Anda di halaman 1dari 21

EKSISTENSI MADRASAH

SEBAGAI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM


Ditujukan Sebagai Tugas Mata Kuliah
Kajian Islam Ahlussunnah Wal Jamaah

Dosen Pengampu:
Dr. H. Muhibbin, SH., MH
Disusun Oleh:
Kharisma Karunia Ilahi (IC/21802073024)

PASCASARJANA PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS


UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2018

1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Kajian Islam Ahlussunnah Wal Jamaah,
dengan judul “Eksistensi Madrasah Sebagai Lembaga Pendidikan Islam”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
maupun inpirasi terhadap pembaca.

Malang, 27 Oktober 2018


Penyusun

KHARISMA KARUNIA ILAHI

i
DAFTAR ISI

Cover
Kata Pengantar .............................................................................................. i
Daftar Isi ......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 2
1.3 Tujuan ........................................................................................... 3
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Lembaga Pendidikan .................................................. 4
2.2 Lembaga Pendidikan Islam ........................................................... 4
2.3 Madrasah ....................................................................................... 6
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Eksistensi Madrasah di Tengah Pesatnya Perkembangan
Pendidikan Umum ....................................................................... 8
3.2 Problema yang di hadapi oleh Madrasah ...................................... 9
3.3 Perkembangan Madrasah di Era Modern ...................................... 11
3.4 Peran Masyarakat dalam Meningkatkan Kualitas Madrasah ........ 14
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ................................................................................... 16
4.2 Saran ............................................................................................. 16
Daftar Pustaka

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut pandangan sejarah, Indonesia merupakan sebuah negeri
muslim yang unik, letaknya sangat jauh dari pusat lahimya Islam yaitu
Mekkah. Meskipun Islam baru masuk ke Indonesia pada abad ke tujuh, dunia
internasional mengakui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam. Hal ini merupakan salah satu
indikator keberhasilan Pendidikan Agama Islam di Indonesia.
Lembaga Pendidikan Agama Islam pertama didirikan di Indonesia
adalah dalam bentuk pesantren (Sarijo, 1980) Dengan karaktemya yang khas
“religius oriented”, pesantren telah mampu meletakkan dasar-dasar
pendidikan keagamaan yang kuat. Para santri tidak hanya dibekali
pemahaman tentang ajaran Islam tetapi juga kemampuan untuk menyebarkan
dan mempertahankan Islam.
Pendidikan Madrasah tidak kalah dengan pendidikan secara umum. Hal
ini dapat terlihat dari eksistensi Madrasah yang sejak dulu sampai sekarang
masih tetap menunjukkan reliabilitasnya. Madrasah senantiasa terus dibangun
dan dikembangkan untuk mencapai martabatnya yang senantiasa
berkembang. Sudah bukan saatnya lagi Madrasah tertinggal dalam
pengembangan peradaban manusianya.
Madrasah, sebagaimana tertuang dalam pasal 17 (2) UU Sisdiknas,
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang Undang Sistem
Pendidikan Nasional. Hal itu sejalan dengan tujuan Pendidikan Nasional yang
mempunyai fungsi yang sama dengan satuan pendidikan lainnya terutama
dalam mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

1
Selain itu, Madrasah memiliki karakteristik yang khas yang tidak
dimiliki oleh model pendidikan lainnya, yaitu menjadi salah satu tumpuan
bagi manusia modern untuk mengatasi keringnya hati dari nuansa keagamaan
dan menghindarkan diri dari fenomena demoralisasi dan dehumanisasi yang
semakin merajalela seiring dengan kemajuan peradaban teknologi dan materi.
Madrasah menjadi sangat fleksibel diakomodasikan dalam berbagai
lingkungan. Di lingkungan pesantren, Madrasah bukanlah barang asing,
karena memang lahirnya Madrasah merupakan inovasi model pendidikan
pesantren. Dengan kurikulum yang disusun rapi, para santri lebih mudah
mengetahui sampai dimana tingkat penguasaan materi yang dipelajari.
Dengan metode pengajaran modern yang disertai audiovisual, kesan kumuh,
jorok, ortodok, dan exclusive yang selama ini melekat pada pesantren sedikit
demi sedikit juga semakin terkikis.
Tugas yang diemban Madrasah di era globalisasi ini semakin berat.
Sebagai lembaga pendidikan yang berbasis nilai-nilai keagamaan, Madrasah
tidak hanya dituntut untuk melakukan transfer of knowledge, tetapi
juga transfer of Islamic values. Padahal, lembaga Madrasah sendiri saat ini
masih bergelut dengan sekian permasalahan yang tidak kunjung
selesai (intellectual deadlock).
Keberadaan Madrasah di pusat-pusat kota juga banyak yang tampil
dengan inovasi baru. Hal ini bukan saja telah membuat masyarakat tidak
alergi lagi dengan menyebut nama Madrasah, tetapi juga dapat diartikan
sebagai naiknya prestise Madrasah.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.2.1 Bagaimana eksistensi Madrasah di tengah pesatnya perkembangan
pendidikan umum?
1.2.2 Adakah problema yang dihadapi oleh Madrasah?
1.2.3 Bagaimana perkembangan Madrasah di Era Modern?
1.2.4 Apa peran masyarakat dalam meningkatkan kualitas Madrasah?

2
1.3 Tujuan
Adapun tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah:
1.3.1 Untuk mengetahui eksistensi Madrasah di tengah pesatnya
perkembangan pendidikan umum
1.3.2 Mengetahui problema atau permasalahan yang dihadapi Madrasah
1.3.3 Mengetahui perkembangan Madrasah di Era Modern
1.3.4 Mengetahui adanya peran masyarakat dalam meningkatkan kualitas
Madrasah

3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Lembaga Pendidikan


Lembaga pendidikan adalah suatu badan yang berusaha mengelola dan
menyelenggarakan kegiatan-kegiatan sosial, kebudayaan, keagamaan,
penelitian keterampilan dan keahlian. yaitu dalam hal pendidikan intelektual,
spiritual, serta keahlian/ keterampilan. Sebagai tempat atau wadah dimana
orang-orang berkumpul, bekerjasama secara rasional dan sistematis,
terencana, terorganisasi, terpimpin dan terkendali, dalam memanfaatkan
sumber daya, sarana-parasarana, data, dan lain sebagainya yang digunakan
secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan pendidikan (Hasbullah,
1999). Adapun bentuk-bentuk lembaga pendidikan antara lain:
a. Lembaga Pendidikan Keluarga
b. Lembaga Pendidikan Sekolah, seperti: SD/MI, SMP/MTs,
SMA/MA, Perguruan Tinggi
c. Lembaga Pendidikan di Masyarakat, seperti: kursus atau lembaga
pendidikan nonformal lainnya.
Fungsi lembaga pendidikan :
a. Untuk memenuhi keperluankeperluan di dalam proses pendidikan.
b. Supaya individu menjadi anggota masyarakat yang berguna.
c. Sebagai suatu upaya sistematis untuk mengajarkan apa yang tidak bisa
dipelajari secara mudah dalam lingkungan keluarga.

2.2 Lembaga Pendidikan Islam


Lembaga pendidikan Islam ialah suatu bentuk organisasi yang diadakan
untuk mengembangkan lembaga-lembaga Islam yang baik, yang permanen,
maupun yang berubah-ubah dan mempunyai struktur tersendiri yang dapat
mengikat individu yang berad adalam naungannya, sehingga lembaga ini
mempunyai kekuatan hukum tersendiri. (Muhaimin, 1993)
Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa lembaga
pendidikan Islam adalah tempat atau oganisasi yang menyelenggarakan

4
pendidikan Islam, yang mempunya istruktur yang jelas dan bertanggung
jawab atas terlaksananya pendidikan Islam. Oleh karena itu, lembaga
pendidikan Islam tersebut harus dapat menciptakan suasana yang
memungkinkan terlaksananya pendidikan dengan baik, menurut tugas yang
diberikan kepadanya, seperti sekolah (Madrasah) yang melaksanakan proses
pendidikan Islam.
Jenis-jenis Lembaga pendidikan Islam
Lembaga yang berkewajiban melaksanakan pendidikan Islam adalah sebagai
berikut:
a. Rumah tangga, yaitu pendidikan primer untuk fase bayi dan fase kanak-
kanak sampai usia sekolah. Pendidikannya adalah orang tua, sanak
kerabat, family, saudara-saudara, teman sepermainan, dan kenalan
pergaulan.
b. Sekolah, yaitu pendidik sekunder yang mendidik anak mulai dari usia
masuk sekolah sampai ia keluar dari sekolah tersebut. Pendidikannya
adalah guru yang professional.
c. Kesatuan sosial, yaitu pendidikan terakhir yang merupakan pendidikan
yang terakhir tetapi bersifat permanen. Pendidikanya adalah kebudayaan,
adat istiadat, dan suasana masyarakat setempat.1
Prinsip-prinsip Lembaga Pendidikan Islam
Bentuk lembaga pedidikan Islam apapun dalam Islam harus berpijak pada
prinsip-prinsip tertentu yang telah disepakati sebelumnya, sehingga antara
lembaga satu dengan lembaga lainnya tidak terjadi semacam tumpang tindih.
Prinsip-prinsip pembentukan lembaga pendidikan Islam itu adalah:2
a. Prinsip pembebasan manusia dari ancaman kesesatan yang
menjerumuskan manusia pada api neraka (QS. At-Thamrin:6)
b. Prinsip pembinaan umat manusia menjadi hamba-hamba Allah
yang memiliki keselarasan dan keseimbangan hidup bahagia dunia dan
akherak (QS. Al-Baqarah: 201; al-Qashash: 77)

1
http://tutijuniarsih.blogspot.com/2014/02/makalah-lembaga-pendidikan-islam-ipi.html
2
Abdul Mujib, Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 223

5
c. Keimanan yang kaya dengan ilmu pengetahuan, yang satu sama
lain mengembangkan hidupnya untuk menghambakan diri pada Khaliknya
(QS. Al-Mujadilah: 11)
d. Prinsip amar ma’ruf nahi dan munkar dan membebaskan manusia
dari belenggu-belenggu kenistaan (QS. Ali-Imran: 104, 110)
e. Prinsip pengembangan daya pikir, daya nalar, dan daya rasa
sehingga dapat menciptakan anak didik yang kreatif dan dapat
memfungsikan daya cipta, rasa dan karsa.

2.3 Madrasah
Madrasah adalah tempat pendidikan yang memberikan pendidikan dan
pengajaran yang berada di bawah naungan Departemen Agama, yang
termasuk ke dalam kategori Madrasah adalah lembaga pendidikan Ibtidaiyah,
Tsanawiyah, Aliyah serta Diniyah.
Madrasah berasal dari Bahasa Arab yaitu Sekolah (tempat belajar).
Istilah Madrasah di Arab ditunjukkan untuk semua sekolah secara umum,
namun di Indonesia ditunjukkan untuk sekolah secara khusus. Pada mata
pelajaran dasarnya adalah agama islam. Lahirnya lembaga ini merupakan
kelanjutan system di dunia pesantren yang di dalamnya terdapat unsur-unsur
pokok daro suatu pesantren. Unsur-unsur yang diutamakan di Madrasah tidak
harus ada pondok, masjid dan pengajian kitab-kitab islam klasik. Unsur yang
diutamakan di Madrasah adalah pimpinan, guru, siswa, perangkat pelajaran
dan pengajaran agama islam.
Adapun menurut Mujamil Qomar Madrasah merupakan terjemahan dari
istilah sekolah dalam bahasa Arab. Namun, konotasi Madrasah dalam hal ini
bukan pada pengertian etimologi tersebut, melainkan pada kualifikasinya
selama ini Madrasah dianggap lembaga pendidikan islam yang mutunya lebih
rendah daripada lembaga pendidikan lainnya. Terutama sekolah umum.3
Menurut Muhaimin kata Madrasah adalah isim makan dari kata darasa-
yadrusu-darsan wa durusan wa dirasatan, yang berarti: terhapus, hilang
bekasnya, menghapus, menjadikan using, melatih, mempelajari. Dilihat dari

3
Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam, Jakarta:Erlangga, 2007, hal.79

6
pengertian ini maka Madrasah berarti tempat untuk mencerdaskan para
peserta didik, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan
mereka, serta melatih keterampilan mereka sesuai dengan bakat, minat dan
kemampuannya.4
Agar mata pelajaran umum di Madrasah mencapai tingkat yang sama
dengan tingkat mata pelajaran umum di sekolah umum, dilakukan
peningkatan-peningkatan di bidang:
a. Kurikulum
b. Buku pelajaran, alat pendidikan lainnya dan sarana pendidikan pada
umumnya
c. Pengajar
Dengan demikian berarti:
a. Eksistensi Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam menjadi mantap
dan kuat.
b. Pengetahuan umum pada Madrasah akan lebih baik
c. Fasilitas fisik dan peralatan akan lebih disempurnakan
d. Adanya civil effect dan terhadap ijazah Madrasah.
Adapun jenjang Madrasah tidak berbeda dengan jenjang di sekolah umum,
yaitu:
a. Madrasah Ibtidaiyah setingkat dengan Sekolah Dasar (SD)
b. Madrasah Tsanawiyah setingkat dengan Sekolah Menengah Pertama
(SMP)
c. Madrasah Aliyah setingkat dengan Sekolah Menengah Atas (SMA)
Jadi, menurut berbagai penjelasan di atas menyatakan Madrasah adalah
sekolah atau tempat belajar yang berbasis islam yang mana pelajarannya lebih
dominan bersyariatkan islam daripada sekolah umum lainnya, yang mana
latar belakang terbentuknya Madrasah ini karena pendidikan tradisional
(pesantren) kurang memenuhi kebutuhan peserta didik, dan adapun
kurikulumnya tidak sekompleks di pesantren yang banyak mengajarkan kitab-
kitab kuning, Madrasah ini juga bias dikatakan sebagai perpaduan antara
pendidikan umum dan pendidikan pesantren.

4
Muhaimin Dkk, Manajemen Pendidikan, Jakarta:Kencana, 2012, hal.89-95

7
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Eksistensi Madrasah di Tengah Pesatnya Perkembangan Pendidikan


Umum
Masyarakat mempunyai image bahwa lembaga pendidikan yang
berlabelkan agama cenderung mengarah pada pendidikan yang terbelakang
dan jauh dari kualitas pendidikan yang diharapkan. Image tersebut didasarkan
pada beberapa faktor yang menyebabkan pendidikan Islam terkesan
pendidikan yang terbelakang. Diantaranya yaitu tidak terpenuhinya beberapa
maksud pemerintah dalam melaksanakan pembangunan dalam sektor agama,
khususnya agama Islam. Faktor-faktor tersebut antara lain adanya anggapan
di masyarakat bahwa lulusan sekolah agama lebih-lebih para sarjananya
dipandang nilai gengsinya lebih rendah dibandingkan dengan para insinyur,
dokter dan sarjana-sarjana lain non agama. Anggapan ini secara langsung
maupun tidak telah membawa dampak psikologis dan kesenjangan sosial
pendidikan, sehingga muncul anggapan bahwa sarjana-sarjana non agama
dipandang memiliki masa depan jauh lebih baik dari pada sarjana-sarjana
agama.
Sistem pendidikan dan pengajaran yang digunakan pada Madrasah
merupakan perpaduan antara sistem pondok pesantren dengan sistem yang
berlaku pada sekolah-sekolah modern. Proses perpaduam tersebut
berlangsung secara berangsur-angsur, mulai dari mengikuti sistem klasikal.
Sistem pengajian kitab diganti, diganti dengan bidang-bidang pelajaran
tertentu, walaupun masih mengunakan kitab-kitab yang lama.
Ide-ide pembaharuan yang berkembang didunia islam dan kebangkitan
nasional bangsa Indonesia sangat besar pengaruhnya, sedikit demi sedikit
pelajaran umum masuk kedalam kurikulum Madrasah, dan terus berproses
sebagaimana digambarkan terdahulu. Buku-buku pelajaran agama mulai
disusun khusus sesuai dengan tingkatan Madrasah sabagaimana halnya
dengan buku-buku pengetahuan umum yang berlaku disekolah-sekolah

8
umum. Bahkan kemudian timbullah Madrasah-Madrasah yang mengikuti
sistem perjenjangan dan bentuk-bentuk sekolah modern.
Pada era globalisasi seperti sekarang ini, masyarakat mulai kering
dengan hal-hal yang berbau keagamaan, eksistensi Madrasah sebagai lembaga
bernuansa keagamaan mutlak dipertahankan. Hal ini tidak cukup apabila
tidak diiringi dengan keseriusan pengembangan masyarakat sebagai bentuk
respons dirinya atas perkembangan dan kebutuhan masyarakat global.

3.2 Problema yang dihadapi oleh Madrasah


Sebagai upaya inovasi dalam Sistem Pendidikan Islam, Madrasah tidak
lepas dari berbagai problema yang dihadapi. Problema-problema tersebut,
menurut Darmu’in (2002), antara lain:
a. Madrasah telah kehilangan akar sejarahnya, artinya keberadaan
Madrasah bukan merupakan kelanjutan pesantren, meskipun diakui
bahwa pesantren merupakan bentuk lembaga pendidikan Islam pertama di
Indonesia.
b. Terdapat dualisme pemaknaan terhadap Madrasah. Di satu sisi,
Madrasah diidentikkan dengan sekolah karena memiliki muatan secara
kurikulum yang relatif sama dengan sekolah umum. Di sisi lain,
Madrasah dianggap sebagai pesantren dengan sistem klasikal yang
kemudian dikenal dengan Madrasah diniyah.
Dengan demikian, sebagai sub sistem pendidikan nasional, Madrasah
belum memiliki jati diri yang dapat dibedakan dari lembaga pendidikan
lainnya.
Efek pensejajaran Madrasah dengan sekolah umum yang berakibat
berkurangnya proporsi pendidikan agama dari 60% agama dan 40% umum
menjadi 30% agama dan 70% umum dirasa sebagai tantangan yang
melemahkan eksistensi pendidikan Islam. Beberapa permasalahan yang
muncul kemudian, antara lain:
a. Berkurangnya muatan materi pendidikan agama. Hal ini dilihat
sebagai upaya pendangkalan pemahaman agama, karena muatan

9
kurikulum agama sebelum SKB dirasa belum mampu mencetak muslim
sejati, apalagi kemudian dikurangi.
b. Tamatan Madrasah serba tanggung. Pengetahuan agamanya tidak
mendalam sedangkan pengetahuan umumnya juga rendah.
Diakui bahwa model pendidikan Madrasah di dalam perundang-
undangan negara, memunculkan dualisme sistem Pendidikan di Indonesia.
Dualisme pendidikan di Indonesia telah menjadi dilema yang belum dapat
diselesaikan hingga sekarang. Dualisme ini tidak hanya berkenaan dengan
sistem pengajarannya tetapi juga menjurus pada keilmuannya. Pola pikir yang
sempit cenderung membuka batas antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-
ilmu umum. Seakan-akan muncul ilmu Islam dan ilmu bukan Islam. Padahal
dikhotomi keilmuan ini justru menjadi garapan bagi para pakar pendidikan
Islam untuk berusaha menyatukan keduanya.
Dualisme pendidikan Islam juga muncul dalam bidang manajerialnya,
khususnya di lembaga swasta. Lembaga swasta umumnya memiliki dua top
manager yaitu kepala Madrasah dan ketua yayasan (atau pengurus).
Meskipun telah ada garis kewenangan yang memisahkan kedua top manager
tersebut, yakni kepala Madrasah memegang kendali akademik sedangkan
ketua yayasan (pengurus) membidangi penyediaan sarana dan prasarana,
sering di dalam praktik terjadi overlapping. Masalah ini biasanya lebih buruk
jika di antara pengurus yayasan tersebut ada yang menjadi staf pengajar. Di
samping ada kesan mematai-matai kepemimpinan kepala Madrasah, juga
ketika staf pengajar tersebut melakukan tindakan indisipliner (sering datang
terlambat), kepala Madrasah merasa tidak berdaya menegumya.
Praktek manajemen di Madrasah sering menunjukkan model
manajemen tradisional, yakni model manajemen paternalistik atau feodalistik.
Dominasi senioritas semacam ini terkadang mengganggu perkembangan dan
peningkatan kualitas pendidikan. Munculnya kreativitas inovatif dari
kalangan muda terkadang dipahami sebagai sikap yang tidak menghargai
senior. Kondisi yang demikian ini mengarah pada ujung ekstrem negatif,
hingga muncul kesan bahwa meluruskan langkah atau mengoreksi kekeliruan
langkah senior dianggap tabiat su’ul adab.

10
Dualisme pengelolaan pendidikan juga terjadi pada pembinaan yang
dilakukan oleh departemen yaitu Departemen Pendidikan Nasional
(Depdiknas) dan Departemen Agama (Depag). Pembinaan Madrasah di
bawah naungan Depag berhadapan dengan Sekolah umum di bawah
pembinaan Depdiknas sering menimbulkan kecemburuan sejak di tingkat (SD
dan MI) hingga perguruan tinggi. Dari alokasi dana, perhatian, pembinaan
manajerial, bantuan buku dan media pembelajaran, serta penempatan guru,
hingga pemberian beasiswa pendidikan lanjut sering tidak sama antara yang
diterima oleh sekolah umum (Depdiknas) dengan Madrasah (Depag).
Kesenjangan antara Madrasah swasta dan Madrasah negeri pun
tampaknya juga menjadi masalah yang belum tuntas diselesaikan. Gap
tersebut meliputi beberapa hal seperti pandangan guru, sarana dan prasarana,
kualitas input siswa dan sebagainya yang kesemuanya itu berpengaruh baik
langsung maupun tidak langsung kepada mutu pendidikan. Yang demikian ini
karena munculnya SKB tiga menteri tersebut belum diimbangi penyediaan
guru, buku-buku dan peralatan lain dari departemen terkait (Malik Fadjar,
2000).

3.3 Perkembangan Madrasah di Era Modern


Persepsi masyarakat terhadap Madrasah di era modern belakangan
semakin menjadikan Madrasah sebagai lembaga pendidikan yang unik. Di
saat ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat, di saat filsafat hidup
manusia modern mengalami krisis keagamaan (Haedar Nashir, 1999) dan di
saat perdagangan bebas dunia makin mendekati pintu gerbangnya,
keberadaan Madrasah tampak makin dibutuhkan orang.
Terlepas dari berbagai problema yang dihadapi, baik yang berasal dari
dalam sistem seperti masalah manajemen, kualitas input dan kondisi sarana
prasarananya, maupun dari luar sistem seperti persyaratan akreditasi yang
kaku dan aturan-aturan lain, Madrasah yang memiliki karakteristik khas yang
tidak dimiliki oleh model pendidikan lainnya itu menjadi salah satu tumpuan
harapan bagi manusia modern untuk mengatasi keringnya hati dari nuansa
keagamaan dan menghindarkan diri dari fenomena demoralisasi dan

11
dehumanisasi yang semakin merajalela seiring dengan kemajuan peradaban
teknologi dan materi. Sebagai jembatan antara model pendidikan pesantren
dan model pendidikan sekolah, Madrasah menjadi sangat fleksibel
diakomodasikan dalam berbagai lingkungan. Di lingkungan pesantren,
Madrasah bukanlah barang yang asing, karena memang lahirnya Madrasah
merupakan inovasi model pendidikan pesantren. Dengan kurikulum yang
disusun rapi, para santri lebih mudah mengetahui sampai di mana tingkat
penguasaan materi yang dipelajari. Dengan metode pengajaran modern yang
disertai audio visual aids, kesan kumuh, jorok, ortodok, dan exclusive yang
selama itu melekat pada pesantren sedikit demi sedikit terkikis. Masyarakat
metropolit makin tidak malu mendatangi dan bahkan memasukkan putra-
putrinya ke pesantren dengan model pendidikan Madrasah. Baik mereka yang
sekedar berniat menempatkan putra-putrinya pada lingkungan yang baik
(agamis) hingga yang benar-benar menguasai ilmu yang dikembangkan di
pesantren tersebut, orang makin berebut untuk mendapatkan fasilitas di sana.
Pondok Pesantren Modern Gontor Ponorogo, misalnya, penuh dengan putra
putri konglomerat, sekali daftar tanpa berfikir biaya yang harus dikeluarkan,
lengkap sudah fasilitas didapat. Dengan demikian, model pendidikan
Madrasah di lingkungan pesantren telah memiliki daya tawar yang cukup
tinggi.
Model-model pondok pesantren modern seperti itu, kini telah
bermunculan di berbagai daerah. Di Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Kendal
misalnya, juga ada pondok pesantren “Darul Amanah” yang mengutamakan
penguasaan bahasa asing yakni Bahasa Arab dan Inggris. Pondok Pesantren
yang didirikan oleh para alumni Pondok Pesantren Modem Gontor Ponorogo
pada tahun 1990 itu telah menampung sekitar 1300 santri (siswa).
Melihat kenyataan seperti itu, tuntutan pengembangan Madrasah akhir-
akhir ini dirasa cukup tinggi. Pengembangan Madrasah di pesantren yang
pada umumnya berlokasi di luar kota dirasa tidak cukup memenuhi tuntutan
masyarakat. Oleh karena itu banyak model pendidikan Madrasah
bermunculan di tengah kota, baik di kota kecil maupun di kota-kota
metropolitan. Meskipun banyak Madrasah yang berkembang di luar

12
lingkungan pesantren, budaya agamanya, moral dan etika agamanya tetap
menjadi ciri khas sebuah lembaga pendidikan Islam. Etika pergaulan, perilaku
dan performance pakaian para santrinya menjadi daya tarik tersendiri, yang
menjanjikan kebahagiaan hidup dunia akhirat sebagaimana tujuan pendidikan
Islam (Jalaluddin dan Said, 2004).
Realitas menunjukkan bahwa praktek pendidikan nasional dengan
kurikulum yang dibuat dan disusun sedemikian rupa bahkan telah
disempurnakan berkali-kali, tidak hanya gagal menampilkan sosok manusia
Indonesia dengan kepribadian utuh, bahkan membayangkan realisasinya saja
terasa sulit. Pendidikan umum (non Madrasah) yang menjadi anak emas
pemerintah, di bawah naungan Depdiknas, telah gagal menunjukkan
kemuliaan jati dirinya selama lebih dari tiga dekade. Misi pendidikan yang
ingin melahirkan manusia-manusia cerdas yang menguasai kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan kekuatan iman dan taqwa plus budi
pekerti luhur, masih tetap berada pada tataran ideal yang tertulis dalam
susunan cita-cita (perundang-undangan). Tampaknya hal ini merupakan salah
satu indikator dimana pemerintah kemudian mengakui keberadaan Madrasah
sebagian dari sistem pendidikan nasional.
Setelah kebobrokan moral dan mental merebak dan merajalela, orang
baru bangun dan sadar bahwa pendidikan moral yang selama ini dilakukan
lebih berorientasi pada pendidikan politik pembenaran terhadap segala
pemaknaan yang lahir atas restu regim yang berkuasa. Upaya pembinaan
moral yang bertujuan meningkatkan harkat dan martabat manusia sesuai
dengan cita-cita nasional yang tertuang dalam perundang-undangan telah
dikesampingkan dan menjadi jauh dari harapan.
Keberhasilan pendidikan secara kuantitatif didasarkan pada teori
Benjamin S. Bloom (1956) yang dikenal dengan nama Taxonomy of
Educational Objectives, yang mencakup tiga domain yaitu kognitif, afektif
dan psikomotor. Meskipun demikian, keberhasilan output (lulusan)
pendidikan hanyalah merupakan keberhasilan kognitif. Artinya, anak yang
tidak pemah shalat pun, jika ia dapat mengerjakan tes PAl (Pendidikan Agama
Islam) dengan baik maka ia bisa lulus (berhasil), dan jika nilainya baik, maka

13
ia pun dapat diterima pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Lain halnya
dengan outcome (performance) seorang alumni Madrasah, bagaimanapun
nilai raport dan hasil ujiannya, moral keagamaan yang melekat pada sikap
dan perilakunya akan menjadi tolok ukur bagi keberhasilan lembaga
pendidikan yang menjadi tempat ia belajar. Karena itulah keberhasilan out-
come disebut keberhasilan afektif dan psikomotorik. Bagi lembaga
pendidikan “Madrasah”, kedua standar keberhasilan (output dan outcome)
yang mencakup tiga domain taxonomy of educational objectives, tidak dapat
dipisahkan. Di samping Madrasah mendidik kecerdasan, ia juga membina
moral dan akhlak siswanya. Itulah nilai plus Madrasah dibandingkan sekolah
umum yang menekankan pembinaan kecerdasan intelek (aspek kognitif).

3.4 Peran Masyarakat dalam Meningkatkan Kualitas Madrasah


Munculnya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi dalam bidang
pendidikan yang bertujuan untuk memberi peluang kepada peserta didik
untuk memperoleh keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dapat
memberikan kontribusi kepada masyarakat, tidak mengagetkan para
pengelola Madrasah. Madrasah juga lebih survive dalam kondisi perubahan
kurikulum yang sangat cepat, karena kehidupan Madrasah tidak taklid kepada
kurikulum nasional. Manajemen desentralisasi memberikan kewenangan
kepada sekolah untuk melaksanakan PBM sesuai dengan kebutuhan yang
dikondisikan untuk kebutuhan lokal. Dengan demikian, maka Madrasah
mendapatkan angin segar untuk bisa lebih exist dalam mengatur kegiatannya
tanpa intervensi pemerintah pusat dalam upaya mencapai peningkatan mutu
pendidikannya. Melalui proses belajar mengajar yang didasari dengan
kebutuhan lokal, kurikulum tidak terbebani dengan materi lain yang
sesungguhnya belum atau bahkan tidak relevan bagi peningkatan
pengetahuan dan keterampilan peserta didik pada jenjang tersebut. Efektivitas
proses belajar mengajar diharapkan bisa tercapai sehingga menghasilkan
prestasi belajar yang lebih tinggi.
Adapun meningkatnya keterlibatan pemerintah dalam pendidikan
menyebabkan para pengelola Madrasah memfokuskan pada program-program

14
tambahan sebagai sarana meningkatkan kualitas pendidikan. Program
remidial dan kursus untuk meningkatkan perkembangan kognitif, sosial dan
emosional dari siswa yang berkemampuan rendah dalam taraf perekonomian
dan hasil belajar merupakan program-program kompensasi, bukan untuk
menggantikan program-program yang ada.
Sebagai lembaga pendidikan yang lahir dari masyarakat, Madrasah
lebih mudah mengintegrasikan lingkungan eksternal ke dalam organisasi
pendidikan, sehingga dapat menciptakan suasana kebersamaan dan
kepemilikan yang tinggi dengan keterlibatan yang tinggi dari masyarakat.
Keterlibatan masyarakat bukan lagi terbatas seperti peranan orang tua siswa
yang hanya melibatkan diri di tempat anaknya sekolah. Melainkan
keterlibatan yang didasarkan kepada kepemilikan lingkungan.
Sesuai dengan jiwa desentralisasi yang menyerap aspirasi dan
partisipasai masyarakat dalam pengembangan dan peningkatan kualitas
pendidikan, masyarakat dituntut untuk memiliki kepedulian yang tinggi
memperhatikan lembaga pendidikan yang berada di lingkungan setempat. Hal
ini dapat menumbuhkan sikap kepemilikan yang tinggi dengan memberikan
kontribusi baik dalam bidang material, kontrol manajemen, pembinaan, serta
bentuk partisipasi lain dalam rangka meningkatkan eksistensi Madrasah yang
selanjutnya menjadi kebanggaan lingkungan setempat.
Akhirnya Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang hidup dari,
oleh dan untuk masyarakat belum mendapatkan sentuhan pikiran dan tangan
kita semua. Peningkatan mutu tidak akan terealisir tanpa andil semua pihak.
Untuk itu, demi peningkatan mutunya maka Madrasah perlu dibantu, dibela
dan diperjuangkan.

15
16
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Merujuk kepada fokus kajian di atas, terdapat beberapa simpulan yang
dapat dikemukakan. Pertama, bahwa Madrasah sebagai lembaga pendidikan
dalam bentuk pendidikan formal sudah dikenal. Dinamika Madrasah di
Indonesia juga melalui perjalanan yang panjang sebelum terlembaga sebagai
sistem pendidikan Islam yang kita kenal sekarang.
Kedua, adalah sebuah keharusan bagi Madrasah untuk merespon
dinamika zaman yang begitu cepat dan kebutuhan manusia saat ini yang
semakin kompleks. Agar lembaga pendidikan Madrasah tidak kalah bersaing
dengan lembaga pendidikan umum, respons ini akan menjadikan Madrasah
sebagai lembaga pendidikan Islam yang peka zaman. Selain itu, Madrasah
juga di tuntut untuk menjadikan dirinya sebagai pelayan pendidikan yang
memuaskan umat Muslim. Hal ini tentunya dilakukan dengan tanpa
menghilangkan identitas dan ciri khas Madrasah sebagai institusi pendidikan
Islam yang bernuansa religius.
Ketiga, Madrasah yang peka zaman ini bisa diupayakan melalui
beberapa hal, antara lain: reorientasi pendidikan Madrasah, pengembangan
kurikulum Madrasah, perbaikan manajemen Madrasah, perbaikan
kepemimpinan Madrasah, dan peningkatan partisipasi masyarakat.

4.2 Saran
Lembaga pendidikan Madrasah harus mengikuti perkembangan zaman
atau globalisasi tanpa melepaskan nilai-nilai keagamaan yang menjadi dasar
dalam pelaksanaan lembaga pendidikan. Agar Madrasah tidak lagi dipandang
sebagai lembaga pendidikan kelas ke dua khususnya di Indonesia dan dapat
bersaing dengan lembaga pendidikan umum.

17
DAFTAR PUSTAKA

Mujib, Abdul. Jusuf Mudzakir. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Bloom, B.5. 2000. Toxomony of Educational Objectives, the Classification of
Educational Goals, Hand Book I: Cogniti Domain. New York: Long mans,
Green and Co.
Darmuin. 2002. Prospek Pendidikan Islam di Indonesia: Suatu Telaah terhadap
Pesantren dan Madrasah. Dalam Chabib Thoha dan Abdul Muth’i. PBM-
PAI di Sekolah: Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama
Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerja sarna dengan Fakultas Tarbiyah
lAIN Walisongo Semarang.
Fadjar, M.A. 2000. Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan.
Hasbullah. 1999. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta:Raja Grafindo Persada.
http://marjuki01.blogspot.co.id/2013/12/eksistensi-Madrasah.html. Diakses
tanggal 27 Oktober 2018
https://mastertarbiyah1982.wordpress.com/2013/01/10/image-masyarakat-
terhadap-pendidikan-Madrasah/. Diakses tanggal 27 Oktober 2018
Jalaluddin dan Said, U. 2004. Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan
Perkembangan. Jakarta: Grafindo Persada.
Muhaimin dkk. 2012. Manajemen Pendidikan. Jakarta:Kencana
Nashir, H. 1999. Agama dan Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Nurul Huda. 2002. “Madrasah; Sebuah Perjalanan untuk Eksis” dalam Ismail
SM, et.al. (Ed.), Dinamika Pesantren dan Madrasah. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,
Qomar, Mujamil. 2007. Manajemen Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga
Sarijo, M. 2003. Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia. Jakarta: Dharma Bakti.

18

Anda mungkin juga menyukai