Anda di halaman 1dari 29

KEJADIAN LAMINITIS DAN HUBUNGANNYA DENGAN

ANESTRUS PADA SAPI PERAH: Studi Kasus


di KPBS Pangalengan, Jawa Barat

WURI WULANDARI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kejadian Laminitis dan
Hubungannya dengan Anestrus pada Sapi Perah: Studi Kasus di KPBS
Pangalengan, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Wuri Wulandari
NIM B04110037
ABSTRAK

WURI WULANDARI. Kejadian Laminitis dan Hubungannya dengan Anestrus


pada Sapi Perah: Studi Kasus di KPBS Pangalengan, Jawa Barat. Dibimbing oleh
KURNIA ACHJADI.

Laminitis merupakan peradangan pada lamina dinding kuku sapi perah yang
disebabkan oleh banyak faktor dan dapat terjadi secara akut, subakut, maupun
kronis. Penyebab laminitis berkaitan erat dengan keadaan asidosis pada rumen
akibat meningkatnya konsumsi pakan tinggi karbohidrat. Laminitis pada sapi
perah telah dilaporkan menimbulkan rasa sakit pada lamina kuku, kepincangan,
perubahan struktur kuku, penurunan produksi susu, dan gangguan reproduksi.
Penelitian ini bertujuan menganalisa hubungan laminitis terhadap kejadian
anestrus pada sapi perah di KPBS Pangalengan, Jawa Barat. Berdasarkan data
jumlah kasus laminitis yang diambil tahun 2011 hingga 2013, dilaporkan
persentase kasus laminitis yang diikuti dengan kejadian anestrus pada tahun 2011
yaitu sebanyak 40,93% (88/215), tahun 2012 sebanyak 29,76% (50/168),
sedangkan tahun 2013 sebanyak 29,17% (77/264). Selanjutnya, digunakan
perhitungan statistik menggunakan metode Correlation untuk menghitung tingkat
korelasi antara laminitis dan anestrus. Hasil perhitungan didapatkan angka
korelasi sebesar 0,473** (α = 0,05) yang menandakan adanya hubungan yang
signifikan antara kejadian laminitis dan anestrus pada sapi perah.
Kata kunci: laminitis, asidosis, anestrus, sapi perah

ABSTRACT

WURI WULANDARI. Laminitis and Its Correlation with Anestrus in Dairy


Cows: A Case Study in KPBS Pangalengan, West Java. Supervised by KURNIA
ACHJADI.

Laminitis is the inflammation of laminar wall of the hoof which caused by


various factors and may happen in acute, sub acute and chronic form. The cause
of laminitis is associated with ruminal acidosis as a result of increased
carbohydrate intake. Laminitis on dairy cows has been reported to cause hoof
pain, lameness, deformation of hoof structure, decreased milk production, and
reproductive disorders. This research aims to analyze the correlation between
laminitis and anestrus occurrence in dairy cows in KPBS Pangalengan, West
Java. Based on the data, the percentage of laminitis case followed by anestrus
occurrence is 40,93% (88/215) in 2011, 29,76% (50/168) in 2012, and 29,17%
(77/264) in 2013. A statistical analysis using correlation method was conducted to
determine the correlation between laminitis and anestrus. Results showed that the
correlation level is 0.473** (α = 0.05). Thus, it is concluded that there is a
significant correlation between laminitis and anestrus on dairy cows.
Keywords: laminitis, ruminal acidosis, anestrus, dairy cows
KEJADIAN LAMINITIS DAN HUBUNGANNYA DENGAN
ANESTRUS PADA SAPI PERAH: Studi Kasus
di KPBS Pangalengan, Jawa Barat

WURI WULANDARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2014 hingga Februari 2015 ini
ialah Kejadian Laminitis dan Hubungannya dengan Anestrus pada Sapi Perah:
Studi Kasus di KPBS Pangalengan, Jawa Barat.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Drh R Kurnia Achjadi, MS
selaku pembimbing utama dan Ibu Dr Drh Chairun Nisa, MSi selaku pembimbing
akademik yang telah banyak memberi saran. Penghargaan penulis sampaikan
kepada Drh H Asep Rahmat K sebagai manajer kesehatan hewan dan seluruh staf
Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) yang telah membantu selama
penelitian dan pengumpulan data. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
Papa dan Mama tersayang (Indrajati, SPd dan Herniwati), serta kakak dan adik
saya (Ratih Anggia Puspa, Rangga Wisanggara, dan Wigiya Untari), seluruh
keluarga, Bayu Firmala Kusuma, Partner saya Fitri Jati Nuralam, sahabat, serta
teman-teman perwira 52 dan Ganglion 48 atas segala bentuk dukungan baik doa,
saran, semangat, dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

Wuri Wulandari
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Laminitis pada Sapi Perah 2
Patogenesa Laminitis 3
Dampak Laminitis pada Sapi Perah 3
Anestrus pada Sapi Perah 4
METODOLOGI 4
Tempat dan Waktu 4
Metode Penelitian 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 5
Profil dan Keadaan Umum KPBS Pangalengan 5
Populasi Sapi Perah di KPBS Pangalengan 5
Kasus Laminitis pada Sapi Perah di KPBS Pangalengan 6
Hubungan Kasus Laminitis dengan Anestrus pada Sapi Perah di KPBS
Pangalengan 8
SIMPULAN DAN SARAN 9
Simpulan 9
Saran 9
DAFTAR PUSTAKA 10
LAMPIRAN 11
Kuisoner Peternak 11
Kuisoner Petugas Kesehatan 14
Hasil Rekapitulasi Kuisoner Peternak 15
Hasil Rekapitulasi Kuisoner Peternak 17
RIWAYAT HIDUP 19
DAFTAR TABEL
1 Populasi sapi perah di KPBS Pangalengan tahun 2011-2014 6
2 Jumlah kasus laminitis di KPBS Pangalengan tahun 2011-2013 6
3 Jumlah kejadian laminitis yang disertai anestrus pada sapi post partus
di KPBS Pangalengan 2011-2013 8
4 Hasil pengolahan data statistik hubungan kejadian laminitis dengan
anestrus post partus menggunakan metode Correlation 8

