Anda di halaman 1dari 5

Berdirinya organisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA)

merupakan hasil perkembangan kesadaran dikalangan masyarakat Aceh,


terutama golongan ulama, karena kondisi mereka dibawah penjajah Belanda
dengan bermacam intimidasi.
Faktor lain yang menyebabkan berdirinya PUSA adalah ketidakmampuan
ulama untuk bekerja sama, terutama dalam bidang penyatuan kurikulum dan
sistem pendidikan di Aceh ketika itu. Melalui organisasi ini, mereka ingin
mengatur kembali dun menstandarisasikan kurikulum dan sistem seluruh
madrasah yang telah dibangun di Aceh 1. Namun demikian, yang paling
penting adalah ulama ingin memperbaharui ajaran Islam dan
mempertahankan agama Islam dari segala jenis penyimpangan. Dalam rangka
mengusir penjajah Belanda, ulama juga kemudian berkesimpulan
menggunakan kekuatan Jepang saja. Untuk mencapai tujuan ini, PUSA dan
ulama-ulama Aceh memutuskan untuk mengirim tiga ulama yang representatif
untuk bekerja sama dengan lima kelompok orang Jepang yang dinamakan
Fujiwarakikan di Penang, Malaya (sekarang Malaysia) yang bertujuan berusaha
mengusir penjajah Belanda dalam wilayah Aceh. Melalui kerja sama ini, rakyat
Aceh berharap dapat mengusir Belanda dari daerahnya 2. Kendati pun kekacauan
ini dahului kollepnya Belanda di Aceh tetapi sesungguhnya Belanda telah dapat
dirobohkan dengan dua pemberontakan yang berskala besar sejak bulan awal
tahun 19423. Pemberontakan pertama di daerah Seulimuem, Aceh Besar,
dimulai pada pertengahan bulan Februari 1942, pemberontak ini baru reda setelah
beberapa minggu, tapi berkobar lagi beberapa hari setelah Jepang mendarat.
Pemberontakan Seulimeum sangat jelas digerakkan atas kerja sama antara
ulama terkemuka seperti Tgk. Abdul Wahab Seulimeum dan Tgk. Hasballah
Indrapuri, Pemuda PUSA, A. Hasjmy dan Tgk. Ahmad Abdullah serta
beberapa uleebalang yang diantara mereka yang menonjol adalah Teuku

1
250
2
253
3
251-252
Muhammad Ali Panglima Polem4. Pada awal Maret 1942 pemberontakan besar
kedua terjadi di daerah Calang, Aceh Barat. Akhirnya, kekuasaan Belanda
berakhir secara tiba-tiba dan secara dramatis dengan adanya invasi Jepang yang
mendarat di Kepulauan Indonesia.
Sebenarnya, masa kekuasaan Jepang berjalan hanya tiga setengah tahun.
Tujuan utama kerja sama yang dibentuk oleh ulama dengan Jepang tersebut
adalah untuk mengusir Belanda dan Aceh agar mereka dapat melaksanakan ajaran
agama secara kaffah tanpa pembatasan-pembatasan dari orang-orang yang
membenci Islam. Pada awalnya orang Jepang berjanji kepada ulama Aceh
bahwa syari'at Islam dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Karena itulah
rakyat Aceh, bersedia menerima pendudukan Jepang meski pun mereka
bukanlah yang diharapkan. Selain Jepang dapat mengusir Belanda dan
berjanji pada ulama akan membenarkan untuk diterapkan ajaran Islam secara
kaffah. Keuntungan lain adalah Jepang tidak mendirikan sekolah mereka sendiri
sehingga memungkinkan ulama mendidik anaknya dengan lembaga
pendidikannya sendiri. Demikian juga Jepang tidak mengawasi lembaga
pendidikan dayah seperti Belanda yang membatasi kurikulum dayah dan
madrasah.
Ada keuntungan yang tidak sengaja telah dipetik oleh ulama Acch dari
kehadiran Jepang yaitu kesempatan yang diberikan ada rakyat Aceh untuk
mengikuti latihan militer. Kesempatan dipergunakan oleh ulama Aceh yang
dengan para pemudanya nasuki Giyu Gun agar belajar ilmu kemiliteran dari
perwira Jepang. Karena itu anggota Giyu Gun yang lebih kurang sampai 10
prajurit mayoritasnya adalah pemuda PUSA. Keberhasilan ini terlihat di tahun
1945 ketika para prajurit yang terdidik mengusir Jepang kemudian
mempertahankan wilayah Aceh dari keinginan Belanda untuk menjajah
kembali Aceh5.
Ulama Aceh tidak pernah membayangkan bahwa disuatu waktu Jepan
akan menjajah Aceh. Oleh karena itu, ketika mereka menyadari bahwa
4
255
5
257
mereka diperlakukan sebagai anak jajahan, misalnya, Jepang menyuruh
rakyat untuk membungkuk sebagai penghormatan (keirei) - rakyat Aceh
memberontak lagi. Akhirnya terjadi dua pemberontakan yang dipimpin oleh
ulama dalam menghadapi Jepang. Pemberontakan pertama, Perang Bayu,
Aceh Utara dipimpin oleh ulama dayah yang bernama Tgk. Abdul Jalil 6. Dia
sebenarnya telah curiga sejak awal Jepang mendarat di Aceh. Karena
menyadari perlakuan Jepang dapat merusak keyakinan orang Islam dia
mengadakan pemberontakan bersama muridnya di dayah. Pemberontakan
kedua adalah di Pandrah, sekarang masuk kabupaten Bireun. Walau pun
pemberontakan ini di pimpin oleh pemimpin lokal tapi itu terjadi berasal dari
sebuah fatwa seorang ulama yang juga dikenal bernama Tgk. Abdul Jalil yang
menyatakan bahwa Jepang telah memperlakukan rakyat Aceh sebagai anak
jajahan dan sekaligus menghina agama Islam dengan perlakuannya yang
bertentangan dengan ajaran Islam7. Ulama Masa Perang Mempertahankan
Kemerdekaan Berita tentang kemerdekaan Indonesia 17 Agustus menyebabkan
dinaikkan bendera Merah putih di beberapa tempat sejak September 1945. Para
pemimpin di Aceh, - yang kebanyakan ulama, - masih curiga kepada Belanda
yang akan membahayakan proklamasi kermerdekaan rakyat Indonesia, dan
memprediksikan mereka akan menjajah Indonesia kembali. Belanda mulai
melakukan agresi militer, dan pada September 1945 telah berada di Medan.
Angkatan perang Inggris menduduki Pulau Weh dan pelabuhan Sabang pada 7
September. Sehubungan dengan situasi seperti itu, beberapa ulama melakukan
pertemuan yang memutuskan untuk menjaga proklamasi kemerdekaan.
Pertemuan itu, menghasilkan sebuah kesepakatan yang disebut “deklarasi
seluruh ulama Aceh" yang ditanda tangani oleh empat ulama terkenal, yaitu: Tgk.
M. Daud Beureueh, Tgk. Ahmad Hasballah Indrapuri, Tgk. Ja'far Shiddiq dan
Tgk. Hasan Krueng Kale. Deklarasi ini telah mendorong rakyat untuk bersatu
mendukung "Pemimpin Besar Soekarno" dalam perlawanan terhadap Belanda
yang ingin kembali ke Indonesia, karena Belanda diyakini akan
6
258
7
259
menghancurkan kemurnian agama dan juga menindas serta melecehkan
kehormatan dan merintangi kemakmuran rakyat Indonesia. Keempat ulama
tersebut berpendapat bahwa berjuang untuk kemerdekaan adalah tugas suci,
karena itu perjuangan ini dapat disebut sebagai Perang Sabi18.
Berita tentang pertempuran pada 10 November 1945 di Surabaya (Jawa
Timur) telah menggerakkan ulama Aceh untuk mengumpulkan rakyat dan
memberi tahu mereka bahwa ini merupakan saat yang tepat untuk berjihad
(perang suci). Pada 17 November, beberapa ulama berkumpul di Mesjid
Baiturrahman dan membentuk angkatan perang Islam yang dinamakan laskar
Mujahidin, untuk mengikuti perang suci. Laskar ini di pimpin oleh Tgk. Daud
Beureueh, salah seorang ulama yang menandatangani deklarasi ulama. Organisasi
pasukan militer ini dalam waktu yang singkat telah membangun laskar di
beberapa wilayah. Selanjutnya laskar Mujahidin berubah namanya menjadi
Divisi Tgk. Chik Di Tiro dan di Aceh Timur diberi nama Divisi Tgk. Chik Paya
Bakong. Divisi Tgk. Chik Di Tiro dipimpin oleh, Tgk. M. Daud Beureueh dan
Tgk. Chik Paya Bakong dipimpin oleh Tgk. Amir Husein Mujahid 9. Didorong
oleh semangat perang suci (jihad), rakyat Aceh berjuang dengan penuh semangat
untuk mencapai tujuan mereka. Mereka yakin bahwa melalui jihad fisabilillah
mereka akan menang, karena jika mereka gugur akan masuk surga dan jika
mereka selamat maka negara mereka akan bebas dari pendudukan Belanda.
Melihat rakyat Aceh mempertahankan daerahnya dengan penuh semangat,
Belanda tidak jadi masuk ke Aceh walaupun Belanda telah mendirikan
markas-markasnya di Medan seperti juga yang telah dilakukan Angkatan
Perang Inggris di Sabang. Agresi pertama Belanda pada 21 Juli 1947 gagal masuk
ke Aceh.
Untuk menghargai besarnya peranan ulama di Aceh, pemerintah pusat
menetapkan Tgk. Daud Beureueh sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan
Tanah Karo, bersama dengan pembantu-pembantunya dari kalangan ulama seperti

8
262
9
263
Tgk. Abdul Wahab Seulimeum10. Agresi Belanda yang kedua dilakukan pada 19
Desember 1945. Belanda dapat menduduki ibu kota Republik Indonesia,
Yogyakarta, dan menangkap presiden (Soekarno), wakil presiden (Mohd.
Hatta) dan beberapa menteri. Daerah yang tidak diduduki oleh Belanda
hanya daerah Aceh. Untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia,
pemerintah membentuk pemerintahan darurat di bawah kepemimpinan
Syafruddin Prawiranegara, yang memerintah dari hutan Sumatra Barat 11, dan
kemudian di Aceh.
Prawiranegara menghadapi masalah serius dalam pemerintah darurat.
Salah atu masalah yang paling krusial adalah sumber dana untuk membangun
pemerintah. Dia kemudian meminta Aceh, karena hanya daerah tersebut yang
dapat membantu. Ulama Aceh bersama pemimpin lainnya, mengajak rakyat
dengan landasan agama memberikan harta mereka sebagai bantuan. Dana tersebut
digunakan untuk kepentingan menjalankan pemerintahan di dalam dan di luar
negeri dan termasuk pembelian dua pesawat.
Sebagai ungkapan terima kasih atas bantuan rakyat Aceh, pemerintah
pusat menamakan pesawat tersebut "Seulawah” yaitu nama sebuah gunung di
Aceh. Dari peristiwa tersebut, jelas bahwa melalui usaha Tgk. Daud Beureueh
dan ulama lain yang menegaskan bahwa Islam merupakan dasar perjuangan
nasional, Aceh mampu mempertahankan diri dari pendudukan Belanda
pkembali. Hal ini merupakan persoalan mendasar bagi pemimpin republik
untuk mampu memperlihatkan pada dunia bahwa Republik Indonesia masih bisa
di lihat di Aceh meskipun kenyataannya daerah lain, termasuk ibu kota republik
telah direbut oleh Belanda.

10
264
11
265

Anda mungkin juga menyukai