Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PERUNDANG-UNDANGAN DAN ETIKA FARMASI

“TINDAK PIDANA PENGEDARAN DAN


PENYALAHGUNAAN SEDIAAN FARMASI TANPA
IZIN EDAR”

Disusun Oleh :

Nama : Fitri Ramadhanti


NPM : 2017001246
Kelas : A
Dosen Pengampu : Dr. Faiq Bahfen, S.H.

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
JAKARTA

0
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan
rahmad, taufik dan hidayahnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
makalah mata kuliah perundang-undangan dan etika farmasi pendidikan profesi
Apoteker.
Penyelesaian makalah ini tentunya tidak lepas dari bantuan dan dukungan
berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Shirly Kumala, M.Biomed, Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Pancasila.
2. Dra. Titiek Martati, M.Si., Apt. selaku Ketua Program Studi Apoteker Fakultas
Farmasi Universitas Pancasila.
3. Dr. Faiq Bahfen, S.H selaku Dosen Pengampu mata kuliah perundang-undangan
dan etika farmasi dengan tulus dan ikhlas meluangkan waktu, tenaga dan pikiran
memberikan bimbingan, motivasi, arahan, dan saran-saran yang sangat berharga.
4. Segenap dosen dan staff Fakultas Farmasi Universitas Pancasila yang telah
memberikan ilmu yang bermanfaat dan kelancaran selama penulis menempuh
pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Pancasila.
5. Kepada kedua orang tua dan keluarga penulis yang telah memberikan dukungan
dan doanya untuk tetap semangat dalam menyelesaikan makalah ini.
6. Seluruh pihak secara langsung maupun tidak langsung yang telah ikut membantu
dalam penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan, namun
kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Jakarta, Juni 2018

Penulis

1
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………. 1
A. Latar Belakang …………………………………………… 1
B. Tujuan……………………………………………………… 2
C. Manfaat ……………………………………………………. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………… 3


A. Obat ……………………………………………………….. 3
B. Apotek …………………………………………………….. 4
C. Perjanjian ………………………………………………….. 5
D. Wanprestasi ………………………………………………… 8

BAB III PEMBAHASAN……………………………………………… 10

BAB IV PENUTUP …………………………………………………… 14


A. Kesimpulan……………………………………………….. 14
B. Saran ……………………………………………………… 14

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 15

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring dengan tuntutan perkembangan zaman, membawa masyarakat pada


suatu tatanan hidup yang serba cepat dan praktis. Kemajuan ilmu pengetahuan
merupakan penentu bagi suatu peradaban yang modern.

Keberhasilan yang dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tentu
saja membawa suatu negara pada kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyatnya.
Namun tidak dapat dipungkiri kemajuan di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan
diiringi dngan meningkatnya penyimpangan dan kejahatan dibidang ekonomi dan
sosial. Ini dapat dilihat di negara maju ataupun dinegara yang sedang berkembang,
jenis penyimpangan dan kejahatan semakin banyak ragamnya. Semakin tinggi
peradaban suatu bangsa maka semakin maju pula ilmu pengetahuan yang
berkembang dalam bangsa tersebut. Apabila kemajuan ilmu pengetahuan tidak
diimbangi dengan semangat kemanusiaan, maka berpengaruh pada akses yang
negatif. Munculnya tindak pidana baru pada bidang ilmu pengetahuan yang
berkembang tersebut. Yang menimbulkan gangguan ketenteraman, ketenangan dan
sering kali menimbulkan kerugian materil maupun inmateril masyarakat. 2 Tindak
pidana merupakan suatu bentuk perilaku penyimpangan yang dalam masyarakat. Yang
artinya tindak pidana akan selalu ada selama manusia masih ada di muka bumi ini.
Hukum sebagai sarana bagi penyelesaian problematika ini diharapkan dapat memberi
solusi yang tepat. Oleh karena itu perkembangan hukum khususnya hukum pidana
perlu ditingkatkan dan diupayakan secara terpadu.Kodifikasi, unifikasi bidangi-bidang
hukum tertentu serta penyusuna Undang-undang baru sangat dibutuhkan untuk
menjawab semua tantangan dari semakin meningkatnya perkembangan tindak
pidana.

