Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Bell’s Palsy pertama kali ditemukan oleh seorang anatomis dan dokter
bedah bernama Sir Charles Bell pada tahun 1821.1 Bell’s Palsy (BP) adalah
suatu gangguan neurologi yang disebabkan oleh kerusakan nervus fasialis,
yang menyebabkan paralisis satu sisi wajah. Paralisis ini menyebabkan
asimetris wajah serta mengganggu fungsi normal, seperti menutup mata dan
makan.2
Bell’s Palsy merupakan penyakit pada nervus fasialis yang paling
sering terjadi. Prevalensi Bell’s Palsy di beberapa negara cukup tinggi. Di
Inggris dan Amerika berturut-turut 22,4 dan 22,8 penderita per 100,000
penduduk per tahun. Di Indonesia, insiden penyakit Bell’s Palsy banyak
terjadi namun secara pasti sulit ditentukan. Dalam hal ini didapatkan
frekuensi terjadinya Bell’s Palsy di Indonesia sebesar 19,55%, dan penyakit
ini dapat mengenai semua umur. 2
Banyak masyarakat awam yang mengira bell’s palsy merupakan gejala
dari stroke dan sering kali penderita juga takut untuk memeriksakanya ke
pusat pelayanan kesehatan karena malu, ataupun karena takut masih banyak
masyarakat yang tidak perduli dengan kesehatan tubuhnya sendiri sehingga
seringkali pasien dengan keluahan wajah merot sebelah ini datang untuk
berobat dengan grade penyakit yang sudah tinggi.3
Biasanya penderita mengetahui kelumpuhan fasialis dari teman atau
keluarga atau pada saat bercermin atau sikat gigi/berkumur. Pada saat
penderita menyadari bahwa ia mengalami kelumpuhan pada wajahnya, maka
ia mulai merasa takut, malu, rendah diri, mengganggu kosmetik dan
kadangkala jiwanya tertekan terutama pada wanita dan pada penderita yang
mempunyai profesi yang mengharuskan ia untuk tampil di muka umum.
Seringkali timbul pertanyaan di dalam hatinya, apakah wajahnya bisa kembali
secara normal atau tidak.3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 BELL’S PALSY


2.1.1 Definisi
Bell’s Palsy (BP) atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis tipe
lower motor neuron (LMN) akibat paralisis nervus fasialis perifer
(Nervus VII) yang bersifat akut, unilateral, dan penyebabnya tidak
diketahui. Dikenal juga dengan nama paralisis fasial idiopatik
(idiopathic facial paralysis).4

Gambar 2.1 Bell’s Palsy (BP)

2.1.2 Epidemiologi
Bell’s Palsy (BP) merupakan salah satu kelainan neurologi nervus
kranial tersering dan merupakan penyebab paralisis wajah yang banyak
dijumpai di dunia. Insidensi mencapai 20 per 100.000 kasus per tahun.
Prevalensi tertinggi berada pada kelompok usia 30-50 tahun.4 BP
diperkirakan merupakan penyebab 60-75% dari total kasus paralisis
fasial unilateral akut. BP lebih sering terjadi pada orang dewasa,
penderita diabetes melitus, pasien imunokompromais, dan perempuan
hamil. Pasien diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding
non diabetes. BP mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan

2
yang sama. Akan tetapi, wanita muda berumur 10-19 tahun lebih rentan
terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Pada
kehamilan trimester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan
timbulnya BP lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa
mencapai 10 kali lipat.4

2.1.3 Etiologi
Penyebab Bell’s Palsy masih tidak diketahui secara pasti. Terdapat
lima teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bell’s Palsy,
yaitu iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Teori
virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Sebuah
penelitian mengidentifikasi genom virus herpes simpleks (HSV) di
ganglion genikulatum seorang pria usia lanjut yang meninggal enam
minggu setelah mengalami Bell’s Palsy.6

2.1.4 Patofisiologi
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan
terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan
peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari
saraf tersebut saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis
keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai
bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar. Dengan
bentukan kanalis tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik
dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang
dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan
supranuklear, nuklear, dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak
di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar
ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah
somatotropik wajah di korteks motorik primer.3
Labyrinthine segment, bagian pertama dari kanalis fasialis,
marupakan bagian tersempit. Lokasi ini merupakan lokasi tersering
kompresi nervus fasialis. Pada Bell’s Palsy, jejas pada nervus fasialis

3
terletak perifer dari nukleus nervus tersebut. Jejas diduga terjadi dekat
atau pada ganglion geniculata. Jika lesi terletak proksimal dari ganglion
tersebut, paralisis motorik disertai kelainan gustatorik (gangguan
pengecapan 2/3 anterior lidah dan produksi air liur) dan gangguan
lakrimasi akan timbul. Jika lesi terletak diantara ganglion geniculata
dan proksimal korda timpani, keluhan sama akan timbul, tetapi tanpa
gangguan lakrimasi. Jika lesi terletak pada foramen stylomastoideus,
maka hanya akan menyebabkan paralisis otot motorik wajah saja.4

2.1.5 Manifestasi Klinis


Bell’s Palsy biasanya mendadak. Pada awalnya, penderita
merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur, menggosok
gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan adanya
kelainan di daerah mulut maka penderita biasanya memperhatikannya
lebih cermat dengan menggunakan cermin.
Manifestasi klinik lainnya, seperti :4
a. Paralisis akut motorik otot wajah pada bagian atas dan wajah
unilateral (dalam periode 48 jam)
b. Nyeri di belakang telinga, otalgia, hiperakusis
c. Nyeri okuler, epifora, penurunan produksi air mata, kelemahan
kelopak mata (kelopak mata tidak dapat menutup sempurna)
d. Gangguan pengecapan
e. Rasa seperti “tebal” pada pipi atau mulut
f. Hilangnya lipatan nasolabial dan kening pada sisi yang lumpuh
g. Ketika pasien mengangkat alis, sisi yang terkena tetap rata
h. Ketika pasien tersenyum, wajah menjadi distorsi dan terjadi
lateralisasi ke sisi berlawanan terhadap sisi yang lumpuh

4
Gambar 2.2 Manifestasi Klinis

Pasien dengan Bell’s Palsy mengalami dan mulut yang kering,


kehilangan atau gangguan rasa (taste), hiperakusis dan penurunan
kelopak mata atau sudut mulut.7

2.1.6 Diagnosis
Menurut American Otolaryngology-Head and Neck Surgery (2013)
memberikan beberapa hal ini sebagai pertimbangan untuk diagnosis
Bell’s Palsy :7
a. Onset Bell’s Palsy cepat (48 jam).
b. Diagnosa Bell’s Palsy dilakukan ketika tidak ada etiologi medis lain
yang bisa diidentifikasi sebagai penyebab kelemahan wajah.
c. Bell’s Palsy bilateral adalah langka.
d. Kondisi lain penyebab paralisis fasialis meliputi stroke, tumor otak,
tumor parotis atau fossa intratemporal, kanker yang melibatkan
nervus fasialis, dan penyakit sistemik serta infeksius seperti zoster,
sarcoidosis, atau penyakit Lyme.
e. Bell’s Palsy bisa muncul pada pria dewasa, wanita dewasa dan anak-
anak tetapi lebih umum pada orang dengan usia 15-45 tahun dan

5
dengan penyakit diabetes, penyakit saluran pernapasan atas atau
imun sistem yang lemah selama kehamilan.
Anamnesa dan pemeriksaan fisik adalah hal yang paling vital pada
diagnosa pasien dengan pasien Bell’s Palsy. Umumnya diagnosis dapat
ditegakkan berdasarkan manifestasi klinik adanya kelumpuhan nervus
fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain
dari kelumpuhan nervus fasialis perifer.

1. Pemeriksaan Fisik
A. Pemeriksaan Neurologi
Kelumpuhan nervus fasilalis melibatkan semua otot wajah sesisi
dan dapat dibuktikan dengan pemeriksaan - pemeriksaan berikut,
yaitu:
a. Pemeriksaan motorik nervus fasialis.
- Mengerutkan dahi : lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi
yang sehat saja.
- Mengangkat alis : alis pada sisi yang sakit tidak dapat diangkat
- Memejamkan mata dengan kuat : pada sisi yang sakit kelompak
mata tidak dapat menutupi bola mata dan berputarnya bola mata
ke atas dapat dilihat. Hal tersebut dikenal Fenomena Bell. Selain
itu dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang sakit
lebih lambat dibandingkan dengan gerakan kelopak mata yang
sehat, hal ini dikenal sebagai Lagoftalmus.
- Mengembungkan pipi : pada sisi yang tidak sehat pipi tidak
dapat dikembungkan.
- Pasien disuruh utnuk memperlihatkan gigi geliginya atau
disuruh meringis menyeringai : sudut mulut sisi yang lumpuh
tidak dapat diangkat sehingga mulut tampaknya mencong ke arah
sehat. Dan juga sulcus nasolabialis pada sisi wajah yang sakit
mendatar.

6
2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada Bell’s Palsy berupa pencitraan (CT
scan kepala maupun MRI kepala) dan Elektromiografi (EMG)
dilakukan hanya pada kasus-kasus dimana tidak terjadi kesembuhan
sempurna atau untuk mencari etiologi paresis nervus fasialis.
Pemeriksaan EMG diutamakan untuk menentukan prognosis.4
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk
menentukan letak lesi dan derajat kerusakan nervus fasialis,
diantaranya :3
1) Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)
Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot wajah kiri dan
kanan setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih
3,5 mA menunjukkan keadaan patologi dan jika lebih 20 mA
menunjukkan kerusakan nervus fasialis irreversibel.
2) Uji konduksi saraf (nerve conduction test)
Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara
mengukur kecepatan hantaran listrik pada nervus fasialis kiri dan
kanan.
3) Elektromiografi
Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya
otot-otot wajah.
4) Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah
Gilroy dan Meyer (1979) menganjurkan pemeriksaan fungsi
pengecap dengan cara sederhana yaitu rasa manis (gula), rasa
asam dan rasa pahit (pil kina).
5) Uji Schirmer
Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang
diletakkan di belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan
kanan. Penilaian berdasarkan atas rembesan air mata pada kertas
filter. Berkurang atau mengeringnya air mata menunjukkan lesi
nervus fasialis setinggi ganglion genikulatum.

7
2.1.7 Diagnosa Banding
Lesi perifer :
1) Otitis media : disebabkan oleh bakteri patogen, onset perlahan, nyeri
pada telinga, demam, dan gangguan pendengaran konduktif.
2) Sindroma Ramsay Hunt : disebabkan oleh virus Varisela Zoster,
nyeri semakin memberat, erupsi vesikuler pada kanalis telinga atau
faring.
3) Penyakit Lyme : disebabkan oleh Spirocheta Borrelia burgdorferi,
riwayat adanya tanda bercak atau nyeri sendi, kontak di daerah
endemik penyakit Lyme.
4) Polineuropati (GBS, sarcoidosis) : disebabkan respon autoimun,
kebanyakan bilateral.

Lesi sentral :
1) Multiple sclerosis : proses demielinisasi, ditemukan defisit neurologi
lain.
2) Stroke : bila disertai kelemahan anggota gerak sisi yang sama dan
ditemukan proses patologis di hemisfer, ditemukan defisit neurologi
lain.

2.1.8 Penatalaksanaan
1) Farmakologi4,8
a. Terapi steroid :
Terapi steroid telah terbukti meningkatkan kemungkinan
kesembuhan pada waktu 9 bulan. Dosis steroid yang digunakan
adalah Prednisolon yaitu 1 mg/kg atau 60 mg/hari selama 10 hari.
b. Terapi antiviral :
Walaupun tidak memiliki bukti yang kuat, antiviral mungkin
dapat digunakan dalam kondisi tertentu, terutama bila dicurigai
terdapat etiologi viral. Asiklovir dapat digunakan dengan dosis
400 mg oral 5x sehari selama 5 hari atau Valasiklovir 1000
mg/hari selama 5 hari. Jika dicurigai infeksi virus varisella zoster,

8
maka mungkin dibutuhkan dosis lebih tinggi (800 mg oral 5x
sehari).
2) Fisioterapi4
Tindakan fisioterapi yang direkomendasikan adalah terapi panas
superfisial, elektroterapi dengan menggunakan arus listrik, latihan
dan pemijatan wajah disertai kompresi panas.
3) Pembedahan4
Dekompresi nervus fasialis dapat dipertimbangkan pada pasien
yang tidak responsif terhadap terapi farmakologi dengan degenerasi
aksonal >90%. Degenerasi aksonal dapat dilihat pada pemeriksaan
EMG nervus fasialis dalam 3 minggu setelah onset paralisis.

2.1.9 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s palsy, adalah :1
1) Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang
menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis.
2) Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia
(gangguan pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia
(gangguan sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal).
3) Reinervasi yang salah dari saraf fasialis.
Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan
beberapa kondisi, diantaranya :
1) Sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan
volunter, contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut
mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan
mata.
2) Crocodile tearphenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah
paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya
air mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan.
3) Clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara
tiba-tiba (shock-like) pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi

9
wajah saja pada stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi
bilateral tidak terjadi bersamaan).

2.1.10 Prognosis
Secara keseluruhan prognosis baik, waktu penyembuhan
bervariasi antara beberapa minggu sampai 12 bulan. Umumnya 70%
akan sembuh sempurna dalam 6 minggu, 30% akan mengalami
degenerasi aksonal yang akan mendasari terjadinya kelemahan
menetap, sinkinesia atau kontraktur.4
Faktor yang dapat mengarah mendukung ke prognosis baik adalah
paralisis parsialis inkomplit pada fase akut (penyembuhan total),
pemberian kortikostroid dini, penyembuhan awal dan/atau perbaikan
fungsi pengecapan dalam minggu pertama.6
Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsy
komplit (risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya
nyeri hebat post-aurikular, gangguan pengecapan, rafleks stapedius,
wanita hamil dengan Bell’s Palsy, bukti denervasi mulai setelah 10
hari (penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan kontras
yang jelas.6

10
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Bell’s Palsy merupakan penyakit pada nervus fasialis yang paling
sering terjadi. Bell’s Palsy (BP) atau prosoplegia adalah kelumpuhan
fasialis tipe lower motor neuron (LMN) akibat paralisis nervus fasialis
perifer (Nervus VII) yang bersifat akut, unilateral, dan penyebabnya tidak
diketahui.
Bell’s Palsy biasanya mendadak, yang menyebabkan paralisis satu
sisi wajah. Paralisis ini menyebabkan asimetris wajah serta mengganggu
fungsi normal. Terapi yang dilakukan selama ini adalah untuk
meningkatkan fungsi saraf wajah dan proses penyembuhan. Modalitas
terapi Bell’s Palsy yaitu dengan terapi steroid, antiviral, fisioterapi, dan
operasi dekompresi. Secara keseluruhan prognosis baik, waktu
penyembuhan bervariasi antara beberapa minggu sampai 12 bulan.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Mujaddidah, N. 2017. Tinjauan Anatomi Klinik dan Manajemen Bell’s


Palsy. Vol 1 (2). Qanun Medika. Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Surabaya.Diakses: http://journal.um-
surabaya.ac.id/index.php/qanunmedika/article/download/634/466 [29
Maret 2018].
2. Dewanto, G. 2009. Panduan Praktis Diagnosa & Tata Laksana Penyakit
Saraf. EGC. Jakarta.
3. Bahrudin, M. 2011. Bell’s Palsy. Vol 7 (15).Fakultas Kedokteran
Universitas Muhamdiyah Malang.
Diakses:http://ejournal.umm.ac.id/index.php/sainmed/article/viewFile/407
3/4451[29 Maret 2018].
4. Rianawati, S. B. dan Munir, B. 2016. Buku Ajar Neurologi. Sagung Seto.
Malang.
5. Lastri, D. N. dan Octaviana, F. 2017. Neurologi. Elsevier. Jakarta.
6. Lowis, H. dan Gaharu, M. N. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosa dan Tata
Laksana di Pelayanan Primer. Vol 62 (1). J Indon Med Assoc. Universitas
Pelita Harapan. Diakses : https://caridokumen.com/download/artikel-
pengembangan-pendidikan-keprofesian-berkelanjutan-p2kb-bells-palsy-
diagnosis-dan-tata-laksana-di-pelayanan-primer-bells-palsy-diagnosis-and-
management-in-primary-care-_5a4507f8b7d7bc7b7a9dccad_pdf [30
Maret 2018].
7. Baugh, R. F. et al. 2013. Clinical Practice Guideline: Bell’s Palsy,
Otolaryngology-Head and Neck Surgery. Vol 149 Diakses :
https://www.researchgate.net/publication/275574962_Clinical_Practice_G
uideline_Bell's_Palsy [1 Maret 2018].
8. Somasundara, D. dan Sullivan, F. 2017. Management Bell’s Palsy.
Diakses :https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5478391/ [30
Maret 2018].

12

Anda mungkin juga menyukai