Nim : 20160510027
1. Abstrak
Belakangan ini sering terjadi konflik agama yang berkaitan dengan perbedaan agama,
politik, ekonomi. Disini saya akan membahas tentang contoh konflik agama yaitu konflik
agama pembakaran Masjid yang terjadi di Kabupaten Tolikara, Papua. Adapun pemicu
terjadinya konflik tersebut adalah adanya kepentingan politik lokal yang memanfaatkan
simbol Agama pada saat menjelang pemilihan Kepala daerah. Serta terjadi suatu kesalah
fahaman antara Kelompok Agama yang sedang melakukan upacara agama masing-masing di
kabupaten Tolikara tersebut selain itu Konflik Agama yang terjadi di Tolikara bukan hanya
disebabkan konflik agama melainkan terjadi karena suatu Konflik ekonomi. Dijelaskan
bahwa Papua memiliki kekayaan Sumber Daya Alam yang melimpah sehingga menimbulkan
suatu kerawanan terjadinya suatu konflik.
2. Pendahuluan
Latar Belakang
Indonesia mempunyai 6 agama yaitu: islam, kristen protestan, katolik, hindu, buddha,
kong hu chu. Perbedaan agama inilah yang sering menjadikan suatu konflik Agama apabila
kurang rasa toleransinya, karena Konflik merupakan bagian dari kehidupan umat manusia
yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan manusia, namun konflik bisa di kendalikan. Pada
umumnya konflik sering diakibatkan oleh perbedaan pendapat, pemikiran, ucapan dan
perbuatan. Dimana menurut (Dean G. Pruitt:2011:10) konflik berarti persepsi mengenai
perbedaan kepentingan (perseived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa
aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat di capai secara srimultan. Dilihat dari
Realita Sosial bahwa Sepanjang seseorang masih hidup hampir mustahil untuk
menghilangkan konflik dimuka bumi ini. Perbedaan pandangan antar perorangan juga dapat
menyebabkan terjadinya suatu konflik.
Namun dalam konflik yang akan saya bahas (konflik agama pembakaran masjid di
kecamatan Karubaga kabupaten Tolikara, Papua) terjadi bukan karena disebabkan
konflik agama saja melainkan terjadi karena suatu kesalah fahaman antar kelompok
agama yang sedang melakukan upacara agama masing-masing, yang bermula karena
umat muslim melaksanakan solat idul fitri dengan menggunakan pengeras suara dari
sinilah terjadi kesalahan komunikasi dimana sebelumnya pemipin GIDI telah
mengedarkan surat bahwa tidak boleh menggelar upacara keagamaan dengan
menggunakan pengeras suara. Selain itu konflik Tolikara terjadi karena faktor Poliik
Lokal yang memanfaatkan simbol Agama yaitu pada bulan Februari 2015, serta terjadi
karena faktor Ekonomi. Yang mana menurut Karl Marx (2007:73) Konflik Sosial
merupakan pertentangan antara segmen-segmen masyarakat untuk memperebutkan aset-
aset yang bernilai. Jika dikaitkan dengan konflik di Toikara bahwa konflik yang terjadi
juga di picu oleh konflik ekonomi. Mengingat bahwa Papua kaya akan Sumber Daya
Alam, akan tetapi masyarakatnya masih terbelakang dan masih rendah akan Sumber
Daya Manusia (SDM) sehingga mereka merasa mudah di eksploitasi oleh para
pendatang yang selalu ingin menguasai kekayaan Sumberdaya Alam disana sehingga
Kabupaten Tolikara, Papua dikatakan sebagai daerah yang rawan konflik.
Penyebab Terjadinya Konflik Terbakarnya Masjid di Kabupaten Tolikara
Konflik Agama Pembakaran Masjid di Tolikara disebabkan oleh beberapa hal yaitu
akibat kesalah fahaman antar kelompok agama, adanya politik lokal, adanya konflik
ekonomi antar pendatang dan penduduk lokal. Berikut adalah uraian dari penyebab
terjadinya konflik di Tolikara :
1. Kesalah Fahaman antar Kelompok Agama.
Kesalah fahaman yang terjadi di Tolikara yaitu kesalah fahaman yang berawal dari
salah faham antara kelompok agama yang sedang mengadakan acara keagamaan
masing-masing di daerah itu (papua). Awal mulanya adalah masalah pengeras suara
dimana keamanan sama sekali tidak antisipatif (karena pemimpin Gidi sudah
membuat surat yang melarang umat islam melaksanakan sholat id di lapangan
dengan memasang pengeras suara), namun Haji Ali mengaku bahwa umat muslim
tidak mengetahui adanya surat edaran tentang himbauan agar menggelar sholat di
mushollah, bukan dilapangan terbuka. Akan tetapi surat edaran tersebut tidak sampai
ke Haji Ali bahkan Haji Ali mengucapkan jika surat edaran tentang larangan untuk
sholat dilapangan sampai kepadanya maka dia sebagai tokoh muslim di Kabupaten
Tolikara akan melaksanakan edaran tentang larangan tersebut. Karena kesalah
fahaman tersebut umat muslim melaksanakan solat idul fitri dilapangan dimana
kronologis alur kejadiannya adalah konflik berawal dari kedatangan sejumlah
pemuda yang hendak membubarkan para jamaah sholat id di lapangan karena
mereka merasa imbauan mereka tidak di dengarkan. Umat muslim yang mengadakan
solat id tidak mendengarkan imbauan sejumlah pemuda yang hendak menyerang
karena menganggap bahwa ibadah merupakan suatu Hak Asasi Manusia. Pada saat
itu juga umat muslim melaksanakan sholat id di lapangan dan tidak jauh dengan
kegiatan lain yaitu kegiatan Kepemudaan Tingkat Nasional yang didakan oleh
pengurus GIDI yang bejarak 200 meter dari kegiatan sholat id. Namun karena terjadi
miskomunikasi maka terjadilah sebuah serangan ratusan warga yang melempari
jamaah yang hendak melaksanakan sholat id (sholat hari raya idul fitri) dan terjadi
suatu penembakan yang menelan banyak korban. Karena adanya penyerangan
tersebut membuat para jamaah sholat id menjadi bubar karena mereka takut terkena
serangan ratusan warga tersebut. Penyerangan penembakan terhadap jamaah tersebut
kemudian berlanjut yaitu dengan menembak beberapa jamaah hingga menewaskan
beberapa korban dan tembakan tersebut juga mengenai bangunan rumah atau salah
satu kios yang jaraknya berdekatan dengan masjid Tolikara sehingga kios yang
mudah terbakar menjadi terbakar dan merembet hingga 53 kios yang ikut terbakar
pembakaran tersebut juga membuat masjid Tolikara ikut terbakar.
3. Pembahasan
Dalam kasus ini saya akan membahas Konflik terjadinya pembakaran masjid Tolikara di
papua terjadi pada 17-7-2015 yaitu tepat pada hari raya idul fitri. Konflik terjadi berawal dari
suatu kesalah fahaman yaitu bermula dari salah faham antara kelompok agama yang sedang
mengadakan acara keagamaan masing-masing di daerah itu (papua). Awal mulanya adalah
masalah pengeras suara dimana keamanan sama sekali tidak antisipatif (karena pemimpin
Gidi sudah membuat surat yang melarang umat islam melaksanakan sholat id di lapangan
dengan memasang pengeras suara) Pembakaran masjid tolikara tidak hanya disebabkan oleh
konflik agama melainkan Politik Lokal dan ekonomi, pada Februari 2015 dimana para
pejabat dan para calon Kepala Daerah banyak yang melakukan pertemuan dan memanfaatkan
simbol Agama pada saat menjelang kepemilihan Kepala Daerah tersebut. Dimana sebelum
terjadinya serangan yang bernuansa agama, situasi yang terjadi di kabupaten Tolikara adalah
pernah mengalami ketegangan politik akibat persaingan antara kandidat dalam pemilihan
kepala daerah. Serta terjadi suatu keberpihakan dan timbul politik dari kelompok GIDI
dimana penduduk Lokal anggota GIDI membuat peraturan terhadap muslim pendatang untuk
mengecat kiosnya agar mengecat dengan warna biru sesuai warna Israel dan mengancam
akan mengusir muslim pendatang jika tidak mengecat sesuai warna tersebut. Konflik
ekonomi, kesenjangan sosial ekonomi konskuesi yang logis yaitu masyarakat Tolikara
mayoritas sangatlah rendah akan pendidikan sehingga masyarakat asli Tolikara merasa tidak
mampu bersaing di bidang ekonomi hal ini berdampak pada pendatang muslim di Tolikara
yang pada umumnya mampu menguasai ekonomi sehingga dari sinilah terjadi suatu
kesenjangan ekonomi dan muncul suatu kecemburuan sosial yang menimbulkan terjadinya
suatu konflik. Dimana masyarakat Tolikara merasa kaya akan kekayaan alam seperti
memiliki freeport yang sebagian besar di kuasai oleh Asing, beberapa tambang emas serta
kekayaan sumber daya alam tentang pertanian, akan tetapi mereka masih tidak mampu untuk
mengolah karena sumber daya manusianya (SDM) yang masih rendah serta mereka masih
rendah akan pendidikan dan masih terbelakang. Kecemburuan sosial inilah yang memicu
masyarakat Tolikara untuk berkonflik, karena masyarakat Tolikara merasa dieksploitasi
sumber daya alamnya oleh para pendatang muslim sehingga mengundang kemarahan
masyarakat Tolikara untuk mengamuk dan menyerang dengan tembakan kepada para jamaah
yang solat id dan kemudian tembakan itu terkena pada salah satu kios yanga akhirnya
terbakar dan kemudian merembet ke kios yang lain hingga masjid di Tolikara juga ikut
terbakar.
Jika konflik Tolikara dianalisis sesuai pemetaan buku konflik Novri Susan, M,A. Yaitu:
Sumber konflik yaitu berawal dari suatu kesalah fahaman antar kelompok agama yang
saling menggelar acara upacara keagamaan masing-masing. Yang terjadi karena miss
komunikasi masalah pengeras suara, konflik Politik Lokal yang menggunakan simbol
keagamaan pada bulan Februari 2015 serta karena faktor konflik ekonomi, Tolikara
merupakan daerah yang mempunyai Sumber Daya Alam yang melimpah akan tetapi rendah
akan pendidikan sehingga timbul kecemburuan dan kesenjangan sosial sehingga
menyebabkan terjadinya konflik ekonomi.
Hubungan Secara historis Masyarakat Tolikara dipengaruhi oleh penduduk Lokal dan
pendatang dimana penduduk lokal anggota GIDI sangatlah mendukung Israel padahal Israel
telah banyak menguasai kekayaan alam di Tolikara bahkan freeport pun juga sebagian besar
dikuasai oleh Israil. Di era reformasi ini jumlah penduduk pendatang di Tolikara sangatlah
meningkat Sehingga menurut masyarakat Tolikara peningkatan jumlah penduduk pendatang
ini menimbulkan krisis persepsi serta sikap dikalangan penduduk asli Tolikara yang
mayoritas beragama kristen. Hal ini menimbulkan krisis hubungan, kecurigaan serta
ketegangan sosial antara kaum pendatang dan kaum lokal, karena penduduk lokal merasa
bahwa penduduk pendatang lebih bisa menguasai bidang apapun dibanding penduduk lokal
yang masih rendah Sumber Daya manusianya dan masih terbelakang.
Pihak dan Isu konflik Pada kasus konflik pembakaran masjid di Tolikara, Papua pihak
berkonflik bisa di identifikasi sebagai berikut: kelompok GIDI komunitas kristen Tolikara,
Umat muslim, aparat keamanan (TNI/POLISI), Pemerintah dan tokoh agama.
Isu konflik yaitu kesalah fahaman antara kelompok GIDI dan umat islam yang sama-
sama melakukan upacara keagamaan dengan memakai pengeras suara. Selain itu terdapat
konflik politik lokal yang memakai simbol keagaamaan, serta konflik ekonomi antara
penduduk pendatang dan penduduk local.
Konflik yang terjadi di Tolikara menurut sepengetahuan dan analisis pendek saya konflik
ini berada pada intensi model konflik De-escalation (pendiginan) dimana pada sebuah artikel
di Nasional Tempo mengabarkan bahwa Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar
Kepolisian RI Komisaris Jenderal Budi Waseso Mengklaim Kondisi kecamatan Karubaga
kabupaten Tolikara Sudah Mulai Membaik”sudah ada perdamaian di Tolikara” dan polisi
sudah memeriksa 37 saksi. Penyelesaian konflik Tolikara bisa dimulai dari penegakan hukum
terhadap para perusuh dan penyerang yang membuat kerusuhan di Tolikara. Masyarakat
harus tegas dan sadar bahwa hukum tidak bisa ditawar karena untuk menjaga keamanan dan
ketertiban. Seharusnya ada tim khusus yang berusaha menyamakan persepsi dikalangan
tokoh Agama dan Adat sehingga interaksi antara kelompok agama baik pendatang maupun
lokal tidak terpengaruh oleh kelompok GIDI. Sehingga akan membuat masyarakat Tolikara
memiliki sifat kelenturan terhadap perbedaan, baik agama, suku, etnis, dan budaya.