3
Ilmu kesehatan adalah salah satu bidang ilmu yang memahami perkembangan
paling cepat saat ini. Begitu pula dengan perkembangan tindak pidana dibidang ilmu
kesehatan. Adapun tindak pidana yang terjadi di bidang ilmu kesehatan antara lain :
malpraktek, pemalsuan obat, mengedarkan obat tanpa izin dan transplantasi organ
manusia.

Masalah kesehatan merupakan keprihatinan serius di setiap negara, baik negara


maju maupun sedang berkembang. Karena kesehatan merupakan salah satu faktor
yang menentukan kemajuan suatu negara dan merupakan hak asasi manusia. Negara
memiliki kewajiban kepada rakyatnya untuk menyediakan layanan kesehatan dan
menetapkan aturan-aturan hukum yang terkait dengan kepentingan kesehatan.

Secara awam kesehatan dapat diartikan ketiadaan penyakit. Menurut WHO


kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan
setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (Titon Slamet Kurnia, 2007:
13). Dapat disimpulkan kesehatan itu sangat penting dalam 3 kelangsungan hidup
masyarakat. Jadi apabila terjadi tindak pidana di bidang kesehatan akan menyerang
langsung masyarakat baik secara materil maupun immateril. Sehingga masyarakat
tindak dapat melangsungkan kehidupannya dengan baik.

Salah satu kejahatan dalam hukum kesehatan yang marak terjadi pada saat ini
adalah kejahatan dibidang farmasi. Farmasi adalah suatu profesi yang berhubungan
dengan seni dan ilmu dalam penyediaan bahan sumber alam dan bahan sintesis yang
cocok dan menyenangkan untuk didistribusikan dan digunakan dalam pengobatan dan
pencegahan suatu penyakit (Moh. Anief, Farmasetika, 1993: 11). Konsumen di
Indonesia masih cenderung pasif meskipun sudah ada Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen yang mengatur tentang hak-hak konsumen,
mewajibkan pelaku serta memberikan bentuk bentuk perlindungan hukum yang
diberikan kepada konsumen. Konsumen masih belum sepenuhnya menyadari hak-hak
mereka, sedangkan pelaku usaha juga belum sepenuhnya memenuhi kewajibannya.
Kondisi tersebut cenderung untuk mendorong lahirnya berbagai bentuk pelanggaran
pelaku usaha terhadap hak konsumen namun pelaku usaha yang bersangkutan tidak
memperoleh sanksi hukum yang mengikat. Oleh karena itu pemerintah selaku pihak
yang berwenang untuk menegakkan hukum perlindungan 4 konsumen harus bersifat

4
proaktif dalam melindungi hak-hak konsumen di Indonesia. Terkait dengan sediaan
farmasi yang akan dibahas, upaya pemerintah untuk melindungi konsumen adalah
melalui pembentukan lembaga yang bertugas untuk mengawasi pada suatu produk
serta memberikan perlindungan kepada konsumen.

Suatu perbuatan yang dapat menimbulkan sakit pada orang lain atau bahkan
menimbulkan kematian merupakan kejahatan dalam Undang-undang. Perbuatan jahat
merupakan suatu perbuatan yang harus dipidana. Dalam hal ini yang bertanggung
jawab adalah pihak yang ditunjuk Undang-undang berhak mengedarkan obat dan
memberikan pelayanan kesehatan masyarakat.

Kebutuhan masyarakat atas perlindungan kesehatan merupakan hal yang tidak


bisa ditawar lagi. Karena langsung menyerang kebutuhan masyarakat yang primer.
Sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menegakan aturan perundang-undangan
yang ada untuk menanggulangi permasalahan yang semakin kompleks dalam hukum
kesehatan. Pada pembahasan kali ini penulis menitikberatkan pada tindak pidana
pengedaran dan penyalahgunaan sediaan farmasi tanpa izin edar

B. Tujuan
Mengetahui tindak pidana yang akan diberikan oleh oknum yzng
menyalahgunakan dan mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar.

