Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH TEKNOLOGI PEGOLAHAN KULIT

“Pengawetan Kulit”

Disusun Oleh:
Kelompok 5
Kelas A
Nanda Nurli Arwinda 200110150002
Anisa Nurul 200110150042
Ulfiqoh Hasanah 200110150090
Ratu Aulia 200110150108
Fathur Aditama H 200110150126
Pungky Utami D.A 200110150142
Dani Mardiyanto 200110150146
Syakir Fathul Mubin 200110150158
Muhammad Fulqi Labib 200110150159
Nisa Lestari 200110150219
Dikri Muhammad 200110150243
Nizar Moch Y. 200110150260
Hasuri 200110150281
Fajar Edy Maretno 200110150283
Eriska Restu A. 200110150303
Risqi Dwiputra 200110150304

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2018
I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kulit merupakan hasil dari penyembelihan ternak sapi, kambing, dan

kelinci. Kebanyakan setelah ternak disembelih, maka akan di pisahkan antara kulit

dengan daging ternak. Dagingnya dan kulit akan dijual secara terpisah. Jika daging

dimanfaatkan untuk bahan pangan manusia, maka begitu pula dengan kulit. Kulit

juga dimanfaatkan untuk bahan pangan manusia, namun ada pula yang

menggunakan kulit sebagai bahan hiasan ataupun pakaian.

Pemanfaatan kulit ternak/hewan untuk kepentingan manusia itu berjalan

searah dengan perkembangan peradaban manusia. Dari keseluruhan produk

sampingan hasil pemotongan ternak, maka kulit merupakan produk yang memiliki

nilai ekonomis yang paling tinggi. Berat kulit pada sapi, kambing dan kerbau

memiliki kisaran 7-10% dari berat tubuh. Secara ekonomis kulit memiliki harga
berkisar 10-15% dari harga ternak .

Untuk menjadikan kulit sebagai bahan pangan ataupun suatu barang,

diperlukan suatu proses yang panjang. Sedangkan kulit tidak bisa bertahan lama.

Jika dibiarkan begitu saja, maka kerusakan kulit akibat pembusukan akan meluas

dan menyebabkan kulit tidak bisa di manfaatkan lagi. Untuk itu diperlukan proses

pengawetan agar kulit dapat bertahan lama dan dapat dimanfaatkan dalam jangka

waktu yang panjang. Proses pengawetan ini akan menekan pertumbuhan bakteri,

sehingga kulit tidak mudah busuk. Secara umum proses pengawetan kulit mentah

yang dikenal di Indonesia terdiri atas 4 macam, yakni pengawetan dengan cara
pengeringan+ zat kimia, pengawetan dengan cara kombinasi penggaraman dan

pengeringan, Pengawetan dengan cara garam basah, pengawetan dengan cara

pengasaman (pickling).

1.2 Identifikasi Masalah

1. Apa pengertian kulit ternak dan pengawetan kulit.

2. Bagaimana pengolahan kulit dengan cara pengeringan.

3. Bagaimana pengolahan kulit dengan cara penggaraman basah.

4. Bagaimana pengolahan kulit dengan cara penggaraman kering.

5. Bagaimana pengolahan kulit dengan cara pengasaman atau pickling.

6. Bagaimana proses penyamakan.

7. Bagaimana pengolahan kulit dengan cara kombinasi garam dan

pengeringan.

1.3 Maksud dan Tujuan

1. Mengetahui pengertian kulit ternak dan pengawetan kulit.

2. Mengetahui cara pengolahan kulit dengan cara pengeringan.

3. Mengetahui cara pengolahan kulit dengan cara penggaraman basah.

4. Mengetahui cara pengolahan kulit dengan cara penggaraman kering.

5. Mengetahui cara pengolahan kulit dengan cara pengasaman atau pickling.

6. Mengetahui proses penyamakan.

7. Mengetahui cara pegolahan kulit dengan cara kombinasi garam dan

pengeringan.
II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kulit

Kulit adalah hasil samping dari pemotongan ternak, merupakan lapisan

terluar dari tubuh hewan, diperoleh setelah hewan tersebut mati dan dikuliti. Kulit

dari ternak besar dan kecil baik sapi, kerbau dan domba serta kambing memiliki

struktur jaringan yang kuat dan berisi, sehingga dalam penggunaannya dapat

dipakai untuk keperluan pangan dan non pangan (Sudarminto, 2000). Kandungan

gizi antara kulit dengan daging bisa dikatakan relatif sama (Sutejo, 2000).

Secara histologis kulit hewan dibagi menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan

epidermis, dermis (corium) dan subkutis. Lapisan epidermis juga disebut lapisan

tanduk yang berfungsi sebagai pelindung tubuh hewan dari pengaruh luar, lapisan

ini merupakan bagian yang paling tipis yang tidak mengandung kolagen (Purnomo,

1985). Lapisan dermis (corium) adalah bagian pokok tenunan kulit yang diperlukan

dalam pembuatan gelatin, karena lapisan ini sebagian besar (± 80%) terdiri dari

jaringan serat kolagen yang dibangun oleh tenunan pengikat (Judoamidjojo, 1974).

