Anda di halaman 1dari 6

Kusta: Sebuah Gambaran Umum Patofisiologi

Abstrak

Kusta, yang juga dikenal sebagai penyakit Hansen, merupakan penyakit


infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, sebuah
mikroorganisme yang memiliki kecenderungan mengenai kulit dan saraf.
Penyakit ini secara klinis ditandai dengan satu atau lebih tanda-tanda
lazim: bercak kulit hipopigmentasi atau eritematosa dengan penurunan
sensasi, saraf perifer yang menebal, dan basilus tahan-asam yang
terdeteksi pada hapusan kulit atau material biopsi. M. leprae sebagian
besar menginfeksi sel Schwann dalam saraf-saraf perifer yang mengarah
pada kerusakan saraf dan terjadinya disabilitas. Meskipun dengan
prevalensi infeksi M. Leprae yang sudah berkurang di negara-negara
endemik setelah diterapkannya program terapi multidrug (MDT) oleh WHO
untuk mengobati kusta, namun persentase pendeteksian kasus-kasus
baru masih cukup tinggi, yang menandakan adanya transmisi aktif.
Kerentanan terhadap mikobakteri dan perjalanan klinis penyakit ini terkait
dengan respons-imun host, yang menyebabkan banyaknya review
imunopatologi terhadap penyakit yang kompleks ini.

1. Pendahuluan
Kusta, yang juga dikenal sebagai penyakit Hansen, merupakan
sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium
leprae, sebuah mikroorganisme yang memiliki kecenderungan mengenai
kulit dan saraf. Meskipun tidak fatal, kusta merupakan salah satu
penyebab neuropati periferal non-traumatuk paling umum di seluruh
dunia. Penyakit ini sudah dikenal manusia sejak zaman kuno. DNA yang
diambil dari sisa-sisa jenazah seorang lelaki yang ditemukan dalam
sebuah makam di samping kota tua Yerusalem menunjukkan bahwa orang
ini kemungkinan merupakan manusia tertua yang terbukti telah menderita
kusta. Sisa-sisa jenazah tersebut berasal dari zaman 1-50 M dengan
metode radiokarbon. Penyakit ini kemungkinan bersumber dari Mesir dan
negara-negara Timur Tengah lainnya sejak 2400 SM. Kurangnya
pengetahuan tentang pengobatan penyakit ini menyebabkannya mudah
menyebar di seluruh dunia. Mycobacterium leprae, yang merupakan agen
penyebab kusta, ditemukan oleh G. H. Armauer Hansen di Norwegia pada
tahun 1873, yang menjadikannya sebagai bakteri pertama yang
diidentifikasi sebagai penyakit penyakit pada manusia. Dalam 20 tahun
terakhir, penerapan terapi MDT dari WHO telah mengurangi infeksi kusta
pada 90% negara endemik dengan kurang dari satu kasus per 10.000
populasi. Meskipun demikian, penyakit ini terus menjadi masalah
kesehatan masyarakat di negara-negara seperti Brazil, Congo,

1
Madagaskar, Mozambik, Nelap, dan Tanzania.
2. Mycobacterium leprae
M. leprae, sebuah basilus tahan-asam, merupakan sebuah patogen
utama pada manusia. Selain pada manusia, kusta juga telah ditemukan
pada armadilo dan tiga spesies primata. Bakteri ini juga bisa dibiakkan
dalam laboratorium melalui injeksi ke dalam tapak-kaki mencit.
Mikobakteri terkenal akan pertumbuhannya yang sangat lambat. Dalam
waktu 14 hari, M. Leprae belum bisa dibiakkan secara in vitro. Genom M.
Leprae telah berhasil disekuensi secara keseluruhan. Genomnya memiliki
kurang dari 50% kapasitas pengkodean dengan jumlah pseudogen yang
besar. Gen-gen M. Leprae lainnya membantu menentukan kumpulan gen
minimal yang diperlukan untuk kelangsungan-hidup patogen mikobakteri
ini secara in vivo serta gen-gen yang berpotensi diperlukan untuk infeksi
dan patogenesis yang ditemukan pada kusta.
M. lepromatosis merupakan mikobakterium yang baru diidentifikasi,
yang diketahui menyebabkan kusta diseminata dengan signifikansi yang
masih belum dipahami dengan baik.

3. Faktor Genetik Penentu Respons Host


Faktor-faktor genetika manusia mempengaruhi akuisisi kusta dan
perjalanan klinis penyakit. Sejumlah penelitian yang meneliti hubungan
polimorfisme nukleotida-tunggal (SNP) menunjukkan alel penghasil
limfotoksin-α (LTA) yang rendah sebagai faktor risiko genetik utama untuk
kusta onset dini. SNP lain yang terkait dengan penyakit dan/atau
terjadinya reaksi pada beberapa gen, seperti reseptor vitamin D (VDR),
TNF-α, IL-10, IFN-γ, gen HLA, dan TLR1 juga telah ditemukan. Penelitian
rangkai-gen telah mengidentifikasi faktor-faktor risiko polimorfis pada
daerah promoter yang dimiliki bersama oleh dua gen: PARK2, yang
mengkodekan Parkin, dan PACRG. Salah satu penelitian juga
menganjurkan bahwa varian-varian genetik NOD2 terkait dengan
kerentanan terhadap kusta dan terjadinya reaksi (tipe I dan tipe II).
4. Penularan
Dua rute keluar M. Leprae dari tubuh manusia yang sering
dilaporkan adalah kulit dan mikosa nasal. Kasus-kasus lepromatous
menunjukkan jumlah organisme yang lebih besar jauh di dalam dermis,
tetapi apakah organisme-organisme tersebut mencapai permukaan kulit
dalam jumlah yang memadai masih meragukan. Walaupun ada sejumlah
laporan tentang basilus tahan-asam yang ditemukan pada epitelium kulit
yang mengalami deskuamasi, ada laporan yang menunjukkan bahwa
tidak ada basilus tahan-asam yang ditemukan dalam epidermis, bahkan
setelah memeriksa banyak spesimen dari pasien dan kontak. Akan tetapi,
jumlah M. Leprae yang cukup besar ditemukan dalam lapisan keratin
superfisial kulit pasien kusta lepromatous, sehingga menandakan bahwa
organisme ini bisa keluar dari tubuh bersama dengan sekresi sebasea.
Kuantitas basilus dari lesi-lesi mukosa nasal pada kusta lepromatous
berkisar antara 10.000 sampai 10.000.000. Kebanyakan pasien-pasien

2
lepromatous menunjukkan basilus kusta dalam sekresi-sekresi nasal
mereka yang dikumpulkan melalui napas hidung. Sekresi nasal dari
pasien-pasien lepromatous bisa menghasilkan sebanyak 10 juta
organisme hidup per hari.
Jalur masuk M. Leprae ke dalam tubuh manusia juga belum
diketahui secara pasti. Kulit dan saluran pernapasan atas memiliki
kemungkinan yang paling besar sebagai jalur masuk; akan tetapi,
penelitian terbaru semakin banyak yang mendukung peranan saluran
pernapasan.
5. Masa Inkubasi
Pengukuran masa inkubasi pada kusta sulit dilakukan karena
kurangnya perlengkapan imunologis yang memadai dan onset penyakit
yang lambat. Masa inkubasi minimum yang dilaporkan adalah beberapa
pekan dan ini didasarkan pada kejadian kusta yang sangat jarang diantara
anak-anak yang masih kecil. Masa inkubasi maksimum dilaporkan hingga
30 tahun, atau lebih, seperti ditemukan diantara para veteran perang yang
diketahui telah terpapar selama periode waktu yang singkat di area-area
endemik tetapi tinggal di area-area yang non-endemik. Umumnya
disepakati bahwa masa inkubasi rata-rata adalah antara tiga sampai 10
tahun.
6. Faktor-Faktor Risiko
Orang yang tinggal di daerah-daerah endemik dengan kondisi yang
buruk seperti tempat tidur yang kurang layak, air yang terkontaminasi, dan
makanan yang tidak terjamin, atau penyakit-penyakit lain yang
mengganggu fungsi imun berisiko paling tinggi untuk mengalami infeksi M.
Leprae. Ada kekhawatiran yang berkembang bahwa ko-infeksi dengan
HIV bisa memperburuk patogenesis lesi-lesi kusta dan/atau mengarah
pada peningkatan kepekaan terhadap kusta seperti yang ditemukan
dengan tuberkulosis. Akan tetapi, infeksi HIV belum dilaporkan
meningkatkan kerentanan terhadap kusta, imbas pada respons imun
terhadap M. Leprae, atau memiliki efek signifikan terhadap patogenesis
lesi-lesi kulit atau neural sampai sekarang. Berbeda dengan itu, inisiasi
terapi antiretroviral telah dilaporkan terkait dengan aktivasi infeksi M.
Leprae sub-klinis dan memburuknya lesi-lesi kusta yang telah ada (reaksi
tipe I) kemungkinan sebagai bagian dari sindrom inflamatori rekonstitusi
imun.
7. Interaksi M. Leprae dengan Sel Schwann dan Makrofage
Sel-sel Schwann merupakan target utama untuk infeksi oleh M.
Leprae yang mengarah pada cidera saraf, demyelinasi, dan disabilitas.
Pengikatan M. Leprae ke sel-sel Schwann memicu eliminasi dan
penurunan daya-hantar aksonal. Telah ditemukan bahwa M. Leprae bisa
menginvasi sel-sel Schwann melalui sebuah protein pengikat lamin
spesifik berbobot 21 kDa selain PGL-1. PGL-1, sebuah gliko-konyugat
unik pada permukaan M. Leprae, mengikat laminin-2, yang mana dapat
menjelaskan mengapa bakteri ini lebih cenderung mengenai saraf-saraf
perifer. Pengidentifikasian reseptor sel-sel Schwann tertargetkan M.

3
Leprae, yakni distroglikan (DG), menunjukkan adanya peran molekul ini
dalam degenerasi saraf dini. Demyelinasi imbas Mycobacterium leprae
adalah sebuah akibat dari ligasi bakterial langsung terhadap reseptor
neuregluin, ErbB2 dan aktivasi Erk1/2, dan selanjutnya pensinyalan dan
proliferasi MAP kinase.
Makrofage merupakan salah satu sel host paling melimpah yang
bersentuhan dengan mikobakteria. Fagositosis M. Leprae oleh makrofage-
makrofage asal monost bisa diperantarai melalui reseptor-reseptor
komplemen CR1 (CD35), CR3 (CD11b/CD18), dan CR4 (CD11c/CD18)
dan diregulasi oleh protein kinase. Tidak adanya respon terhadap M.
Leprae tampak berkorelasi dengan profil sitokin Th2.
8. Klasifikasi Penyakit
Kusta dikelompokkan dalam dua kelompok penyakit dengan transisi
diantara sejumlah bentuk klinis. Kriteria klinis, histopatologis, dan
imunologis menemukan lima bentuk kusta, yaitu: kusta polar tuberkuloid
(TT), tuberkuloid borderline (BT), mid-borderline (BB), lepromatous
borderline (BL), dan kusta polar lepromatous (LL). Pasien dibagi menjadi
dua kelompok untuk tujuan terapi, yaitu: pausibasiler (TT, BT) dan
multibasiler (BB, BL, LL). Selanjutnya dianjurkan bahwa klasifikasi
sebaiknya didasarkan pada jumlah lesi kulit, yakni lima lesi atau kurang
untuk kategori pausibasiler (PB) dan lebih lima lesi untuk kusta
multibasiler (MB).
9. Gambaran Klinis (Tabel 1)
9.1. Kusta indeterminat. Bentuk kusta indeterminat (I) merupakan
pendahulu bagi bentuk-bentuk kusta yang dikenal. Bentuk indeterminat ini
ditandai dengan makula hipopigmentasi dengan permukaan yang halus
dan bersisik. Sensasi pada makul ini bisa terganggu bisa juga tidak. Saraf
yang ada di dekat bercak tersebut bisa menebal tetapi bisa juga tidak.
9.2. Kusta Polineuritik. Dengan hanya memanifestasikan tanda-tanda
neural tanpa ada bukti lesi kulit, kusta polineuritik paling umum ditemukan
di sub-daratan India. Saraf-saraf yang terkena menebal, lunak, atau
keduanya. Keterlibatan saraf secara terlokalisasi bisa membentuk abses
saraf.
9.3. Kusta Histoid. Kusta histoid merupakan kenampakan kusta
multibasiler bakteriologik dan histopatologik yang relatif tidak umum dan
berbeda secara klinis. Kusta ini bisa terjadi sebagai manifestasi utama
penyakit atau sebagai akibat dari resistensi obat sekunder terhadap
dapson setelah monoterapi yang tidak beraturan dan tidak memadai.
Jenis kusta ini menunjukkan banyak nodul dan plak kutaneous utamanya
pada punggung, bokong, wajah, dan tonjolan-tonjolan bertulang.
10. Reaksi-Reaksi Histopatologis
Secara histopatologis, lesi-lesi kulit dari pasien-pasien tuberkuloid
ditandai dengan infiltrat inflamatori yang mengandung granuloma-
granuloma dengan makrofage-makrofage yang jelas, tepitelioid, dan sel-
sel raksasa, serta dominasi sel T CD4+ pada tempat lesi, dengan bakteri
yang rendah atau bahkan tidak ada. Pasien menunjukkan respon imun

4
spesifik terhadap M. Leprae dengan sebuah profil Th1, produksi IFN-γ,
dan tes kulit yang positif (lepromin atau reaksi Mitsuda).
Pasien-pasien lepromatous memiliki beberapa lesi kulit dengan
dominasi sel T CD8+ secara in situ, ketiadaan pembentukan granuloma,
muatan bakteri yang tinggi, dan epidermis yang rata. Jumlah basil dari
pasien lepromatous yang baru didiagnosa bisa mencapai 10 12 bakteri per
gram jaringan. Pasien yang mengalami kusta LL memiliki rasio CD4:CD8
sekitar 1:2 dengan respon tipe Th2 yang dominan dan titer antibodi anti-
M. Leprae yang tinggi. Imunitas berperantara-sel terhadap M. Leprae
memiliki intensitas sedang atau bahkan tidak ada, yang ditandai dengan
tes kulit negatif dan proliferasi limfosit yang berkurang.
11. Reaksi-Reaksi Kusta
Reaksi-reaksi kusta adalah episode-episode inflamasi klinis akut
yang terjadi selama perjalanan kronis penyakit. Reaksi-reaksi ini
menimbulkan masalah tersendiri karena meningkatkan morbiditas akibat
kerusakan saraf bahkan setelah menyelesaikan pengobatan. Reaksi-
reaksi ini dikelompokkan sebagai reaksi tipe I (reaksi reversal; RR) atau
reaksi tipe II (eritema nodosum leprosum; ENL). Reaksi tipe I terjadi pada
pasien borderline (BT, midborderline, dan BL) sedangkan ENL hanya
terjadi pada bentuk BL dan LL. Reaksi-reaksi ini diinterpretasi sebagai
pergeseran status imunologi pasien. Kemoterapi, kehamilan, infeksi yang
terjadi bersamaan, dan stres fisik dan emosional telah diidentifikasi
sebagai faktor predisposisi untuk terjadinya reaksi. Kedua tipe reaksi ini
telah ditemukan menyebabkan neuritis, yang mewakili penyebab utama
deformitas permanen.
Reaksi tipe I ditandai dengan edema dan eritema lesi kulit yang
telah ada sebelumnya, pembentukan lesi kulit baru, neuritis, penurunan
sensorik dan motorik, dan edema tangan, kaki, dan wajah, tetapi gejala-
gejala sistemik termasuk tidak umum. Keberadaan infiltrat inflamatori
dengan dominasi sel T CD4+, makrofage yang jelas dan epidermis yang
menebal telah ditemukan pada RR. Reaksi tipe II ditandai dengan
kemunculan nodul-nodul subkutaneous yang eritematosa dan lunak pada
kulit yang tampak normal, dan sering disertai dengan gejala-gejala
sistemik, seperti demam, tidak enak badan, nodus limfa yang membesar,
anoreksia, penurunan berat badan, arthralgia, dan edema. Organ-organ
lain yang mencakup testis, persendian, mata, dan saraf juga bisa terkena.
Kemungkinan terdapat leukositosis signifikan yang lazimnya surut setelah
keadaan reaksional. Keberadaan kadar sitokin pro-inflamatori yang tinggi
seperti TNF-α, IL-6, dan IL-1β dalam serum pasien-pasien ENL
menandakan bahwa sitokin-sitokin pleiotropik ini bisa bertanggung jawab
atas manifestasi-manifestasi klinis dari reaksi tipe II.
12. Imunologi Reaksi-Reaksi Kusta
Reaksi tipe I merupakan sebuah bentuk respon hipersensitifitas tipe
tertunda yang terjadi secara alami terhadap M. Leprae. Secara klinis,
reaksi ini ditandai dengan “penambahan” gambaran klinis menuju ke kutub
tuberkuloid, yang mencakup penurunan muatan basilus. Secara

5
imunologi, ini ditandai dengan terjadinya reaktifitas tes kulit yang kuat
serta daya-respon limfosit dan respon Th1 yang dominan. Episode-
episode RR telah dikaitkan dengan infiltrasi IFN-γ dan limfosit CD4+
pensekresi TNF pada lesi kulit dan saraf, yang menghasilkan edema dan
inflamasi nyeri. Penanda-penanda imunologi seperti CXCL10 dilaporkan
sebagai alat potensial untuk membedakan RR. Peningkatan staining
FoxP3 yang signifikan ditemukan pada pasien RR dibandingkan dengan
pasien ENL dan pasien dengan kusta non-reaksional, sehingga
mengindikasikan adanya peranan sel T regulator dalam terjadinya RR.
Patogenesis reaksi tipe II dianggap terkait dengan deposisi
kompleks-kompleks imun. Kadar TNF-α, IL-1β, IFN-γ, dan sitokin-sitokin
lain yang meningkat pada reaksi-reaksi tipe I telah ditemukan dalam
sejumlah penelitian. Selain itu, protein C-reaktif, protein amiloid A, dan
antitripsin α-1 juga telah dilaporkan meningkat pada serum pasien-pasien
ENL. Infiltrat sel-sel polimorfonuklear (PMN) yang masif dalam lesi hanya
ditemukan selama ENL dan beberapa pasien menunjukkan jumlah
neutrofil yang tinggi dalam darah. Neutrofil bisa berkontribusi bagi
banyaknya produksi TNF yang terkait dengan kerusakan jaringan pada
kusta. Yang lebih terbaru, analisis mikroarai menunjukkan bahwa
mekanisme perekrutan neutrofil pada ENL melibatkan peningkatan
ekspresi E-selektin dan IL-1β, yang kemungkinan mengarah pada adhesi
neutrofil ke sel-sel endotelium; lagi, sebuah efek thalidomida terhadap
fungsi PMN ditemukan karena obat ini menghambat jalur perekrutan
neutrofil. Secara bersama-sama, data-data ini menyoroti beberapa
mekanisme yang bisa terlibat dalam terjadinya efikasi thalidomida dalam
pengobatan reaksi tipe II. TNF-α bisa memperbesar respon imun terhadap
eliminasi patogen dan/atau memediasi manifestasi-manifestasi patologik
dari penyakit. TNF-α bisa diinduksi setelah stimulasi sel dengan M. Lerpae
utuh atau komponen M. Leprae, yakni, lipoarabinomannan (komponen
mirip “lipopolisakarida” mikobakteri”) sebuah penginduksi TNF poten.
Selain itu, kompleks mikolil-arabinogalaktan dari spesies Mycobacterium,
kompleks protein-peptidoglikan, dan muramil dipeptida semuanya
menimbulkan pelepasan TNF-α yang signifikan.

Anda mungkin juga menyukai