C. Manfaat
1. Meningkatkan pemahaman tenaga kefarmasian dan masyarakat dalam hal
tindak pidana yang akan diberikan apabila menyalahgunakan dan
mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin edar.
2. Meningkatkan peran serta pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan, masyarakat
dan pemerintah dalam mengatasi permasalahan penyalahgunaan dan
pengedaran sediaan farmasi tanpa izin edar.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Obat
1. Definisi Obat
Pengertian obat secara umum adalah “Suatu zat yang digunakan untuk
diagnosa, pengobatan, melunakkan, penyembuhan atau pencegahan penyakit
pada manusia atau pada hewan”. Pengertian “zat” yang dimaksudkan adalah
meliputi semua bahan, baik yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, binatang
maupun bahan-bahan yang dibuat secara sintesis, yang mempunyai jumlah
tunggal atau campuran, bisa digunakan untuk bagian luar dan untuk bagian
dalam tubuh manusia atau hewan.

2. Penggolongan Obat
Untuk memudahkan pengawasan, penggunaan dan pemantauan, obat
digolongkan berdasarkan keamanan (Permenkes No. 725a/1989)
a. Obat Bebas
Simbol :

Obat golongan ini termasuk obat yang paling relatif aman, dapat
diperoleh tanpa resep dokter, selain di apotek juga dapat diperoleh di
warung-warung.

b. Obat Bebas Terbatas


Simbol :

Obat golongan ini juga relatif aman selama pemakaiannya mengikuti


aturan pakai yang ada. Penandaan obat golongan ini adalah adanya
lingkaran berwarna biru dan 6 peringatan khusus. Sebagaimana Obat
Bebas, obat ini juga dapat diperoleh tanpa resep dokter di apotek, toko obat
atau di warung-warung.

0
c. Obat Keras
Simbol :

Golongan ini pada masa penjajahan Belanda disebut golongan G


(gevaarlijk) yang artinya berbahaya. Disebut obat keras karena jika pemakai
tidak memperhatikan dosis, aturan pakai, dan peringatan yang diberikan,
dapat menimbulkan efek berbahaya. Obat ini hanya dapat diperoleh dengan
resep dokter di apotek. Dalam kemasannya ditandai dengan lingkaran
merah dengan huruf K ditengahnya.

d. Psikotropika
Simbol :

Psikotropika atau dulu lebih dikenal dengan nama obat keras tertentu,
sebenarnya termasuk golongan obat keras, tetapi bedanya dapat
mempengaruhi aktivitas psikis.

e. Narkotika
Simbol :

Narkotika merupakan kelompok obat yang paling berbahaya karena


dapat menimbulkan addiksi (ketergantungan) dan toleransi. Obat ini hanya
dapat diperoleh dengan resep dokter. Karena berbahaya dalam peredaran,
produksi, dan pemakaiannya narkotika diawasi secara ketat.

B. Apotek
1. Definisi Apotek
Apotek adalah suatu tempat tertentu dimana dilakukan pekerjaan
kefarmasian dan penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat. Peran
apotek adalah sebagai sarana atau sebagai tempat pelayanan kesehatan yang
berkewajiban untuk menyalurkan obat dan perbekalan farmasi lainnya yang
dibutuhkan oleh masyarakat.

1
2. Kewajiban Apotek Sebagai Sarana Pelayanan Kesehatan
Pengelolaan apotek sebagai sarana pelayanan kesehatan bagi
masyarakat yaitu sebagai tempat pembuatan, pengolahan, peracikan,
pengubahan bentuk, pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat serta
penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi Apotek wajib
melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan. Apoteker wajib
memberikan informasi yang berkaitan dengan obat.

C. Perjanjian
1. Definisi Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Beberapa ahli
memberikan definisi atau pengertian mengenai perjanjian yang mana sering
dikaitkan dengan adanya suatu persetujuan ataupun perikatan. Perjanjian adalah
hubungan hukum antara dua orang atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk
menimbulkan akibat hukum. Peristiwa tersebut akan menimbulkan adanya suatu
hubungan yang disebut perikatan. Perikatan diartikan sebagai suatu perhubungan
hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu
berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain
berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Hubungan antara perikatan dan
perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menimbulkan perikatan.

2. Asas-Asas Dalam Perjanjian


a. Asas konsensualime
Menurut asas ini suatu perjanjian telah ada sejak saat tercapainya kata
sepakat antara para pihak mengenai pokok perjanjian.
b. Asas kebebasan berkontrak
Asas ini berkaitan erat dengan isi dari suatu perjanjian.
c. Asas itikad baik
Menurut asas ini pelaksanaan suatu perjanjian harus dilakukan tidak
bertentangan dengan kepatutan dan keadilan.

