Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang

Penyakit Tuberkulosis Paru (TB Paru), merupakan penyakit

infeksi yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia.

Tuberculosis menyebabkan 5000 kematian perhari atau hampir 2 juta

kematian per tahun di seluruh dunia. TB, HIV/AIDS, dan Malaria secara

bersama-sama merupakan penyebab 6 juta kematian setiap tahun.

Seperempat juta (25%) kematian karena TB berhubungan dengan HIV.

Insidensi global TB terus meningkat sekitar 1% per tahun, terutama

karena peningkatan pesat insidensi TB di Afrika berkaitan dengan

kormobiditas HIV/AIDS. Angka kematian dan kesakitan akibat kuman

Mycobacterium tuberculosis ini pun tinggi. Di tahun 2009, sekitar 1,7 juta

orang meninggal karena TB, dimana 600.000 diantaranya perempuan

sementara ada 9,4 juta kasus baru TB (3,3 juta diantaranya

perempuan). Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB

dimana sebagian besar penderita TB adalah usia produktif (15-55

tahun) (WHO, 2010).

Pada tahun 2009, jumlah beban global penyakit yang

disebabkan oleh Tuberkulosis sebanyak 9,4 juta kasus insiden, 14 juta

kasus yang sering muncul, 1,3 juta kematian antara orang HIV-negatif

dan 0,38 juta kematian di antara orang HIV-positif.

Kebanyakan kasus berada di Asia Tenggara, Afrika dan daerah Pasifik

Barat (masing-masing sebanyak 35%, 30% dan 20%). Diperkirakan 11-


2

13% kasus insiden adalah HIV-positif, wilayah Afrika menyumbang

sekitar 80% dari kasus ini. Adanya 5,8 juta kasus TB terjadi pada tahun

2009, setara dengan tingkat deteksi kasus Case Detection Rate (CDR),

didefinisikan sebagai proporsi kasus insiden yang terjadi) dari 63% (kira-

kira 60-67%), naik dari 61% pada 2008. (WHO, 2010).

Laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat

Indonesia menurun ke posisi ke lima dengan jumlah penderita TBC sebesar

429 ribu orang. Lima negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada

tahun 2009 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia.

Pada Global Report WHO 2010, didapat data TBC Indonesia, total

seluruh kasus TBC tahun 2009 sebanyak 294.731 kasus, dimana

169.213 adalah kasus TBC baru BTA positif, 108.616 adalah kasus TBC

BTA negatif, 11.215 adalah kasus TBC Extra Paru, 3.709 adalah kasus

TBC kambuh.

Menurut Kementerian Kesehatan RI, 2011, Indonesia saat ini

masih tetap ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi didunia.

Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660.000 (WHO,

2010) dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru per tahun.

Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahunnya.

Angka penemuan penderita tuberkulosis dengan BTA positif

baru di Jawa Tengah tahun 2006 sebanyak 17.318 penderita dengan

Case Detection Rate (CDR) 49,82%, menurun pada tahun 2007 dengan

CDR 47,45% dan mengalami peningkatan pada tahun 2008 sebanyak


3

47,97% (Dinkes Jateng, 2009). Sedangkan perkembangan kasus

tuberkulosis dengan BTA positif di Indonesia terus meningkat. Pada

tahun 2006 sebanyak 75,7%, mengalami penurunan pada tahun 2007

sebanyak 69,12% dan pada tahun 2008 sebanyak 72,82% (Depkes RI,

2009). Di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009, ditemukan penderita baru

BTA (+) sebanyak 16.716 penderita atau 48,15 %, meningkat bila

dibandingkan dengan CDR tahun 2008 sebesar 45,16 %. CDR tertinggi

adalah di Kota Pekalongan sebesar 96,09 dan yang terendah adalah di

Kabupaten Grobogan sebesar 24,20 %. Angka kesembuhan (Cure

Rate) TB Paru di Provinsi Jawa Tengah tahun 2009 sebesar 83,92%,

mengalami penurunan bila dibandingkan tahun 2008 yang mencapai

88,45%. Angka ini masih dibawah target nasional sebesar 85%. Angka

kesembuhan tertinggi adalah di Kabupaten Batang sebesar 95,70%,

sedang yang terendah adalah di Kabupaten Blora sebesar 56,22%.

Penyebab belum terpenuhinya target Cure Rate diantaranya karena

lemahnya case holding khususnya di rumah sakit yang berakibat

tingginya kasus mangkir/default. Untuk meningkatkan case holding perlu

dibentuk jejaring antar unit pelayanan kesehatan dengan koordinator

petugas kabupaten/kota (Profil Kesehatan Jawa Tengah 2009).

Berdasarkan studi pendahuluan di RSPAW Salatiga, pada

tanggal 5 Maret 2012, penemuan pasien TB Paru setiap triwulan selalu

ada selama tahun 2011. Rincian selengkapnya dapat dilihat dalam tabel
4

penderita TB Paru dari Januari sampai Desember 2011 di RSPAW

Salatiga.

Tabel 1.1 Data Pasien dalam triwulan I, II, III tahun 2011di Rumah Sakit
Paru dr. Ario Wirawan Salatiga

Data Pasien Terdaftar Januari – Maret


Jenis Kelamin Total
L P
BTA Positif 14 14 28
BTA Negatif 30 28 58
Extra Paru 1 0 1
Sub. Total 45 40 85
Data Pasien Terdaftar April – Juni
BTA Positif 20 8 28
BTA Negatif 29 15 44
Extra Paru 0 1 1
Sub. Total 50 24 74
Data Pasien Terdaftar Juli – September
BTA Positif 19 10 29
BTA Negatif 31 21 52
Extra Paru 0 0 0
Sub. Total 50 31 81
Data Pasien Terdaftar Oktober – Desember
BTA Positif 10 13 23
BTA Negatif 15 8 23
Extra Paru 0 0 0
Sub. Total 25 21 46
Sumber: Medical Record RS Paru dr. Ario Wirawan Salatiga

Tenaga perawat merupakan tenaga kesehatan, yang secara


langsung berhadapan dengan pasien dan mempunyai peran penting
dalam memberikan asuhan keperawatan bagi setiap pasien yang di
tangani. Frekuensi melakukan tindakan invasive dengan resiko tertular
droplet, udara, dan cairan tubuh lainnya sangat tinggi. Tindakan
invasive tersebut diantaranya pemasangan infus, penyuntikan obat,
pengambilan darah pasien, pemasangan kateter vena dan lain-lain.
Perawat dalam menangani pasien infeksius seperti TB Paru,
diharapkan untuk menjaga keselamatan diri dari bahaya penularan
5

penyakit infeksius ini, yaitu dengan menggunakan proteksi diri untuk


menghindarkan atau meminimalkan bahaya resiko tertular penyakit
menular TB Paru ini (Depkes RI, 2009).
Sebagai seorang tenaga kesehatan yang tugasnya
memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien, lebih khususnya
bagi perawat pasien TB Paru perlu untuk memperhatikan akan bahaya
keselamatan dalam melaksanakan pekerjaannya. Seperti kita ketahui
bahwa penyakit TB Paru ini sangat menular dan penularannya itu
melalui udara, jadi sangat penting bagi perawat pasien TB Paru di
setiap rumah sakit untuk menggunakan APD dalam setiap pelaksanaan
tugasnya untuk mencegah penularan dan meminimalkan resiko infeksi.
Contoh APD yang diperlukan yaitu penggunaan masker dan sarung
tangan. (Sarce, 2009).
Alat pelindung diri adalah suatu alat yang mempunyai
kemampuan untuk melindungi seseorang dalam pekerjaan yang
fungsinya mengisolasi tubuh tenaga kerja dari bahaya di tempat kerja.
APD merupakan alat yang digunakan untuk melindungi tenaga kerja
setelah dilakukan beberapa usaha. (Mubarok 2007).
Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan (RSPAW) Salatiga
merupakan khusus tipe A Non pendidikan. Berdasarkan surat
keputusan Menteri Kesehatan RI tanggal 26 Juni 2007. Pelayanan yang
tersedia di RSPAW Salatiga meliputi pelayanan gawat darurat,
pelayanan rawat jalan, pelayanan rawat inap, pelayanan radiologi serta
pelayanan khusus penyakit paru dan menerima rujukan penyakit paru
khususnya penyakit tuberkulosa di wilayah Jawa Tengah dan
sekitarnya. Melihat tingginya resiko terhadap gangguan kesehatan
terhadap perawat yang menangani pasien TB Paru, maka perlu
dilakukan upaya-upaya pencegahan terhadap kejadian penyakit akibat
lingkungan kerja dan faktor manusianya. Dalam beberapa tahun
terakhir praktek pelaksanaan sehari-hari penggunaan alat pelindung diri
sebagian besar terlaksana dengan baik, baik itu penggunaan masker
6

dan alat sarung tangan setiap dalam menangani pasien TB Paru di


RSPAW Salatiga.
Dari hasil wawancara kepada salah seorang perawat di
RSPAW Salatiga, tanggal 7 Maret 2012, mengemukakan bahwa, dalam
dua tahun belakangan ini, ada beberapa perawat yang tertular penyakit
TB. Jumlah perawat yang tertular TB tidak dapat di data, karena jika
mereka tertular TB/ penyakit dari pasien mereka tidak pernah
melaporkan atau dengan kata lain mereka menyembunyikan kasus
tersebut karena merupakan privasi masing-masing individu perawat
tersebut. Penyebab penularan ini diduga diakibatkan karena kurang
disiplin dalam menjaga keamanan diri sendiri dengan tidak disiplin
menggunakan APD.
Berdasarkan fenomena tersebut, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian untuk mengetahui dan menganalisa sampai
sejauh mana kepatuhan perawat dalam menggunakan alat pelindung
diri sebagai perawat dalam menangani penderita TB Paru di Rumah
Sakit Paru Ario Wirawan.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan
permasalahan yang akan diteliti adalah bagaimana kepatuhan perawat
terhadap penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dalam menangani
penderita TB Paru Salatiga.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Mengidentifikasi gambaran kepatuhan perawat terhadap
penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dalam menangani
penderita TB Paru di RS Paru Salatiga.
7

1.3.2 Tujuan Khusus


1) Mengetahui karakteristik responden
2) Mengetahui kepatuhan responden terhadap APD
3) Mengetahui gambaran penggunaan APD

1.4 Manfaat Penelitian


1. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan dan wawasan peneliti tentang alat
pelindung diri pasien penderita TB Paru dari pengalaman penelitian.
2. Bagi Perawat
a. Sebagai informasi tambahan bagi perawat di Rumah Sakit Paru
Salatiga, dalam penggunaan Alat Pelindung Diri sesuai dengan
standar operasional yang berlaku di Rumah Sakit.
b. Sebagai evidence based penggunaan APD di Rumah Sakit Paru
dr. Ario Wirawan Salatiga.

3. Bagi Rumah Sakit


Sebagai bahan untuk evaluasi program keselamatan dan
kesehatan kerja (K3) khususnya dalam program penggunaan
APD yang telah dijalankan oleh Rumah Sakit Paru Ario Wirawan
Salatiga, Jawa Tengah.
4. Bagi Instansi Pendidikan
Sebagai evidence based bagi pengembangan ilmu
keperawatan medikal bedah, keperawatan kritis khususnya
tentang universal precaution dan sebagai bahan masukan bagi
mahasiswa untuk menambah wawasan tentang alat pelindung diri
pada penyakit TB Paru.
1.5 Batasan Masalah
Untuk membatasi masalah yang akan diteliti, peneliti lebih
memfokuskan masalah kepatuhan terhadap penggunaan alat
8

pelindung diri (APD) dalam menangani pasien TB Paru RSP dr.


Ario Wirawan, Salatiga.

Anda mungkin juga menyukai