Anda di halaman 1dari 18

Lampiran : Surat Keputusan Direktur RSU Mutia Sari

Nomor : 657.B/SK-DIR/RSU-MS/IX/2018

Tanggal : September 2018

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang :
Pada tanggal 2 Mei 2007, WHO Collaborating Center for Patient Safety resmi
menerbitkan “Nine Life Saving Patient Safety Solution” sebagai upaya untuk
mengotipmalkan program World Alliance for Patient Safety yang mendorong rumah sakit di
Indonesia melalui Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) untuk menerapkan
Sembilan Solusi “Life Saving” Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Berdasarkan sembilan
unsur solusi keselamatan pasien, komunikasi efektif merupakan salah satu peran penting
yang menduduki posisi ketiga setelah keamanan obat dan identifikasi pasien. Komunikasi
yang tidak efektif akan berdampak buruk bagi pasien, hampir 70% kejadian sentinel di
rumah sakit disebabkan karena kegagalan komunikasi dan 75% nya mengakibatkan
kematian (Linda, 2006). Selain itu standar akreditasi RS 2012 SKP.2/JCI IPSG.2
mensyaratkan agar rumah sakit menyusun cara komunikasi yang efektif, tepat waktu,
akurat, lengkap dan jelas yang bertujuan untuk mengurangi kesalahan informasi.
Australian Comission on Safety and Quality in Health Care (2009) mewajibkan seluruh
rumah sakit untuk menerapkan komunikasi efektif di instalasi rawat inap dengan
menerapkan komunikasi secara benar saat serah terima/timbang terima pasien sebagai
upaya meningkatkan keakuratan informasi dan kesinambungan perawat dalam pengobatan
dan asuhan keperawatan. Timbang terima merupakan transfer perawatan dan tanggung
jawab dari satu perawat ke perawat lain sehingga dapat memberikan perawatan yang aman
dan berkualitas.
Alvarado, lee & Christoffersen (2006) menyebutkan bahwa komunikasi berbagai
informasi yang diberikan saat timbang terima sangat membantu dalam perawatan pasien.
Timbang terima yang dilaksanakan dengan baik dapat membantu memfasilitasi
kesinambungan perawatan pasien sehingga tercipta perawatan pasien yang aman.
Sebagai upaya dalam meminimalisasi kesalahan komunikasi timbang terima pasien,
maka WHO pada tahun 2007 mewajibkan pengguna suatu standar untuk anggota negara
WHO dalam memperbaiki pola komunikasi pada saat melakukan timbang terima, dengan
menggunakan metode komunikasi Situation, Background, Assessment dan Recommendation
(SBAR).