2
d. Asas kekuatan mengikat (pacta sunt servanda)
Asas ini memberikan pengertian bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagi Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.
e. Asas mengikatkan diri
Memberikan pedoman bahwa hak dan kewajiban yang timbul dari
perjanjian hanyalah untuk para pihak itu sendiri.

3. Syarat Sah Perjanjian


 Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
Yaitu kedua belah pihak dalam perjanjian tersebut harus sepakat,
setuju, sependapat mengenai hal yang pokok dari perjanjian yang dibuat.
Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak
yang lainnya.
 Kecapakan untuk membuat suatu perjanjian
Dalam perjanjian penjualan obat daftar G yang dibuat antara konsumen
dan apotek, para pihak di dalam perjanjian dinyatakan telah cakap dalam
membuat perjanjian, para pihak telah dewasa dan tidak sedang dalam
pengampuan maupun dilarang oleh undang-undang untuk membuat dan
terikat akan suatu perjanjian.
 Suatu hal tertentu
Adanya suatu prestasi yang harus dilakukan oleh debitur. Apa yang
diperjanjiakan mengenai hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak harus
dipenuhi sehingga tidak timbul perselisihan dikemudian hari. Syarat ini
menghendaki agar barang yang menjadi obyek perjanjian paling sedikit harus
ditentukan jenisnya, artinya bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada di
tangan si berhutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh
undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian
dapat dihitung atau ditetapkan.
 Suatu sebab yang halal
Hal yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah isi dari perjanjian
tidak bertentangan atau tidak dilarang oleh undang-undang, dan tidak
bertentangan dengan moral, serta menggambarkan tujuan yang akan

3
dicapai. Isi perjanjian yang dibuat antara Apotek dengan konsumen dalam
penjualan obat-obatan daftar G nyata-nyata memuat suatu sebab yang
halal, dimana perjanjian tidak bertentangan dengan moral dan tidak
dilarang oleh undang-undang yang berlaku.

4. Subyek Dalam Perjanjian


Perjanjian terjadi karena adanya hubungan hukum antar dua orang atau lebih,
yaitu sebagai kreditur dan debitur. Kreditur dan debitur tersebut merupakan subyek
dalam suatu perjanjian. Kreditur adalah orang yang mempunyai hak atas prestasi,
sedangkan debitur adalah orang yang wajib memenuhi pelaksanaan suatu prestasi.

5. Unsur-Unsur Dalam Perjanjian


a. Unsur essentialia.
Mutlak harus dimasukkan ke dalam perjanjian.
b. Unsur naturalia.
Yaitu unsur pelengkap, dianggap ada dan melekat pada perjanjian.
c. Unsur accidentalia.
Unsur perjanjian yang melekat, tegas diperjanjikan oleh para pihak.

6. Perjanjian Jual Beli


Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain
untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Unsur-unsur pokok perjanjian jual
beli adalah adanya barang dan harga, sehingga timbul hak dan kewajiban. Penjual
mempunyai kewajiban, untuk menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual
belikan serta menanggung kenikmatan tentram atas barang tersebut dan
menanggung terhadap cacat-cacat yang tersembunyi. Kewajiban pihak pembeli
ialah membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana
ditetapkan menurut perjanjian.

4
D. Wanprestasi

1. Definisi Wanprestasi

Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang artinya prestasi


buruk. Wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak memenuhi
atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam
perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur. Istilah mengenai
wanprestasi ini terdapat di berbagai istilah yaitu ingkar janji, cidera janji,
melanggar janji, dan lain sebagainya.

2. Bentuk Wanprestasi
 Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan.
 Melakukan apa yang diperjanjikan, tapi tidak seperti yang diperjanjikan.
 Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat.
 Melakukan sesuatu yang oleh perjanjian tidak boleh dilakukan.
Wanprestasi memberikan akibat hukum terhadap pihak yang
melakukannya dan membawa konsekuensi terhadap timbulnya hak pihak
yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk
memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada satu
pihak pun yang dirugikan karena wanprestasi tersebut.

3. Unsur – Unsur Wanprestasi

 Ada perjanjian oleh para pihak;

 Ada pihak melanggar atau tidak melaksakan isi perjanjian yang sudah
disepakati;

 Sudah dinyatakan lalai tapi tetap juga tidak mau melaksanakan isi
perjanjian.

