Anda di halaman 1dari 126

ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN HAK ATAS TANAH

DI KANTOR PERTANAHAN KOTA MEDAN

TESIS

Oleh

DEWI PURNAMA JULIANTI


077011012/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009

Dewi Purnama Julianti : Analisis Yuridis Pembatalan Hak Atas Tanah Di Kantor Pertanahan Kota Medan, 2009
2

ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN HAK ATAS TANAH


DI KANTOR PERTANAHAN KOTA MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister


Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara

Oleh

DEWI PURNAMA JULIANTI


077011012/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
3

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN HAK ATAS


TANAH DI KANTOR PERTANAHAN KOTA MEDAN
Nama Mahasiswa : Dewi Purnama Julianti
Nomor Pokok : 077011012
Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui
Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)


Ketua

(Notaris Syahril Sofyan,SH,MKn) (Dr.T. Keizerina Devi A, SH,CN,MHum)


Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B,MSc)

Tanggal lulus : 10 September 2009


4

Telah diuji pada

Tanggal : 10 September 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN

Anggota : 1. Notaris Syahril Sofyan SH, MKn

2. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, MHum, CN

3. Notaris Chairani Bustami, SH, MKn

4. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum


5

ABSTRAK

Pendaftaran tanah di Indonesia bertujuan untuk menjamin kepastian hukum


atas bidang tanah yang telah terdaftar. Sistem pendaftaran tanah yang dianut di
Indonesia yaitu sistem negatif bertendensi positif memberikan alat bukti yang kuat
bukan mutlak Untuk menganulir kekeliruan yang mungkin terjadi pada proses
pendaftaran tanah, disediakan sarana korektif berupa pembatalan hak atas tanah.
Pembatalan hak atas tanah pada hakikatnya adalah pembatalan surat keputusan
pemberian hak atas tanah dan atau sertipikat sehingga tanah tersebut kembali
statusnya menjadi tanah negara. Pembatalan hak atas tanah dapat dikarenakan cacat
administrasi dalam penerbitan surat keputusan pemberian hak atas tanah maupun
untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Amar
putusan pengadilan yang berisi perintah untuk membatalkan sertipikat hak atas tanah,
secara administratif, harus ditindak lanjuti oleh pemerintah dalam hal ini Badan
Pertanahan Nasional dengan mengeluarkan surat keputusan pembatalan surat
keputusan pemberian hak atas tanah yang serta merta membatalkan sertipikat hak atas
tanah. Namun kenyataannya Badan Pertanahan Nasional, sangat jarang mengeluarkan
surat keputusan pembatalan surat keputusan pemberian hak atas tanah padahal
putusan pengadilan mengenai pembatalan sertipikat relatif banyak.
Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu bertujuan untuk menggambarkan serta
menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai
pembatalan hak atas tanah. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum
normatif, yaitu penelitian kepustakaan dengan pendekatan perundang-undangan
terurama untuk mengkaji peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pembatalan hak
atas tanah. Metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah penelitian
kepustakaan dan analisisnya dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan metode
deduktif.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan bahwa persoalan pembatalan hak atas
tanah terkait dengan masalah kompetensi peradilan disebabkan sulitnya
mengidentifikasi yurisdiksi materil gugatan karena biasanya gabungan antara aspek
perdata dengan aspek tata usaha negara. Masih terdapat kelemahan dalam peraturan-
peraturan pembatalan hak atas tanah yang menjadi kendala dalam penyelesaian
permohonan pembatalan hak atas tanah. Kantor Pertanahan Kota Medan relatif baik
dalam menangani permohonan pembatalan hak atas tanah pada tahap awal dan telah
sesuai dengan tata cara dan prosedur yang telah ditetapkan..

Kata kunci : Pembatalan Hak Atas Tanah


6

ABSTRACT

Land registration in Indonesia ia aimed to assure about the land registered


of law assurance. It obtaines negative tend to positive system of law giving strong
evidence not absolute. Correcting some mistakes that could be happen in it’s process
made corrective means available that is land right cancellation. Land Right
Cancellation is about the cancellation of it’s Decree and/ or certificate so that the
land revert to land state status. It can be caused administration defect in the you
know publication of the land right awarding decree as well as to execute the court
said. The command that cancel land certificate must be followed by government
administratively. In fact, Land National Agency rarely issued the cancellation are
much more.
This study is aimed to describe and analyse data. This study used normative
law by studying literature of act, particularly to examine the act about land right
cancellation. Data collected by literature study and analyzed qualitatively using
deductive method.
The conclusion of this study is the matter of land right cancellation about
the court competencies that caused of hardly identification of claim material
jurisdiction. It is usually merged between civil aspect and administration aspect.
There are some weakness in the act of land right cancellation application. Medan
City Land Office handles it well in the early steps of it and appropriate with the
procedure determined.

Keywords : Cancellations, Land Right.


7

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Penulis panjatkan yang telah memberi

kemudahan sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis ini yang berjudul

“ANALISIS YURIDIS PEMBATALAN HAK ATAS TANAH DI KANTOR

PERTANAHAN KOTA MEDAN”.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam

menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara.

Dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati, Penulis menyampaikan

ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis

untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister

Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Studi

Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH, MS, CN, selaku Ketua Program

Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

sekaligus pembimbing utama yang dengan penuh perhatian memberi bimbingan

dan saran kepada penulis.


8

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum, selaku Sekretaris Program

Studi Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara sekaligus

pembimbing yang dengan penuh perhatian memberi dorongan, bimbingan, dan

saran kepada penulis;

5. Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn, selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan perhatian, dukungan dan masukan kepada penulis;

6. Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn, selaku dosen penguji yang telah

memberikan masukan serta kritik yang membangun kepada penulis;

7. Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, MHum, selaku dosen penguji yang telah

memberikan masukan serta kritik yang membangun kepada penulis;

8. Bapak-bapak dan Ibu-ibu staf pengajar serta para karyawan di Program Studi

Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

9. Kepada yang terhormat dan terkasih kedua orang tuaku H. Abd. Djalil Siregar,

SH dan Hj. Hartaty Harahap sebagai orang tua terbaik yang selalu tulus, sabar

dan tabah dalam segala hal dari dulu, sekarang, esok dan seterusnya menjadi

bagian dalam hidup penulis;

10. Buat keluargaku Abang-Abangku Muhammad Sutan Siregar, SH, Muhammad

Rajamin Siregar, SH, dan Muhammad Pandapotan Siregar, SH, kakak- kakak

iparku Liza Mayanti Hasibuan, SS, Marlina Agustina Harahap, S.Hut, Spd, Sri

Wahyuni Harahap serta keponakan-keponakanku tercinta Alwi, Raihan, Putri,

Naila “Kokong”, Hania, Tasya, terima kasih yang tulus buat doa, semangat dan

tempat untuk berbagi.


9

11. Teman-teman mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Angkatan 2007 khususnya Kelas A

semoga kekompakan kita terjaga selalu. Temanku Lenny Mutiara Ambarita, Sri

Puspita Dewi terima kasih atas bantuannya sehingga tesis ini dapat selesai. Tak

lupa kuucapkan terima kasih yang setulusnya kepada dosen dan teman-teman

alumni STPN 1999 atas dukungannya terutama Bapak Hasan Basri Nata

Menggala, Seti Kuncoro, Aries “Ences”, Umron Ridho, Aan Rosmana semoga

kita bisa sukses bersama.

Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan perhatiannya

sehingga Penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini. Penulis

menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan semoga tesis ini

dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Agustus 2009

Penulis,

Dewi Purnama Julianti


10

RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Dewi Purnama Julianti

Tempat/Tanggal lahir : Medan, 3 Februari 1973

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jl. Kapt. M.Jamil Lubis No. 12 Medan

II. Keluarga

Nama Ayah : H. Abd. Djalil Siregar, SH

Nama Ibu : Hj. Hartaty Harahap

III. Pendidikan

1. SD Negeri 064037 Medan (1980-1986)

2. SMP Negeri 15 Medan (1986-1989)

3. SMA Negeri 1 Medan (1989-1992)

4. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta (1995-1999)

5. S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan (2002-2005)

6. S-2 Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara (2007-2009)


11

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ....................................................................................................... i

ABSTRACT ..................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii

RIWAYAT HIDUP .......................................................................................... vi

DAFTAR ISI .................................................................................................... vii

DAFTAR TABEL ............................................................................................ ix

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

A. Latar Belakang ......................................................................... 1

B. Perumusan Masalah .................................................................. 6

C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 6

D. Manfaat Penelitian .................................................................... 7

E. Keaslian Penulisan .................................................................... 7

F. Kerangka Teori dan Konsepsi................................................... 8

1. Kerangka Teori ................................................................... 8

2. Konsepsi.............................................................................. 35

G. Metode Penelitian...................................................................... 37

1. Sifat Penelitian .................................................................... 37

2. Metode Pendekatan Penelitian............................................ 37

3. Sumber Data........................................................................ 38

4. Alat Pengumpulan Data ..................................................... 39

5. Analisis Data....................................................................... 39
12

BAB II KOMPETENSI BADAN PERADILAN DALAM


PEMBATALAN HAK ATAS TANAH ....................................... 40

A. Kompetensi Peradilan Umum dalam Gugatan Pembatalan


Hak Atas Tanah......................................................................... 44

B. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam Gugatan


Pembatalan Hak Atas Tanah ..................................................... 48

C. Problematika Kompetensi Peradilan dalam Gugatan


Pembatalan Hak Atas Tanah ..................................................... 55

D. Pelaksanaan Putusan Pengadilan............................................... 63

BAB III PERATURAN-PERATURAN TENTANG PEMBATALAN


HAK ATAS TANAH..................................................................... 66

A. Kewenangan Pembatalan Hak Atas Tanah ............................... 68

B. Subjek Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah ........................ 76

C. Objek Pembatalan Hak Atas Tanah .......................................... 77

D. Syarat-Syarat Permohonan Pembatalan Hak Atas Tanah ........ 80

E. Prosedur Permohonan Pembatalan Hak Atas Tanah................. 81

BAB IV IMPLEMETASI PERATURAN PEMBATALAN HAK ATAS


TANAH DI KANTOR PERTANAHAN KOTA MEDAN ............. 85

A. Tugas dan Fungsi Badan Pertanahan Nasional ......................... 85

B. Kedudukan Kantor Pertanahan dalam Pembatalan Hak Atas Tanah ..... 87

C. Implementasi Peraturan Pembatalan Hak Atas Tanah di


Kantor Pertanahan Kota Medan ................................................ 89

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 106

A. Kesimpulan................................................................................. 106

B. Saran.......................................................................................... 108

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 110


13

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Kewenangan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota


Dalam Menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak Atas
Tanah............................................................................................ 73

2. Kewenangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan


Nasional Propinsi Dalam Menerbitkan Surat Keputusan
Pemberian Hak Atas Tanah.......................................................... 75
14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bagi bangsa Indonesia bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung

didalamnya harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tanah

sebagai permukaan bumi serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya sangat

dibutuhkan oleh setiap manusia baik sebagai tempat tinggal maupun sebagai sumber

kehidupan, dengan kata lain manusia secara langsung atau tidak langsung selalu

membutuhkan tanah untuk memenuhi kebutuhannya baik kebutuhan ekonomi, sosial,

budaya dan sebagainya. Akan tetapi tingkat kebutuhan masyarakat yang semakin

tinggi akan tanah, yang jumlahnya relatif tetap, menimbulkan banyak benturan

kepentingan yang berakibat munculnya permasalahan di bidang pertanahan.

Masalah pertanahan, merupakan suatu masalah strategis yang terkait dengan

faktor-faktor sosial, ekonomi, politik, maupun budaya, harus segera ditangani karena

bila tidak dilaksanakan secara cepat dan tepat justru akan menempatkan pada posisi

dimana tanah menjadi sumber konflik di tengah masyarakat.

Kondisi yang counter productive inilah yang disadari oleh semua pihak agar

ke depan masalah pertanahan ditangani dan dikelola secara lebih profesional sehingga

apa yang diamanatkan bahwa tanah agar dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi

kemakmuran rakyat dapat benar-benar terwujud. Masalah krusial yang menyangkut


15

aspek manusia dengan tanah adalah hubungan hukum antara manusia dengan tanah

itu sendiri, baik dalam tatanan masyarakat tradisional maupun masyarakat modern.

Hubungan hukum manusia dengan tanah dikonkritkan melalui lembaga hak

atas tanah. Kepastian hukum hak atas tanah merupakan titik tolak bagi penanganan

maupun pengelolaan masalah pertanahan sehingga tanah itu sendiri memiliki nilai

produktif bagi kehidupan masyarakat pemilik tanah. 1

Untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum, pemerintah

melakukan kegiatan pendaftaran tanah secara terus-menerus dan berkesinambungan

diseluruh wilayah Indonesia agar diperoleh administrasi pertanahan yang baik yang

dapat menjadi sumber data yang akurat apabila terjadi permasalahan di bidang

pertanahan.

Namun walaupun tujuan pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian

hukum, akan tetapi di dalam kenyataannya pendaftaran tanah ini hanyalah bersifat

administratif, sementara tentang pembuktian alas hak yang menjadi dasar

permohonan hak dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik melalui akta otentik,

dibawah tangan dan sebagainya. Sehingga tidak tertutup kemungkinan adanya fakta

lain yang tidak terungkap pada saat proses pendaftarannya. Kemungkinan ini dapat

terjadi karena dalam kenyataannya banyak tanah-tanah yang tidak jelas

kepemilikannya dan penggunaannya seperti terjadinya peralihan secara terus menerus

1
Kurdianto Sarah, Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Pemberdayaan Hak-Hak Rakyat
Atas Tanah, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Keagrarian Dies XXIX KMTG FT-UGM,
Yogyakarta tanggal 2-12-1999.
16

tanpa melalui instansi yang berwenang, ketidakjelasan tentang penguasaan tanah

(present land tenure) dan penggunaan tanah (present, land use). 2

Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dengan terbitnya sertipikat, yang

merupakan output pendaftaran tanah, terbuka kesempatan untuk memperoleh haknya

kembali dengan menunjukkan bukti-bukti kepemilikan yang sah melalui pengajuan

gugatan ke lembaga peradilan. Gugatan dapat diajukan ke Peradilan Umum atau ke

Peradilan Tata Usaha Negara sesuai dengan materi gugatan dan kompetensi masing-

masing peradilan. Dalam kapasitasnya, peradilan mengeluarkan keputusan mengenai

status hukum terhadap subjek maupun objek bidang tanah yang digugat tersebut.

Apabila pemberian hak atas tanah oleh pejabat yang berwenang dirasa merugikan

maka dalam gugatan dapat diminta untuk dibatalkan, hal ini dimungkinkan karena

sistem pendaftaran tanah yang dianut di Indonesia yaitu sistem negatif bertendensi

positif yang berarti pemegang hak yang sebenarnya dilindungi dari tindakan orang

lain yang mengalihkan haknya tanpa diketahui oleh pemegang hak sebenarnya. Ciri

pokok dari sistem negatif bertendensi positif ini adalah pendaftaran tanah tidak

menjamin bahwa nama-nama yang terdaftar adalah pemilik sebenarnya. Nama dari

pemegang hak sebelumnya dari mana pemohon hak memperoleh tanah tersebut untuk

kemudian didaftarkan merupakan mata rantai dari perbuatan hukum dalam

pendaftaran hak atas tanah. 3

2
Chadijah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahnnya,
(Medan: Universitas Sumatera Utara, edisi revisi 2005), hal. 168.
3
A.P.Parlindungan, Pendaftaran Tanah dan Konversi Hak-Hak Atas Tanah Menurut UUPA,
(Bandung : Alumni, 1985), hal 37
17

Untuk menganulir kekeliruan yang mungkin terjadi pada proses pendaftaran

tanah, disediakan sarana korektif yaitu melalui proses pembatalan hak atas tanah.

Pembatalan hak atas tanah pada hakikatnya adalah pembatalan surat keputusan

pemberian hak atas tanah dan atau sertipikat yang diterbitkan sebagai bukti yang kuat

sehingga tanah tersebut kembali statusnya menjadi tanah negara. Pembatalan hak atas

tanah dapat dikarenakan cacat administrasi dalam penerbitan surat keputusan

pemberian hak atas tanah maupun untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap.

Salah satu amar putusan pengadilan antara lain berisi perintah untuk

membatalkan sertipikat hak atas tanah dan terhadap putusan in, secara administratif,

harus ditindak lanjuti oleh pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional

dengan mengeluarkan surat keputusan pembatalan surat keputusan pemberian hak

atas tanah yang serta merta membatalkan sertipikat hak atas tanah. Mengenai

kewenangan, tata cara serta prosedur penerbitan surat keputusan pembatalan surat

keputusan pemberian hak atas tanah telah diatur dalam beberapa peraturan tertulis

antara lain yang paling pokok adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala

Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan

Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara, Peraturan Menteri Negara

Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara

Pemberian dan Pembatalan Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, serta Petunjuk

Teknis Nomor 08/JUKNIS/D.V/2007 tentang Penyusunan Keputusan Pembatalan

Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah/Pendaftaran/ Sertipikat Hak Atas Tanah.
18

Namun kenyataannya selama ini pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan

Nasional, sangat jarang mengeluarkan surat keputusan pembatalan surat keputusan

pemberian hak atas tanah padahal putusan pengadilan mengenai pembatalan sertipikat

relatif banyak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya bahwa putusan

pengadilan Tata Usaha Negara di Kota Medan, yang memutuskan dengan

membatalkan sertipikat adalah cukup banyak, akan tetapi sampai sekarang dari sekian

banyak putusan pengadilan yang memenangkan pihak penggugat di Kota Medan dan

telah diajukan ke Badan Pertanahan Nasional Pusat belum ada satupun keputusan dari

Badan Pertanahan Nasional Pusat yang membatalkan sertipikat. 4

Fakta ini sangat menarik karena pengaturan mengenai pembatalan hak atas

tanah sebenarnya telah dideregulasi sebagaimana peraturan-peraturan yang telah

disebutkan diatas, yang secara konseptual teoritis relatif komprehensif dan mudah

untuk dilaksanakan akan tetapi mengapa dalam tataran praktika empirik sulit

direalisasikan. Berdasarkan fakta ini diyakini masih terdapat kendala maupun celah

hukum yang menyebabkan proses penerbitan surat keputusan pembatalan hak atas

tanah tersebut tidak mudah didapatkan dan memakan waktu yang cukup panjang. Hal

inilah yang perlu diteliti dan ditelusuri sehingga nantinya dapat diperoleh gambaran

yang jelas dimana letak titik krusial yang harus diluruskan demi kelancaran proses

pembatalah hak atas tanah tersebut.

4
Suriyati Tanjung, Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah dan Perlindungan Pihak Ketiga
yang Beritikad Baik (Studi Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Medan), tesis, Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara, 2006, hal.117
19

B. Perumusan Masalah

Dari uraian tersebut diatas, dapat dikemukakan beberapa permasalahan yang

muncul, adapun permalahan tersebut adalah :

1. Bagaimanakah kompetensi badan peradilan terhadap gugatan pembatalan hak atas

tanah?

2. Bagaimanakah peraturan-peraturan tentang pembatalan hak atas tanah yang

berlaku saat ini?

3. Bagaimanakah implementasi peraturan-peraturan tersebut dalam proses

pembatalan hak atas tanah di Kantor Pertanahan Kota Medan?

C. Tujuan Penelitian

Bertitik tolak dari perumusan masalah diatas, maka penulisan tesis ini

bertujuan sebagai berikut :

1. Mengetahui dan memahami kompetensi badan peradilan dalam mengadili

gugatan pembatalan hak atas tanah.

2. Mengetahui dan memahami peraturan-peraturan tentang pembatalan hak atas

tanah yang berlaku saat ini.

3. Mengetahui dan memahami implementasi peraturan-peraturan tersebut dalam

proses pembatalan hak atas tanah di Kantor Pertanahan Kota Medan.


20

D. Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat dalam penelitian ini adalah :

1. Secara Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh berbagai pihak yang

membutuhkan sebagai bahan kajian lebih lanjut mengenai proses pembatalan hak

atas tanah yang benar dan sah menurut peraturan perundang-undangan serta

mengetahui kendala-kendala yang terjadi dalam prakteknya selama ini.

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi para akademisi sebagai bahan

pengetahuan di bidang pertanahan umumnya dan pendaftaran tanah khususnya

mengenai proses pembatalan hak atas tanah.

E. Keaslian Penulisan

Setelah dilakukan inventarisasi terutama di kepustakaan Universitas Sumatera

Utara, ternyata penelitian ini belum pernah dilakukan, adapun penelitian terkait

dengan pembatalan sertipikat hak atas tanah adalah yang berjudul : “Pembatalan

Sertipikat Hak Atas Tanah Dan Perlindungan Pihak Ketiga Yang Beritikad Baik

(Studi Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Medan)”. Penelitian ini dilakukan oleh

Suriyati Tanjung, salah seorang mahasiswa pada Sekolah Pascasarjana Program Studi

Magister Kenotariatan Unversitas Sumatera Utara tahun 2006, dengan mengangkat 3

(tiga) permasalahan yaitu :


21

1. Faktor-faktor apa saja yang mengakibatkan sertipikat hak atas tanah sebagai alat

bukti yang kuat dapat dibatalkan?

2. Bagaimanakah mekanisme pembatalan sertipikat hak atas tanah?

3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap kepentingan pihak ketiga yang

beritikad baik, dalam hal sertipikat hak atas tanah dibatalkan oleh Pengadilan dan

konsekwensi hukumnya?

Apabila ditinjau dari latar belakang dan permasalahan yang telah diuraikan

sebelumnya terlihat perbedaan titik tolak dan sudut pandang antara penelitian

sebelumnya dengan penelitian ini maka pembahasannyapun akan berbeda pula,

dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara

ilmiah. Sehingga diharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat saling melengkapi.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori berasal dari kata “theoria” dalam bahasa Latin berarti perenungan, yang

pada gilirannya berasal dari kata “thea” dalam bahasa Yunani yang secara hakiki

menyiratkan sesuatu yang disebut dengan realitas. 5

Beberapa defenisi teori dikemukakan oleh para ahli diantaranya :

a. Soetandyo Wignjosoebroto :

“Teori adalah suatu konstruksi di alam cita atau ide manusia, dibangun dengan

maksud untuk menggambarkan secara reflektif fenomena yang dijumpai di alam

pengalaman.” 6

5
Otje Salman, Anthon F. Susanto, Teori Hukum, (Bandung, Refika Aditama, 2007), hal.21.
6
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya,
ELSAM-HUMA, Jakarta, 2002, hal. 184.
22

b. Pred N. Kerlinger :

”Teori adalah seperangkat konstruk (konsep), batasan, dan proposisi, yang

menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-

hubungan antar variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksikan gejala

itu.” 7

“Teori mempunyai beberapa defenisi yang dikemukakan beberapa ahli, namun

bagi semua ahli, teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang di samping

mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja

hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum.” 8

“Teori berguna untuk mempertajam atau mengkhususkan fakta, berguna dalam

mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep dan

memperkembangkan defenisi, suatu ihktisar hal yang diketahui, kemungkinan

prediksi fakta mendatang, memberi petunjuk terhadap kekurangan.” 9

Penelitian hukum normatif menelaah unsur-unsur hukum yang mencakup

unsur idiel dan unsur riel sehingga menghasilkan kaidah-kaidah hukum dan tata

hukum. Oleh karena itu penelitian normatif ini bertitik tolak dari bidang-bidang tata

hukum (tertulis) tertentu, dengan cara mengadakan identifikasi terlebih dahulu

terhadap kaidah-kaidah hukum yang telah dirumuskan diantaranya perUndang-

undangan tertentu. 10

7
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, ,(Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), hal.14.
8
Otje Salman, Anthon F. Susanto, Op.cit, hal.23.
9
http://staf.ui.edu/internal
10
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta : PT. Raja Grafindo 2006), hal 15.
23

a. Hak Atas Tanah

Bagi bangsa Indonesia, hubungan manusia/masyarakat dengan tanah

merupakan hal yang sangat mendasar dan asasi yang dijamin dan dilindungi

keberadaannya oleh konstitusi khususnya Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 disebutkan

bahwa: “ Bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh

Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Pasal 33 ayat

(3) UUD 1945 ini memberikan dasar bagi lahirnya kewenangan sebagaimana diatur

dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan sebutan Undang-undang Pokok

Agraria (UUPA) kepada lembaga pemerintah/negara yang bertanggung jawab atas

pertanahan.

Kewenangan yang dimaksud adalah :

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;

2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang

dengan bumi, air dan ruang angkasa;

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang, dan

perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) bertujuan untuk :

1. Meletakkan dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang merupakan alat

untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan

rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
24

2. Meletakkan dasar-dasar kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.

3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak

atas tanah bagi rakyat seluruhnya. 11

Apabila dicermati maka dalam UUPA tersebut ada 4 (empat) kelompok

kebijaksanaan utama dalam bidang pertanahan, yaitu : 12

1. Tentang kewenangan

2. Tentang Penguasaan Tanah

3. Tentang Penggunaan Tanah

4. Tentang Pengadministrasian Tanah

1. Kewenangan

Pasal 1 sampai Pasal 5 UUPA isinya adalah tentang usaha untuk

mendudukkan atau memberikan kewenangan kepada pemerintah atau negara sebagai

organisasi kekuasaan tertinggi di Indonesia.

Pengertian kewenangan tersebut mencakup:

a. Bahwa Negara menguasai tanah namun tidak memilikinya.

b. Negara berwenang untuk mengatur penguasaan dan penggunaan tanah.

c. Kewenangan Negara untuk mengatur itu harus diarahkan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat.

d. Negara dapat menguasakan pelaksanaannya kepada pihak lain.

11
Penjelasan Undang-undang Nomor5 Tahun 1960 tentang UUPA
12
P.Suryosuwarno, Tinjauan Hukum Dalam Mengantisipasi Perbedaan Kepentingan dan
Masalah Keagrariaan Dalam Otonomi Daerah, Makalah diajukan dalam Seminar Nasional Agraria di
Yogyakarta tanggal 2 Desember 1999.
25

2. Penguasaan Tanah

Ketentuan utama dari penguasaan tanah terdapat pada Pasal 2 UUPA

khususnya ayat (3) yaitu agar tanah itu digunakan untuk hal-hal yang mendatangkan

sebesar-besar kemakmuran rakyat, agar orientasi ini tercapai maka diatur juga dalam

beberapa pasal dalam UUPA mengenai penguasaan tanah ini yaitu Pasal

4,7,9,10,11,12,13,17, dan 18 yang mengamanatkan apa yang boleh dan yang tidak

boleh dalam penguasaan tanah.

Amanat tersebut antara lain :

a. Masyarakat dapat menguasai tanah dengan sesuatu hak tertentu.

b. Tidak dibenarkan adanya pemborosan dalam penguasaan tanah, dalam arti

penguasaan tanah itu tidak boleh melebihi keperluan penggunaannya.

c. Pengusaan sepenuhnya (Hak Milik) hanya boleh bagi Warga Negara Indonesia.

d. Penguasaan tanah tidak boleh dipakai untuk keperluan pemerasan.

e. Tata cara penguasaan tanah oleh pelbagai suku/ masyarakat adat akan

diperhatikan dan perhatian juga diberikan bagi penguasa tanah yang tergolong

ekonomi lemah.

f. Usaha di bidang pertanahan didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka

kepentingan nasional.

g. Usaha bersama dalam penguasaan dan pengusahaan tanah boleh dilakukan

Negara dengan pihak lain.

h. Penguasaan secara guntai (absentee) dilarang.

i. Penguasaan tanah secara monopoli swasta dilarang.


26

j. Pemerintah menetapkan batas maksimum dan minimum penguasaan tanah.

k. Hak atas tanah dapat dicabut untuk kepentingan umum.

3. Penggunaan Tanah

Kebijaksanaan penggunaan tanah tertuang dalam pasal 2,4,14,15, dan 18 yang

secara ringkas kebijaksanaan tersebut adalah :

a. Tanah harus dipergunakan untuk hal-hal yang bisa mendatangkan sebesar-besar

kemakmuran rakyat.

b. Penggunaan tanah untuk sesuatu peruntukan tidak boleh boros.

c. Pemerintah membuat rencana umum persediaan, peruntukan, dan penggunaan

tanah.

d. Penggunaan tanah tidak boleh sampai mengakibatkan kerusakan pada tanah.

e. Prioritas pembangunan menentukan prioritas penggunaan tanah.

Kebijaksanaan ini menunjukkan bahwa penggunaan tanah tidak dapat terpisah

dengan penguasaannya, dan sebaliknya penguasaan tanah tidak dapat dipisahkan dari

penggunaannya.

4. Administrasi Pertanahan

Pasal 16 dan 19 UUPA melandasi kebijakan di bidang administrasi

pertanahan, yang intinya adalah :

a. Perlu adanya keseragaman hak-hak atas tanah yang dapat dikuasai baik oleh

perorangan, masyarakat, badan hukum, dan instansi pemerintah.

b. Untuk menghindari kericuhan serta terwujudnya kepastian hak, dan kepastian

hukum, maka hak-hak atas tanah itu harus didaftarkan.


27

Lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) menjadi tonggak sejarah

unifikasi hukum pertanahan di Indonesia. Undang-undang Pokok Agraria, yang tidak

lain adalah pengejewantahan cita bangsa yang diamanatkan dalam konstitusi yaitu

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, merupakan aturan dasar yang menjadi pegangan semua

pihak dalam menyelesaikan masalah-masalah pertanahan. Akan tetapi Undang-

undang Pokok Agraria tidak mengatur tanah dalam segala aspek dan dimensi tapi

hanyalah mengenai aspek hukum tanah sebagai permukaan bumi yang tidak terlepas

dari aspek penguasaan dan penggunaan yang timbul karenanya.

“Hukum Tanah bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya akan tetapi hanya

mengatur salah satu aspek yuridisnya yang disebut hak-hak penguasaan atas tanah.” 13

Dalam Undang-undang Pokok Agraria telah ditetapkan tata jenjang atau

hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional kita yaitu : 14

1. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal 1, sebagai hak penguasaan atas

tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik.

2. Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalam Pasal 2, semata-mata beraspek

publik.

3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam Pasal 3, beraspek

perdata dan publik.

4. Hak- Hak Perorangan/individual, semuanya beraspek perdata, terdiri atas :

13
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Djambatan, 1997), hal.16
14
Ibid, hal.22
28

a. Hak Hak Atas Tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara

lansung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Bangsa, yang disebut

dalam Pasal 16 dan 53;

b. Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan, Pasal 49;

c. Hak Jaminan Atas Tanah yang disebut “Hak Tanggungan” dalam Pasal

25,33,39, dan 51.

Hak-Hak Atas Tanah sebagai lembaga hukum telah ditentukan dalam Pasal 16

ayat (1) UUPA yang dibedakan berdasarkan kewenangan yang diberikan pada

masing-masing Hak Atas Tanah yaitu :

1. Hak Milik

2. Hak Guna Usaha

3. Hak Guna Bangunan

4. Hak Pakai

5. Hak Sewa

6. Hak Membuka Tanah

7. Hak Memungut Hasil Hutan

8. Hak-Hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan

ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai

yang disebutkan dalam Pasal 53.

Hak-hak penguasaan atas tanah tersebut diatas meliputi aspek publik dan

perdata yang didalamnya terdapat kewenangan sekaligus kewajiban dan larangan bagi

pemegangnya.
29

Undang-undang Pokok Agraria telah mengakomodir aspek perdata, karena

sejak lahirnya Undang-undang Pokok Agraria maka semua ketentuan mengenai

benda dalam buku II KUHPerdata sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam

yang terkandung didalamnya telah dicabut, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai

hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya Undang-undang ini dengan

mengingat Pasal 57 (diktum memutuskan angka 4). 15 Ini berarti bahwa Undang-

undang Pokok Agraria memiliki aspek-aspek perdata karena mengatur beberapa hak

atas tanah yang menjadi objek perbuatan-perbuatan perdata. 16

“Hak-hak atas tanah, yang merupakan bagian dari hak-hak perorangan/

individual hanya mengandung aspek perdata saja artinya hanya meliputi hubungan

antara subjek hak baik perorangan maupun badan hukum perdata serta Pemerintah

yang menguasai tanah untuk keperluan memenuhi kebutuhan dan atau melaksanakan

tugasnya masing-masing.” 17

“Bagi sarjana hukum objek perhatian hukumnya bukan tanahnya, melainkan

hak-hak dan kewajiban–kewajiban yang berkenaan dengan tanah yang dimiliki dan

15
Hak-hak kebendaan yang sudah dicabut dalam buku II KUHPerdata, yang diatur dalam
Undang-undang Pokok Agraria, sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung
didalamnya, tidak lagi termasuk dalam lapangan keperdataan melainkan menjadi objek dari hukum
yang lain yaitu hukum agraria. (Sri Soedewi Masjchoen Sofyan, Hukum Perdata, Hukum Benda,
(Yogyakarta : Liberty 1981), hal.29
16
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, (Bandung : Alumni,
1983), hal.32.
17
Boedi Harsono, Op.cit, hal.28, Sedangkan ketentuan-ketentuan tanah yang beraspek publik
meliputi bidang legislatif, eksekutif/administratif dan yudikatif yang kegiatannya dilakukan oleh
Negara sebagai Badan Penguasa
30

dikuasai dalam berbagai bentuknya, meliputi kerangka hukum dan institusionalnya,

pemindahannya serta pengawasannya oleh masyarakat.” 18

b. Pendaftaran Tanah

Hak-hak individu yang sifatnya keperdataan, sekalipun sebenarnya pada

awalnya berasal dari hak adat yang bersifat hak bersama semacam hak ulayat, kecil

kemungkinannya kembali menjadi hak-hak yang bersifat komunal, sudah diakui

sebagai hak yang utuh dengan segala kewenangan yang diatur oleh peraturan

perundangan dan konsekuensinya pada sipemilik harus ada jaminan atas pelaksanaan

hak tersebut dan pemanfaatannya sesuai dengan fungsinya serta terjamin status

haknya sesuai dengan nama hak-hak atas tanah sebagaimana di dalam Pasal 16

UUPA yang dijabarkan lebih lanjut eksistensinya dari Pasal 20 hingga 43 UUPA. 19

Untuk menjamin kepastian hukum hak atas tanah maka oleh pemerintah

dilaksanakan pendaftaran tanah. Persoalan penyelenggaraan pendaftaran tanah

mengenai tanah-tanah di Indonesia baru mendapat penyelesaian secara prinsipil

dengan diundangkannya UUPA pada tanggal 24 September 1960, yang menetapkan

Pasal 19 ayat (1) sebagai dasar pelaksanaan pendaftaran tanah yang menyebutkan

untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di

seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan

Pemerintah. 20

18
Ibid, hal 16. bandingkan dengan Lichfield, Nathaniel and Darim-Drabkin, Haim, Land
Policy in Planning, (London : George Allen & Unwin Ltd, 1980), hal 13.
19
Mhd.Yamin Lubis dan Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung : Mandar
Maju, 2008), hal.97
20
Ibid, hal.81
31

Pengertian pendaftaran tanah menurut Pemerintah Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah disebutkan di dalam Pasal 1 angka 1 yaitu:

Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus


berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan,
pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis
dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah dan satuan
rumah susun termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang tanah
yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak
tertentu yang membebaninya.

Sedangkan pengertian pendaftaran tanah adalah :

Suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Negara/Pemerintah secara


terus-menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu
mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu,
pengolahan, penyimpanan, dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam
rangka menjamin jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, termasuk
penerbitan tanda bukti dan pemeliharaannya. 21

Berdasarkan pengertian tersebut, pendaftaran tanah dapat dibedakan menjadi

dua yaitu pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran

tanah . Pendaftaran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah yang

dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum di daftar berdasarkan PP

Nomor 10 Tahun 1961 atau PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Sedangkan pemeliharaan data pendaftaran tanah merupakan kegiatan pendaftaran

tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar

tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertipikat karena adanya perubahan-

perubahan yang terjadi kemudian.

21
Boedi Harsono,Op.cit, hal 72.
32

Jadi kegiatan pendaftaran tanah, meliputi :

1. Bidang Fisik, yaitu pengukuran, pemetaan dan pembukuan yang menghasilkan

peta-peta pendaftaran dan surat ukur.

2. Bidang Yuridis, yaitu pendaftaran hak-hak atas tanah, peralihan hak dan

pendaftaran atau pencatatan dari hak-hak lain ( baik hak atas tanah maupun

jaminan) serta beban-beban lainnya.

c. Tujuan Pendaftaran Tanah

Guna mendukung percepatan kegiatan pendaftaran tanah, 22 dikeluarkanlah

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang

menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.

Adapun tujuan Pendaftaran Tanah menurut pasal 19 UUPA, adalah untuk

memberikan jaminan kepastian hukum hak atas tanah . Secara garis besar tujuan

Pendaftaran Tanah dinyatakan dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997, yaitu:

a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada

pemegang hak atas bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang

terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang

hak yang bersangkutan. Untuk itu kepada pemegang haknya diberikan

sertipikat sebagai tanda buktinya;

22
Dalam kenyataannya pendaftaran tanah yang dilakukan berdasarkan PP 10/1961 ersebut
selama lebih dari 30 tahun belum cukup memberikan hasil yang memuaskan. Dari sekitar 55 juta
bidang tanah yang memenuhi syarat untuk didaftarkan baru lebih kurang 16,3 juta bidang yang sudah
didaftar.
33

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan

termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang

diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang

tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;

c. Untuk terselenggaranya tata tertib administrasi pertanahan.

Sedang tujuan pendaftaran tanah menurut Boedi Harsono secara jelas

dinyatakan bahwa penyelenggaraan pendaftaran tanah dalam masyarakat modern

merupakan tugas Negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah bagi kepentingan

rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. 23

d. Sistem Pendaftaran Tanah

“Sistem Pendaftaran Tanah mempermasalahkan apa yang didaftar, bentuk

penyimpanan dan penyajian data yuridisnya serta bentuk tanda bukti haknya.” 24

Menurut Boedi Harsono sistem pendaftaran tanah ada 2 (dua) macam, yaitu sistem

pendaftaran akta (registration of deeds) dan sistem pendaftaran hak (registration of

title). Baik dalam sistem pendaftaran akta maupun sistem pendaftaran hak, setiap

pemberian atau penciptaan hak baru, peralihan serta pembebanannya dengan hak lain,

harus dibuktikan denga suatu akta.

Pada sistem pendaftaran akta, akta-akta itulah yang didaftarkan oleh pejabat

pendaftaran tanah. Dalam sistem ini pejabatnya bersifat pasif sehingga ia tidak

melakukan penyelidikan data yang tercantum dalam akta yang didaftar. Maka dalam

23
Ibid.
24
Ibid, hal 75.
34

sistem ini data yuridis yang diperlukan harus dicari dalam akta-akta yang

bersangkutan. Untuk memperoleh data yuridis yang diperlukan harus melakukan apa

yang disebut “title search” yang dapat memakan waktu lama dan biaya besar.

Pada sistem pendaftaran hak, bukan aktanya yang didaftar, melainkan haknya

yang diciptakan dan perubahan-perubahannya kemudian. Akta merupakan sumber

datanya. Untuk pendaftaran hak dan perubahan-perubahan yang terjadi disediakan

suatu daftar isian (register), atau disebut juga buku tanah. Buku tanah ini disimpan di

kantor pertanahan dan terbuka untuk umum. Dalam sistem ini pejabat pendaftaran

tanah bersikap aktif dan sebagai tanda bukti hak diterbitkan sertipikat yang

merupakan salinan register (certificate of title).

e. Stelsel Publikasi dalam Pendaftaran Tanah

Sistem pendaftaran tanah akan mempengaruhi sistem publikasi yang

digunakan pada suatu negara. Untuk itu perlu dibahas juga stelsel publikasi dalam

pendaftaran tanah. Dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah di kenal 2 (dua) stelsel

publikasi, yaitu stelsel publikasi positif dan stelsel publikasi negatif.

a. Stelsel Publikasi Positif

Stelsel publikasi positif selalu menggunakan sistem pendaftaran hak, maka


harus ada register atau buku tanah sebagai bentuk penyimpanan dan penyajian
data yuridis dan sertipikat hak sebagai tanda bukti hak. Pendaftaran atau
pencatatan nama seseorang dalam register sebagai pemegang haklah yang
membikin orang menjadi pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, bukan
perbuatan hukum pemindahan hak yang dilakukan. 25

25
Ibid, hal 79.
35

Maka apa yang tercantum dalam buku tanah dan sertipikat yang dikeluarkan

merupakan alat pembuktian yang mutlak. Pihak ketiga yang mempunyai bukti dan

beritikad baik yang bertindak atas dasar bukti tersebut mendapat perlindungan mutlak

meskipun kemudian keterangan-keterangan yang di dalamnya tidak benar. Dengan

selesainya dilakukan pendaftaran atas nama penerima hak, pemegang hak yang

sebenarnya menjadi kehilangan haknya. 26 Pihak ketiga yang merasa dirugikan harus

mendapat ganti rugi (kompensasi) dalam bentuk lain.

Ciri-ciri pokok stelsel ini : 27

1. Sistem ini menjamin sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah

tidak dapat dibantah, walaupun ia ternyata bukan pemilik tanah yang sebenarnya.

Jadi sistem ini memberikan kepercayaan yang mutlak pada buku tanah.

2. Pejabat-pejabat pertanahan dalam sistem ini memainkan peranan yang aktif, yaitu

menyelidiki apakah hak atas tanah yang dipindah itu dapat didaftar atau tidak, dan

menyelidiki identitas para pihak, wewenangnya serta apakah formalitas yang

disyaratkan telah terpenuhi atau belum.

3. Menurut sistem ini, hubungan antara hak dari orang yang namanya tercantum

dalam buku tanah dengan pemberi hak sebelumnya terputus sejak hak tersebut

didaftarkan.

26
Ibid, hal 80.
27
Bachtiar Effendi, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya,
(Bandung : Alumni 1983), hal.3.
36

Kebaikan dari stelsel publikasi positif adalah: 28

1. Menjamin dengan sempurna bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah tidak

dapat dibantah walaupun ia ternyata bukan pemilik yang berhak. Atau kepada

buku tanah diberikan kepercayaan yang mutlak.

2. Pejabat balik nama memainkan peranan yang sangat aktif. Mereka menyelidiki

bahwa hak yang didaftar itu dapat di daftar, apakah formalitas-formalitas yang

diperlukan telah dipenuhi atau tidak, serta identitas para pihak memang orang

yang berwenang.

Sedangkan kelemahan stelsel publikasi positif adalah: 29

1. Peranan aktif pejabat-pejabat balik nama akan memakan waktu yang lama.

2. Pemilik yang berhak dapat kehilangan haknya diluar kesalahannya dan diluar

perbuatannya.

3. Apa yang menjadi wewenang pengadilan diletakkan di bawah kekuasaan

administratif.

b. Stelsel Publikasi Negatif

Menurut stelsel ini Negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan

dalam sertipikat, oleh karena itu seseorang yang telah tertulis namanya dalam

sertipikat adalah mutlak sebagai pemilik. 30 Dalam sistem pubikasi negatif bukan

pendaftaran, tetapi sahnya perbuatan hukum yang dilakukan yang menentukan

berpindahnya hak kepada pembeli. Pendaftaran tidak membikin orang yang

28
Mhd.Yamin Lubis dan Rahim Lubis, Op.cit, hal.173.
29
Ibid.
30
Ibid, hal. 172
37

memperoleh tanah dari pihak yang tidak berhak, menjadi pemegang haknya yang

baru. 31

Jadi jaminan perlindungan yang diberikan oleh stelsel publikasi negatif ini

tidak bersifat mutlak seperti halnya stelsel publikasi positif. Selalu ada kemungkinan

adanya gugatan dari pihak lain yang dapat membuktikan bahwa dialah pemegang hak

yang sebenarnya.

Ciri pokok Stelsel Publikasi Negatif

1. Pendaftaran hak atas tanah tidak menjamin bahwa nama yang terdaftar dalam

buku tanah tidak dapat dibantah jika ternyata dikemudian hari diketahui bahwa ia

bukan pemilik sebenarnya. Hak dari mana yang terdaftar ditentukan oleh hak dari

pemberi hak sebelumnya, jadi perolehan hak tersebut merupakan mata rantai

perbuatan hukum dalam pendaftaran hak atas tanah

2. Pejabat pertanahan bersifat pasif, artinya tidak berkewajiban menyelidiki

kebenaran data-data yang diserahkan kepadanya.

Kebaikan dari stelsel publikasi negatif ini yaitu adanya perlindungan kepada

pemegang hak sejati. Pendaftaran tanah juga dapat dilakukan lebih cepat karena

pejabat pertanahan tidak berkewajiban menyelidiki data-data tanah tersebut.

Sedangkan kelemahan dari Stelsel Publikasi Negatif adalah : 32

1. Buku tanah tidak memberikan jaminan yang mutlak.

2. Peranan yang pasif dari pejabat balik nama.

3. Mekanisme yang sulit dan sukar dimengerti oleh orang-orang biasa.

31
Boedi Harsono, Op.cit, hal 80
32
Mhd.Yamin Lubis dan Rahim Lubis, Loc.cit.
38

c. Stelsel Publikasi menurut UUPA

Stelsel publikasi yang digunakan dalam UUPA adalah stelsel negatif yang

mengandung unsur positif karena berdasarkan Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 32 ayat

(3) dan Pasal 38 UUPA akan menghasilkan surat tanda bukti hak yang berlaku

sebagai alat pembuktian yang kuat. Kata “kuat” berarti tidak mutlak , sehingga

membawa konsekuensi bahwa segala hal yang tercantum di dalamnya mempunyai

kekuatan hukum dan diterima sebagai keterangan yang benar sepanjang tidak ada

pihak lain yang membuktikan sebaliknya dengan alat bukti lain bahwa sertipikat

tersebut tidak benar. Untuk memenuhi unsur positip maka pemerintah sebagai

penyelenggara pendaftaran tanah harus berusaha agar sejauh mungkin dapat disajikan

data yang benar dalam buku tanah dan peta pendaftaran.

Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan

bahwa dalam Peraturan Pemerintah ini tetap mempertahankan sistem publikasi tanah

yang dipergunakan UUPA, yaitu sistem negatif yang mengandung unsur positif.

Unsur positif dalam Peraturan Pemerintah ini tampak jelas dengan adanya upaya

untuk sejauh mungkin memperoleh data yang benar, yaitu dengan diaturnya secara

rinci dan seksama prosedur pengumpulan data yang diperlukan untuk pendaftaran

tanah, pembuatan peta-peta pendaftaran tanah dan surat ukurnya, pembuktian hak,

penyimpanan dan penyajian data dalam buku tanah, penerbitan sertipikat serta

pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian.


39

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menggunakan sistem

pendaftaran hak (registration of titel). Hal ini terlihat dengan adanya buku tanah yang

memuat data fisik dan data yuridis tanah yang bersangkutan dan diterbitkan sertipikat

sebagai tanda bukti hak atas tanah. Ini menunjukkan bahwa Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 menggunakan stelsel publikasi negatif yang mengandung

unsur positif. Pengertian negatif disini adalah apabila keterangan di dalam surat

tanda bukti hak itu ternyata tidak benar, maka masih bisa diadakan perubahan dan

dibetulkan. Sedangkan pengertian unsur positif yaitu adanya peran aktif dari pejabat

pertanahan, yaitu sebelum menerbitkan sertipikat dilakukan pengumuman,

menggunakan asas contradictoir delimitatie dalam menetapkan batas-batas tanah dan

menggunakan sistem pendaftaran hak seperti yang dianut oleh negara-negara yang

menganut stelsel publikasi positif.

Biasanya kelemahan stelsel publikasi negatif, oleh negara-negara yang

menganut sistem ini, diatasi dengan menggunakan lembaga acquisitieve verjaring

atau adverse possession, akan tetapi karena UUPA menggunakan dasar hukum adat

maka hukum tanah nasional tidak mengenal lembaga ini, yang dikenal lembaga

rechtsverwerking 33 yaitu lampaunya waktu yang menyebabkan orang menjadi

kehilangan haknya atas tanah yang semula dimiliki, kalau tanah yang bersangkutan

selama waktu yang relatif lama tidak diusahakan oleh pemegang haknya dan dikuasai

oleh pihak lain melalui perolehan hak dengan itikad baik.

33
Boedi Harsono, Op.cit, hal 65.
40

Rechtsverwerking dirumuskan dalam Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 :

Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikatnya secara sah
atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan
itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa
mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak
tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu
telah tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat
dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan
gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat
tersebut.

Namun lembaga rechtsverwerking ini pada kasus-kasus konkrit tidak efektif

berlaku karena terdapat sejumlah hal yang tidak jelas yaitu ratio penentuan lampau

waktu 5 (lima) tahun kehilangan hak untuk menggugat dan perhitungan lampau

waktu dimulai sejak sertipikat terbit yang overlapping dengan ketentuan pasal 55

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 mengenai tenggang waktu menggugat untuk

Keputusan Tata Usaha Negara pada umumnya (termasuk Sertipikat Tanah). 34

Kenyataan ini dapat dimaklumi karena lembaga rechtsverwerking berasal dari sistem

hukum adat yang bersumber dari hukum yang tidak tertulis, oleh karena itu

keefektifannya tergantung pada hakim sebagai pemutus perkara para pihak yang

bersengketa yang menjadikan tanah yang sudah bersertipikat sebagai objek

perkaranya. 35

34
Z.A. Sangadji, Kompetensi Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara,
dalam Gugatan Pembatalan Sertipikat Tanah, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal.39.
35
Mhd.Yamin Lubis dan Rahim Lubis, Op.cit, hal.150.
41

f. Sertipikat Hak Atas Tanah

Sebagai hubungan hukum konkret, hak atas tanah dibuktikan dengan

sertipikat hak atas tanah. Dari rangkaian kegiatan pendaftaran tanah, maka setelah

diproses sesuai ketentuan yang berlaku dikeluarkanlah tanda bukti hak atas tanah

yang telah didaftar tersebut yaitu berupa sertipikat. Jadi dapat dikatakan bahwa

sertipikat adalah surat keterangan yang membuktikan hak seseorang atas sebidang

tanah, atau dengan kata lain keadaan tersebut menyatakan bahwa ada seseorang yang

memiliki bidang-bidang tanah tertentu dan pemilikan itu mempunyai bukti yang kuat

berupa surat yang dibuat oleh instansi yang berwenang. 36

g. Hapusnya hak atas tanah

Mengenai hapusnya hak atas tanah dirumuskan dalam Pasal 52 ayat (1) PP 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yaitu :

Pendaftaran hapusnya suatu hak atas tanah, hak pengelolaan, dan hak milik
atas satuan rumah susun dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan dengan
membubuhkan catatan pada buku tanah dan surat ukur serta memusnahkan
sertipikat hak yang bersangkutan, berdasarkan:
a. Data dalam buku tanah yang disimpan di Kantor Pertanahan, jika
mengenai hak-hak yang dibatasi masa berlakunya;
b. Salinan surat keputusan pejabat yang berwenang, bahwa hak yang
bersangkutan telah dibatalkan atau dicabut;
c. Akta yang menyatakan bahwa hak yang bersangkutan telah dilepaskan
oleh pemegang hakya.

Umumnya masyarakat beranggapan bahwa dengan terdaftarnya nama

seseorang atau badan hukum dalam suatu sertipikat hak atas tanah secara otomatis

mendapat jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum untuk selama-lamanya,

36
Ibid, hal. 204
42

padahal faktualnya tidak demikian. 37 Sebagai hubungan hukum konkrit,

diterbitkanlah sertipikat hak atas tanah, sesuai dengan jenis-jenisnya telah ditentukan

dalam UUPA, sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah seseorang atau badan hukum.

Kepemilikan hak atas tanah yang dibuktikan dengan sertipikat tersebut kemungkinan

masih dapat berakhir dengan berbagai sebab. Oleh karena itu maka pembuat Undang-

undang telah memikirkan kemungkinan berakhirnya kepemilikan hak atas tanah bagi

pemegangnya yang dalam terminologi UUPA dikenal dengan hapusnya hak-hak atas

tanah. 38

Adapun hapusnya hak atas tanah ini terdiri dari: 39

1) Hapusnya hak atas tanah dalam arti luas

Merupakan berakhirnya tanggung- jawab Negara terhadap hak atas tanah

terdaftar di kantor pertanahan dengan atau tanpa kemauan pemegangnya baik

berdasarkan ketetapan konstitutif atau deklaratoir, sesuai dengan Pasal 18,

Pasal 21, Pasal 27, Pasal 34, dan Pasal 40 UUPA yaitu:

a. Karena dicabut untuk kepentingan umum;

b. Karena prinsip nasionalitas;

c. Karena penyerahan atau pelepasan dengan sukarela oleh pemiliknya;

d. Karena ditelantarkan;

37
. Chandra, Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Hak Sertipikat Hak Atas Tanah
(Studi Kasus: Kepemilikan Hak Atas Tanah Terdaftar yang Berpotensi Hapus di Kota Medan), Medan,
Pustaka Bangsa Press, 2006, hal.20.
38
Ibid
39
Ibid, hal.21
43

e. Karena peralihan hak akibat peristiwa hukum seperti testament dan ab

intestat;

f. Karena peralihan hak akibat perbuatan hukum seperti jual beli, tukar

menukar, hibah dan lain-lain sesuai peraturan perUndang-undangan;

g. Karena tanahnya musnah;

h. Karena jangka waktunya berakhir;

i. Karena syarat tidak dipenuhi oleh pemiliknya.

2) Hapusnya hak atas tanah dalam arti sempit.

Merupakan berakhirnya tanggung jawab Negara terhadap hak atas tanah yang

terdaftar di kantor pertanahan tanpa kemauan pemegangnya baik yang

berdasarkan ketetapan konstitutif ataupun deklaratoir yang oleh kepala kantor

pertanahan dilaksanakan pencatatan di buku tanah dan disurat ukur

bersangkutan, yaitu:

a. Hapusnya hak atas tanah karena dibatalkan berdasarkan putusan

pengadilan;

b. Hapusnya hak atas tanah karena dicabut untuk kepentingan umum;

c. Hapusnya hak atas tanah karena tanahnya musnah akibat bencana alam.

h. Pembatalan hak atas tanah

Seperti telah diuraikan diatas, bahwa sertipikat sebagai tanda bukti hak hanya

bersifat kuat dan bukan mutlak. Hal ini merupakan konsekuensi dari pemilihan stelsel

negatif bertendensi positif dalam UUPA, oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan

pemegang hak dalam sertipikat hak atas tanah menghadapi gugatan pihak lain, yang
44

merasa haknya terlanggar dengan terbitnya sertipikat tersebut, ke badan peradilan

agar ia dapat memperoleh kembali haknya dengan menujukkan bukti-bukti lain.

Sasaran gugatan antara lain berupa tuntutan pembatalan atau tidak mempunyai

kekuatan mengikat sertipikat tanah, pembatalan atau tidak mempunyai kekuatan

mengikat peralihan atau balik nama sertipikat tanah atau pencabutan sertipikat

tanah. 40

Dalam UUPA, pembatalan hak atas tanah merupakan salah satu sebab

hapusnya hak atas tanah tersebut. Apabila telah diterbitkan keputusan pembatalan hak

atas tanah, baik karena adanya cacat hukum administrasi maupun untuk

melaksanakan putusan pengadilan, maka haknya demi hukum hapus dan status

tanahnya menjadi tanah yang dikuasai oleh Negara. 41

Pembatalan hak atas tanah karena mengandung cacat administrasi dapat

dilakukan karena permohonan yang berkepentingan atau oleh pejabat yang

berwenang tanpa permohonan. Cacat administrasi ini meliputi :

a. Kesalahan prosedur

b. Kesalahan penerapan peraturan perUndang-undangan

c. Kesalahan subjek hak

d. Kesalahan objek hak

e. Kesalahan jenis hak

f. Kesalahan perhitungan luas

40
Z.A. Sangadji, Op.cit, hal. 38
41
Mhd.Yamin Lubis dan Rahim Lubis, Op.cit, hal. 320
45

g. Terdapat tumpang tindih hak atas tanah

h. Data yuridis atau data fisik tidak benar

i. Kesalahan lainnya yang bersifat hukum administratif.

Sedangkan pelaksanaan pembatalan hak atas tanah untuk melaksanakan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap harus melalui

permohonan yang berkepentingan dengan melampirkan putusan pengadilan.

Dalam ilmu hukum dikenal ajaran mengenai kebatalan yaitu kebatalan mutlak

(absolute nietigheid) dan kebatalan nisbi (relatief nietigheid). Pembedaan kedua jenis

kebatalan ini terkait dengan akibat yang dapat muncul dari hubungan hukum yang

tercipta. 42

Pengertian kebatalan mutlak dan kebatalan nisbi adalah sebagai berikut: 43

1) Kebatalan mutlak dari suatu perbuatan atau juga disebut dengan batal demi

hukum.

Suatu perbuatan hukum harus dianggap batal meskipun tidak ada pihak yang

mengajukan pembatalan atau tidak perlu dituntut secara tegas. Perjanjian yang

batal demi hukum harus dianggap perjanjian tesebut tidak pernah ada.

Dalam lapangan hukum administrasi, suatu keputusan yang tidak memenuhi

syarat sah keputusan Tata Usaha Negara maka keputusan demikian berakibat

batal dan dianggap keputusan tersebut tidak pernah ada.

42
Hasan Basri Nata Menggala dan Sarjita, Pembatalan dan Kebatalan Hak Atas Tanah,
Yogyakarta, Tugujogia Pustaka, 2005, hal.58.
43
Ibid
46

2) Kebatalan nisbi adalah kebatalan suatu perbuatan yang terjadi setelah

dimintakan pembatalan oleh orang yang berkepentingan.

Kebatalan nisbi mensyaratkan adanya tindakan aktif pihak yang

berkepentingan untuk memohon pembatalan suatu hubungan hukum tertentu.

Kebatalan nisbi dapat dibedakan menjadi:

a. Batal atas kekuatan sendiri (nietig van rechswege), dimana kepada hakim

dimintakan agar menyatakan batal (nietigverklaard).

b. Dapat dibatalkan (vernietigbaar) dimana hakim akan membatalkan, apabila

terbukti suatu perbuatan hukum ditemukan adanya hal-hal yang

menyebabkan kebatalan seperti adanya paksaan, kekeliruan, penipuan dan

lain-lain.

Ajaran kebatalan dalam konteks pemberian hak atas tanah menentukan status

hak penguasaan atas tanah. Apabila permohonan pemberian hak atas tanah

mengandung cacat yuridis yang bersifat subyektif maka sewaktu-waktu peristiwa

yang melahirkan hak tersebut dapat digugat keabsahannya (vernietigbaar). Bilamana

dapat dibuktikan gugatan keabsahan suatu perbuatan hukum tersebut benar maka

hakim akan memutuskan menyatakan batal hubungan hukum yang telah terjadi yang

selanjutnya dapat dijadikan dasar untuk memohon pembatalan surat keputusan

pemberian hak atas tanah dan/ atau sertipikat hak atas tanah.

Mengenai kebatalan mutlak pada dasarnya juga dianut dalam Hukum Tanah

Nasional. Hal ini ditunjukkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996

tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, yaitu
47

dengan menggunakan istilah hapusnya hak karena hukum. Hapusnya hak karena

hukum maka atas tanah tersebut kembali kepada kondisi semula misalnya Hak Guna

Usah menjadi Tanah Negara (Pasal 3 ayat (2) ). Norma yang terkandung dalam Pasal

27, Pasal 34, dan Pasal 40 UUPA juga dapat dikatakan sebagai pelaksanaan prinsip

ajaran kebatalan mutlak karena berakibat hapusnya hak atas tanah yang bersangkutan.

i. Kompetensi Badan Peradilan dalam sengketa tanah

Sertipikat hak atas tanah dikeluarkan pemerintah dalam hal ini Badan

Pertanahan Nasional selaku Badan Tata Usaha Negara ditujukan kepada seseorang

atau badan hukum (konkret, individual) yang menimbulkan akibat hukum pemilikan

atas sebidang tanah yang tidak memerlukan persetujuan lebih lanjut dari instansi

atasan atau instansi lain (final). Dengan demikian sertipikat hak atas tanah memiliki

sisi ganda, pada satu sisi sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan di sisi

lain sebagai Tanda Bukti Hak Keperdataan (kepemilikan) seseorang atau badan

hukum atas tanah. 44

Oleh karena itu ada 2 (dua) badan peradilan yang berwenang memeriksa

perkara dengan objek gugatan sertipikat hak atas tanah yaitu Peradilan Umum dan

Peradilan Tata Usaha Negara.

Menurut Putusan Mahkamah Agung tanggal 3 November 1971 Nomor

383/K/Sip/1971, pengadilan tidak berwenang membatalkan sertipikat. Hal tersebut

kewenangan administrasi, yaitu Menteri Negara Agraria / Kepala BPN. 45

44
Z.A. Sangadji, Op cit, hal. 36.
45
Boedi Harsono, Op.cit, hal 470.
48

Sertipikat merupakan Keputusan Tata Usaha Negara oleh karena itu

keputusan pembatalan sertipikat hak atas tanah harus dilakukan oleh Pejabat Tata

Usaha Negara yang memegang kewenangan administratif. Oleh karena itu putusan

peradilan mengenai pembatalan sertipikat hak atas tanah harus ditindak lanjuti

dengan keputusan pembatalannya oleh Pejabat Tata Usaha Negara dalam hal ini

Badan Pertanahan Nasional, melalui permohonan yang berkepentingan.

2. Konsepsi

“Konsep (concept) adalah kata yang menyatakan abstraksi yang

digeneralisasikan gejala-gejala tertentu. Kerangka konsepsional merupakan gambaran

bagaimana hubungan antara konsep-konsep yang akan diteliti.” 46

Dalam penulisan tesis ini sangat perlu dilakukan pemilihan dan penegasan

terhadap perumusan konsep–konsep yang sesuai dan yang akan dipakai, agar tidak

terjadi kesalahan dalam melaksanakan penelitian, menafsirkan, dan memahami

maksud dari isi dari setiap pembahasan yang akan dilakukan dalam tesis ini nantinya.

Pengertian Hak Atas Tanah adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat

(1) UUPA merupakan hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat

diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama

dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.

Sertipikat hak atas tanah adalah tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah

46
Amiruddin dan Zainal Asikin, Op.cit, hal.47.
49

yang telah didaftar sebagai alat pembuktian yang kuat. Istilah sertipikat ini sendiri

tidak diuraikan secara eksplisit dalam UUPA, akan tetapi interpretasi otentiknya telah

diberikan dalam Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah yaitu: Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang

berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang

termuat didalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data

yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.

