Pendahuluan
Sorotan masyarakat yang cukup tajam atas jasa pelayanan kesehatan oleh
tenaga kesehatan, khususnya dengan terjadinya berbagai kasus yang menyebabkan
ketidakpuasan masyarakat memunculkan isu adanya dugaan malpraktek medis
yang secara tidak langsung dikaji dari aspek hukum dalam pelayanan kesehatan,
karena penyebab dugaan malpraktek belum tentu disebabkan oleh adanya
kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.
Dewasa ini perkembangan keperawatan di Indonesia telah mengalami
perubahan yang sangat pesat menuju kepada perkembangan keperawatan sebagai
profesi. Proses ini merupakan suatu proses berubah yang sangat mendasar dan
konsepsional, yang mencakup seluruh aspek keperawatan baik aspek
pelayanan/asuhan keperawatan, aspek pendidikan, pengembangan dan
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan tehnologi, serta kehidupan keprofesian dalam
keperawatan. Perkembangan keperawatan menuju perkembangan keperawatan
sebagai profesi dipengaruhi oleh berbagai perubahan yang cepat sebagai akibat
tekanan globalisasi yang juga menyentuh perkembangan keperawatan profesional
termasuk tekanan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi keperawatan
yang pada hakekatnya harus diimplementasikan pada perkembangan keperawatan
profesional di Indonesia.
1
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
2
BAB II
Pembahasan
Adapun jenis – jenis malpraktek ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum
dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu malpraktek etik (ethical malpractice)
dan malpraktik yuridis (yuridical malpractice)
1) Malpraktek Etik
3
dituangkan dalam Kode Etik Perawat merupakan seperangkat standar etis, prinsip,
aturan atau norma yang berlaku untuk seluruh perawat
2) Malpraktek Yuridis
4
c. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence). Misalnya terjadi
cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga
kesehatan yang kurang hati – hati. Contoh : seorang bayi berumur 3
bulan yang jarinya terpotong pada saat perawat akan melepas bidai
yang dipergunakan untuk memfiksasi infus.
3) Malpraktek Administratif (Administrative Malpractice)
Malpraktek administratif terjadi apabila tenaga kesehatan
melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku,
misalnya menjalankan praktek bidan tanpa lisensi atau izin praktek,
melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau izinnya,
menjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan menjalankan
praktek tanpa membuat catatan medik.
5
g. Tidak memberikan pertolongan atau bantuan (pasal 351).
h. Memberikan atau membuat obat palsu (pasal 386).
6
“Pelaksanaan pengobatan dan perawatan berdasarkan ilmu
kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan”.
h. Pasal 65 ayat (1)
“Transplantasi organ dan jaringan tubuh hanya dapat dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu”.
i. Pasal 68 ayat (1)
“Pemasangan implan obat dan alat kesehatan kedalam tubuh
manusia hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan serta dilakukan fasilitas
pelayanan kesehatan tertentu”.
j. Pasal 69 ayat (1)
“Bedah Plastik dan rekonstruksi hanya dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan”.
k. Pasal 76
Aborsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 hanya dapat
dilakukan :
1) Sebelum kehamilan berumur 6(enam) minggu dihitung hari
pertama haid terakhir, kecuali dalam hal kedaruratan medis.
2) Oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan
kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh
menteri
3) Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan.
4) Dengan izin resmi, kecuali korban perkosaan
5) Penyedia layanan kesehatan yang memahami syarat dan
ditetapkan oleh menteri.
l. Pasal 108 ayat (1)
Praktik kefarmasian yang meliputi perbuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep
dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan
7
obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan
yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
m. Pasal 121 ayat (1)
“Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat
dilakukan oleh dokter sesuai dengan keahlian dan kewenangannya”.
n. Pasal 124
“Tindakan bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan
sesuai norma agama, norma kesusilaan dan etika profesi.
o. Pasal 190 ayat (1 dan 2)
Ayat (1): Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga
kesehatan yang melakukan praktek atau pekerjaan pada fasilitas
pelayanan kesehatan dengan sengaja tidak memberikan pertolongan
pertama terhadap pasienyang dalam keadaan gawat darurat
sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 ayat (2) atau pasal 85 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
denda paling banyak Rp.200.000.000 ( dua ratus juta rupiah).
Ayat (2) : Dalam hal perbuatan senagaimana dimaksud ayat (1)
mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan
fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan tersebut dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
p. Pasal 198
“Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk
melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam pasal
108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000
(seratus juta rupiah).
q. Pasal 201 ayat ( 1 dan 2)
Ayat (1) : Dalam hal tindak pidana sebagaimana maksud dalam
pasal 190 ayat (1), pasal 191, pasal 192, pasal 196, pasal 197, pasal
198, pasal 199 dan pasal 200 dilakukan oleh korporasi. Selain
pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat
8
dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan 3 (tiga)
kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam pasal 190 ayat
(1), pasal 192, pasal 197, pasal 198, pasal 199, dan pasal 200.
Ayat (2) : Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
1. Pencabutan izin usaha.
2. Pencabutan status badan hukum.
10
malpraktek yang sangat jelas. Misalnya, adanya perselisihan antara pelaku
malpraktek dengan pasien atau keluarganya.
Pembuktian Malpraktek
Agama Islam mengajarkan bahwa tuduhan harus dibuktikan.
Demikian pula, tuduhan malparaktek harus diiringi dengan bukti, dan jika
terbukti harus ada pertanggungjawaban dari pelakunya. Ini adalah salah
satu wujud keadilan dan kemuliaan ajaran Islam. Jika tuduhan langsung
diterima tanpa bukti, dokter dan paramedis terzhalimi, dan itu bisa
membuat mereka meninggalkan profesi mereka, sehingga akhirnya
membahayakan kehidupan umat manusia. Sebaliknya, jika tidak ada
pertanggungjawaban atas tindakan malpraktek yang terbukti, pasien
terzhalimi, dan para dokter bisa jadi berbuat seenak mereka.
Dalam dugaan malpraktek, seorang hakim bisa memakai bukti-
bukti yang diakui oleh syariat sebagai berikut:
1. Pengakuan Pelaku Malpraktek (Iqrâr ).
Iqrar adalah bukti yang paling kuat, karena merupakan persaksian
atas diri sendiri, dan ia lebih mengetahuinya. Apalagi dalam hal yang
membahayakan diri sendiri, biasanya pengakuan ini menunjukkan
kejujuran.
2. Kesaksian (Syahâdah).
Untuk pertanggungjawaban berupa qishash dan ta'zîr, dibutuhkan
kesaksian dua pria yang adil. Jika kesaksian akan mengakibatkan tanggung
jawab materiil, seperti ganti rugi, dibolehkan kesaksian satu pria ditambah
dua wanita. Adapun kesaksian dalam hal-hal yang tidak bisa disaksikan
selain oleh wanita, seperti persalinan, dibolehkan persaksian empat wanita
tanpa pria. Di samping memperhatikan jumlah dan kelayakan saksi,
hendaknya hakim juga memperhatikan tidak memiliki tuhmah
(kemungkinan mengalihkan tuduhan malpraktek dari dirinya) .
3. Catatan Medis.
11
Yaitu catatan yang dibuat oleh dokter dan paramedis, karena
catatan tersebut dibuat agar bisa menjadi referensi saat dibutuhkan. Jika
catatan ini valid, ia bisa menjadi bukti yang sah.
12
Pihak yang bertanggung jawab
Tanggung-jawab dalam malpraktek bisa timbul karena seorang
dokter melakukan kesalahan langsung, dan bisa juga karena menjadi
penyebab terjadinya malpraktek secara tidak langsung. Misalnya, seorang
dokter yang bertugas melakukan pemeriksaan awal sengaja
merekomendasikan pasien untuk merujuk kepada dokter bedah yang tidak
ahli, kemudian terjadi malpraktek. Dalam kasus ini, dokter bedah adalah
adalah pelaku langsung malpraktek, sedangkan dokter pemeriksa ikut
menyebabkan malpraktek secara tidak langsung.
Jadi, dalam satu kasus malpraktek kadang hanya ada satu pihak
yang bertanggung-jawab. Kadang juga ada pihak lain lain yang ikut
bertanggung-jawab bersamanya. Karenanya, rumah sakit atau klinik juga
bisa ikut bertanggung-jawab jika terbukti teledor dalam tanggung-jawab
yang diemban, sehingga secara tidak langsung menyebabkan terjadinya
malpraktek, misalnya mengetahui dokter yang dipekerjakan tidak ahli.
13
2.5. Kasus :
Tn.T umur 55 tahun, dirawat di ruang 206 perawatan neurologi Rumah Sakit
AA, tn.T dirawat memasuki hari ketujuh perawatan. Tn.T dirawat di ruang tersebut
dengan diagnosa medis stroke iskemic, dengan kondisi saat masuk Tn.T tidak sadar,
tidak dapat makan, TD: 170/100, RR: 24 x/mt, N: 68 x/mt. Kondisi pada hari
ketujuh perawatan didapatkan Kesadaran compos mentis, TD: 150/100, N: 68,
hemiparese/kelumpuhan anggota gerak dextra atas dan bawah, bicara pelo, mulut
mencong kiri. Tn.T dapat mengerti bila diajak bicara dan dapat menjawab
pertanyaan dengan baik tetapi jawaban Tn.T tidak jelas (pelo). Tetapi saat sore hari
sekitar pukul 17.00 wib terdengar bunyi gelas plastik jatuh dan setelah itu terdengar
bunyi seseorang jatuh dari tempat tidur, diruang 206 dimana tempat Tn.T dirawat.
Saat itu juga perawat yang mendengar suara tersebut mendatangi dan masuk ruang
206, saat itu perawat mendapati Tn.T sudah berada dilantai dibawah tempat
tidurnya dengan barang-barang disekitarnya berantakan.
Ketika peristiwa itu terjadi keluarga Tn.T sedang berada dikamar mandi,
dengan adanya peristiwa itu keluarga juga langsung mendatangi tn.T, keluarga juga
terkejut dengan peristiwa itu, keluarga menanyakan kenapa terjadi hal itu dan
mengapa, keluarga tampak kesal dengan kejadian itu. Perawat dan keluarga
menanyakan kepada tn.T kenapa bapak jatuh, tn.T mengatakan ”saya akan
mengambil minum tiba-tiba saya jatuh, karena tidak ada pegangan pada tempat
tidurnya”, perawat bertanya lagi, kenapa bapak tidak minta tolong kami ” saya pikir
kan hanya mengambil air minum”.
Dua jam sebelum kejadian, perawat merapikan tempat tidur tn.T dan
perawat memberikan obat injeksi untuk penurun darah tinggi tetapi perawat lupa
memasang side drill tempat tidur tn.T kembali. Tetapi saat itu juga perawat
memberitahukan pada pasien dan keluarga, bila butuh sesuatu dapat memanggil
perawat dengan alat yang tersedia.
ANALISA KASUS
Contoh kasus di atas merupakan salah satu bentuk kasus kelalaian dari
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan, seharusnya perawat memberikan
14
rasa aman dan nyaman kepada pasien (Tn.T). rasa nyaman dan aman salah satunya
dengan menjamin bahwa Tn.T tidak akan terjadi injuri/cedera, karena kondisi Tn.T
mengalami kelumpuhan seluruh anggota gerak kanan, sehingga mengalami
kesulitan dalam beraktifitas atau menggerakan tubuhnya.
Pada kasus diatas menunjukkan bahwa kelalaian perawat dalam hal ini lupa
atau tidak memasang pengaman tempat tidur (side drill) setelah memberikan obat
injeksi, sehingga dengan tidak adanya penghalang tempat tidur membuat Tn.T
merasa leluasa bergerak dari tempat tidurnya tetapi kondisi inilah yang
menyebabkan Tn.T terjatuh.
Bila melihat dari hubungan perawat – pasien dan juga tenaga kesehatan lain
tergambar pada bentuk pelayanan praktek keperawatan, baik dari kode etik dan
standar praktek atau ilmu keperawatan. Pada praktek keperawatan, perawat dituntut
untuk dapat bertanggung jawab baik etik, disiplin dan hukum. Dan prinsipnya
dalam melakukan praktek keperawatan, perawat harus menperhatikan beberapa hal,
yaitu: Melakukan praktek keperawatan dengan ketelitian dan kecermatan, sesuai
standar praktek keperawatan, melakukan kegiatan sesuai kompetensinya, dan
mempunyai upaya peningkatan kesejaterahan serta kesembuhan pasien sebagai
tujuan praktek.
Kelalaian implikasinya dapat dilihat dari segi etik dan hukum, bila
penyelesaiannya dari segi etik maka penyelesaiannya diserahkan dan ditangani oleh
profesinya sendiri dalam hal ini dewan kode etik profesi yang ada diorganisasi
profesi, dan bila penyelesaian dari segi hukum maka harus dilihat apakah hal ini
sebagai bentuk pelanggaran pidana atau perdata atau keduannya dan ini
membutuhkan pakar dalam bidang hukum atau pihak yang berkompeten dibidang
hukum.
Bila dilihat, maka kasus Tn.T merupakan kelalaian dengan alasan, sebagai berikut:
15
keperawatan, dan bentuk kelalaian perawat ini termasuk dalam bentuk
Nonfeasance.
Terdapat beberapa hal yang memungkinkan perawat tidak melakukan tindakan
keperawatan dengan benar, diantaranya sebagai berikut:
16
1) perawat tidak dipercaya oleh pasien, keluarga dan juga pihak profesi
sendiri, karena telah melanggar prinsip-prinsip moral/etik keperawatan,
antara lain:
a) Beneficience, yaitu tidak melakukan hal yang sebaiknya dan
merugikan pasien
b) Veracity, yaitu tidak mengatakan kepada pasien tentang tindakan-
tindakan yang harus dilakukan oleh pasien dan keluarga untuk dapat
mencegah pasien jatuh dari tempat tidur
c) Avoiding killing, yaitu perawat tidak menghargai kehidupan
manusia, jatuhnya pasien akan menambah penderitaan pasien dan
keluarga.
d) Fidelity, yaitu perawat tidak setia pada komitmennya karena
perawat tidak mempunyai rasa “caring” terhadap pasien dan
keluarga, yang seharusnya sifat caring ini selalu menjadi dasar dari
pemberian bantuan kepada pasien.
2) Perawat akan menghadapai tuntutan hukum dari keluarga pasien dan
ganti rugi atas kelalaiannya sesuai KUHP.
3) Terdapat unsur kelalaian dari perawat, maka perawat akan mendapat
peringatan baik dari atasannya (Kepala ruang – Direktur RS) dan juga
organisasi profesinya.
c. Bagi Rumah Sakit
1) Kurangnya kepercayaan masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas
pelayanan kesehatan RS
2) Menurunnya kualitas keperawatan, dan kemungkinan melanggar visi
misi Rumah Sakit
3) Kemungkinan RS dapat dituntut baik secara hukum pidana dan perdata
karena melakukan kelalaian terhadap pasien
4) Standarisasi pelayanan Rumah Sakit akan dipertanyakan baik secara
administrasi dan prosedural
d. Bagi profesi
1) Kepercayaan masyarakat terhadap profesi keperawatan berkurang,
karena menganggap organisasi profesi tidak dapat menjamin kepada
17
masyarakat bahwa perawat yang melakukan asuhan keperawatan adalah
perawat yang sudah kompeten dan memenuhi standar keperawatan.
2) Masyarakat atau keluarga pasien akan mempertanyakan mutu dan
standarisasi perawat yang telah dihasilkan oleh pendidikan keperawatan
3. Hal yang perlu dilakukan dalam upaya pencegahan dan perlindungan bagi
penerima pelayanan asuhan keperawatan, adalah sebagai berikut:
# Bagi Profesi atau Organisasi Profesi keperawatan :
Pasien dan keluarga perlu untuk dikaji dan dilakukan testomoni atas kejadian
tersebut, bila dilihat dari kasus bahwa Tn.T dan kelurga telah diberikan penjelasan
oleh perawat sebelum, bila membutuhkan sesuatu dapat memanggil perawat dengan
menggunakan alat bantu yang ada. Ini menunjukkan juga bentuk kelalaian atau
ketidakdisiplinan dari pasien dan keluarga atas jatuhnya Tn.T.
Segi perawat secara perorangan, harus dilihat dahulu apakah perawat tersebut
kompeten dan sudah memiliki Surat ijin perawat, atau lainnya sesuai ketentuan
perudang-undangan yang berlaku, apa perawat tersebut memang kompeten dan
telah sesuai melakukan praktek asuhan keperawatan pada pasien dengan stroke,
seperti Tn.T.
Bagi pihak Rumah Sakit, harus juga memberikan penjelasan apakah perawat yang
dipekerjakan di Rumah Sakit tersebut telah memenuhi syarat-syarat yang
diperbolehkan oleh profesi untuk mempekerjakan perawat tersebut. Apakah RS
atau ruangan tempat Tn.T dirawat mempunyai standar (SOP) yang jelas. Dan harus
diperjelas bagaimana Hubungan perawat sebagai pemberi praktek asuhan
keperawatan dan kedudukan RS terhadap perawat tersebut.
Bagi organisasi profesi juga harus diperhatikan beberapa hal yang memungkinkan
perawat melakukan kelalaian, organisasi apakah sudah mempunyai standar profesi
19
yang jelas dan telah diberlakukan bagi anggotannya, dan apakah profesi telah
mempunyai aturan hukum yang mengikat anggotannya sehingga dapat
mempertanggungjawabkan tindakan praktek keperawatannya dihadapan hukum,
moral dan etik keperawatan.
20
BAB III
Penutup
3.1. Kesimpulan
3.2.Saran
Adapun saran penulis adalah sebagai berikut :
a. Sebagai jasa layanan kesehatan lebih bertanggung jawab dengan apa yang
dilakukan.
b. Sebaiknya lakukanlah layanan kesehatan secara hati-hati dan professional.
c. Sebagai pengguan jasa layanan kesehatan (masyarakat) sebaiknya lebih
teliti dalam mengurusi masalah kesehatan.
21
Daftar Pustaka
Bawono, Bambang Tri. 2011. Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penanggul
angan Malpraktik Profesi Medis. Jurnal Hukum Unissula
Age,Julianus.2002.Malpraktik Dalam Keperawatan.Jakarta.EGC
22