulang pada hari yang sama atau besoknya. (AHA, 2012).
Setelah tindakan IKP dilakukan, pasien diberi obat antitrombolisis. Semua
pasien harus mengambil aspirin tanpa batas waktu (sebagai pencegahan sekunder dari
CVD). Dual terapi antitrombosis diperlukan untuk pasien dengan stent koroner
untuk mengurangi risiko trombosis stent: Hal ini biasanya terjadi aspirin dan
clopidogrel. Lamanya pengobatan clopidogrel tergantung pada penetapan klinik
(Grossman,2008).
Jika operasi diperlukan, maka harus dipertimbangkan apakah antitrombolisis
boleh diteruskan. Setelah itu diperlukan konsul dengan ahli kardiologi berhubungan
dengan risiko penghentian obat-obatan dan segala yang diperlukan. Penggunaan
proton-pump inhibitor bersamaan dengan clopidogrel (untuk mencegah pendarahan
gastrik) adalah kontroversial, setelah bukti-bukti menunjukkan bahwa PPI dapat
memperburuk hasil dan bahwa dua obat dapat berinteraksi.
Dalam melakukan tindakan IKP dapat dilakukan pemasangan stent bersalut
obat atau sering disebut Drug-Eluting Stent (DES). Pada prinsipnya DES merupakan
stent bersalut obat. Obat yang dipakai harus mempunyai efek antiploriferatif dan
antiinflamasi sehingga dapat menekan hiperflasia neointima. Dengan demikian secara
teoritis, obat yang potensial toksik bila diberikan secara sistemik dapat diberi secara
lokal dalam konsentrasi yang amat kecil, tetapi efektif dan lebih aman. Supaya obat
dapat menempel pada stent diperlukan polimer. Polimer berfungsi sebagai
pengangkut obat dan setelah stent dipasang obat akan mengalami difusi secara
perlahan masuk ke dinding pembuluh (Sudoyo, 2009).
Stent koroner merupakan benda asing bagi tubuh yang dapat menimbulkan
adhesi platelet dan mengaktivasi kaskade koagulasi. Implantasi dengan tekanan tinggi
dapat menimbulkan trauma pada pembuluh darah (Hasse, 2010)
Hasil jangka panjang tergantung dari reaksi tubuh terhadap polimer dan obat
dan juga terhadap stent itu sendiri. Penyelidikan-penyelidikan terdahulu dengan stent
bersalut emas, juga dengan QuaDS stent, aktinomisin, dan batimastat, ternyata gagal
karena DES ini lebih menyebabkan reaksi ploriferasi, peradangan atau lebih
trombogenik daripada stent biasa.
Selain DES, cutting balloon juga merupakan tindakan pada intervensi
coroner. Cutting balloon adalah balon yang mempunyai 3 sampai 4 pisau pemotong
yang ditempel secara longitudinal pada balon. Dengan demikian bila dikembangkan,
maka plak akan mengalami insisi longitudinal dan diharapkan akan terjadi redistribusi
plak yang lebih baik pada dilatasi dengan tekanan yang lebih rendah dibandingkan
angioplasti balon biasa. Pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa penggunaan
cutting balloon mungkin dapat dipakai untuk terapi instent restenosis (Sudoyo, 2009)
Saat melakukan tindakan IKP, Intravascular Ultrasound merupakan bagian
yang terpisahkan dari penelitian-penelitian mengenai Drug Eluting Stent. Penggunaan
IVUS dapat menentukan lokasi yang tepat serta ekspansi stent yang optimal terhadap
seluruh pembuluh endotel pada waktu IKP (Jeremias, 2009)
Indikasi pemeriksaan IVUS sewaktu DES adalah pada kelompok pasien
berisiko tinggi yaitu :
- Gagal ginjal
- Tidak dapat menggunakan pengobatan antiplatelet ganda
- Diabetes mellitus
- Fungsi ventrikel kiri jelek
- Kelompok lesi risiko tinggi yakni, penyakit cabang utama kiri (left main),
percabangan (bifurkasi), lesi ostial , pembuluh darah.