Pembatalan hak atas tanah adalah pembatalan putusan pemberian hak atas

tanah atau sertipikat hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacat

hukum administrasi dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Peraturan Menteri Negara

Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Pasal 1 angka 14).

Keputusan pembatalan hak atas tanah dan atau keputusan pendaftaran hak atas

tanah karena melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap

adalah keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat/badan tata usaha negara yang

berwenang berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang

amarnya secara tegas menyatakan batal atau tidak mempunyai kekuatan hukum atau

intinya sama dengan itu :

a. Suatu surat keputusan pemberian hak; atau,

b. Suatu hak atas tanah ; atau,

c. Sertipikat hak atas tanah termasuk sertipikat pengganti; atau,


50

d. Pendaftaran hak yang meliputi pendaftaran konversi, pendaftaran, peralihan hak,

pendaftaran pemisahan/penggabungan hak. (Petunjuk Teknis Nomor

08/JUKNIS/D.V/2007 tentang Penyusunan Keputusan Pembatalan Surat

Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah/ Pendaftaran/ Sertipikat Hak Atas Tanah.

G. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian

Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, maka sifat penelitian ini

adalah deskriptif, yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu

individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran

suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala

dengan gejala lain dalam masyarakat. 47

Dalam penelitian deskriptif dimaksudkan untuk melukiskan objek atau

peristiwanya, kemudian menelaah dan menjelaskan serta menganalisa data secara

mendalam dengan mengujinya dari berbagai peraturan yang berlaku maupun dari

berbagai pendapat ahli hukum yang ada relevansinya sehingga diperoleh gambaran

tentang keadaan yang sebenarnya yang berhubungan dengan proses pembatalan hak

atas tanah di Kantor Pertanahan Kota Medan.

2. Metode Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan penelitian yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini

adalah yuridis normatif, yaitu dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan

47
Amiruddin dan Zainal Asikin, Op cit, hal 25.
51

dengan maksud tujuan penelitian, meliputi penelitian terhadap asas hukum, sumber-

sumber hukum, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta

dapat menganalisa permasalahan yang dibahas.

3. Sumber Data

Sumber data penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah

menggunakan penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan dibantu dengan data

yang diperoleh dari lapangan yang berkaitan dengan objek penelitian.

Dalam penelitian hukum normatif, data yang diperlukan adalah data sekunder.

Data sekunder tersebut diperoleh dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan antara lain Undang-

undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah dan sebagainya.

b. Bahan hukun sekunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa bahan-bahan hukum

primer tersebut, antara lain berupa buku-buku rujukan yang relevan, hasil karya

tulis ilmiah dan berbagai makalah yang berkaitan.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan sekunder, berupa kamus umum, kamus bahasa, majalah,

surat kabar, artikel, internet, dan jurnal-jurnal hukum.


52

4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini adalah

melalui:

1. Studi dokumen atau kepustakaan, yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer yang meliputi segala jenis peraturan perundang-undangan

yang terkait dengan masalah yang diteliti.

b. Bahan hukum sekunder yang meliputi pendapat para ahli hukum yang bersumber

pada buku-buku berisi teori atau pendapat para ahli hukum.

2. Studi Lapangan, yaitu wawancara terhadap pejabat di Kantor Pertanahan Kota

Medan untuk memperoleh data mengenai pembatalan hak atas tanah di Kantor

Pertanahan Kota Medan.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengorganisasian dan mengurutkan data ke

dalam kategori-kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan

dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Analisis data

yang akan digunakan adalah analisis data secara kualitatif yang diolah dengan

menggunakan metode deduktif dan kemudian ditarik kesimpulan dari pembahasan

yang dilakukan.
53

BAB II

KOMPETENSI BADAN PERADILAN DALAM


PEMBATALAN HAK ATAS TANAH

Pengadilan sebagai tempat terakhir bagi pencari keadilan diharapkan dapat

berfungsi menyelesaikan persengketaan secara adil dan benar tidak terkecuali

sengketa tanah. Terhadap perkara yang diajukan, pengadilan tidak boleh menolak

untuk memeriksa dan mengadili meskipun tidak atau kurang jelas hukumnya karena

hakim dianggap tahu akan hukumnya (Pasal 16 ayat (1) UU Nomor 4 tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman).

Salah satu ciri negara hukum adalah adanya kekuasaan kehakiman (judicial

power) yang merdeka. Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilindungi oleh konstitusi

yaitu :

Pasal 24 ayat 1 UUD 1945 :

“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”

Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 :

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan

peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan

peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha

negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”


54

Pasal 25 UUD 1945 :

“Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan

dengan Undang-undang.”

Pasal 2 UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman merumuskan

bahwa penyelenggaraan kewenangan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah

Agung dengan lingkup peradilan di bawahnya yang terdiri dari:

1. Peradilan Umum

2. Peradilan Agama

3. Peradilan Militer

4. Peradilan Tata Usaha Negara.

Lahirnya berbagai lingkungan badan peradilan dengan diferensiasi

kewenangannya merupakan upaya terciptanya keadilan bagi masyarakat.

Masing-masing badan peradilan tersebut diatas memiliki kompetensi

tersendiri yang telah dibagi dan diatur oleh Undang-undang. Het Herziene

Indonesisch Reglement (HIR- Stbl 1941 Nomor 44), Rechtsreglement voor

Buitengewesten (RBg- Stbl 1927 Nomor 227) dan pasal 77 Undang-undang Nomor 5

tahun 1986 membagi kompetensi (distributie van rechtsmacht) dalam 2 (dua) macam

yaitu :

1. Kompetensi Relatif (Relative Competentie)

2. Kompetensi Absolut (Absolute Competentie) 48

48
Z.A.Sangadji, Op.cit. hal.7.
55

Kompetensi relatif menyangkut kewenangan mengadili berdasarkan daerah

hukum. Kompetensi relatif ini menjawab pertanyaan pengadilan negeri yang dimana

yang berwenang untuk mengadili perkara ini? Azasnya adalah yang berwenang

adalah pengadilan negeri tempat tinggal penggugat. Sedangkan kompetensi absolut

atau disebut juga wewenang mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan antar

badan-badan peradilan, dilihat dari macamnya pengadilan menyangkut pemberian

kekuasaan untuk mengadili. 49

M. Yahya Harahap dalam bukunya Berbagai Permasalahan Formil dalam

Gugatan Perdata, merumuskan kriteria pembatasan antara kompetensi relatif dan

kompetensi absolut yaitu : Dalam kompetensi relatif pembatasan kewenangan

mengadili berdasarkan daerah hukum. Masing-masing badan peradilan dalam suatu

lingkungan telah ditetapkan batas-batas wilayah hukumnya. Dalam kompetensi

absolut pembatasan kewenangan mengadili berdasarkan yurisdiksi mengadili badan-

badan peradilan. Setiap badan peradilan, telah ditentukan sendiri oleh Undang-

undang batas yurisdiksi mengadili. Pembatasan yurisdiksi masing-masing badan

peradilan dapat mengacu kepada berbagai ketentuan perundang-undangan. 50

Berdasarkan kepustakaan hukum administrasi berbahasa Belanda antara lain

buku P. de Haan cs “Bestuursrecht in de sociale rechtstaat” sebagaimana diuraikan

49
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori
dan Praktek, (Bandung : Mandar Maju), 2002, hal. 11
50
Z.A.Sangadji, Op.cit. hal 8.
56

oleh Philipus M. Hadjon, et.al. 51 bahwa sertipikat hak atas tanah dikelompokkan

dalam Keputusan Tata Usaha Negara kebendaan yaitu Keputusan Tata Usaha Negara

yang diterbitkan atas dasar kualitas kebendaan. Keputusan Tata Usaha Negara

kebendaan ini sifatnya dapat dialihkan kepada pihak lain. Jadi disamping ditujukan

untuk memberikan hak pada seseorang, hak tersebut dapat juga dialihkan kepada

pihak lain melalui peristiwa maupun perbuatan hukum.

Dengan demikian sertipikat hak atas tanah memiliki sisi ganda, pada satu sisi

sebagai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan di sisi lain sebagai Tanda Bukti

Hak Keperdataan (kepemilikan) seseorang atau badan hukum atas tanah. 52

Oleh karena itu ada 2 (dua) badan peradilan yang berwenang memeriksa

perkara dengan objek gugatan sertipikat hak atas tanah yaitu Peradilan Umum dan

Peradilan Tata Usaha Negara.

“Dengan dimensi Sertipikat Hak Atas Tanah yang ganda tersebut yaitu dimensi

publik dan dimensi privat, maka gugatan pembatalan Hak Atas Tanah seharusnya

mengikuti posisi perkara yang menjadi dasar dari suatu gugatan. Dengan kata lain

fundamentum petendi suatu gugatan menentukan klasifikasi kasus bersangkutan ,

apakah bersifat gugatan perdata atau gugatan Tata Usaha Negara.” 53

51
Philipus M. Hadjon, et. al, Pengantar hukum administrasi Indonesia, (Yogyakarta :Gadjah
Mada University Press, 2001) hal 143
52
Z.A. Sangadji, Op.cit, hal. 36.
53
Ibid., hal 77
57

Agar suatu gugatan tidak diajukan secara keliru, maka gugatan harus diajukan

kepada badan peradilan yang benar-benar berwenang untuk mengadili persoalan

tersebut.

A. Kompetensi Peradilan Umum dalam Gugatan Pembatalan Hak Atas Tanah

Kompetensi Badan Peradilan Umum diatur dalam Undang-undang Nomor 2

Tahun 1986 tentang Peradilan Umum jo. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2004

tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986.

Peradilan Umum adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi pencari

keadilan pada umumnya (Pasal 2 UU Nomor 8 Tahun 2004). Kompetensi Pengadilan

yang berada dibawah Peradilan Umum adalah bertugas dan berwenang memeriksa,

memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata baik ditingkat

pertama maupun ditingkat banding (Pasal 50,51 UU Nomor 8 Tahun 2004).

Mengenai perkara perdata yang menjadi wewenang Peradilan Umum ini tidak

dijelaskan lebih lanjut dalam Undang-undang tersebut.

Beberapa pendapat para ahli mengenai perkara perdata adalah : 54

a. Sudikno Mertokusumo :

“Kekuasaan pengadilan dalam perkara perdata meliputi semua sengketa tentang

hak milik atau hak-hak yang timbul karenanya, hutang piutang atau hak-hak

keperdataan lainnya.”

54
Ibid, hal 19
58

b. Tresna :

“Kekuasaan hukum dari pengadilan sepanjang mengenai pengadilan perdata,

ialah “segala perselisihan tentang hak kepunyaan (eigendom) dan hak-hak yang

keluar dari padanya, tentang tuntutan hutang-piutang atau hak-hak berdasarkan

hukum perdata.”

c. Subekti :

“Semua perselisihan mengenai hak milik, hutang piutang atau warisan seperti

tersebut diatas atau juga dinamakan perselisihan mengenai hak-hak perdata

(artinya: hak-hak yang berdasarkan “hukum perdata” atau hukum sipil adalah

semata-mata termasuk kekuasaan atau wewenang hakim atau pengadilan untuk

memutuskannya, dalam hal ini Hakim atau Pengadilan Perdata.”

Dari beberapa pendapat yang dikemukakan diatas dapat ditarik benang merah

bahwa perkara perdata yang menjadi wewenang (absolut) peradilan umum adalah

semua sengketa yang timbul dari perselisihan mengenai hak milik keperdataan serta

hak-hak yang timbul karenanya atau dengan kata lain adalah perkara yang bersumber

dari hak-hak keperdataan seseorang yang diatur dalam hukum perdata materil.

Sarana untuk mendapatkan keadilan adalah melalui gugatan. Pada dasarnya

gugatan dibuat secara tertulis sesuai ketentuan dalam Pasal 118 HIR, bahwa gugatan

harus diajukan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau

wakilnya. Sedangkan bagi penggugat yang buta huruf dapat mengajukan gugatan

secara lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili perkara itu

yang nantinya berdasarkan ketentuan Pasal 120 HIR akan membuat atau menyuruh
59

membuat gugatan tersebut secara tertulis. HIR ataupun RBg, akan tetapi dijumpai

dalam Pasal 8.3 R.V yang mengharuskan gugatan pada pokoknya memuat: 55

a. Identitas para pihak, pencantuman identitas penggugat dan tergugat material

(principal) yang jelas dan lengkap menghindari kesalahan subjek (error in

subjecto)

b. Fundamentum petendi (posita), memuat uraian mengenai duduk perkara (kasus

posisi) dan uraian mengenai hukum.

c. Petitum, tuntutan yang diminta agar diputuskan oleh hakim.

Dalam gugatan perdata, tidak hanya pribadi atau badan hukum perdata saja
yang dapat menjadi penggugat tetapi juga pejabat atau badan Tata Usaha
Negara (badan hukum publik) asal saja memenuhi syarat mempunyai
wewenang menggugat dan digugat (persona standi in judicio, ius standi, legal
standing), memiliki kepentingan hukum dengan objek gugatan dan
berkemampuan untuk bertindak (handelings bekwaamheid). 56

Pada gugatan perdata dengan objek gugatan sertipikat hak atas tanah pada

umumnya menempatkan Pejabat atau Badan Pertanahan Nasional sebagai salah satu

tergugat atau turut tergugat, sangat jarang Pejabat atau Badan Pertanahan Nasional

dijadikan sebagai tergugat tunggal.

Dalam banyak kasus, Pejabat atau Badan Pertanahan digugat bukan sebagai
tergugat tunggal, bukan pula sebagai tergugat utama disebabkan esensi
gugatan lebih ditujukan pada tidak sah perbuatan dan atau hubungan hukum
perdata (jual-beli, hutang piutang, waris, hibah dan lain-lain) yang dilakukan
orang atau badan hukum perdata yang mendahului dan kemudian menjadi
dasar penerbitan atau peralihan suatu Sertipikat Tanah. 57

55
Ibid hal 20
56
Ibid hal 30
57
Ibid hal 49
60

Fundamentum petendi (posita) harus dibuat jelas dan terperinci yang memuat

mengenai duduk perkara (kasus posisi) dan uraian mengenai hukum. Dalam

Fundamentum petendi (posita) minimal harus menggambarkan 3 (tiga) elemen

essensial: 58

a. Objek sengketa atau apa yang disengketakan. Misalnya sengketa tanah, sengketa

bangunan dan lain-lain.

b. Kualifikasi perbuatan Tergugat. Perbuatan melawan hukum, ingkar janji dan lain-

lain.

c. Hubungan hukum. Hubungan yang terjadi sebelumnya yang menjadi dasar atau

kausa terjadi sengketa, misalnya jual-beli, hutang piutang, sewa menyewa, waris

dan lain-lain.

. Dari isi Fundamentum petendi (posita) ini dapat diidentifikasi mengenai

peradilan mana yang berwenang mengadilinya. Untuk Peradilan Umum yang

wewenangnya adalah mengadili perdata seharusnya isi dari gugatan yang diajukan

adalah tuntutan mengenai hak-hak keperdataan seseorang yang merasa dirugikan

karena adanya perbuatan- perbuatan perdata pula. Tuntutan tersebut dapat berupa

menentukan status hak tertentu, ganti rugi dan sebagainya.

Kompetensi Peradilan Umum dalam sengketa dengan objek sertipikat hak atas

tanah harus diidentifikasi berdasarkan kewenangan Peradilan Umum itu sendiri.

Seperti telah diuraikan terlebih dahulu bahwa Peradilan Umum berwenang mengadili

perkara perdata yang bersumber dari sengketa dalam bidang yang diatur dalam

hukum perdata materil, oleh karena itu seharusnya sengketa yang timbul pada

58
Ibid, hal 31
61

sertipikat hak atas tanah adalah yang bersifat keperdataan atau dengan kata lain

sertipikat dari sisi sebagai alat bukti hak milik keperdataan. Identifikasi tersebut

dilakukan dalam isi gugatan penggugat yang dinilai oleh hakim.

Fundamentum petendi merupakan uraian termasuk fakta fakta hukum yang


menjadi dasar suatu gugatan, bila berkaitan dengan gugatan hak sehingga
lebih menekankan kepada dikabulkannya petitum penggugat agar hakim
menentukan status hak tertentu, maka gugatan demikian lebih tepat diajukan
kepada Peradilan Umum dan bukan pada Peradilan Tata Usaha Negara.
Sebaliknya bila gugatan lebih menekankan kepada dengan dikeluarkannya
Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara berupa Sertipikat Hak Atas Tanah,
berakibat terganggunya hak penggugat maka gugatan yang demikian lebih
tepat diajukan kepada Peradilan Tata Usaha Negara. 59

Dengan kata lain yang menjadi wewenang Peradilan Umum adalah mengenai

gugatan hak-hak keperdataan seseorang.

B. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara dalam Gugatan Pembatalan Hak


Atas Tanah

Kompetensi Badan Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. Undang-

undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5

Tahun 1986.

Kompetensi Badan Peradilan Tata Usaha Negara adalah memeriksa,

memutuskan, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, sebagaimana diatur

dalam Pasal 47 UU Nomor 5 Tahun 1986. Kompetensi absolut Peradilan Tata Usaha

Negara lebih khusus dibanding kompetensi Peradilan Umum. Satu-satunya

wewenangnya adalah sepanjang mengadili sengketa Tata Usaha Negara.

59
Ibid
62

Selanjutnya yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara diatur dalam

pasal 1 angka 4 yaitu :

“Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata

Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat

Tata Usaha Negara, baik dipusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya

keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan

perundang-undangan.”

Dari ketentuan diatas dapat diketahui bahwa yang dimaksud sengketa tata

usaha negara terdiri dari beberapa unsur yaitu: 60

1. Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara;

2. Sengketa tersebut antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau

Pejabat Tata Usaha Negara;

3. Sengketa yang dimaksud sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha

Negara.

Jadi yang menjadi objek dalam sengketa Tata Usaha Negara adalah

Keputusan Tata Usaha Negara.

Pasal 1 angka 3 UU Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan:

“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan

oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha

60
R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008),
hal.6.
63

Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat

konkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau

badan hukum perdata.”

Unsur- unsur yang terkandung dalam rumusan pasal ini yang menjadi syarat

agar suatu putusan tata usaha negara dapat di gugat di Peradilan Tata Usaha Negara

adalah:

1. penetapan tertulis;

2. dikeluarkan badan atau pejabat Tata Usaha Negara;

3. tindakan hukum Tata Usaha Negara;

4. konkret, individual, dan final;

5. menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Namun tidak semua Keputusan Tata Usaha Negara dapat digugat di hadapan

hakim Peradilan Tata Usaha Negara. Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha

Negara yang merupakan pengaturan bersifat umum, seperti Undang-undang, bukan

objek dalam Peradilan Tata Usaha Negara akan tetapi keputusan yang bersifat

individual konktrit (beschikking) lah yang dapat digugat di Peradilan Tata Usaha

Negara. 61

61
Ada 4 (empat) macam sifat norma hukum yaitu:
1. norma umum abstrak misalnya Undang-undang;
2. norma individual konkrit misalnya keputusan tata usaha negara;
3. norma umum konkrit misalnya rambu-rambu lalu lintas yang dipasang disuatu tempat tertentu
(rambu itu berlaku bagi semua pemakai jalan namun hanya berlaku utuk tempat itu);
4. norma individual abstrak misalnya izin gangguan. (Philipus M. Hadjon, et.al., Op. cit, (Yogyakarta
: Gadjah Mada University Press, 2001) hal.125
64

Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak termasuk objek sengketa Tata

Usaha Negara sebagaiman disebut dalam Pasal 2 UU Nomor 9 Tahun 2004 yaitu:

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;

b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan peraturan yang bersifat umum;

c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;

d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab

Undang Undang Hukum Pidana atau peraturan perundag-undangan lain yang

bersifat hukum pidana;

e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan

badan peradilan berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;

f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;

g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum, baik di pusat maupun di daerah, mengenai

hasil pemilihan umum.

Disamping itu pengecualian sebagai objek gugatan Tata Usaha Negara juga

dijumpai pada pasal 49 UU Nomor 5 Tahun 1986 yaitu:

a. Keputusan yang dikeluarkan dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan

bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. Keputusan yang dikeluarkan dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


65

Sebagaimana halnya sengketa perdata, media yang dijadikan dasar dalam

sengketa Tata Usaha Negara adalah gugatan. Gugatan tersebut harus diajukan tertulis

dan berisi 4 (empat) hal pokok yaitu:

a. Identitas para pihak, nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan

penggugat atau kuasanya.

b. Nama, jabatan dan tempat kedudukan tergugat.

c. Dasar gugatan (posita).

d. Hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan (petitum).

Berbeda dengan gugatan pada sengketa perdata, dalam gugatan Tata Usaha

Negara subjeknya telah dibatasi. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara selalu

menjadi pihak tergugat sebaliknya pribadi atau badan hukum perdata selalu jadi

penggugat. Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang merasa

kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara.

Isi dari posita pun telah ditentukan dalam Pasal 53 ayat (2) UU Nomor 9

Tahun 2004 yaitu:

1. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Suatu keputusan Tata Usaha Negara dapat

dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku apabila:

a. Keputusan yang bersangkutan bertentangan dengan ketentuan-ketentuan

dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat prosedural /formal, misal

keputusan Tata Usaha Negara dikelurkan tanpa diadakan pemeriksaan

terlebih dahulu.
66

b. Keputusan yang bersangkutan bertentangan dengan ketentuan-ketentuan

dalam peraturan perundang-undangan yang bersifat materiil/ substansial,

misalnya Keputusan Tata Usaha Negara tersebut tidak sesuai dengan materi

yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

c. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak

berwenang.

2. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas

umum pemerintahan yang baik. Menurut Pasal 3 Undang-undang Nomor 28

Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme asas umum pemerintahan yang baik meliputi:

asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan

umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas

akuntabilitas. 62

Jadi jelas yang menjadi dasar gugatan dalam perkara Tata Usaha Negara

adalah hanyalah dua hal tersebut diatas diluar kedua alasan tersebut bukanlah

wewenang Peradilan Tata Usaha Negara.

Sedangkan petitum dalam gugatan Tata Usaha Negara adalah sebagaimana

diatur dalam Pasal 53 ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 2004 yaitu Keputusan Tata Usaha

Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa

disertai tutntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi.

62
R. Wiyono, Op. cit, hal.92.
67

Sertipikat hak atas tanah dikeluarkan pemerintah dalam hal ini Badan

Pertanahan Nasional selaku Badan Tata Usaha Negara ditujukan kepada seseorang

atau badan hukum (konkret, individual) yang menimbulkan akibat hukum pemilikan

atas sebidang tanah yang tidak memerlukan persetujuan lebih lanjut dari instansi

atasan atau instansi lain (final). Sertipikat hak atas tanah telah memenuhi syarat

sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang dapat di gugat di Peradilan Tata Usaha

Negara.

Pada saat proses penerbitan sertipikat tidak tertutup kemungkinan terjadi

kesalahan yang menyebabkan cacat hukum administrasi. Sebagaimana disebutkan

dalam Pasal 107 PMNA/KBPN Nomor 9 Tahun 1999, cacat hukum administrasi ini

dapat berupa:

a. Kesalahan prosedur;

b. Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan;

c. Kesalahan subjek hak;

d. Kesalahan objek hak;

e. Kesalahan jenis hak;

f. Kesalahan perhitungan luas;

g. Terdapat tumpang tindih hak atas tanah ;

h. Data yuridis atau data fisik tidak benar; atau

i. Kesalahan lainnya yang bersifat hukum administratif.

Dalam hal terjadi cacat hukum administrasi ini tersedia upaya administratif

berupa keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 106 PMNA/KBPN Nomor 9 Tahun
68

1999, akan tetapi apabila seseorang atau badan hukum perdata merasa tidak puas

terhadap keputusan dari upaya administratif ini dapat menindaklanjutinya

kepengadilan. Peradilan yang berwenang memeriksa, memutuskan dan

menyelesaikan sengketa yang telah digunakan upaya administratif ini adalah

Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 48 dan Pasal 51

UU Nomor 5 Tahun 1986.

Apabila ada orang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan dengan

terbitnya sertipikat hak atas tanah dengan alasan bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik maka idealnya

mengajukan tuntutannya melalui Peradilan Tata Usaha Negara, sedangkan untuk

alasan selain itu walaupun objeknya tetap sertipikat hak atas tanah harus diajukan ke

Peradilan Umum. Sedangkan isi tuntutannya sudah jelas membatalkan atau

menyatakan tidak sah putusan Tata Usaha Negara.

C. Problematika Kompetensi Peradilan dalam Gugatan Pembatalan Hak Atas


Tanah

Permasalahan mengenai kompetensi peradilan dalam mengadili sengketa

tanah khususnya gugatan terhadap sertipikat hak atas tanah dimulai sejak

terbentuknya Peradilan Tata Usaha Negara, karena sebelumnya sengketa tanah

diselesaikan melalui Peradilan Umum.

“Pembahasan masalah kompetensi badan peradilan ini perlu dilakukan

mengingat pada substansi ini persoalan gugatan pembatalan hak atas tanah sulit
69

diidentifikasi secara tegas. Kesalahan identifikasi yurisdiksi materil suatu perkara

akan mengakibatkan tidak diterimanya gugatan atau ketidaksempurnaan putusan

pengadilan.” 63 Hal ini mengakibatkan tidak dapatnya amar putusan tersebut

dijalankan sehingga menimbulkan kerugian bagi pencari keadilan itu sendiri.

Dari uraian diatas sudah jelas batas-batas kewenangan masing-masing

peradilan, akan tetapi pada prakteknya seringkali suatu gugatan perdata dengan objek

sertipikat hak atas tanah mengandung aspek Tata Usaha Negara sebaliknya pada

gugatan Tata Usaha Negara memuat aspek keperdataan. Kemungkinan ini besar

kemungkinan terjadi karena hak-hak keperdataan yang digugat terkait dengan

sertipikat sebagai Keputusan Tata Usaha Negara sebaliknya sertipikat diterbitkan

dengan alas hak yang merupakan bukti hak keperdataan seseorang.

Untuk lebih konkritnya dapat dilihat dari contoh berikut ini: 64

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3199 K/Pdt/1992 tanggal 27

Oktober 1994 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Sumatera Selatan Nomor

42/Pdt/1992/PT.Plg tanggal 6 Juli 1992 jo. Putusan Pengadilan Negeri Palembang

Nomor 67/Pdt.G/1991/PN.Plg tanggal 19 Februari 1992:

Penggugat asal: Drg. FH dkk

Tergugat asal : 1. Sa

2. AH

63
Hasan Basri Nata Menggala dan Sarjita, Op.cit. 2005, hal 72.
64
Ibid
70

3. H.A

4. Badan Pertanahan Nasional cq Kakanwil BPN Prop.SS cq Kepala

Kantor Pertanahan Nasional Kotamadya P

Objek gugatan : Sertipikat Tanah Hak Milik Nomor 10737/1989;

Fundamentum petendi :

a. bahwa para penggugat adalah ahli waris Ny. Z.H;

b. bahwa para penggugat berdasarkan warisan memiliki sebidang tanah Hak Bekas

Usaha yang belum dikonversi, terletak di 20 (dua puluh) Ilir B II Sekip

Kecamatan Ilir Timur, Palembang, seluas ± 4.713 m2 dengan batas-batas seperti

terurai dalam Akta Jual Beli tanggal 16 Desember 1974 Nomor 229/1974;

c. bahwa 12 Desember 1974, sebelum Nyonya H mengalihkan kepada Ny. ZH, Ny

H telah mengajukan permohonan Sertipikat Tanah kepada Kantor Pertanahan di

Palembang;

d. bahwa Tergugat I dengan alas hak yang bertentangan dengan hukum menguasai

dan menjual tanah Hak Milik Penggugat itu kepada Tergugat II seluas 2.850 m2

dan kepada Tergugat III seluas 1.165 m2 dengan Akta Pengikatan Jual Beli

Notaris Darbi, SH Nomor 220 tanggal 15 Mei 1987 dan Nomor 32 tanggal 7

Desember 1987;

e. bahwa tergugat II. III membeli tanah sengketa dari Tergugat I tidak berdasarkan

alas hak yang sah menurut hukum;

f. bahwa dengan demikian Tergugat I, II, III menguasai tanah sengketa bertentangan

dengan hukum, sehingga patut dibatalkan;


71

g. bahwa tergugat I mengajukan permohonan hak kepada Tergugat IV sehingga

keluarlah Sertipikat Hak Milik Nomor 10737/1989 atas nama Tergugat I,

berdasarkan hukum sertipikat tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.

h. Bahwa Tergugat I, II, III maupun orang lain yang mendapat hak dari Tergugat I,

II, III berdasarkan hukum harus menyerahkan tanah sengketa kepada Para

Penggugat dalam keadaan kosong dan baik;

i. Bahwa apabila Para Tergugat lalai menyerahkan tanah tersengketa dalam keadaan

baik dan kosong, padahal putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum

yang pasti, maka Para Tergugat dibebani uang paksa (dwangsom) sebesar

Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari dengan seketika dan sekaligus

kepada Para Penggugat terhitung mulai putusan pengadilan mempunyai kekuatan

hukum yang pasti sampai dengan terlaksananya penyerahan;

Petitum:

1. menerima gugatan Para Penggugat seluruhnya;

2. menyatakan sah keputusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah Palembang

tanggal 29 Juni 1968 Nomor 101/1968 dan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan Nomor 159/Pdt.G/1991/PN.Jkt.Sel. tanggal 15 April 1991;

3. menyatakan sah menurut hukum sebidang tanah berupa hak bekas hak usaha yang

belum dikonversi terletak di 20 (dua puluh) Ilir B II Sekip, Kecamatan Ilir Timur,

Palembang, seluas ± 4.713 m2 dengan batas-batas seperti terurai dalam Akta Jual

Beli tanggal 16 Desember 1974 Nomor 229/1974 adalah sah milik Penggugat-

Penggugat;
72

4. menyatakan batal menurut hukum perbuatan pengikatan jual beli yang dilakukan

Tergugat I dengan Tergugat II dan Tergugat III Nomor 220 tanggal 15 Mei 1967

dan Nomor 32 tanggal 7 Desember 1987 Notaris di Palembang Darbi, SH,

sehingga Tergugat I, II, III tidak berhak terhadap sebidang tanah yang dikuasai

oleh mereka sekarang ini, sebagaimana diuraikan pada Akta Jual Beli tanggal 16

Desember 1974 Nomor 229/1974;

5. menyatakan perbuatan Tergugat IV (Turut Tergugat) yang menerbitkan

Sertipikat Hak Milik Nomor 10737/1989 atas nama Tergugat I adalah tidak

mempunyai kekuatan hukum;

6. menyatakan Sertipikat Hak Milik Nomor 10737/1989 G.S. Nomor 247/1989 atas

nama Tergugat I adalah tidak mempunyai kekuatan hukum;

7. menghukum agar Badan Pertanahan Nasional Cq Kakanwil BPN Propinsi

Sumatera Selatan Cq Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Palembang (Tergugat

IV/ Turut Tergugat) melaksanakan dan menaati keputusan ini;

8. menghukum Tergugat I, Tergugat II, dan Tergugat III atau orang lain yang

mendapatkan hak dari padanya untuk menyerahkan dalam keadaan baik dan

kosong sebidang tanah yang dikuasainya bertentangan dengan hukum

sebagaimana diuraikan dalam Akta Jual Beli tanggal 16 Desember 1974 Nomor

229/1974 kepada Penggugat-Penggugat, dan seterusnya.


73

Adapun analisa mengenai perkara ini adalah sebagai berikut:

Dalam fundamentum petendi, para penggugat antara lain mendalilkan bahwa

pada tanggal 13 Desember 1974, Ny. H telah mengajukan permohonan kepada

Tergugat IV untuk memperoleh Sertipikat Tanah. Perbuatan Tergugat IV

menerbitkan Sertipikat Hak Milik Nomor 10737/1989 kepada Tergugat I berdasarkan

permohonan yang baru diajukan tanggal 12 Desember 1989, tidak sah menurut

hukum. Fundamentum petendi demikian mengarah pada kesalahan prosedural

penerbitan Sertipikat Tanah. Dan dari 11 butir petitum gugatan, petitum 2 (dua)

sampai dengan 8 (delapan) merupakan petitum pokok. Petitum selebihnya merupakan

petitum tambahan. Petitum 5, petitum 6, petitum 7 berkaitan dengan perbuatan dan

hasil perbuatan Pejabat Tata Usaha Negara.

Analisa diatas menunjukkan bahwa dalam kasus tersebut terdapat aspek tata

usaha negara, sekalipun secara keseluruhan fundamentum petendi lebih banyak

mempersoalkan aspek keperdataan kepemilikan atas tanah sengketa. Tuntutan berupa

batal Akte Pengikatan Jual Beli Nomor 220 tanggal 15 Mei 1987 dan Nomor 32

tanggal 7 Desember 1987 antara Tergugat I dengan Tergugat II dan tergugat III atas

tanah sengketa merupakan petitum pokok. Tuntutan batal akta pengikatan jual beli

akan berakibat Sertipikat Hak Milik Nomor 10737/1989 atas nama Tergugat I tidak

mempunyai kekuatan hukum. Jika Petitum perdata demikian dikabulkan, sebenarnya

sudah mengikat Tergugat IV tanpa harus menilai, mempersoalkan, dan menyatakan

perbuatan Tergugat IV yang notabene Pejabat Tata Usaha Negara tidak mempunyai

kekuatan hukum.
74

Contoh lain mengenai perkara yang tidak dapat diterima karena salah dalam

menentukan kualifikasi perkara adalah :

Perkara sengketa tanah di Kompleks Bandara Kemayoran yang telah diputus di

Tingkat Kasasi Nomor 140 K/TUN/2003. Dalam pertimbangan hukumnya hakim

antara lain menguraikan bahwa judex factie telah salah menerapkan hukum, meskipun

obyek gugatan adalah surat keputusan tergugat satu (Kepala Badan Pertanahan

Nasional) Nomor 24/HPL/DA/87 tentang Pemberian Hak Pengelolaan Nomor.

1/Gunung Sahari namun di dalam gugatannya penggugat menguraikan fundamentum

petendi mengenai sengketa kepemilikan tanah bekas hak barat eigendom verponding

Nomor 13886 yaitu antara penggugat dan tergugat III intervensi (Sekretariat Negara

cq Badan Pengelola Komplek Kemayoran). Hakim majelis menegaskan bahwa untuk

menentukan siapa yang paling berhak atas tanah sengketa harus diajukan gugatannya

ke peradilan perdata terlebih dahulu. 65

Kenyataan bahwa dalam gugatan kerap terjadi gabungan antara aspek perdata

dengan aspek tata usaha negara, maka seharusnyalah hakim Perdata maupun hakim

Tata Usaha negara karena jabatannya (ex officio), melalui putusan sela, menyatakan

bahwa tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Jangan

membiarkannya sehingga menghasilkan putusan akhir yang rancu dan diluar

kewenangan.

Mengenai tuntutan pembatalan sertipikat hak atas tanah pada Peradilan Umum

terdapat beberapa yurisprudensi tetap Mahkamah Agung Republik Indonesia:

65
Hasan Basri Nata Menggala dan Sardjita,Op.cit., hal. 77
75

a. Putusan Mahkamah Agung Nomor 3838 K/Sip/1971 tanggal 3 November 1971

yang isinya :

1. Menyatakan batal surat bukti hak milik yang dikeluarkan oleh instansi agraria

secara sah, tidak termasuk wewenang pengadilan tetapi semata-mata termasuk

wewenang administrasi.

2. Pembatalan surat bukti hak harus diminta oleh pihak yang menang di

pengadilan kepada instansi agraria berdasarkan putusan yang diperolehnya. 66

b. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 716 K/Sip/1973 tanggal

5 September 1973 yang isinya pengeluaran/pencabutan dan pembatalan surat

sertipikat adalah semata-mata wewenang kantor Pendaftaran dan Pengawasan

Pendaftaran Tanah, bukan wewenang Pengadilan Negeri. 67

Menurut Z.A. Sangadji bahwa kaidah hukum dalam kedua yurisprudensi

diatas tidak dimaksudkan untuk menyatakan bahwa peradilan umum tidak berwenang

memeriksa dan mengadili gugatan pembatalan sertipikat tanah akan tetapi lebih

menunjukkan bahwa pembatalan sertipikat tanah adalah wewenang administrasi.

Esensi putusan perdata lebih pada aspek kepemilikan hak atas tanah dan tidak

mengambil alih wewenang administrasi tersebut dengan kata lain putusan perdata

harus menghindari penggunaan amar putusan: menyatakan batal atau membatalkan

sertipikat tanah oleh karena itu putusan perdata adalah amar declaratoir yang

menyatakan sertipikat tidak mempunyai kekuatan hukum, tidak mempunyai kekuatan

66
Z.ASangadji, Op.cit., hal.54
67
Ibid
76

berlaku atau tidak mempunyai kekuatan mengikat tanpa harus menilai,

mempertimbangkan dan memutuskan perbuatan pejabat atau badan tata usaha negara.

Dalam putusan perdata ini yang bersifat declaratoir hanyalah terhadap

tuntutan beraspek Tata Usaha Negara sedangkan untuk tuntutan yang beraspek

perdata itu sendiri putusan tersebut dapat bersifat constitutif dan/ atau condemnatoir.

Apabila keputusan constitutif dan/atau condemnatoir ini menyangkut alas hak yang

dipergunakan dalam penerbitan sertipikat maka sudah cukup untuk mengikat Pejabat

Tata Usaha Negara untuk melaksanakan kewenangan administrasinya yaitu

pembatalan hak atas tanah.

Sebaliknya putusan Peradilan Tata Usaha Negara sudah pasti menyatakan

tidak sah atau batal suatu keputusan Tata Usaha Negara dengan tambahan

menghukum pejabat Tata Usaha Negara untuk membatalkan atau mencabut surat

keputusan Tata Usaha Negara, sedangkan mengenai hak-hak keperdataannya

tergantung pada bukti pemilikan yang ada pada pihak yang menguasainya. Apabila

terjadi sengketa terhadap bukti kepemilikan ini maka harus diselesaikan melalui

Peradilan Umum.

D. Pelaksanaan Putusan Pengadilan

Menurut sifatnya dikenal 3 macam putusan yaitu: 68

1. Putusan declaratoir adalah putusan yang bersifat menerangkan , menegaskan

suatu keadaan hukum semata-mata.

68
Retnowulan Sutanto dan Iskandar Oeripkartawinata, Op.cit., hal 109.
77

2. Putusan constitutif adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum

atau menimbulkan suatu keadaan hukum baru.

3. Putusan condemnatoir adalah putusan yang berisi penghukuman.

Pada umumnya dalam suatu putusan hakim memuat beberapa macam putusan,

atau dengan kata lain merupakan penggabungan antara putusan decralatoir dan

putusan constitutif atau penggabungan antara putusan declaratoir dengan putusan

condemnatoir dan sebagainya . 69

Tidak semua putusan yang sudah berkekuatan hukum pasti harus dijalankan,

karena yang perlu dilaksanakan hanyalah putusan-putusan yang bersifat

condemnatoir yaitu yang mengandung perintah kepada suatu pihak untuk melakukan

suatu perbuatan. 70

Sedangkan ketentuan dalam Bab V angka 4 Petunjuk Tekhnis Nomor

06/JUKNIS/D.V/2007 tentang Berperkara di Pengadilan dan Tindak Lanjut

Pelaksanaan Putusan Pengadilan bahwa Putusan Pengadilan dalam rangka perkara

pertanahan secara administratif dapat ditindaklanjuti pelaksanaannya apabila telah

mempunyai kekuatan hukum tetap yang bersifat menghukum (condemnatoir) dan

bersifat constitutif (menciptakan status hukum baru) sedangkan putusan yang bersifat

declaratoir tidak dapat ditindaklanjuti pelaksanaannya karena hanya bersifat

pernyataan sesuatu yang telah jelas.

69
Ibid, hal 110.
70
Ibid, hal 129
78

Apabila dikaitkan dengan uraian diatas maka putusan perdata dapat dijadikan

dasar permohonan pembatalan hak atas tanah apabila didalam putusan tersebut

disamping amar declaratoir terhadap aspek tata usaha negara, terdapat amar yang

bersifat contituitif dan/atau condemnatoir terhadap tuntutan yang beraspek perdata

maka dapat mengikat Badan Pertanahan Nasional sebagai Badan Tata Usaha Negara

untuk melaksanakan kewenangan administrasinya.


79

BAB III

PERATURAN-PERATURAN TENTANG
PEMBATALAN HAK ATAS TANAH

Pembatalan hak atas tanah merupakan sarana korektif terhadap kegiatan

pendafataran tanah yang memberikan status hukum atas tanah. Pemberian status

hukum ini dilandasi oleh sistem pendaftaran tanah yang bersifat negatif bertendensi

positip dengan segala keterbatasannya, sehingga kemungkinan terjadi kesalahan

akibat ketidaksempurnaan dalam proses pelaksanaannya. Dengan dianutnya sistem

negatif ini terbuka kesempatan bagi pemilik sebenarnya untuk mengajukan keberatan

atas terbitnya surat keputusan pemberian hak atas tanah kepada pihak lain dengan

mengajukan bukti-bukti ke pengadilan sehingga hak atas tanah tersebut dapat

dibatalkan.

Pembahasan mengenai pembatalan hak atas tanah meliputi semua peraturan

yang menyangkut atau mengatur tentang pembatalan hak atas tanah tersebut . Adapun

peraturan tersebut, secara hirarki dapat disebutkan sebagai berikut:

1. Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria atau sering disebut Undang- Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai

peraturan pokok yang menjadi landasan bagi pemerintah dalam melaksanakan

kebijaksanaan di bidang Agraria;

2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;


80

3. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3

Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997;

4. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3

Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan

Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara;

5. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9

Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah

Negara dan Hak Pengelolaan;

6. Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 34 Tahun 2007 tentang

Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan.

7. Instruksi Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3

Tahun 1998 tentang Peningkatan Efisiensi dan Kualitas Pelayanan Masyarakat di

Bidang Pertanahan jo. Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor1 Tahun 2005 tentang Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan

(SPOPP) di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional;

8. Petunjuk Teknis Nomor 06/JUKNIS/D.V/2007 tentang Berperkara di Pengadilan

dan Tindak Lanjut Pelaksanaan Putusan Pengadilan;

9. Petunjuk Teknis Nomor 08/JUKNIS/D.V/2007 tentang Penyusunan Keputusan

Pembatalan Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah/ Pendaftaran Tanah/

Sertipikat Hak Atas Tanah.;

10. Surat Kepala BPN Nomor 500-2147 tanggal 19-7-2000 tentang Kelengkapan

Permohonan Pembatalan Hak Atas Tanah dan/ atau Sertipikat.


81

Pada bab ini akan dilakukan pembahasan mengenai ketentuan- ketentuan

yang telah ditetapkan dalam peraturan- peraturan tersebut diatas, yang berkaitan

dengan proses pembatalan hak atas tanah, meliputi kewenangan, subjek, objek

maupun tata cara dan proses yang harus ditempuh sampai kepada Surat Keputusan

pembatalan sertipikat hak atas tanah tersebut dikeluarkan oleh pejabat yang

berwenang.

A. Kewenangan Pembatalan Hak Atas Tanah

Kewenangan pembatalan hak atas tanah berada pada Menteri sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 105 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan

Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan (PMNA/KBPN Nomor9

Tahun 1999) yaitu :

a. Pembatalan hak atas tanah dilakukan dengan keputusan Menteri.

b. Pembatalan hak atas tanah sebagaimana dapat dilimpahkan Menteri

kepada Kepala Kantor Wilayah atau Pejabat yang ditunjuk.

Merujuk pada ketentuan diatas maka pada dasarnya kewenangan pembatalan

hak atas tanah berada di tangan menteri, dalam hal ini Menteri Negara Agraria/

Kepala Badan Pertanahan Nasional, dengan suatu Surat Keputusan Menteri. Akan

tetapi kewenangan tersebut dapat dilimpahkan kepada pejabat lain yang berada

dibawah jajarannya yaitu Kepala Kantor Wilayah atau pejabat lain yang ditunjuk oleh

menteri.
82

Pelimpahan wewenang ini diberlakukan dengan pertimbangan demi

kelancaran pelayanan pertanahan, sebagaimana disebutkan dalam diktum

“Menimbang” huruf a Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan

Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara (PMNA/KBPN Nomor 3

Tahun 1999) sebagai berikut :

“Bahwa untuk kelancaran pelaksanaan tugas pelayanan di bidang hak-hak atas

tanah perlu diadakan peninjauan kembali ketentuan- ketentuan mengenai pelimpahan

kewenangan pemberian hak atas tanah dan kewenangan pembatalan keputusan

mengenai pemberian hak atas tanah.”

Menurut Pasal 2 PMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1999, ada 2 (dua) pejabat

yang dimungkinkan menerima pelimpahan kewenangan pembatalan hak atas tanah

yaitu Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi atau Kepala

Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya namun dalam pasal-pasal selanjutnya

pelimpahan kewenangan pembatalan hak atas tanah hanya sampai kepada Kepala

Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi saja.

Batas-batas kewenangan yang dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah

Badan Pertanahan Nasional Propinsi tersebut diatur dalam pasal 12 PMNA/KBPN

Nomor 3 Tahun 1999 yaitu:

1. Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang telah dikeluarkan oleh

Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya yang terdapat cacat hukum

dalam penerbitannya.
83

2. Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang kewenangan pemberiannya

dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya dan

kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi, untuk

melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dari ketentuan ini terdapat perbedaan kewenangan dalam pembatalan hak atas

tanah karena cacat administrasi dengan pembatalan hak atas tanah karena

melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kewenangan

pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap lebih luas karena mencakup keputusan pemberian hak atas

tanah yang kewenangannya telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/ Kotamadya dan juga keputusan pemberian hak atas tanah yang

kewenangannya berada pada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional

Propinsi.

Padahal permohonan pembatalan hak atas tanah berdasarkan putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap pasti diawali dengan adanya sengketa

tanah akibat benturan kepentingan yang melibatkan pemegang hak dengan pihak lain

yang merasa dirugikan serta Badan Pertanahan Nasional sehingga perlu pengkajian

yang lebih mendalam, sedangkan cacat administrasi biasanya hanya melibatkan

pemegang hak atas tanah dengan Badan Pertanahan Nasional.

Kewenangan keputusan pembatalan hak atas tanah lainnya masih tetap

menjadi kewenangan Menteri sebagaimana diatur dalam pasal 14 PMNA/KBPN

Nomor 3 Tahun 1999 yaitu:


84

1. Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang tidak dilimpahkan

kewenangannya kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional

Propinsi atau Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya ( Misalnya Hak

Pengelolaan atau hak-hak lainnya yang berdasarkan luasnya tetap berada ditangan

Menteri).

2. Pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang telah dilimpahkan

kewenangannya kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional

Propinsi atau Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya, apabila atas

laporan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi hal tersebut

diperlukan berdasarkan keadaan di lapangan.

Pelimpahan kewenangan pembatalan hak atas tanah tidak terlepas dari

pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah, oleh karena itu agar lebih jelas

batas kewenangan pembatalan hak atas tanah tersebut perlu juga diuraikan pasal-

pasal yang memuat ketentuan mengenai pelimpahan kewenangan pemberian hak atas

tanah.

Kewenangan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kotamadya dalam

pemberian hak atas tanah diatur dalam pasal 3 sampai dengan pasal 6 PMNA/KBPN

Nomor 3 Tahun 1999 sebagai berikut:

1. Hak Milik :

a. Pemberian Hak Milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 HA

(dua hektar);

b. Pemberian Hak Milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2.000

m2 (dua ribu meter persegi), kecuali mengenai tanah bekas Hak Guna Usaha;
85

c. Pemberian Hak Milik atas Tanah dalam rangka pelaksanaan program :

1. Transmigrasi;

2. Redistribusi tanah

3. Konsolidasi tanah

4. Pendaftaran tanah secara massal baik dalam rangka pelaksanaan

pendaftaran tanah secara sistematik maupun sporadik.

2. Hak Guna Bangunan:

a. Pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari

2.000 m2 ( dua ribu meter persegi) , kecuali mengenai tanah bekas Hak Guna

Usaha;

b. Semua pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan.

3. Hak Pakai:

a. Pemberian Hak Pakai atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 HA

(dua hektar);

b. Pemberian Hak Pakai atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari

2.000 m2 (dua ribu meter persegi), kecuali mengenai tanah bekas Hak Guna

Usaha;

c. Semua pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan.

4. Memberi keputusan mengenai semua perubahan hak atas tanah, kecuali

perubahan Hak Guna Usaha menjadi hak lain.


86

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 1. Kewenangan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Dalam


Menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah
Dasar
No Jenis Hak/Luasan Tanah (Ha/M2) Penggunaan
Hukumnya

a. Hak Milik ≤ 2 Ha/20.000 M2 Pertanian Psl. 3 huruf a


b. Hak Milik ≤ 2.000 M2 kecuali Non pertanian Psl. 3 huruf b
1. tanah bekas HGU
c. Hak Milik dalam rangka Psl. 3 huruf c
pelaksanaan program
Transmigrasi, Redistribusi Tanah,
Pendaftaran Tanah secara missal
baik sistematik maupun sporadik

2. a. Hak Guna Bangunan ≤ 2.000 M2 Bangunan Psl. 4 huruf a


kecuali tanah bekas HGU
b. Hak Guna Bangunan atas tanah Bangunan Psl 4 huruf b
Hak Pengelolaan (tanpa
pengecualian luas)

3. a. Hak Pakai ≤ 2. Ha/20.000 M2 Pertanian Psl. 5 huruf a


b. Hak Pakai ≤ 2.000 M2, kecuali Non Pertanian Psl. 5 huruf b
tanah bekas Hak Guna Usaha
c. Semua Hak Pakai atas tanah Hak Psl. 5 huruf c
Pengelolaan

4. Perubahan hak menjadi hak lain, Psl. 6 Ps. 6


kecuali perubahan HGU menjadi PMNA/ Ka.BPN
hak lain (dari Hak Milik menjadi Nomor 3/1999
Hak Guna Bangunan atau Hak Jo. Psl. 93
Pakai,Hak Guna Bangunan menjadi PMNA/Ka. BPN
Hak Pakai) Nomor 9 tahun
1999
Sumber: Peraturan Menteri Negara Agraria/ KBPN Nomor3/1999

Kewenangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi

dalam pemberian hak atas tanah diatur dalam pasal 7 sampai dengan pasal 6

PMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1999 sebagai berikut:


87

1. Hak Milik:

a. Pemberian Hak Milik atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 HA (dua

hektar)

b. Pemberian hak milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari

5.000 m2 (lima ribu meter persegi), kecuali yang kewenangan pemberiannya

telah dilimpahkan kepada kepala Kantor Pertanahan/ Kotamadya Medan.

2. Hak Guna Usaha:

Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi memberi keputusan

mengenai pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari

200 HA (dua ratus hektar).

3. Hak Guna Bangunan:

Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi memberi keputusan

mengenai pemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih

150.000 m2 (seratus lima puluh ribu meter persegi), kecuali yang kewenangan

pemberiannya telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/

Kotamadya.

4. Hak Pakai:

a. Pemberian Hak Pakai atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 HA (dua hektar);

b. Pemberian Hak Pakai atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari

150.000 m2 (seratus lima puluh ribu meter persegi), kecuali yang kewenangan

pemberiannya telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/ Kotamadya.

5. Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi memberi keputusan

mengenai pemberian hak atas tanah yang sudah dilimpahkan kewenangan


88

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 2. Kewenangan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional


Provinsi Dalam Menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak Atas
Tanah

No Jenis Hak/Luasan Tanah (Ha/M2) Penggunaan Dasar Hukumnya

1. a. Hak Milik > 2 Ha/20.000 M2 Pertanian Psl. 7


b. Hak Milik ≤ 5.000 M2. kecuali yang Non pertanian Psl. 7
kewenangan pemberian haknya telah
dilimpahkan kepada Ka. Kantor
Pertanahan Kab./Kota sebagaimana
dimaksud dalam Psl. 3 PMNA/Ka.BPN
Nomor 3 tahun 1999

2. Hak Guna Bangunan > 200 Ha. Pertanian, Psl. 8


Perkebunan, Industri

3. Hak Guna Bangunan ≤ 150.000 M2., kecuali Bangunan Psl. 9


tanah yang kewenangan pemberian haknya
telah dilimpahkan kepada Ka. Kantor
Pertanahan Kab./Kota sebagaimana dimaksud
dalam Psl 4 PMNA/Ka.BPN Nomor3 tahun
1999

4. a. Hak Pakai > 2.Ha/20.000 M2 Pertanian Psl. 10


b. Hak Pakai ≤ 50. 000 M2., kecuali yang Non Pertanian Psl. 10
kewenangan pemberian haknya telah
dilimpahkan kepada Ka. Kantor
Pertanahan Kab./Kota sebagaimana
dimaksud dalam Psl.PMNA/Ka.BPN
Nomor 3 tahun 1999

5. Pemberian hak atas tanah yang sudah Psl. 11


dilimpahkan kewenangan pemberian haknya
kepada Ka. Kantor Pertanahan Kab./Kota
dalam hal diperlukan berdasarkan keadaan di
lapangan

Sumber: Peraturan Menteri Negara Agraria/ KBPN Nomor3/1999


89

Ketentuan pasal 4 ayat (2) PMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1999 yang

menyebutkan bahwa berdasarkan keadaan lapangan, Kepala Kantor Wilayah Propinsi

dapat membuat laporan yang menyebabkan kewenangan pembatalan hak atas tanah

tersebut dapat diambil alih kembali oleh Menteri menimbulkan ketidakpastian dan

terkesan tarik ulur (tidak konsisten). Hal ini bisa menjadi masalah krusial karena

dapat berimbas pada ketidakpastian dalam dalam proses pembatalan hak atas tanah

karena Kepala Kantor Wilayah Propinsi bisa saja setiap saat melemparkan

kewenangan yang telah diterimanya kembali kepada Menteri dengan berbagai alasan

misalnya untuk mendapat kajian yang lebih mendalam padahal alasan yang

sebenarnya hanya untuk terhindar dari resiko apabila surat keputusan pembatalan

tersebut dikelurkan sendiri olehnya. Tambahan lagi bahwa dalam PMNA/KBPN

Nomor3 Tahun 1999 tidak ada diatur lebih lanjut mengenai pertimbangan apa yang

dapat menjadi dasar bagi Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional

Propinsi untuk membuat laporan kepada Menteri.

B. Subjek Pembatalan Sertipikat Hak Atas Tanah

Pembatalan hak atas tanah disebabkan 2 (dua) hal yaitu karena cacat hukum

administrasi atau menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum

tetap. Berbeda dengan keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacat hukum

administratif dalam penerbitannya yang dapat dilakukan karena permohonan yang

berkepentingan atau inisiatif pejabat yang berwenang tanpa permohonan, maka dalam

hal pembatalan hak atas tanah untuk menjalankan keputusan pengadilan yang telah
90

berkekuatan hukum tetap harus ada permohonan dari pihak yang berkepentingan

terlebih dahulu.

Pasal 124 PMNA/KBPN Nomor 9 Tahun 1999 berbunyi:

“Keputusan pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ditebitkan atas permohonan

yang berkepentingan .”

Pemohon inilah yang menjadi subjek dalam pembatalan hak atas tanah.

Mengenai pihak yang berkepentingan ini tidak dijelaskan secara terperinci dalam

PMNA/KBPN Nomor 9 Tahun 1999, oleh karena itu secara umum dapat disimpulkan

bahwa pihak yang berkepentingan tersebut adalah orang pribadi atau badan hukum

yang mempunyai hubungan hukum dan kepentingan terhadap hak atas tanah tersebut

yang merupakan pihak- pihak yang berperkara di peradilan, baik penggugat maupun

tergugat.

C. Objek Pembatalan Hak Atas Tanah

Objek pembatalan hak atas tanah diatur dalam beberapa ketentuan sebagai

berikut:

a. Berdasarkan ketentuan Pasal 104 ayat (1) PMNA/ KBPN Nomor 9 Tahun

1999, yang menjadi objek pembatalan hak atas tanah meliputi:

1) Surat Keputusan pemberian hak atas tanah

2) Sertipikat hak atas tanah


91

3) Surat Keputusan pemberian hak atas tanah dalam rangka pengaturan

penguasaan tanah.

b. Secara khusus objek pembatalan hak atas tanah sebagai tindak lanjut

pelaksanaan putusan pengadilan diatur dalam Bab V Petunjuk Teknis Nomor

06/JUKNIS/D.V/2007 tentang Berperkara di Pengadilan dan Tindak Lanjut

Pelaksanaan Putusan Pengadilan yang meliputi :

1) Pembatalan hak atas tanah dan atau pembatalan akibat pencabutan surat

keputusan penetapan hak atas tanah .

2) Pembatalan Pendaftaran hak dan atau,

3) Pembatalan Sertipikat hak atas tanah dan atau,

4) Pembatalan pendaftaran peralihan hak.

5) Pembatalan pendaftaran peralihan hak tanggungan.

6) Pembatalan pendaftaran hak Tanggungan.

7) Pembatalan terhadap surat keputusan pembatalan sebagaimana tersebut

pada angka 1 sampai dengan angka 6 diatas.

Pembatalan hak atas tanah bertujuan untuk mengakhiri pemberian status

hukum yang telah diberikan berdasarkan kewenangan publik pada Pejabat Tata Usaha

Negara. Surat Keputusan Tata Usaha Negara memberikan hak kepada seseorang atau

badan hukum berdasarkan kewenangan yang diberikan pemerintah kepada Pejabat

Tata Usaha Negara. Dalam hal hak atas tanah, pemberian status hukum pada tanah

adalah pada saat Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah dikeluarkan oleh
92

Pejabat Tata Usaha Negara (Badan Pertanahan Nasional) oleh karena itu pada

dasarnya yang dibatalkan adalah Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah

sehingga tanah tersebut kembali kepada keadaan semula sebelum diberikan status

hukum yaitu menjadi Tanah Negara. Batalnya Surat Keputusan Pemberian Hak Atas

Tanah secara otomatis maka sertipikat yang dikeluarkan sebagai tanda bukti hak juga

batal.

Sedangkan peralihan- peralihan yang terjadi kemudian seperti jual beli, hibah,

serta pembebanannya dengan hak tanggungan ataupun peralihan hak tanggungan itu

sendiri tidak dilakukan dengan suatu Surat Keputusan Tata Usaha Negara melainkan

dengan Akte Pejabat Pembuat Akta Tanah. Akte Pejabat Pembuat Akta Tanah

bukanlah merupakan Surat Keputusan Tata Usaha Negara karena dibuat bukan

berdasarkan kewenangan publik akan tetapi merupakan kehendak para pihak yang

dituangkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam suatu akte.

Akan tetapi dalam Petunjuk Teknis Nomor 06/JUKNIS/D.V/2007 objek

pembatalan hak atas tanah mengalami perluasan dibanding dengan Pasal 104 ayat (1)

PMNA/ KBPN Nomor 9 Tahun 1999 diatas, bukan hanya surat keputusan pemberian

hak atas tanah, yang merupakan pemberian hak pertama kali (original) saja yang

dapat dibatalkan akan tetapi peralihan-peralihan serta pembebanannya kemudian

(derivatif). yang didaftarkan dalam rangka pemeliharaan data pendaftaran tanah dapat

dimohon pembatalannya. Hal ini menjadi titik krusial dalam peraturan tentang

pembatalan hak atas tanah.


93

Pembatalan pendaftaran peralihan hak tidak menyebabkan hapusnya status

hukum yang telah diberikan terhadap satu bidang tanah akan tetapi kembali kepada

pemegang hak atas tanah semula. Dari pengertian ini selayaknya pembatalan

pendaftaran peralihan hak atas tanah tidak dimasukkan dalam proses pembatalan hak

atas tanah sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ KBPN

Nomor 9 Tahun 1999 akan tetapi dapat dibuat mekanisme tersendiri yang lebih

mudah dan singkat.

D. Syarat-Syarat Permohonan Pembatalan Hak Atas Tanah

Pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan pengadilan yang

telah berkekuatan tetap harus dilakukan berdasarkan permohonan pihak yang

berkepentingan. Permohonan pembatalan hak atas tanah tersebut dapat diajukan

langsung kepada Menteri atau Kepala Kantor Wilayah Propinsi atau dapat juga

diajukan melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagaimana diatur

dalam pasal 125 PMNA/ KBPN Nomor 9 Tahun 1999.

Permohonan diajukan secara tertulis yang memuat :

a. Keterangan mengenai diri pemohon:

1. Apabila perseorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan

pekerjaan (melampirkan foto copy bukti identitas, surat bukti

kewarganegaraan).

2. Apabila badan hukum : nama, tempat kedudukan, akta atau peraturan

pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-undangan

yang berlaku (melampirkan foto copy akta atau peraturan pendiriannya).


94

b. Keterangan mengenai tanahnya meliputi data yuridis dan data fisik:

1. Memuat nomor dan jenis hak atas tanah (melampirkan foto copy surat

keputusan dan atau surat keputusannya)

2. Letak, batas-batas, dan luas tanahnya dengan menyebutkan tanggal dan

nomor Surat Ukur atau Gambar Situasi jika ada.

3. Jenis penggunaan tanahnya (pertanian/ non pertanian)

c. Alasan permohonan pembatalan disertai keterangan lain sebagai data

pendukung, antara lain:

1. Foto copy putusan pengadilan dari tingkat pertama sampai dengan putusan

terakhir.

2. Berita acara eksekusi, apabila perkara perdata atau pidana.

3. Surat-surat lain yang berkaitan dengan permohonan pembatalan.

E. Prosedur Permohonan Pembatalan Hak Atas Tanah

Setelah persyaratan permohonan dipenuhi selanjutnya diajukan kepada

pejabat berwenang dalam hal ini dapat diajukan langsung ke Menteri atau Kepala

Kantor Wilayah Propinsi dan atau melalui Kepala Kantor Pertanahan Kota/

Kabupaten.

Tata cara pembatalan hak atas tanah diatur dalam pasal 127 sampai dengan

133 PMNA/KBPN Nomor 9 Tahun 1999 yaitu :

1. Apabila permohonan pembatalan hak atas tanah yang diajukan melalui Kantor

Pertanahan, maka Kepala Kantor Pertanahan melakukan kegiatan sebagai berikut:


95

a. Memeriksa dan meneliti kelengkapan berkas permohonan baik data yuridis

atau data fisik.

b. Mencatat permohonan dalam formulir isian yang telah disediakan

c. Memberikan tanda terima berkas permohonan, dan

d. Memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapi data yuridis dan data

fisik jika masih diperlukan.

e. Melakukan verifikasi terhadap data yuridis dan data fisik permohonan dengan

cara mencocokkan hak atas tanah dengan amar putusan pengadilan dengan

data yuridis yang terakhir sebelum diproses lebih lanjut sesuai dengan

ketentuan peraturan perUndang-undangan yang berlaku.

f. Menyampaikan berkas permohonan pembatalan hak atas tanah kepada

Menteri disertai pertimbangan dan keterangan apabila terdapat perbedaan

antara data yuridis dan data fisik dengan putusan pengadilan.

Setelah berkas permohonan sampai di Kantor Menteri, maka menteri

memerintahkan pejabat yang ditunjuk untuk melakukan kegiatan sebagai berikut:

a. Mencatat dalam formulir isian yang telah ditentukan.

b. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila

belum lengkap segera meminta Kepala Kantor Pertanahan untuk melengkapi.

c. Meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik permohonan

dan memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya amar

putusan pengadilan dilaksanakan.


96

d. Memutuskan permohonan tersebut dengan menerbitkan keputusan pembatalan

hak atas tanah yang dimohon atau memberitahukan bahwa amar putusan

pengadilan tidak dapat dilaksanakan disertai dengan alasan dan

pertimbangannya.

e. Apabila Menteri tidak dapat melaksanakan amar putusan pengadilan Menteri

dapat mohon fatwa kepada Mahkamah Agung dalam pelaksanaan amar

putusan pengadilan dimaksud 71

Apabila permohonan yang diajukan langsung kepada Menteri, maka menteri akan

melakukan kegiatan sebagai berikut:

a. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik , dan apabila

belum lengkap segera minta kepada pemohon untuk melengkapinya.

b. Mencatat dalam formulir isian yang telah ditentukan.

c. Menteri meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik

permohonan dan memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau

tidaknya amar putusan pengadilan dilaksanakan.

d. Apabila terjadi perubahan data fisik dan data yuridis menteri dapat

memerintahkan Kepala Kantor Pertanahan untuk meneliti perubahan tersebut

dan melaporkan hasilnya untuk dijadikan bahan pertimbangan untuk

menerbitkan keputusan pembatalan hak atau tidak melaksanakan amar

putusan pengadilan.

71
Kegiatan berlaku mutatis mutandis terhadap permohonan pembatalan hak karena
melaksanakan putusan pengadilan yang merupakan kewenangan Kepala Kantor Wilayah (pasal 130
PMNA/ KBPN Nomor 9/99).
97

e. Menteri memutuskan permohonan tersebut dengan menerbitkan keputusan

pembatalan hak atas tanah yang dimohon atau memberitahukan bahwa amar

putusan pengadilan tidak dapat dilaksanakan disertai dengan

pertimbangannya.

f. Dalam hal menteri tidak dapat melaksanakan amar putusan pengadilan

menteri dapat memohon fatwa kepada Mahkamah Agung dalm pelaksanaan

amar putusan pengadilan dimaksud.

g. Keputusan pembatalan hak atas tanah atau keputusan tidak melaksanakan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

disampaikan kepada pemohon melalui surat tercatat atau dengan cara lain

yang menjamin sampainya keputusan tersebut kepada yang berhak. 72

72
Kegiatan ini jg dilakukan terhadap permohonan pembatalan hak yang diajukan langsung
kepada Kepala Kantor Wilayah (pasal 132 PMNA/KBPN Nomor 9/99)
98

BAB IV

IMPLEMENTASI PERATURAN PEMBATALAN HAK ATAS TANAH DI


KANTOR PERTANAHAN KOTA MEDAN

A. Tugas dan Fungsi Badan Pertanahan Nasional

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan

Pertanahan Nasional, tugas pemerintah di bidang pertanahan secara nasional, regional

dan sektoral dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

Dengan demikian Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia merupakan instansi

pemerintah sebagai pelaksana kewenangan pasal 2 ayat (2) UUPA dan sekaligus

menjadi pelaksana Pembaruan Agraria (Reforma Agraria) sebagaimana diamanatkan

TAP Nomor IX/MPR/2001. 73

Untuk menjalankan tugas tersebut Badan Pertanahan Nasional berfungsi

sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 yaitu :

a. Perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;


b. Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;
c. Koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;
d. Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;
e. Penyelenggaraan dan pelaksanaan survey, pengukuran dan pemetaan di bidang
pertanahan;
f. Pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum;
g. Pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;
h. Pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-wilayah
khusus;

73
--------, Reforma Agraria, Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum dalam Rangka
Mewujudkan “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”, Badan Pertanahan Republik
Indonesia, 2007
99

i. Penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah


bekerja sama dengan Departemen Keuangan;
j. Pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah;
k. Kerja sama dengan lembaga-lembaga lain;
l. Penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di bidang
pertanahan;
m. Pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;
n. Pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang
pertanahan;
o. Pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan;
p. Penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;
q. Pendidikan,latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang
pertanahan;
r. Pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;
s. Pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang
pertanahan;
t. Pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan
hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
u. Fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku;

Untuk melaksanakan tugas dan fungsi yang telah digariskan pemerintah,

Badan Pertanahan Nasional mempunyai susunan organisasi sebagaimana diatur

dalam Pasal 4 Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2006 sebagai berikut:

1. Kepala;
2. Sekretariat Utama;
3. Deputi Bidang Survey, Pengukuran dan Pemetaan (Deputi I);
4. Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah (Deputi II);
5. Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan (Deputi III);
6. Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat (Deputi IV)
7. Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan
(Deputi V);
8. Inspektorat Utama;
9. Pusat Data dan Informasi Pertanahan;
10. Pusat Hukum dan Pengkajian dan Hubungan Masyarakat;
11. Pusat Penelitian dan Pengembangan;
12. Pusat Pendidikan dan Pelatihan;
13. Kantor Wilayah BPN Propinsi;
14. Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
100

Salah satu fungsi Badan Pertanahan Nasional adalah pembatalan dan

penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah

sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menjalankan

fungsi tersebut secara hirarki di Pusat dilaksanakan oleh Deputi Bidang Pengkajian

dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (Deputi V) yaitu Direktorat

Sengketa Pertanahan dan Direktorat Perkara Pertanahan, di tingkat Proponsi fungsi

ini berada pada Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan

tepatnya Seksi Pengkajian dan Penanganan Perkara Pertanahan sedangkan di Tingkat

Kabupaten/Kota berada pada seksi Sengketa, Konflik dan Perkara tepatnya Subseksi

Perkara Pertanahan. (Lampiran 1, 2 dan 3)

B. Kedudukan Kantor Pertanahan dalam Pembatalan Hak Atas Tanah

Pembatalan hak atas tanah harus melalui proses dan prosedur yang telah

ditentukan. Pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan pengadilan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap harus terlebih dahulu di mohon oleh pihak

yang berkepentingan dengan mengajukan surat permohonan sebagaimana yang telah

diuraikan pada bab sebelumnya. Permohonan pembatalan tersebut dapat diajukan

langsung kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional atau kepada Kepala Kantor

Wilayah Propinsi selaku Pejabat yang berwenang mengeluarkan surat keputusan

pembatalan hak atas tanah, namun dapat juga melalui Kantor Pertanahan setempat.

Kantor Pertanahan sebagai ujung tombak pelaksanaan pelayanan publik di

bidang pertanahan berhubungan langsung dengan masyarakat. Masyarakat umum


101

baik perorangan maupun badan hukum yang ingin mendapatkan pelayanan dapat

datang ke Kantor Pertanahan untuk memperoleh penjelasan maupun penyelesaian

masalah.

Dalam hal pembatalan hak atas tanah yang permohonannya diajukan melalui

Kantor Pertanahan, maka pejabat di Kantor Pertanahan berfungsi untuk

memverifikasi permohonan, menyediakan data serta mengirim usulan pembatalan hak

atas tanah ke Kantor Wilayah Propinsi atau Kepala Badan Pertanahan Nasional

melalui Kepala Kantor Wilayah Propinsi.

Tugas ini, berdasarkan struktur organisasi di Kantor Pertanahan, dijalankan

oleh Seksi Konflik, Sengketa dan Perkara, khusus untuk menjalankan putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap oleh Subseksi Perkara Pertanahan.

Berdasarkan Pasal 56 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4

Tahun 2006 Subseksi Perkara Pertanahan yang bertugas untuk menyiapkan

penanganan dan penyelesaian perkara, koordinasi penanganan perkara, usulan

rekomendasi pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang dan/atau

badan hukum dengan tanah sebagai pelaksanaan putusan lembaga peradilan.

Jadi Kantor Pertanahan hanya bertugas untuk mempersiapkan usulan

rekomendasi pembatalan saja yang merupakan tahap awal dalam proses penerbitan

surat keputusan pembatalan hak atas tanah dan tidak berwenang mengeluarkan surat

keputusan itu sendiri. Setelah surat keputusan dikeluarkan oleh pejabat yang

berwenang, maka tugas Kantor Pertanahan melaksanakan pendaftarannya sesuai

dengan perundang-undangan yang berlaku.


102

C. Implementasi Peraturan Pembatalan Hak Atas Tanah di Kantor Pertanahan


Kota Medan

Walaupun kedudukan Kantor Pertanahan hanya mempersiapkan usulan

pembatalan, akan tetapi harus melakukan penilaian secara mendalam terhadap

permohonan yang diajukan sebagai bahan pertimbangan dalam usulan yang akan

dikirimkan ke Kantor Wilayah Propinsi atau Kepala Badan Pertanahan Nasional

sesuai dengan tuntutan dalam peraturan yang berlaku. Penilaian ini meliputi data fisik

dan data yuridis. Untuk validitas data maka ditempuh beberapa prosedur di Kantor

Pertanahan.

Dalam menangani permohonan pembatalan hak atas tanah yang diajukan

melalui Kantor Pertanahan Kota Medan, maka akan diproses melalui prosedur yang

telah ditetapkan. Sebagai pedoman pelayanan di Kantor Pertanahan adalah Keputusan

Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2005 tentang Standar Prosedur

Operasi Pengaturan dan Pelayanan di Lingkungan Badan Pertanahan Nasional

(SPOPP).

Untuk prosedur pembatalan hak atas tanah diatur dalam SPOPP dengan Kode

SPOPP-2.08-KPM. Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh dalam pengajuan

permohonan pembatalan hak atas tanah adalah memenuhi persyaratan permohonan

sebagai berikut:

1. Permohonan oleh pemohon, dengan memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Keterangan pemohon perorangan atau badan hukum; syarat yang harus

dipenuhi adalah mengenai pemohon tersebut yaitu fotokopi identitas pemohon


103

atau kuasanya berupa Kartu Tanda Pengenal (KTP), Surat Keterangan

Domisili, dan Surat Ijin Mengemudi (SIM) yang telah ditunjukkan aslinya

dihadapan Kepala Sub Bagian Tata Usaha/ Petugas yang ditunjuk dari Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kota.

b. Keterangan mengenai data fisik dan data yuridis;

Keterangan mengenai data fisik, jika yang mengajukan tersebut perorangan

yaitu berupa peta bidang tanah dan surat ukur yang telah dikeluarkan oleh

Kantor Pertanahan terhadap objek yang diajukan pembatalannya. Keterangan

data fisik, jika yang mengajukan tersebut berbentuk badan hukum yaitu Surat

Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) dari Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota setempat.

Keterangan mengenai data yuridis, dalam permohonan pengajuan suatu

pembatalan tersebut harus dilengkapi yakni dengan:

a) Surat permohonan pembatalan hak atas tanah

b) Dasar permohonan pembatalan hak atas tanah antara lain:

1) Fotokopi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

hukumm yang tetap mulai dari tingkat pertama sampai dengan

terakhir, yang amarnya secara langsung mengakibatkan batalnya hak-

hak atas tanah objek sengketa dan telah dilegalisir oleh Panitera

Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara setempat.


104

2) Berita Acara Eksekusi/Pelaksanaan Putusan (untuk perkara di

peradilan umum perdata/pidana) atau Surat Pernyataan dari pemohon

bahwa fisik bidang tanah dikuasai oleh yang bersangkutan.

c) Fotokopi sertipikat/ Surat Keputusan pemberian hak atas tanah yang telah

dilegalisir oleh Kasubsi Pendaftaran Hak dan Informasi Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota

d) Pertimbangan, saran dan pendapat yang tegas dan jelas dari Kepala Kantor

Pertanahan Kabupaten/Kota

e) Pemberitahuan tertulis kepada para pihak yang akan dirugikan

f) Surat Keterangan bahwa sertipikat tidak dapat ditarik

g) Peta pendaftaran Tanah (Plotting tanah objek sengketa) jika objek

sengketa dinyatakan batal sebagian atau tumpang tindih sebagian,

ditandatangani oleh Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran tanah.

Setelah persyaratan permohonan telah dilengkapi, maka selanjutnya dilakukan

kegiatan sebagai berikut yaitu permohonan tersebut dimasukkan di Loket II.

2. Loket II

a. Menerima dan memeriksa kelengkapan berkas permohonan pembatalan hak

sebagaimana disebutkan diatas.

b. Apabila sudah lengkap:

1) Membuat SPS

2) Memberikan tanda terima berkas permohonan yang lengkap

3) Menyampaikan dokumen ke petugas Loket III


105

3. Loket III

a. Menerima biaya dari pemohon sesuai SPS

b. Membuat kwitansi

c. Mencantumkan nomor dan tanggal pada STTD

d. Menyerahkan dokumen ke petugas loket II

4. Loket II

a. Melakukan pencatatan

b. Mencantumkan nomor dan tanggal pada STTD dan menyerahkannya kembali

pada pemohon.

c. Menyerahkan dokumen Kepada Seksi PHT

5. Kepala Seksi Pengurusan Hak-Hak Atas Tanah

a. Menentukan ke petugas pelaksana

b. Mendistribusikan berkas permohonan

c. Memberikan arahan teknis

d. Mengendalikan pelaksanaan tugas-tugas pengurusan hak atas tanah oleh

petugas pelaksana dan Kasubsi

6. Petugas Pelaksana Pengolah Data

a. Memeriksa dan meneliti kelengkapan administrasif, yuridis dan fisik :

a) Apabila telah lengkap dan sesuai maka dibuat surat pengantar kepada

Kakanwil atau Kepala BPN melalui Kanwil

b) Apabila tidak lengkap atau tidak sesuai, maka dibuat surat pengembalian

berkas, atau permintaan kelengkapan data

b. Meneruskan dokumen ke Kasubsi pengurusan hak-hak atas tanah


106

7. Kepala Sub Seksi

a. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data administrasi, yuridis dan fisik

b. Membubuhkan paraf pada surat pengembalian berkas/permintaan

kelengkapan data, surat pengantar kepada Kakanwil atau Kepala BPN

c. Meneruskan dokumen ke Kepala Seksi Pengurusan Hak Atas Tanah

8. Kepala Seksi PHT

a. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data administrative, yuridis dan fisik

b. Membubuhkan paraf pada surat pengembalian berkas/permintaan

kelengkapan data, atau surat pengantar kepada Kakanwil/Kepala BPN

c. Meneruskan dokumen ke Kepala Kantor Pertanahan kemudian Kepala Kantor

Pertanahan melakukan :

1) Memeriksa surat permintaan kelengkapan berkas, surat pengembalian

berkas kepada pemohon atau surat pengantar dokumen permohonan

kepada pejabat yang berwenang (Kakanwil BPN Propinsi atau Kepala

BPN melalui Kakanwil BPN Propinsi)

2) Menandatangani surat permintaan untuk melengkapi dokumen

permohonan pembatalan hak atas tanah apabila dokumen yang

disampaikan tidak lengkap

3) Menandatangani surat pengembalian dokumen kepada pemohon apabila

dokumen permohonan yang bersangkutan telah lengkap dan data

administrasi, fisik maupun yuridis tidak sesuai


107

4) Menandatangani surat pengantar yang meneruskan dokumen permohonan

pembatalan hak atas tanah pada pejabat yang berwenang (Kakanwil BPN

Propinsi dan Kepala BPN)

5) Meneruskan arsip dokumen permohonan pembatalan hak atas tanah

kepada loket IV dan petugas arsip untuk disimpan dan dikelola secara

sistematis sebagai bahan pelayanan informasi di bidang hak atas tanah.

9. Loket IV

Menyerahkan surat permintaan kelengkapan data, atau surat pengembalian berkas

atau dokumen permohonan

10. Petugas Arsip

Menyimpan arsip dokumen permohonan pembatalan hak atas tanah secara

sistematis sebagai bahan pelayanan informasi di bidang hak atas tanah.

Apabila dilihat prosedur dalam SPOPP, yang harus dilalui di Kantor

Pertanahan, maka terlihat birokrasi yang sangat panjang dan berulang-ulang.

Penerimaan berkas permohonan pembatalan hak atas tanah harus melalui 2 (dua)

loket yaitu loket II dan loket III. Pemeriksaan dan penelitian berkas dilakukan

berulang-ulang secara bergiliran baik oleh petugas loket, petugas pelaksana, kepala

sub seksi dan kepala seksi sebelum berkas tersebut sampai kepada kepala kantor.

Apabila melihat prosedur di Kantor Pertanahan, sangat berlebihan mengingat

kapasitas Kantor Pertanahan hanya untuk mempersiapkan data dalam rangka

mengirimkan usulan rekomendasi pembatalan hak atas tanah kepada pejabat yang

berwenang. Namun proses penelitian ini harus benar-benar dilaksanakan mengingat


108

dalam pengajuan usulan tersebut, khususnya pembatalan hak atas tanah karena

adanya cacat administrasi, Kepala Kantor Pertanahan harus pula menyertakan

pendapat dan pertimbangannya sebagaimana diatur dalam Pasal 121 Peraturan

Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999.

SPOPP yang diatur dalam keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 1 Tahun 2005 masih mengikuti struktur organisasi yang lama, berdasarkan

Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1989 yaitu berada di

Seksi Pemberian dan Pendaftaran Tanah. Oleh karena ditetapkan sebelum keluarnya

struktur organisasi Badan Pertanahan Nasional yang baru yaitu Peraturan Kepala

Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006, maka tentu

saja tidak sesuai lagi dimana proses permohonan pembatalan hak atas tanah saat ini

ditangani oleh Seksi tersendiri yaitu Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara sedangkan

Peraturan Kepala BPN RI Nomor 6 Tahun 2006 tentang Penyederhanaan dan

Percepatan Standar Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan Pertanahan untuk

Jenis Pelayanan tertentu tidak merevisi prosedur pembatalan hak atas tanah.

Proses permohonan pembatalan hak atas tanah dapat dilihat pada bagan alur

(Lampiran 4).

Perubahan struktur di Kantor Pertanahan Kota Medan juga menyebabkan

banyak data yang belum tertata dengan rapi sehingga menyulitkan dalam memperoleh

informasi tentang permohonan pembatalan hak atas tanah. Sebahagian data yang

diperoleh telah disajikan dalam bentuk tabel berikut (Lampiran 5).


109

Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana implementasi peraturan-peraturan

tersebut dalam penanganan permohonan pembatalan hak atas tanah di Kantor

Pertanahan Kota Medan, akan dibahas salah satu permohonan pembatalan yang ada

di Kantor Pertanahan Kota Medan sebagai bahan perbandingan dari analisis yuridis

yang telah diuraikan pada bab terdahulu.

Dibawah ini akan diuraikan permohonan pembatalan yang diajukan oleh

Saudara Drs. Haji Amran YS tanggal 28 Juli 2008 atas Sertipikat Hak Milik Nomor

16/Belawan Bahari.

Selanjutnya di analisa sebagai berikut:

a. Subjek :

Pemohon merupakan perorangan bernama Drs. Haji Amran YS adalah orang yang

merasa dirugikan dalam penerbitan sertipikat HM Nomor 16/Belawan Bahari dan

merupakan para pihak dalam gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara

(Penggugat). Berarti ia merupakan pihak yang berkepentingan dalam masalah ini

sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundangan.

b. Objek :

Sertipikat Hak Milik Nomor 16/Belawan Bahari yang dikeluarkan Kantor

Pertanahan Kota Medan seluas 5.731. m2 atas nama Abdul Hakim Teja.

c. Dasar permohonan pembatalan:

1. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Reg. Nomor 73/G/2000/PTUN-MDN

tanggal 19 April 2001 yang amar putusannya sebagai berikut :


110

Mengadili:

Dalam Eksepsi:

Menolak eksepsi dari Tergugat I dan Tergugat II intervensi tersebut;

Dalam Pokok Perkara:

1) Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2) Memerintahkan Tergugat I untuk menunda/menangguhkan pelaksanaan

tindak lanjut Sertipikat Hak Milik Nomor 16/Belawan Bahari atas nama

Abdul Hakim Teja tertanggal 19 Januari 2000;

3) Menyatakan batal Sertipikat Hak Milik Nomor 16/Belawan Bahari atas

nama Abdul Hakim Teja tertanggal 19 Januari 2000 yang diterbitkan

Tergugat I;

4) Memerintahkan Tergugat I untuk mencabut Sertipikat Hak Milik Nomor

16/Belawan Bahari atas nama Abdul Hakim Teja;

5) Menghukum Tergugat I dan Tergugat II intervensi untuk membayar biaya

yang timbul dalam sengketa ini, yang hingga putusan ini diperhitungkan

sebesar Rp. 199.000,- (seratur sembilan puluh sembilan ribu rupiah).

2. Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Nomor 66/BDG.G.MD/PT-

TUN.MDN/2001 tanggal 3 September 2001 yang amarnya sebagai berikut:

Mengadili :

Memutuskan:

1) Menerima permohonan banding dari Tergugat I/Pembanding I dan

Tergugat II Intervensi/Pembanding II Intervensi;


111

2) Menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Medan tanggal 19

April 2001 Nomor 73/G/2000/PTUN-Mdn;

3) Membebankan kepada Tergugat/Pembanding untuk membayar biaya

perkara pada tingkat banding sebesar Rp.125.000,- (Seratus dua puluh

lima ribu rupiah).

3. Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor 190.K/TUN/2002 tanggal 2

Januari 2003, dengan amar putusan sebagai berikut:

1) Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi I : Kepada Kantor

Pertahanan Kotamadya Medan dan Pemohon Kasasi II: Abdul Hakim Teja

tersebut;

2) Menghukum Pemohon Kasasi I dan Pemohon Kasasi II untuk membayar

biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebanyak Rp.200.000,- (dua ratus

ribu rupiah).

4. Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI Nomor 45.PK/TUN/2005

tanggal 17 Mei 2006, amar putusannya sebagai berikut:

1) Menolak permohonan Peninjauan kembali :

a. Kepala Kantor Pertahanan Kotomadya Medan

b. Abdul Hakim Teja tersebut.

5. Surat keterangan Nomor W1.TUN.1-423/AT.01.04/VII/2008 tanggal 15 Juli

2008 yang menyatakan bahwa putusan-putusan tersebut diatas telah

berkekuatan hukum tetap.


112

Putusan pengadilan yang menjadi dasar permohonan pembatalan hak atas

tanah telah memenuhi ketentuan karena merupakan putusan yang bersifat

condemnatoir yang menyatakan dengan tegas dan jelas perintah membatalkan

Sertipikat Hak Milik Nomor 16/ Belawan Bahari dan telah berkekuatan hukum tetap.

d. Kelengkapan berkas permohonan:

1. Surat permohonan pembatalan.

2. Identitas pemohon berupa fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atas nama

Drs. H.Amran YS.

3. Keterangan mengenai data fisik dan data yuridis berupa Surat Keterangan

Pendaftaran Tanah (SKPT) Nomor 162/PKM/2008 tanggal 9 September 2008.

Dari SKPT ini pula diperoleh data bahwa Sertipikat Hak Milik Nomor 16/

Belawan Bahari telah dibebani Hak Tanggungan Nomor 2180/2003 Peringkat

I (Pertama) oleh Perseroan Terbatas PT. Bank Mestika Dharma. Artinya akan

ada pihak yang dirugikan dalam pembatalan hak atas tanah ini dan harus

diberitahukan secara tertulis.

4. Dasar permohonan pembatalan hak atas tanah berupa putusan dari peradilan

tingkat pertama sampai peninjauan kembali serta surat keterangan inkrah dari

pengadilan.

5. Fotokopi Sertipikat Hak Milik Nomor 16/ Belawan Bahari.

Berkas permohonan yang diajukan oleh Haji Amran YS telah memenuhi

persyaratan yang ditentukan dalam SPOPP dengan Kode SPOPP-2.08-KPM.


113

Selanjutnya akan diuraikan mengenai proses berkas tersebut sampai

penandatangan usulan rekomendasi pembatalan hak atas tanah ke Kanwil Propinsi

Sumatera Utara sebagai berikut:

1) Surat permohonan diterima di loket Kantor Pertahanan Kota Medan dan

diagendakan tanggal 4 Agustus 2008 dengan Nomor 3202.

2) Kemudian Kepala Sub Bagian Tata Usaha Negara sebagai pejabat yang

membawahi loket meneruskan permohonan tersebut ke Kepala Kantor

Pertahanan, lalu Kepala Kantor mengirimkan disposisi ke Kepala Seksi Sengketa,

Konflik, dan perkara yang isinya untuk ditelaah dan diajukan.

3) Kepala Seksi Sengketa, Konflik, dan Perkara memerintahkan Kepala Subseksi

Perkara untuk membuat telaahan dan mempersiapkan segala sesuatu yang

diperlukan dalam proses pembuatan usulan pembatalan termasuk untuk

mempersiapkan surat tugas untuk meneliti data fisik dan data yuridis. Berkas-

berkas yang diperlukan serta konsep surat tugas kembali diteruskan ke Kepala

Kantor Pertahanan.

4) Kepala Kantor Pertahanan menandatangani surat tugas yang isinya adalah:

a. Melaksanakan pemeriksaan lapang ke lokasi tanah yang dimohonkan tersebut.

b. Meneliti berkas-berkas yang menjadi lampiran permohonan pembatalan.

c. Membuat resume dan berita acara pemeriksaan data fisik dan data yuridis

5) Berdasarkan surat tugas tersebut, Kepala Seksi Sengketa, Konflik, dan Perkara,

Kepala Sub Seksi Perkara, Kepala Sub Seksi Sengketa dan Konflik beserta staf
114

melakukan peninjauan ke lapangan serta meneliti warkah-warkah yang ada di

Kantor Pertanahan berkaitan dengan penerbitan Sertipikat Nomor 16/Belawan

Bahari.

6) Hasil penelitian data fisik dan yuridis tersebut dituangkan dalam Berita Acara

Pemeriksaan Data Fisik dan Data Yuridis tanggal 1 September 2008 yang berisi

antara lain:

a. Data fisik tanah dilapangan,

i. Letak Tanah

ii. Keadaan tanah dan yang menguasai dilapangan.

iii. Batas-batas tanah

iv. Penggunaan tanah

b. Data Yuridis:

i. Dasar penerbitan Sertipikat Hak Milik Nomor 16/ Belawan Bahari.

ii. Dasar penguasaan pemohon pembatalan yaitu Drs.Haji Amran YS.

iii. Kronologis gugatan terhadap Sertipikat Hak Milik Nomor 16/Belawan

Bahari

iv. Kesimpulan.

v. Pendapat dan Saran.

7) Setelah Berita Acara Pemeriksaan Data Fisik dan Data Yuridis tersebut diketahui

oleh Kepala Kantor, maka Kepala Seksi Sengketa, Konflik, dan Perkara

menyusun surat usulan pembatalan hak atas tanah dan meneruskannya ke Kepala

Kantor Pertahanan.
115

8) Kepala Kantor menandatangani surat usulan pembatalan hak atas tanah pada

tanggal 13 Nopember 2008

9) Kepala Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara membuat surat pemberitahuan

tertulis kepada pihak yang akan terkena dampak dengan adanya pembatalan hak

atas tanah ini, dalam hal ini PT. Bank Mestika Dharma karena Sertipikat Hak

Milik Nomor 16/ Belawan Bahari tersebut dibebani dengan Hak Tanggungan oleh

PT. Bank Mestika Dharma, dan setelah ditandatangani Kepala Kantor Pertahanan

dikirim pada yang bersangkutan.

Secara keseluruhan dilihat dari tahap-tahap yang dilalui berkas telah

mengimplementasikan ketentuan-ketentuan dalam peraturan-peraturan tentang

pembatalan hak atas tanah. Persyaratan serta prosedur berkas permohonan telah

sesuai dengan ketentuan dalam SPOPP yang notabene adalah pengejewantahan dari

persyaratan dalam perundang-undangan terutama PMNA/ KBPN Nomor 3 Tahun

1999 dan PMNA/ KBPN Nomor 9 Tahun 1999 serta Petunjuk Teknis dalam

menyelesaikan sengketa pertahanan.

Prosedur yang tergambar dalam proses berkas ini tidak begitu sesuai dengan

SPOPP dengan Kode SPOPP-2.08-KPM karena adanya perubahan struktur organisasi

di Badan Pertahanan Nasional akan tetapi secara garis besarnya masih tetap sama.
116

Secara sederhana alur berkas permohonan pembatalan hak atas tanah di

Kantor Pertahanan Kota Medan dapat digambarkan seperti alur dibawah ini:

Kepala Kantor Wilayah Propinsi

Pemohon Loket Tata Usaha Kepala Kantor

- Menandatangani Surat Tugas Pemohon


- Menandatangani Surat Usulan Pembatalan

Pihak Lain Yang Akan Dirugikan

Kepala Seksi Sengketa, Konflik, Perkara

- Memeriksa Kelengkapan Berkas


- Meneliti Data Fisik dan Data Yuridis
- Mempersiapkan Surat Usulan Pembatalan

Setelah pengiriman usulan pembatalan hak atas tanah pada tanggal 13

Nopember 2008 sampai dengan diadakan penelitian ini belum ada surat keputusan

pembatalan atau penolakan dari pejabat yang berwenang yaitu Kepala Badan

Pertanahan Nasional terhadap permohonan ini sehingga proses permohonanan

pembatalan hak atas tanah atas nama Drs. H.Amran YS belum selesai.

Proses permohonan pembatalan hak atas tanah di Kantor Pertahanan Kota

Medan sejak diterima berkas pada tanggal 28 Juli 2008 sampai dengan dikirimnya

usulan pembatalan ke Kantor Wilayah BPN Propinsi Sumatera Utara pada tanggal 13

Nopember 2008 memakan waktu kurang lebih 4 (empat) bulan. Apabila

dibandingkan dengan jangka waktu keluarnya surat keputusan pembatalan atau

penolakan pembatalan yang sampai saat penelitian ini dilakukan belum ada, maka

penanganan permohonan pembatalan hak atas tanah di Kantor Pertanahan Kota

Medan dapat dikatakan relatif baik dan cepat.


117

Selain contoh permohonan Haji Amran YS tersebut terhadap permohonan

yang ditampilkan pada tabel lampiran 5 diperoleh informasi sebagi berikut:

1) Permohonan pembatalan hak atas tanah yang diajukan melalui Kantor Pertahanan

Kota Medan sebahagian besar adalah yang berada di bawah kewenangan Kepala

Kantor Wilayah BPN Propinsi Sumatera Utara.

2) Permohonan pembatalan hak atas tanah tersebut ditindaklanjuti dengan mengirim

surat pengantar berupa usulan pembatalan hak atas tanah kepada Kepala Kantor

Wilayah BPN Propinsi Sumatera Utara, akan tetapi ada beberapa yang belum

dikirim surat usulan pembatalannya.

3) Walaupun kewenangan berada di Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi Sumatera

Utara namun Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi Sumatera Utara tidak

langsung mengeluarkan surat keputusan pembatalan atau surat penolakan

permohonan pembatalan hak atas tanah tersebut melainkan mengirimkan surat

usulan pertimbangan pembatalan hak atas tanah tersebut kepada Menteri dalam

hal ini Kepala Badan Pertanahan Nasional.

4) Berdasarkan data yang diperoleh, dari 9 (sembilan) permohonan pembatalan hak

atas tanah baru 1 (satu) permohonan yang telah dikeluarkan surat keputusan

pembatalan hak atas tanahnya.

5) Informasi mengenai proses pembatalan hak atas tanah tersebut hanya sampai

pegiriman surat usulan pembatalan hak atas tanah saja, proses selanjutnya tidak

dapat diketahui karena bukan kewenangan Kantor Pertanahan Kota Medan.


118

Dari data yang diperoleh serta contoh permohonan pembatalan yang telah

dianalisis diatas, dapat diketahui bahwa Kantor Pertahanan Kota Medan telah

melaksanakan fungsinya relatif baik dalam memproses permohonan pembatalan hak

atas tanah atau dengan kata lain permasalahan permohonan pembatalan hak atas tanah

bukan berada pada tahap awal di Kantor Pertahanan Kota Medan akan tetapi pada

tahap lebih lanjut yaitu tingkat pengambilan keputusan mengabulkan atau menolak

permohonan pembatalan hak atas tanah tersebut oleh pejabat yang berwenang baik

Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi atau Kepala Badan

Pertanahan Nasional.
119

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dan analisis yang telah diuraikan pada bab-bab

terdahulu maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Kompetensi badan peradilan dalam pembatalan hak atas tanah ternyata berada

pada 2 (dua) lingkup badan peradilan yaitu Peradilan Umum dan Peradilan Tata

Usaha Negara. Yang menjadi kompetensi Peradilan Umum adalah sengketa yang

timbul dari perselisihan mengenai hak milik keperdataan serta hak-hak yang

timbul karenanya yang mungkin terjadi karena sertipikat berfungsi sebagai alat

bukti hak keperdataan (kepemilikan) seseorang. Sedangkan kompetensi Peradilan

Tata Usaha Negara adalah sengketa Tata Usaha Negara yang timbul apabila orang

atau badan hukum perdata merasa dirugikan dengan terbitnya sertipikat hak atas

tanah dengan alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan/

atau asas-asas umum pemerintahan yang baik atau dengan kata lain sertipikat

dipandang sebagai Keputusan Tata Usaha Negara. Kompetensi peradilan dalam

gugatan pembatalan hak atas tanah dinilai dari yurisdiksi materil dalam

fundamentum petendi surat gugatan. Kenyataan bahwa dalam gugatan kerap

terjadi gabungan antara aspek perdata dengan aspek tata usaha negara, maka
120

seharusnya hakim Perdata maupun hakim Tata Usaha Negara karena jabatannya

(ex officio), melalui putusan sela, menyatakan bahwa ia tidak berwenang

memeriksa dan mengadili perkara tersebut agar tidak menghasilkan putusan diluar

kewenangannya.

2. Peraturan-peraturan tentang pembatalan hak atas tanah yang berlaku saat ini

masih memiliki kelemahan. Beberapa kelemahan yang menjadi titik krusial

adalah mengenai pelimpahan kewenangan yang tidak konsisten dan terkesan tarik

ulur sebagaimana ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) PMNA/KBPN No.3 Tahun

1999, ketentuan mengenai objek pembatalan hak atas tanah yang diatur dalam

Pasal 104 ayat (1) PMNA/ KBPN No. 9 Tahun 1999 tidak sesuai dengan objek

yang diatur dalam Bab V Petunjuk Teknis No. 06/JUKNIS/D.V/2007 sehingga

bukan surat keputusan pemberian hak atas tanah pertama kali (sebagai Keputusan

Tata Usaha Negara) saja yang dapat dimohon pembatalannya akan tetapi

peralihan-peralihan serta pembebanannya kemudian (derivatif) seperti jual beli,

hibah, serta pembebanannya dengan hak tanggungan ataupun peralihan hak

tanggungan itu sendiri juga dapat dimohonkan pembatalannya, padahal peralihan-

peralihan tersebut dilakukan dengan Akte Pejabat Pembuat Akta Tanah yang

bukan merupakan Surat Keputusan Tata Usaha Negara karena dibuat bukan

berdasarkan kewenangan publik akan tetapi merupakan kehendak para pihak


121

yang dituangkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam suatu akte. Kelemahan

ini berpengaruh terhadap proses permohonan pembatalan hak atas tanah.

3. Implementasi peraturan-peraturan tentang pembatalan hak atas tanah dalam

proses permohonan pembatalan hak atas tanah yang diajukan melalui Kantor

Pertanahan Kota Medan telah dilaksanakan relatif baik. Permasalahan

permohonan pembatalan hak atas tanah bukan berada pada tahap awal di Kantor

Pertahanan Kota Medan akan tetapi pada tingkat pengambilan keputusan

mengabulkan atau menolak permohonan pembatalan hak atas tanah tersebut oleh

pejabat yang berwenang baik Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional

Propinsi atau Kepala Badan Pertanahan Nasional.

B. Saran

1. Perlu diberi batasan yang tegas mengenai kualifikasi perbuatan apa yang

dilakukan serta lingkup peraturan apa yang dilanggar dalam perbuatan yang

berkaitan dengan sertipikat hak atas tanah yang dapat menjadi pedoman dalam

menilai yurisdiksi materil gugatan pembatalan hak atas tanah, sehingga tidak

terjadi lagi kesalahan dalam mengidentifikasi kompetensi peradilan dalam

menghadapi gugatan pembatalan hak atas tanah. Hakim Peradilan Perdata

maupun Peradilan Tata Usaha Negara seharusnya lebih memahami peraturan

tentang pertanahan khususnya tentang pembatalan hak atas tanah dan dapat lebih
122

jeli dalam menilai yurisdiksi materil gugatan pembatalan hak atas tanah, sehingga

apabila ada gugatan yang bukan kewenangannya dapat menolak, dalam putusan

sela, dengan alasan bukan kewenangannya.

2. Perlu dilakukan deregulasi yang komprehensif dalam pembatalan hak atas tanah

sehingga tercapai sinkronisasi yang harmonis pada setiap tataran perundang-

undangan yang mengatur pembatalan hak atas tanah. Peraturan yang sinkron dan

harmonis membawa kelancaran dalam proses pembatalan hak atas tanah sehingga

masyarakat segera mendapatkan kepastian hukum.

3. Permohonan pembatalan hak atas tanah yang telah diajukan melalui Kantor

Pertanahan Kota Medan harus segera ditindaklanjuti dan di selesaikan oleh

pejabat yang berwenang dalam mengambil keputusan pembatalan hak atas tanah

demi menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan.


123

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2004.

Basri, Hasan Nata Menggala dan Sarjita, Pembatalan dan Kebatalan Hak Atas
Tanah, Yogyakarta : Tugujogja pustaka, 2005.

Chandra, S., Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah, Jakarta : Grasindo, 2005.

Chandra, S., Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Sertifikat Hak Atas Tanah
(Studi Kasus: Kepemilikan Hak Atas Tanah Terdaftar yang Berpotensi Hapus
di Kota Medan), Medan : Pustaka Bangsa Press, 2006

Chomzah, Ali Achmad, Seri Hukum Pertanahan III, Penyelesaian Sengketa Hak
AtasTanah, Jakarta : Prestasi Pustaka 2003.

Dalimunthe, Chadidjah, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalannya,


Medan: Universitas Sumatera Utara, 2005.

Hadjon, Philipus M, et. al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Introduction


to the Indonesian Administrative Law, Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2001.

Harahap, M. Yahya, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,


Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang


Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional,
Jakarta: Djambatan edisi revisi, 2003.

Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum


Tanah, Jakarta : Djambatan, 2002.

Lubis, Mhd.Yamin dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Bandung:
CV. Mandar Maju, 2008.

Parlindungan, A.P., Pendaftaran Tanah dan Konversi Hak-Hak Atas Tanah Menurut
UUPA, Bandung : Alumni, 1985.
124

Salman, Otje HR, dan Susanto, Anton F, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan
dan Membuka Kembali, Bandung: PT. Refika Aditama, 2005.

Sangadji, Z.A, Kompetensi Badan Peradilan Umum dan PeradilanTata Usaha


Negara, Dalam Gugatan Pembatalan Sertifikat Tanah, Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti, 2003.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006.

Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta:


Liberty, 1981.

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : Internusa, 1992.

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,


1997.

Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam


Teori dan Praktek, Bandung: Mandar Maju, 2002.

Wantjik, K Saleh, Hukum Acara Perdata RBG/HIR, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990.

Wiyono, R., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Jakarta: Sinar Grafika,
2008.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945 Naskah Asli dan Perubahannya.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria


(UUPA).

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang


Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang


Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
125

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah.

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3


Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3


Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan
Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9


Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah
Negara dan Hak Pengelolaan.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun


2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pertanahan Nasional RI.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun


2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional dan Kantor Pertanahan.

Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2005 tentang Standar
Prosedur Operasi Pengaturan dan Pelayanan di Lingkungan Badan Pertanahan
Nasional.

Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 34 Tahun 2007 tentang


Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan.

Petunjuk Teknis Nomor: 06/ Juknis/ D.V/2007 Tanggal 31 Mei 2007 Tentang
Berperkara di Pengadilan dan Tindak Lanjut Pelaksanaan Putusan Pengadilan.

Petunjuk Teknis Nomor: 08/ Juknis/ D.V/2007 Tanggal 31 Mei 2007 Tentang
Penyusunan Keputusan Pembatalan Surat Keputusan Pemberian Hak Atas
Tanah/ Pendaftaran Tanah/ Sertifikat Hak Atas Tanah.

C. Jurnal/ Makalah/ Majalah

Tanjung. Suriyati, Pembatalan Sertifikat Hak Atas Tanah dan Perlindungan Pihak
Ketiga yang Beritikad Baik (Studi Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Medan),
Disertasi, PPs/USU, Medan, 2006.
126

------, Reforma Agraria, Mandat Politik, Konstitusi, dan hukum dalam Rangka
Mewujudkan “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”, Badan
Pertanahan Nasioanl Republik Indonesia (BPN RI), 2007.

Sarah, Kurdianto, Pemanfaatan Teknologi Informasi Dalam Pemberdayaan Hak-Hak


Rakyat Atas Tanah, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional
Keagrarian Dies XXIX KMTG FT-UGM, Yogyakarta tanggal 2-12-1999.

Suryosuwarno, P. Tinjauan Hukum Dalam Mengantisipasi Perbedaan Kepentingan


dan Masalah Keagrariaan Dalam Otonomi Daerah, Makalah diajukan dalam
Seminar Nasional Agraria di Yogyakarta tanggal 2 Desember 1999

D. Internet

http://staf.ui.edu/internal diakses pada tanggal 11 Juli 2009.

Anda mungkin juga menyukai