Anda di halaman 1dari 22

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Sorotan masyarakat yang cukup tajam atas jasa pelayanan kesehatan oleh
tenaga kesehatan, khususnya dengan terjadinya berbagai kasus yang menyebabkan
ketidakpuasan masyarakat memunculkan isu adanya dugaan malpraktek medis
yang secara tidak langsung dikaji dari aspek hukum dalam pelayanan kesehatan,
karena penyebab dugaan malpraktek belum tentu disebabkan oleh adanya
kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.
Dewasa ini perkembangan keperawatan di Indonesia telah mengalami
perubahan yang sangat pesat menuju kepada perkembangan keperawatan sebagai
profesi. Proses ini merupakan suatu proses berubah yang sangat mendasar dan
konsepsional, yang mencakup seluruh aspek keperawatan baik aspek
pelayanan/asuhan keperawatan, aspek pendidikan, pengembangan dan
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan tehnologi, serta kehidupan keprofesian dalam
keperawatan. Perkembangan keperawatan menuju perkembangan keperawatan
sebagai profesi dipengaruhi oleh berbagai perubahan yang cepat sebagai akibat
tekanan globalisasi yang juga menyentuh perkembangan keperawatan profesional
termasuk tekanan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi keperawatan
yang pada hakekatnya harus diimplementasikan pada perkembangan keperawatan
profesional di Indonesia.

Perkembangan keperawatan dapat mengacu terjadinya malapraktik,


sehingga terdapat berbagai hokum yang mengatur dan cara penanganan
malapraktik. Oleh karena itu dalam makalah ini akan di bahas mengenai kasus
malapraktik.

1
1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini :

1. Apakah yang dimaksud malpraktek ?


2. Bagaimanakah pandangan hukum agama dan hukum negara terhadap kasus
malpraktek?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dibuatnya makalah ini :

1. Dapat mengetahui konsep malpraktek


2. Dapat mengetahui pandangan hukum agama dan negara terhadap kasus
malpraktek

2
BAB II

Pembahasan

2.1. Pengertian Malpraktek

Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktik” mempunyai


arti “pelaksanaan atau tindakan”, sehingga malpraktik berarti “pelaksanaan atau
tindakan yang salah”. Definisi malpraktik profesi kesehatan adalah kelalaian dari
seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu
pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan
terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran lingkungan yang sama.

Malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan


tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam
mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang
sama. Yang dimaksud dengan kelalaian disini adalah sikap kurang hati – hati, yaitu
tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati – hati melakukannya dengan
wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati – hati tidak
akan melakukannya dalam situasi tersebut.

Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran dibawah standar


pelayanan medik.

2.2. Jenis – Jenis Malpraktek

Adapun jenis – jenis malpraktek ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum
dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu malpraktek etik (ethical malpractice)
dan malpraktik yuridis (yuridical malpractice)

1) Malpraktek Etik

Yaitu tenaga kesehatan melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika


profesinya sebagai tenaga kesehatan. Misalnya seorang perawat yang melakukan
tindakan yang bertentangan dengan etika keperawatan. Etika keperawatan yang

3
dituangkan dalam Kode Etik Perawat merupakan seperangkat standar etis, prinsip,
aturan atau norma yang berlaku untuk seluruh perawat

2) Malpraktek Yuridis

Soedjatmika membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga bentuk, yaitu


malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal malpractice)
dan malpraktek administratif (administrative malpractice).

1) Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)


Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal – hal yang
menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam
transaksi terapeutik oleh tenaga kesehatan atau terjadinya perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian
kepada pasien. Dalam malpraktek perdata yang dijadikan ukuran dalam
malpraktek yang disebabkan oleh kelalaian adalah kelalaian yang bersifat
ringan (culpa levis). Karena apabila yang terjadi adalah kelalaian berat
(culpa lata) maka seharusnya perbuatan tersebut termasuk dalam
malpraktek pidana.
2) Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice)
Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau
mengalami cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati – hati atau kurang
cermat dalam melakukan upaya perawatan terhadap pasien yang meninggal
dunia atau cacat tersebut. Malpraktek pidana ada tiga bentuk, yaitu :
a. Malpraktek pidana karena kengengajaan (intensional), tenaga medis
tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui
bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan
surat keterangan yang tidak benar. Contoh : melakukan aborsi tanpa
tindakan medis
b. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya
melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan standar profesi serta
melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
Contoh : kurang hati – hatinya perawat dalam memasang infus yang
menyebabkan tangan pasien membengkak karena infeksi

4
c. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence). Misalnya terjadi
cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga
kesehatan yang kurang hati – hati. Contoh : seorang bayi berumur 3
bulan yang jarinya terpotong pada saat perawat akan melepas bidai
yang dipergunakan untuk memfiksasi infus.
3) Malpraktek Administratif (Administrative Malpractice)
Malpraktek administratif terjadi apabila tenaga kesehatan
melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku,
misalnya menjalankan praktek bidan tanpa lisensi atau izin praktek,
melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau izinnya,
menjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan
praktek tanpa membuat catatan medik.

2.3. Pandangan Hukum Negara Tentang Malpraktek

2.3.1. Ancaman Pidana dan Sanksi Malpraktek Dalam KUHP.

Malpraktek terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat


akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hati-hati atau kurang cermat
dalam melakukan upaya penyembuhan terhadap pasien yang meninggal dunia
atau cacat tersebut.

Pengaturan yang ada dalam kitab undang-undang Hukum pidana (KUHP)


yang terkait malpraktek antara lain :

a. Menipu pasien(pasal 378)


b. Membuat surat keterangan palsu( pasal 263,267).
c. Abortus Provokatus Kriminalis ( pasal 299,348,349,350).
d. Melakukan kelalaian (culpa) yang mengakibatkan kematian atau luka
(pasal 359,360,361).
e. Melakukan pelanggaran kesopanan (pasal 290 ayat (1), 294 ayat(2),
285 dan 286).
f. Membocorkan rahasia pasien dengan pengaduan pasien (pasal 322).

5
g. Tidak memberikan pertolongan atau bantuan (pasal 351).
h. Memberikan atau membuat obat palsu (pasal 386).

2.3.2 Ancaman Pidana Malpraktek Medis Dalam UU No.36 Tahun 2009


Tentang Kesehatan.

a. Pasal 23 ayat (3)


“Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan
wajib memiliki izin dari pemerintah”.
b. Pasal 24 ayat (1)
“Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 harus
memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna
pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur
operasional”.
c. Pasal 29
“Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam
menjalankan profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan
terlebih dahulu melalui mediasi”.
d. Pasal 34 ayat (2)
“Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang
mempekerjakan tenaga kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi
dan izin melakukan pekerjaan profesi”.
e. Pasal 57 ayat (1)
“Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang
telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan”.
f. Pasal 58 ayat (1)
“Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang,
tenaga kesehatan, dan penyelenggara kesehatan yang menimbulkan
kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan
yang diterimanya”.
g. Pasal 63 ayat (4)

6
“Pelaksanaan pengobatan dan perawatan berdasarkan ilmu
kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan”.
h. Pasal 65 ayat (1)
“Transplantasi organ dan jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu”.
i. Pasal 68 ayat (1)
“Pemasangan implan obat dan alat kesehatan kedalam tubuh
manusia hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan fasilitas
pelayanan kesehatan tertentu”.
j. Pasal 69 ayat (1)
“Bedah Plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan”.
k. Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 hanya dapat
dilakukan :
1) Sebelum kehamilan berumur 6(enam) minggu dihitung hari
pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis.
2) Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan
kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh
menteri
3) Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan.
4) Dengan izin resmi, kecuali korban perkosaan
5) Penyedia layanan kesehatan yang memahami syarat dan
ditetapkan oleh menteri.
l. Pasal 108 ayat (1)
Praktik kefarmasian yang meliputi perbuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep
dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan

7
obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
m. Pasal 121 ayat (1)
“Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat
dilakukan oleh dokter sesuai dengan keahlian dan kewenangannya”.
n. Pasal 124
“Tindakan bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan
sesuai norma agama, norma kesusilaan dan etika profesi.
o. Pasal 190 ayat (1 dan 2)
Ayat (1): Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga
kesehatan yang melakukan praktek atau pekerjaan pada fasilitas
pelayanan kesehatan dengan sengaja tidak memberikan pertolongan
pertama terhadap pasienyang dalam keadaan gawat darurat
sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 ayat (2) atau pasal 85 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
denda paling banyak Rp.200.000.000 ( dua ratus juta rupiah).
Ayat (2) : Dalam hal perbuatan senagaimana dimaksud ayat (1)
mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan
fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan tersebut dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
p. Pasal 198
“Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk
melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam pasal
108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000
(seratus juta rupiah).
q. Pasal 201 ayat ( 1 dan 2)
Ayat (1) : Dalam hal tindak pidana sebagaimana maksud dalam
pasal 190 ayat (1), pasal 191, pasal 192, pasal 196, pasal 197, pasal
198, pasal 199 dan pasal 200 dilakukan oleh korporasi. Selain
pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat

8
dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan 3 (tiga)
kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam pasal 190 ayat
(1), pasal 192, pasal 197, pasal 198, pasal 199, dan pasal 200.
Ayat (2) : Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
1. Pencabutan izin usaha.
2. Pencabutan status badan hukum.

2.4. Pandangan Hukum Agama Islam Tentang Malpraktek


Adapun agama-agama memandang malpraktek, khususnya yang
menyebabkan kematian atau bisa pasien kehilangan nyawanya. Menurut
pandangan islam, bahwa jatah hidup itu merupakan ketentuan yang menjadi
hak prerogatif Tuhan, biasanya disebut haqqullǎh (hak Tuhan), bukan hak
manusia (haqqul ǎdam).

Malpraktek yang menjadi penyebab dokter bertanggung-jawab


secara profesi bisa digolongkan sebagai berikut:
1. Tidak Punya Keahlian (Jahil)
Yang dimaksudkan di sini adalah melakukan praktek pelayanan
kesehatan tanpa memiliki keahlian, baik tidak memiliki keahlian sama
sekali dalam bidang kedokteran, atau memiliki sebagian keahlian tapi
bertindak di luar keahliannya. Orang yang tidak memiliki keahlian di
bidang kedokteran kemudian nekat membuka praktek, telah disinggung
oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sabda beliau:
"Barang siapa yang praktek menjadi dokter dan sebelumnya tidak
diketahui memiliki keahlian, maka ia bertanggung-jawab"
Kesalahan ini sangat berat, karena menganggap remeh kesehatan
dan nyawa banyak orang, sehingga para Ulama sepakat bahwa
mutathabbib (pelakunya) harus bertanggung-jawab, jika timbul masalah
dan harus dihukum agar jera dan menjadi pelajaran bagi orang lain.
2. Menyalahi Prinsip-Prinsip Ilmiah (Mukhâlafatul Ushûl Al-'Ilmiyyah)
Yang dimaksud dengan pinsip ilmiah adalah dasar-dasar dan
kaidah-kaidah yang telah baku dan biasa dipakai oleh para dokter, baik
9
secara teori maupun praktek, dan harus dikuasai oleh dokter saat menjalani
profesi kedokteran .
Para ulama telah menjelaskan kewajiban para dokter untuk
mengikuti prinsip-prinsip ini dan tidak boleh menyalahinya. Imam Syâfi'i
rahimahullah –misalnya- mengatakan: "Jika menyuruh seseorang untuk
membekam, mengkhitan anak, atau mengobati hewan piaraan, kemudian
semua meninggal karena praktek itu, jika orang tersebut telah melakukan
apa yang seharusnya dan biasa dilakukan untuk maslahat pasien menurut
para pakar dalam profesi tersebut, maka ia tidak bertanggung-jawab.
Sebaliknya, jika ia tahu dan menyalahinya, maka ia bertanggung-
jawab."[6] Bahkan hal ini adalah kesepakatan seluruh Ulama,
sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah [7].
Hanya saja, hakim harus lebih jeli dalam menentukan apakah
benar-benar terjadi pelanggaran prinsip-prinsip ilmiah dalam kasus yang
diangkat, karena ini termasuk permasalahan yang pelik.
3. Ketidaksengajaan (Khatha')
Ketidaksengajaan adalah suatu kejadian (tindakan) yang orang
tidak memiliki maksud di dalamnya. Misalnya, tangan dokter bedah
terpeleset sehingga ada anggota tubuh pasien yang terluka. Bentuk
malpraktek ini tidak membuat pelakunya berdosa, tapi ia harus
bertanggungjawab terhadap akibat yang ditimbulkan sesuai dengan yang
telah digariskan Islam dalam bab jinayat, karena ini termasuk jinayat
khatha' (tidak sengaja).
4. Sengaja Menimbulkan Bahaya (I'tidâ')
Maksudnya adalah membahayakan pasien dengan sengaja. Ini
adalah bentuk malpraktek yang paling buruk. Tentu saja sulit diterima bila
ada dokter atau paramedis yang melakukan hal ini, sementara mereka telah
menghabiskan umur mereka untuk mengabdi dengan profesi ini. Kasus
seperti ini terhitung jarang dan sulit dibuktikan karena berhubungan
dengan isi hati orang. Biasanya pembuktiannya dilakukan dengan
pengakuan pelaku, meskipun mungkin juga factor kesengajaan ini dapat
diketahui melalui indikasi-indikasi kuat yang menyertai terjadinya

10
malpraktek yang sangat jelas. Misalnya, adanya perselisihan antara pelaku
malpraktek dengan pasien atau keluarganya.

Pembuktian Malpraktek
Agama Islam mengajarkan bahwa tuduhan harus dibuktikan.
Demikian pula, tuduhan malparaktek harus diiringi dengan bukti, dan jika
terbukti harus ada pertanggungjawaban dari pelakunya. Ini adalah salah
satu wujud keadilan dan kemuliaan ajaran Islam. Jika tuduhan langsung
diterima tanpa bukti, dokter dan paramedis terzhalimi, dan itu bisa
membuat mereka meninggalkan profesi mereka, sehingga akhirnya
membahayakan kehidupan umat manusia. Sebaliknya, jika tidak ada
pertanggungjawaban atas tindakan malpraktek yang terbukti, pasien
terzhalimi, dan para dokter bisa jadi berbuat seenak mereka.
Dalam dugaan malpraktek, seorang hakim bisa memakai bukti-
bukti yang diakui oleh syariat sebagai berikut:
1. Pengakuan Pelaku Malpraktek (Iqrâr ).
Iqrar adalah bukti yang paling kuat, karena merupakan persaksian
atas diri sendiri, dan ia lebih mengetahuinya. Apalagi dalam hal yang
membahayakan diri sendiri, biasanya pengakuan ini menunjukkan
kejujuran.
2. Kesaksian (Syahâdah).
Untuk pertanggungjawaban berupa qishash dan ta'zîr, dibutuhkan
kesaksian dua pria yang adil. Jika kesaksian akan mengakibatkan tanggung
jawab materiil, seperti ganti rugi, dibolehkan kesaksian satu pria ditambah
dua wanita. Adapun kesaksian dalam hal-hal yang tidak bisa disaksikan
selain oleh wanita, seperti persalinan, dibolehkan persaksian empat wanita
tanpa pria. Di samping memperhatikan jumlah dan kelayakan saksi,
hendaknya hakim juga memperhatikan tidak memiliki tuhmah
(kemungkinan mengalihkan tuduhan malpraktek dari dirinya) .
3. Catatan Medis.

11
Yaitu catatan yang dibuat oleh dokter dan paramedis, karena
catatan tersebut dibuat agar bisa menjadi referensi saat dibutuhkan. Jika
catatan ini valid, ia bisa menjadi bukti yang sah.

Bentuk Pembuktian Malpraktek


Jika tuduhan malpraktek telah dibuktikan, ada beberapa bentuk
tanggung jawab yang dipikul pelakunya. Bentuk-bentuk tanggung-jawab
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Qishash
Qishash ditegakkan jika terbukti bahwa dokter melakukan tindak
malpraktek sengaja untuk menimbulkan bahaya (i'tida'), dengan
membunuh pasien atau merusak anggota tubuhnya, dan memanfaatkan
profesinya sebagai pembungkus tindak kriminal yang dilakukannya.
Ketika memberi contoh tindak kriminal yang mengakibatkan qishash,
Khalil bin Ishaq al-Maliki mengatakan: "Misalnya dokter yang menambah
(luas area bedah) dengan sengaja.
2. Dhamân (Tanggung Jawab Materiil Berupa Ganti Rugi Atau Diyat)
Bentuk tanggung-jawab ini berlaku untuk bentuk malpraktek
berikut:
a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak
mengetahuinya, dan tidak ada kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.
c. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi terjadi
kesalahan tidak disengaja.
d. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi tidak
mendapat ijin dari pasien, wali pasien atau pemerintah, kecuali dalam
keadaan darurat.
3. Ta'zîr berupa hukuman penjara, cambuk, atau yang lain.
Ta'zîr berlaku untuk dua bentuk malpraktek:
a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak
mengetahuinya, dan tidak ada kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.

12
Pihak yang bertanggung jawab
Tanggung-jawab dalam malpraktek bisa timbul karena seorang
dokter melakukan kesalahan langsung, dan bisa juga karena menjadi
penyebab terjadinya malpraktek secara tidak langsung. Misalnya, seorang
dokter yang bertugas melakukan pemeriksaan awal sengaja
merekomendasikan pasien untuk merujuk kepada dokter bedah yang tidak
ahli, kemudian terjadi malpraktek. Dalam kasus ini, dokter bedah adalah
adalah pelaku langsung malpraktek, sedangkan dokter pemeriksa ikut
menyebabkan malpraktek secara tidak langsung.
Jadi, dalam satu kasus malpraktek kadang hanya ada satu pihak
yang bertanggung-jawab. Kadang juga ada pihak lain lain yang ikut
bertanggung-jawab bersamanya. Karenanya, rumah sakit atau klinik juga
bisa ikut bertanggung-jawab jika terbukti teledor dalam tanggung-jawab
yang diemban, sehingga secara tidak langsung menyebabkan terjadinya
malpraktek, misalnya mengetahui dokter yang dipekerjakan tidak ahli.

13
2.5. Kasus :

Tn.T umur 55 tahun, dirawat di ruang 206 perawatan neurologi Rumah Sakit
AA, tn.T dirawat memasuki hari ketujuh perawatan. Tn.T dirawat di ruang tersebut
dengan diagnosa medis stroke iskemic, dengan kondisi saat masuk Tn.T tidak sadar,
tidak dapat makan, TD: 170/100, RR: 24 x/mt, N: 68 x/mt. Kondisi pada hari
ketujuh perawatan didapatkan Kesadaran compos mentis, TD: 150/100, N: 68,
hemiparese/kelumpuhan anggota gerak dextra atas dan bawah, bicara pelo, mulut
mencong kiri. Tn.T dapat mengerti bila diajak bicara dan dapat menjawab
pertanyaan dengan baik tetapi jawaban Tn.T tidak jelas (pelo). Tetapi saat sore hari
sekitar pukul 17.00 wib terdengar bunyi gelas plastik jatuh dan setelah itu terdengar
bunyi seseorang jatuh dari tempat tidur, diruang 206 dimana tempat Tn.T dirawat.
Saat itu juga perawat yang mendengar suara tersebut mendatangi dan masuk ruang
206, saat itu perawat mendapati Tn.T sudah berada dilantai dibawah tempat
tidurnya dengan barang-barang disekitarnya berantakan.

Ketika peristiwa itu terjadi keluarga Tn.T sedang berada dikamar mandi,
dengan adanya peristiwa itu keluarga juga langsung mendatangi tn.T, keluarga juga
terkejut dengan peristiwa itu, keluarga menanyakan kenapa terjadi hal itu dan
mengapa, keluarga tampak kesal dengan kejadian itu. Perawat dan keluarga
menanyakan kepada tn.T kenapa bapak jatuh, tn.T mengatakan ”saya akan
mengambil minum tiba-tiba saya jatuh, karena tidak ada pegangan pada tempat
tidurnya”, perawat bertanya lagi, kenapa bapak tidak minta tolong kami ” saya pikir
kan hanya mengambil air minum”.

Dua jam sebelum kejadian, perawat merapikan tempat tidur tn.T dan
perawat memberikan obat injeksi untuk penurun darah tinggi tetapi perawat lupa
memasang side drill tempat tidur tn.T kembali. Tetapi saat itu juga perawat
memberitahukan pada pasien dan keluarga, bila butuh sesuatu dapat memanggil
perawat dengan alat yang tersedia.

ANALISA KASUS

Contoh kasus di atas merupakan salah satu bentuk kasus kelalaian dari
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan, seharusnya perawat memberikan

14
rasa aman dan nyaman kepada pasien (Tn.T). rasa nyaman dan aman salah satunya
dengan menjamin bahwa Tn.T tidak akan terjadi injuri/cedera, karena kondisi Tn.T
mengalami kelumpuhan seluruh anggota gerak kanan, sehingga mengalami
kesulitan dalam beraktifitas atau menggerakan tubuhnya.

Pada kasus diatas menunjukkan bahwa kelalaian perawat dalam hal ini lupa
atau tidak memasang pengaman tempat tidur (side drill) setelah memberikan obat
injeksi, sehingga dengan tidak adanya penghalang tempat tidur membuat Tn.T
merasa leluasa bergerak dari tempat tidurnya tetapi kondisi inilah yang
menyebabkan Tn.T terjatuh.

Bila melihat dari hubungan perawat – pasien dan juga tenaga kesehatan lain
tergambar pada bentuk pelayanan praktek keperawatan, baik dari kode etik dan
standar praktek atau ilmu keperawatan. Pada praktek keperawatan, perawat dituntut
untuk dapat bertanggung jawab baik etik, disiplin dan hukum. Dan prinsipnya
dalam melakukan praktek keperawatan, perawat harus menperhatikan beberapa hal,
yaitu: Melakukan praktek keperawatan dengan ketelitian dan kecermatan, sesuai
standar praktek keperawatan, melakukan kegiatan sesuai kompetensinya, dan
mempunyai upaya peningkatan kesejaterahan serta kesembuhan pasien sebagai
tujuan praktek.

Kelalaian implikasinya dapat dilihat dari segi etik dan hukum, bila
penyelesaiannya dari segi etik maka penyelesaiannya diserahkan dan ditangani oleh
profesinya sendiri dalam hal ini dewan kode etik profesi yang ada diorganisasi
profesi, dan bila penyelesaian dari segi hukum maka harus dilihat apakah hal ini
sebagai bentuk pelanggaran pidana atau perdata atau keduannya dan ini
membutuhkan pakar dalam bidang hukum atau pihak yang berkompeten dibidang
hukum.

Bila dilihat, maka kasus Tn.T merupakan kelalaian dengan alasan, sebagai berikut:

1. Kasus kelalaian Tn.T terjadi karena perawat tidak melakukan tindakan


keperawatan yang merupakan kewajiban perawat terhadap pasien, dalam hal ini
perawat tidak melakukan tindakan keperawatan sesuai standar profesi

15
keperawatan, dan bentuk kelalaian perawat ini termasuk dalam bentuk
Nonfeasance.
Terdapat beberapa hal yang memungkinkan perawat tidak melakukan tindakan
keperawatan dengan benar, diantaranya sebagai berikut:

a. Perawat tidak kompeten (tidak sesuai dengan kompetensinya)


b. Perawat tidak mengetahui SAK dan SOP
c. Perawat tidak memahami standar praktek keperawatan
d. Rencana keperawatan yang dibuat tidak lengkap
e. Supervise dari ketua tim, kepala ruangan atau perawat primer tidak
dijalankan dengan baik
f. Tidak mempunyai tool evaluasi yang benar dalam supervise keperawatan
g. Kurangnya komunikasi perawat kepada pasien dan kelaurga tentang segala
sesuatu yang berkaitan dengan perawatan pasien. Karena kerjasama pasien
dan keluarga merupakan hal yang penting.
h. Kurang atau tidak melibatkan keluarga dalam merencanakan asuhan
keperawatan

2. Dampak – dampak kelalaian


a. Terhadap Pasien
1) Terjadinya kecelakaan atau injury dan dapat menimbulkan masalah
keperawatan baru
2) Biaya Rumah Sakit bertambah akibat bertambahnya hari rawat
3) Kemungkinan terjadi komplikasi/munculnya masalah
kesehatan/keperawatan lainnya.
4) Terdapat pelanggaran hak dari pasien, yaitu mendapatkan perawatan
sesuai dengan standar yang benar.
5) Pasien dalam hal ini keluarga pasien dapat menuntut pihak Rumah Sakit
atau perawat secara peroangan sesuai dengan ketententuan yang
berlaku, yaitu KUHP.
b. Perawat sebagai individu/pribadi

16
1) perawat tidak dipercaya oleh pasien, keluarga dan juga pihak profesi
sendiri, karena telah melanggar prinsip-prinsip moral/etik keperawatan,
antara lain:
a) Beneficience, yaitu tidak melakukan hal yang sebaiknya dan
merugikan pasien
b) Veracity, yaitu tidak mengatakan kepada pasien tentang tindakan-
tindakan yang harus dilakukan oleh pasien dan keluarga untuk dapat
mencegah pasien jatuh dari tempat tidur
c) Avoiding killing, yaitu perawat tidak menghargai kehidupan
manusia, jatuhnya pasien akan menambah penderitaan pasien dan
keluarga.
d) Fidelity, yaitu perawat tidak setia pada komitmennya karena
perawat tidak mempunyai rasa “caring” terhadap pasien dan
keluarga, yang seharusnya sifat caring ini selalu menjadi dasar dari
pemberian bantuan kepada pasien.
2) Perawat akan menghadapai tuntutan hukum dari keluarga pasien dan
ganti rugi atas kelalaiannya sesuai KUHP.
3) Terdapat unsur kelalaian dari perawat, maka perawat akan mendapat
peringatan baik dari atasannya (Kepala ruang – Direktur RS) dan juga
organisasi profesinya.
c. Bagi Rumah Sakit
1) Kurangnya kepercayaan masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas
pelayanan kesehatan RS
2) Menurunnya kualitas keperawatan, dan kemungkinan melanggar visi
misi Rumah Sakit
3) Kemungkinan RS dapat dituntut baik secara hukum pidana dan perdata
karena melakukan kelalaian terhadap pasien
4) Standarisasi pelayanan Rumah Sakit akan dipertanyakan baik secara
administrasi dan prosedural
d. Bagi profesi
1) Kepercayaan masyarakat terhadap profesi keperawatan berkurang,
karena menganggap organisasi profesi tidak dapat menjamin kepada

17
masyarakat bahwa perawat yang melakukan asuhan keperawatan adalah
perawat yang sudah kompeten dan memenuhi standar keperawatan.
2) Masyarakat atau keluarga pasien akan mempertanyakan mutu dan
standarisasi perawat yang telah dihasilkan oleh pendidikan keperawatan

3. Hal yang perlu dilakukan dalam upaya pencegahan dan perlindungan bagi
penerima pelayanan asuhan keperawatan, adalah sebagai berikut:
# Bagi Profesi atau Organisasi Profesi keperawatan :

a. Bagi perawat secara individu harus melakukan tindakan


keperawatan/praktek keperawatan dengan kecermatan dan ketelitian.
b. Perlunya standarisasi praktek keperawatan yang di buat oleh organisasi
profesi dengan jelas dan tegas.
c. Perlunya suatu badan atau konsil keperawatan yang menyeleksi perawat
yang sebelum bekerja pada pelayanan keperawatan dan melakukan praktek
keperawatan.
d. Memberlakukan segala ketentuan/perundangan yang ada kepada
perawat/praktisi keperawatan sebelum memberikan praktek keperawatan
sehingga dapat dipertanggung jawabkan baik secara administrasi dan
hukum, missal: SIP dikeluarkan dengan sudah melewati proses-proses
tertentu.

Bagi Rumah Sakit dan Ruangan

a. Hendaknya Rumah Sakit melakukan uji kompetensi sesuai standarisasi


yang telah ditetapkan oleh profesi keperawatan
b. Rumah Sakit dalam hal ini ruangan rawat melakukan uji kompetensi pada
bidangnya secara bertahap dan berkesinambungan.
c. Rumah Sakit/Ruang rawat dapat melakukan system regulasi keperawatan
yang jelas dan sesuai dengan standar, berupa registrasi, sertifikasi, lisensi
bagi perawatnya.
d. Perlunya pelatihan atau seminar secara periodic bagi semua perawat
berkaitan dengan etik dan hukum dalam keperawatan.
18
e. Ruangan rawat harus membuat SAK atau SOP yang jelas dan sesuai dengan
standar praktek keperawatan.
f. Bidang keperawatan/ruangan dapat memberikan pembinaan kepada
perawat yang melakukan kelalaian.
g. Ruangan dan RS bekerjasama dengan organisasi profesi dalam pembinaan
dan persiapan pembelaan hukum bila ada tuntutan dari keluarga.

Penyelesaian Kasus Tn.T dan kelalaian perawat diatas, harus memperhatikan


berbagai hal baik dari segi pasien dan kelurga, perawat secara perorangan, Rumah
Sakit sebagai institusi dan juga bagaimana padangan dari organisasi profesi.

Pasien dan keluarga perlu untuk dikaji dan dilakukan testomoni atas kejadian
tersebut, bila dilihat dari kasus bahwa Tn.T dan kelurga telah diberikan penjelasan
oleh perawat sebelum, bila membutuhkan sesuatu dapat memanggil perawat dengan
menggunakan alat bantu yang ada. Ini menunjukkan juga bentuk kelalaian atau
ketidakdisiplinan dari pasien dan keluarga atas jatuhnya Tn.T.

Segi perawat secara perorangan, harus dilihat dahulu apakah perawat tersebut
kompeten dan sudah memiliki Surat ijin perawat, atau lainnya sesuai ketentuan
perudang-undangan yang berlaku, apa perawat tersebut memang kompeten dan
telah sesuai melakukan praktek asuhan keperawatan pada pasien dengan stroke,
seperti Tn.T.

Tetapi bagaimanapun perawat harus dapat mempertanggung jawabkan semua


bentuk kelalaian sesuai aturan perundangan yang berlaku.

Bagi pihak Rumah Sakit, harus juga memberikan penjelasan apakah perawat yang
dipekerjakan di Rumah Sakit tersebut telah memenuhi syarat-syarat yang
diperbolehkan oleh profesi untuk mempekerjakan perawat tersebut. Apakah RS
atau ruangan tempat Tn.T dirawat mempunyai standar (SOP) yang jelas. Dan harus
diperjelas bagaimana Hubungan perawat sebagai pemberi praktek asuhan
keperawatan dan kedudukan RS terhadap perawat tersebut.

Bagi organisasi profesi juga harus diperhatikan beberapa hal yang memungkinkan
perawat melakukan kelalaian, organisasi apakah sudah mempunyai standar profesi

19
yang jelas dan telah diberlakukan bagi anggotannya, dan apakah profesi telah
mempunyai aturan hukum yang mengikat anggotannya sehingga dapat
mempertanggungjawabkan tindakan praktek keperawatannya dihadapan hukum,
moral dan etik keperawatan.

Keputusan ada atau tidaknya kelalaian/malpraktek bukanlah penilaian atas hasil


akhir pelayanan praktek keperawatan pada pasien, melainkan penilaian atas sikap
dan tindakan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan oleh tenaga medis
dibandingkan dengan standar yang berlaku.

20
BAB III
Penutup

3.1. Kesimpulan

Setelah menjabarkan pembahasan dari masalah makalah ini, maka dapat


disimpulkan bahwa malapraktik adalah kelalaian seseorang dalam merawat atau
mengobati. Dalam malapraktik ada dua istilah yaitu kelalaian dan malapraktik
sendiri, tetapi keduannya tidak sama karena malapraktik sifatnya lebih spesifik.
Dalam menangani kasus mala praktik, hukum di Indonesia menggunakan
hukum substantive yaitu hokum pidana, hokum perdata dan hokum administrasi
dalam kasus maulana dalah salah satu koban malapraktik.Dia seorang bayi sehat
yang mendapat imunisasi tiga sekaligus.Setelah imunisasi maulana mengalami
penurunan kesehatan yang akhirnya membuat maulana lumpuh.Orang tua maulana
mengguagat tetapi gagal.Dari kasus ini belum ada penyelesaian ataupun ganti rugi
dari pihak kesehatan.

3.2.Saran
Adapun saran penulis adalah sebagai berikut :
a. Sebagai jasa layanan kesehatan lebih bertanggung jawab dengan apa yang
dilakukan.
b. Sebaiknya lakukanlah layanan kesehatan secara hati-hati dan professional.
c. Sebagai pengguan jasa layanan kesehatan (masyarakat) sebaiknya lebih
teliti dalam mengurusi masalah kesehatan.

21
Daftar Pustaka

Bawono, Bambang Tri. 2011. Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanggul
angan Malpraktik Profesi Medis. Jurnal Hukum Unissula
Age,Julianus.2002.Malpraktik Dalam Keperawatan.Jakarta.EGC

22

Anda mungkin juga menyukai