Anda di halaman 1dari 7

BAB V

DISKUSI

Seorang pasien Perempuan bernama Ny. A berumur 62 tahun dibawa ke

IGD Rumah Sakit Stroke Nasional Bukittinggi pada tanggal 02 Agustus 2018

dengan keluhan lemah anggota gerak kanan onset 3 Jam, sakit kepala (+), bicara

(+) pelo, menelan (+), mulut pencong (+), muntah (-), BAB dan BAK normal.

Pemeriksaan umum, tekanan darah170/100 mmHg, Nadi 80x/menit, Nafas

20x/menit, Suhu 37°C, Berat Badan 60 kg. Pemeriksaan Khusus Tingkat

kesadaran Compos Mentis, GCS E4 M6 V5, Motorik Hemiparesis Dextra, kekuatan

otot kanan 8 dan kiri 10. Pemerikasaan laboratorium gula darah random 147

mg/dl, ureum 31 mg/dl, kreatinin 0,8 mg/dl, natrium 141 mmol/L, kalium3,2

mmol/L, klorida 99 mmol/L.

Pada saat di IGD, pasien mendapatkan terapi berupa O2 2-4 L/menit, IVFD

NaCl 0,9%/12 jam, injeksi ranitidine 2x1, piracetam 1200 mg tablet 2x1, aspilet

80 mg tablet 1x1, simvastatin 20 mg tablet 1x1. Selanjutnya pasien dirujuk untuk

dirawat inap di bangsal neuro agar mendapatkan pengobatan intensif untuk

menangani penyakit pasien.

Stroke iskemik adalah stroke yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan

disatu atau lebih arteri besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan

oleh bekuan (trombus) yang berbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau organ

distal. Secara umum, tujuan penatalaksanaan stroke adalah mengurangi kerusakan

43
neurologi dan resiko kecacatan, menurunkan tingkat kematian serta mencegah

terulangnya serangan stroke. Farmakoterapi penangan stroke terdiri dari :

1. Prevensi Primer

Mencegah stroke yang mempunyai factor resiko stroke tapi belum

mengalami stroke.

2. Penatalaksanaan akut

Penanganan pada pasien baru yang terkena serangan storke selama 72 jam

atau 3 hari.

3. Prevensi sekunder

Penanganan stroke untuk mencegah stroke berulang pada pasien yang sudah

pernah mengalami stroke.

4. Rehabilitasi

Rehabilitasi dilakukan untuk pemulihan pada pasien stroke seperti

fisioterapi, terapi wicara dan okupasi.

Pemberian oksigen 2-4 L/menit untuk stabilisasi jalan nafas dan pernafasan

pasien. Pasien juga diberikan IVFD NaCl 0,9%/12 jam, agar volume darah pasien

tidak turun, karena jika volume darahnya turun maka dapat menyebabkan

terjadinya gangguan pada perfusi serebral. Memperbaiki keseimbangan asam

basa, untuk memudahkan jalan masuk pemberian obat-obatan kedalam tubuh

pasien serta untuk memonitor tekanan vena sentral dan memberikan nutrisi pada

system pencernaan beristirahat.

Penanganan awal storke iskemik (onset < 3jam) dengan t-PA IV 0,9mg/kg

selama satu jam, dimana 10% diberikan secara bolus selama 1 menit, pemberian

44
anti trombolitik (antikoagulan atau antiplatelet selama 24 jam). Untuk penangan

selanjutnya (secondary prevention) dapat diberikan obat non kardioemboli seperti

antiplatelet (aspirin 50-325 mg/hari, Clopidogrel 75 mg/hari atau kombinasi

aspirin 25mg = dipiridamil 200mg 2 x sehari). Untuk pengobatan kardioemboli

dapat diberikan warfarin.

Pada pasien ini tidak diberikan terapi t-PA karena onset penyakit pasien

lebih dari 3 jam (± 1 hari). Akan tetapi pada diagnosa kerja dikatakan onset

penyakitnya 3 jam, sedangkan pada rekam medik dokter menuliskan onset

penyakitnya ± 1 hari. Perbedaan onset penyakit ini bisa saja dikarenakan

informasi keluarga pasien yang kurang tepat. Yang mana pasien tersebut tinggal

di Pasaman Barat, dan jarak dari Pasaman Barat ke Bukittingi ± 5 jam . Pasien

tidak diberikan warfarin karena pasien tidak mengalami kardioemboli. Pasien

mendapatkan aspilet sebagai antiplatelet dengan tujuan untuk mencegah serangan

ulang dan meminimalkan penyumbatan pada pembuluh darah lainnya. Mekanisme

kerjanya dengan menghambat agregasi platelet dengan cara menghambat enzim

COX. Pemberian aspilet pada pasien ini sudah tepat. Efek samping dari aspilet

adalah iritasi lambung (AHFS, 2011) dan untuk mencegah efek samping tersebut

telah diatasi dengan pemberian ranitidine dan administrasi penggunaan aspilet

diberikan setelah makan. Clopidogrel juga sebagai antiplatelet yang bekerja

menghambat penggumpalan platelet yang dimediasi oleh adenosin dipospat.

Namun, penggunaan clopidogrel dan aspilet juga harus di monitoring karena

ditakutkan terjadinya pendarahan pada pasien.

Pasien diberikan injeksi ranitidine 2x1 ampul (iv). Injeksi ranitidine

digunakan sebagai stress ulcer untuk mencegah timbulnya pendarahan lambung

45
pada stroke. Obat-obat yang digunakan sebagai stress ulcer bisa berupa sito

protektor, penghambat reseptor H2 ataupun inhibitor pompa proton. Hal ini bisa

disebabkan kondisi psikologis yang tertekan ataupun efek samping dari obat

terhadap saluran cerna yaitu dapat mengiritasi lambung adalah aspilet. Sehingga

pasien ini diberikan terapi ranitidine injeksi 2x50mg (IV). Kerja obat ini adalah

menghambat secara kompetitif histamin pada reseptor H2 sel-sel parietal lambung

sehingga sekresi asam lambung terhambat.

Pada pasien ini juga diberikan Piracetam tablet 1200 mg dengan frekuensi

pemberian 2x1. Piracetam 1200 mg digunakan untuk melindungi korteks serebral

terhadap hipoksia, menghambat agregasi platelet dan mengurangi kekentalan

darah pada dosis tinggi. Pasien ini mendapatkan terapi piracetam 1200mg 2x1

tablet. Piracetam bekerja pada SSP sebagai neuroprotektor yang melindungi

serebral korteks terhadap hipoksia. Piracetam juga berperan sebagai terapi untuk

memperbaiki disatria. Jadi penggunaan pirasetam pada pasien ini untuk mengatasi

gangguan bicara. Efek samping piracetam yaitu gangguan gastrointestinal seperti

nausea, vomiting, diare, sakit kepala, dan vertigo (Martindale, 2007). Pada pasien

ini resiko efek samping sudah diatasi dengan pemberian ranitidine. Piracetam

tidak memberikan hasil pada stroke iskemik akut dengan onset 12 jam, tetapi

memberikan hasil pada stroke iskemik pada onset 7 jam.

Pasien juga mendapatkan terapi neurodex tablet 1x1. Neurodex digunakan

sebagai neuroprotektan terhadap sel-sel saraf yang belum rusak yang berada

disekeliling sel-sel saraf yang mengalami iskemik. Sel-sel saraf yang belum rusak

disekelilingi sel-sel saraf yang rusak disebut penumbra. Pemakaian obat-obatan

46
neuro protector belum menunjukan hasil yang efektif, sehingga sampai saat ini

belum dianjurkan sebagai standar pengobatan untuk stroke (Perdosi, 2011).

Pada kasus ini pasien juga mengalami hipertensi, dimana hipertensi juga

merupakan faktor resiko dari stroke. Tingginya peningkatan tekanan darah erat

hubungannya dengan resiko terjadinya stroke. Hipertensi memegang peranan

penting pada pathogenesis artherosklerosis pembuluh darah besar yang

selanjutnya akan menyebabkan stroke iskemik oleh karena oklusi trombotik arteri,

emboli arteri ke arteri atau kombinasi keduanya. Pada hari pertama perawatan

tekanan darah 170/100 mmHg. Penururnan tekanan darah yang signifikan pada

stroke akut sebagai tindakan rutin yang tidak dianjurkan, kerena kemungkian

dapat memperburuk keluaran neurologis. Pada sebagian besar pasien, tekanan

darah akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah serangan stroke

(Perdosi, 2011). Sedangkan menurut dipiro (2008), penurunan tekanan darah pada

fase akut hanya perlu dilakukan bila tekanan darah pasien melebihi 220/120

mmHg. Pada pasien ini diberikan clonidin 75 mg 1 x 1 pagi, yang termasuk ke

dalam golongan obat simpatolitik sentral yang kerjanya menstimulasi adreno

reseptor alfa-2 stem otak, sehingga mengaktivasi penghambatan neuron,

menghasilkan penurunan aliran simpatik dari SSP, penurunana resistensi perifer,

resistensi vaskuler, resistensi vaskuler renal, denyut jantung dan tekanan darah.

Pasien juga diberi amlodipin 10mg 1x1. Amlodipin sangat efektif pada lansia

dengan hiperten sisistolik terisolasi, karena amlodipine mempunyai kelebihan

seperti efisien dalam pemberian obat cukup satu kali sehari, menurunkan tekanan

darah secara perlahan dan absorbsinya sempurna dalam tubuh dari pada dengan

obat hipertensi lainnya. JNC 7 tidak mencantumkan hiperten sisistolik terisolasi

47
berbeda dengan tipe hipertensi lainnya, dan diuretic tetap terapi lini pertama.

Bagaimanapun, CCB dihidropiridin long-acting dapat digunakan sebagai terapi

tambahan bila diuretic tiazid tidak dapat mengontrol tekanan darah, terutama pada

pasien lansia dengan tekanan darah sistolik meningkat.

Amlodipin adalah obat antihipertensi yang tergolong dalam obat antagonis

calcium golongan dihidropiridin (antagonis ion kalsium). Amlodipin bekerja

dengan menghambat influx (masuknya) ion kalsium melalui membrane kedalam

otot polos vaskuler dan otot jantung sehingga mempengaruhi kontraksi otot polos

vaskuler dan otot jantung. Amlodidpin menghambat influx ion kalsium secara

selektif, dimana sebagaian besar mempunyai efek pada sel otot polos vaskuler

dibandingkan sel otot jantung.

Selain itu pasien juga diberikan simvastatin 20 mg per oral satu kali satu.

Simvastatin merupakan obat golongan statin. Statin adalah obat penurun lipid

paling efektif untuk menurunkan kolesterol LDL dan untuk meningkatkan

kolesterol HDL dan menurunkan trigliserida. Penggunaan obat golongan statin

pada pasien diberi simvastatin untuk mengurangi resiko stroke dan penyakit

kardivaskular untuk pasien yang menderita stroke iskemik. Jika terjadi

peningkatan kadar kolesterol total, kolesterol jahat (LDL), trigliserida, namun

disertai penurunan kolesterol. Akibat dari peningkatan kadar kolesterol jahat akan

mengakibatkan terdapatnya plak-plak berupa lemak yang mengendap dalam

pembuluh darah arteri yang berefek pada gangguan pada sirkulasi darah atau

ateroklerosis. Akibat dari ateroklerosis tersebut berdampak pada perubahan dan

gangguan pada daerah makrovaskuler dan mikrovaskuler. Pada penderita yang

memiliki factor resiko tambahan pemberian statin direkomendasikan untuk

48
menurunkan resiko terkena stroke serangan pertama (Perdosi, 2011). Statin

memiliki mekanisme kerja menghambat secara kompetitif coenzim 3-hidroksi-3

metil glutaril (HMG CoA) reduktase, yakni enzim-enzim yang berperan pada

sintesis kolesterol, terutama dalam hati.

Pasien juga diberikan Asam folat karena asupan tinggi asam folat dapat

berhubungan dengan penurunan resiko kematian karena stroke untuk penurunan

kadar homosistein dalam darah sehingga tidak menimbulkan arterosklerosis yang

dapat memperparah penyumbatan pembuluh darah (SNH) (Pio Nasional, 2012).

Dari semua terapi yang diberikan tidak ditemukan adanya DRP, terapi

yang diberikan sesuai dengan indikasi pasien, bentuk sedian, rute pemberian, dan

frekuensi pemberian sudah tepat dan sesuai dengan kondisi pasien, dosis obat

yang diberikan juga sudah sesuai dengan kondisi pasien. Pada pengobatan juga

tidak ditemukan reaksi obat yang tidak diinginkan seperti reaksi alergi.

49

Anda mungkin juga menyukai