1
Menurut modal Interprofesional Communication SBAR, komunikasi SBAR merupakan
komunikasi yang dilaksanakan secara face to face dan terdiri dari 4 komponen, yaitu
komponen S (Situation) merupakan suatu gambaran yang terjadi pada saat itu. Komponen B
(Background) merupakan situasi yang melatar belakangi situasi yang terjadi. Komponen A
(Assessment) merupakan suatu pengkajian terhadap suatu masalah dan yang terakhir adalah
komponen R (Recommendation) merupakan suatu tindakan dimana meminta saran untuk
tindakan yang benar yang seharusnya dilakukan untuk masalah tersebut.
Berdasarkan SOP komunikasi efektif SBAR harus dilaksanakan setiap pelaporan kondisi
pasien (shift) dan diikuti oleh semua perawat yang dinas saat itu (Karu/Katim dan perawat
pelaksana). Langkah-langkah komunikasi SBAR yang harus dilaksanakan yaitu persiapan
(Read First), lakukan timbang terima dengan langkah S : Situation (menyebutkan nama dan
umur pasien, tanggal masuk dan hari perawatan, nama dokter yang menangani pasien,
masalah yang ingin disampaikan), B : Background (latar belakang permasalahan, yaitu
masalah pasien sebelumnya/diagnosa keperawatan serta intervensi yang telah dilakukan
menyebutkan pemasangan alat invasif dan mengkaji pengetahuan pasien terkait diagnosa
medik), A : Assessment (kondisi pasien saat ini, hasil investigasi yang abnormal dan hasil
penunjang yang telah dilakukan), dan R : Recommendation (rekomendasi untuk
penyelesaian masalah, apakah diperlukan pemeriksaan tambahan dan tindakan lanjutan).
Pelaksanaan timbang terima yang tidak sesuai dengan standar SBAR dan tidak efektif
mengakibatkan insiden dalam keselamatan pasien berupa Kejadian Tidak Diharapkan
(KTD) dan Kejadian Tidak Diinginkan (KNC). Laporan insiden keselamatan pasien
berdasarkan provinsi pada tahun 2007 ditemukan provinsi DKI Jakarta menempati urutan
tertinggi yaitu 37,9%. Bidang spesialis unit kerja ditemukan paling banyak pada unit
penyakit dalam, bedah dan anak yaitu 56,7% dibandingkan unit kerja lain, sedangkan untuk
pelaporan jenis kejadian KNC lebih banyak dilaporkan sebesar 47,6% dibandingkan dengan
KTD sebesar 46,2% (KKP-RS, 2008). Kesalahan yang terjadi berupa keterlambatan dalam
penentuan diagnosa dan pemberian pengobatan, pemeriksaan yang berlebihan, kepuasan
pasien rendah, biaya tinggi dan hari rawat lebih lama (Yudianto, 2005).
Dari laporan-laporan di atas, tidak efektifnya pelaksanaan timbang terima sesuai standar
salah satunya dikarenakan kurangnya kepatuhan perawat akibat faktor manejemen yang
kurang baik (Sjarief, 2013). Faktor manajemen meliputi perencanaan, pengorganisasian,
pengendalian dan pengawasan (Handoko, 2013). Didukung oleh teori yang dikemukakan
Mc. Gregor bahwa pada dasarnya manusia itu senang diarahkan dan diawasi agar mereka
menjalankan tugas untuk mencapai tujuan organisasi. Salah satu tugas dari kepala ruangan
dan manager keperawatan adalah dijalankannya fungsi perawatan.

2
Didalam suatu pengawasan terdapat suatu usaha menetapkan standar pelaksanaan dengan
tujuan perencanaan, pengukuran pelaksanaan kegiatan dengan membandingkan kegiatan
nyata dengan standar yang telah ditetapkan sebelumnya (observasi), evaluasi dan
pengambilan tindakan koreksi, sehingga nantinya diketahui apakah pelaksanaan kegiatan
sesuai dengan rencana, pedoman, ketentuan, kebijakan, tujuan dan sasaran yang telah
ditentukan sebelumnya (Suarli & Bahtiar, 2009).
Ketidaksamaan pengertian antara penerima dan pengirim informasi akan menimbulkan
kegagalan dalam berkomunikasi. Dalam rangka mencegah risiko cidera pada pasien akibat
kesalahan komunikasi dan meningkatkan keselamatan pasien, diperlukan sebuah pedoman
komunikasi efektif di RSU Mutia Sari Duri.

B. Tujuan :
Untuk mengurangi kesalahan yang berhubungan dengan interpretasi komunikasi secara
lisan atau per telepon, dari perintah pemberian pengobatan atau perintah permintaan test dan
penerimaan hasil test.

C. Definisi :
Komunikasi efektif adalah komunikasi yang dilakukan tepat waktu, akurat, lengkap,
tidak bermakna ganda (Ambiguous), dan diterima oleh penerima informasi yang bertujuan
mengurangi kesalahan-kesalahan dan meningkatkan keselamatan pasien.

D. Sasaran :
Sasaran pedoman komunikasi efektif adalah mengatur komunikasi yang terjadi di RSU
Mutia Sari Duri antar Profesional Pemberi Asuhan (PPA).

E. Ruang Lingkup :
1. Panduan ini diterapkan kepada semua perintah klinis (seperti instruksi pemberian obat,
diet, terapi fisik/bicara) yang diberikan secara lisan atau per telepon, pemeriksaan cito,
nilai kritikal dan pemeriksaan diagnostik lain termasuk pencitraan, elektrokardiogram,
tes laboratorium yang membutuhkan respon segera.
2. Pelaksana panduan ini adalah semua staf klinis di semua bagian pelayanan.

3
BAB II
PRINSIP DAN KEBIJAKAN

A. Prinsip Komunikasi Efektif di RSU Mutiasari Duri sebagai berikut :


1. Pesan secara verbal atau verbal lewat telepon ditulis lengkap, dibaca ulang oleh
penerima pesan dan dikonfirmasi oleh pemberi pesan.
2. Penyampaian hasil pemeriksaan diagnostik secara verbal ditulis lengkap, dibaca ulang
dan dikonfirmasikan oleh pemberi pesan secara lengkap.
3. Rumah Sakit menetapkan besaran nilai kritis hasil pemeriksaan diagnostik dan hasil
diagnostik kritis.
4. Rumah Sakit menetapkan siapa yang harus melaporkan dan siapa yang harus
menerima nilai kritis hasil pemeriksaan diagnostik dan dicatat di Rekam Medik.
5. Ada bukti catatan tentang hal-hal kritikal dikomunikasikan di antara profesional
pemberi asuhan pada waktu dilakukan serah terima pasien (hand over).
6. Formulir, alat dan metode ditetapkan untuk mendukung proses serah terima pasien
(hand over) bila mungkin melibatkan pasien.
7. Ada bukti dilakukan evaluasi tentang catatan komunikasi yang terjadi pada waktu
serah terima pasien baik antar sif maupun antar unit.

B. Kebijakan komunikasi Efektif di RSU Mutiasari Duri sebagai berikut :


1. Rumah sakit menetapkan regulasi untuk melaksanakan proses meningkatkan efektivitas
komunikasi verbal dan atau komunikasi melalui telpon antar profesional pemberi asuhan
(PPA).
2. Komunikasi dianggap efektif bila tepat waktu, akurat, lengkap, tidak mendua
(ambiguous) dan diterima oleh penerima informasi yang bertujuan mengurangi
kesalahan-kesalahan dan meningkatkan keselamatan pasien.
3. Komunikasi yang rentan terjadi kesalahan adalah saat perintah lisan atau perintah
melalui telpon, komunikasi verbal, saat menyampaikan hasil pemeriksaan kritis yang
harus disampaikan lewat telpon. Oleh sebab itu perlu diatur dalam sebuah regulasi atau
kebijakan.
4. Pemeriksaan diagnostik kritis termasuk, tetapi tidak terbatas pada :
a. Pemeriksaaan laboratorium.
b. Pemeriksaan radiologi.
c. Prosedur ultrasonografi.
d. Pemeriksaaan diagnostik yang dilakukan di tempat tidur pasien, seperti hasil tanda-
tanda vital, bedside ultrasound.
5. Ada komunikasi efektif untuk menyampaikan informasi yang akurat dan tepat waktu di
seluruh rumah sakit termasuk yang “urgent”.

4
6. Adanya kebijakan rumah sakit siapa yang harus melaporkan dan siapa yang harus
menerima nilai kritis hasil pemeriksaan diagnostik dan dicatat direkam medik.
7. Informasi tentang asuhan pasien dan hasil asuhan dikomunikasikan antar staf klinis
selama bekerja dalam shift atau antar shift.
8. PPA (Profesional Pemberi Asuhan) yang memberikan edukasi harus mampu
memberikan edukasi secara efektif (trampil dan memiliki pengetahuan yang cukup
tentang materi yang diberikan).
9. Untuk melakukan komunikasi secara verbal atau melalui telpon dengan aman dilakukan
hal-hal sebagai berikut :
a. Pemesanan obat atau permintaan obat secara verbal sebaiknya dihindari.
b. Dalam keadaan darurat karena komunikasi secara tertulis atau komunikasi elektronik
tidak mungkin dilakukan maka harus ditetapkan panduannya meliputi permintaan
pemeriksaan, penerimaan hasil pemeriksaan dalam keadaan darurat, identifikasi dan
penetapan nilai kritis, hasil pemeriksaan diagnostik, serta kepada siapa dan oleh
siapa hasil pemeriksaan kritis di laporkan.
c. Prosedur menerima perintah lisan atau lewat telepon meliputi penulisan secara
lengkap permintaan atau hasil pemeriksaan oleh penerima informasi, penerima
membaca kembali permintaan atau hasil pemeriksaan, dan pengirim memberi
konfirmasi atas apa yang telah ditukis secara akurat.
10. Serah terima asuhan pasien (hand over) di dalam Rumah Sakit terjadi :
a. Antar Profesional Pemberi Asuhan (PPA) seperti antara staf medik dan staf medik,
antara staf medik dan staf keperawatan atau dengan staf klinis lainnya, atau antara
PPA dan PPA lainnya pada saat pertukaran sif (shift).
b. Antar berbagai tingkat layanan di dalam Rumah Sakit yang sama seperti jika pasien
dipindah dari unit intensif ke unit perawatan atau dari unit darurat ke kamar operasi
(antar unit).
c. Dari unit rawat inap ke unit layanan diagnostik atau unit tindakan seperti radiologi
atau unit terapi fisik.
11. Pemeriksaan Laboratorium :
a) Pelayanan laboratorium tersedia selama 24 jam.
b) Permintaan pemeriksaan laboratorium harus disertai identitas pasien berupa nama
lengkap dan tanggal lahir, diagnosa klinis, indikasi klinis, alasan pemeriksaan yang
rasional sesuai dengan rekam medik, alamat/ruangan pasien di rawat serta identitas
dan paraf dokter pengirim.
c) Nilai hasil test kritis laboratorium adalah hasil pemeriksaan laboratorium yang
abnormal dan mengindikasikan adanya gangguan pada fungsi fisiologi tubuh yang
harus dilakukan penanganan segera karena dapat mengancam jiwa.

5
d) Pelaporan hasil kritis adalah proses penyampaian nilai kritis pemeriksaan
laboratorium kepada dokter yang merawat dalam waktu kurang dari 30 menit.
e) Hasil kritis disampaikan oleh dokter patologi/petugas analis yang ditetapkan kepada
dokter yang mengirim permintaan atau kepada petugas yang memberikan pelayanan
langsung pada Pasien.
f) Daftar nilai kritis laboratorium :
 Pemeriksaan Hematologi Dan Hemostasis :
No Parameter Nilai Kritis Rendah Nilai Kritis Tinggi
1 Hemoglobin (dewasa) < 7 g/dl > 20 g/dl
Hemoglobin
< 8,5 g/dl > 23 g/dl
(neonatus)
2 Hematokrit < 20 % > 60 %
Hematokrit (neonatus) < 40 % > 65 %
3 Leukosit < 3000 / mm³ > 20.000 / mm³
Jumlah netrofil
4 < 1500 / mm ³ Tidak ada
absolut (ANC)
5 Trombosit < 50.000 / mm ³ > 800.000 / mm ³
Jumlah Trombosit
< 10.000 / mm ³ Tidak ada
(pasien keganasan)
Jumlah Trombosit
< 100.000 / mm ³ Tidak ada
(terapi UFH)
6 Masa Perdarahan >15 menit

 Pemeriksaan Kimia Klinik :


No Parameter Nilai Kritis Rendah Nilai Kritis Tinggi
1 Glulosa (dewasa) < 50 mg/dl > 500 mg/dl
Glulosa (neonatus) < 45 mg/dl > 300 mg/dl
2 Ureum <2 mg/dl > 80 mg/dl
3 Kreatinin Tidak ada > 4 mg/dl
4 Natrium < 120 mEq/L > 160 mEq/L
5 Kalium < 2.8 mEq/L > 6 mEq/L
Kalium
> 7 mEq/L
(neonatus/CKD)
6 Bilirubin (dewasa) >12 mg/dl
7 Bilirubin (neonatus) >15 mg/dl
7 Albumin (anak) <1.5 g/dl 6.8 g/dl
8 Kalsium 6.0 mg/dl 13 mg/dl
9 Klorida <80 mg/dl >120 mg/dl
10 Asam urat Tidak ada 13 mg/dl

6
12. Pemeriksaan radiologi :
a) Pelayanan radiologi dan diagnostik imajing tersedia selama 24 jam.
b) Permintaan pemeriksaan Radiologi harus disertai identitas pasien berupa nama
lengkap dan tanggal lahir, diagnosa klinis, indikasi klinis, alasan pemeriksaan yang
rasional sesuai dengan rekam medik, alamat/ruangan pasien di rawat serta identitas
dan paraf dokter pengirim.
c) Hasil Ekspertise pemeriksaan (radiologi diagnostik dan intervensional) oleh dokter
spesialis radiologi untuk hasil kritis dilaporkan ≤ 60 menit.
d) Nilai hasil kritis radiologi adalah hasil pemeriksaan radiologi yang abnormal dan
mengindikasikan adanya gangguan pada fungsi fisiologi tubuh yang harus dilakukan
penanganan segera karena dapat mengancam jiwa.
e) Waktu lapor hasil tes kritis radiologi adalah waktu yang diperlukan untuk
memberikan jawaban kepada dokter yang mengirim, mulai hasil ekspertise dibaca
oleh dokter spesialis radiologi sampai hasil tersebut diterima oleh dokter/ruangan
yang mengirim dalam waktu kurang dari 60 menit baik secara lisan maupun tulisan.
f) Petugas yang melaporkan hasil kritis adalah dokter radiologi atau petugas radiologi
yang ditunjuk.
g) Petugas yang menerima laporan hasil kritis adalah dokter yang mengirim
pemeriksaan atau dokter/perawat pemberi pelayanan langsung pada pasien tersebut.

7
Daftar nilai kritis pemeriksaan radiologi :

Area Kondisi kategori kritis (laporkan secara lengkap dalam


Anatomi waktu ≤ 60 menit

Kepala Fraktur/Depresi pada tengkorak

Fraktur tulang belakang cervical

Leher Abses orofaring/laring

Corpus Alienum

Dada Tension pneumothorak

Aneurisma Pecah/Impending Rupture

Emfisiema Mediastinum/Pneumomediatinum

Abdomen Perforasi Abdomen

Obstruksi Usus

Appendicitis akut

Volvulus

Perlukaan/traumatic organ dalam/Perdarahan Intra dan


Retroperitonial

Urogenital Kehamilan Ektopik

Torsio Testis/Ovarium

Umum Kesalahan lokasi pemasangan selang atau infus


(misalnya selang makan masuk kesaluran infus, ETT
terlalu dalam)

Catatan penting :
Dokter hanya perlu menganggap kondisi tersebut kritis apabila terdapat kepastian
bahwa pasien memiliki salah satu kondisi tersebut, dan terdapat kemungkinan yang
tinggi bahwa dokter yang meminta pemeriksaan tidak mengetahui kondisi tersebut
saat meminta pemeriksaan.

8
13. Diagnostik jantung :
a) Kebutuhan pemeriksaan dan pemeriksaan test diagnostik jantung dilakukan oleh
DPJP jantung/dokter yang ditunjuk.
b) Hasil kritis pemeriksaan diagnostik jantung ditetapkan oleh DPJP/dokter yang
ditunjuk memberikan pelayanan kepada pasien.
c) Hasil kritis pemeriksaan diagnostik jantung didokumentasikan oleh DPJP/dokter
yang ditunjuk memberikan pelayanan kepada pasien pada RM yaitu pada lembar
CPPT.
d) Hasil pemeriksaan test Daftar hasil kritis diagnostik jantung :
Pemeriksaan Kondisi Kategori Kritis
Elevasi segmen ST akut setinggi 1 mm atau lebih pada 2
sadapan yang bersebelahan atau lebih hanya pada kondisi
EKG awal saja
Total AV block (tanpa pacu jantung), hanya pada kondisi
Jantung awal saja
VT persisten
Cardiac Tamponade
EKG dewasa Diseksi aorta
Ruptur septum ventricular
Vegetasi

9
BAB III
TATA LAKSANA

A. Komunikasi Perintah Lisan Via Telepon dan Nilai Test Yang Kritis :
Komunikasi perintah lisan via telepon harus memperhatikan hal-hal sebagai sebagai
berikut :
1. Perintah lisan via telepon harus dituliskan dengan benar di form yang sudah ditetapkan
rumah sakit.
2. Perintah lisan via telepon tersebut diverifikasi, paraf dan tanggal perintah pada tempat
yang sudah ditentukan dalam dokumen pasien, dalam waktu 1 x 24 jam oleh dokter
pemberi pesan sebagai tanda persetujuan.
3. Penulisan pesan/perintah lisan harus dilakukan secara lengkap dan dapat terbaca dengan
jelas agar sumber pesan/perintah pesan dapat dilacak bila diperlukan verifikasi. Setiap
penulisan isi pesan/perintah lisan harus disertai dengan tanggal/jam, nama lengkap dan
tanda tangan penerima perintah, pemberi perintah, pelaksana perintah, saksi serta
keterangan.
4. Dalam penulisan pesan/perintah lisan harus menghindari penggunaan singkatan,
akronim, simbol yang berpotensi menimbulkan kesalahan dalam penulisan pesan/
perintah lisan dan dokumentasi medik (misalnya catatan keperawatan, anamnesis,
pemeriksaan fisik, pengkajian awal keperawatan, media elektronik dan sebagainya).
Prosedur komunikasi secara lisan atau melalui telepon dan nilai test yang kritis :
a. Petugas kesehatan yang melaporkan kondisi pasien/hasil tes pemeriksaan yang kritis
kepada Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP).
b. Ketika dokter memberi instruksi verbal maka petugas kesehatan menerapkan
TULBAKON (Tulis Baca Konfirmasi).
c. Petugas kesehatan yang menerima instruksi via telepon/lisan/hasil test pemeriksaan
yang kritis, menuliskan (write down) pesan yang disampaikan pemberi informasi di
lembar cacatan perkembangan pasien terintegrasi (CPPT) pada status rekam medik
pasien.
d. Petugas kesehatan yang menerima instruksi secara verbal/lisan bertanggung jawab
untuk mencatat instruksi tersebut di lembar catatan perkembangan pasien terintegrasi
(CPPT) pada status rekam medik pasien meliputi :
 Tanggal/jam pesan diterima.
 Profesional pemberi asuhan (PPA).
 Isi perintah lisan :
Misalnya untuk dosis obat yang akan diberikan dan waktu pemberian obat harus
dicatat lengkap untuk menghindari kesalahan penafsiran.

10
e. Bila perlu dokter yang memberi perintah pengobatan mengeja nama obat yang
dianggap asing, dengan menggunakan singkatan yang berlaku di RSU Mutia Sari,
sebagai berikut :

Klarifikasi dengan “phonetic alfabeth” :


A ALFA N NOVEMBER
B BRAVO O OSCAR
C CHARLIE P PAPA
D DELTA Q QUEBEC
E ECHO R ROMEO
F FANTA S SIERRA
G GOLF T TANGGO
H HOTEL U UNIFORM
I INDIA V VICTOR
J JULIET W WHISKEY
K KILO X X-RAY
L LIMA Y YANKEE
M MAMA Z ZULU

f. Untuk perintah pengobatan/pemberian obat, dokter akan menyebutkan satuan obat


yang digunakan, misalnya : mg, g, mEq, mMol.
g. Untuk perintah pengobatan/pemberian obat kepada pasien pediatrik/neonatal, dokter
harus menyebutkan mg/kg dosis obat yang harus diberikan atau dosis yang sesuai
dengan kebutuhan pasien.
h. Penerima perintah harus mencatat perintah lisan atau per telepon di lembar Catatan
Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT) yang sudah di tentukan.
i. Penerima perintah menulis nama, memberi paraf, menuliskan tanggal dan waktu
perintah pada tempat yang sudah ditentukan dalam dokumen pasien.
j. Bagian farmasi tidak melayani permintaan obat kecuali bila perintah sudah di
tuliskan ke dalam Resep.

Pengecualian dan Hal Yang Tidak Diizinkan :


1) Perintah lisan TIDAK DIPERKENANKAN bila si pemberi perintah (dokter) sedang
berada di tempat, kecuali dalam keadaan situasi emergensi dan pada saat prosedur
steril sedang berlangsung.
2) Perintah lisan dan penyampaian hasil test yang kritikal tidak diizinkan disampaikan
melalui Voice Mail (rekaman suara ditelepon).

11
Tata Laksana SBAR :
1. Metode SBAR (Situation, Background, Assesment and Recomendation) adalah metode
komunikasi yang komprehensif dan menyeluruh dengan memperhatikan segala aspek
dari komponen yang akan dikomunikasikan.
 Komponen SBAR :
Introduction : identitas diri penelpon, jabatan penelpon, identitas pasien (nama,
tanggal lahir, ruang pasien, tanggal masuk, diagnosa masuk).
1) S (Situation) :
Kondisi terkini yang terjadi pada pasien atau hasil pemeriksaan penunjang terbaru
yang akan dilaporkan. Pada fase ini yang dapat dilaporkan : keluhan utama pasien,
kondisi kegawatan, hasil pemeriksaan penunjang terbaru.
2) B (Background) :
Informasi penting yang berhubungan dengan kondisi pasien terkini. Pada fase ini
petugas melaporkan :
a) Hasil pemeriksaan fisik yang mendukung (tanda vital, skala nyeri, tingkat
kesadaran,status nutrisi, dan lain-lain).
b) Hasil pemeriksaan penunjang yang abnormal.
c) Riwayat alergi, riwayat pembedahan, pemasangan alat invasif dan obat/infus.
d) Intervensi yang telah dilakukan, respon pasien.
3) A ( Assessment) :
Hasil pengkajian kondisi pasien. Pada fase ini petugas melaporkan kemungkinan
masalah yang terjadi.
4) R ( Recommendation) :
Rekomendasi yang akan dilakukan untuk mengatasi masalah :
a) Rekomendasi intervensi yang perlu dilanjutkan.
b) Klarifikasi tindakan yang perlu diambil/dilakukan.

REPEAT BACK (eja kembali)


Repeat Back adalah pengejaan kembali oleh dokter/perawat/petugas kesehatan lain
saat menerima perintah lisan berupa obat/jenis tindakan yang sound alike pada kondisi
tidak gawat darurat. Pada kondisi tidak gawat darurat dokter/perawat/petugas kesehatan
lain wajib mencatat, membacakan kembali dan mengejakan kembali perintah yang
diberikan secara lisan. Repeat back dilakukan untuk obat/jenis tindakan yang
sound alike dengan ejaan phonetic (kode alfabet internasional).
 Komunikasi ini diterapkan oleh :
1) Perawat-Perawat.
2) Dokter-Dokter.
3) Perawat-Dokter.

12
4) Dokter-Konsulen.
5) Antar Petugas Kesehatan.
6) Kondisi yang membutuhkan penanganan segera.

B. Komunikasi Lisan Pada Saat Pertukaran Sif (Overan Shift) Menggunakan SBAR :
Komunikasi lisan pada saat pertukaran sif (overan shift) menggunakan SBAR harus
memperhatikan hal-hal sebagai sebagai berikut :
1) Komunikasi secara lisan pada saat pertukaran sif (overan shift) menggunakan SBAR
harus menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan dipahami.
2) Komunikasi secara lisan pada saat pertukaran sif (overan shift) menggunakan SBAR
harus dituliskan dengan benar di form yang sudah ditetapkan rumah sakit.
Prosedur komunikasi secara lisan menggunakan SBAR adalah :
a. Perawat shift sebelumnya (misal shift malam) melakukan pencatatan data SOAP di
form Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi yang disediakan rumah sakit
dengan metode SBAR. Pada saat pertukaran sif (overan shift) di nurse station perawat
shift sebelumnya (misal shift malam) melaporkan kondisi seluruh pasien kepada
perawat shift berikutnya (misal shift pagi) berdasarkan formulir yang sudah diisi.
b. Perawat shift berikutnya (misal shift pagi) mengklarifikasi yang telah disampaikan
oleh perawat shift sebelumnya (misal shift malam).
c. Perawat shift berikutnya (misal shift pagi) mengajak salah satu perawat shift
sebelumnya (misal shift malam) yang merupakan penanggung jawab shift untuk
mengklarifikasi pasien (menghampiri pasien dalam visite keperawatan/overan bed to
bed).
d. Pada saat overan bed to bed, perawat shift sebelumnya (misal shift malam)
mengucapkan salam dan menyapa pasien, serta menanyakan keluhan pasien,
kemudian menyampaikan tugasnya telah selesai dan diganti perawat shift berikutnya
(misal shift pagi).
e. Perawat shift berikutnya (misal shift pagi) memperkenalkan diri sebagai perawat yang
bertanggung jawab kepada pasien.
f. Kembali ke nurse station, perawat shift berikutnya (misal shift pagi) mendiskusikan
kondisi pasien yang dilihatnya.
g. Perawat shift berikutnya (misal shift pagi) memberikan reinforcement kepada perawat
shift sebelumnya (misal shift malam).

13
C. Komunikasi Pada Saat Overan Antar Unit (Overan Unit) Menggunakan Formulir
Transfer
Komunikasi antar unit harus menggunakan media formulir transfer yang ada didalam
rekam medik pasien.
Prosedur komunikasi antar unit adalah sebagai berikut :
1. Perawat dari unit asal (misal perawat IGD) telah mengisi formulir transfer yang ada
direkam medik berdasarkan keadaan pasien sesat sebelum ditransfer.
2. Isi file transfer terdiri atas identitas pasien, unit asal, tanggal dan jam transfer,
diagnosa pasien, tanda vital pasien, lanjutan intevensi dan implementasi di unit yang
dituju, serta nama dan paraf perawat yang mengantarkan pasien.
3. Pada saat overan pasien di nurse station perawat dari unit asal (misal perawat IGD)
melaporkan kondisi pasien kepada perawat unit yang dituju (misal rawatan anak)
berdasarkan formulir yang sudah diisi.
4. Perawat unit yang dituju (misal rawatan anak) mengklarifikasi yang telah disampaikan
oleh perawat asal (misal perawat IGD) dengan melihat formulir transfer.
5. Perawat unit yang dituju (misal rawatan anak) bersama perawat unit asal (misal
perawat IGD) menghampiri pasien dalam visite keperawatan/overan bed to bed.
6. Pada saat overan bed to bed, perawat unit asal (misal perawat IGD) mengucapkan
salam dan menyapa pasien, kemudian menyampaikan tugasnya telah selesai.
7. Perawat unit yang dituju (misal rawatan anak) memperkenalkan diri sebagai perawat
yang bertanggung jawab kepada pasien.
8. Perawat kembali ke nurse station dan memberikan reinforcement kepada perawat
unit asal (misal perawat IGD).

D. Komunikasi pelaporan nilai kritis pemeriksaan diagnostik :


1) Pelaporan hasil kritis pemeriksaan laboratorium :
a) Petugas yang melakukan pemeriksaan laboratorium menyampaikan hasil
pemeriksaaan labor kritis ke dokter jaga/perawat yang dinas saat itu.
b) Dokter jaga/perawat menyampaikan hasil lab kritis kepada dokter pengirim/DPJP.
Dokter jaga/perawat/bidan yang menerima hasil kritis mendokumentasikan pada
formulir nilai kritis dan catat pada CPPT bagian hasil pemeriksaan.
c) Dokter/perawat ruangan yang menerima hasil kritis mendokumentasikan pada
formulir nilai kritis dan pada CPPT bagian hasil pemeriksaan dan distempel
konfirmasi. Hasil pemeriksaan laboratorium dilampirkan pada rekam medik dalam
1x24 jam. Kemudian petugas melaporkan kepada DPJP dengan menggunakan
komunikasi SBAR dan didokumentasikan pada CPPT dengan TULBAKON : Tulis
(dalam bentuk SOAP), Baca, Konfirmasi.

14
2) Pelaporan hasil kritis pemeriksaan radiologi :
a) Petugas yang menerima hasil pemeriksaan radiologi memberikan hasil ekspertise
foto rontgen kepada dokter jaga/perawat/Bidan untuk dilaporkan kepada DPJP
yang meminta pemeriksaan.
b) Dokter jaga/perawat/Bidan yang menerima hasil kritis, melaporkan hasil
pemeriksaan kepada DPJP, dengan menggunakan teknik TULBAKON (Tulis Baca
Konfirmasi), mendokumentasikan didalam rekam medik (formulir CPPT).

15
BAB IV
PENUTUP

Pada prinsipnya, komunikasi efektif merupakan penyampaian informasi dengan benar,


tidak terjadi salah persepsi antara pemeberi informasi maupun penerima informasi. Sehingga,
sebelum komunikasi dihentikan, dilakukan klarifikasfi baik oleh pemberi informasi maupun
penerima informasi-read back. Penggunaan SBAR dalam komunikasi merupakan keharusan
dalam program keselamatan pasien dengan harapan meminimalkan kesalahan dalam
berkomunikasi.

Dengan diterbitkan pedoman komunikasi efektif ini, diharapkan semua petugas yang
menangani pasien melaksanakan melaksanakannya.

16
BAB V
DOKUMENTASI

1. Lembar ALPHABET.
2. Formulir transfer.

Direktur RSU Mutia Sari

dr. Suhatman, MARS


NIK. 50100106

17
LEMBAR ALFABET

A ALFA N NOVEMBER
B BRAVO O OSCAR
C CHARLIE P PAPA
D DELTA Q QUEBEC
E ECHO R ROMEO
F FANTA S SIERRA
G GOLF T TANGGO
H HOTEL U UNIFORM
I INDIA V VICTOR
J JULIET W WHISKEY
K KILO X X-RAY
L LIMA Y YANKEE
M MAMA Z ZULU

18

Anda mungkin juga menyukai