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuisoner Peternak 11
2 Kuisoner Petugas Kesehatan 14
3 Hasil Rekapitulasi Kuisoner Peternak 15
4 Hasil Rekapitulasi Kuisoner Petugas Kesehatan 17
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang berpotensi untuk


pengembangan usaha di bidang peternakan, salah satunya peternakan sapi perah.
Usaha peternakan sapi perah di Indonesia mengalami kemajuan dari tahun ke
tahun. Hal tersebut ditandai oleh kenaikan produksi susu sapi nasional. Produksi
susu nasional pada tahun 2011 sebanyak 974,70 ribu ton. Produksi susu sapi
tersebut mengalami kenaikan sekitar 7,16% dibandingkan produksi susu tahun
2010 sebesar 909,53 ribu ton (Ditjennak 2012). Peningkatan produksi susu sapi
tersebut belum mampu mencukupi kebutuhan susu dalam negeri. Produksi susu
sapi dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 21% kebutuhan susu sapi
nasional, sedangkan 79% sisanya masih harus diimpor (Primandari 2013).
Pemenuhan kebutuhan susu sapi nasional tersebut harus diimbangi oleh
peningkatan populasi dan produktivitas sapi perah dalam negeri.
Upaya peningkatan populasi dan produktivitas sapi perah di Indonesia
dalam praktiknya banyak mengalami kendala, antara lain ketersediaan lahan untuk
kandang, kondisi peternakan sapi perah, ketersediaan dan kualitas pakan, serta
manajemen peternakan dan kesehatan reproduksi sapi perah yang belum
maksimal (Firman 2007). Gangguan reproduksi masih menjadi masalah utama
bagi peternakan sapi perah di Indonesia ditandai dengan masih rendahnya angka
kelahiran (calving rate) (Hardjopranjoto 1995). Panjang jarak antar kelahiran
(calving interval) dapat dipengaruhi oleh gangguan reproduksi pada sapi perah
akibat adanya kelainan anatomi saluran reproduksi, gangguan hormonal dan
abnormalias ovarium, serta akibat infeksi penyakit seperti endometritis, bruselosis
dan leptospirosis (Nurhayati et al. 2007).
Kondisi kesehatan sapi perah mempunyai dampak terhadap optimalnya
keberlangsungan reproduksi pada sapi perah. Kesehatan sapi perah salah satunya
sangat dipengaruhi oleh kebersihan kandang. Kebersihan kandang yang selalu
terjaga akan mencegah sapi terinfeksi penyakit. Penyakit yang sering ditemukan
pada peternakan sapi perah antara lain: mastitis, bruselosis, dan laminitis.
Penyakit pada sapi perah dengan kausa yang kompleks salah satunya adalah
laminitis. Laminitis merupakan peradangan pada lamina dinding kuku yang
disebabkan oleh multi faktor, antara lain: trauma pada kuku, teknik pemotongan
kuku yang salah, gangguan nutrisi, gangguan vaskularisasi darah ke daerah kaki,
gangguan hormonal, distensi pakan tinggi karbohidrat, infeksi sistemik atau
kondisi yang menyebabkan endotoksin misalnya mastitis, metritis, endometritis
yang terjadi pasca melahirkan, foot and rot disease (Bergsten 2009).
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh kejadian laminitis terhadap
anestrus pada sapi perah di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS)
Pangalengan yang merupakan salah satu sentral peternakan sapi perah di
Indonesia. Analisis mengenai ada atau tidaknya pengaruh kejadian laminitis
terhadap anestrus sangat diperlukan. Hal tersebut mengingat anestrus merupakan
salah satu gangguan reproduksi yang mengakibatkan rendahnya efisiensi
reproduksi atau kesuburan sapi perah yang tentu saja dapat merugikan peternak
(Achjadi 2013).
2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan kejadian laminitis


terhadap anestrus pada sapi perah di KPBS Pangalengan, Jawa Barat.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi tentang ada atau


tidaknya hubungan kejadian laminitis terhadap anestrus pada sapi perah di KPBS
Pangalengan, Jawa Barat.

TINJAUAN PUSTAKA

Laminitis pada Sapi Perah

Laminitis merupakan peradangan pada lamina dinding kuku yang


menyebabkan ketidaknyamanan pada sapi perah (Kloosterman 2007). Laminitis
umumnya terjadi pada sapi perah saat masa laktasi dan sangat dipengaruhi oleh
faktor - faktor manajemen seperti trauma pada kuku akibat lantai kandang yang
keras dan kotor, perubahan pakan mendadak, ketidakseimbangan antara
konsentrat dan serat yang disertai penyakit lain sebagai faktor predisposisi.
Laminitis merupakan gambaran kejadian penyakit yang telah berjalan sistemik
yang memiliki satu atau lebih lesio pada kuku, diantaranya: perdarahan dan
nekrosa pada bagian white line kuku (Kloosterman 2007). Penyebab peradangan
yaitu akibat gangguan vaskularisasi darah ke daerah kaki, menyebabkan hipoksia
dan kekurangan nutrisi pada lamina dinding kuku. Penyebab laminitis lainnya
diduga akibat tingginya konsentrasi karbohidrat di dalam rumen menyebabkan
keadaan asidosis (Kloosterman 2007).
Laminitis dapat berjalan secara akut, subakut, dan kronis (Greenough 2012).
Laminitis akut adalah laminitis yang terjadi dalam jangka waktu sangat pendek.
Gejala laminitis akut yaitu sapi mengalami stres, tidak makan (anoreksia), dan
berdiri dengan tidak seimbang, dan apabila dipaksa untuk berjalan, sapi akan
berjalan dengan pincang dimana kaki yang sakit akan dipijakkan secepat
mungkin. Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan laminitis akut antara lain:
metritis, mastitis yang disebabkan oleh E. coli, dan Bovine Viral Diarhea (BVD)
(Kloosterman 2007). Laminitis subakut adalah bentuk paling umum terjadi pada
sapi perah terutama pada saat melahirkan. Dimulai sekitar 7-10 hari sebelum
melahirkan dan berlangsung 7-10 hari setelah melahirkan. Gejala kepincangan
sering muncul 2-4 minggu setelah melahirkan. Kepincangan sering tidak terlihat
meskipun sapi berjalan kaku dan kaki terlihat lemah (Kloosterman 2007).
Laminitis kronis adalah lanjutan dari laminitis akut dan atau subakut dan sering
terlihat setelah beberapa bulan. Kuku mengalami kerusakan pada lamina dan
terjadi perubahan bentuk pada dinding dorsal kuku yang terlihat melengkung
(Kloosterman 2007).
Penerapan manajemen kandang merupakan faktor risiko laminitis. Terdapat
dua langkah pencegahan terpenting untuk mengurangi kejadian laminitis yang
3

berhubungan dengan luka terkait dengan pakan dan kandang. Hal yang harus
diperhatikan saat pemberian pakan ternak antara lain pengaturan komposisi pakan
dan memperhatikan keseimbangan pakan yang baik dengan kandungan serat
fungsional yang cukup (keseimbangan antara rumput dan konsentrat) untuk
meningkatkan ruminasi. Tindakan untuk mencegah laminitis, kandang ternak
harus dibuat nyaman dengan menghindari penggunaan kandang yang beralaskan
beton karena dapat berpengaruh negatif pada kesehatan kuku sapi. Sebaiknya
kandang sapi dibuat beralaskan karet untuk mengurangi perlukaan kuku dan luas
kandang yang cukup untuk ternak dapat exercise (Kloosterman 2007).