3. INDIKASI IKP
ACC/AHA mengklasifikasikan indikasi untuk dilakukannya tindakan PCI
sebagai berikut :
- Kelas I : kondisi dimana terdapat bukti dan atau kesepakatan yang
mengatakan bahwa tindakan tersebut bermanfaat dan efektif dilakukan.
- Kelas II : kondisi dimana terdapat perbedaan pendapat tentang kegunaan dan
efikasi tindakan tersebut.
- Kelas IIa: bukti atau pendapat mengatakan bahwa penelitian ini bermanfaat
- Kelas IIb: manfaat tersebut kurang didukung oleh bukti ataupun pendapat.
- Kelas III: kondisi dimana terdapat bukti dan atau kesepakatan yang
mengatakan bahwa prosedur tersebut tidak bermanfaat dan tidak efektif, serta
pada beberapa kasus bias menjadi sangat berbahaya (AHA, 2012).
Adapun indikasi dlakukannya IKP adalah sebagai berikut
1) Sindroma koroner akut tanpa peningkatan segmen ST (NSTEMI)
Diagnosis Non STEMI ditegakkan jika terdapat angina dan tidak disertai
dengan elevasi segmen ST yang persisten. Gambaran EKG pasien Non STEMI
beragam, bisa berupa depresi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang
datar atau pseudo-normalization, atau tanpa perubahan EKG saat presentasi. Untuk
menegakkan diagnosis Non STEMI, perlu dijumpai depresi segmen ST ≥ 0,5 mm di
V1-V3 dan ≥ 1 mm di sandapan lainnya. Selain itu dapat juga dijumpai elevasi
segmen ST tidak persisten (<20 menit), dengan amplitudo lebih rendah dari elevasi
segmen ST pada STEMI. Inversi gelombang T yang simetris ≥ 2 mm semakin
memperkuat degaan Non STEMI (Jeremias, 2009). Pada NSTEMI dab angina
pectoris stabil tindakan PCI bertujuan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas
coroner.
Kriteria pasien berisiko tinggi adalah :
a. Angina atau nyeri dada berulang pada keadaan istirahat
b. Perubahan segmen ST yang dinamis (depresi segmen > 0,1mv atau elevasi
segmen ST sementara <30 <0,1mv)
c. Peningkaan nilai troponin I, troponin II atau CKMB
d. Pada observasi hemodinamis pasien tidak stabil
e. Adanya takikardi ventrikel dan fibrilasi ventrikel
f. Angina tidak stabil pada pasca infark dini
g. Diabetes mellitus
Pasien yang tergolong pada kelompok berisiko tinggi mempunyai manfaat
yang lebih besar bila dilakukan IKP daripada kelompok risiko rendah. (Hassan, 2009)
2) Sindroma koroner akut dengan elevai segmen ST (STEMI)
Pada infark miokard dengan elevasi segmen ST, lokasi infark dapat
ditentukan dari perubahan EKG. Penentuan lokasi infark berdasarkan perubahan
EKG. Diagnosis STEMI ditegakkan jika ditemukan angina akut disertai elevasi
segmen ST. Nilai elevasi segmen ST bervariasi, tergantung kepada usia, jenis kelamin,
dan lokasi miokard yang terkena. Bagi pria usi a≥40 tahun, STEMI ditegakkan jika
diperoleh elevasi segmen ST di V1-V3 ≥ 2 mm dan ≥ 2,5 mm bagi pasien berusia <
40 tahun (Tedjasukmana, 2010). ST elevasi terjadi dalam beberapa menit dan dapat
berlangsung hingga lebih dari 2 minggu.
IKP yang berpengalaman yang terdiri dari kardiologis intervensi yang
terampil. Stategi reperfusi IKP telah menjadi modalitas pengobatan yang sangat
penting dari STEMI dengan banyak mengalami pada tahun-tahun terakhir ini.
Sedangkan terapi trombolitik dimana dapat digunakan secara luas, mudah diberikan,
dan tidak mahal tetap merupakan pilihan alernatif. IKP telah terbukti lebih superior
disbanding trombolitik dalam pencapaian TIMI 3 flow (perfusi komplit), iskemik
berlang sistemik, mortalitas 30 hari lebih baik dan insiden stroke pendarahan lebih
rendah (AHA, 2012).
Sedangkan menurut AHA indikasi IKP adalah sebagai berikut:
a. Asimptomatik dan angina ringan
b. Angina kelas II hingga IV atau angina tidak stabil. Banyak pasien dengan
angina stable yng moderate dan severe atau unstable angina tidak memberi
respon yang adekuat terhadap pemberian terapi obat-obatan dan lebh sering
memberikan efek yang signifikan dengan revaskularisasi Percutaneus
Coronary Intervention.
c. Infark miokardiak Percutaneus Coronary Intervention merupakan tindakan
yang efektif untuk memperbaiki perfusi coroner dan cocok dilakukan untuk
lebih dari 90% pasien.
d. Percutaneus Coronary Intervention pada pasien dengan prior coronary
bypass surgery
e. Penggunaan teknologi (AHA, 2012)
Indikasi primer PCI dilakukan pada pasien dengan STEMI kurang dari 12
jam, dengan Left Bundle Branch Block (LBBB), dan juga STEMI dengan komplikasi
gagal jantung yang severe (Griff, 2008).
Meskipun intervensi perkutan dengan disfungsi ventrikel kiri yang berat dapat
meningkatkan risiko, revaskulerisasi dapat mengurangi iskemik dan meningkatkan
prognosis jangka panjang (Ellis, 2009).
Pasien dengan penyakit arteri koroner yang luas dengan fungsi ventrikel kiri
yang lebih buruk mempunyai survival yang lebih lama setelah operasi pintas koroner
meskipun pasien asimptomatis. Pada pasien PJK stabil tindakan intervensi koroner
perkutan dilakukan hanya pada pasien dengan adanya keluhan dan tanda-tanda
iskemik akibat penyempitan pembuluh darah. Pada penelitian awal dijumpai manfaat
yang lebih kecil terhadap survival pasien yang dilakukan IKP tanpa stent
dibandingkan dengan operasi pintas koroner. Tetapi dengan adanya stent dan stent
bersalut obat dan tersedianya obat-obat ajuvan, tindakan IKP ini menghasilkan
manfaat yang lebih besar dibandingkan operasi pintas koroner ( Hasan, 2009).