4. Dasar Hukum Wanprestasi

 Pasal 1238 KUHPerdata: “Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah,


atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan

5
sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai
dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.

 Pasal 1243 KUHPerdata: “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena


tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun
telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika
sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau
dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”.

Pasal 1236 KUHPerdata dan Pasal 1243 KUHPerdata berupa ganti rugi dalam arti:

- Sebagai pengganti dari kewajiban prestasi perikatannya.


- Sebagian dari kewajiban perikatan pokoknya atau disertai ganti rugi atas dasar
cacat tersembunyi.
- Sebagai pengganti atas kerugian yang diderita kreditur.
- Tuntutan keduanya sekaligus baik kewajiban prestasi pokok maupun ganti rugi
keterlambatannya.

 Pasal 1237 KUHPerdata: “Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan


suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan,
adalah atas tanggungan si berpiutang. Maka sejak debitur lalai, maka
resiko atas obyek perikatan menjadi tanggungan debitur.” Pada umumnya
ganti rugi diperhitungkan dalam sejumlah uang tertentu. Dalam hal
menentukan total, maka kreditur dapat meminta agar pemeriksaan
perhitungan ganti rugi dilakukan dengan suatu prosedur tersendiri yang
diusulkan. Kalau debitur tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
mestinya, maka debitur dapat dipersalahkan, maka kreditur berhak untuk
menuntut ganti rugi.

5. Sanksi Wanprestasi

a. Debitur diharuskan membayar ganti kerugian yang diderita kreditur.


b. Pemutusan Perjanjian (Ontbinding)
c. Peralihan Resiko
d. Membayar biaya perkara apabila diperkarakan di muka persidangan.

6
BAB III

PEMBAHASAN

Studi Kasus :

Surakarta yang menjadi pusat sirkulasi distribusi obat-obatan daftar G, yang


salah satunya melalui apotek. Jual beli antara apotek dengan konsumen obat dapat
dikategorikan sebagai suatu perjanjian. Akibat hukum dari perjanjian tersebut dapat
berupa pemenuhan suatu prestasi atau hak untuk menerima suatu prestasi. Perjanjian
jual beli obat-obatan daftar G mempunyai 2 (dua) subyek hukum yaitu penjual atau
apotek dan pembeli.

Pembeli sebagai salah satu subyek perjanjian jual beli obat-obatan daftar G
harus membawa resep yang ditandatangani oleh dokter atau copy resep yang telah
ditandatangani oleh apoteker dan mampu membayar atas sejumlah obat yang akan
dibeli. Adapun hak penjual adalah memperoleh pembayaran sejumlah uang dan
meneliti atau menolak resep atau copi resep yang dibawa pembeli apabila terdapat
kekurangan. Kewajiban penjual menyediakan dan menyerahkan obat daftar G kepada
pembeli sesuai dengan yang tertulis dalam resep atau copi resep dan memberikan
informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat. Hak pembeli adalah memperoleh
obat daftar G sesuai resep dan pembeli berhak memilih obat daftar G yang akan
dibeli dalam hal jumlah atau kuantitas. Sedangkan kewajiban pembeli yaitu
membawa resep atau copi resep yang sah dan menyerahkan sejumlah uang atas
pembelian obat tersebut.

Adanya wanprestasi atau terjadinya kelalaian dalam perjanjian penjualan


obat-obatan daftar G oleh apotek di Surakarta, antara lain adalah terjadinya kelalaian
oleh pihak apotek dalam hal pengambilan obat, keterlambatan penerimaan obat yang
telah dibeli oleh pasien, kelalaian dalam hal penggantian atau pembacaan resep atau
copy resep obat daftar G yang dibawa oleh pembeli maupun penyerahan obat pada
pembeli dapat segera dilakukan pembenaran atau pembetulan oleh pihak apotek

7
dengan menukar obat-obatan daftar G yang telah diterima oleh pembeli. Pembenaran
atas adanya kesalahan dalam pembacaan resep dilakukan dengan datang langsung ke
rumah pembeli obat daftar G, berdasarkan data yang ada pada resep atau berdasarkan
keterangan dari dokter penulis resep tersebut.

