Analisis Yuridis Pembatalan Hak Atas Tanah Di Kantor Pertanahan Kota Medan
Analisis Yuridis Pembatalan Hak Atas Tanah Di Kantor Pertanahan Kota Medan
TESIS
Oleh
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Dewi Purnama Julianti : Analisis Yuridis Pembatalan Hak Atas Tanah Di Kantor Pertanahan Kota Medan, 2009
2
TESIS
Oleh
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
3
Menyetujui
Komisi Pembimbing
ABSTRAK
ABSTRACT
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT Penulis panjatkan yang telah memberi
kemudahan sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis ini yang berjudul
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam
Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis
2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH, MS, CN, selaku Ketua Program
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum, selaku Sekretaris Program
5. Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn, selaku dosen pembimbing yang telah
6. Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn, selaku dosen penguji yang telah
7. Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, MHum, selaku dosen penguji yang telah
8. Bapak-bapak dan Ibu-ibu staf pengajar serta para karyawan di Program Studi
9. Kepada yang terhormat dan terkasih kedua orang tuaku H. Abd. Djalil Siregar,
SH dan Hj. Hartaty Harahap sebagai orang tua terbaik yang selalu tulus, sabar
dan tabah dalam segala hal dari dulu, sekarang, esok dan seterusnya menjadi
Rajamin Siregar, SH, dan Muhammad Pandapotan Siregar, SH, kakak- kakak
iparku Liza Mayanti Hasibuan, SS, Marlina Agustina Harahap, S.Hut, Spd, Sri
Naila “Kokong”, Hania, Tasya, terima kasih yang tulus buat doa, semangat dan
semoga kekompakan kita terjaga selalu. Temanku Lenny Mutiara Ambarita, Sri
Puspita Dewi terima kasih atas bantuannya sehingga tesis ini dapat selesai. Tak
lupa kuucapkan terima kasih yang setulusnya kepada dosen dan teman-teman
alumni STPN 1999 atas dukungannya terutama Bapak Hasan Basri Nata
Menggala, Seti Kuncoro, Aries “Ences”, Umron Ridho, Aan Rosmana semoga
sehingga Penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini. Penulis
menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan semoga tesis ini
Penulis,
RIWAYAT HIDUP
I. Identitas Pribadi
Agama : Islam
II. Keluarga
III. Pendidikan
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ....................................................................................................... i
ABSTRACT ..................................................................................................... ii
2. Konsepsi.............................................................................. 35
G. Metode Penelitian...................................................................... 37
3. Sumber Data........................................................................ 38
5. Analisis Data....................................................................... 39
12
A. Kesimpulan................................................................................. 106
B. Saran.......................................................................................... 108
DAFTAR TABEL
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bagi bangsa Indonesia bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung
sebagai permukaan bumi serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya sangat
dibutuhkan oleh setiap manusia baik sebagai tempat tinggal maupun sebagai sumber
kehidupan, dengan kata lain manusia secara langsung atau tidak langsung selalu
budaya dan sebagainya. Akan tetapi tingkat kebutuhan masyarakat yang semakin
tinggi akan tanah, yang jumlahnya relatif tetap, menimbulkan banyak benturan
faktor-faktor sosial, ekonomi, politik, maupun budaya, harus segera ditangani karena
bila tidak dilaksanakan secara cepat dan tepat justru akan menempatkan pada posisi
Kondisi yang counter productive inilah yang disadari oleh semua pihak agar
ke depan masalah pertanahan ditangani dan dikelola secara lebih profesional sehingga
aspek manusia dengan tanah adalah hubungan hukum antara manusia dengan tanah
itu sendiri, baik dalam tatanan masyarakat tradisional maupun masyarakat modern.
atas tanah. Kepastian hukum hak atas tanah merupakan titik tolak bagi penanganan
maupun pengelolaan masalah pertanahan sehingga tanah itu sendiri memiliki nilai
diseluruh wilayah Indonesia agar diperoleh administrasi pertanahan yang baik yang
dapat menjadi sumber data yang akurat apabila terjadi permasalahan di bidang
pertanahan.
hukum, akan tetapi di dalam kenyataannya pendaftaran tanah ini hanyalah bersifat
permohonan hak dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik melalui akta otentik,
dibawah tangan dan sebagainya. Sehingga tidak tertutup kemungkinan adanya fakta
lain yang tidak terungkap pada saat proses pendaftarannya. Kemungkinan ini dapat
1
Kurdianto Sarah, Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Pemberdayaan Hak-Hak Rakyat
Atas Tanah, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Keagrarian Dies XXIX KMTG FT-UGM,
Yogyakarta tanggal 2-12-1999.
16
Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dengan terbitnya sertipikat, yang
Peradilan Tata Usaha Negara sesuai dengan materi gugatan dan kompetensi masing-
status hukum terhadap subjek maupun objek bidang tanah yang digugat tersebut.
Apabila pemberian hak atas tanah oleh pejabat yang berwenang dirasa merugikan
maka dalam gugatan dapat diminta untuk dibatalkan, hal ini dimungkinkan karena
sistem pendaftaran tanah yang dianut di Indonesia yaitu sistem negatif bertendensi
positif yang berarti pemegang hak yang sebenarnya dilindungi dari tindakan orang
lain yang mengalihkan haknya tanpa diketahui oleh pemegang hak sebenarnya. Ciri
pokok dari sistem negatif bertendensi positif ini adalah pendaftaran tanah tidak
menjamin bahwa nama-nama yang terdaftar adalah pemilik sebenarnya. Nama dari
pemegang hak sebelumnya dari mana pemohon hak memperoleh tanah tersebut untuk
2
Chadijah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahnnya,
(Medan: Universitas Sumatera Utara, edisi revisi 2005), hal. 168.
3
A.P.Parlindungan, Pendaftaran Tanah dan Konversi Hak-Hak Atas Tanah Menurut UUPA,
(Bandung : Alumni, 1985), hal 37
17
tanah, disediakan sarana korektif yaitu melalui proses pembatalan hak atas tanah.
Pembatalan hak atas tanah pada hakikatnya adalah pembatalan surat keputusan
pemberian hak atas tanah dan atau sertipikat yang diterbitkan sebagai bukti yang kuat
sehingga tanah tersebut kembali statusnya menjadi tanah negara. Pembatalan hak atas
pemberian hak atas tanah maupun untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah
Salah satu amar putusan pengadilan antara lain berisi perintah untuk
membatalkan sertipikat hak atas tanah dan terhadap putusan in, secara administratif,
harus ditindak lanjuti oleh pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional
atas tanah yang serta merta membatalkan sertipikat hak atas tanah. Mengenai
kewenangan, tata cara serta prosedur penerbitan surat keputusan pembatalan surat
keputusan pemberian hak atas tanah telah diatur dalam beberapa peraturan tertulis
antara lain yang paling pokok adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala
Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara, Peraturan Menteri Negara
Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara
Pemberian dan Pembatalan Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, serta Petunjuk
Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah/Pendaftaran/ Sertipikat Hak Atas Tanah.
18
Namun kenyataannya selama ini pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan
pemberian hak atas tanah padahal putusan pengadilan mengenai pembatalan sertipikat
relatif banyak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa putusan
membatalkan sertipikat adalah cukup banyak, akan tetapi sampai sekarang dari sekian
banyak putusan pengadilan yang memenangkan pihak penggugat di Kota Medan dan
telah diajukan ke Badan Pertanahan Nasional Pusat belum ada satupun keputusan dari
Fakta ini sangat menarik karena pengaturan mengenai pembatalan hak atas
disebutkan diatas, yang secara konseptual teoritis relatif komprehensif dan mudah
untuk dilaksanakan akan tetapi mengapa dalam tataran praktika empirik sulit
direalisasikan. Berdasarkan fakta ini diyakini masih terdapat kendala maupun celah
hukum yang menyebabkan proses penerbitan surat keputusan pembatalan hak atas
tanah tersebut tidak mudah didapatkan dan memakan waktu yang cukup panjang. Hal
inilah yang perlu diteliti dan ditelusuri sehingga nantinya dapat diperoleh gambaran
yang jelas dimana letak titik krusial yang harus diluruskan demi kelancaran proses
4
Suriyati Tanjung, Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah dan Perlindungan Pihak Ketiga
yang Beritikad Baik (Studi Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Medan), tesis, Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara, 2006, hal.117
19
B. Perumusan Masalah
tanah?
C. Tujuan Penelitian
Bertitik tolak dari perumusan masalah diatas, maka penulisan tesis ini
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh berbagai pihak yang
membutuhkan sebagai bahan kajian lebih lanjut mengenai proses pembatalan hak
atas tanah yang benar dan sah menurut peraturan perundang-undangan serta
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi para akademisi sebagai bahan
E. Keaslian Penulisan
Utara, ternyata penelitian ini belum pernah dilakukan, adapun penelitian terkait
dengan pembatalan sertipikat hak atas tanah adalah yang berjudul : “Pembatalan
Sertipikat Hak Atas Tanah Dan Perlindungan Pihak Ketiga Yang Beritikad Baik
(Studi Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Medan)”. Penelitian ini dilakukan oleh
Suriyati Tanjung, salah seorang mahasiswa pada Sekolah Pascasarjana Program Studi
1. Faktor-faktor apa saja yang mengakibatkan sertipikat hak atas tanah sebagai alat
beritikad baik, dalam hal sertipikat hak atas tanah dibatalkan oleh Pengadilan dan
konsekwensi hukumnya?
Apabila ditinjau dari latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan
sebelumnya terlihat perbedaan titik tolak dan sudut pandang antara penelitian
dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Sehingga diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat saling melengkapi.
1. Kerangka Teori
Teori berasal dari kata “theoria” dalam bahasa Latin berarti perenungan, yang
pada gilirannya berasal dari kata “thea” dalam bahasa Yunani yang secara hakiki
a. Soetandyo Wignjosoebroto :
“Teori adalah suatu konstruksi di alam cita atau ide manusia, dibangun dengan
pengalaman.” 6
5
Otje Salman, Anthon F. Susanto, Teori Hukum, (Bandung, Refika Aditama, 2007), hal.21.
6
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya,
ELSAM-HUMA, Jakarta, 2002, hal. 184.
