Anda di halaman 1dari 9

MH Tipe Lepromatosa yang disertai Reaksi ENL

Rahmat Hidayat , Siti Nur Rahmah, Safruddin Amin, Muhammad Dali Amiruddin, A.M.Adam,
Widyawati Djamluddin, Fitriyani Sennang A.N, Sri Vitayani Muchtar,

Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas


Hasanuddin/RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo,Makassar

Abstrak
Eritema nodosum leprosum (ENL) adalah reaksi kusta dengan patomekanisme dasar
imunologis yang sesuai reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi antigen-antibodi kompleks). Reaksi
ini memberikan gambaran klinis berupa nodul eritema yang disertai nyeri dan didahului gejala
prodromal. Reaksi ini dapat terjadi pada penderita kusta sebelum mendapat pengobatan,
sementara pengobatan maupun sesudah pengobatan multidrug therapy (MDT) yang dapat
diperberat oleh adanya infeksi lain pada penderita.
Dilaporkan satu kasus ENL pada seorang laki-laki 54 tahun di RS. Pendidikan unhas
makssar dengan nodul eritematosa dan nyeri. Pada pemeriksaan lesi kulit, ditemukan anestesi rasa
raba, nyeri dan suhu serta penebalan N. Auricularis magnus.. Pengobatan dengan MDT-MB
memberikan hasil yang baik.

Kata kunci : ENL, Nodul eritem, MDT-MB

Abstract
Erythema nodosum leprosum (ENL) is a leprosy reaction with basic immunological
corresponding type III hypersensitivity reaction (antigen-antibody complexes). This reaction gives
an overview of the clinical form of nodules that are accompanied by pain and erythema preceded
prodromal symptoms. This reaction can occur in leprosy patients before treatment, while
treatment and after the treatment of multidrug therapy (MDT), which can be exacerbated by the
presence of other infections in people.
ENL reported one case in 54 years a man at the hospital. Unhas Makassar with
erythematous nodules and joint pain. On examination of skin lesions, discovered anesthesia sense
of touch, pain and temperature as well as thickening of N. Auriculris magnus. Treatment with
MDT-MB. The treatment gives good results.

Keywords: ENL, erythematous nodules, MDT-MB

PENDAHULUAN

Kusta (Morbus Hansen) merupakan penyakit infeksi kronik yang


disebabkan oleh Mycobacteriuim leprae (M. leprae) yang utamanya mengenai
saraf-saraf perifer, kulit serta mukosa pernapasan atas. Bakteri ini pertama kali
dilaporkan pada tahun 1873 oleh Armauer Hansen di Norwegia, dan merupakan
bakteri pertama yang diidentifikasi sebagai patogen manusia. Organisme ini
merupakan sebuah basilus tahan-asam dengan bentuk batang yang sedikit

1
melengkung, merupakan sebuah parasit intraseluler yang hanya bisa bertahan
hidup dalam sel, khususnya sel schwann dan makrofag. (1-3) Bakteri ini membelah
diri sangat lambat dibanding dengan bakteri lain (12-13 hari). Karena
pertumbuhan yang lambat ini, masa inkubasi pada manusia cukup lama: sekurang-
kurangnya 2 sampai 3 tahun, dengan masa inkubasi rata-rata antara 5 sampai 7
tahun, walaupun bisa hingga puluhan tahun. (4)
Prevalensi kasus kusta secara global pada awal 2011 berada pada nilai
192.246 kasus, yang kurang dari 228.474 kasus-kasus baru yang dideteksi pada
(4)
tahun 2010. Prevalensi ENL yang dilaporkan di kalangan orang-orang ini
sangat bervariasi dengan persentase yang cukup tinggi (hingga 50%) di Asia dan
dengan persentase lebih rendah (hingga 12%) di Afrika, sedangkan pada ENL
pada kusta lepromatous adalah hingga 25%, biasanya selama atau setelah terapi.
Kebanyakan orang yang mengalami ENL mengalami episode ENL akut atau ENL
kronis dalam beberapa tahun. (5,6)
ENL sering terjadi pada tipe LL hingga 75% kasus, tetapi tidak jarang
pada tipe BL. ENL bukan eritema nodosum yang terjadi pada kusta, ia merupakan
reaksi spesisfik kusta, yang memiliki beberapa gambaran klinis dan histologik
secara umum dengan eritema nodosum. (7)
Pelepasan yang tinggi dari antigen bakteri dari bacili yang sekarat,
menjadikan terbentuknya kompleks imun dan sekresi TNF-α, dipikirkan sebagai
mekanisme patogenik utama dalam reaksi ENL.(8) Patogenesis ENL melibatkan
deposisi kompleks imun dan disfungsi imunitas berperantara sel. Aktivasi
komplemen dan migrasi neutrofil saat pelepasan enzim-enzim perusak jaringan,
seperti IL-12, dan TNF-α merupakan faktor-faktor penting dalam evolusi
penyakit.(6)
Terapi untuk ENL ditujukan untuk mengendalikan inflamasi akut,
meredakan nyeri dan mencegah kerusakan saraf lebih lanjut atau mencegah
munculnya lesi baru(5)
Pada makalah ini dilaporkan satu kasus eritema nodosum leprosum pada
penderita lepromatosa yang diterapi dengan MDT-MB serta steroid oral dan
memberikan perbaikan.

2
LAPORAN KASUS

Seorang laki-laki berumur 54 tahun datang di RS. Pendidikan Unhas


Makassar dengan keluhan muncul bentol-bentol kemerahan pada ke dua lengan
yang dialami sejak ± 2 minggu yang lalu, disertai rasa nyeri. Terkadang muncul
gatal. Dirasakan demam, sulit tidur, dan pegal-pegal. Terdapat riwayat berobat di
dokter spesialis kulit diberikan pengobatan obat minum dan salep namun pasien
tidak mengetahui nama obat tersebut. Tidak terdapat riwayat demam. Tidak
terdapat riwayat pengobatan dengan MDT sebelumnya. Riwayat keluhan yang
sama sebelumnya disangkal. Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama
disangkal. Riwayat kontak dengan penderita yang sama disangkal. Riwayat alergi
obat dan makanan disangkal.
Dari pemeriksaan fisis ditemukan keadaan umum penderita baik, sakit
sedang, kesadaran komposmentis, dan gizi cukup. Suhu 38 0C Pemeriksaan status
dermatologis di regio ekstremitas superior dektra dan sinistra didapatkan
effloresensi berupa nodul-nodul eritem. (Gambar 1)

Gambar 1. Nampak nodul eritem pada regio ekstremitas superior dektra et sinistra.
Sedangkan pd ekstremitas inferior dektra dan sinistra terdapat xerosis cutis dan tidak
terdapat nodul eritem, begitupun pada region fasialis dan trunkus anterior dan posterior
tidak ditemukan lesi.

3
Pemeriksaan sensibilitas pada lesi menunjukkan hipoestesi rasa raba,
nyeri dan suhu di regio ekstremitas superior dextra dan sinstra. Pemeriksaan saraf
tepi menunjukkan terdapat pembesaran saraf pada kedua nervus auricularis
magnus
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis yaitu pasien didiagnosis
banding dengan ENL dan erupsi obat. Setelah itu dianjurkan untuk dilakukan
pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium (darah rutin, CT/BT,
SGOT, SGPT, GDS, Asam urat, ), periksa BTA dan pemeriksaan histopatologi.
Sambil menunggu hasil laboratorium pasien diberikan terapi yaitu parasetamol
tablet 500 mg/8 jam/oral, metilprednisolon tablet 4 mg 3-2-1/ oral, dan
neurotropik tablet/24 jam/oral.
Pada kontrol ke dua, keadaan umum penderita baik, sakit sedang,
kesadaran komposmentis, dan gizi cukup. Hasil laboratorium ; Darah rutin ;
WBC 16.41 x 103/UL. MPV 8,9 fL, PCT 0,38 %, Neutrofil 77.0 %, limfosit
2,15% x 103/uL, monosit 0,93 x 103/uL, Eosinofil 0,64 x 103/uL. Waktu
perdarahan: 4 menit, waktu bekuan : 8 menit. GDS : 94 mg/dl, asam urat : 6, 3
mg/dl. Hasil pemeriksaan BTA pada cuping telinga kanan : + 4, cuping telinga
kiri : +4, Lesi kulit : + 3, BI : 4+4+3/ 3 = 11/3 = 3,6.
Pemeriksaan histopatologi (H.UH.15.762): Pada pewarnaan hematoxylin-
eosin didapatkan epidermis yang atrofi, di dalam dermis terdapat granuloma-
granuloma yang mengikuti adneksa (gambar 2A) dan pembuluh darah yang terdiri
dari sel histiosit foamy bercampur dengan sedikit limfosit dan beberapa netrofil
(gambar 2B). Granuloma meluas ke jaringan lemak subkutis. Pewarnaan fite
faracco dicurigai adanya basil yang fragmented dalam granuloma (gambar 3).
Kesimpulan: MH tipe LL dan ENL

4
Gambar 2. A) Epidermis yang atrofi, di dermis terdapat granuloma-granuloma yang mengikuti
adneksa dan pembuluh darah (pewarnaan HE) B) Sel histiosit foamy bercampur dengan sedikit
limfosit dan beberapa netrofil (pewarnaan HE)

Gambar 3. Dicurigai adanya basil yang fragmented dalam granuloma (pewarnaan FF)

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang


maka pasien didiagnosis akhir dengan MH tipe LL disertai reaksi ENL. Terapi
tambahan yang diberikan yaitu MDT-MB paket pertama.

DISKUSI
Reaksi kusta merupakan ekspresi dari ketidakseimbangan imun dan secara
umum dibagi menjadi 2 bagian, tipe 1 (tipe jopling atau reaksi reversal) dan tipe 2
( reaksi jopling tipe 2) yang berhubungan dengan ENL.(8) ENL adalah reaksi kusta
tipe 2 dan terjadi umumnya pada pasien dengan MDT sering selama terapi 6 bulan
awal, meskipun beberapa muncul setelah selesai terapi. Sejumlah faktor
berimplikasi menimbulkan ENL, seperti kondisi yang menyebabkan stres

5
psikologi atau mental, kehamilan, trauma, penyakit berulang, dan berbagai obat
termasuk obat anti leprosi dan antibiotik yang diberikan untuk penyakit lain, yang
juga anti leprosi (doksisiklin, ofloxacin) dapson.(8)
Dari anamnesis didapatkan bentol-bentol kemerahan pada ke dua lengan
yang dialami sejak ± 2 minggu yang lalu, disertai rasa nyeri. Terkadang muncul
gatal. Terdapat demam. Sulit tidur. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang
menyatakan bahwa secara klinis reaksi ini muncul sebagai timbulnya nodul
subkutan dan dermal yang nyeri, warna merah muda terang pada kulit yang
normal, yang berkaitan dengan demam, anoreksia, dan malaise. Artralgia dan
artritis sangat umum terjadi pada ENL dibanding neuritis, adenitis, orchitis /
epididimitis, atau iritis tapi jarang sebagai gejala awal.(7)
Dari pemeriksaan fisis ditemukan keadaan umum penderita baik, sakit
sedang, kesadaran komposmentis, dan gizi cukup. Suhu 38 0C Pemeriksaan status
dermatologis di regio ekstremitas superior dektra dan sinistra didapatkan
effloresensi nodul eritem.
Pemeriksaan sensibilitas pada lesi menunjukkan hipoestesi rasa raba,
nyeri dan suhu di regio ekstremitas superior dextra dan sinstra. Pemeriksaan saraf
tepi menunjukkan terdapat pembesaran saraf pada nervus auricularis magnus,
simetris pada kedua sisi. Dalam kepustakaan yang menyatakan bahwa MH tipe
lepromatous (LL) ini gejala klinisnya muncul pada kulit yakni makula-makula,
papula-papula yang difus, infiltrasi atau nodul-nodul atau keempatnya, makulanya
kecil, multiple, eritematosa, hipopigmentasi dengan tepi yang tidak jelas dan
permukaan yang mengkilat. Papula-papula dan nodul-nodul biasanya memiliki
warna kulit yang normal, namun kadang-kadang eritematosa, dengan distribusi
(9-
simetris bilateral pada wajah, lengan, kaki,dan bokong, tapi dapat dimana saja.
12)

Pada pemeriksaan fisis saraf memperlihatkan nervus tibialis posterior


adalah saraf yang paling sering terkena, diikuti oleh nervus ulnar, nevus radialis,
median, popliteal lateral dan nervus fasialis.(9) Pada nervus ulnaris terdapat parese
atau paralisis dari otot-otot interossei dan dua otot hypothenar dan otot medial
lumbricalis kemudian terjadi atropi.(13)

6
Pemeriksaan slit skin smear merupakan tes yang biasanya dilakukan untuk
menegakkan diagnosis kusta. Pemeriksaan ini membantu membedakan kusta tipe
pausibasiler (PB) dan MB. Pemeriksaan ini memiliki spesifisitas yang tinggi
namun sensitivitas yang rendah akibat kesalahan dalam pengambilan spesimen,
biasanya negatif pada PB dan pada beberapa kasus MB.(13, 14) Pada pemeriksaan
bakteriologik, yang penting adalah perhitungan IB dan IM. IB adalah angka yang
menunjukkan banyaknya kuman M.leprae pada tiap satuan lapangan tertentu, baik
kuman yang mati maupun kuman yang hidup. IM adalah angka yang
menunjukkan persentase basil kusta solid dalam semua basil yang dihitung.
Penghitungan IB bermanfaat dalam memonitoring perjalanan penyakit dan IM
berguna dalam menilai kemajuan/keefektifan obat kusta.(2) Pemeriksaan IB pada
pasien ini adalah + 3,6. Pada pasien ini belum pernah mengkonsumsi MDT.

Secara histopatologi, ENL ditandai dengan campuran infiltrat dermal


yakni netrofil dan limfosit yang tumpang tindih dalam kumpulan makrofag. Pada
lesi ENL, netrofil merupakan sel “penanda”. Pada kusta tipe LL ditemukan reaksi
granulomatosa. Setelah pemberian kemoterapi antimikroba terjadi akumulasi basil
yang mengalami degenerasi dalam makrofag yang disebut sel lepra atau sel
Virchow yang foamy atau mengalami vakuolasi sitoplasma. Ditemukan basil
tahan asam dalam jumlah yang besar, solid maupun fragmented.(4, 15, 17)
Hasil
pemeriksaan histopatologi pada kasus didapatkan epidermis yang atrofi, di dalam
dermis terdapat granuloma-granuloma yang mengikuti adneksa dan pembuluh
darah yang terdiri dari sel histiosit foamy bercampur dengan sedikit limfosit dan
beberapa netrofil. Granuloma meluas ke jaringan lemak subkutis. Pewarnaan fite
faracco dicurigai adanya basil yang fragmented dalam granuloma.

Terapi yang diberikan yaitu MDT –MB, metilprednisolon tablet 4 mg 3-


2-1/ oral, dan neurotropik tablet/24 jam/oral. Ini sesuai dalam kepustakaan yang
menyatakan bahwa pada ENL bisa di terapi dengan steroid dosis tiggi yang
(4)
dengan cepat menekan keadaan inflamatori. rifampisin pada dosis 600mg per
(18)
hari efektif dalam mengobati pasien lepromatous. WHO merekomendasikan
pemberian kortikosteroid (prednisolon) dosis 40 mg sehari pada minggu pertama

7
dan kedua, 30 mg sehari pda minggu ke tiga dan keempat, 20 mg sehari pada
minggu kelima dan keenam, 15 mg sehari pada minggu ketujuh dan kedelapan, 10
mg sehari pada minggu kesembilan dan kesepuluh, dan 5 mg sehari pada minggu
kesebelas dan keduabelas. Dosis maksimum 1 mg/kgBB/hari. Pemberian
kortikosteroid direkomendasikan segera setelah ada bukti peningkatan inflamasi
pada lesi kulit atau timbul lesi kulit baru, penurunan fungsi saraf kurang dari
enam bulan dan nyeri dan pembesaran saraf.(15) ENL jika ringan diterapi dengan
cara istirahat yang cukup dan obat anti inflamasi untuk mengendalikan lesi kulit
yang inflamasi akut dan demam. (2)
Sebagai kesimpulan ENL merupakan sebuah penyakit yang kompleks
yang sulit diprediksi, memiliki tingkat berat dan durasi yang bervariasi, dan
seringkali bersifat kronis dan rekuren, walaupun kebanyakan obat bisa bekerja
dengan efektifitas sama untuk mengedalikan gejala-gejala akut ENL namun
pencegahan rekurensi jauh lebih sulit.(5)

DAFTAR PUSTAKA

1.Margoles L, Rio C D, Paredes F.C. Leprosy : Modern Assessment Of An


Ancient Neglected Disease. Bol Med Hosp Infant Mex J. 2011;68(2):110-116
2. Piris A, Lobo A, Z.C, Moschella S.L. Global dermatopathology: Hansen’s
disease – current concepts and challenges. J Cutan Pathol 2010: 37 (Suppl. 1):
125–136
3. Bhat R.M . Prakash C. Leprosy: An Overview of Pathophysiology. Inter
disciplinary Perspectives on Infectious Diseases . 2012,1-4
4. Worobec S.M. Current approaches and future directions in the treatment of
leprosy. Research and Reports in Tropical Medicine. 2012:3. 79-89
5. Van Veen N.H.J, Lockwood D.N.J, Brakel W.B. V, Ramirez Jr. Richardus J.H.
Interventions for erythema nodosum leprosum. A Cochrane review. Lepr Rev
(2009) 80, 355–372
6. Prabhu S, Shenoi S.D, Pai S, Sripathi H . Erythema nodosum leprosum as the
presenting feature in multibacillary leprosy. Dermatology Online Journal.
2009. 15 (6): 15
7.Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's Dermatology in General
Medicine. 7th ed. New York: The McGraw-Hill; 2008. p. 2253-2261.
8. Travassos A.R, Antunes J, Pacheco1 D, Almeida L.S, Filipe P, Marques M.S.

8
Erythema nodosum leprosum associated with minocycline. Acta
Dermatovenerol APA J. 2012;21:39-41
9. Lockwood DNJ. Rook's Textbook of Dermatology. In: Burns T, Breathnach S,
Cox N, Griffiths C, editors. 8th ed: Wiley-Blackwell; 2010. p. 32.1-32.18
10. Weedon D. Weedon's Skin Pathology. London. Churchill Livingstone. 3 ed:
2010. p. 562-566
11. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews Diseases Of The Skin Cinical
Dermatology. 11th ed: Saunders Elsevier; 2011.p. 334-343.
12. Saonere J.A, Leprosy: An overview. J. Infect. Dis. Immun. Vol. 3(14), 233-
243.
13.Brycesson A, Pfaltzgraft R.E, Complications Due To Nerve Damage. In :
Leprosy. Edinburgh: Churchill Livingstone: 1990. p. 133-141

14. Adhe V, Dongre A, Khopkar U. A Retrospective Analysis of Histopathology


of 64 Cases of Lepra Reactions. Indian J Dermatol. 2012 Mar-Apr; 57(2):
114–117.
15. Amiruddin D. Pemeriksaan Lboratorium Penyakit Kusta. Dalam: Penyakit
Kusta Sebuah Pendekatan klinis. 1st ed. Surabaya: Brillian Internasional; 2012.
p.39- 55.
16. Handog E. B, Gabriel T. G, Cheryl T.G. Leprosy in the Philippines: a review.
International Journal of Dermatology. 2011, 50, 573–581.
18. Weedon D. Weedon's Skin Pathology. London: Churchill Livingstone; 2010.
17. Setia M. S, Shinde S.S, Jerajani H.R. Boivin J.F. Is there a role for
rifampisin, ofloxacin and minocycline (ROM) therapy in the treatment of
leprosy Systematic review and meta-analysis. Tropical Medicine and
International Health. volume 16(12)1541–1551.

Anda mungkin juga menyukai