Anda di halaman 1dari 5

Manusia tak ubahnya sebatas makhluk sosial yang saling membutuhkan sesama.

Semandiri
apapun manusianya pasti akan butuh dengan bantuan lainnya. Maka dari itu, eksistensi agama
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW bukan sebatas mengajarkan keyakinan
(aqidah) dan ibadah. Tetapi mengajarkan pula betapa pentingnya bermu’amalah dengan
sesama makhluk-NYA. Dengan kata lain sering dibahasakan dengan bersosialisasi.

mengenai cara Rasulullah SAW bersosialisasi. Karena kita sebagai umat Islam mengetahui
bahwasanya Rasulullah SAW dalam kesehariannya beliau selalu mengajarkan secara tidak
langsung kepada para sahabatnya cara bersosialisasi.

“Betapa tidak, sosialisasi sangat ditekankan oleh Rasulullah SAW dalam kesehariannya berkerumun
dengan berbagai suku dan kabilah, baik Muslim maupun Non Muslim. Keberhasilan sosialisasi
tersebut mampu membawa power dan kualitas sosok dari Rasulullah SAW meningkat diberbagai
kalangan jazirah Arab waktu itu. Bahkan, memicu berbagai tokoh yang disegani seperti sahabat
Umar untuk mengikuti Risalah Ilahi yang dibawanya.”

Dengan menganalisis beberapa hadis Nabi yang bisa dijadikan tuntunan dalam keberlangsungan
hidup bersosialisasi, sekaligus mengikuti jejak sosial ala Rasulullah SAW yang sering kali kita temui
setiap saatnya. Adapun yang diajarkan Rasulullah SAW dapat dilihat dari beberapa point berikut :

Senyum dengan murah

Seringkali Rasulullah SAW menebarkan senyumnya terhadap sesama, baik yang dikenal
maupun tak dikenal. Tak peduli diwaktu senang ataupun susah, sebisa mungkin untuk tetap
tersenyum. Sampai-sampai terdapat nilai ibadah tersendiri sesuai dengan sabdanya yang
diriwayatkan oleh Sahabat Abi dzar,

‫ رواه الترمذي‬.“ ٌ‫ص َدقَة‬


َ َ‫س ُمكَ فِي َوجْ ِه أ َ ِخ ْيكَ لَك‬ ُ ‫قَا َل َر‬
ُّ َ‫ ” تَب‬: ِ‫س ْو ُل هللا‬

Artinya, “Rasulullah SAW bersabda: Senyummu terhadap saudaramu merupakan sebuah


nilai sedekah untukmu.”
(HR. At-Tirmidzi)

Senyum juga dijadikan sebagai tolak ukur kecakapan seseorang dalam bersosialisasi.
Setidaknya, ada serangkaian senyum dibalik pertemuannya dengan sesama. Tak pernah lupa
bahwa kita bukan diciptakan sendiri di bumi ini, melainkan triliunan makhluk yang
diciptakan untuk alam semesta ini.

Memberi maaf dengan mudah

Sering terdengar meminta maaf merupakan hal yang berat, sedangkan memberi maaf jauh
lebih berat. Rasulullah SAW tak sebatas itu, bahkan sudah melampaui jauh dari itu. Beliau
mampu memberikan maaf tanpa ada yang meminta maaf. Suatu hari ketika ada seorang Arab
badui (dari pedalaman desa) yang melakukan kesalahan dengan buang air kecil di Masjid,
lalu kanjeng Nabi memberikannya maaf begitu saja, sementara para sahabat yang lain geram
untuk memberikan peringatan Arab badui tersebut. Sebagaimana dikisahkan oleh seorang
Sahabat sekaligus Khadim Rasulillah Anas bin Malik,
ٍ ‫اس فَنَهَا ُه ُم النَّ ِب ُّي فَلَ َّما قَضَى بَ ْولَهُ أَ َم َر النَّ ِب ُّي ِبذُنُ ْو‬
ُ ‫ب ِم ْن َماءٍ فَأ ُ ْه ِر ْي‬
‫ق‬ ْ ‫جَا َء أَع َْرا ِب ٌّي فَبَا َل فِي َطائِفَ ِة ا ْل َم‬
ُ َّ‫س ِج ِد فَ َزج ََرهُ الن‬
‫علَ ْي ِه‬
َ
(‫)رواه الشيخان‬

“Seorang Arab Badui datang, lalu buang air kecil di serambi masjid. Maka para Sahabat
mengecamnya, lalu Rasulullah SAW melarang mereka. Ketika seorang Arab badui tersebut
menyelesaikan buang hajatnya (air kecil), Nabi memerintahkan untuk menyiram dan
mengalirkan air di tempat buang air kecil tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Toleransi dengan ramah

“Tak perlu menuntut adanya toleransi dari orang lain. Setidaknya, bila kita sendiri sudah
memulai toleransi sekecil dan sedini apapun sudah bisa dikatakan meneladani cara
bersosialisasi Nabi Muhammad SAW. Terlebih di Negeri kita tercinta Indonesia yang
memiliki keanekaragaman Agama dan Budaya, Nabi Muhammad sebagai panutan
mengajarkan kita untuk menjunjung tinggi toleransi mulai dari hal-hal yang begitu tak
terpikirkan.

Tentu, dengan batas-batas yang boleh dimasuki nilai-nilai toleransi. Dalam hal ini, tegas sekali Allah
SWT berpesan dalam Firman-NYA diakhir surat Al-kafirun selain urusan-urusan terkait ibadah. Tetap
menjalin hubungan sosial dengan orang-orang diluar non Muslim. Ada kisah unik terkait toleransi
yang tak pernah terpikirkan dicontohkan langsung oleh kanjeng nabi dengan membeli makanan dari
seorang Yahudi yang bernama Abu Syam dengan cara menggadaikan baju perangnya. Sebagaimana
dikisahkan langsung oleh Aisyah Ummi Al-Mu’minin,

‫شت َ َرى ِم ْن يَ ُهودِي ٍ َطعَا ًما ِإلَى أ َ َج ٍل َو َر َهنَهُ د ِْرعًا لَهُ ِم ْن َحدِي ٍد‬ ُ ‫أَنَّ َر‬
ْ ‫سو َل هللا ا‬

(‫)رواه الشيخان‬

Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan waktu
tempo, lalu menggadaikannya dengan baju besi miliknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Cerita tersebut sebagai penutup dari cara bersosialisasi ala Rasulullah SAW yang beliau
ajarkan untuk diikuti oleh umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya. Dalam
hal ini ada 3 point yang bisa kita garis bawahi yaitu, sabar, maaf, dan toleransi (SMT) tak lain
untuk tercapainya esensi diutusnya Rasulullah SAW di muka bumi ini sebagai Rahmat bagi
alam semesta. Dengan demikian akan terwujud dengan sosialisasi yang baik yang akan
mebawa pada Ukhwah Islamiyyah yang berujung pada Ukhwah Basyariyyah.”

Ada beberapa istilah terkait dengan pengertian percaya diri. Antara lain: self concept, yaitu
bagaimana seseorang menyimpulkan dirinya secara keseluruhan, atau bagaimana ia melihat
keseluruhan potret dirinya. Kemudian, self esteem, yaitu perasaan positif seseorang terhadap
diri sendiri, atau keyakinan adanya sesuatu yang bernilai, bermartabat atau berharga dalam diri
sendiri.

Selain itu, self efficacy, berupa keyakinan seseorang terhadap kapasitas dan kemampuan
dirinya untuk menjalankan tugas, atau menangani persoalan, dengan hasil yang bagus.
Selanjutnya, self confidence, yaitu keyakinan seseorang terhadap penilaian atas kemampuan
diri dan perasaannya terhadap “kepantasan” untuk berhasil.
Berdasarkan pengertian di atas, maka kepercayaan diri adalah efek dari bagaimana kita merasa
(M1), meyakini (M2), dan mengetahui (M3). Orang yang memiliki kepercayaan diri rendah
atau minder, akan memiliki perasaan negatif terhadap dirinya, keyakinannya lemah terhadap
kemampuan diri, dan pengetahuan terhadap kapasitas diri kurang akurat.

Sebaliknya, orang yang memiliki kepercayaan diri tinggi, mereka akan memiliki perasaan
positif terhadap diri sendiri, keyakinan kuat tentang dirinya dan akurat menilai kemampuan
diri. Namun, orang yang memiliki kepercayaan diri tinggi, bukanlah orang yang hanya merasa
mampu, padahal sebenarnya ia tak mampu. Tapi ia adalah orang yang mengetahui, bahwa
dirinya mampu berdasarkan pengalaman dan perhitungan.

Orang minder adalah tipikal orang yang bermental lemah. Ia akan merasa selalu tidak aman,
gelisah, cemas dan khawatir. Akibatnya, ia cenderung besar bergantung kepada orang lain,
tidak mandiri, dan ragu-ragu. Ia akan selalu dipenuhi rasa khawatir, takut dan gelisah yang
berlebihan. Kerja otaknya pun menjadi lemah, dan tak mampu memikirkan hal-hal besar yang
bermanfaat untuk diri sendiri, apalagi orang lain.

Dalam praktik kehidupan sehari-hari, orang-orang yang memiliki kepercayaan diri rendah atau
minder, dapat dilihat dalam beberapa ciri berikut ini: Pertama, tidak memiliki sesuatu
(keinginan, tujuan, atau target) yang sungguh-sungguh diperjuangkan. Kedua, tidak memiliki
keputusan melangkah yang decissive. Ketiga, mudah frustasi atau give-up ketika menghadapi
masalah maupun kesulitan.

Keempat, kurang termotivasi untuk maju, malas-malasan atau setengah-setengah. Kelima,


sering gagal atau tidak optimal menyempurnakan tugas-tugas atau tanggung jawab. Keenam,
canggung dalam menghadapi orang. Ketujuh, tidak bisa mendemonstrasikan kemampuan
berbicara dan mendengar. Kedelapan, sering berpengharapan yang tidak realistis. Kesembilan,
terlalu perfeksionis. Kesepuluh, terlalu sensitif (perasa).

*Membangun Kepercayaan Diri*

Ada beberapa langkah yang kiranya dapat dijadikan latihan untuk mengembangkan
kepercayaan diri: Pertama, menciptakan definisi diri positif. “Cara terbaik untuk mengubah
sistem keyakinanmu adalah mengubah definisi dirimu,” tandas Steve Chandler. Untuk
melakukannya, dapat dimulai dengan membuat kesimpulan yang positif tentang diri sendiri,
atau membuat opini positif tentang diri sendiri.

Selain itu, upayakan untuk terus belajar melihat bagian-bagian positif, kelebihan, kekuatan
yang kita miliki. Atau membuka dialog dengan diri sendiri tentang hal-hal positif yang bisa
kita lakukan. Mulai dari yang paling kecil atau yang bisa kita lakukan hari ini.

Selain itu, yang perlu dilakukan adalah menghentikan munculnya opini diri yang negatif.
Seperti perasaan: saya tak punya kelebihan apa-apa, hidup saya tak berharga, saya tak akan
sukses, dan seterusnya. Setelah kita mampu menghentikannya, tugas kita kemudian adalah
mengganti perasaan-perasaan itu dengan yang positif, konstruktif dan motivatif.

Kedua, memperjuangkan keinginan yang positif. Yaitu dengan merumuskan program atau
agenda perbaikan diri. Upaya ini bisa berbentuk misalnya dengan membuat target baru yang
hendak kita wujudkan. Atau kita rumuskan kembali langkah-langkah positif yang hendak kita
lakukan. Semakin banyak hal-hal positif (target, tujuan atau keinginan) yang sanggup kita
wujudkan, semakin kuatlah PeDe kita.

Ketiga, mengatasi masalah secara positif. PeDe juga bisa diperkuat dengan cara memberi bukti
kepada diri sendiri, bahwa kita ternyata berhasil mengatasi masalah yang menimpa. Semakin
banyak masalah yang sanggup kita selesaikan, semakin kuatlah PeDe kita. Lama kelamaan,
kita menjadi orang yang tidak mudah minder ketika menghadapi masalah.

Keempat, memiliki dasar keputusan yang positif. Memang, tak ada orang yang selalu yakin
atas kemampuannya dalam menghadapi masalah atau saat ingin mewujudkan keinginannya.
Mahatma Gandhi mengatakan, “Ketika saya putus asa, maka saya selalu ingat, bahwa
sepanjang sejarah, jalan yang ditempuh dengan kebenaran dan cinta selalu menang. Ada
beberapa tirani dan pembunuhan, yang sepintas sepertinya akan menang, tapi akhirnya kalah”.
Artinya, kepercayaan Gandhi kembali tumbuh, setelah ia mengingat bahwa langkahnya sudah
dilandasi oleh prinsip-prinsip yang benar.

Kelima, memiliki model/teladan yang positif. ?Yang terpenting dalam usaha ini adalah
menemukan orang lain yang bisa kita contoh sisi kepercayaan dirinya. Ini menuntut kita untuk
sering membuka mata, melihat orang lain yang lebih bagus dari diri kita, lalu jadikannya
sebagai pelajaran. Karena, upaya memperbaiki diri, dapat dilakukan dari dua hal: pengalaman
pribadi (life experiencing), dan mencontoh atau mempelajari orang lain (duplicating).

ََ ‫س ۡلنَ ٰـ‬
‫ك َو َمآ‬ َ ‫ِلِّ ۡلعَ ٰـلَ ِمين ََ َر ۡح َمةَ ِإ ََّل أ َ ۡر‬
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Wahai Muhammad) kecuali rahmat bagi seluruh
makhluk.” (Al Anbiya: 107).

Maka loyalitas walaupun hanya diperuntukkan untuk Islam dan kaum Muslimin. akan tetapi
karena agama ini dibangun di atas kasih sayang bagi seluruh makhluk. Maka Allah
Subhanahu wa Ta`ala tidak melarang kaum Muslimin untuk berbuat baik dan berlaku
adil kepada orang-orang kafir sepanjang mereka tidak memerangi kaum
Muslimin. Adapun kalau mereka memerangi kaum Muslimin maka hal tersebut terlarang
dalam syariat Islam.

Sikap ini merupakan salah satu dari keadilan Dienul Islam terhadap orang-orang kafir yang
tidak memerangi kaum Muslimin dan ini menunjukkan bahwa kaum Muslimin adalah orang
yang paling baik berinteraksi dalam kehidupan bermasyarakat.

Ada beberapa ayat lain yang semakna dengan ayat 8 surah Al-Mumtahanah di atas. Di
antaranya Firman Allah jalla wa Alaa dalarn Al-Qur’an Surah Al-Baqarah 190:

َ ‫ب ا ْل ُم ْعتَد‬
‫ِين‬ َ ‫َّللاِ الَّذ‬
َّ ‫ِين يُقَاتِلُونَ ُك ْم َو ََل ت َ ْعتَدُوا ِإ َّن‬
ُّ ‫َّللاَ ََل يُ ِح‬ َ ‫َوقَاتِلُوا فِي‬
َّ ‫س ِبي ِل‬
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)janganlah
kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.” (Al-Baqarah:190)

Dan di dalam Al-Baqarah 194 Allah Azza Dikruhu menegaskan:


“Oleh sebab itu barang siapa yang menyerang kalian, maka seranglah ia, seimbang dengan
serangannya terhadapmu.” (Al-Baqarah:194)

Dan di dalam An-Nahl 126, Allah jalla Tsanauhu menyatakan:

“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan
siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah
yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (An-Nahl:126)

Anda mungkin juga menyukai