Tanggung jawab Pihak Apotek Apabila Terjadi Kesalahan dalam Penjualan


Obat-Obatan Daftar G Oleh Apotek di Surakarta :

Setiap pekerjaan pasti akan menghadapi masalah-masalah ketika pekerjaan


tersebut sedang berlangsung maupun setelah pekerjaan selesai dilakukan. Apotek
dalam menjalankan kegiatan pelayanan kefarmasian kepada konsumen juga
menghadapi masalah-masalah yang berkaitan dengan pelayanan di bidang
kefarmasian. Masalah yang kadang muncul adalah ketika menyalurkan obat ke
masyarakat.

Obat daftar G adalah obat keras yang hanya boleh diserahkan dengan resep
dokter. Obat-obat tersebut jika dikonsumsi tanpa pengawasan dokter akan
menimbulkan efek samping terhadap tubuh (jantung, hati, lambung, ginjal, dan lain-
lain), baik karena dosis yang berlebihan maupun karena waktu pemakaian yang
terlalu lama maupun terlalu pendek dan tergantung jenis obat yang dikonsumsi.

Diperlukan peran dari apotek dalam memberikan informasi yang jelas kepada
konsumen apabila hendak membeli obat-obatan daftar G. Masih banyak apotek yang
jarang memberikan informasi seputar khasiat obat-obatan daftar G apabila di
konsumsi oleh konsumen. Banyak pula apotek yang menerima pembelian obat-
obatan daftar G tanpa menggunakan resep dari dokter. Ini merupakan salah satu
pelanggaran. yang sering dilakukan oleh apotek. Dalam Permenkes Nomor 3 Tahun
2015 Tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam Pasal 22 ayat (3) menyebutkan :
“Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan Instalasi Farmasi Klinik
hanya dapat menyerahkan Prekursor Farmasi golongan obat keras kepada pasien
berdasarkan resep dokter”.
Dari apa yang dijelaskan dalam pasal diatas dinyatakan bahwa apotek dalam
menyerahkan obat golongan keras harus menggunakan resep dokter. Resep dokter itu

8
juga menjadi bukti apotek kepada Dinas Kesehatan. Jangan sampai pelanggaran yang
dilakukan apotek untuk memperoleh keuntungan malah merugikan konsumen. Meskipun
pelanggaran yang dilakukan oleh apotek atas permintaan dari konsumen tetapi hal
tersebut tidak dapat dibenarkan. Obat daftar G apabila salah melakukan pemberian
kepada konsumen dapat berakibat fatal akan kesehatan konsumen. Lebih baik apotek
dalam menjual obat-obat daftar G memberikan informasi yang jelas mengenai khasiat
dan efek samping kepada konsumen. Apabila ada konsumen yang ingin tetap membeli
obat-obatan daftar G atau obat keras lainnya tanpa menggunkan resep dari dokter yang
sah, lebih baik apotek menolaknya. Jangan karena mencari keuntungan, nyawa
konsumen menjadi taruhannya.

Kelalaian menimbulkan pertanggung jawaban profesional si pelaku, sebagai


dasar adanya pertanggung jawaban hukum atas apa yang telah dilakukannya.
Apoteker sebagai pengelola apotek mempunyai tanggung jawab yang besar atas
terlaksananya pengelolaan apotek. Apoteker sebagai pengelola apotek juga dapat
digugat jika melakukan kesalahan baik yang dilakukan sendiri maupun yang
dilakukan oleh asisten apoteker, karena asisten apoteker bekerja di bawah
pengawasan apoteker kecuali bila kesalahan tersebut jelas tidak disebabkan oleh
kelalaiannya atau ia tidak ikut berperan membantu terjadinya kesalahan tersebut.

Wanprestasi yang dilakukan oleh apotek yakni kelalaian dalam hal


pembacaan resep atau copi resep obat daftar G yang dibawa oleh pembeli maupun
penyerahan obat pada pembeli dapat segera dilakukan pembenaran atau pembetulan
oleh pihak apotek dengan menukar obat-obatan daftar G yang telah diterima oleh
pembeli. Pembenaran atas adanya kesalahan dalam pembacaan resep dilakukan
dengan datang langsung ke rumah pembeli obat daftar G, berdasarkan data yang ada
pada resep atau berdasarkan keterangan dari dokter penulis resep tersebut. Apabila
apotek malakukan kelalaian dalam hal ini mengganti jenis obat-obatan daftar G,
yaitu jenis obat generik diganti dengan obat paten. Maka pihak apotek akan
bertanggungjawab dengan mengganti semua obat-obatan daftar G yang telah
diterima dengan obat yang sesuai atau seperti tertera pada resep. Wanprestasi yang
dilakukan pihak apotek dalam hal adanya keterlambatan pengiriman obat yang telah
dipesan oleh pembeli, berakibat batalnya transaksi penjualan obat-obatan daftar G.

9
Pembatalan ini dilakukan oleh pihak pembeli atau dapat juga dilakukan penggantian
biaya kirim oleh pihak apotek.

Dengan diaturnya hah-hak dan kewajiban antara pihak apotek dan konsumen,
maka apabila konsumen tidak puas akan pelayanan apotek dapat melakukan gugatan
melalui Lembaga Perlindungan Konsumen atas dasar hak-hak yang dimilikinya
sebagaimana yang telah disebutkan. Dalam prakteknya, masalah seperti ini biasanya
diselesaikan antara para pihak terlebih dahulu secara musyawarah tanpa harus ke
Lembaga Perlindungan Konsumen. Dalam memudahkan proses pengawasan,
pemerintah menunjuk Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk
melaksanakan fungsi pengawasan di bidang obat dan makanan sehingga mencegah
distribusi obat keras dari sarana legal ke sarana illegal atau perorangan.

10
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perjanjian jual beli obat daftar G antara pihak apotek dengan pembeli dapat
dikategorikan sebagai suatu perjanjian. Di dalam penjualan obat-obatan daftar G
sering timbul wanprestasi yang dilakukan oleh pihak apotek. Wanprestasi yang
sering terjadi dalam perjanjian jual beli obat daftar G yaitu pengambilan obat
daftar G yang tidak sesuai prosedur, kelalaian pembacaan resep, dan kesalahan
peracikan obat daftar G yang dilakukan apoteker. Pemerintah juga berperan
dalam melakukan pengawasan penjualan obat-obatan daftar G yang termasuk
obat keras. Apotek dalam setiap menjual obat daftar G kepada konsumen tidak
boleh sembarangan, karena apotek bertanggung jawab melaporkan setiap
penjualan obat daftar G kepada pemerintah yang mana tugas ini dilakukan oleh
Dinas Kesehatan. Apabila tidak melaporkan maka apotek tersebut dapat dikenai
sanksi berupa peringatan sampai sanksi terberat yaitu pencabutan ijin beroperasi.
Dalam memudahkan proses pengawasan, pemerintah menunjuk Badan Pengawas
Obat dan Makanan (BPOM) untuk melaksanakan fungsi pengawasan di bidang
obat dan makanan sehingga mencegah distribusi obat keras dari sarana legal ke
sarana illegal atau perorangan.

B. Saran
1. Kepada pihak apotek, hendaknya dapat melaksanakan perjanjian jual beli
dengan lebih baik sehingga dapat meminimalkan terjadinya wanprestasi.
2. Kepada pihak pembeli sudah seharusnya untuk lebih mentaati dan
melaksanakan segala peraturan yang menyangkut hak dan kewajibannya.
3. Segala sesuatu yang sudah berjalan baik dan sesuai dengan peraturan hukum,
hendaknya tetap dipertahankan serta ditingkatkan.

11
DAFTAR PUSTAKA

https://konsultanhukum.web.id/cara-membedakan-wanprestasi-dan-perbuatan-
melawan-hukum-pmh/ (diakses pada tanggal 19 Juni 2018 pkl 17.00 WIB).

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).

Putra, Sabillah et al. 2016. Tanggung Jawab Apotek Dalam Penjualan Obat-Obatan
Daftar G Di Kota Malang Terhadap Konsumen Yang Dirugikan. Journal
Diponegoro Law Review Volume 5, Nomor 2. Program Studi S1 Ilmu
Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro. Hal 1-17.

Wasallam, Muhammad. 2007. Tinjauan Terhadap Tanggung Jawab Apotek dalam


Penjualan Obat-Obatan Daftar G di Surakarta. Surakarta : Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

12

Anda mungkin juga menyukai