22
b. Pred N. Kerlinger :
itu.” 7
bagi semua ahli, teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang di samping
mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja
hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum.” 8
unsur idiel dan unsur riel sehingga menghasilkan kaidah-kaidah hukum dan tata
hukum. Oleh karena itu penelitian normatif ini bertitik tolak dari bidang-bidang tata
undangan tertentu. 10
7
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, ,(Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), hal.14.
8
Otje Salman, Anthon F. Susanto, Op.cit, hal.23.
9
http://staf.ui.edu/internal
10
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta : PT. Raja Grafindo 2006), hal 15.
23
merupakan hal yang sangat mendasar dan asasi yang dijamin dan dilindungi
keberadaannya oleh konstitusi khususnya Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 disebutkan
bahwa: “ Bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
(3) UUD 1945 ini memberikan dasar bagi lahirnya kewenangan sebagaimana diatur
dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
pertanahan.
1. Meletakkan dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang merupakan alat
rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
24
1. Tentang kewenangan
1. Kewenangan
kemakmuran rakyat.
11
Penjelasan Undang-undang Nomor5 Tahun 1960 tentang UUPA
12
P.Suryosuwarno, Tinjauan Hukum Dalam Mengantisipasi Perbedaan Kepentingan dan
Masalah Keagrariaan Dalam Otonomi Daerah, Makalah diajukan dalam Seminar Nasional Agraria di
Yogyakarta tanggal 2 Desember 1999.
25
2. Penguasaan Tanah
khususnya ayat (3) yaitu agar tanah itu digunakan untuk hal-hal yang mendatangkan
sebesar-besar kemakmuran rakyat, agar orientasi ini tercapai maka diatur juga dalam
beberapa pasal dalam UUPA mengenai penguasaan tanah ini yaitu Pasal
4,7,9,10,11,12,13,17, dan 18 yang mengamanatkan apa yang boleh dan yang tidak
c. Pengusaan sepenuhnya (Hak Milik) hanya boleh bagi Warga Negara Indonesia.
e. Tata cara penguasaan tanah oleh pelbagai suku/ masyarakat adat akan
diperhatikan dan perhatian juga diberikan bagi penguasa tanah yang tergolong
ekonomi lemah.
kepentingan nasional.
3. Penggunaan Tanah
kemakmuran rakyat.
tanah.
dengan penguasaannya, dan sebaliknya penguasaan tanah tidak dapat dipisahkan dari
penggunaannya.
4. Administrasi Pertanahan
a. Perlu adanya keseragaman hak-hak atas tanah yang dapat dikuasai baik oleh
lain adalah pengejewantahan cita bangsa yang diamanatkan dalam konstitusi yaitu
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, merupakan aturan dasar yang menjadi pegangan semua
undang Pokok Agraria tidak mengatur tanah dalam segala aspek dan dimensi tapi
hanyalah mengenai aspek hukum tanah sebagai permukaan bumi yang tidak terlepas
“Hukum Tanah bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya akan tetapi hanya
mengatur salah satu aspek yuridisnya yang disebut hak-hak penguasaan atas tanah.” 13
hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional kita yaitu : 14
1. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal 1, sebagai hak penguasaan atas
2. Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalam Pasal 2, semata-mata beraspek
publik.
3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam Pasal 3, beraspek
13
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Djambatan, 1997), hal.16
14
Ibid, hal.22
28
a. Hak Hak Atas Tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara
lansung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa, yang disebut
c. Hak Jaminan Atas Tanah yang disebut “Hak Tanggungan” dalam Pasal
Hak-Hak Atas Tanah sebagai lembaga hukum telah ditentukan dalam Pasal 16
ayat (1) UUPA yang dibedakan berdasarkan kewenangan yang diberikan pada
1. Hak Milik
4. Hak Pakai
5. Hak Sewa
8. Hak-Hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan
Hak-hak penguasaan atas tanah tersebut diatas meliputi aspek publik dan
perdata yang didalamnya terdapat kewenangan sekaligus kewajiban dan larangan bagi
pemegangnya.
29
benda dalam buku II KUHPerdata sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam
hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya Undang-undang ini dengan
mengingat Pasal 57 (diktum memutuskan angka 4). 15 Ini berarti bahwa Undang-
undang Pokok Agraria memiliki aspek-aspek perdata karena mengatur beberapa hak
individual hanya mengandung aspek perdata saja artinya hanya meliputi hubungan
antara subjek hak baik perorangan maupun badan hukum perdata serta Pemerintah
yang menguasai tanah untuk keperluan memenuhi kebutuhan dan atau melaksanakan
tugasnya masing-masing.” 17
hak-hak dan kewajiban–kewajiban yang berkenaan dengan tanah yang dimiliki dan
15
Hak-hak kebendaan yang sudah dicabut dalam buku II KUHPerdata, yang diatur dalam
Undang-undang Pokok Agraria, sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung
didalamnya, tidak lagi termasuk dalam lapangan keperdataan melainkan menjadi objek dari hukum
yang lain yaitu hukum agraria. (Sri Soedewi Masjchoen Sofyan, Hukum Perdata, Hukum Benda,
(Yogyakarta : Liberty 1981), hal.29
16
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, (Bandung : Alumni,
1983), hal.32.
17
Boedi Harsono, Op.cit, hal.28, Sedangkan ketentuan-ketentuan tanah yang beraspek publik
meliputi bidang legislatif, eksekutif/administratif dan yudikatif yang kegiatannya dilakukan oleh
Negara sebagai Badan Penguasa
30
b. Pendaftaran Tanah
awalnya berasal dari hak adat yang bersifat hak bersama semacam hak ulayat, kecil
sebagai hak yang utuh dengan segala kewenangan yang diatur oleh peraturan
perundangan dan konsekuensinya pada sipemilik harus ada jaminan atas pelaksanaan
hak tersebut dan pemanfaatannya sesuai dengan fungsinya serta terjamin status
haknya sesuai dengan nama hak-hak atas tanah sebagaimana di dalam Pasal 16
UUPA yang dijabarkan lebih lanjut eksistensinya dari Pasal 20 hingga 43 UUPA. 19
Untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah maka oleh pemerintah
Pasal 19 ayat (1) sebagai dasar pelaksanaan pendaftaran tanah yang menyebutkan
seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan
Pemerintah. 20
18
Ibid, hal 16. bandingkan dengan Lichfield, Nathaniel and Darim-Drabkin, Haim, Land
Policy in Planning, (London : George Allen & Unwin Ltd, 1980), hal 13.
19
Mhd.Yamin Lubis dan Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung : Mandar
Maju, 2008), hal.97
20
Ibid, hal.81
31
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah disebutkan di dalam Pasal 1 angka 1 yaitu:
dua yaitu pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran
tanah . Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang
Nomor 10 Tahun 1961 atau PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar
tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertipikat karena adanya perubahan-
21
Boedi Harsono,Op.cit, hal 72.
32
2. Bidang Yuridis, yaitu pendaftaran hak-hak atas tanah, peralihan hak dan
pendaftaran atau pencatatan dari hak-hak lain ( baik hak atas tanah maupun
memberikan jaminan kepastian hukum hak atas tanah . Secara garis besar tujuan
1997, yaitu:
pemegang hak atas bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang
22
Dalam kenyataannya pendaftaran tanah yang dilakukan berdasarkan PP 10/1961 ersebut
selama lebih dari 30 tahun belum cukup memberikan hasil yang memuaskan. Dari sekitar 55 juta
bidang tanah yang memenuhi syarat untuk didaftarkan baru lebih kurang 16,3 juta bidang yang sudah
didaftar.
33
penyimpanan dan penyajian data yuridisnya serta bentuk tanda bukti haknya.” 24
Menurut Boedi Harsono sistem pendaftaran tanah ada 2 (dua) macam, yaitu sistem
title). Baik dalam sistem pendaftaran akta maupun sistem pendaftaran hak, setiap
pemberian atau penciptaan hak baru, peralihan serta pembebanannya dengan hak lain,
Pada sistem pendaftaran akta, akta-akta itulah yang didaftarkan oleh pejabat
pendaftaran tanah. Dalam sistem ini pejabatnya bersifat pasif sehingga ia tidak
melakukan penyelidikan data yang tercantum dalam akta yang didaftar. Maka dalam
23
Ibid.
24
Ibid, hal 75.
34
sistem ini data yuridis yang diperlukan harus dicari dalam akta-akta yang
bersangkutan. Untuk memperoleh data yuridis yang diperlukan harus melakukan apa
yang disebut “title search” yang dapat memakan waktu lama dan biaya besar.
Pada sistem pendaftaran hak, bukan aktanya yang didaftar, melainkan haknya
suatu daftar isian (register), atau disebut juga buku tanah. Buku tanah ini disimpan di
kantor pertanahan dan terbuka untuk umum. Dalam sistem ini pejabat pendaftaran
tanah bersikap aktif dan sebagai tanda bukti hak diterbitkan sertipikat yang
digunakan pada suatu negara. Untuk itu perlu dibahas juga stelsel publikasi dalam
25
Ibid, hal 79.
35
Maka apa yang tercantum dalam buku tanah dan sertipikat yang dikeluarkan
merupakan alat pembuktian yang mutlak. Pihak ketiga yang mempunyai bukti dan
beritikad baik yang bertindak atas dasar bukti tersebut mendapat perlindungan mutlak
selesainya dilakukan pendaftaran atas nama penerima hak, pemegang hak yang
sebenarnya menjadi kehilangan haknya. 26 Pihak ketiga yang merasa dirugikan harus
1. Sistem ini menjamin sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah
tidak dapat dibantah, walaupun ia ternyata bukan pemilik tanah yang sebenarnya.
Jadi sistem ini memberikan kepercayaan yang mutlak pada buku tanah.
2. Pejabat-pejabat pertanahan dalam sistem ini memainkan peranan yang aktif, yaitu
menyelidiki apakah hak atas tanah yang dipindah itu dapat didaftar atau tidak, dan
3. Menurut sistem ini, hubungan antara hak dari orang yang namanya tercantum
dalam buku tanah dengan pemberi hak sebelumnya terputus sejak hak tersebut
didaftarkan.
26
Ibid, hal 80.
27
Bachtiar Effendi, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya,
(Bandung : Alumni 1983), hal.3.
36
1. Menjamin dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah tidak
dapat dibantah walaupun ia ternyata bukan pemilik yang berhak. Atau kepada
2. Pejabat balik nama memainkan peranan yang sangat aktif. Mereka menyelidiki
bahwa hak yang didaftar itu dapat di daftar, apakah formalitas-formalitas yang
diperlukan telah dipenuhi atau tidak, serta identitas para pihak memang orang
yang berwenang.
