Anda di halaman 1dari 7

Kusta: sebuah gambaran umum

Pendahuluan
Kusta atau penyakit Hansen merupakan penyakit kronis yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae dan Mycobacterium
lepromatosis. Kusta pada dasarnya adalah penyakit granulomatous pada
saraf-saraf periferal dan mukosa saluran pernapasan atas; lesi kulit
merupakan tanda eksternal utama. Jika dibiarkan tidak diterapi, kusta bisa
progresif, dengan menyebabkan kerusakan permanen pada kulit, saraf,
tungkai, dan mata. Kusta tidak menyebabkan bagian-bagian tubuh
terlepas, walaupun bagian-bagian tubuh bisa mati-rasa atau sakit sebagai
akibat dari infeksi; infeksi menghasilkan penyusutan jaringan, sehingga
jari-jari tangan dan kaki menjadi pendek dan mengalami deformasi ketika
kartilago diserap ke dalam tubuh. Kusta telah terjadi pada manusia sekitar
4000 tahun, dan telah dikenali dengan baik sejak peradaban Cina, Mesir,
dan India kuno. Pada tahun 1995, WHO memperkirakan bahwa antara 2
sampai 3 juta orang mengalami disabilitas permanen karena kusta pada
saat itu. Dalam 20 tahun terakhir, 15 juta orang di seluruh dunia telah
disembuhkan dari kusta. Walaupun karantina atau segergasi pasien tidak
diperlukan di tempat-tempat dimana terapi yang memadai bisa diberikan,
namun banyak koloni leper yang masih tetap ada di seluruh dunia di
negara-negara seperti India, Cina, Romania, Mesir, Nepal, Somalia,
Liberia, Vietnam, dan Jepang. Kusta pernah dianggap sebagai penyakit
yang sangat menular dan diterapi dengan merkuri. Sekarang diyakini
bahwa banyak kasus-kasus awal kusta bisa telah disebabkan oleh sifilis.

Penyebab
Kusta disebabkan oleh organisme M. leprae. Penyakit ini tidak
terlalu menular (sulit ditularkan) dan memiliki masa inkubasi yang lama
(masa sebelum gejala muncul), sehingga sulit ditentukan dimana atau
kapan penyakit didapatkan. Anak-anak lebih peka dibanding orang
dewasa untuk mengalami penyakit ini.
M. leprae, salah satu agen kausatif pada kusta merupakan bakteri
tahan asam, M. leprae tampak berwarna merah ketika distaining dengan
stain Ziehl-Neelsen. M. leprae dan M. leproamtosis merupakan agen
kausatif kusta. M. lepraomatisis adalah mikobakteri yang relatif baru
diidentifikasi, yang diisolasi dari sebuah kasus fatal kusta lepromatous
difus pada tahun 2008. Sebuah bakteri tahan asam intraseluler, M. leprae
termasuk bakteri aerobik dan berbentuk batang, serta dikelilingi oleh
lapisan membran sel berlilin yang merupakan karakteristik spesies
Mycobacterium (Gbr. 1). Kusta disebabkan/didapatkan melalui hal-hal
berikut:
1. Penularan kusta dari orang ke orang melalui sekresi pernapasan
yang terinfeksi
2. Orang tua seseorang yang menderita kusta

1
3. Anak dari seseorang penderita kusta
4. Saudara lelaki atau perempuan dari seseorang penderita kusta
5. Besarnya tingkat keterpaparan
6. Genetik
7. Kondisi lingkungan