4. KOMPLIKASI
Meskipun intervensi ini bermanfaat untuk melebarkan pembuluh darah yang
menyempit, dalam kenyataannnya juga memiliki komplikasi. Komplikasi dapat dibagi
menjadi dua kategori yaitu yang secara umum berkaitan dengan kateterisasi arteri dan
yang berhubungan dengan teknologi yang spesifik yang digunakan untuk prosedur
pada koroner (AHA, 2012).
- Trombolisis stent
Walaupun angka kejadian hanya 1-2%, kejadian trombolisis stent masih
berisiko sehingga stent harus itu dilapisi oleh endothelium dan hal tersebut biasanya
muncul sebagai MI akut, dengan tingkat kematian tinggi. Trombolisis stent sering
sewaktu bulan pertama pemasangan, tapi bisa muncul berbulan dan bertahun setelah
pemasangan PCI.
- Stenosis stent
Hal ini berhubungan dengan proses „penyembuhan‟ yang berlebihan dari
dinding pembuluh darah yang bertimbun pada lumen stent. Stenosis biasanya
terbentuk dalam 3-6 bulan dan tidak jarang angina muncul kembali, tetapi jarang
menyebabkan MI. Stenosis stent terjadi dalam 4-20% dari stent.
1) Komplikasi mayor
Komplikasi mayor lain termasuk kejadian yang jarang, tetapi bisa
mengakibatkan kematian (0,2% dalam kasus berisiko tinggi), MI akut (1%) yang
mungkin memerlukan CABG darurat, stroke (0,5%), termponade jantung (0,5%) dan
perdarahan sistemik (0,5%). Kematian terjadi saat proses di rumah sakit. Stroke
terjadi saat otak kehilangan fungsi neurologis yang disebabkan oleh iskemik 24 jam
setelah onset.
2) Komplikasi minor
Komplikasi minornya adalah alergi terhadap medium kontras, nefropati dan
komplikasi pada bagian yang dimasuki, seperti perdarahan dan hematoma. Gagal
ginjal meliputi terjadinya peningkatan serum kreatinin lebih 2 mg/dl.(Butman, 2005).
Prediktor keberhasilan atau terjadinya komplikasi adalah sebagai berikut :
a. Faktor anatomi
Morfologi lesi dan keparahan stenosis diidentifikasikan sebagai predictor
keberhasilan IKP.