1. Peranan aktif pejabat-pejabat balik nama akan memakan waktu yang lama.
2. Pemilik yang berhak dapat kehilangan haknya diluar kesalahannya dan diluar
perbuatannya.
administratif.
Menurut stelsel ini Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan
dalam sertipikat, oleh karena itu seseorang yang telah tertulis namanya dalam
sertipikat adalah mutlak sebagai pemilik. 30 Dalam sistem pubikasi negatif bukan
28
Mhd.Yamin Lubis dan Rahim Lubis, Op.cit, hal.173.
29
Ibid.
30
Ibid, hal. 172
37
memperoleh tanah dari pihak yang tidak berhak, menjadi pemegang haknya yang
baru. 31
Jadi jaminan perlindungan yang diberikan oleh stelsel publikasi negatif ini
tidak bersifat mutlak seperti halnya stelsel publikasi positif. Selalu ada kemungkinan
adanya gugatan dari pihak lain yang dapat membuktikan bahwa dialah pemegang hak
yang sebenarnya.
1. Pendaftaran hak atas tanah tidak menjamin bahwa nama yang terdaftar dalam
buku tanah tidak dapat dibantah jika ternyata dikemudian hari diketahui bahwa ia
bukan pemilik sebenarnya. Hak dari mana yang terdaftar ditentukan oleh hak dari
pemberi hak sebelumnya, jadi perolehan hak tersebut merupakan mata rantai
Kebaikan dari stelsel publikasi negatif ini yaitu adanya perlindungan kepada
pemegang hak sejati. Pendaftaran tanah juga dapat dilakukan lebih cepat karena
31
Boedi Harsono, Op.cit, hal 80
32
Mhd.Yamin Lubis dan Rahim Lubis, Loc.cit.
38
Stelsel publikasi yang digunakan dalam UUPA adalah stelsel negatif yang
mengandung unsur positif karena berdasarkan Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 32 ayat
(3) dan Pasal 38 UUPA akan menghasilkan surat tanda bukti hak yang berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat. Kata “kuat” berarti tidak mutlak , sehingga
kekuatan hukum dan diterima sebagai keterangan yang benar sepanjang tidak ada
pihak lain yang membuktikan sebaliknya dengan alat bukti lain bahwa sertipikat
tersebut tidak benar. Untuk memenuhi unsur positip maka pemerintah sebagai
penyelenggara pendaftaran tanah harus berusaha agar sejauh mungkin dapat disajikan
bahwa dalam Peraturan Pemerintah ini tetap mempertahankan sistem publikasi tanah
yang dipergunakan UUPA, yaitu sistem negatif yang mengandung unsur positif.
Unsur positif dalam Peraturan Pemerintah ini tampak jelas dengan adanya upaya
untuk sejauh mungkin memperoleh data yang benar, yaitu dengan diaturnya secara
rinci dan seksama prosedur pengumpulan data yang diperlukan untuk pendaftaran
tanah, pembuatan peta-peta pendaftaran tanah dan surat ukurnya, pembuktian hak,
penyimpanan dan penyajian data dalam buku tanah, penerbitan sertipikat serta
pendaftaran hak (registration of titel). Hal ini terlihat dengan adanya buku tanah yang
memuat data fisik dan data yuridis tanah yang bersangkutan dan diterbitkan sertipikat
sebagai tanda bukti hak atas tanah. Ini menunjukkan bahwa Peraturan Pemerintah
unsur positif. Pengertian negatif disini adalah apabila keterangan di dalam surat
tanda bukti hak itu ternyata tidak benar, maka masih bisa diadakan perubahan dan
dibetulkan. Sedangkan pengertian unsur positif yaitu adanya peran aktif dari pejabat
menggunakan sistem pendaftaran hak seperti yang dianut oleh negara-negara yang
atau adverse possession, akan tetapi karena UUPA menggunakan dasar hukum adat
maka hukum tanah nasional tidak mengenal lembaga ini, yang dikenal lembaga
kehilangan haknya atas tanah yang semula dimiliki, kalau tanah yang bersangkutan
selama waktu yang relatif lama tidak diusahakan oleh pemegang haknya dan dikuasai
33
Boedi Harsono, Op.cit, hal 65.
40
Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikatnya secara sah
atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan
itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa
mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak
tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu
telah tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat
dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan
gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat
tersebut.
berlaku karena terdapat sejumlah hal yang tidak jelas yaitu ratio penentuan lampau
waktu 5 (lima) tahun kehilangan hak untuk menggugat dan perhitungan lampau
waktu dimulai sejak sertipikat terbit yang overlapping dengan ketentuan pasal 55
Kenyataan ini dapat dimaklumi karena lembaga rechtsverwerking berasal dari sistem
hukum adat yang bersumber dari hukum yang tidak tertulis, oleh karena itu
keefektifannya tergantung pada hakim sebagai pemutus perkara para pihak yang
perkaranya. 35
34
Z.A. Sangadji, Kompetensi Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara,
dalam Gugatan Pembatalan Sertipikat Tanah, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal.39.
35
Mhd.Yamin Lubis dan Rahim Lubis, Op.cit, hal.150.
41
sertipikat hak atas tanah. Dari rangkaian kegiatan pendaftaran tanah, maka setelah
diproses sesuai ketentuan yang berlaku dikeluarkanlah tanda bukti hak atas tanah
yang telah didaftar tersebut yaitu berupa sertipikat. Jadi dapat dikatakan bahwa
sertipikat adalah surat keterangan yang membuktikan hak seseorang atas sebidang
tanah, atau dengan kata lain keadaan tersebut menyatakan bahwa ada seseorang yang
memiliki bidang-bidang tanah tertentu dan pemilikan itu mempunyai bukti yang kuat
Mengenai hapusnya hak atas tanah dirumuskan dalam Pasal 52 ayat (1) PP 24
Pendaftaran hapusnya suatu hak atas tanah, hak pengelolaan, dan hak milik
atas satuan rumah susun dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan dengan
membubuhkan catatan pada buku tanah dan surat ukur serta memusnahkan
sertipikat hak yang bersangkutan, berdasarkan:
a. Data dalam buku tanah yang disimpan di Kantor Pertanahan, jika
mengenai hak-hak yang dibatasi masa berlakunya;
b. Salinan surat keputusan pejabat yang berwenang, bahwa hak yang
bersangkutan telah dibatalkan atau dicabut;
c. Akta yang menyatakan bahwa hak yang bersangkutan telah dilepaskan
oleh pemegang hakya.
seseorang atau badan hukum dalam suatu sertipikat hak atas tanah secara otomatis
36
Ibid, hal. 204
42
diterbitkanlah sertipikat hak atas tanah, sesuai dengan jenis-jenisnya telah ditentukan
dalam UUPA, sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah seseorang atau badan hukum.
Kepemilikan hak atas tanah yang dibuktikan dengan sertipikat tersebut kemungkinan
masih dapat berakhir dengan berbagai sebab. Oleh karena itu maka pembuat Undang-
undang telah memikirkan kemungkinan berakhirnya kepemilikan hak atas tanah bagi
pemegangnya yang dalam terminologi UUPA dikenal dengan hapusnya hak-hak atas
tanah. 38
Pasal 21, Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 UUPA yaitu:
d. Karena ditelantarkan;
37
. Chandra, Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Sertipikat Hak Atas Tanah
(Studi Kasus: Kepemilikan Hak Atas Tanah Terdaftar yang Berpotensi Hapus di Kota Medan), Medan,
Pustaka Bangsa Press, 2006, hal.20.
38
Ibid
39
Ibid, hal.21
43
intestat;
f. Karena peralihan hak akibat perbuatan hukum seperti jual beli, tukar
Merupakan berakhirnya tanggung jawab Negara terhadap hak atas tanah yang
bersangkutan, yaitu:
pengadilan;
c. Hapusnya hak atas tanah karena tanahnya musnah akibat bencana alam.
Seperti telah diuraikan diatas, bahwa sertipikat sebagai tanda bukti hak hanya
bersifat kuat dan bukan mutlak. Hal ini merupakan konsekuensi dari pemilihan stelsel
negatif bertendensi positif dalam UUPA, oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan
pemegang hak dalam sertipikat hak atas tanah menghadapi gugatan pihak lain, yang
44
Sasaran gugatan antara lain berupa tuntutan pembatalan atau tidak mempunyai
mengikat peralihan atau balik nama sertipikat tanah atau pencabutan sertipikat
tanah. 40
Dalam UUPA, pembatalan hak atas tanah merupakan salah satu sebab
hapusnya hak atas tanah tersebut. Apabila telah diterbitkan keputusan pembatalan hak
atas tanah, baik karena adanya cacat hukum administrasi maupun untuk
melaksanakan putusan pengadilan, maka haknya demi hukum hapus dan status
a. Kesalahan prosedur
40
Z.A. Sangadji, Op.cit, hal. 38
41
Mhd.Yamin Lubis dan Rahim Lubis, Op.cit, hal. 320
45
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap harus melalui
Dalam ilmu hukum dikenal ajaran mengenai kebatalan yaitu kebatalan mutlak
(absolute nietigheid) dan kebatalan nisbi (relatief nietigheid). Pembedaan kedua jenis
kebatalan ini terkait dengan akibat yang dapat muncul dari hubungan hukum yang
tercipta. 42
1) Kebatalan mutlak dari suatu perbuatan atau juga disebut dengan batal demi
hukum.
Suatu perbuatan hukum harus dianggap batal meskipun tidak ada pihak yang
mengajukan pembatalan atau tidak perlu dituntut secara tegas. Perjanjian yang
batal demi hukum harus dianggap perjanjian tesebut tidak pernah ada.
syarat sah keputusan Tata Usaha Negara maka keputusan demikian berakibat
42
Hasan Basri Nata Menggala dan Sarjita, Pembatalan dan Kebatalan Hak Atas Tanah,
Yogyakarta, Tugujogia Pustaka, 2005, hal.58.
43
Ibid
46
a. Batal atas kekuatan sendiri (nietig van rechswege), dimana kepada hakim
lain-lain.
Ajaran kebatalan dalam konteks pemberian hak atas tanah menentukan status
hak penguasaan atas tanah. Apabila permohonan pemberian hak atas tanah
dapat dibuktikan gugatan keabsahan suatu perbuatan hukum tersebut benar maka
hakim akan memutuskan menyatakan batal hubungan hukum yang telah terjadi yang
pemberian hak atas tanah dan/ atau sertipikat hak atas tanah.
Mengenai kebatalan mutlak pada dasarnya juga dianut dalam Hukum Tanah
Nasional. Hal ini ditunjukkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, yaitu
47
dengan menggunakan istilah hapusnya hak karena hukum. Hapusnya hak karena
hukum maka atas tanah tersebut kembali kepada kondisi semula misalnya Hak Guna
Usah menjadi Tanah Negara (Pasal 3 ayat (2) ). Norma yang terkandung dalam Pasal
27, Pasal 34, dan Pasal 40 UUPA juga dapat dikatakan sebagai pelaksanaan prinsip
ajaran kebatalan mutlak karena berakibat hapusnya hak atas tanah yang bersangkutan.
Sertipikat hak atas tanah dikeluarkan pemerintah dalam hal ini Badan
Pertanahan Nasional selaku Badan Tata Usaha Negara ditujukan kepada seseorang
atau badan hukum (konkret, individual) yang menimbulkan akibat hukum pemilikan
atas sebidang tanah yang tidak memerlukan persetujuan lebih lanjut dari instansi
atasan atau instansi lain (final). Dengan demikian sertipikat hak atas tanah memiliki
sisi ganda, pada satu sisi sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan di sisi
lain sebagai Tanda Bukti Hak Keperdataan (kepemilikan) seseorang atau badan
Oleh karena itu ada 2 (dua) badan peradilan yang berwenang memeriksa
perkara dengan objek gugatan sertipikat hak atas tanah yaitu Peradilan Umum dan
44
Z.A. Sangadji, Op cit, hal. 36.
45
Boedi Harsono, Op.cit, hal 470.
48
keputusan pembatalan sertipikat hak atas tanah harus dilakukan oleh Pejabat Tata
Usaha Negara yang memegang kewenangan administratif. Oleh karena itu putusan
peradilan mengenai pembatalan sertipikat hak atas tanah harus ditindak lanjuti
dengan keputusan pembatalannya oleh Pejabat Tata Usaha Negara dalam hal ini
2. Konsepsi
Dalam penulisan tesis ini sangat perlu dilakukan pemilihan dan penegasan
terhadap perumusan konsep–konsep yang sesuai dan yang akan dipakai, agar tidak
maksud dari isi dari setiap pembahasan yang akan dilakukan dalam tesis ini nantinya.
Pengertian Hak Atas Tanah adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) UUPA merupakan hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat
diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama
Sertipikat hak atas tanah adalah tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah
46
Amiruddin dan Zainal Asikin, Op.cit, hal.47.
49
yang telah didaftar sebagai alat pembuktian yang kuat. Istilah sertipikat ini sendiri
tidak diuraikan secara eksplisit dalam UUPA, akan tetapi interpretasi otentiknya telah
diberikan dalam Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah yaitu: Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang
termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data
yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
Pembatalan hak atas tanah adalah pembatalan putusan pemberian hak atas
tanah atau sertipikat hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Peraturan Menteri Negara
Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Pasal 1 angka 14).
Keputusan pembatalan hak atas tanah dan atau keputusan pendaftaran hak atas
tanah karena melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap
adalah keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat/badan tata usaha negara yang
berwenang berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang
amarnya secara tegas menyatakan batal atau tidak mempunyai kekuatan hukum atau
Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah/ Pendaftaran/ Sertipikat Hak Atas Tanah.
G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian ini
adalah deskriptif, yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu
individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran
suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala
mendalam dengan mengujinya dari berbagai peraturan yang berlaku maupun dari
berbagai pendapat ahli hukum yang ada relevansinya sehingga diperoleh gambaran
tentang keadaan yang sebenarnya yang berhubungan dengan proses pembatalan hak
adalah yuridis normatif, yaitu dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan
47
Amiruddin dan Zainal Asikin, Op cit, hal 25.
51
dengan maksud tujuan penelitian, meliputi penelitian terhadap asas hukum, sumber-
3. Sumber Data
Sumber data penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah
menggunakan penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan dibantu dengan data
Dalam penelitian hukum normatif, data yang diperlukan adalah data sekunder.
b. Bahan hukun sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap
primer tersebut, antara lain berupa buku-buku rujukan yang relevan, hasil karya
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder, berupa kamus umum, kamus bahasa, majalah,
Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini adalah
melalui:
b. Bahan hukum sekunder yang meliputi pendapat para ahli hukum yang bersumber
Medan untuk memperoleh data mengenai pembatalan hak atas tanah di Kantor
5. Analisis Data
dalam kategori-kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Analisis data
yang akan digunakan adalah analisis data secara kualitatif yang diolah dengan
yang dilakukan.
53
BAB II
sengketa tanah. Terhadap perkara yang diajukan, pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa dan mengadili meskipun tidak atau kurang jelas hukumnya karena
hakim dianggap tahu akan hukumnya (Pasal 16 ayat (1) UU Nomor 4 tahun 2004
Salah satu ciri negara hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman (judicial
yaitu :
dengan Undang-undang.”
1. Peradilan Umum
2. Peradilan Agama
3. Peradilan Militer
tersendiri yang telah dibagi dan diatur oleh Undang-undang. Het Herziene
Buitengewesten (RBg- Stbl 1927 Nomor 227) dan pasal 77 Undang-undang Nomor 5
tahun 1986 membagi kompetensi (distributie van rechtsmacht) dalam 2 (dua) macam
yaitu :
48
Z.A.Sangadji, Op.cit. hal.7.
55
hukum. Kompetensi relatif ini menjawab pertanyaan pengadilan negeri yang dimana
yang berwenang untuk mengadili perkara ini? Azasnya adalah yang berwenang
atau disebut juga wewenang mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan antar
badan peradilan. Setiap badan peradilan, telah ditentukan sendiri oleh Undang-
49
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori
dan Praktek, (Bandung : Mandar Maju), 2002, hal. 11
50
Z.A.Sangadji, Op.cit. hal 8.
56
oleh Philipus M. Hadjon, et.al. 51 bahwa sertipikat hak atas tanah dikelompokkan
dalam Keputusan Tata Usaha Negara kebendaan yaitu Keputusan Tata Usaha Negara
yang diterbitkan atas dasar kualitas kebendaan. Keputusan Tata Usaha Negara
kebendaan ini sifatnya dapat dialihkan kepada pihak lain. Jadi disamping ditujukan
untuk memberikan hak pada seseorang, hak tersebut dapat juga dialihkan kepada
Dengan demikian sertipikat hak atas tanah memiliki sisi ganda, pada satu sisi
sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan di sisi lain sebagai Tanda Bukti
Oleh karena itu ada 2 (dua) badan peradilan yang berwenang memeriksa
perkara dengan objek gugatan sertipikat hak atas tanah yaitu Peradilan Umum dan
“Dengan dimensi Sertipikat Hak Atas Tanah yang ganda tersebut yaitu dimensi
publik dan dimensi privat, maka gugatan pembatalan Hak Atas Tanah seharusnya
mengikuti posisi perkara yang menjadi dasar dari suatu gugatan. Dengan kata lain
51
Philipus M. Hadjon, et. al, Pengantar hukum administrasi Indonesia, (Yogyakarta :Gadjah
Mada University Press, 2001) hal 143
52
Z.A. Sangadji, Op.cit, hal. 36.
53
Ibid., hal 77
57
Agar suatu gugatan tidak diajukan secara keliru, maka gugatan harus diajukan
tersebut.
Tahun 1986 tentang Peradilan Umum jo. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004
Peradilan Umum adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi pencari
yang berada dibawah Peradilan Umum adalah bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata baik ditingkat
Mengenai perkara perdata yang menjadi wewenang Peradilan Umum ini tidak
a. Sudikno Mertokusumo :
hak milik atau hak-hak yang timbul karenanya, hutang piutang atau hak-hak
keperdataan lainnya.”
54
Ibid, hal 19
58
b. Tresna :
ialah “segala perselisihan tentang hak kepunyaan (eigendom) dan hak-hak yang
hukum perdata.”
c. Subekti :
“Semua perselisihan mengenai hak milik, hutang piutang atau warisan seperti
(artinya: hak-hak yang berdasarkan “hukum perdata” atau hukum sipil adalah
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan diatas dapat ditarik benang merah
bahwa perkara perdata yang menjadi wewenang (absolut) peradilan umum adalah
semua sengketa yang timbul dari perselisihan mengenai hak milik keperdataan serta
hak-hak yang timbul karenanya atau dengan kata lain adalah perkara yang bersumber
dari hak-hak keperdataan seseorang yang diatur dalam hukum perdata materil.
gugatan dibuat secara tertulis sesuai ketentuan dalam Pasal 118 HIR, bahwa gugatan
harus diajukan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau
wakilnya. Sedangkan bagi penggugat yang buta huruf dapat mengajukan gugatan
secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili perkara itu
yang nantinya berdasarkan ketentuan Pasal 120 HIR akan membuat atau menyuruh
59
membuat gugatan tersebut secara tertulis. HIR ataupun RBg, akan tetapi dijumpai
dalam Pasal 8.3 R.V yang mengharuskan gugatan pada pokoknya memuat: 55
subjecto)
Dalam gugatan perdata, tidak hanya pribadi atau badan hukum perdata saja
yang dapat menjadi penggugat tetapi juga pejabat atau badan Tata Usaha
Negara (badan hukum publik) asal saja memenuhi syarat mempunyai
wewenang menggugat dan digugat (persona standi in judicio, ius standi, legal
standing), memiliki kepentingan hukum dengan objek gugatan dan
berkemampuan untuk bertindak (handelings bekwaamheid). 56
Pada gugatan perdata dengan objek gugatan sertipikat hak atas tanah pada
umumnya menempatkan Pejabat atau Badan Pertanahan Nasional sebagai salah satu
tergugat atau turut tergugat, sangat jarang Pejabat atau Badan Pertanahan Nasional
Dalam banyak kasus, Pejabat atau Badan Pertanahan digugat bukan sebagai
tergugat tunggal, bukan pula sebagai tergugat utama disebabkan esensi
gugatan lebih ditujukan pada tidak sah perbuatan dan atau hubungan hukum
perdata (jual-beli, hutang piutang, waris, hibah dan lain-lain) yang dilakukan
orang atau badan hukum perdata yang mendahului dan kemudian menjadi
dasar penerbitan atau peralihan suatu Sertipikat Tanah. 57
55
Ibid hal 20
56
Ibid hal 30
57
Ibid hal 49
60
Fundamentum petendi (posita) harus dibuat jelas dan terperinci yang memuat
mengenai duduk perkara (kasus posisi) dan uraian mengenai hukum. Dalam
essensial: 58
a. Objek sengketa atau apa yang disengketakan. Misalnya sengketa tanah, sengketa
b. Kualifikasi perbuatan Tergugat. Perbuatan melawan hukum, ingkar janji dan lain-
lain.
c. Hubungan hukum. Hubungan yang terjadi sebelumnya yang menjadi dasar atau
kausa terjadi sengketa, misalnya jual-beli, hutang piutang, sewa menyewa, waris
dan lain-lain.
wewenangnya adalah mengadili perdata seharusnya isi dari gugatan yang diajukan
karena adanya perbuatan- perbuatan perdata pula. Tuntutan tersebut dapat berupa
Kompetensi Peradilan Umum dalam sengketa dengan objek sertipikat hak atas
Seperti telah diuraikan terlebih dahulu bahwa Peradilan Umum berwenang mengadili
perkara perdata yang bersumber dari sengketa dalam bidang yang diatur dalam
hukum perdata materil, oleh karena itu seharusnya sengketa yang timbul pada
58
Ibid, hal 31
61
sertipikat hak atas tanah adalah yang bersifat keperdataan atau dengan kata lain
sertipikat dari sisi sebagai alat bukti hak milik keperdataan. Identifikasi tersebut
Dengan kata lain yang menjadi wewenang Peradilan Umum adalah mengenai
undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. Undang-
Tahun 1986.
dalam Pasal 47 UU Nomor 5 Tahun 1986. Kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha
59
Ibid
62
Selanjutnya yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara diatur dalam
“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata
Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara, baik dipusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya
perundang-undangan.”
Dari ketentuan diatas dapat diketahui bahwa yang dimaksud sengketa tata
2. Sengketa tersebut antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau
Negara.
Jadi yang menjadi objek dalam sengketa Tata Usaha Negara adalah
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha
60
R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
hal.6.
63
konkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
Unsur- unsur yang terkandung dalam rumusan pasal ini yang menjadi syarat
agar suatu putusan tata usaha negara dapat di gugat di Peradilan Tata Usaha Negara
adalah:
1. penetapan tertulis;
Namun tidak semua Keputusan Tata Usaha Negara dapat digugat di hadapan
hakim Peradilan Tata Usaha Negara. Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha
objek dalam Peradilan Tata Usaha Negara akan tetapi keputusan yang bersifat
individual konktrit (beschikking) lah yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha
Negara. 61
61
Ada 4 (empat) macam sifat norma hukum yaitu:
1. norma umum abstrak misalnya Undang-undang;
2. norma individual konkrit misalnya keputusan tata usaha negara;
3. norma umum konkrit misalnya rambu-rambu lalu lintas yang dipasang disuatu tempat tertentu
(rambu itu berlaku bagi semua pemakai jalan namun hanya berlaku utuk tempat itu);
4. norma individual abstrak misalnya izin gangguan. (Philipus M. Hadjon, et.al., Op. cit, (Yogyakarta
: Gadjah Mada University Press, 2001) hal.125
64
Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak termasuk objek sengketa Tata
Usaha Negara sebagaiman disebut dalam Pasal 2 UU Nomor 9 Tahun 2004 yaitu:
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan peraturan yang bersifat umum;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
Disamping itu pengecualian sebagai objek gugatan Tata Usaha Negara juga
sengketa Tata Usaha Negara adalah gugatan. Gugatan tersebut harus diajukan tertulis
Berbeda dengan gugatan pada sengketa perdata, dalam gugatan Tata Usaha
Negara subjeknya telah dibatasi. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara selalu
menjadi pihak tergugat sebaliknya pribadi atau badan hukum perdata selalu jadi
penggugat. Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang merasa
Isi dari posita pun telah ditentukan dalam Pasal 53 ayat (2) UU Nomor 9
1. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
terlebih dahulu.
66
misalnya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut tidak sesuai dengan materi
c. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak
berwenang.
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme asas umum pemerintahan yang baik meliputi:
akuntabilitas. 62
Jadi jelas yang menjadi dasar gugatan dalam perkara Tata Usaha Negara
adalah hanyalah dua hal tersebut diatas diluar kedua alasan tersebut bukanlah
diatur dalam Pasal 53 ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 2004 yaitu Keputusan Tata Usaha
Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa
62
R. Wiyono, Op. cit, hal.92.
67
Sertipikat hak atas tanah dikeluarkan pemerintah dalam hal ini Badan
Pertanahan Nasional selaku Badan Tata Usaha Negara ditujukan kepada seseorang
atau badan hukum (konkret, individual) yang menimbulkan akibat hukum pemilikan
atas sebidang tanah yang tidak memerlukan persetujuan lebih lanjut dari instansi
atasan atau instansi lain (final). Sertipikat hak atas tanah telah memenuhi syarat
sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat di gugat di Peradilan Tata Usaha
Negara.
dalam Pasal 107 PMNA/KBPN Nomor 9 Tahun 1999, cacat hukum administrasi ini
dapat berupa:
a. Kesalahan prosedur;
Dalam hal terjadi cacat hukum administrasi ini tersedia upaya administratif
berupa keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 106 PMNA/KBPN Nomor 9 Tahun
68
1999, akan tetapi apabila seseorang atau badan hukum perdata merasa tidak puas
Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 48 dan Pasal 51
Apabila ada orang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan dengan
terbitnya sertipikat hak atas tanah dengan alasan bertentangan dengan peraturan
alasan selain itu walaupun objeknya tetap sertipikat hak atas tanah harus diajukan ke
tanah khususnya gugatan terhadap sertipikat hak atas tanah dimulai sejak
mengingat pada substansi ini persoalan gugatan pembatalan hak atas tanah sulit
69
peradilan, akan tetapi pada prakteknya seringkali suatu gugatan perdata dengan objek
sertipikat hak atas tanah mengandung aspek Tata Usaha Negara sebaliknya pada
gugatan Tata Usaha Negara memuat aspek keperdataan. Kemungkinan ini besar
Tergugat asal : 1. Sa
2. AH
63
Hasan Basri Nata Menggala dan Sarjita, Op.cit. 2005, hal 72.
64
Ibid
70
3. H.A
Fundamentum petendi :
b. bahwa para penggugat berdasarkan warisan memiliki sebidang tanah Hak Bekas
terurai dalam Akta Jual Beli tanggal 16 Desember 1974 Nomor 229/1974;
Palembang;
d. bahwa Tergugat I dengan alas hak yang bertentangan dengan hukum menguasai
dan menjual tanah Hak Milik Penggugat itu kepada Tergugat II seluas 2.850 m2
dan kepada Tergugat III seluas 1.165 m2 dengan Akta Pengikatan Jual Beli
Notaris Darbi, SH Nomor 220 tanggal 15 Mei 1987 dan Nomor 32 tanggal 7
Desember 1987;
e. bahwa tergugat II. III membeli tanah sengketa dari Tergugat I tidak berdasarkan
f. bahwa dengan demikian Tergugat I, II, III menguasai tanah sengketa bertentangan
h. Bahwa Tergugat I, II, III maupun orang lain yang mendapat hak dari Tergugat I,
II, III berdasarkan hukum harus menyerahkan tanah sengketa kepada Para
i. Bahwa apabila Para Tergugat lalai menyerahkan tanah tersengketa dalam keadaan
baik dan kosong, padahal putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum
yang pasti, maka Para Tergugat dibebani uang paksa (dwangsom) sebesar
Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari dengan seketika dan sekaligus
Petitum:
tanggal 29 Juni 1968 Nomor 101/1968 dan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta
3. menyatakan sah menurut hukum sebidang tanah berupa hak bekas hak usaha yang
belum dikonversi terletak di 20 (dua puluh) Ilir B II Sekip, Kecamatan Ilir Timur,
Palembang, seluas ± 4.713 m2 dengan batas-batas seperti terurai dalam Akta Jual
Beli tanggal 16 Desember 1974 Nomor 229/1974 adalah sah milik Penggugat-
Penggugat;
72
4. menyatakan batal menurut hukum perbuatan pengikatan jual beli yang dilakukan
Tergugat I dengan Tergugat II dan Tergugat III Nomor 220 tanggal 15 Mei 1967
sehingga Tergugat I, II, III tidak berhak terhadap sebidang tanah yang dikuasai
oleh mereka sekarang ini, sebagaimana diuraikan pada Akta Jual Beli tanggal 16
Sertipikat Hak Milik Nomor 10737/1989 atas nama Tergugat I adalah tidak
6. menyatakan Sertipikat Hak Milik Nomor 10737/1989 G.S. Nomor 247/1989 atas
8. menghukum Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III atau orang lain yang
mendapatkan hak dari padanya untuk menyerahkan dalam keadaan baik dan
sebagaimana diuraikan dalam Akta Jual Beli tanggal 16 Desember 1974 Nomor
permohonan yang baru diajukan tanggal 12 Desember 1989, tidak sah menurut
penerbitan Sertipikat Tanah. Dan dari 11 butir petitum gugatan, petitum 2 (dua)
Analisa diatas menunjukkan bahwa dalam kasus tersebut terdapat aspek tata
batal Akte Pengikatan Jual Beli Nomor 220 tanggal 15 Mei 1987 dan Nomor 32
tanggal 7 Desember 1987 antara Tergugat I dengan Tergugat II dan tergugat III atas
tanah sengketa merupakan petitum pokok. Tuntutan batal akta pengikatan jual beli
akan berakibat Sertipikat Hak Milik Nomor 10737/1989 atas nama Tergugat I tidak
perbuatan Tergugat IV yang notabene Pejabat Tata Usaha Negara tidak mempunyai
kekuatan hukum.
74
Contoh lain mengenai perkara yang tidak dapat diterima karena salah dalam
antara lain menguraikan bahwa judex factie telah salah menerapkan hukum, meskipun
obyek gugatan adalah surat keputusan tergugat satu (Kepala Badan Pertanahan
petendi mengenai sengketa kepemilikan tanah bekas hak barat eigendom verponding
Nomor 13886 yaitu antara penggugat dan tergugat III intervensi (Sekretariat Negara
menentukan siapa yang paling berhak atas tanah sengketa harus diajukan gugatannya
Kenyataan bahwa dalam gugatan kerap terjadi gabungan antara aspek perdata
dengan aspek tata usaha negara, maka seharusnyalah hakim Perdata maupun hakim
Tata Usaha negara karena jabatannya (ex officio), melalui putusan sela, menyatakan
kewenangan.
Mengenai tuntutan pembatalan sertipikat hak atas tanah pada Peradilan Umum
65
Hasan Basri Nata Menggala dan Sardjita,Op.cit., hal. 77
75
yang isinya :
1. Menyatakan batal surat bukti hak milik yang dikeluarkan oleh instansi agraria
wewenang administrasi.
2. Pembatalan surat bukti hak harus diminta oleh pihak yang menang di
diatas tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa peradilan umum tidak berwenang
memeriksa dan mengadili gugatan pembatalan sertipikat tanah akan tetapi lebih
Esensi putusan perdata lebih pada aspek kepemilikan hak atas tanah dan tidak
mengambil alih wewenang administrasi tersebut dengan kata lain putusan perdata
sertipikat tanah oleh karena itu putusan perdata adalah amar declaratoir yang
66
Z.ASangadji, Op.cit., hal.54
67
Ibid
76
mempertimbangkan dan memutuskan perbuatan pejabat atau badan tata usaha negara.
tuntutan beraspek Tata Usaha Negara sedangkan untuk tuntutan yang beraspek
perdata itu sendiri putusan tersebut dapat bersifat constitutif dan/ atau condemnatoir.
Apabila keputusan constitutif dan/atau condemnatoir ini menyangkut alas hak yang
dipergunakan dalam penerbitan sertipikat maka sudah cukup untuk mengikat Pejabat
tidak sah atau batal suatu keputusan Tata Usaha Negara dengan tambahan
menghukum pejabat Tata Usaha Negara untuk membatalkan atau mencabut surat
tergantung pada bukti pemilikan yang ada pada pihak yang menguasainya. Apabila
terjadi sengketa terhadap bukti kepemilikan ini maka harus diselesaikan melalui
Peradilan Umum.
68
Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata, Op.cit., hal 109.
77
Pada umumnya dalam suatu putusan hakim memuat beberapa macam putusan,
atau dengan kata lain merupakan penggabungan antara putusan decralatoir dan
Tidak semua putusan yang sudah berkekuatan hukum pasti harus dijalankan,
condemnatoir yaitu yang mengandung perintah kepada suatu pihak untuk melakukan
suatu perbuatan. 70
bersifat constitutif (menciptakan status hukum baru) sedangkan putusan yang bersifat
69
Ibid, hal 110.
70
Ibid, hal 129
78
Apabila dikaitkan dengan uraian diatas maka putusan perdata dapat dijadikan
dasar permohonan pembatalan hak atas tanah apabila didalam putusan tersebut
disamping amar declaratoir terhadap aspek tata usaha negara, terdapat amar yang
maka dapat mengikat Badan Pertanahan Nasional sebagai Badan Tata Usaha Negara
BAB III
PERATURAN-PERATURAN TENTANG
PEMBATALAN HAK ATAS TANAH
pendafataran tanah yang memberikan status hukum atas tanah. Pemberian status
hukum ini dilandasi oleh sistem pendaftaran tanah yang bersifat negatif bertendensi
negatif ini terbuka kesempatan bagi pemilik sebenarnya untuk mengajukan keberatan
atas terbitnya surat keputusan pemberian hak atas tanah kepada pihak lain dengan
dibatalkan.
yang menyangkut atau mengatur tentang pembatalan hak atas tanah tersebut . Adapun
Agraria atau sering disebut Undang- Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai
Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah
Nomor1 Tahun 2005 tentang Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan
10. Surat Kepala BPN Nomor 500-2147 tanggal 19-7-2000 tentang Kelengkapan
yang telah ditetapkan dalam peraturan- peraturan tersebut diatas, yang berkaitan
dengan proses pembatalan hak atas tanah, meliputi kewenangan, subjek, objek
maupun tata cara dan proses yang harus ditempuh sampai kepada Surat Keputusan
pembatalan sertipikat hak atas tanah tersebut dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang.
ditentukan dalam Pasal 105 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan
Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan (PMNA/KBPN Nomor9
hak atas tanah berada di tangan menteri, dalam hal ini Menteri Negara Agraria/
Kepala Badan Pertanahan Nasional, dengan suatu Surat Keputusan Menteri. Akan
tetapi kewenangan tersebut dapat dilimpahkan kepada pejabat lain yang berada
dibawah jajarannya yaitu Kepala Kantor Wilayah atau pejabat lain yang ditunjuk oleh
menteri.
82
yaitu Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi atau Kepala
pelimpahan kewenangan pembatalan hak atas tanah hanya sampai kepada Kepala
1. Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang telah dikeluarkan oleh
dalam penerbitannya.
83
Dari ketentuan ini terdapat perbedaan kewenangan dalam pembatalan hak atas
tanah karena cacat administrasi dengan pembatalan hak atas tanah karena
pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap lebih luas karena mencakup keputusan pemberian hak atas
Kabupaten/ Kotamadya dan juga keputusan pemberian hak atas tanah yang
Propinsi.
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap pasti diawali dengan adanya sengketa
tanah akibat benturan kepentingan yang melibatkan pemegang hak dengan pihak lain
yang merasa dirugikan serta Badan Pertanahan Nasional sehingga perlu pengkajian
Pengelolaan atau hak-hak lainnya yang berdasarkan luasnya tetap berada ditangan
Menteri).
laporan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi hal tersebut
pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah, oleh karena itu agar lebih jelas
batas kewenangan pembatalan hak atas tanah tersebut perlu juga diuraikan pasal-
pasal yang memuat ketentuan mengenai pelimpahan kewenangan pemberian hak atas
tanah.
pemberian hak atas tanah diatur dalam pasal 3 sampai dengan pasal 6 PMNA/KBPN
1. Hak Milik :
a. Pemberian Hak Milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 HA
(dua hektar);
b. Pemberian Hak Milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2.000
m2 (dua ribu meter persegi), kecuali mengenai tanah bekas Hak Guna Usaha;
85
1. Transmigrasi;
2. Redistribusi tanah
3. Konsolidasi tanah
a. Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari
2.000 m2 ( dua ribu meter persegi) , kecuali mengenai tanah bekas Hak Guna
Usaha;
3. Hak Pakai:
a. Pemberian Hak Pakai atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 HA
(dua hektar);
b. Pemberian Hak Pakai atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari
2.000 m2 (dua ribu meter persegi), kecuali mengenai tanah bekas Hak Guna
Usaha;
dalam pemberian hak atas tanah diatur dalam pasal 7 sampai dengan pasal 6
1. Hak Milik:
a. Pemberian Hak Milik atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 HA (dua
hektar)
b. Pemberian hak milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari
mengenai pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari
mengenai pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih
150.000 m2 (seratus lima puluh ribu meter persegi), kecuali yang kewenangan
Kotamadya.
4. Hak Pakai:
a. Pemberian Hak Pakai atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 HA (dua hektar);
b. Pemberian Hak Pakai atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari
150.000 m2 (seratus lima puluh ribu meter persegi), kecuali yang kewenangan
Kabupaten/ Kotamadya.
dapat membuat laporan yang menyebabkan kewenangan pembatalan hak atas tanah
tersebut dapat diambil alih kembali oleh Menteri menimbulkan ketidakpastian dan
terkesan tarik ulur (tidak konsisten). Hal ini bisa menjadi masalah krusial karena
dapat berimbas pada ketidakpastian dalam dalam proses pembatalan hak atas tanah
karena Kepala Kantor Wilayah Propinsi bisa saja setiap saat melemparkan
kewenangan yang telah diterimanya kembali kepada Menteri dengan berbagai alasan
misalnya untuk mendapat kajian yang lebih mendalam padahal alasan yang
sebenarnya hanya untuk terhindar dari resiko apabila surat keputusan pembatalan
Nomor3 Tahun 1999 tidak ada diatur lebih lanjut mengenai pertimbangan apa yang
dapat menjadi dasar bagi Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Pembatalan hak atas tanah disebabkan 2 (dua) hal yaitu karena cacat hukum
tetap. Berbeda dengan keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum
berkepentingan atau inisiatif pejabat yang berwenang tanpa permohonan, maka dalam
hal pembatalan hak atas tanah untuk menjalankan keputusan pengadilan yang telah
90
berkekuatan hukum tetap harus ada permohonan dari pihak yang berkepentingan
terlebih dahulu.
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ditebitkan atas permohonan
yang berkepentingan .”
Pemohon inilah yang menjadi subjek dalam pembatalan hak atas tanah.
Mengenai pihak yang berkepentingan ini tidak dijelaskan secara terperinci dalam
PMNA/KBPN Nomor 9 Tahun 1999, oleh karena itu secara umum dapat disimpulkan
bahwa pihak yang berkepentingan tersebut adalah orang pribadi atau badan hukum
yang mempunyai hubungan hukum dan kepentingan terhadap hak atas tanah tersebut
yang merupakan pihak- pihak yang berperkara di peradilan, baik penggugat maupun
tergugat.
Objek pembatalan hak atas tanah diatur dalam beberapa ketentuan sebagai
berikut:
a. Berdasarkan ketentuan Pasal 104 ayat (1) PMNA/ KBPN Nomor 9 Tahun
penguasaan tanah.
b. Secara khusus objek pembatalan hak atas tanah sebagai tindak lanjut
1) Pembatalan hak atas tanah dan atau pembatalan akibat pencabutan surat
hukum yang telah diberikan berdasarkan kewenangan publik pada Pejabat Tata Usaha
Negara. Surat Keputusan Tata Usaha Negara memberikan hak kepada seseorang atau
Tata Usaha Negara. Dalam hal hak atas tanah, pemberian status hukum pada tanah
adalah pada saat Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah dikeluarkan oleh
92
Pejabat Tata Usaha Negara (Badan Pertanahan Nasional) oleh karena itu pada
dasarnya yang dibatalkan adalah Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah
sehingga tanah tersebut kembali kepada keadaan semula sebelum diberikan status
hukum yaitu menjadi Tanah Negara. Batalnya Surat Keputusan Pemberian Hak Atas
Tanah secara otomatis maka sertipikat yang dikeluarkan sebagai tanda bukti hak juga
batal.
Sedangkan peralihan- peralihan yang terjadi kemudian seperti jual beli, hibah,
serta pembebanannya dengan hak tanggungan ataupun peralihan hak tanggungan itu
sendiri tidak dilakukan dengan suatu Surat Keputusan Tata Usaha Negara melainkan
dengan Akte Pejabat Pembuat Akta Tanah. Akte Pejabat Pembuat Akta Tanah
bukanlah merupakan Surat Keputusan Tata Usaha Negara karena dibuat bukan
berdasarkan kewenangan publik akan tetapi merupakan kehendak para pihak yang
pembatalan hak atas tanah mengalami perluasan dibanding dengan Pasal 104 ayat (1)
PMNA/ KBPN Nomor 9 Tahun 1999 diatas, bukan hanya surat keputusan pemberian
hak atas tanah, yang merupakan pemberian hak pertama kali (original) saja yang
(derivatif). yang didaftarkan dalam rangka pemeliharaan data pendaftaran tanah dapat
dimohon pembatalannya. Hal ini menjadi titik krusial dalam peraturan tentang
hukum yang telah diberikan terhadap satu bidang tanah akan tetapi kembali kepada
pemegang hak atas tanah semula. Dari pengertian ini selayaknya pembatalan
pendaftaran peralihan hak atas tanah tidak dimasukkan dalam proses pembatalan hak
atas tanah sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ KBPN
Nomor 9 Tahun 1999 akan tetapi dapat dibuat mekanisme tersendiri yang lebih
langsung kepada Menteri atau Kepala Kantor Wilayah Propinsi atau dapat juga
kewarganegaraan).
1. Memuat nomor dan jenis hak atas tanah (melampirkan foto copy surat
1. Foto copy putusan pengadilan dari tingkat pertama sampai dengan putusan
terakhir.
pejabat berwenang dalam hal ini dapat diajukan langsung ke Menteri atau Kepala
Kantor Wilayah Propinsi dan atau melalui Kepala Kantor Pertanahan Kota/
Kabupaten.
Tata cara pembatalan hak atas tanah diatur dalam pasal 127 sampai dengan
1. Apabila permohonan pembatalan hak atas tanah yang diajukan melalui Kantor
e. Melakukan verifikasi terhadap data yuridis dan data fisik permohonan dengan
cara mencocokkan hak atas tanah dengan amar putusan pengadilan dengan
data yuridis yang terakhir sebelum diproses lebih lanjut sesuai dengan
b. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila
c. Meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik permohonan
hak atas tanah yang dimohon atau memberitahukan bahwa amar putusan
pertimbangannya.
Apabila permohonan yang diajukan langsung kepada Menteri, maka menteri akan
a. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik , dan apabila
c. Menteri meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik
d. Apabila terjadi perubahan data fisik dan data yuridis menteri dapat
putusan pengadilan.
71
Kegiatan berlaku mutatis mutandis terhadap permohonan pembatalan hak karena
melaksanakan putusan pengadilan yang merupakan kewenangan Kepala Kantor Wilayah (pasal 130
PMNA/ KBPN Nomor 9/99).
97
pembatalan hak atas tanah yang dimohon atau memberitahukan bahwa amar
pertimbangannya.
disampaikan kepada pemohon melalui surat tercatat atau dengan cara lain
72
Kegiatan ini jg dilakukan terhadap permohonan pembatalan hak yang diajukan langsung
kepada Kepala Kantor Wilayah (pasal 132 PMNA/KBPN Nomor 9/99)
98
BAB IV
pemerintah sebagai pelaksana kewenangan pasal 2 ayat (2) UUPA dan sekaligus
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 yaitu :
73
--------, Reforma Agraria, Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum dalam Rangka
Mewujudkan “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”, Badan Pertanahan Republik
Indonesia, 2007
99
dalam Pasal 4 Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2006 sebagai berikut:
1. Kepala;
2. Sekretariat Utama;
3. Deputi Bidang Survey, Pengukuran dan Pemetaan (Deputi I);
4. Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah (Deputi II);
5. Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan (Deputi III);
6. Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat (Deputi IV)
7. Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan
(Deputi V);
8. Inspektorat Utama;
9. Pusat Data dan Informasi Pertanahan;
10. Pusat Hukum dan Pengkajian dan Hubungan Masyarakat;
11. Pusat Penelitian dan Pengembangan;
12. Pusat Pendidikan dan Pelatihan;
13. Kantor Wilayah BPN Propinsi;
14. Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
100
penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah
fungsi tersebut secara hirarki di Pusat dilaksanakan oleh Deputi Bidang Pengkajian
ini berada pada Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan
Kabupaten/Kota berada pada seksi Sengketa, Konflik dan Perkara tepatnya Subseksi
Pembatalan hak atas tanah harus melalui proses dan prosedur yang telah
ditentukan. Pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus terlebih dahulu di mohon oleh pihak
langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional atau kepada Kepala Kantor
pembatalan hak atas tanah, namun dapat juga melalui Kantor Pertanahan setempat.
baik perorangan maupun badan hukum yang ingin mendapatkan pelayanan dapat
masalah.
Dalam hal pembatalan hak atas tanah yang permohonannya diajukan melalui
atas tanah ke Kantor Wilayah Propinsi atau Kepala Badan Pertanahan Nasional
oleh Seksi Konflik, Sengketa dan Perkara, khusus untuk menjalankan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap oleh Subseksi Perkara Pertanahan.
rekomendasi pembatalan saja yang merupakan tahap awal dalam proses penerbitan
surat keputusan pembatalan hak atas tanah dan tidak berwenang mengeluarkan surat
keputusan itu sendiri. Setelah surat keputusan dikeluarkan oleh pejabat yang
permohonan yang diajukan sebagai bahan pertimbangan dalam usulan yang akan
sesuai dengan tuntutan dalam peraturan yang berlaku. Penilaian ini meliputi data fisik
dan data yuridis. Untuk validitas data maka ditempuh beberapa prosedur di Kantor
Pertanahan.
melalui Kantor Pertanahan Kota Medan, maka akan diproses melalui prosedur yang
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2005 tentang Standar Prosedur
(SPOPP).
Untuk prosedur pembatalan hak atas tanah diatur dalam SPOPP dengan Kode
sebagai berikut:
Domisili, dan Surat Ijin Mengemudi (SIM) yang telah ditunjukkan aslinya
dihadapan Kepala Sub Bagian Tata Usaha/ Petugas yang ditunjuk dari Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota.
yaitu berupa peta bidang tanah dan surat ukur yang telah dikeluarkan oleh
data fisik, jika yang mengajukan tersebut berbentuk badan hukum yaitu Surat
Kabupaten/Kota setempat.
hak atas tanah objek sengketa dan telah dilegalisir oleh Panitera
c) Fotokopi sertipikat/ Surat Keputusan pemberian hak atas tanah yang telah
Kabupaten/Kota
d) Pertimbangan, saran dan pendapat yang tegas dan jelas dari Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota
2. Loket II
1) Membuat SPS
3. Loket III
b. Membuat kwitansi
4. Loket II
a. Melakukan pencatatan
pada pemohon.
a) Apabila telah lengkap dan sesuai maka dibuat surat pengantar kepada
b) Apabila tidak lengkap atau tidak sesuai, maka dibuat surat pengembalian
Pertanahan melakukan :
pembatalan hak atas tanah pada pejabat yang berwenang (Kakanwil BPN
kepada loket IV dan petugas arsip untuk disimpan dan dikelola secara
9. Loket IV
Penerimaan berkas permohonan pembatalan hak atas tanah harus melalui 2 (dua)
loket yaitu loket II dan loket III. Pemeriksaan dan penelitian berkas dilakukan
berulang-ulang secara bergiliran baik oleh petugas loket, petugas pelaksana, kepala
sub seksi dan kepala seksi sebelum berkas tersebut sampai kepada kepala kantor.
mengirimkan usulan rekomendasi pembatalan hak atas tanah kepada pejabat yang
dalam pengajuan usulan tersebut, khususnya pembatalan hak atas tanah karena
Nomor 1 Tahun 2005 masih mengikuti struktur organisasi yang lama, berdasarkan
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1989 yaitu berada di
Seksi Pemberian dan Pendaftaran Tanah. Oleh karena ditetapkan sebelum keluarnya
struktur organisasi Badan Pertanahan Nasional yang baru yaitu Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006, maka tentu
saja tidak sesuai lagi dimana proses permohonan pembatalan hak atas tanah saat ini
ditangani oleh Seksi tersendiri yaitu Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara sedangkan
Jenis Pelayanan tertentu tidak merevisi prosedur pembatalan hak atas tanah.
Proses permohonan pembatalan hak atas tanah dapat dilihat pada bagan alur
(Lampiran 4).
banyak data yang belum tertata dengan rapi sehingga menyulitkan dalam memperoleh
informasi tentang permohonan pembatalan hak atas tanah. Sebahagian data yang
Pertanahan Kota Medan, akan dibahas salah satu permohonan pembatalan yang ada
di Kantor Pertanahan Kota Medan sebagai bahan perbandingan dari analisis yuridis
Saudara Drs. Haji Amran YS tanggal 28 Juli 2008 atas Sertipikat Hak Milik Nomor
16/Belawan Bahari.
a. Subjek :
Pemohon merupakan perorangan bernama Drs. Haji Amran YS adalah orang yang
b. Objek :
Pertanahan Kota Medan seluas 5.731. m2 atas nama Abdul Hakim Teja.
Mengadili:
Dalam Eksepsi:
tindak lanjut Sertipikat Hak Milik Nomor 16/Belawan Bahari atas nama
Tergugat I;
yang timbul dalam sengketa ini, yang hingga putusan ini diperhitungkan
Mengadili :
Memutuskan:
Pertahanan Kotamadya Medan dan Pemohon Kasasi II: Abdul Hakim Teja
tersebut;
biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebanyak Rp.200.000,- (dua ratus
ribu rupiah).
Sertipikat Hak Milik Nomor 16/ Belawan Bahari dan telah berkekuatan hukum tetap.
2. Identitas pemohon berupa fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atas nama
3. Keterangan mengenai data fisik dan data yuridis berupa Surat Keterangan
Dari SKPT ini pula diperoleh data bahwa Sertipikat Hak Milik Nomor 16/
I (Pertama) oleh Perseroan Terbatas PT. Bank Mestika Dharma. Artinya akan
ada pihak yang dirugikan dalam pembatalan hak atas tanah ini dan harus
4. Dasar permohonan pembatalan hak atas tanah berupa putusan dari peradilan
tingkat pertama sampai peninjauan kembali serta surat keterangan inkrah dari
pengadilan.
2) Kemudian Kepala Sub Bagian Tata Usaha Negara sebagai pejabat yang
mempersiapkan surat tugas untuk meneliti data fisik dan data yuridis. Berkas-
berkas yang diperlukan serta konsep surat tugas kembali diteruskan ke Kepala
Kantor Pertahanan.
c. Membuat resume dan berita acara pemeriksaan data fisik dan data yuridis
5) Berdasarkan surat tugas tersebut, Kepala Seksi Sengketa, Konflik, dan Perkara,
Kepala Sub Seksi Perkara, Kepala Sub Seksi Sengketa dan Konflik beserta staf
114
Bahari.
6) Hasil penelitian data fisik dan yuridis tersebut dituangkan dalam Berita Acara
Pemeriksaan Data Fisik dan Data Yuridis tanggal 1 September 2008 yang berisi
antara lain:
i. Letak Tanah
b. Data Yuridis:
Bahari
iv. Kesimpulan.
7) Setelah Berita Acara Pemeriksaan Data Fisik dan Data Yuridis tersebut diketahui
oleh Kepala Kantor, maka Kepala Seksi Sengketa, Konflik, dan Perkara
menyusun surat usulan pembatalan hak atas tanah dan meneruskannya ke Kepala
Kantor Pertahanan.
115
8) Kepala Kantor menandatangani surat usulan pembatalan hak atas tanah pada
tertulis kepada pihak yang akan terkena dampak dengan adanya pembatalan hak
atas tanah ini, dalam hal ini PT. Bank Mestika Dharma karena Sertipikat Hak
Milik Nomor 16/ Belawan Bahari tersebut dibebani dengan Hak Tanggungan oleh
PT. Bank Mestika Dharma, dan setelah ditandatangani Kepala Kantor Pertahanan
pembatalan hak atas tanah. Persyaratan serta prosedur berkas permohonan telah
sesuai dengan ketentuan dalam SPOPP yang notabene adalah pengejewantahan dari
1999 dan PMNA/ KBPN Nomor 9 Tahun 1999 serta Petunjuk Teknis dalam
Prosedur yang tergambar dalam proses berkas ini tidak begitu sesuai dengan
di Badan Pertahanan Nasional akan tetapi secara garis besarnya masih tetap sama.
116
Kantor Pertahanan Kota Medan dapat digambarkan seperti alur dibawah ini:
Nopember 2008 sampai dengan diadakan penelitian ini belum ada surat keputusan
pembatalan atau penolakan dari pejabat yang berwenang yaitu Kepala Badan
pembatalan hak atas tanah atas nama Drs. H.Amran YS belum selesai.
Medan sejak diterima berkas pada tanggal 28 Juli 2008 sampai dengan dikirimnya
usulan pembatalan ke Kantor Wilayah BPN Propinsi Sumatera Utara pada tanggal 13
penolakan pembatalan yang sampai saat penelitian ini dilakukan belum ada, maka
1) Permohonan pembatalan hak atas tanah yang diajukan melalui Kantor Pertahanan
Kota Medan sebahagian besar adalah yang berada di bawah kewenangan Kepala
surat pengantar berupa usulan pembatalan hak atas tanah kepada Kepala Kantor
Wilayah BPN Propinsi Sumatera Utara, akan tetapi ada beberapa yang belum
Utara namun Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi Sumatera Utara tidak
usulan pertimbangan pembatalan hak atas tanah tersebut kepada Menteri dalam
atas tanah baru 1 (satu) permohonan yang telah dikeluarkan surat keputusan
5) Informasi mengenai proses pembatalan hak atas tanah tersebut hanya sampai
pegiriman surat usulan pembatalan hak atas tanah saja, proses selanjutnya tidak
Dari data yang diperoleh serta contoh permohonan pembatalan yang telah
dianalisis diatas, dapat diketahui bahwa Kantor Pertahanan Kota Medan telah
atas tanah atau dengan kata lain permasalahan permohonan pembatalan hak atas tanah
bukan berada pada tahap awal di Kantor Pertahanan Kota Medan akan tetapi pada
tahap lebih lanjut yaitu tingkat pengambilan keputusan mengabulkan atau menolak
permohonan pembatalan hak atas tanah tersebut oleh pejabat yang berwenang baik
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi atau Kepala Badan
Pertanahan Nasional.
119
BAB V
A. Kesimpulan
1. Kompetensi badan peradilan dalam pembatalan hak atas tanah ternyata berada
pada 2 (dua) lingkup badan peradilan yaitu Peradilan Umum dan Peradilan Tata
Usaha Negara. Yang menjadi kompetensi Peradilan Umum adalah sengketa yang
timbul dari perselisihan mengenai hak milik keperdataan serta hak-hak yang
timbul karenanya yang mungkin terjadi karena sertipikat berfungsi sebagai alat
Tata Usaha Negara adalah sengketa Tata Usaha Negara yang timbul apabila orang
atau badan hukum perdata merasa dirugikan dengan terbitnya sertipikat hak atas
atau asas-asas umum pemerintahan yang baik atau dengan kata lain sertipikat
gugatan pembatalan hak atas tanah dinilai dari yurisdiksi materil dalam
terjadi gabungan antara aspek perdata dengan aspek tata usaha negara, maka
120
seharusnya hakim Perdata maupun hakim Tata Usaha Negara karena jabatannya
memeriksa dan mengadili perkara tersebut agar tidak menghasilkan putusan diluar
kewenangannya.
2. Peraturan-peraturan tentang pembatalan hak atas tanah yang berlaku saat ini
adalah mengenai pelimpahan kewenangan yang tidak konsisten dan terkesan tarik
ulur sebagaimana ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) PMNA/KBPN No.3 Tahun
1999, ketentuan mengenai objek pembatalan hak atas tanah yang diatur dalam
Pasal 104 ayat (1) PMNA/ KBPN No. 9 Tahun 1999 tidak sesuai dengan objek
bukan surat keputusan pemberian hak atas tanah pertama kali (sebagai Keputusan
Tata Usaha Negara) saja yang dapat dimohon pembatalannya akan tetapi
peralihan tersebut dilakukan dengan Akte Pejabat Pembuat Akta Tanah yang
bukan merupakan Surat Keputusan Tata Usaha Negara karena dibuat bukan
yang dituangkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam suatu akte. Kelemahan
proses permohonan pembatalan hak atas tanah yang diajukan melalui Kantor
permohonan pembatalan hak atas tanah bukan berada pada tahap awal di Kantor
mengabulkan atau menolak permohonan pembatalan hak atas tanah tersebut oleh
pejabat yang berwenang baik Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
B. Saran
1. Perlu diberi batasan yang tegas mengenai kualifikasi perbuatan apa yang
dilakukan serta lingkup peraturan apa yang dilanggar dalam perbuatan yang
berkaitan dengan sertipikat hak atas tanah yang dapat menjadi pedoman dalam
menilai yurisdiksi materil gugatan pembatalan hak atas tanah, sehingga tidak
tentang pertanahan khususnya tentang pembatalan hak atas tanah dan dapat lebih
122
jeli dalam menilai yurisdiksi materil gugatan pembatalan hak atas tanah, sehingga
apabila ada gugatan yang bukan kewenangannya dapat menolak, dalam putusan
2. Perlu dilakukan deregulasi yang komprehensif dalam pembatalan hak atas tanah
undangan yang mengatur pembatalan hak atas tanah. Peraturan yang sinkron dan
harmonis membawa kelancaran dalam proses pembatalan hak atas tanah sehingga
3. Permohonan pembatalan hak atas tanah yang telah diajukan melalui Kantor
pejabat yang berwenang dalam mengambil keputusan pembatalan hak atas tanah
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2004.
Basri, Hasan Nata Menggala dan Sarjita, Pembatalan dan Kebatalan Hak Atas
Tanah, Yogyakarta : Tugujogja pustaka, 2005.
Chandra, S., Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah, Jakarta : Grasindo, 2005.
Chandra, S., Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah
(Studi Kasus: Kepemilikan Hak Atas Tanah Terdaftar yang Berpotensi Hapus
di Kota Medan), Medan : Pustaka Bangsa Press, 2006
Chomzah, Ali Achmad, Seri Hukum Pertanahan III, Penyelesaian Sengketa Hak
AtasTanah, Jakarta : Prestasi Pustaka 2003.
Lubis, Mhd.Yamin dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Bandung:
CV. Mandar Maju, 2008.
Parlindungan, A.P., Pendaftaran Tanah dan Konversi Hak-Hak Atas Tanah Menurut
UUPA, Bandung : Alumni, 1985.
124
Salman, Otje HR, dan Susanto, Anton F, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan
dan Membuka Kembali, Bandung: PT. Refika Aditama, 2005.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006.
Wantjik, K Saleh, Hukum Acara Perdata RBG/HIR, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.
Wiyono, R., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Sinar Grafika,
2008.
B. Peraturan Perundang-undangan
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah.
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2005 tentang Standar
Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan di Lingkungan Badan Pertanahan
Nasional.
Petunjuk Teknis Nomor: 06/ Juknis/ D.V/2007 Tanggal 31 Mei 2007 Tentang
Berperkara di Pengadilan dan Tindak Lanjut Pelaksanaan Putusan Pengadilan.
Petunjuk Teknis Nomor: 08/ Juknis/ D.V/2007 Tanggal 31 Mei 2007 Tentang
Penyusunan Keputusan Pembatalan Surat Keputusan Pemberian Hak Atas
Tanah/ Pendaftaran Tanah/ Sertifikat Hak Atas Tanah.
Tanjung. Suriyati, Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah dan Perlindungan Pihak
Ketiga yang Beritikad Baik (Studi Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Medan),
Disertasi, PPs/USU, Medan, 2006.
126
------, Reforma Agraria, Mandat Politik, Konstitusi, dan hukum dalam Rangka
Mewujudkan “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”, Badan
Pertanahan Nasioanl Republik Indonesia (BPN RI), 2007.
D. Internet