Patogenesa Laminitis

Laminitis pada sapi disebabkan oleh lesio yang sangat beragam. Kejadian
dan keparahannya dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor mekanik
seperti abnormalitas bentuk kuku, permukaan kuku yang keras sedangkan pada
bagian tanduk kuku lunak, dan kelainan bentuk pada kaki. Faktor mekanik
tersebut berkaitan dengan gangguan mikrovaskularisasi pada daerah kuku akibat
rusaknya bagian lamina kuku yang melipat ke dalam menyebabkan tekanan pada
korium (Ossent et al. 1997). Faktor sistemik penyebab laminitis berhubungan
dengan ketidakseimbangan antara konsentrat dan serat akan menyebabkan tubuh
mengalami asidosis rumen, ketosis, dan endotoksemia (Ossent et al. 1997).
Kesalahan manajemen pakan telah diidentifikasi sebagai penyebab utama
laminitis, terutama peningkatan konsumsi pakan tinggi karbohidrat yang
mengakibatkan keadaan asidosis, kemudian berakibat pada penurunan pH
sistemik. Penurunan pH sistemik mengaktifkan mekanisme vasoaktif yang
meningkatkan pulsus dan aliran darah keseluruh tubuh. Kondisi asidosis akan
memicu pengeluaran histamin sebagai reaksi asing adanya perubahan,
ketidakseimbangan dan penyakit. Kondisi ini memicu pembuluh darah untuk
mengalami vasokontriksi. Vasokonstriksi pembuluh darah akan berdampak pada
daerah kaki dan kuku karena kaki dan kuku merupakan penyangga berat tubuh
sapi sehingga mengakibatkan tekanan pada daerah tersebut (Bergsten 2009).
Semakin lama darah yang beredar di kuku berkurang atau bahkan berhenti,
mengakibatkan pembuluh darah akan mengalami nekrosa yang berdampak pada
perubahan fisik jaringan disekitarnya. Sebagai akibat dari kerusakan pada
mikrovaskular dan rendahnya suplai nutrisi serta oksigen pada sel - sel epidermis
mengakibatkan stratum germinativum di epidermis rusak. Peristiwa ini akhirnya
menyebabkan nekrosa bagian lamina dan korium kuku. Akhirnya terjadilah
laminitis yang ditandai dengan kepincangan parah yang disertai pertumbuhan
kuku yang tidak normal (Bergsten 2009).

Dampak Laminitis pada Sapi Perah

Kejadian laminitis pada sapi perah menimbulkan masalah pada alat


lokomosi diantaranya adalah kepincangan, rasa sakit pada bagian lamina kuku,
kerusakan dan perubahan pada struktur kuku, dan keengganan untuk berjalan
(Menzies et al. 2010). Dampak lain dari laminitis yaitu penurunan nafsu makan
dan produksi susu. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Warnick et al.
4

(2001), pada sapi perah yang dikatagorikan mengalami kepincangan (laminitis,


sole ulcer, abscess, foot rot disease, dan lainnya) terjadi penurunan produksi susu
sebesar 1,5 Kg/hari. Penelitian lainnya menyebutkan bahwa adanya keterkaitan
antara kepincangan dengan penundaan siklus estrus pada sapi Friesian Holstein
(FH), sapi yang diklasifikasikan mengalami kepincangan memiliki peluang 3,5
kali lebih besar mengalami penundaan siklus estrus post partus dibandingkan
dengan sapi normal (Garbarino et al. 2004).

Anestrus pada Sapi Perah

Kasus gangguan reproduksi pada sapi perah hingga saat ini masih menjadi
kendala utama bagi usaha sapi perah rakyat yang mengakibatkan rendahnya
produktivitas ternak. Gangguan reproduksi berakibat pada kemajiran ternak
betina, yang ditandai dengan rendahnya angka kelahiran (calving rate) (Nurhayati
et al. 2007). Padahal perkembangbiakan ternak sangat dipengaruhi oleh angka
kelahiran yang akan berdampak terhadap pertambahan populasi.
Salah satu kendala kasus gangguan reproduksi yang mengakibatkan
rendahnya efisiensi reproduksi atau kesuburan adalah anestrus. Anestrus adalah
suatu kondisi pada hewan betina yang tidak menunjukkan gejala estrus secara
klinis dalam jangka waktu yang lama. Hewan betina yang menderita anestrus akan
ditandai dengan tidak adanya manifestasi gejala berahi (Hardjopranjoto 1995).
Banyak faktor yang dapat menyebabkan timbulnya anestrus, diantaranya: umur
hewan, sapi dalam periode kebuntingan dan laktasi, kekurangan pakan, musim,
lingkungan yang kurang mendukung, adanya kondisi patologis pada ovarium dan
uterus serta penyakit kronis (Achjadi 2013).
Menurut Achjadi (2013), bentuk anestrus pada dasarnya dapat
dikelompokkan menjadi dua golongan besar yaitu kegagalan berahi dengan
corpus luteum persisten (CLP) dan kegagalan berahi karena insufisiensi
gonadotropin. Kegagalan berahi dengan adanya CLP setelah palpasi perektal
disebabkan oleh faktor uterus dimana ditemukan faktor penyebab anestrus karena
kebuntingan, peradangan, pyometra dan mumifikasi. Anetrus kelompok kedua
karena kagagalan berahi adalah insufisiensi gonadodotropin dan dapat dibagi
menjadi dua faktor yaitu faktor lingkungan dan faktor abnormalitas ovarium.
Faktor lingkungan yang menyebabkan anestrus adalah musim, pakan, nutrisi dan
laktasi, sedangkan faktor abnormalitas ovarium yang menyebabkan anestrus
adalah hipofungsi ovari, hipoplasi ovari, sistik ovari dan freemartinism (Achjadi
2013).

METODOLOGI

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS)


Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Kegiatan penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Januari 2014 hingga Februari 2015.
5

Metode Penelitian

Laminitis merupakan peradangan pada lamina kuku sapi perah yang


menjadi salah satu penyakit dengan kejadian cukup tinggi di KPBS Pangalengan.
Anestrus post partus merupakan tidak munculnya gejala estrus setelah 50-60 hari
post partus. Analisa mengenai hubungan kejadian laminitis dan anestrus post
partus perlu dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara
keduanya.
Data penelitian diperoleh dari dokumen KPBS Pangalengan berupa jumlah
populasi sapi, rekap data kejadian laminitis, data waktu sapi partus dan inseminasi
buatan (IB), serta status kesehatan sapi pada tahun 2011-2013. Kuisoner sebagai
sumber data sekunder diberikan kepada peternak dan petugas kesehatan untuk
memperoleh informasi mengenai sejauh mana pengetahuan peternak dan petugas
kesehatan tentang laminitis dan karakteristik peternak dan petugas kesehatan.
Data yang didapatkan akan dianalisa secara deskriptif dan statistik. Analisa
deskriptif digunakan untuk melihat kejadian laminitis dan anestrus pada sapi
perah di wilayah kerja KPBS Pangalengan.
Data kejadian laminitis dan anestrus dikumpulkan dan direkapitulasi
terlebih dahulu, selanjutnya dilakukan pengolahan dan diuji secara statistik
menggunakan metode Correlation untuk mengetahui hubungan kasus laminitis
dengan anestrus sapi perah di KPBS Pangalengan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Profil dan Keadaan Umum KPBS Pangalengan

Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan merupakan


sebuah koperasi yang beranggotakan peternak sapi perah yang berada di
Kecamatan Pangalengan, Bandung, Jawa Barat. KPBS diresmikan oleh tanggal 1
April 1969. KPBS Pangalengan memiliki luas wilayah kerja 49.700,21 hektar.
Wilayah kerja KPBS berada di daerah pegunungan dengan ketinggian 1.000–
1.420 meter di atas permukaan laut, suhu udara antara 12–28 °C, dan kelembaban
antara 60–70 %. Kondisi alam tersebut selain cocok untuk perkembangan sapi
perah juga cocok untuk perkebunan serta tanaman sayuran (KPBS 2011).
Wilayah kerja KPBS Pangalengan meliputi tiga kecamatan, yaitu:
Kecamatan Pangalengan, Kecamatan Kertasari dan Kecamatan Pacet, yang
terbagi kedalam 36 Tempat Pelayanan Koperasi (TPK) dengan 614 kelompok
peternak sapi perah, dan sekitar 6993 jumlah peternak. Tugas pokok KPBS
diantaranya memulihkan iklim perekonomian dalam bidang peternakan khususnya
di Bandung Selatan, ikut serta bersama pemerintah meningkatkan pendapatan
dibidang peternakan, dan berperan aktif dalam melaksanakan program pemerintah
yang digariskan dalam pola pengembang 5 tahun (KPBS 2011).

Populasi Sapi Perah di KPBS Pangalengan

Sebagian besar penduduk yang berada di wilayah kerja KPBS Pangalengan


memiliki peternakan sapi perah Friesian Holstein (FH) yang berskala kecil hingga
6

menengah. Berdasarkan hasil kuisoner didapatkan bahwa tiap anggota memiliki


jumlah ternak yang bervariasi mulai dari satu hingga puluhan ekor. Perkembangan
populasi merupakan indikator yang paling sering dilakukan terhadap produktivitas
sapi perah dan perkembangan pertenakan. Berdasarkan data empat tahun terakhir
yaitu 2011, 2012, 2013, dan 2014 yang bersumber dari data KPBS Pangalengan
tahun 2014, jumlah populasi sapi perah dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Populasi sapi perah di KPBS Pangalengan tahun 2011-2014


Tahun Jumlah (ekor)
2011 21991
2012 16952
2013 13366
2014 12439
Sumber: Data KPBS Pangalengan (2014)

Berdasarkan data yang diperoleh dari KPBS Pangalengan (2014), jumlah


sapi perah mengalami penurunan dari tahun 2011 hingga 2014. Penurunan jumlah
tersebut kemungkinan disebabkan oleh banyaknya sapi perah milik peternak yang
dijual untuk dijadikan sapi pedaging akibat mahalnya biaya operasional seperti
harga konsentrat serta sulitnya memperoleh hijauan, serta ditambah harga susu
yang tidak sebanding dengan tingginya biaya operasional.

Kasus Laminitis pada Sapi Perah di KPBS Pangalengan

Laminitis atau peradangan pada lamina kuku sapi merupakan penyakit yang
masih menjadi kendala di peternakan sapi perah di Indonesia, khususnya di KPBS
Panglengan. Berdasarkan data KPBS Pangalengan (2013), laminitis menjadi salah
satu penyakit yang banyak terjadi di KPBS Pangalengan (Tabel 2). Pada tahun
2011 dilaporkan kejadian laminitis pada sapi perah betina dewasa yaitu mencapai
215 ekor atau 1,6% dari total populasi. Tahun 2012 kejadian laminitis yang terjadi
yaitu 168 ekor (1,5%). Sedangkan pada tahun 2013 tercatat sebanyak 264 kasus
(3,1%).
Tabel 2 Jumlah kasus laminitis di KPBS Pangalengan tahun 2011-2013
Tahun Populasi Sapi Perah Betina Kasus Laminitis
Dewasa (ekor) (ekor) (%)
2011 12874 215 1,6
2012 10675 168 1,5
2013 8444 264 3,1
Sumber: Data KPBS Pangalengan (2014)

Penyebab kejadian laminitis dapat dikaitkan dengan keadaan peternakan di


KPBS Pangalengan, diantaranya kondisi alas kandang yang keras dan kotor.
Berdasarkan hasil kuisoner dari 30 peternak, diketahui bahwa 80% lantai kandang
sapi terbuat dari beton semen yang dilapisi karet. Sebanyak 56% responden
membersihkan lantai kandang 4-5 kali sehari, 33% responden membersihkan
lantai kandang 3 kali sehari dan 10% responden 2 kali sehari. Penyebab laminitis
berdasarkan keterangan responden diantaranya 53% responden lantai keras dan
kotor, tertusuk benda tajam, pemberian konsentrat yang berlebihan, kuku tidak di
7

potong, sapi terlalu gemuk, 10% responden tertusuk benda tajam dan infeksi
bakteri, dan 37% responden lainnya menjawab tidak tahu penyebab laminitis.
Menurut Kloosterman (2007), lantai kandang yang keras dan kotor dapat
menyebabkan trauma pada kuku dan memicu terjadinya laminitis. Terbatasnya
jumlah hijauan di KPBS Pangalengan akibat keterbatasan lahan tanam menjadi
pemicu ketidakseimbangan antara pemberian konsentrat dan hijauan, serta
kandungan serat pada pakan yang terlalu rendah. Menurut Kloosterman (2007),
rasio konsentrat dan hijauan yang terlalu tinggi dan pakan yang rendah kadar serat
dapat memicu kondisi asidosis yang berhubungan erat dengan kejadian laminitis.
Kesalahan manajemen pakan telah diidentifikasi sebagai penyebab utama
laminitis, terutama peningkatan konsumsi pakan tinggi karbohidrat yang
mengakibatkan keadaan asidosis, kemudian berakibat pada penurunan pH
sistemik. Penurunan pH sistemik mengaktifkan mekanisme vasoaktif yang
meningkatkan pulsus dan aliran darah keseluruh tubuh. Kondisi asidosis akan
memicu pengeluaran histamin sebagai reaksi asing adanya perubahan,
ketidakseimbangan dan penyakit. Kondisi ini memicu pembuluh darah untuk
mengalami vasokontriksi. Vasokonstriksi pembuluh darah akan berdampak pada
daerah kaki dan kuku karena kaki dan kuku merupakan penyangga berat tubuh
sapi sehingga mengakibatkan tekanan pada daerah tersebut (Bergsten 2009).
Semakin lama darah yang beredar di kuku berkurang atau bahkan berhenti,
mengakibatkan pembuluh darah akan mengalami nekrosa yang berdampak pada
perubahan fisik jaringan disekitarnya. Sebagai akibat dari kerusakan pada
mikrovaskular dan rendahnya suplai nutrisi serta oksigen pada sel - sel epidermis
mengakibatkan stratum germinativum di epidermis rusak. Peristiwa ini akhirnya
menyebabkan nekrosa bagian lamina dan korium kuku. Akhirnya terjadilah
laminitis yang ditandai dengan kepincangan parah yang disertai pertumbuhan
kuku yang tidak normal (Bergsten 2009).
Tindakan untuk pencegahan laminitis berdasarkan keterangan responden
yaitu 70% responden melakukan pemotongan kuku, dan membersihkan kandang
secara rutin, serta memberikan pakan hijauan dan konsentrat secara seimbang.
Sebanyak 30% responden lainnya menjawab membersihkan kandang saja.
Menurut Kloosterman (2007), pencegahan laminitis ada dua langkah penting yaitu
terkait pakan dan kandang. Pemberian pakan ternak harus diperhatikan
keseimbangan pakan yang baik dengan kandungan serat fungsional yang cukup.
Kandang harus dibuat nyaman dengan menghindari penggunaan kandang dengan
lantai terbuat dari beton semen karena dapat berpengaruh negatif pada kesehatan
kuku sapi (Kloosterman 2007).
Berdasarkan keterangan responden, pengobatan yang diberikan oleh petugas
kesehatan hewan KPBS Pangalengan adalah 100% petugas memberikan
pengobatan berupa antibiotik dan antiradang. Menurut Greenough (2012), terapi
untuk laminitis yaitu dengan membersihkan dan merendam kuku dalam larutan
CuSO4 5%, larutan formalin 1%, dan diberikan antibiotik lokal penicillin 20000
IU pada daerah lamina kuku yang terluka. Selain itu, obat sistemik dapat
diberikan berupa sulfamethazine 200 mg/kg bb secara intra vena dan antibiotik
oxytetracycline secara intra muskular.
8

Hubungan Kasus Laminitis dengan Anestrus pada Sapi Perah


di KPBS Pangalengan

Kejadian laminitis pada sapi perah diduga dapat menimbulkan dampak


penundaan siklus estrus post partus (anestrus post partus). Menurut Achjadi
(2013), anestrus post partus adalah tidak munculnya tanda estrus secara nyata
(dari pengamatan) setelah 50-60 hari post partus. Menurut Nurhayati et al. (2007),
anestrus post partus yang diperpanjang dapat memperpanjang calving interval
sehingga tingkat produktivitas sapi menurun. Apabila laminitis terbukti
memperpanjang waktu anestrus (>60 hari post partus), tentu saja menimbulkan
permasalahan dan kerugian ekonomi bagi peternak di KPBS Pangalengan terkait
biaya pakan dan biaya pengobatan.

Tabel 3 Jumlah kejadian laminitis yang diikuti anestrus pada sapi post partus di
KPBS Pangalengan 2011-2013
Tahun Kejadian Laminitis Kejadian Laminitis diikuti Anestrus Persentase
(ekor) Post Partus (ekor) (%)
2011 215 88 40,93
2012 168 50 29,76
2013 264 77 29,17
Sumber: Data KPBS Pangalengan (2014)

Tabel 3 menyajikan informasi jumlah kejadian laminitis yang diikuti


kejadian anestrus yang diperpanjang pada sapi setelah 60 hari post partus dalam
rentang waktu dari tahun 2011 hingga 2013. Tahun 2011 tercatat sebanyak
40,93% (88/215) kejadian laminitis yang diikuti anestrus yang lebih panjang,
normalnya siklus estrus mulai berjalan kembali pada hari 50-60 post partus
(Achjadi 2013). Apabila sapi betina yang terkena laminitis mengalami penundaan
siklus estrus setelah 50-60 hari post partus (panjang 1 siklus estrus sapi 19-21 hari
(Achjadi 2013)), maka dikatakan sapi mengalami anestrus post partus yang
diperpanjang. Tahun 2012 tercatat sebanyak 29,76% (50/168) kejadian laminitis
yang diikuti gejala anestrus post partus. Sedangkan tahun 2013, kejadian laminitis
yang diikuti gejala anestrus post partus tercatat sebanyak 29,17% (77/264).

Tabel 4 Hasil pengolahan data statistik hubungan kejadian laminitis dengan


anestrus post partus menggunakan metode Correlation
Korelasi
Laminits Anestrus post
partus
Laminitis Pearson corelasi 1 0,473**
Sig. (2-tailed) 0,004
N 36 36
Anestrus Pearson corelasi 0,473** 1
post partus Sig. (2-tailed) 0,004
N 36 36
**
Keterangan: tingkat kesalahan 0,05 (2-tailed)

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kejadian laminitis sering dikaitkan


menjadi penyebab terhambatnya siklus estrus pada sapi post partus. Berdasarkan
9

penelitian yang dilakukan Garbarino et al. (2004), disebutkan bahwa adanya


keterkaitan antara kepincangan (laminitis, sole ulcer, abscess, foot rot disease,
dan lainnya) dengan penundaan siklus estrus pada sapi Friesian Holstein (FH).
Sapi yang diklasifikasikan mengalami kepincangan memiliki peluang 3,5 kali
lebih besar mengalami penundaan siklus estrus post partus dibandingkan dengan
sapi normal (Garbarino et al 2004). Penyebab penundaan siklus estrus tersebut
akibat kurangnya suplai energi dikarenakan sapi terlalu lama berbaring, kesakitan
dan tidak mampu berdiri, serta berkurangnya nafsu makan. Sedangkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Kiliç et al. 2007 menyebutkan bahwa sapi yang
mengalami laminitis memiliki calving interval yang lebih lama, tingkat
keberhasilan konsepsi IB pertama yang rendah, dan waktu untuk dikawinkan
kembali setelah partus yang lebih lama dibandingkan sapi normal.
Tabel 4 merupakan hasil pengolahan data statistik hubungan kejadian
laminitis dengan anestrus post partus menggunakan metode Correlation untuk
mengetahui hubungan kasus laminitis dengan anestrus post partus pada sapi perah
di KPBS Pangalengan. Metode correlation menggunakan tingkat kepercayaan
sebesar 95% dengan α 0,05. Berdasarkan Tabel 4 diperoleh angka korelasi sebesar
0,473, artinya terdapat hubungan yang signifikan antara kasus laminitis dengan
anestrus post partus pada sapi perah. Hubungan korelasi ini kuat yang ditunjukan
dengan korelasi mendekati 1 dengan angka signifikan 0,004 < 0,05 yang
menandakan adanya hubungan yang signifikan antara laminitis dengan anestrus
post partus. Tanda positif pada koefisien korelasi menunjukan bahwa korelasi
yang terjadi antara laminitis dengan anestrus adalah hubungan yang berbanding
lurus, artinya semakin tinggi kasus laminitis maka semakin tinggi pula waktu
anestrusnya. Sehingga dapat dikatakan hubungan antara kejadian laminitis dan
anestrus adalah kuat, signifikan, dan berbanding lurus.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Studi kasus yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa kejadian laminitis


berkorelasi signifikan terhadap kejadian anestrus post partus pada sapi perah di
KPBS Pangalengan. Dengan kata lain, laminitis dapat mengakibatkan penundaan
siklus estrus post partus (anestrus) pada sapi perah di KPBS Pangalengan.

Saran

Perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengurangi kasus laminitis, antara lain


dengan melakukan penyuluhan kepada peternak dan petugas kesehatan tentang
cara pencegahan dan pengobatan, serta meningkatkan ketersedian hijauan,
kualitas pakan sehingga dapat mengurangi tingkat kejadian laminitis.
10

DAFTAR PUSTAKA

Achjadi K. 2013. Manajemen Kesehatan Kelompok dan Biosekuriti. Yogyakarta


(ID): Makalah Pertemuan Swasembada Persusuan di Indonesia.
Bergsten C. 2009. Laminitis: Causes, Risk Factors, and Prevention. [internet].
Tersedia pada: http://www.txanc.org/proceedings/2011/BovineLaminitis
.pdf. Diakses pada 2015 Februari 20.
[Ditjennak] Direktoral Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. (ID) 2012. Statistik
Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011. Jakarta (ID). Kementrian Pertanian RI.
Firman A. 2007. Manajemen Agribisnis Sapi Perah. [telaah pustaka]. Bandung
(ID): Universitas Padjadjaran.
Garbarino EJ, Hernandez JA, Shearer JK, Risco CA, Thatcher WW. 2004. Effect
of lameness on ovarian activity in postpartum holstein cows. J Dairy Sci.
87: 4123-4131.
Greenough PR. 2012. Laminitis in cattle. [internet]. Tersedia pada:
http://www.merckmanuals.com/vet/musculoskeletalsystem/lamenessincattle
/laminitisincattle.html. Diakses pada: 2015 Maret 17
Hardjopranjoto S. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Surabaya (ID): Universitas
Airlangga Pr.
Kloosterman P. 2007. Laminitis – prevention, diagnosis, and treatmen. WCDS
Advances in Dairy Technology. 19: 157-166.
Kiliç N, Serin I, Gökbulut C. 2007. Possible interaction between lameness,
fertility, some minerals, and vitamine E in dairy cows. Bull Vet Inst Pulawy.
51: 425-429.
[KPBS] Koperasi Peternakan Bandung Selatan. 2011. Profil dan Sejarah KPBS
Pangalengan. [internet]. Tersedia pada: http://www.kpbs.co.id. Diakses pada
2015 Juni 23.
Menzies GNJ, Stevens K, Barr A, Camm I, Pfeiffer D, Marr CM. 2010. Severity
and outcome of equine pasture-associated laminitis managed in first opinion
practice in the UK. J Vet Rec. 167(10): 364-9.
Nurhayati IS, Saptati RA, Martindah E. 2007. Penanganan gangguan reproduksi
guna mendukung pengembangan usaha sapi perah. [semiloka nasional].
Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Ossent P. Greenough PR, Vermunt JJ. 1997. Laminitis. Di dalam: Lameness in
Cattle. Philadelphia: Saunders Company. Hlm. 277-292.
Primandari T. 2013. Produksi susu lokal menurun. [internet]. Tersedia pada:
http://www.tempo.co/read/news/2013/05/18/090481385/Produksi-Susu-Lokal-
Menurun. Diakses pada 2015 Juni 28.
Warnick LD, Janssen D, Guard CL, Gröhn YT. 2001. The effect of lameness on
milk production in dairy cows. J Dairy Sci. 84: 1988-1997.
LAMPIRAN

Kuisoner Peternak

Petunjuk Pengisian Kuisioner :


Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan cara :
 Memberi tanda (√) pada kotak jawaban yang tersedia, sesuai dengan keadaan
Bapak/Ibu yang sebenar-benarnya
 Jawaban boleh lebih dari satu, sesuai dengan keadaan Bapak/Ibu yang sebenar-
benarnya
 Mengisi titik-titik pada pilihan lainnya jika ada jawaban yang tidak tersedia

Latar belakang peternak

1. Pendidikan terakhir Bapak/Ibu?


 SD  SMA/ SMK
 SMP  D3,S1,S2
2. Pendidikan non formal:
 Tidak ada
 Penyuluhan dan pelatihan peternakan
 Lain – lain (tuliskan) ................
3. Berapa lama pengalaman Bapak/Ibu berternak sapi?
 0 – 5 tahun  Lebih dari 10 tahun
 5 – 10 tahun  Lain – lain (tuliskan) .......
4. Apa mata pencaharian pokok Bapak/Ibu?
 Berternak  Berdagang
 Bertani  Pegawai negeri
5. Apa tujuan Bapak/Ibu memelihara ternak?
 Menjual susunya
 Menjual susu, pedet, dara atau induk
 Sekedar berternak
 Lain – lain (tuliskan) .......
6. Berapa jumlah sapi yang Bapak/Ibu pelihara?

Sapi Perah Jumlah


Jantan Betina
Sapi Pedet (anakan) .... ....
Sapi Dara .... ....
Sapi Dewasa
Laktasi .... ....
Kering Kandang .... ....
Jumlah total .... ....

7. Berapa produksi susu rata-rata per hari per ekor (tuliskan) ..............
12

Menagemen sapi perah

1. Lantai kandang sapi milik Bapak/Ibu terbuat dari apa?


 Tanah
 Beton
 Beton dilapisi karet
 Beton dilapisi sekam
 Lain-lain (tuliskan) ..................
2. Berapa kali Bapak/Ibu membersihkan lantai kandang?
 1 kali sehari
 2 kali sehari
 3 kali sehari
 2 hari sekali
Lain-lain (tuliskan) ..................
3. Berapa kali sapi Bapak/Ibu dikasih pakan dalam sehari?
 1 kali  3 kali
 2 kali  Lain – lain (tuliskan) ..........

4. Jenis pakan apa yang Bapak/ ibu berikan kepada sapi?


 Konsentrat saja
 Hijauan saja
 Hijaun dan konsentrat
 Lain-lain (tuliskan) ........
5. Jika sapi perah milik Bapak/Ibu diberi pakan hijauan dan kosentrat berapa
perbandingannya?
 20% hijauan : 80% kosentrat
 80% hijauan : 20% kosentrat
 50% hijauan : 50% kosentrat
 60% hijauan : 40% kosentrat
 40% hijauan : 60% kosentrat
 Lain-lain (tuliskan) ...................
6. Jenis hijauan/rumput apa yang diberikan ke sapi perah milik Bapak/Ibu?
Tuliskan
.............................................................................................................................
7. Jenis kosentrat apa yang diberikan ke sapi perah milik Bapak/Ibu?
Tuliskan
.............................................................................................................................
.............................................................................................................................
8. Apakah dilakukan pemotongan kuku pada sapi perah milik Bapak/Ibu
 Ya
Jika Ya, tiap berapa bulan pemotongan kuku dilakukan (tuliskan)
........................................................................................................................
 Tidak
Jika Tidak, tuliskan alasannya
........................................................................................................................
........................................................................................................................
13

Pengetahuan peternak terhadap laminitis

1. Menurut Bapak/Ibu apa yang dimaksud dengan laminitis?


 Peradangan dinding kuku bagian bawah
 Sakit pada kuku
 Sakit pada persendian
 Tidak tahu
2. Nama lain dari laminitis di daerah Bapak/Ibu biasanya disebut apa?
 Kuku busuk
 ingkeud
 lain – lain (tuliskan) .................
3. Apakah sapi Bapak/Ibu pernah mengalami laminitis?
 Ya
 Tidak
4. Jika iya, berapa lama sapi Bapak/Ibu menderita laminitis?
....................................................................................................................
5. Kejadian sapi menderita laminitis paling sering pada umur berapa?
 Pedet
 Sapi dara
 Sapi dewasa
6. Apa yang Bapak/Ibu ketahui tentang tanda – tanda sapi terkena laminitis?
 Kepincangan, kuku berdarah, kuku lepas dan terkelupas (luka), Kuku
busuk, Panas pada kaki bagian bawah, kuku bengkak dan bernanah
 Sapi roboh, sapi demam
 Sapi tidak mau berdiri
 Produksi susu turun
 Tidak mau makan
 Tidak tahu
7. Apa yang Bapak/Ibu ketahui tentang penyebab laminitis?
 Lantai keras dan kotor, tertusuk benda tajam, pemberian konsentrat yang
berlebihan, kuku tidak dipotong, sapi terlalu gemuk
 Kuku tidak dipotong, sapi terlalu gemuk
 Tertusuk benda tajam, infeksi bakteri
 Tidak tahu
8. Apa dampak akibat laminitis terhadap sapi Bapak/ Ibu?
 Tidak berahi/ beger (anestrus), produksi susu turun dan sapi telihat sakit
 Nafsu makan menurun dan produksi susu turun
 Produksi susu turun dan sapi terlihat sakit
 Lain–lain (tuliskan) ..........................................
9. Jika sapi Bapak/Ibu menderita laminitis, tindakan awal apa yang dilakukan
oleh Bapak/ Ibu?
 Melapor petugas
 Diobati sendiri
 Dibiarkan saja
10. Tindakan apa yang Bapak/Ibu lakukan untuk mencegah laminitis?
 Pemotongan kuku secara rutin, membersihkan kandang dengan rutin, dan
memberikan pakan hijauan dan konsentrat secara seimbang
 Membersihkan kandang
14

 Memotong kuku
 Lain – lain (tuliskan) ................
Kuisoner Petugas Kesahatan
Petunjuk Pengisian Kuisioner :
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan cara :
 Memberi tanda (√) pada kotak jawaban yang tersedia, sesuai dengan
keadaan Bapak/Ibu yang sebenar-benarnya
 Jawaban boleh lebih dari satu, sesuai dengan keadaan Bapak/Ibu yang
sebenar-benarnya
 Mengisi titik-titik pada pilihan lainnya jika ada jawaban yang tidak
tersedia

1. Menurut Bapak/Ibu apa yang dimaksud dengan laminitis?


 Peradangan dinding kuku bagian bawah
 Sakit pada kuku
 Sakit pada persendian
 Tidak tahu
2. Nama lain dari laminitis di daerah Bapak/Ibu biasanya disebut apa?
 Kuku busuk
 ingkeud
 lain – lain (tuliskan) ..........
3. Apa yang Bapak/Ibu ketahui tentang tanda – tanda sapi terkena laminitis?
 Pincang, kuku berdarah, kuku lepas dan terkelupas (luka), Kuku busuk,
Panas pada kaki bagian bawah, kuku bengkak dan bernanah
 Sapi roboh, sapi demam
 Sapi tidak mau berdiri
 Produksi susu turun
 Tidak mau makan
 Tidak tahu
4. Apa yang Bapak/Ibu ketahui tentang penyebab laminitis?
 Lantai keras dan kotor, tertusuk benda tajam, pemberian konsentrat yang
berlebihan, kuku tidak dipotong, sapi terlalu gemuk
 Kuku tidak dipotong, sapi terlalu gemuk
 Tertusuk benda tajam, infeksi bakteri
 Tidak tahu
5. Menurut Bapak/Ibu apakah laminitis dapat menimbulkan masalah reproduksi
pada sapi?
 Ya
Jika Ya, tuliskan apa saja masalah tersebut
........................................................................................................................
........................................................................................................................
 Tidak
6. Pengobatan apa yang diberikan jika sapi mengalami laminitis?
Tuliskan
.............................................................................................................................
7. Saran-saran Bapak/Ibu untuk mengurangi kejadian laminitis apa saja?
Tuliskan
.....................................................................................................................
15

Hasil Rekapitulasi Kuisoner Peternak

Latar Belakang Responden Jumlah Responden (%)


Pendidikan Formal
 SD 37
 SMP 43
 SMA/SMK 17
 D3, S1, S2 3
Pendidikan Non Formal
 Tidak pernah 60
 Penyuluhan dan pelatihan peternakan 40
0
 Lain-lain
Pengalaman berternak
 0 – 5 Tahun
13
 5 – 10 Tahun 13
 >10 Tahun 74
Mata pencaharian pokok
 Berternak 100
 Bertani 0
 Berdagang 0
 Pegawai negeri 0
Tujuan berternak
 Menjual susu 93
 Menjual susu, pedet, dara atau induk 7
 Sekedar berternak 0

Menegemen Sapi Perah Jumlah Responden (%)


Lantai kandang sapi
 Tanah 0
 Beton 0
 Beton dilapisi karet 80
 Beton dilapisi sekam 0
 Lain – lain 20
Membersihkan lantai kandang
 1 kali sehari 0
10
 2 kali sehari
33
 3 kali sehari
0
 2 hari sekali 57
 Lain – lain
Pemberian pakan dalam sehari 0
 1 kali 7
 2 kali 30
 3 kali 60
 4 kali 3
 Lain – lain
Jenis pakan yang diberikan 0
16

 Konsentrat saja 0
 Hijauan saja 100
 Hijauan dan konsentrat 0
 Lain – lain
Perbandingan pemberian hijauan dan konsentrat 0
 20% hijauan : 80% kosentrat 50
 80% hijauan : 20% kosentrat 10
 50% hijauan : 50% kosentrat 33
 60% hijauan : 40% kosentrat 0
 40% hijauan : 60% kosentrat 7
 Lain-lain
Pemotongan kuku 80
 Ya 20
 Tidak

Pengetahuan Responden Terhadap Laminitis Jumlah Responden (%)


Pengertian laminitis
 Peradangan dinding kuku bagian bawah 73
 Sakit pada kuku 3
 Sakit pada persendian 0
 Tidak tahu 24
Nama lain dari laminitis
 Kuku busuk 0
 ingkeud 0
100
 Leuncangeun
Sapi pernah mengalami laminitis
83
 Ya
 Tidak 17
Sapi sering menderita laminitis pada umur
 Pedet 0
 Sapi dara 0
100
 Sapi dewasa
Tanda – tanda sapi terkena laminitis
 Kepincangan, kuku berdarah, kuku lepas
76
dan terkelupas (luka), Kuku busuk, Panas
pada kaki bagian bawah, kuku bengkak dan
bernanah
 Sapi roboh, sapi demam 6
 Sapi tidak mau berdiri 3
 Produksi susu turun 53
 Tidak mau makan 10
 Tidak tahu 23

Penyebab laminitis
 Lantai keras dan kotor, tertusuk benda 53
tajam, pemberian konsentrat yang
17

berlebihan, kuku tidak dipotong, sapi terlalu


gemuk
 Kuku tidak dipotong, sapi terlalu gemuk 0
 Tertusuk benda tajam, infeksi bakteri 10
 Tidak tahu 37
Dampak laminitis
 Tidak berahi/ beger (anestrus), produksi
susu turun dan sapi telihat sakit 73
 Nafsu makan menurun dan produksi susu
turun 33
 Produksi susu turun dan sapi terlihat sakit
6
 Tidak tahu
Tindakan awal yang dilakukan 16
 Melapor petugas
 Diobati sendiri 100
 Dibiarkan saja 0
0
Tindakan untuk mencegah laminitis
 Pemotongan kuku secara rutin,
membersihkan kandang dengan rutin, dan 70
memberikan pakan hijauan dan konsentrat
secara seimbang
 Membersihkan kandang 30
 Memotong kuku 0
 Lain – lain 0

Hasil Rekapitulasi Kuisoner Petugas

Pengetahuan Responden Jumlah Responden (%)


Pengertian laminitis
 Peradangan dinding kuku 100
bagian bawah
 Sakit pada kuku 50
 Sakit pada persendian 10
 Tidak tahu 0
Nama lain dari laminitis
 Kuku busuk 100
 ingkeud 20
100
 Leuncangeun
Tanda – tanda sapi terkena laminitis
 Kepincangan, kuku berdarah,
90
kuku lepas dan terkelupas
(luka), Kuku busuk, Panas pada
kaki bagian bawah, kuku
bengkak dan bernanah
30
 Sapi roboh, sapi demam
18

 Sapi tidak mau berdiri 40


 Produksi susu turun 40
 Tidak mau makan 10
 Tidak tahu 0
Penyebab laminitis
 Lantai keras dan kotor, tertusuk
benda tajam, pemberian 100
konsentrat yang berlebihan,
kuku tidak dipotong, sapi terlalu
gemuk
 Kuku tidak dipotong, sapi
terlalu gemuk 20
 Tertusuk benda tajam, infeksi
30
bakteri
 Tidak tahu
0
Laminitis dapat menimbulkan masalah
reporoduksi
 Ya 100
 Tidak 0
Pengobatan yang diberikan
 Antibiotik dan antiradang 100
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sungai Limau pada tanggal 7 Januari 1993 dari


pasangan Bapak Indrajati dan Ibu Herniwati. Penulis merupakan putri ketiga dari
empat bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Sungai Limau pada tahun
2011 dan diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun yang sama melalui jalur
Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) Undangan dengan
jurusan Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti beberapa unit kegiatan
mahasiswa diantaranya anggota Himpunan Minat Profesi Ruminansia FKH IPB
dan anggota Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Padang Pariaman. Selain itu,
penulis juga mengikuti magang liburan di Koperasi Peternakan Bandung Selatan
(KPBS) pada tahun 2014.

Anda mungkin juga menyukai