b. Faktor klinis
Kondisi klinis dapat mempengaruhi tingkat keparahan. Misalnya, terjadi
komplikasi 15,4% pada pasien dengan diabetes mellitus dan hanya 5,8% pada
pasien yang tidak terkena diabetes mellitus. Faktor-faktor ini meliputi usia,
jenis kelamin, angina yang tidak stabil, gagal jantung kongestif dan diabetes.
c. Risiko kematian
Kematian pasien yang mendapat tindakan IKP berhubungan dengan oklusi
orkelamin wanita, diabetes, dan infark miokardium.
d. Wanita
Dibandingkan dengan laki-laki, wanita yang mendapat tindakan IKP memiliki
insiden lebih tinggi mendapatkan hipertensi dan hiperkolestrolemia.
e. Usia lanjut
Usia diatas 75 tahun merupakan kondisi klinis yang cukup besar dihubungkan
dengan peningkatan risiko mendapatkan komplikasi.
f. Diebetes mellitus
Dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami diabetes mellitus, pasien
diabetes mellitus memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi.
g. Coronary Angioplasty setelah pembedahan CABG
IKP direkomendasikan sebagai prosedur paliatif yang bias menunda CABG
berulang.
h. Konsiderasi teknik yang spesifik
Perforasi arteri coroner dapat sering terjadi saat melakukan intervensi
menggunakan teknologi. Kejadian ini dapat terjadi meliputi terjadinya rotasi
ataupun ekstraksi atherectomy.
i. Faktor hemodinamik
Perubahan tekanan darah dapat dihubungkan dengan LV ejection fraction
dan risiko rusaknya miokardium (AHA, 2012).

5. DERAJAT PENYEMPITAN
Derajat penyempitan pembuluh darah coroner dapat dilihat secara visual oleh
operator yang berpengalaman atau dapat digunakan angiografi kuantitatif untuk
mendapatkan penilaian computer mengenai derajat keparahan (Gray dkk, 2005).
Penyempitan koroner dinterpretasikan bermakna jika persentasi stenosis ≥ 50 %
pada LMCA atau ≥ 75% pada arteri coroner lainnya. Sintha et al pada tahun 1997
dalam Gani Manurung tahun 2008 dikatakan bahwa derajat penyempitan dibagi
menjadi :
- Grade 0 : penyempitan < 25%
- Grade 1 : penyempitan 25-49 %
- Grade 2 : penyempitan 50-74%
- Grade 3 : penyempitan 75-94 %
- Grade 4 : penyempitan ≥ 95%

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri Akut
2. Intoleransi aktivitas
3. Penurunan curah jantung
4. Gangguan pertukaran gas