Lapisan subcutis disebut juga lapisan hipodermis merupakan laoisan paling bawah

yang terditi dari tenunan pengikat yang longgar, pada lapisan ini banyak terdapat

daging, pembulih darah, tenunan syaraf dan tenunan lemak, apisan subcutis

berfungsi sebagai pembatas antara bagian kulit dan bagian daging (Purnomo, 1985).

Kulit segar yang baru dilepas dari tubuh binatang memiliki beberapa unsur

berikut: Collagen : 30% - 32%, lemak : 2% - 5%, epidermis : 0,2% - 2%, mineral :

0,1% - 0,3%, air : 60% - 65%. Kulit merupakan produk yang memiliki nilai

ekonomis yang paling tinggi dibandingkan hasil ikutan ternak yang lain. Berat kulit
pada sapi, kambing dan kerbau memiliki kisaran 7-10% dari berat tubuh (Irfan,

2012). Menurut Suardana (2008) kulit binatang sangat besar manfaatnya dan tinggi

nilai harganya dalam pembuatan produk dari kulit binatang untuk kebutuhan

manusia.

Pengawetan kulit secara umum didefinisikan sebagai suatu cara atau proses

untuk mencegah terjadinya lisis atau degradasi komponen-komponen dalam

jaringan kulit. Prinsip pengawetan kulit adalah menciptakan kondisi yang tidak

cocok bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme perusak


kulit. Hal tersebut dilakukan dengan menurunkan kadar air sampai tingkat

serendah mungkin dengan batas tertentu sehingga mikroorganisme tidak mampu

untuk tumbuh (± 5-10%).

Pengawetan kulit memiliki beberapa tujuan antara lain :

1. Mempertahankan struktur dan keadaan kulit dari pengaruh lingkungan

untuk sementara waktu sebelum dilakukan proses pengolahan atau

penyelesaian

2. Untuk tujuan penyimpanan dalam waktu yang relatif lebih lama

3. Agar kulit dapat terkumpul sehingga dapat dikelompokkan menurut besar

dan kualitasnya serta mengantisipasi terjadinya over produksi karena stok

kulit yang terlalu banyak

Secara umum proses pengawetan kulit mentah yang dikenal di Indonesia

terdiri atas 4 macam, yakni :

1. Pengawetan dengan cara pengeringan + zat kimia

2. Pengawetan dengan cara kombinasi penggaraman dan pengeringan

3. Pengawetan dengan cara garam basah


4. Pengawetan dengan cara pengasaman (pickling)

2.2 Pengeringan Kulit

Daya Pengeringan merupakan suatu metode yang ditujukan untuk

mengeluarkan sebagian air dari suatu produk dengan menggunakan energi panas.

Panas akan masuk dalam produk yang akan dikeringan, sehingga menyebabkan

terjadinya penguapan air dari dalam produk. Penguapan air dapat menurunkan

kandungan air yang terkandung dalam suatu bahan, sehingga mikroorganisme dapat

dihambat pertumbuhannya dan shelf life dari produk tersebut dapat dipertahankan.

Kecepatan pengeringan ini dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain adalah:

- Suhu yang digunakan untuk proses pengeringan

- Luas dari permukaan produk yang akan dikeringkan

- Kecepatan aliran udara

- Tekanan uap di udara (Purwadi dkk., 2017).

Aliran udara dapat memindahkan uap air yang terlepas dari suatu produk ke

tempat lain, sehingga penguapan dapat berlangsung lebih cepat. Pengeringan kulit

dapat dilakukan dengan pengeringan menggunakan sinar matahari. Keuntungan

pengeringan dengan metode ini adalah murah dan menggunakan perlatan

sederhana, namun suhu tidak dapat dikontrol, sehingga lama waktu pengeringan
tidak dapat ditentukan dengan tepat (Purwadi dkk., 2017).

Pengeringan dengan pemanas buatan mempunyai beberapa tipe alat dimana

pindah panas berlangsung secara konduksi atau konveksi, meskipun beberapa dapat

pula dengan cara radiasi. Alat pengering dengan pindah panas secara konveksi pada

umumnya menggunakan udara panas yang dialirkan, sehingga enersi panas merata

ke seluruh bahan. Alat pengering dengan pindah panas secara konduksi pada
umumnya menggunakan permukaan padat sebagai penghantar panasnya (Purwadi

dkk., 2017).

Adapun urutan pelaksanaan pengeringan menggunakan sinar matahari

adalah sebagai berikut menurut Soeparno, dkk (2013):

1. Pencucian dan pembuangan daging

Kulit yang baru dilepas dicuci dengan air mengalir dan kelebihan daging

maupun lemak yang masih melekat dibuang. Pisau yang digunakan harus tajam

dan bentuknya melengkung untuk mencegah robeknya kulit. Setelah semua lemak

dan daging telah bersih selanjutnya dicuci kembali dengan air mengalir (Soeparno

dkk., 2013).

2. Pengetusan (Pentirisan)

Kulit yang telah dicuci kemudian disampirkan atau ditiriskan diatas kuda-

kuda kayu dan dibiarkan menetes selama 30 menit (Soeparno dkk., 2013).

3. Pemberian zat kimia

Kulit direndam dalam bak yang berisi zat kimia jenis Natrium Arsenat 0,5%

selama 5-10 menit. Setelah proses tersebut selesai, kulit masih disampirkan diatas

bak agar sisa-sisa zat kimia masih tetap menetes kembali ke dalam bak (Soeparno

dkk., 2013).

4. Pementangan

Setelah zat kimia menetes dengan baik, kulit dipentang dan ditarik dengan

tali pada kerangka kayu (pentangan kulit). Pentangan untuk kulit sapi, kerbau

maupun kuda menggunakan kayu bulat dengan diameter kira-kira 5-10 cm yang

menyerupai model bingkai gambar. Ukuran panjang maupun lebarnya disesuaikan

dengan kondisi kulit dengan acuan bahwa pentangan tersebut dapat menampung

luas maksimal dari kulit. Kulit yang akan dipentang dilubangi pada bagian
pinggirnya dengan jarak kira-kira 2-3 cm dari batas pinggir kulit dan ditarik hingga

posisi kulit terpentang dengan sempurna tanpa adanya pengkerutan dan pelipatan

pada bagian pinggir maupun tengah. Proses pementangan untuk kulit kecil seperti

domba, kambing maupun reptil dapat dilakukan diatas papan dan teknik

pementangannya tidak perlu menggunakan tali tapi cukup dilakukan dengan

menggunakan paku (Soeparno dkk., 2013).

5. Pengeringan

Kulit yang telah dipentang selanjutnya siap untuk dijemur. Proses

pengeringan tidak boleh dilakukan terlalu cepat, sebab zat-zat kulit pada lapisan

luar akan mengering lebih cepat dibanding pada bagian dalam dari kulit (Soeparno

dkk., 2013).

Temperatur yang terlalu tinggi menyebabkan zat-zat kulit (kolagen)

mengalami proses gelatinisasi menjadi gelatin yang bersifat mengeras dan tentunya

dapat menghalangi proses penguapan air pada bagian dalam. Bila hal tersebut

terjadi mengakibatkan kulit akan membusuk pada saat disimpan dalam jangka

waktu yang lama. Untuk mengantisipasi hal tersebut beberapa petunjuk teknis

sederhana tentang posisi letak kulit dalam proses penjemuran kulit dibawah sinar

matahari (Soeparno dkk., 2013).

Penjemuran pertama dimulai pada bagian daging (flesh). Pukul 09.00-11.00

dan pukul 15.00-17.00 penjemuran dilakukan dengan arah sinar matahari tegak

lurus dengan permukaan kulit. Pada waktu siang hari yaitu pukul 11.00-15.00

penjemuran dengan arah sinar matahari sejajar dengan arah datangnya sinar

matahari. Bila kulit pada bagian dagingnya telah kering, maka posisi kulit dapat

dibolak balik sedemikian rupa hingga semua pengeringan dapat merata disemua

permukaan kulit. Proses pengeringan kulit dapat selesai dalam waktu kurang lebih
2-3 hari dengan kondisi panas matahari yang cukup dan penguapan yang teratur

(Soeparno dkk., 2013).

Beberapa petunjuk sederhana untuk mengetahui apakah proses pengeringan

telah cukup, yakni apabila :

a. Keadaan kulit terlihat tembus cahaya (transparan)

b. Keadaan kulit tegang (kaku)

c. Bagian daging dan bulu telah mengering

d. Penampang kulit bila diketuk akan berbunyi nyaring

6. Pelipatan

Setelah kulit menjadi kering selanjutnya dilepas dari pentangannya dan

dilipat dua dengan arah lipatan membujur dari pangkal ekor menuju ke kepala

sejajar dengan garis punggung dan membagi dua bagian tubuh yaitu kiri dan kanan.

Bagian daging atau bulu dapat ditempatkan pada bagian dalam maupun luar.

Setelah dilakukan pelipatan kemudian kulit dapat disimpan sebagai kulit awetan

(Soeparno dkk., 2013).

2.3 Penggaraman Basah

Kulit yang telah bersih dimasukkan ke dalam garam jenuh selama 24 jam.

Setelah perendaman, kulit tidak lagi dikeringkan, tetapi kulit diletakkan pada lantai
miring yang diatasnya telah ditaburi dengan garam. Kulit yang berada pada posisi

paling bawah diletakkan dengan bagian bulu menghadap ke lantai dan bagian

berdaging menghadap keatas.

Bagian berdaging ditaburi garam kira-kira 30% dari berat kulit basah

(setelah perendaman). Penempatan kulit berikutnya sama halnya dengan posisi

pertama yaitu untuk kulit-kulit yang memiliki bulu pendek seperti sapi, kerbau dan
kuda. Jadi bagian daging posisi pertama bersentuhan dengan bagian bulu posisi

kedua. Begitu seterusnya hingga tinggi tumpukan maksimal 1 meter. Kulit terakhir

yang berada pada posisi atas berfungsi sebagai penutup sehingga posisi

penempatannya terbalik dari keadaan semula yaitu bagian bulu menghadap ke atas.

Tumpukan kulit didiamkan selama 1 malam hingga air dalam kulit menetes sedikit

demi sedikit. Kulit yang telah digarami tersebut didiamkan selama 2-4 minggu

supaya cairannya bisa seluruhnya keluar. Dengan demikian kulit dapat dilipat

untuk diperdagangkan atau disimpan sebagai kulit garaman.

Penyimpanan kulit-kulit yang telah diikat tersebut dalam gudang tidak lebih

dari1 meter untuk mencegah timbulnya panas yang berlebihan. Pengawetan dengan

cara ini terutama dilaksanakan di daerah-daerah yang memiliki iklim dingin/sejuk

yang kurang terkena sinar matahari. Teknik ini digunakan pula untuk pengawetan

kulit yang tidak tahan terhadap sinar matahari seperti kulit ikan dan kulit reptil.

jenis pengawetan ini memiliki beberapa keuntungan dan kerugian antara lain :

1. Keuntungan

a) Pengawetan tidak tergantung dengan sinar matahari

b) Sedikit sekali terjadi kerusakan kulit

c) Proses perendaman (soaking) dalam proses penyamakan kulit

membutuhkan waktu yang singkat

d) Pelaksanaan cepat dan tidak membutuhkan ruangan yang luas

2. Kerugian

a) Untuk daerah tropik seperti di Indonesia pengawetan dengan

menggunakan garam basah masih disangsikan keberhasilannya mengingat

temperatur ruangan yang sangat baik untuk pertumbuhan bakteri khususnya bila

penyimpanan dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama. Bakteri yang
seringkali ditemukan pada kulit garaman adalah jenis bakteri halapofilik yang

diketahui relatif tahan terhadap suasana garam.

b) Biaya pengawetan sedikit lebih mahal karena pemakaian garam yang

relatif lebih banyak serta membutuhkan penyimpanan dengan temperatur yang

rendah.

2.4 Penggaraman Kering

Kulit hewan mentah sangat mudah busuk karena merupakan tempat alami

bagi mikrooganisme berkembang biak. Kulit mentah tersusun dari unsur kimiawi

seperti: protein, karbohidrat, lemak, dan mineral. Unsur kimiawi tersebutlah yang

menjadi asupan nutrisi untuk perkembangbiakan mikroorganisme. Oleh sebab itu,

perlu dilakukan proses pengwetan kulit dengan cara membatasi perkembangan

mikroorganisme, salah satunya yaitu dengan cara penggaraman.

Menurut Aten (1966), pengawetan dengan cara penggaraman terbagi

menjadi penggaraman kering (dry salting) dan penggaraman basah (wet salting).

Penggaraman merupakan metode pengawetan kulit dengan cara menambahkan

garam pada kulit mentah. Reaksi osmosis dari garam mendesak air keluar dari kulit

hingga kondisi kulit tidak memungkinkan untuk pertumbuhan bakteri. Menurut

Stanley (1993), bahwa penggaraman merupakan metoda pengawetan yang paling

mudah dan efektif. Metode ini terbilang mudah karena hanya menambahkan garam

pada kulit yang ingin diawetkan, selain itu juga metode ini cukup efektif karena

proses penggaraman tidak bergantung pada cahaya matahari dan dilakukan dengan

cara menumpuk beberapa lapis kulit sehingga menghemat ruang.

Pengawetan dengan metode garam kering dapat dilakukan dengan cara

membentangkan kulit diatas bidang miring (150) yang telah ditaburi garam. Kulit
paling bawah dibentang dengan bagian bulu di bawah, lalu bagian dagingnya

ditaburi dengan garam 30% dari berat kulitnya. Kulit berikutnya ditaruh diatasnya

dengan bagian bulu di bawah dan bagian daging ditaburi garam 30% seperi kulit

yang sebelumnya. Ulangi proses tersebut hingga beberapa lapis kulit, hingga kulit

teratas dibentangkan terbalik dari kulit yang dibawahnya (bagian bulu diatas,

bagian daging di bawah) digunakan sebagai penutup.

Mekanisme penggaraman terjadi dalam 3 tahap. Tahap pertama yaitu garam

mengikat air didalam bahan. Tahap kedua yaitu menurunkan aktivitas air produk

sehingga mikroba pembusuk dan perusak yang tidak tahan terhadap aw rendah tidak

dapat tumbuh. Tahap ketiga adalah merubah konsentrasi intra dan ekstrasel dalam

jaringan bahan sehingga menghasilkan tekstur tertentu.

Beberapa faktor yang mempengaruhi proses penggaraman antara lain :

1) Karakteristik dan sifat bahan

2) Jumlah dan konsentrasi garam

3) Suhu pengeringan

4) Waktu penggaraman

5) Tujuan penggaraman (fermentasi dan enzimatis)

Selama proses penggaraman akan terjadi perubahan-perubahan antara lain:

1. Perubahan tekstur

Perubahan tekstur pada bahan secara umum disebabkan karena selama

proses berlangsung terjadi penguapan air dan salting out akibat suhu pengeringan

setelah dilakukan proses penggaraman. Perubahan tekstur menjadi keras

disebabkan karena garam mengikat air dan menyebabkan perubahan konsentrasi

antara intrasel dan ekstrasel dalam jaringan bahan. Konsentrasi ekstrasel meningkat

dan menyebabkan air didalam sel mengalami osmosis dan berkurang. Keadaan ini
menyebabkan tekstur produk menjadi lebih keras dan padat. Selain itu, protein juga

mengalami proses koagulasi yang menyebabkan penurunan daya ikat air, akibatnya

tekstur menjadi lebih kaku dan mengkerut. Perubahan tekstur yang lunak dapat

disebabkan karena terjadi proses perubahan kolagen menjadi gelatin yang

kemudian larut, selain itu fraksi lemak pada bahan meleleh.

2. Perubahan warna

Perubahan warna pada bahan yang digaramkan terjadi karena proses

reaksimailard pada saat pengeringan dan terjadi oksidasi kandungan bahan.

3. Perubahan berat

Penyusutan berat diakibatkan karena garam yang memiliki sifat hidrokopis

akan menyerap cairan yang ada pada jaringan dan terjadi penurunan jumlah air

bebas. Konsentrasi ekstrasel akan meningkat dengan adanya garam dan

menyebabkan sel osmosis. Penyusutan bisa juga disebabkan karena hilangnya air

bersama-sama dengan uap air saat dilakukan proses pengeringan. Sel pada saat

terbuka dan menyebabkan air bebas dalam jaringan keluar. Penurunan berat juga

terjadi karena pada proses pengeringan menggunakan uap panas sehingga terjadi

proses leaching pada komponen protein dan lemak, sel menjadi rusak. Sel yang

rusak akan menyebabkan jaringan terbuka dan menurunkan tekanan rigor mortis

sehingga daya ikat protein menurun dan air ikut menguap bersama dengan titik atau

uap air yang hilang.

2.5 Pengasaman atau Pickling

Proses ini dikerjakan untuk kulit samak dan krom atau kulit samak sintetis

dan tidak dikerjakan pada kulit samak nabati atau kulit samak minyak. Maksud

proses pengasaman bertujuan untuk membuat kulit bersifat asam (pH 3,0 – 3,5),
agar kulit tidak bengkak bila bereaksi dengan obat penyamaknya dapat

menyesuaikan dengan pH bahan penyamak yang akan dipakai. Selain itu

pengasaman juga berguna untuk: (a) menghilangkan sisa kapur yang masih

tertinggal; (b) menghilangkan noda-noda besi dalam pengapuran agar kulit menjadi

putih bersih.

Proses pengawetan kulit dengan pengasaman terdiri dari beberapa tahap

yaitu:

1. Perendaman (soaking)

Maksud dan tujuan perendaman adalah untuk mengembalikan kadar air

pada kulit kembali seperti pada waktu dilepas dari tubuh hewannya (65 %),

sehingga kulit menjadi basah, lemas, dan lunak. Selain itu perendaman juga

dimaksudkan untuk menghilangkan darah dan kotoran yang menempel pada

kulit serta membersihkan obat-obatan yang dipergunakan pada saat

pengawetan kulit mentah dan mempersiapkan kulit menghadapi proses

selanjutnya.

2. Pengapuran (liming)

Pengapuran bertujuan untuk membengkakkan kulit, menghilangkan bulu

atau rambut dan epidermis, menghilangkan minyak, sebagian protein yang

tidak berguna sehingga sturktur kulit menjadi lebih longgar dan lemas.

3. Buang daging (fleshing)

Buang daging mempunyai tujuan untuk menghilangkan sisa-sisa daging

yang melekat pada kulit, karena sisa-sisa daging tersebut dapat menghalangi

masuknya zat penyamak pada kulit.

4. Deliming
Deliming atau yang biasa disebut proses buang kapur bertujuan untuk

menghilangkan kapur yang terikat maupun yang tidak terikat, bagian

daging, dan serat-serat kulit serta mempersiapkan kulit untuk proses

berikutnya.

5. Bating

Bating merupakan proses yang bertujuan menyempurnakan buang kapur,

menghilangkan sisa-sisa akar bulu dan pigmen, menghilangkan lemak yang

belum tersabun dan menghilangkan zat-zat kulit yang tidak diperlukan serta

menghilangkan sisa-sisa kapur yang masih tertinggal. Dalam agensia bating

terkandung (NH4)2SO4, enzim-enzim (protease, lipase) dan serbuk kayu

yang halus.

6. Degreasing

Proses degreasing bertujuan untuk menghilangkan seluruh lemak alami

pada jaringan lemak yang masih terdapat pada kulit baik pada bagian daging

maupun bagian yang dirajah.

7. Pengasaman (pickling)

Pickling bertujuan untuk mengasamkan atau menjenuhkan kulit dalam

suasana asam dan kulit tidak bengkak serta menghambat terjadinya

kenaikan basisitas khrom pada saat proses penyamakan berlangsung.

Tanda-tanda proses pengasaman sudah cukup yaitu pH cairan antara 3 – 3,5

dan berwarna kuning bila ditetesi dengan indicator BCG.

2.6 Penyamakan

Bagian daging atau bulu dapat ditempatkan pada bagian dalam maupun luar.

Setelah dilakukan pelipatan kemudian kulit dapat disimpan sebagai kulit awetan
(Soeparno dkk., 2013). Metode penyamakan dan pengawetan berpengaruh terhadap

kematangan kulit, kuat mulur, dan kekenyalan kulit, sedangkan sifat organoleptik

yaitu kepadatan bulu, kerontokkan bulu, kilapan bulu dan penampilan bulu hanya

dipengaruhi oleh faktor pengawetan. Kuat tarik kulit tidak dipengaruhi oleh metode

penyamakan, pengawetan ataupun oleh interaksi keduanaya.

Kualitas kulit samak bulu dengan penyamakan khrom lebih baik dari

penyamakan formalin. Kulit mentah segar yang langsung diproses/disamak

menghasilkan kulit jadi dengan mutu yang baik, pengawetan garam/penggaraman

memberikan hasil kulit jadi yang mendekati hasil kulit mentah segar

(Sasanadharma, 1992).

Tujuan penyamakan ialah untuk memperoleh kulit bulu yang indah dan

menarik. Kerusakan yang dapat menyebabkan botak botak harus dihindari.

Penyamakan kulit bulu tidak dilakukan pengapuran karena dapat merusak

epidermis dan bulu (Judoamijojo,1981).

Penyamakan chrom dapat diperoleh kulit bulu yang tahan lama, tahan

kelembaban serta panas. Sifat kulit bulu chrom ternyata sangat menguntungkan,

khusus bagi proses pewarnaan. Kini telah dimungkinkan mewarnai segala macam

kulit bulubdengan terlebih dahulu dikerjakan dengan chrom. Bahan penyamak

chrom yan digunakan untuk kulit biasa antara lain chrom alum dan garam chrom

yang dapat juga digunakan untuk kulit bulu. Metode penyamakn chrom yang

disarankan yaitu.

a. Aplikasi cairan chrom hanya pada muka daging

b. Pencelupan ke dalam cairan chrom dalam tong (Judoamijojo,1981)

Aplikasi cairan chrom pada permukaan daging hanya dilakukan jika kulit

yang akan diproses tidak banyak. Makan konsentrasi cairan chrom menjadi 30
sampai 40 gram chrom dan 60 sampai 100 gram garam biasa dalam tiap 100 liter

air.Konsentrasi bahan penyamak yang digunakan dalam tong harus 4 sampai 6 gram

garam chrom dan 30 sampai 40 gram garam biasa tiap 1 liter air. Adapun

perbandingan antara kulit dan cairan adalan 1 : 10 (Judoamijojo,1981).

Penyamakan nabati kulit bulu jika dilakukan tersendiri, tidak akan

menghasilkan kulit yang sama kualitasnya dengan yang disamak dengan bahan

penyamak lain. Hasil kulit samak nabati biasanya mempunyai cirri-ciri agak keras,

tidak berdaya lentur dan tidak supel. Karena itu bahan penyamak nabati jarang

dipakai untuk menyamak kulit bulu. Sifat lain yang kurang disukai ialah bahan

penyamak nabati akan memberi sedikit warna pada kulit dan untuk pewarnaan lain

dapat dilakukn dengan suhu rendah saja.

Tetapi hasil yang baik dapat diperoleh dengan menggunakan kombinasi

bahan penyamak nabaati dan sintetik. Bila yang diinginkan ialah kulit terang, maka

lebih baik menggunakan bahan penyamakk sintetik saja. Kulit harus dipikel terlabih

dahulu dalam larutan asam sulfat dan garam dapur, dilanjutkan dengan penrisan

sentriffugal dan akhirnya harus disamak dalm larutan penyamak sintetik 30o – 40o

Bkr. Bahan penyamak sintetik digunakan dengan cara sebagai berikut :

a. Sebagai penyamak pendahuluan sebalum penyamakan dengan bahan

penyamak nabati;

b. Tercampur dengan bahan penyamak nabati pada waktu proses

penyamakan;

Bahan penyamak sintetik diperlikan untuk kulit yang telah dipekel kira-kira

4 – 5 % dari bobot kulit bulu pikel yang telah ditiriskan. Bahan penyamak sintetik

yang belum dilarutkan dibubuhkan langsung pada kulit didalam drum, lalu diputar

selama 30 menir. Waktu tersebut dianggap cukup sampai tannin diambil seluruhnya
oleh substansi kulit. Kulit bulu selanjutnya dicuci bersih dengan air untuk

membersihkan garam dan asam berlebih (Judoamijojo,1981).

Peminyakan atau perlemakan liker

Jika waktu penyamakan kulit bulu tidak diberi minyak yang disatukan

dengan pasta alum, maka kulit bulu tersebut perludilakukan perlemakan liker.

Proses ini dilakukan setelah penyamakn chrom, netralisai, pencucian dan penirisan.

Tujuan peminyakan ialah untuk restorasi lemak alami yang telah hilang waktu

proses sebelumnya dengan harapan memperoleh sifat supel dan lemas kembali.

Bahan lemak yang cocok intuk keperluan ini umumnya berbantuk cairan seperti

minyak ikan, minyak mineral, minyak nabati atau juga glyserin yang dicampur

minyak. (Judoamijojo,1981).

Sebagian besar minyak tersulfon kini telah menggantikan minyak-minyak

konvensional karena minyak tersulfon dapat lebih mudah meresap ke dalam

jaringan kulit serta menyebar labih merata. Emulsinya dapat lebih stabil dalam air

sadah.

Perlemakan liker biasa dilakukan pada muka kulitnya dan harus dijaga agar

tidak mengenai rambutnya. Setelah perlemakan liker, kulit bulu ditumpuk dalam

keadaan terlipat sepanjang tulang punggung dan permukaan daging ke dalamselama

beberapa jam. Kemudian kulit bulu digantung pada tonggak dalam ruangan teduh

cukup ventilasi, dimana suhunya tidak lebih dari 30oC. Kulit tersebut jangan

dibiarkan terlalu kering karena masinh memrlkan proses lebih lanjut. Sebaiknya

pada waktu dikeringkan sesekali dilakukan peregangan (Judoamijojo,1981).

Perlakuan lebih lanjut adalah pembersihan kulit bulu dari segala kotoran,

terutama pada wol atau rambutnya menggunakan serbuk gergaji. Kulit dimasukkan

atau dikuburkan ke dalam serbuk gergajo lembab selama 24 jam. Serbuk gergaji
lembab akan mengabsorbsi kotoran diantara rambut dan memisahkan rambutnya.

Proses selanjutnya ialah pengetunan dengan pisau ketun yang berbantuk setengah

bulan atau dengan alat pengetun lutut. Dengan cara ini serat- serat kulit akan

terpisah satu sama lain sehingga akan menjadi supel (Judoamijojo,1981).

2.7 Kombinasi Garam dan Pengeringan

Kulit segar setelah bersih dari lemak, darah, sisa-sisa daging maupun

kotoran yang melekat, kemudian direndam dalam dalam cairan garam (NaCl) jenuh

dengan kadar kepekatan garam (salinitas) 20-24oBe selama 1-2 hari

(Purnomo,1985). Tingkat kepekatan garam tidak boleh berada dibawah 20oBe.

Kadar salinitas tersebut diukur dengan alat yang disebut Baume meter. Bila

tingkat salinitas mengalami penurunan maka sebaiknya ditambah dengan garam.

Bila alat ukur tersebut tidak dijumpai, maka kadar salinitas dapat diprediksi dengan

formulasi berikut.

Untuk membuat larutan garam dengan tingkat kepekatan 1 oBe maka

dibutuhkan garam murni (NaCl) sebanyak 1% dari total berat air pelarut, sedangkan

bila menggunakan garam teknis dibutuhkan 1,5 % dari total berat air

pelarut(Purnomo,1985). Mengingat garam murni sangat sulit untuk diperoleh dan

secara ekonomis mahal, sehingga lebih baik menggunakan garam teknis (garam

kotor) yang banyak dijual di pasaran.

Standar baku untuk salinitas 1oBe dapat dibuat dengan melarutkan 1 kg

garam murni ke dalam 100 liter air atau 1,5 kg untuk garam teknis. Berdasarkan

acuan tersebut berarti untuk mencapai larutan dengan tingkat kepekatan 20oBe,

berarti untuk penggunaan garam murni dibutuhkan 20 kg (20 x 1% x 100 = 20) dan

untuk garam teknis 30 kg (20 x 1,5% x 100 = 30).


Cara lain untuk menentukan tingkat kejenuhan garam dalam pelarut, yakni

dengan melarutkan garam ke dalam air sambil diaduk. Bila garam tidak dapat larut

lagi, berarti konsentrasi garam dalam larutan tersebut telah jenuh , Kulit yang telah

direndam ditiriskan pada bagian atas bak perendaman. Bagian daging dari kulit

tersebut ditaburi kembali dengan garam dengan persentase 10% dari berat kulit

basah dan kulit didiamkan selama 1-2 jam untuk memperbaiki kondisi peresapan.

Kulit kembali dipentang pada bingkai kayu dengan waktu pengeringan 3-5 hari.

Kulit yang telah kering selanjutnya dilipat.

Dalam proses kombinasi garam dan pengeringan memiliki beberapa

keuntungan maupun kerugian antara lain :

1. Keuntungan

a) Selama waktu pengeringan kulit tidak lekas menjadi busuk sekalipun

pengeringannya memerlukan waktu yang relatif lama misalnya pada saat musim

penghujan.

b) Kualitas kulit menjadi lebih baik dari pada yang dikeringkan saja (cara-1)

oleh karena serat-serat kulit tidak melekat satu sama lain.

c) Kulit sangat baik untuk disamak terutama dalam proses perendaman (soaking)

yang tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama lagi (Purnomo,1985)

2. Kerugian

Biaya pengawetan yang dibutuhkan menjadi lebih banyak dibanding cara-1 karena

jumlah penggunaan garamnya bertambah pula (Purnomo,1985)


III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :

 Kulit adalah hasil samping dari pemotongan ternak, merupakan lapisan


terluar dari tubuh hewan, diperoleh setelah hewan tersebut mati dan dikuliti.
 Pengeringan merupakan suatu metode yang ditujukan untuk mengeluarkan
sebagian air dari suatu produk dengan menggunakan energi panas. Panas
akan masuk dalam produk yang akan dikeringan, sehingga menyebabkan
terjadinya penguapan air dari dalam produk.
 Setelah perendaman, kulit tidak lagi dikeringkan, tetapi kulit diletakkan
pada lantai miring yang diatasnya telah ditaburi dengan garam atau
penggaraman basah. Kulit yang berada pada posisi paling bawah diletakkan
dengan bagian bulu menghadap ke lantai dan bagian berdaging menghadap
keatas.
 Pengawetan dengan metode garam kering dapat dilakukan dengan cara
membentangkan kulit diatas bidang miring (150) yang telah ditaburi garam.
Kulit paling bawah dibentang dengan bagian bulu di bawah, lalu bagian
dagingnya ditaburi dengan garam 30% dari berat kulitnya.
 Pengasaman berguna untuk menghilangkan sisa kapur yang masih
tertinggal, menghilangkan noda-noda besi dalam pengapuran agar kulit
menjadi putih bersih.
 Penyamakan dan pengawetan berpengaruh terhadap kematangan kulit, kuat
mulur, dan kekenyalan kulit, sedangkan sifat organoleptik yaitu kepadatan
bulu, kerontokkan bulu, kilapan bulu dan penampilan bulu hanya
dipengaruhi oleh faktor pengawetan.
 Kombinasi garam dan pengeringan kulit menjadi lebih baik dari pada yang
dikeringkan saja karena serat-serat kulit tidak melekat satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA

Judoamidjojo. 1974. Dasar Teknologi dan Kimia Kulit. Departemen Teknologi


Hasil Pertanian, FATEMETAIPB, Bogor.
Judoamidjojo, R Muljono.1981. Teknik Penyamakan Kulit Untuk Pedesaan.
Bandung : Angkasa
Purnomo, E., 1985. Pengetahuan Dasar Teknologi Penyamakan Kulit. Akademi
Teknologi Kulit, Yogyakarta.
Purwadi, L.E. Radiati, H. Evanuarini, dan R.D Andriani. 2017. Penanganan Hasil
Ternak. UB Press. Malang.
Sasanadharma, Yansa.1992. Pengaruh Pengawetan Dan Metode Penyamakan
Terhadap Sifat-Sifat Kulit Samak Bulu Kelinci Rex
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/10213/Bab%20I
I%202008nad.pdf?sequence=7. 18 Oktober 2018
Sudarminto, 2000. Pengaruh Lama Perebusan Pada Pembuatan Rambal Sapi.
Jurnal Makanan Tradisonal.
Soeparno., R.A.Rihastuti, Indratiningsih dan S.Triatmojo. 2011. Dasar Teknologi
Hasil Ternak. Fakultas Universitas Gadjah Mada. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Sutejo, A. 2000. Rambak Cakar Ayam. PT. Trubus Agrisana. Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai