Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sering dijumpai pasien saat ini adalah tipe pasien yang membutuhkan perhatian
serta rasa kasih yang lebih besar karena kejenuhan mereka terhadap perkembangan
teknologi. Ketika mereka menghadapi permasalahan yang mengganggu mental maupun
fisik, mereka akan berusaha mencari pertolongan. Dokter adalah salah satu tujuan yang
kerap mereka datangi. Dengan datang kepada dokter, mereka tidak hanya berharap dapat
disembuhkan secara fisik, tetapi juga secara mental.
Disinilah seorang dokter harus dapat melakukan komunikasi yang efektif kepada
tiap pasien yang datang untuk mencari pertolongan. Dengan bersedia mendengarkan tiap
keluhan mereka dengan sabar dan penuh perhatian, dokter secara tidak langsung telah
mengurangi penderitaan pasien. Terlebih dari itu, dengan menyampaikan informasi yang
benar ataupun memberikan kata-kata yang menyejukkan dan menguatkan, membuat
pasien semakin merasa tertolong. Dengan komunikasi yang efektif inilah, dokter dapat
meningkatkan kesehatan jiwa, dan kepuasan pasien.
Selain mampu berkomunikasi secara efektif, dokter juga dituntut untuk memiliki
rasa empati. Empati adalah kemampuan untuk merasakan, menghayati, dan menempatkan
diri sendiri ditempat oranglain. Dengan berempati, dokter mampu meningkatkan
pertumbuhan pasien dalam hal kesucian, kebajikan, kasih dan hikmat spiritual. Tidak
hanya itu, dengan berempati dokter dapat menolong pasien untuk menjadi kuat, mandiri,
dan dapat melihat realitas kehidupannya.

1.2 Rumusan Masalah

 Dokter kesal terhadap pasien


 Pasien menyampaikan keluhan secara kekanak-kanakan

1.3 Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

1
 Mengetahui pengaruh empati, kepribadian, dan analisis transaksional dalam
komunikasi dokter-pasien
 Mengetahui cara mengatasi masalah komunikasi (skenario PBL)

1.4 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah diatas, pernyataan sementara yang dapat


disimpulkan penulis adalah, dokter tidak berempati terhadap pasien.

2
BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Komunikasi Dokter-Pasien

Komunikasi antara dokter dan pasien merupakan sebuah syarat mutlak dalam
dunia kedokteran. Seperti yang telah dijelaskan diatas, komunikasi antara dokter dan
pasien berguna bagi diagnosis maupun tindakan yang akan dilakukan oleh dokter
terhadap pasien. Salah satu contoh adalah pengisian Informed Consent. Dalam pengisian
Informed Consent, dokter harus menggunakan teknik komunikasi yang efektif untuk
menjelaskan kepada pasien mengenai tindakan yang harus diambil oleh dokter, dan juga
resiko yang harus dihadapi oleh pasien. Jika sang dokter mampu melakukan komunikasi
yang efektif dan mampu meyakinkan pasien, maka tentu akan dicapai kesepakatan
bersama mengenai tindakan yang harus dilakukan, baik pasiennya setuju atau tidak.

2.2 Jenis-jenis Komunikasi

 Komunikasi verbal
Komunikasi verbal adalah komunikasi menggunakan kata-kata maupun berupa
tulisan. Komunikasi Verbal mencakup aspek-aspek berupa ;
 Vocabulary
Komunikasi tidak akan efektif bila pesan disampaikan dengan kata-kata yang
tidak dimengerti, karena itu olah kata menjadi penting dalam berkomunikasi.
 Speed
Komunikasi akan lebih efektif dan sukses bila kecepatan bicara dapat diatur
dengan baik, tidak terlalu cepat atau terlalu lambat.
 Intonasi suara
Akan mempengaruhi arti pesan secara dramatik sehingga pesan akan menjadi
lain artinya bila diucapkan dengan intonasi suara yang berbeda. Intonasi suara
yang tidak proposional merupakan hambatan dalam berkomunikasi.
 Humor

3
Dapat meningkatkan kehidupan yang bahagia. Tertawa mempunyai hubungan
fisik dan psikis dan harus diingat bahwa humor adalah merupakan satu-satunya
selingan dalam berkomunikasi.
 Singkat dan jelas
Komunikasi akan efektif bila disampaikan secara singkat dan jelas, langsung
pada pokok permasalahannya sehingga lebih mudah dimengerti.
 Timing
Berkomunikasi akan berarti bila seseorang bersedia untuk berkomunikasi, artinya
dapat menyediakan waktu untuk mendengar atau memperhatikan apa yang
disampaikan.

 Komunikasi Non Verbal


Komunikasi non verbal adalah penyampaian pesan tanpa kata-kata.
Yang termasuk komunikasi non verbal :
 Ekspresi wajah
Wajah merupakan sumber yang kaya dengan komunikasi, karena ekspresi wajah
cerminan suasana emosi seseorang.
 Kontak mata
Merupakan sinyal alamiah untuk berkomunikasi. Dengan mengadakan kontak
mata selama berinterakasi atau tanya jawab berarti orang tersebut terlibat dan
menghargai lawan bicaranya dengan kemauan untuk memperhatikan bukan
sekedar mendengarkan. Melalui kontak mata juga memberikan kesempatan pada
orang lain untuk mengobservasi yang lainnya
 Sentuhan
Bentuk komunikasi personal mengingat sentuhan lebih bersifat spontan dari pada
komunikasi verbal. Beberapa pesan seperti perhatian yang sungguh-sungguh,
dukungan emosional, kasih sayang atau simpati dapat dilakukan melalui
sentuhan.
 Postur tubuh dan gaya berjalan

4
Cara seseorang berjalan, duduk, berdiri dan bergerak memperlihatkan ekspresi
dirinya. Postur tubuh dan gaya berjalan merefleksikan emosi, konsep diri, dan
tingkat kesehatannya.
 Sound (Suara)
Rintihan, menarik nafas panjang, tangisan juga salah satu
ungkapan perasaan dan pikiran seseorang yang dapat dijadikan komunikasi.
Bila dikombinasikan dengan semua bentuk komunikasi non verbal
lainnya sampai desis atau suara dapat menjadi pesan yang sangat jelas.
 Gerak isyarat
Menggunakan isyarat sebagai bagian total dari komunikasi seperti mengetuk-
ngetukan kaki atau mengerakkan tangan selama berbicara menunjukkan
seseorang dalam keadaan stress bingung atau sebagai upaya untuk
menghilangkan stress
2.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Perilaku
 Dukungan keluarga
Dukungan keluarga disini sangat diperlukan oleh pasien atau seseorang yang sakit
dalam mengembalikan semangatnya serta mendukungnya untuk bisa teratur dalam
menjalani pengobatannya seperti mengonsumsi obat, terapi dan sebagainya.
Sebaliknya orang yang tidak mendapatkan dukungan dari keluarga akan merasa
bahwa tidak ada yang mempedulikannya sehingga keinginannya untuk sembuh
menjadi berkurang.
 Pendidikan
Pendidikan seseorang sangat mempengaruhi tindakan serta cara seseorang dalam
mengambil keputusan dan bertindak. Seseorang yang berpendidikan tinggi akan
sangat memperhitungkan segala keputusan yang diambil khususnya ketika sakit dan
menjalani pengobatan. Sebaliknya, orang memiliki tingkat pendidikan yang rendah
cenderung mengambil keputusan tanpa memperhitungkan resiko yang akan
diterimanya.
 Status sosial
Status sosial disini diartikan sebagai suatu kedudukan seseorang di masyarakat
tanpa memperlihatkan status ekonomi. Ini dinilai bagaimana seseorang tersebut

5
dihargai dan memiliki relasi yang baik di wilayah atau daerah tersebut. Seseorang
yang memiliki status sosial yang tinggi ditengah masyarakat akan lebih tegas serta
bijaksana dalam mengambil keputusan dalam menjalani hidupnya. Karena ditengah
masyarakat seseorang tersebut sudah dihargai dan disegani sehingga dia dapat
bijaksana dalam mengambil keputusan untuk hidupnya. Sebaliknya, seseorang yang
memiliki status sosial yang rendah cenderung akan melakukan segala sesuatu dengan
seenaknya karena menurutnya keberadaannya juga tidak memiliki pengaruh terhadap
lingkungannya.
 Ekonomi
Seseorang yang memiliki tingkat ekonomi yang tinggi dianggap memiliki
segalanya. Mereka juga dianggap tidak mengalami kesulitan yang cukup berarti
dikarenakan memiliki uang yang banyak. Sebaliknya orang yang memiliki tingkat
ekonomi yang rendah akan menganggap bahwa segala sesuatu terasa sangat sulit
untuk dihadapi. Seperti ketika sakit seseorang akan mengalami kesulitan dalam
menebus obat, terlebih lagi jika pengobatannya harus dilakukan secara bertahap.
Mereka akan menganggap hal tersebut hanya akan menambah bebannya. Sehinggha
mereka bisa menghentikan pengobatan.

2.4 Analisis Transaksional


Analisis transaksional adalah proses analisa transaksi/komunikasi dalam
hubungan sosial antara dua orang atau lebih individu berbeda, misalnya hubungan dokter-
pasien, hubungan pasien-dokter, hubungan dokter-perawat, hubungan dokter-keluarga
pasien. Analisis transaksional merupakan langkah menentukan ego dominan yang
berlangsung pada diri seseorang, apakah seseorang menganut oknum/anutan orang tua
(O), dewasa (D), atau anak-anak (K).
 Oknum orang tua (O)
orang tua biasanya condong kearah sikap yang mengatur, menegur,
menyalahkan, mengharuskan, megasuh, mengahibur, dan menyayangi. Maka dari
itu, dapat diartikan bahwa sikap diri orang tua adalah bagian kepribadian yang

6
bisa bersikap mengkritik namun juga bisa mengasuh dengan kasih namun sikap
diri orang tua biasanya tidak dapat disalahkan.
 Oknum dewasa (D)
dewasa berarti sikap dalam menghadapai persoalan secara cerdas,
menggunakan otak, terarah, tidak berpihak, mengumpulkan keterangan, dan
mencari pemecahan terbaik. Selain itu, sikap diri dewasa juga dapat dilihat dari
sikap mereka yang berorientasi pada kenyataan, memberi keterangan yang
diperlukan, mengalisa dan mencoba memahami situasi, membandingkan berbagai
alternatif, percaya diri sendiri, tidak dipengaruhi perasaan, dan melakukan koreksi
bila perlu. Maka sikap diri dewasa cenderung mengolah persoalan berdasarkan
data, analisis, dan juga logika.
 Oknum anak-anak (K)
Oknum anak ialah ketika seseorang bersikap seperti diperlihatkan oleh
anak-anak. Anak-anak memiliki sikap yang spontan, ingin campur segala urusan,
main-main, merengek, penuh daya cipta, bersungut-sungut, dan menganggap
ringan masalah. Penampilan anak-anak dipenuhi dengan perasaan, fantasi, intuisi
dan juga emosi.

Seorang dokter harus mampu menentukan termaksud oknum yang mana agar
komunikasi dapat berjalan dengan lancar dan menyenangkan. Jauh lebih baik, apabila
keduanya dapat memiliki oknum yang sama. Apabila salah satu pihak dalam kegiatan
komunikasi menyadari tipe sikap diri manakah yang terdapat pada lawan bicara, lalu
dapat menyesuaikan diri, maka komunikasi akan berjalan dengan lancar. Jadi, secara
tidak langsung, keberhasilan suatu komunikasi turut didukung dengan memahami sikap
diri yang ditunjukkan oleh lawan bicara kita.

7
BAB 3

PEMBAHASAN

Skenario D: seorang perempuan 45 tahun datang berobat ke dokter dengan banyak keluhan
sering pusing, sering sakit perut, sering lemas. Dokter kesal karena pasien banyak keluhan dan
mengemukakan keluhan tersebut secara kanak-kanak.

Dari kasus diatas, kita bisa melihat bahwa pasien tergolong dalam ego state kanak-kanak
karena caranya menyampaikan keluhan dengan model kanak-kanak. Sayangnya disini, dokter
tampak tidak memposisikan diri sebagai ego state kanak-kanak juga sehingga terjadi transaksi
silang (Crossed Transaction). Transaksi silang ini mengakibatkan kesenjangan dalam
komunikasi. Adapun dampak dari transaksi silang adalah respon yang memicu kemarahan,
persaan bersalah, ribut, dan terkadang perilaku yang menghindar. Dalam kasus diatas, dokter
menjadi kesal yang merupakan bentuk kemarahan akibat ketidakcocokan ego state.

Komunikasi yang dilakukan oleh pasien tergolong dalam komunikasi verbal, dimana pasien
melibatkan bahasa atau perkataan yang disuarakan. Sementara untuk dokter, komunikasi yang
dilakukan lebih ke arah non verbal (walaupun tidak disebutkan), karena perasaan kesal dokter
mungkin hanya ditunjukkan lewat mimik muka atau tindakan berikutnya kepada pasien. Untuk
arah komunikasinya, dalam kasus diatas lebih mengarah ke jenis komunikasi searah atau satu
arah. Komunikasi satu arah ini membuat pengirim pesa (pasien) tidak menerima umpan balik
dari pendengar (dokter). Dalam hal empati, dokter tampak kurang memiliki sikap empati. Hal
ini dilihat dari ketidakmampuan dokter untuk memiliki beberapa keterampilan empati seperti
mendengar aktif, dan responsif terhadap kebutuhan serta kepentingan pasien. Dokter tampak
hanya sambil lalu mendengarkan pasien karena tengah diliputi perasaan kesal (dalam kasus tidak
begitu disebutkan). Padahal, seorang dokter seharusnya mampu mendengar aktif agar
mengetahui pemikiran, perasaan, dan keinginan yang ingin disampaikan oleh pasien.

Dari beberapa pembahasan diatas, dapat dilihat bahwa dokter masih belum mampu
berkomunikasi secara efektif dan berempati terhadap pasiennya.

8
BAB 4

PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Ketidaklancaran komunikasi dalam kasus ini dapat disebabkan oleh beberapa hal.
Dari segi komunikasi, lebih mengarah ke komunikasi satu arah yang membuat pasien
tidak menerima umpan balik dari dokter. Namun, karena pasien berbicara terlalu banyak
dan banyak mengeluh maka dokterpun menjadi kesal. Darisegi kepribadian, terdapat
pertentangan antara dokter dan pasien. Pasien yang kekanak-kanakan dan dokter yang
sulit mengendalikan emosi. Dari segi Analisis Transaksional, dokter tidak menganalisis
oknum “Anak” dari pasien, sehingga dokter tidak dapat menyesuaikan diri dengan
keadaan pasien dan dokterpun menjadi kesal.

4.2 Saran
Yang harus dilakukan oleh seorang dokter terhadap pasiennya adalah
menciptakan suasana komunikasi yang efektif dengan cara mengerti bahwa pasien
tersebut membutuhkan perhatian yang lebih dan kenyamanan dalam menyampaikan
keluhannya baik melalui isyarat, gerak gerik maupun raut wajah. Dengan adanya
komunikasi efektif maka dapat tercipta empati.

9
Daftar Pustaka

1. Hardjodisastro, Daldiyono. 2006. Menuju Seni Ilmu Kedokteran : Bagaimana Dokter


Berpikir dan Bekerja. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Hal 217.
2. Soetjiningsih, dkk. 2007. Modul Komunikasi Pasien-Dokter : Suatu Pendekatan
Holistik. Jakarta : EGC. Hal 6-7.
3. Willms, J.L, dkk. 2005. Evaluasi Diagnosis & Fungsi Bangsal. Jakarta :EGC. Hal 557.
4. Andri, Dan H, dkk. Komunikasi dan Empati. Bahan kuliah. Jakarta : FK UKRIDA ; 2015
5. Boediardja Siti Aisah. “Citra Profesionalisme Kedokteran”. 7 Oktober 2015.
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/633/630.

10

Anda mungkin juga menyukai