Tugas Hukum Agraria
Tugas Hukum Agraria
69/PUU/XIII/2015
BAB 1
1. Latar Belakang
Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vitas bagi
manusia, baik dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan
(pendukung mata pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian, perkebunan,
peternakan, perikanan, industri, maupun yang di pergunakan sebagai tempat untuk
bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai tempat tinggal.
Kelemahan yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu terdapat
dalam Undang – undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Peraturan Dasar Pokok –
pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), yang merupakan pelaksanaan dari
ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang – undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa
bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar – besar kemakmuran rakyat. Adapun
pengejawantahan lebih lanjut mengenai hukum tanah banyak tersebar dalam berbagai
peraturan perundang – undangan lainnya seperti Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak guna Bangunan, dan Hak Pakai atas
Tanah, Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan
Pemberian Ha katas Tanah, dan lain – lain.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut
permukaan bumi. Tanah yang di maksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam
segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam
pengerian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebut dalam
Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu “Atas dasar hak mengusai dari negara sebagai yang di
maksud dalam Pasal 2 ditemukan adanya macam – macam ha katas permukaan bumi
yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunya oleh orang – orang baik
sendiri maupun bersama – sama dengan orang lain serta badan – badan hukum”.
Berdasarkan latar belakang diatas Kami bermaksud membuat Makalah dengan
judul “Penegakan Hukum Atas Putusan Mahkamah Kontitusi Np. 69/PPU/X-
II/2015”.
2. Rumusan Masalah
Pemohon adalah warga negara asing, dan pemohon tidak memiliki Perjanjian
Perkawinan. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka
permasalahan yang akan di bahas dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana prosedur perolehan hak atas tanah bagi perempuan WNI yang
terikat perkawinan campuran ?
2. Kendala-kendala dan solusi yang timbul dalam memperoleh Hak Atas Tanah
bagi Perempuan WNI yang terikat Perkawinan Campuran (Studi Kasus
Putusan MK Nomor. 69/PUU XIII/2015)?
3. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian makalah ini antara lain
adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai seumbangan
kepustakaan dalam memperbanyak referensi ilmu hukum, khusunya di
bidang hukum agrarian.
2. Manfaat Praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan bagi
pihak-pihak yang berkepentingan dalam masalah hukum agrarian, khusunya
dalam masalah tanah hak pakai.
BAB2
1
Happy susanto;2008, Pembagian harta gono gini saat terjadi perceraian pentingnya perjanjian
perkawinan untuk mengantisipasi masalah harta gono gini, Visimedia, Jakarta, h. 86-87.
sebagaimana ketentuan pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) UUDNRI 1945 bersama
dengan DPR berwenang membuat undang-undang. Sudah tentu kepentingan
pemerintah tidak saja dalam rangka kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi
warga negaranya termasuk yang melakukan kawin campuran, tetapi yang tidak kalah
penting adalah kepentingan negara yang harus diletakkan di atas kepentingan pribadi
maupun golongan. Dalam kaitan ini dimana terhadap perjanjian perkawinan dalam hal
terjadinya perkawinan campuran secara konstitusional perlu dicegah untuk tidak
terjadi penyelundupan hukum yaitu dalam kepemilikan Hak Milik/HGB atas tanah
yang berdasarkan perinsip nasionalitas yang dianut UU Perkawinan hanya WNI yang
berhak memiliki Hak Milik/HGB atas tanah sebagaimana pasal 21 ayat (3) dan 26
ayat (1) UUPA. Kalaupun demikian dalam keterangan pemerintah pada bagian akhir
petitum pemerintah menyerahkan kepada majelis hakim MK untuk memberi putusan
yang seadil-adilnya.
Mahkamah Konstitusi setelah memperhatikan keterangan pemerintah,
keterangan ahli dan beberapa keterangan saksi terkait dengan alasan permohonan
pemohon, ternyata MK sesuai putusannya No.69/PUU-XIII/2015 memberi amar
putusan yang berbeda dengan pemerintah. Tetapi sesuai dengan persyaratan putusan
MK agar mengikat setiap warganegara termasuk pemerintah telah memerintahkan
agar putusan MK tersebut dimuat dalam berita negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya. Dengan demikian kalaupun dalam penegakan hukum
penerapan hukum bagi permohonan pemohon untuk pengujian pasal 29 ayat (1), ayat
(3), dan ayat (4) UU Perkawinan terhadap UUDNRI 1945 mengalami dilema karena
perbedaan pandangan dan kepentingan pemerintah, pihak pemohon, maupun majelis
hakim, namun hal itu telah menjadi putusan hukum yang harus ditaati oleh semua
pihak termasuk oleh pemerintah.
Sebagai implikasi dari putusan MK tersebut dalam pelaksanaannya kemudian
di masyarakat juga akan dilematis. Hal ini dimungkinkan akan terjadinya pembuatan
maupun perubahan terhadap perjanjian kawin dari pasangan suami istri yang selama
ini telah menentukan sikap terhadap harta perkawinannya terjadi perpisahan karena
ada perjanjian kawin atau persatuan harta karena tidak ada perjanjian kawin. Kondisi
ini tentu menimbulkan ketidak pastian hukum bagi para pihak suami istri tentang
kedudukannya terhadap harta perkawinan. Namun disisi lain merupakan hal yang
menyenangkan bagi suami istri perkawinan campuran yang masih mempertahankan
status WNI-nya untuk mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum dalam
kepemilikan Hak Milik/HGB atas tanah di Indonesia. Karena itu, justru akan
meniadakan kesan munculnya penyelundupan hukum berkenaan dengan perkawinan
campuran.
Perjanjian perkawinan dikaitkan dengan harta bersama yang tersangkut
dengan tanah, maka Arie Suskanti Hutagalung2 dalam keterangannya sebagai saksi
ahli antara lain mengatakan bahwa pengertian “harta bersama”,khususnya mengenai
tanah inilah yang kemudian menjadi masalah dalam praktek. Banyak pihak
beranggapan, bahwa karena menjadi harta bersama, maka penguasaan dan
kepemilikannya baik fisik maupun yuridis menjadi “milik bersama”,sehingga
berakibat bagi pelaku perkawinan campuran, sekalipun tanah Hak Milik ataupun
HGB yang dimiliki terdaftar atas nama si-WNI menjadi “milik bersama”,dengan
WNA. Hal ini berakibat ketentuan pasal 21 ayat (3) UUPA tetap berlaku dan akhirnya
berdampak pada hilangnya hak konstitusional seorang WNI untuk mempunyai tanah
dengan status Hak Milik dan HGB di Indonesia. Oleh karenanya ahli setuju bahwa
dikeluarkannya Hak Milik dan HGB dari harta bersama oleh WNI yang melakukan
kawin campur. Dengan adanya pengawasan yang diperketat apabila terjadi peristiwa
hukum yang menyebabkan Hak Milik dan HGB tersebut jatuh ketangan orang asing”.
Berbeda yang diungkapkan oleh Yusril Ihza Mahendra dalam keterangan saksi
ahlinya menyatakan bahwa Mahkamah akan sangat bijak untuk mempertimbangkan
penafsiran harta benda yang akan diperoleh dalam perkawinan sebagai harta bersama
tidaklah dalam konteks artinya hak milik, tetapi memang dia sebagai perkongsian atas
harta itu, tetapi bukan dalam pengertian yang yuridis. Dengan demikian, harta tanah
dan/ atau rumah beralih menjadi hak milik apabila memang perkawinan terputus, baik
cerai hidup maupun cerai mati. Disitulah ketentuan pasal 21 ayat (3) UUPA berlaku.
Oleh karena itu, penafsiran tersebut menjadikan hak-hak konstitusional warga negara
tidak menjadi hilang. Menurut ahli, sangatlah aneh apabila seorang WNI haknya
berkurang karena melakukan perkawinan dengan WNA yang disebabkan oleh
larangan untuk memiliki Hak Milik dan Hak Guna Bangunan.
Dari pro-kontra pandangan yang diungkapkan tersebut diatas memang nampak
penegakan hukum atas putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 merupakan penegakan
hukum yang dilematis, namun demikian perlu disadari bahwa selalu ada romantika
2
Majalah Mahkamah Konstitusi No.117 Edisi November 2016, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Jakarta,2016, h.14. Lihat juga Putusan MK No.69/PUU-XIII/2015 Hlm. 98-105
dan dinamika dalam kehidupan berumah tangga. Dinamika kehidupan merupakan
siklus yang akan dilewati selama mengarungi bahtera rumah tangga. Dinamika
tersebut antara lain memunculkan adanya kebutuhan untuk membuat perjanjian
perkawinan bukan hanya perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat
perkawinan berlangsung, tetapi juga perjanjian perkawinan selama dalam ikatan
perkawinan. Perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan
berlangsung sudah diatur dalam perundang -undangan. Sedangkan perjanjian
perkawinan selama dalam ikatan perkawinan, belum diatur. Tentu diperlukan
instrumen hukum agar dapat mengakomodir permasalahan ini. Permasalahan ini harus
direspon dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya
sehingga menjamin kepastian hukum. Mahkamah Konstitusi telah memberikan jalan
keluar mengenai permasalahan ini melalui putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 yang
secara eksplisit menyatakan perjanjian perkawinan dapat dilakukan selama dalam
ikatan perkawinan.
Kesimpulan
Saran