No Diagnosa NIC NOC


keperawatan
1 Nyeri akut 1. Lakukan pengkajian Setelah dilakukan tindakan
nyeri secara keperawatan selama 1x24 jam,
komprehensif dengan pain level, pain
termasuk lokasi, control dan comfot level
karakteristik, durasi didapatkan kriteria hasil:
frekuensi kualitas dan kriteria hasil
faktor presipitasi Mampu 4
2. Observasi reaksi mengontrol
nonverbal dari nyeri
ketidaknyamanan Melaporkan 4
3. Kontrol lingkungan bahwa nyeri
yang dapat berkurang
mempengaruhi nyeri dengan
seperti suhu ruangan, menggunakan
pencahayaan dan manajemen
kebisingan nyeri
4. Ajarkan tentang Mampu 4
teknik non mengenali nyeri
farmakologi: napas (skala,
dalam, relaksasi, intensitas,
distraksi, kompres frekuensi dan
hangat/ dingin tanda nyeri)
5. Berikan analgetik Menyatakan 4
untuk mengurangi rasa nyaman
nyer setelah nyeri
6. Monitor vital sign berkurang
sebelum dan sesudah Tanda vital 4
pemberian analgesik dalam rentang
pertama kali normal
Tidak 4
mengalami
gangguan tidur
2 Penurunan curah 1. Evaluasi adanya nyeri Setelah dilakukan tindakan
jantung dada keperawatan selama 1x24 jam,
2. Catat adanya dengan Cardiac Pump
disritmia jantung effectiveness , Circulation
3. Catat adanya tanda Status, Vital Sign Status,
dan gejala penurunan didapatkan kriteria hasil:
cardiac output Kriteria Hasil
4. Monitor toleransi Tanda Vital 4
aktivitas pasien dalam rentang
5. Monitor TD, nadi, normal
suhu, dan RR Dapat 4
6. Jelaskan pada pasien mentoleransi
tujuan dari aktivitas, tidak
pemberian oksigen ada kelelahan
Tidak ada 4
penurunan
kesadaran
Warna kulit 4
normal
3 Gangguan 1. Kaji frekuensi dan Setelah dilakukan tindakan
pertukaran Gas kedalaman keperawatan selama
pernapasan didapatkan “status
2. Posisikan pasien pernapasa” dengan kriteria:
untuk Kriteria Hasil
memaksimalkan Frekuensi
ventilasi pernapasan
3. Keluarkan sekret Irama
dengan batuk atau pernapasan
nebul Suara
4. Auskultasi suara auskultasi
nafas, catat adanya napas
suara tambahan Kedalaman
5. Atur intake untuk inspirasi
cairan
mengoptimalkan
keseimbangan.
6. Monitor respirasi
dan status O2
7. Monitor TTV
DAFTAR P USTAKA

1. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. (2009).


Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th edition. The McGraw-Hill
Companies, Inc.
2. Guyton A.C. and J.E. Hall. (2009). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9.
Jakarta: EGC.
3. Hall, Jhon E. (2009). Buku Saku Fisiologi Kedokteran, Guyton & Hall. Editor
Bahasa Indonesia: Irawati Setiawan Edisi 11. Jakarta: EGC
4. Kumar, Abbas, Fausto, Mitchel. (2009). Robbin’s Basic Pathology, The Kidney
And Is Collecting System. Elsevier Inc.
5. Mansjoer, A dkk. (2010). Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
6. Muttaqin, A. (2009). Buku Ajar Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.
7. Price, S. A., & Wilson, L. M. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Volume 2.Edisi 6. Jakarta: EGC.
8. Ruhyanudin, F. (2009). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler. Malang: UMM Press.
9. Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2010). Keperawatan Medikal Bedah. Volume 9.Edisi
8. Jakarta : EGC.
10. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Ed 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit. Dalam FK UI.
11. Udjianti, W J. (2010). Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai