WURI WULANDARI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kejadian Laminitis dan
Hubungannya dengan Anestrus pada Sapi Perah: Studi Kasus di KPBS
Pangalengan, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Wuri Wulandari
NIM B04110037
ABSTRAK
Laminitis merupakan peradangan pada lamina dinding kuku sapi perah yang
disebabkan oleh banyak faktor dan dapat terjadi secara akut, subakut, maupun
kronis. Penyebab laminitis berkaitan erat dengan keadaan asidosis pada rumen
akibat meningkatnya konsumsi pakan tinggi karbohidrat. Laminitis pada sapi
perah telah dilaporkan menimbulkan rasa sakit pada lamina kuku, kepincangan,
perubahan struktur kuku, penurunan produksi susu, dan gangguan reproduksi.
Penelitian ini bertujuan menganalisa hubungan laminitis terhadap kejadian
anestrus pada sapi perah di KPBS Pangalengan, Jawa Barat. Berdasarkan data
jumlah kasus laminitis yang diambil tahun 2011 hingga 2013, dilaporkan
persentase kasus laminitis yang diikuti dengan kejadian anestrus pada tahun 2011
yaitu sebanyak 40,93% (88/215), tahun 2012 sebanyak 29,76% (50/168),
sedangkan tahun 2013 sebanyak 29,17% (77/264). Selanjutnya, digunakan
perhitungan statistik menggunakan metode Correlation untuk menghitung tingkat
korelasi antara laminitis dan anestrus. Hasil perhitungan didapatkan angka
korelasi sebesar 0,473** (α = 0,05) yang menandakan adanya hubungan yang
signifikan antara kejadian laminitis dan anestrus pada sapi perah.
Kata kunci: laminitis, asidosis, anestrus, sapi perah
ABSTRACT
WURI WULANDARI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 hingga Februari 2015 ini
ialah Kejadian Laminitis dan Hubungannya dengan Anestrus pada Sapi Perah:
Studi Kasus di KPBS Pangalengan, Jawa Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drh R Kurnia Achjadi, MS
selaku pembimbing utama dan Ibu Dr Drh Chairun Nisa, MSi selaku pembimbing
akademik yang telah banyak memberi saran. Penghargaan penulis sampaikan
kepada Drh H Asep Rahmat K sebagai manajer kesehatan hewan dan seluruh staf
Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) yang telah membantu selama
penelitian dan pengumpulan data. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
Papa dan Mama tersayang (Indrajati, SPd dan Herniwati), serta kakak dan adik
saya (Ratih Anggia Puspa, Rangga Wisanggara, dan Wigiya Untari), seluruh
keluarga, Bayu Firmala Kusuma, Partner saya Fitri Jati Nuralam, sahabat, serta
teman-teman perwira 52 dan Ganglion 48 atas segala bentuk dukungan baik doa,
saran, semangat, dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Wuri Wulandari
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Laminitis pada Sapi Perah 2
Patogenesa Laminitis 3
Dampak Laminitis pada Sapi Perah 3
Anestrus pada Sapi Perah 4
METODOLOGI 4
Tempat dan Waktu 4
Metode Penelitian 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 5
Profil dan Keadaan Umum KPBS Pangalengan 5
Populasi Sapi Perah di KPBS Pangalengan 5
Kasus Laminitis pada Sapi Perah di KPBS Pangalengan 6
Hubungan Kasus Laminitis dengan Anestrus pada Sapi Perah di KPBS
Pangalengan 8
SIMPULAN DAN SARAN 9
Simpulan 9
Saran 9
DAFTAR PUSTAKA 10
LAMPIRAN 11
Kuisoner Peternak 11
Kuisoner Petugas Kesehatan 14
Hasil Rekapitulasi Kuisoner Peternak 15
Hasil Rekapitulasi Kuisoner Peternak 17
RIWAYAT HIDUP 19
DAFTAR TABEL
1 Populasi sapi perah di KPBS Pangalengan tahun 2011-2014 6
2 Jumlah kasus laminitis di KPBS Pangalengan tahun 2011-2013 6
3 Jumlah kejadian laminitis yang disertai anestrus pada sapi post partus
di KPBS Pangalengan 2011-2013 8
4 Hasil pengolahan data statistik hubungan kejadian laminitis dengan
anestrus post partus menggunakan metode Correlation 8
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuisoner Peternak 11
2 Kuisoner Petugas Kesehatan 14
3 Hasil Rekapitulasi Kuisoner Peternak 15
4 Hasil Rekapitulasi Kuisoner Petugas Kesehatan 17
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
berhubungan dengan luka terkait dengan pakan dan kandang. Hal yang harus
diperhatikan saat pemberian pakan ternak antara lain pengaturan komposisi pakan
dan memperhatikan keseimbangan pakan yang baik dengan kandungan serat
fungsional yang cukup (keseimbangan antara rumput dan konsentrat) untuk
meningkatkan ruminasi. Tindakan untuk mencegah laminitis, kandang ternak
harus dibuat nyaman dengan menghindari penggunaan kandang yang beralaskan
beton karena dapat berpengaruh negatif pada kesehatan kuku sapi. Sebaiknya
kandang sapi dibuat beralaskan karet untuk mengurangi perlukaan kuku dan luas
kandang yang cukup untuk ternak dapat exercise (Kloosterman 2007).
Patogenesa Laminitis
Laminitis pada sapi disebabkan oleh lesio yang sangat beragam. Kejadian
dan keparahannya dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor mekanik
seperti abnormalitas bentuk kuku, permukaan kuku yang keras sedangkan pada
bagian tanduk kuku lunak, dan kelainan bentuk pada kaki. Faktor mekanik
tersebut berkaitan dengan gangguan mikrovaskularisasi pada daerah kuku akibat
rusaknya bagian lamina kuku yang melipat ke dalam menyebabkan tekanan pada
korium (Ossent et al. 1997). Faktor sistemik penyebab laminitis berhubungan
dengan ketidakseimbangan antara konsentrat dan serat akan menyebabkan tubuh
mengalami asidosis rumen, ketosis, dan endotoksemia (Ossent et al. 1997).
Kesalahan manajemen pakan telah diidentifikasi sebagai penyebab utama
laminitis, terutama peningkatan konsumsi pakan tinggi karbohidrat yang
mengakibatkan keadaan asidosis, kemudian berakibat pada penurunan pH
sistemik. Penurunan pH sistemik mengaktifkan mekanisme vasoaktif yang
meningkatkan pulsus dan aliran darah keseluruh tubuh. Kondisi asidosis akan
memicu pengeluaran histamin sebagai reaksi asing adanya perubahan,
ketidakseimbangan dan penyakit. Kondisi ini memicu pembuluh darah untuk
mengalami vasokontriksi. Vasokonstriksi pembuluh darah akan berdampak pada
daerah kaki dan kuku karena kaki dan kuku merupakan penyangga berat tubuh
sapi sehingga mengakibatkan tekanan pada daerah tersebut (Bergsten 2009).
Semakin lama darah yang beredar di kuku berkurang atau bahkan berhenti,
mengakibatkan pembuluh darah akan mengalami nekrosa yang berdampak pada
perubahan fisik jaringan disekitarnya. Sebagai akibat dari kerusakan pada
mikrovaskular dan rendahnya suplai nutrisi serta oksigen pada sel - sel epidermis
mengakibatkan stratum germinativum di epidermis rusak. Peristiwa ini akhirnya
menyebabkan nekrosa bagian lamina dan korium kuku. Akhirnya terjadilah
laminitis yang ditandai dengan kepincangan parah yang disertai pertumbuhan
kuku yang tidak normal (Bergsten 2009).
Kasus gangguan reproduksi pada sapi perah hingga saat ini masih menjadi
kendala utama bagi usaha sapi perah rakyat yang mengakibatkan rendahnya
produktivitas ternak. Gangguan reproduksi berakibat pada kemajiran ternak
betina, yang ditandai dengan rendahnya angka kelahiran (calving rate) (Nurhayati
et al. 2007). Padahal perkembangbiakan ternak sangat dipengaruhi oleh angka
kelahiran yang akan berdampak terhadap pertambahan populasi.
Salah satu kendala kasus gangguan reproduksi yang mengakibatkan
rendahnya efisiensi reproduksi atau kesuburan adalah anestrus. Anestrus adalah
suatu kondisi pada hewan betina yang tidak menunjukkan gejala estrus secara
klinis dalam jangka waktu yang lama. Hewan betina yang menderita anestrus akan
ditandai dengan tidak adanya manifestasi gejala berahi (Hardjopranjoto 1995).
Banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya anestrus, diantaranya: umur
hewan, sapi dalam periode kebuntingan dan laktasi, kekurangan pakan, musim,
lingkungan yang kurang mendukung, adanya kondisi patologis pada ovarium dan
uterus serta penyakit kronis (Achjadi 2013).
Menurut Achjadi (2013), bentuk anestrus pada dasarnya dapat
dikelompokkan menjadi dua golongan besar yaitu kegagalan berahi dengan
corpus luteum persisten (CLP) dan kegagalan berahi karena insufisiensi
gonadotropin. Kegagalan berahi dengan adanya CLP setelah palpasi perektal
disebabkan oleh faktor uterus dimana ditemukan faktor penyebab anestrus karena
kebuntingan, peradangan, pyometra dan mumifikasi. Anetrus kelompok kedua
karena kagagalan berahi adalah insufisiensi gonadodotropin dan dapat dibagi
menjadi dua faktor yaitu faktor lingkungan dan faktor abnormalitas ovarium.
Faktor lingkungan yang menyebabkan anestrus adalah musim, pakan, nutrisi dan
laktasi, sedangkan faktor abnormalitas ovarium yang menyebabkan anestrus
adalah hipofungsi ovari, hipoplasi ovari, sistik ovari dan freemartinism (Achjadi
2013).
METODOLOGI
Metode Penelitian
Laminitis atau peradangan pada lamina kuku sapi merupakan penyakit yang
masih menjadi kendala di peternakan sapi perah di Indonesia, khususnya di KPBS
Panglengan. Berdasarkan data KPBS Pangalengan (2013), laminitis menjadi salah
satu penyakit yang banyak terjadi di KPBS Pangalengan (Tabel 2). Pada tahun
2011 dilaporkan kejadian laminitis pada sapi perah betina dewasa yaitu mencapai
215 ekor atau 1,6% dari total populasi. Tahun 2012 kejadian laminitis yang terjadi
yaitu 168 ekor (1,5%). Sedangkan pada tahun 2013 tercatat sebanyak 264 kasus
(3,1%).
Tabel 2 Jumlah kasus laminitis di KPBS Pangalengan tahun 2011-2013
Tahun Populasi Sapi Perah Betina Kasus Laminitis
Dewasa (ekor) (ekor) (%)
2011 12874 215 1,6
2012 10675 168 1,5
2013 8444 264 3,1
Sumber: Data KPBS Pangalengan (2014)
potong, sapi terlalu gemuk, 10% responden tertusuk benda tajam dan infeksi
bakteri, dan 37% responden lainnya menjawab tidak tahu penyebab laminitis.
Menurut Kloosterman (2007), lantai kandang yang keras dan kotor dapat
menyebabkan trauma pada kuku dan memicu terjadinya laminitis. Terbatasnya
jumlah hijauan di KPBS Pangalengan akibat keterbatasan lahan tanam menjadi
pemicu ketidakseimbangan antara pemberian konsentrat dan hijauan, serta
kandungan serat pada pakan yang terlalu rendah. Menurut Kloosterman (2007),
rasio konsentrat dan hijauan yang terlalu tinggi dan pakan yang rendah kadar serat
dapat memicu kondisi asidosis yang berhubungan erat dengan kejadian laminitis.
Kesalahan manajemen pakan telah diidentifikasi sebagai penyebab utama
laminitis, terutama peningkatan konsumsi pakan tinggi karbohidrat yang
mengakibatkan keadaan asidosis, kemudian berakibat pada penurunan pH
sistemik. Penurunan pH sistemik mengaktifkan mekanisme vasoaktif yang
meningkatkan pulsus dan aliran darah keseluruh tubuh. Kondisi asidosis akan
memicu pengeluaran histamin sebagai reaksi asing adanya perubahan,
ketidakseimbangan dan penyakit. Kondisi ini memicu pembuluh darah untuk
mengalami vasokontriksi. Vasokonstriksi pembuluh darah akan berdampak pada
daerah kaki dan kuku karena kaki dan kuku merupakan penyangga berat tubuh
sapi sehingga mengakibatkan tekanan pada daerah tersebut (Bergsten 2009).
Semakin lama darah yang beredar di kuku berkurang atau bahkan berhenti,
mengakibatkan pembuluh darah akan mengalami nekrosa yang berdampak pada
perubahan fisik jaringan disekitarnya. Sebagai akibat dari kerusakan pada
mikrovaskular dan rendahnya suplai nutrisi serta oksigen pada sel - sel epidermis
mengakibatkan stratum germinativum di epidermis rusak. Peristiwa ini akhirnya
menyebabkan nekrosa bagian lamina dan korium kuku. Akhirnya terjadilah
laminitis yang ditandai dengan kepincangan parah yang disertai pertumbuhan
kuku yang tidak normal (Bergsten 2009).
Tindakan untuk pencegahan laminitis berdasarkan keterangan responden
yaitu 70% responden melakukan pemotongan kuku, dan membersihkan kandang
secara rutin, serta memberikan pakan hijauan dan konsentrat secara seimbang.
Sebanyak 30% responden lainnya menjawab membersihkan kandang saja.
Menurut Kloosterman (2007), pencegahan laminitis ada dua langkah penting yaitu
terkait pakan dan kandang. Pemberian pakan ternak harus diperhatikan
keseimbangan pakan yang baik dengan kandungan serat fungsional yang cukup.
Kandang harus dibuat nyaman dengan menghindari penggunaan kandang dengan
lantai terbuat dari beton semen karena dapat berpengaruh negatif pada kesehatan
kuku sapi (Kloosterman 2007).
Berdasarkan keterangan responden, pengobatan yang diberikan oleh petugas
kesehatan hewan KPBS Pangalengan adalah 100% petugas memberikan
pengobatan berupa antibiotik dan antiradang. Menurut Greenough (2012), terapi
untuk laminitis yaitu dengan membersihkan dan merendam kuku dalam larutan
CuSO4 5%, larutan formalin 1%, dan diberikan antibiotik lokal penicillin 20000
IU pada daerah lamina kuku yang terluka. Selain itu, obat sistemik dapat
diberikan berupa sulfamethazine 200 mg/kg bb secara intra vena dan antibiotik
oxytetracycline secara intra muskular.
8
Tabel 3 Jumlah kejadian laminitis yang diikuti anestrus pada sapi post partus di
KPBS Pangalengan 2011-2013
Tahun Kejadian Laminitis Kejadian Laminitis diikuti Anestrus Persentase
(ekor) Post Partus (ekor) (%)
2011 215 88 40,93
2012 168 50 29,76
2013 264 77 29,17
Sumber: Data KPBS Pangalengan (2014)
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Kuisoner Peternak
7. Berapa produksi susu rata-rata per hari per ekor (tuliskan) ..............
12
Memotong kuku
Lain – lain (tuliskan) ................
Kuisoner Petugas Kesahatan
Petunjuk Pengisian Kuisioner :
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan cara :
Memberi tanda (√) pada kotak jawaban yang tersedia, sesuai dengan
keadaan Bapak/Ibu yang sebenar-benarnya
Jawaban boleh lebih dari satu, sesuai dengan keadaan Bapak/Ibu yang
sebenar-benarnya
Mengisi titik-titik pada pilihan lainnya jika ada jawaban yang tidak
tersedia
Konsentrat saja 0
Hijauan saja 100
Hijauan dan konsentrat 0
Lain – lain
Perbandingan pemberian hijauan dan konsentrat 0
20% hijauan : 80% kosentrat 50
80% hijauan : 20% kosentrat 10
50% hijauan : 50% kosentrat 33
60% hijauan : 40% kosentrat 0
40% hijauan : 60% kosentrat 7
Lain-lain
Pemotongan kuku 80
Ya 20
Tidak
Penyebab laminitis
Lantai keras dan kotor, tertusuk benda 53
tajam, pemberian konsentrat yang
17