Jenis-Jenis Kusta

Kusta indeterminat: Terdapat beberapa makula hipopigmentasi; bisa


sembuh sendiri, berlangsung terus menerus, atau berkembang menjadi
bentuk kusta lain.
Kusta tuberkuloid: Terdapat beberapa makula hipopigmentasi, ada yang
besar dan ada yang menjadi anestetik (kehilangan rasa nyeri, taktil, dan
termik); beberapa keterlibatan neural dimana saraf menjadi membesar;
penyembuhan spontan dalam beberapa tahun, berlangsung terus
menerus, atau berkembang menjadi bentuk yang lain.
Kusta tuberkuloid borderline: Lesi mirip dengan kusta tuberkuloid tetapi
lebih kecil dan lebih banyak dengan pembesaran saraf yang lebih sedikit;
bentuk kusta ini bisa persisten, berbalik menjadi kusta tuberkuloid, atau
berkembang menjadi bentuk-bentuk kusta yang lain.
Kusta mid-borderline: Banyak plak kemerahan yang tersebar secara
asimetris, mati-rasa dengan tingkat sedang, dengan adenopati regional
(nodus limfa yang membesar); bentuk ini bisa persisten, kembali menjadi
bentuk kusta yang lain, atau berkembang ke bentuk kusta selanjutnya.
Kusta lepromatous borderline: Banyak lesi kulit dengan makula (lesi
datar), papula (benjolan), plak, dan nodul, terkadang dengan atau tanpa
anestesia; bentuk ini bisa persisten, mundur atau maju ke bentuk kusta
lepromatous.
Kusta lepromatous: Lesi-lesi awal adalah makula-makula pucat (area-
area datar) yang difus dan simetris; selanjutnya banyak organisme M.
leprae yang bisa ditemukan pada lesi-lesi tersebut; seringkali pasien tidak
memiliki alis atau bulu mata. Seiring berkembangnya penyakit,
keterlibatan saraf mengarah pada area-area yang mati rasa dan keletihan
tungkai; progresi mengarah pada nekrosis aseptik (kematian jaringan
akibat kurangnya suplai darah), leproma (nodul kulit), dan kerusakan
kenampakan banyak area termasuk wajah. Bentuk lepromatous tidak
mundur menjadi bentuk yang kurang parah. Kusta histoid merupakan
sebuah varian klinis kusta lepromatous yang muncul dengan kelompok-
kelompok histiosit (sebuah tipe sel yang terlibat dalam respons inflamatori)
dan zona grenz (sebuah area kolagen yang memisahkan lesi dari jaringan
normal) yang terlihat pada spesimen-spesimen jaringan mikroskopis.
Gejala
Gejala-gejala kusta umumnya muncul tiga sampai lima tahun
setelah seseorang terinfeksi oleh bakteri yang menyebabkan penyakit.
Gejala-gejala ini mencakup:
1. Lesi-lesi kulit yang lebih terang dibanding warna kulit normal; lesi-

2
lesi memiliki sensasi yang berkurang terhadap sentuhan, panas,
atau nyeri dan lesi-lesi tidak sembuh setelah beberapa pekan
hingga beberapa bulan.
2. Mati-rasa atau hilangnya sensasi pada tangan, lengan, kaki, dan
betis;
3. Keletihan otot;
4. Masalah mata;
5. Ruam kulit
6. Kekakuan kulit;

PEMERIKSAAN DAN TES


Banyak tes yang bisa digunakan dalam diagnosis berbagai jenis
kusta. Berbagai tes ini mencakup:
1. Tes kulit lepromin bisa digunakan untuk membedakan kusta
lepromatous dari kusta tuberkuloid, tetapi tidak digunakan untuk
diagnosis.
2. Biopsi lesi kulit.
3. Pemeriksaan gerusan kulit untuk mengetahui keberadaan bakteri
tahan asam.

Pencegahan kusta
Diagnosis dini akan mengurangi gejala-gejala kusta dan
komplikasinya. Pencegahan mencakup:
1. Orang-orang yang memiliki kontak dekat dengan pasien kusta
harus dites untuk kusta;
2. Pemeriksaan tahunan juga harus dilakukan pada orang-orang ini
selama periode lima tahun setelah kontak terakhir mereka dengan
seorang pasien yang terinfeksi;
3. Bedah rekonstruktif ditujukan untuk mencegah dan mengoreksi
deformitas;
4. Perawatan komprehensif melibatkan penyuluhan pasien untuk
mempertahankan kisaran pergerakan pada sendi-sendi jari tangan
dan mencegah deformitas agar tidak terus memburuk;
5. BCG dapat memberikan perlindungan terhadap kusta serta
terhadap tuberkulosis;
6. Berbagai upaya untuk mengatasi kendala pemberantasan penyakit
mencakup pengembangan sistem deteksi, penyuluhan pasien dan
masyarakat tentang kusta sebagai penyakit yang dulu penderitanya
dianggap sebagai orang yang dikutuk Tuhan. Kusta bukan
merupakan penyakit bawaan. Karena tabu yang cukup kuat, pasien
mungkin dipaksa untuk menyembunyikan kondisinya (dan
menghindari pencarian terapi) untuk menghindari diskriminasi.
Kurangnya kesadaran tentang penyakit Hansen bisa mengarah
orang untuk meyakini (secara keliru) bahwa penyakit ini sangat
menular dan tidak bisa disembuhkan.

3
Faktor risiko
Orang yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk
seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang terkontaminasi, dan diet
yang tidak memadai, atau penyakit lain yang mengganggu fungsi imun,
adalah orang-orang yang berisiko paling tinggi untuk mengalami kusta.
Kemungkinan ini karena adanya perbedaan diantara mode imunitas yang
terlibat.

Pengobatan kusta MB
Terapi RFP masih menjadi komponen utama dalam resimen MDT,
dengan membersihkan kebanyakan varian M. leprae yang peka RFP
dengan beberapa dosis bulanan. Baru-baru ini telah ditemukan bahwa
kombinasi dapson dan CLF yang diberikan setiap hari sangat bersifat
bakterisida. Kombinasi ini telah ditemukan sangat efektif pada mutan-
mutan resisten RFP pada seorang pasien kusta MB yang tidak diterapi
dalam 3 sampai 6 bulan. Untuk terapi kusta MB, trial-trial klinis yang
terkontrol dan terpercaya telah menunjukkan bahwa terapi MDT pada
umumnya efektif dalam 24 bulan atau kurang. Pengamatan seperti ini
telah menyebabkan WHO merekomendasikan durasi 12 bulan sebagai
durasi yang berterima untuk resimen MDT dalam pengobatan kusta MB
yang efisien.
Sejumlah kekhawatiran muncul terkait resimen 12-bulan ini untuk
pengobatan pasien dengan indeks bakteriologi yang tinggi. Sejumlah
pengamatan telah menunjukkan bahwa indeks bakteriologi yang tinggi
pada pasien-pasien MB berkorelasi dengan risiko yang tinggi untuk
mengalami reaksi berahaya dan kerusakan saraf selama tahun kedua
pengobatan. Selain itu, indeks bakteriologi yang tinggi pada permulaan
resimen terapi telah dikaitkan tidak hanya dengan rendahnya persentase
pembersihan lesi kulit tetapi juga dengan indeks yang tinggi pada akhir
resimen terapi 12-bulan dibandingkan dengan pasien yang memulai terapi
dengan indeks bakteriologi yang lebih rendah. Akan tetapi, telah
ditemukan bahwa kebanyakan pasien dengan indeks bakteriologi tinggi
akan terus membaik setelah menyelesaikan resimen 12-bulan. Meskipun
demikian, tambahan 12 bulan terapi MDT untuk kusta MB diperlukan bagi
pasien-pasien yang menunjukkan adanya bukti pemburukan kondisi.
Karena kepatuhan terhadap resimen cukup baik, maka
pengurangan periode terapi MDT untuk kusta MB dari 24 menjadi 12
bulan tidak akan mengarah pada risiko yang lebih tinggi untuk mengalami
resistensi terhadap RFP. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa
beberapa dosis RFP mampu membersihkan semua organisme yang
rentan terhadap RFP. Mutan resisten RFP yang terjadi secara alami
sangat sensitif terhadap kombinasi CLF-dan-dapson, dengan menyisakan
sedikit sekali peluang bagi bakteri manapun untuk bertahan hidup setelah
12 dosis terapi MDT.
Prevalensi pasien MB yang memiliki indeks bakteri tinggi telah
mengalami penurunan pada kebanyakan program terapi MDT yang

4
diterapkan. WHO telah memperkirakan proporsi kasus ini diantara kasus-
kasus yang baru dideteksi yaitu kurang dari 15%. Ada bukti yang
menunjukkan bahwa 3 sampai 6 bulan pemberian MDT dapat
membersihkan semua organisme hidup. Selain itu, karena alasan
ketidaktersediaan dan ketidakterpercayaan metode hapusan kulit, maka
semakin banyak program pengendalian kusta yang mengelompokkan
pasien-pasien kusta berdasarkan kriteria klinis saja. Salah faktor yang
paling penting dalam surveilans terapi adalah penentuan pasien dengan
indeks bakteriologi yang tinggi dan mereka yang berisiko tinggi untuk
mengalami reaksi dan neuritis. Surveilans ini sebaiknya dilakukan dengan
metode klinis dan metode bakteriologis. Pasien-pasien yang terpilih
seperti ini bisa tetap di-surveilans selama 1 sampai 2 tahun untuk
mendeteksi pemburukan dan reaksi berbahaya sedini mungkin. Tanda-
tanda pemburukan adalah salah satu indikasi dari diperlukannya
penambahan durasi MDT 12 bulan lagi. Secara umum, reaksi-reaksi
berhasil ditangani dengan prednisolon standar. Salah satu elemen kunci
dari surveilans adalah penyuluhan pasien pada akhir program terapi.
Manfaat program terapi akan terganggu jika pasien tidak mengabaikan
gejala-gejala dan tanda-tanda relaps, dan tidak melaporkannya saat
masih ringan. Pasien-pasien kusta MB yang tidak mendapatkan CLF bisa
diterapi dengan pemberian 24 dosis ROM setiap bulan.

Reaksi kusta dan terapinya


Kusta mempengaruhi semua aspek kehidupan pasien. Reaksi-
reaksinya, yang dikenal dengan istilah “reaksi kusta” mencakup sejumlah
kosekuensi terburuk, kerusakan saraf permanen dan disabilitas.
Untungnya, reaksi-reaksi ini telah perlahan-lahan diketahui dan, jika dapat
dideteksi secara tepat waktu, reaksi-reaksi tersebut pada akhirnya dapat
dicegah. Reaksi-reaksi ini terjadi pada semua kusta PB dan MB (grup B
dan tipe LL), paling umum selama kemoterapi. Kasus PB dan MB (grup B)
mengalami reaksi tipe 1 (reaksi reversal: RR), dan reaksi tipe 2 (eritema
nodosum leprosum: ENL) terjadi pada pasien MB (tipe LL). Beberapa data
tampak menandakan adanya kecenderungan menuju perubahan frekuensi
dan tingkat keparahan ENL pada pasien-pasien kusta MB yang sedang
menjalani terapi MDT. Data-data ini bisa dikaitkan dengan efek anti-
inflamatori CLF. Di sisi lain, peningkatan sementara pelaporan reaksi
reversal (tipe 1) telah ditemukan pada pasien kusta MB di tahun pertama
mendapatkan MDT. Makna sebenarnya dari penemuan ini masih belum
jelas. Salah satu penjelasan yang paling mungkin adalah perbaikan
kapabilitas pendeteksian dini dan spesifik. Biasanya reaksi-reaksi ini
merespon secara memuaskan terhadap prednisolon bersama dengan
thalidomida atau CLF (Tabel 6). Pada kasus dimana terjadi gangguan
permanen, metode rehabilitasi harus diatasi.

Kekambuhan/relaps kusta
Evaluasi efektifitas sebuah resimen kemoterapeutik sangat penting

5
untuk program pengendalian kusta. Salah satu metode evaluasi terbaik
adalah pemantauan relaps setelah menyelesaikan protokol terapi. Data
yang dikumpulkan oleh Action Programme for the Elimination of Leprosy,
WHO, dari beberapa program pengendalian menunjukkan bahwa
persentase relaps sangat rendah (0,1% per tahun untuk PB dan 0,06%
per tahun untuk MB secara rata-rata). Program ini tampak diterima di
seluruh dunia. Salah satu penjelasan yang mungkin untuk tren ini
kemungkinan adalah frekuensi efek samping yang rendah.
Untuk pasien-pasien MB, WHO telah menetapkan 12 bulan atau
lebih durasi MDT sebagai kriteria yang diterima untuk penyembuhan yang
berkesinambungan, dengan perhatian khusus pada penyuluhan. Terkait
dengan ini, penekanan pertama adalah pada perlunya pasien mengetahui
tanda-tanda dan gejala-gejala reaksi dan relaps. Yang tidak kalah
pentingnya adalah kewajiban untuk pelaporan manifestasi paling dini dari
tanda-tanda ini ke pusat-pusat kesehatan yang relevan. Perbaikan
program pengendalian sudah sedemikian rupa sehingga tidak lagi
diperlukan untuk melanjutkan surveilans aktif setelah program-program
MDT. Yang masih harus dilakukan seperti disebutkan sebelumnya adalah
pelaporan setiap kasus baru ke program yang ada bahkan setelah dosis
tunggal terapi MDT.

Efek samping obat


Salah satu risiko terapi kombinasi adalah efek samping kolektif.
Untungnya, efek-efek samping yang dilaporkan di seluruh dunia setelah
penggunaan MDT pada ribuan pasien tetap ringan dan jarang. Akan
tetapi, pengkorelasian reaksi-reaksi berahaya dengan obat MDT individu
harus ditentukan secara jelas. Sikap seperti ini akan membuka jalan untuk
penggunaan obat-obat anti-kusta yang baru. Diantara efek samping yang
kompleks adalah diskolorasi kulit menjadi hitam-kecoklatan yang
ditimbulkan oleh CLF. Kenampakannya dimulai di sekitar bulan ke-tiga.
Penurunan ditemukan sekitar 6 bulan setelah penghentian resimen dan
biasanya sampai 12 bulan kulit telah kembali ke pigmentasi normalnya.
Pada setting iklim kering, gangguan-gangguan biasanya seperti xerosis
bisa menyertai diskolorasi seperti ini. Xerosis bisa ditangani dengan
mudah melalui penggunaan moisturizer. Reduksi keterpaparan sinar
matahari juga dianjurkan.
Dapson kadang-kadang menyebabkan hipersensitifitas kutaneous
atau hematologi sistemik atau efek samping. Pada beberapa pasien PB,
dapson telah berhasil digantikan dengan CLF dengan dosis yang mirip
dengan yang digunakan untuk pasien-pasien MB selama 6 bulan. Jika
dapson harus dihentikan, terapi bisa dilanjutkan pada pasien-pasien MB
dengan RFP dan CLF dengan dosis standar.
RFP bisa digantikan dengan sebuah resimen harian 400 mg OFLX
dan 100 mg MINO dalam kaitannya dengan pemberian 50 mg CLF setiap
hari selama trimester pertama. Resimen ini harus ditindaklanjuti dengan
pemberian 50 mg CLF, 400 mg OFLX atau 100 mg MINO setiap hari untuk

6
18 bulan berikutnya. Resimen ini memerlukan pengawasan langsung di
pusat perujukan.

Kesimpulan
Kusta merupakan sebuah penyakit endemik kronis yang ditandai
dengan luka kulit yang merusak penampilan, kerusakan saraf, dan
debilitasi progresif. Kusta disebabkan oleh bakteri yang mengenai
berbagai bagian tubuh, termasuk khususnya kulit dan saraf periferal.
Masa inkubasi penyakit yang lama dan asimtomatik serta gejala-gejalanya
yang tidak terlihat bisa menyebabkan kesulitan dalam diagnosis kasus
awal dan kasus lanjutan. Diagnostik dini sangat penting untuk
pencegahan deformitas dan disabilitas dan juga sangat penting untuk
kualitas hidup yang lebih baik bagi pasien-pasien yang mengalami kusta.
Penyuluhan masyarakat terkait penyakit ini dan gejala-gejalanya serta
komplikasinya bisa mengurangi risiko penyakit ini untuk menyebar di
masa mendatang; dengan melakukan tindakan-tindakan preventif yang
mendidik masyarakat terkait dengan gejala dan pengobatan kusta.

Anda mungkin juga menyukai