Anda di halaman 1dari 21

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pemahaman Hadis


Kata ‘metodologi’ berasal dari kata ‘method’ yang berarti ‘cara’ atau ‘teknik’ dan ‘logos’
berarti ‘ilmu’. Metode diartikan cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu
pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Metodologi
berarti ilmu tentang metode. Sedangkan kata ‘pemahaman’ berasal dari kata ‘paham’ berarti
‘pengertian’, ‘pendapat’, ‘aliran’, ‘haluan’ dan ‘pandangan’. Pemahaman berarti proses, cara,
perbuatan memahami atau memahamkan.
Secara operasional, ‘metodologi pemahaman’ diartikan sebagai teknik interpretasi.Teknik
dalam bahasa inggris disebut technique dapat berarti method of doing something expertly;
method of artistic expressionin music; painting, etc.Didalam bahasa Indonesia, teknik dapat
diatikan sebagai : 1) pengetahuan dan kepandaian membuat sesuatu yang berkenan dengan
hasil industri; 2) cara (kepandaian) membuat atau melakukan sesuatu yang berhubungan
dengan seni; dan 3) metode atau sistem mengerjakan sesuatu.
Sedangkan interpretasi dalam bahasa Inggris disebut interpretation terbentuk dari kata
interpret yang berarti show, make clear, the meaning of either in words and by artistic
performance, explanation or meaning. Di dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, interpretasi
diartikan pemberian kesan, pendapat, atau pendangan teoritis terhadap sesuatu; tafsiran;
menginterpretasikan berarti menafsirkan.
Dengan demikian, teknik interpretasi dapat diartikan sebagai metode atau cara
menafsirkan sesuatu. Teknik interpretasi terhadap hadis Nabi berati metode atau cara
menafsirkan hadis Nabi.
Di dalam literatur ilmu hadis, metodologi pemahaman terhadap hadis atau metode
mensyarah hadis dikaji dalam sebuah ilmu yang dikenal sebagai, ‘Ilm Ma’ani al-Hadis yang
cakupannya menyangkut tentang teknik interpretasi.‘Ilm Ma’ani al-Hadis terdiri atas kata
‘ilm ma’ani dan al-Hadis. Kata ‘ilm (‫ )ﺀﻠﻢ‬berakar dari huruf-huruf ‘ayn, lam dan mim
menunjukkan arti “member bekas pada sesuatu” atau “menjadikan sesuatu sebagai tanda
yang dapat membedakan yang lainnya”. Dari makna ini berkembang menjadi, antara lain
‘mengetahui”, “mengakui”, “membenarkan sesuatu”, dan “mengetahui zat sesuatu”.‘Ilm
berarti “pengetahuan” ( ‫ ) ﺍﻠﻤﻌﺮﻔﺔ‬bukan science (yang membahas bidang kealaman), tetapi
knowledge, yakni bersifat umum. Menurut M. Quraish Shihab, ‘ilm adalah segala macam
pengetahuan yang berguna bagi manusia dan kehidupannya masa kini maupun masa
mendatang, fisika maupun metafisika.
Kata ‘al-ma’ani adalaah bentuk floral dari kata al-ma’n, berakar dari huruf-huruf ‘ayn,
nun, dan harf mu’tal mengandung tiga arti : (1) maksud sesuatu; (2)kerendahan dan
kehinaan; (3) penampakan dan kemuncuan sesuatu. Al-Ma’na berarti suatu maksud yang
muncul dan tampak pada sesuatu (kata) jika diadakan pembahasannya atasnya.
Di dalam Ilmu Balaghah dinyatakan bahwa ‘Ilm al-Ma’ani berarti : “ Ilmu yang
mempelajari tentang hal-ihwal kata Arab, sesuai dengan keadaannya, sehingga terjadi
perbedaan pandangan tentang suatu kalimat karena perbedaan keadaan.”
Adapun kata al-Hadis, jamaknya al-Ahadis, al-Hidsan, dan al-Hudsan berakar dari
huruf-huruf ha,dal, dan sa, memiliki banyak arti, antara lain: (1) al-jadid (yang baru), lawan
dari al-qadim (yang lama); dan (2) al-khabar(kabar atau berita). Ulama hadis pada umumnya
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hadis ialah segala sabda, perbuatan,taqrir,dan hal
ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Hadis dalam pengertian ini oleh
ulama hadis disinonimkan dengan istilah al-sunnah. Dengan demikian, bentuk-bentuk hadis
atau al-Sunnah ialah segala berita berkenaan dengan (1) sabda; (2) perbuatan; (3) taqrir dan
(4) hal ihwal Nabi Muhammad SAW yakni segala sifat dan keadaan pribadi beliau.
Ulama usul menyatakan, bahwa haddis adalah segala perkataan, segala perbuatan, dan
taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan hukum atau yang pantas dijadikan hukum syarak.
Ma’ani al-Hadis berarti maksud atau pemunculan sesuatu isi yang terdapat dalam ucapan
Nabi SAW. Dengan demikian, Ilm Ma’ani al-Hadis berarti : “Ilmu yang mempelajari tentang
hal ihwal lafal dan makna yang terdapat didalam berbagai matan hadis sesuai dengan
tuntutan kondisinya.”
Dari definisi ini, ada dua variabel penting yang harus mendapatkan perhatian utama.
Pertama, ihwal lafadz dan makna yang beriorientasi pada penulusuran makna leksikal dari
sebuah kata, gramatika dan medan sematiknya. Kedua, aspek sosiohistoris, sabab al-wurud
dimana lafads itu dilahirkan.
Kedua bagian ini tak dapat dipisahkan dan harus mendapatkan porsi seimbang sehingga
dapat meminimalkan misinterpretasi demi mendapatkan pemahaman yang komprehensif.
Sekaligus dari sini pula dapat dibatasi bahwa objek pembahasan ilmu Ma’ani al-Hadis
adalah matan hadis dan tidak melibatkan sanad hadis.

B. Metode memahami hadis

Kajian terhadap hadis Nabi SAW. Sampai saat ini masih sangat menarik, meskipun tidak
sesemarak dengan studi yang dilakukan terhadap pemikiran yang berkembang di seputar Al-
Qur’an. Faktor utama yang berpengaruh adalah kompleksitas problem yang ada, baik
menyangkut otentisitas teks, variasi lafal (jumlah hadis bil mana), maupun tentang waktu yang
cukup panjang antara “Nabi dalam realitas kehidupannya”sampai masa kodifikasi hadis kedalam
teks kitab hadis, yang dilakukan pada masa kepemimpinan khalifah Umar bin Abdul Azis.

Ulama yang berhasil mengumpulkan hadis nabi SAW atas perintah khalifah adalah
Muhammad ibnu Syihab al-Zuhridan Abu Bakar Muhammad bin Muhammadbin Hazm,
sekalipun hadis-hadis Nabi sAW tersebut telah dikumpulkan oleh kedua ulama tersebut pada
masa Umar bin Abdul Azis, ternyata kedua hasil kodifikasi tersebut sudah tidak ditemukan lagi.

Kitab tertua yang dapat dibaca oleh umat dewasa ini adalah kitab Al-Muwatha’ yang ditulis
oleh imam Malik.kemudian pada masa berikutnya muncullah ulama yang tekun melakukan
penelitiandan penelusuran terhadap hadis-hadis Nabi yang menghasilkan karya-karya yang
monumental yang dikenal dalam bentuk teks book kitab-kitab hadis seperti yang ditulis imam
Bukhari, imam Muslim, imam Abi Dawud, dan lain-lain.

Oleh karena itu, kajian yang dilakukan dalam studi hadis biasanya berawal dari kajian
apakah teks-teks hadis itu shahih atau tidak ?, sebab yang sangat diperlukan dalam studi hadis itu
adalah: apakah hadis itu dapat dijadikan sebagai hujjah (dalil) terhadap masalah yang dihadapi
umat yang diungkapkan dalam sebuah hadis atau tidak .

Rasulullah SAW selama hidupnya berperan sebagai aktor utama dalam gerakan pembinaan
dan pengembangan syariat islam yang dimulai dari masyarakat Arab di Mekah, kemudian
masyarakat Mekah sebagian kecil menerima atau beriman kepadanya, namun itulah yang setia
dan mebantu dalam melakukakn gerakannya.
Mereka adalah para pengikut yang sangat setia sebutlah Abu Bakar As-Siddiq, Khadijah, Ali
bin Abi Thalib, Arqam bin Abil Arqam, kemudan menyusul Hamzah, Umar bin Khattab dan
lain-lain. Kesetiaan mereka dibuktikan ketika beliau Rasulullah SAW melakukan hijrah ke
Madinah, mereka juga ikut menyertainya, sehingga mereka dapat membangun sebuah
masyarakat yang terdiri atas orang muhajirin dan anshar. Mereka ini disebutkan dalam Al-
Qur’an sebagai As-sabiqunal awwalun, beliau bersabda, berbuat, berperilaku, dan bersikap ;
sebagai manusia biasakah , sebagai Rasulkah, atau sebagai kepala negara pemimpin masyarakat,
panglima perang ataukah sebagai hakim ? bahkan lebih spesifik lagi adalah apakah beliau itu
tampil sebagai pribadi atau sebagai seorang suami ?

Selain itu, kapan hadis itu diucapkan atau dsabdakan beliau, dalam kondisi apa hadis itu
diwurdkan, sehingga diperlukan sebuah kajian yang berdimensi sejarah untuk mngungkapkan
atau memahami kondisi masyarakat yang hidup bersama dengan Nabi SAW, demikian juga
kajian terhadap asbab al-wurud dari teks hadis tersebut, yakni mengapa Nabi SAW
mengucapkan hadis itu ?

Beberapa kajian di atas, pada dasarnya dalam rangka mendudukkan pemahaman hadis pada
tempat yang proporsional, kapan dipahami secara tekstual, kontekstual, universal, temporal,
situasional maupun lokal. Pemahaman yang kaku, radikal, dan statis sama saja menutup
elastisitas keberadaan islam yang shalih li kulli zaman wa makan.

Dengan demikian, untuk memahami hadis-hadis Nabi SaW diperlukan sebuah kajian terhadap :

1. Teks, yaitu memahami matan hadis berdasarkan teks dengan memperhatikan bentuk lafal,
susunan kalimat, dan makna yang bersifat lahiriyah (mantuq). Kajian ini disebut sebagai
sebuah kajian tekstual yang menggunakan pendekatan linguistik dan teleologis.
2. Antar teks, yakni memahami hadis yang dikaji berdasarkan atau memperhatikan
hubungan antara sebuah teks hadis antara hadis yang lain semakna atau yang berada
dalam sebuah tema yang sama (keragaman lafal), demikian juga hubungan antara teks
hadis yang dikaji dengan teks ayat Al-Qur’an sebagai sumber ajaran dan hukum
islamyang pertama, baik yang dipertegas maupun yang dijelaskan atau diuraikan. Kajian
seperti ini disebutkan pula kajian intertekstual.
Kajian ini dapat pula menggunakan berbagai pendekatan dalam memahami hadis-hadis
Nabi, seperti pendekatan teologis yang bersifat nomatif, pendekatan filosofis, pendekatan
syar’i, pendekatan sosiohistoris, dan lain-lain.
3. Konteks, yaitu memahami hadis dengan memperhatikan peristiwa (asbab al-wurud) dan
kondisi yang dialami Rasulullah SAW pada saat mengucapkan atau melakukan sesuatu
amalan. Kajian ini disebut sebagai sebuah kajian kontekstual yang menggunakan metode
pendekatan historis, sosiologis, filosofis yang bersifat interdisipliner.

Untuk memahami hadis Nabi SAW secara komperensip dan integralistik serta holistik
diperlukan sebuah kajian yang menggunakan metode kontemporeryang berkembang seperti
yang digunakan dalam melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, yaitu metode
maudu’i, tahlili, ijmali atau muqaran dengan melibatkan interpretasi tekstual, intertekstual,
dan kontekstual. Berikut penjelasan singkat tentang metode tersebut :

a. Metode Tahliliy (Analitis)


1. Pengertian
Metodetahliliy adalah memahami hadîts-hadîts Rasulullah dengan memaparkan segala
aspek yang terkandung di dalam hadîts-hadîts yang dipahami serta menerangkan makna-
makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan pensyarah
yang memahami hadîts-hadîts tersebut.
Dalam menyajikan penjelasan atau komentar, seorang pensyarah hadîts mengikuti
sistematika hadîts sesuai dengan urutan hadîts yang terdapat dalam sebuah kitab hadîts yang
dikenal dari al-Kutub al-Sittah atau kitab hadîts lainnya.
Pensyarah memulai penjelasannya dari kalimat demi kalimat, hadîts demi hadîts secara
berurutan. uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung hadîts seperti kosa
kata, konotasi kalimatnya, latar belakang turunnya hadîts (jika ditemukan), kaitannya dengan
hadîts lain, dan pendapat-pendapat yang beredar di sekitar pemahaman hadîts tersebut, baik
yang berasal dari sahabat, para tabi’in maupun para ulama hadis.
2. Ciri-ciri Metode Tahlili
Secara umum kitab-kitab syarah yang menggunakan metode tahliliy biasanya berbentuk
mat’sur (riwayat) atau ra’yu (pemikiran rasional). Syarah yang berbentuk ma’tsur ditandai
dengan banyaknya dominasi riwayat-riwayat yang datang dari sahabat, tabi’in atau ulama
hadîts. Sementara syarah yang berbentuk ra’yu banyak didominasi oleh pemikiran rasional
pensyarahnya.
Kitab-kitab syarah yang menggunakan metode tahlili mempunyai ciri-ciri sebagai berikut
:
1) Pensyarahan yang dilakukan menggunakan pola menjelaskan makna yang terkandung
di dalam hadîts secara komprehensif dan menyeluruh.
2) Dalam pensyarahan, hadîts dijelaskan kata demi kata, kalimat demi kalimat secara
berurutan serta tidak terlewatkan juga menerangkan sabab al wurud dari hadîts–hadîts yang
dipahami jika hadis tersebut memiliki sabab wurud-nya.
3) Diuraikan pula pemahaman-pemahaman yang pernah disampaikan oleh para sahabat,
tabi’ in dan para ahli syarah hadis lainnya dari berbagai disiplin ilmu.
4) Di samping itu dijelaskan juga munasabah(hubungan) antara satu hadîts dengan hadîts
lain.
5) Selain itu, kadangkala syarah dengan metode ini diwamai kecenderungan pensyarah
pada salah satu mazhab tertentu, sehingga timbul berbagai corak pensyarahan, seperti corak
fiqhy dan corak lain yang dikenal dalam bidang pemikiran Islam.
3. Contoh
Dalam kitab syarah Fath al-Bâriy bi Syarh Shahih al-Bukhâriyal-‘Asqalâniy
memaparkan bahwa dalam menerangkan hadîts, pensyarah mengemukakan analisis tentang
periwayat (râwi) sesuai dengan urutan sanad, sabab al-wurud, juga menyajikan hadîts atau
riwayat lain yang berhubungan dengan hadîts tersebut, bahkan ayat al-Qur’an yang
berkenaan dengan hadîts. Pensyarah menggunakan riwayat riwayat dari para ulama. Syarah
banyak didominasi oleh pendapat mereka, sehingga dari uraian yang demikian panjang,
pendapat dari pensyarah hampir-hampir tidak diketemukan. Selain itu juga, disajikan
penjelasan kosa kata yang terdapat didalamnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
meskipun syarah yang memakai metode analitis ini mengandung uraian yang lebih rinci,
namun karena berbentuk al-ma’tsur , pendapat dari pensyarah tetap sukar ditemukan. Inilah
salah satu ciri utama yang membedakan secara mencolok dengan Syarh bi-al-ra’yi.
4. Kelebihan dan Kekurangan Metode Tahlili
 Kelebihan:
a) Ruang lingkup pembahasan yang sangat luas.
Metode tahliliy dapat menyakup berbagai aspek: kata, frasa, klausa, kalimat, saba al-
wurud, munasabah (korelasi internal) dan lain sebagainya.
b) Memuat berbagai ide dan gagasan.
Memberikan kesempatan yang sangat longgar kepada pensyarah untuk menuangkan ide-
ide, gagasan-gagasannya dalam syarah hadîts dan juga gagasan lain dikemukakan oleh
ulama.

 Kekurangan:

a)Menjadikan petunjuk hadîtsparsial

Metode tahliliy menjadikan petunjuk hadîts bersifat parsial atau terpecah-pecah, sehingga
seolah-olah hadîts memberikan pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten karena syarah
yang diberikan pada hadîts lain yang sama karena kurang memperhatikan hadîts lain yang mirip
atau sama redaksinya dengannya.

b) Melahirkan syarah yang subyektif

Dalam metode tahliliy, pensyarah tidak sadar bahwa dia telah mensyarah hadîts secara subyektif
dan tidak mustahil pula ada di antara mereka yang mensyarah hadîts sesuai dengan kemauan
pribadinya tanpa mengindahkan kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku.

b. Metode Ijmaliy (Global)

1. Pengertian
Metode ijmaliy (global) adalah menjelaskan atau menerangkan hadîts-hadîts secara
ringkas, tapi dapat merepresentasikan makna literal hadîts dengan bahasa yang mudah
dimengerti dan enak dibaca.
2. Ciri-ciri Metode Ijmaliy
a) Pensyarah langsung melakukan penjelasan hadist dari awal sampai akhir tanpa
perbandingan dan penetapan judul.
b) Penjelasannya umum dan sangat ringkas.
‫‪Namun perlu diingat bahwa ciri metode ijmaliy ini tidak terleta pada jumlah hadîts-hadîts‬‬
‫‪yang disyarahkan, apakah keseluruhan kitab atau sebagian saja. Yang menjadi tolak ukur adalah‬‬
‫‪pola atau sistematika pembahasan. Selama pensyarah hanya mensyarah hadits secara singkat‬‬
‫‪maka dapat dikategorikan dalam syarah global. Contoh :‬‬

‫‪Dalam kitab syarah hadis Hâsyiyah al-Sindiy dipaparkan sebagai berikut:‬‬

‫ْﻌو ِستُّونَإِلَ ْخ ( قَ ْوله‬


‫) ِبض َ‬

‫ءوه َُوفِي‬ ‫ﺔم ْنال َّ‬


‫ش ْي َ‬ ‫اﺍل ِق ْ‬
‫طﻌَ ِ‬ ‫اءو ُح ِك َيﻔَتْح َه ْ‬
‫ضﻌَﺔبِ َكس ِْﺮ ْﺍلبَ َ‬
‫ْﻌو ْﺍلبِ ْ‬
‫ْﺍلبِض َ‬

‫ﺔم ْن ْال َﻌدَد‬ ‫يحِلَنَّ ُه ِق ْ‬


‫ط َﻌ ِ‬ ‫ص ِح ِ‬
‫ْﻌوه َُوﺍل َّ‬ ‫ْﺍل َﻌدَد َما َبيْنالث َّ ََلثإ ِ َل ِ‬
‫ىالتس َ‬

‫يﺮﺍ َمايَ ِجيء َكذَ ِل َكﻔَ ََليَ ِﺮدأَنَّ ْال َﻌدَدقَدْ َجا َءفِيبَيَ ْ‬
‫اناْلَب َْوﺍب ُﻤ ْختَ ِﻠﻔ َق ْوله‬ ‫الو َهذَﺍ ِكنَايَﺔ َع ْن ْال َكثْ َﺮةفَإِنَّأ َ ْس َﻤ ْ‬
‫اءﺍل َﻌدَد َك ِث ً‬ ‫ص َ‬ ‫ﺍدم ْن ْاْل َ ْب َو ْ‬
‫ﺍبال ِخ َ‬ ‫) أَدْنَاهَا ( َو ْﺍل ُﻤ َﺮ ِ‬

‫صدْققَ ْﻠبأ َ ْوﺍل َّ‬


‫ش َهادَةبِالتَّ ْو ِحي‬ ‫وَّللﻠَّ ِه َﻤجْ ُﻤوعال َّ‬
‫ش َهادَتَ ْي ِنﻌَ ْن ِ‬ ‫س ُ‬‫َابهو ْﺍل ُﻤ َﺮﺍدبِ ََلإِلَ َهإ ِ ََّّلﺍلﻠَّ ُه ُﻤ َح َّﻤد ٌَر ُ‬
‫ش ْيءإِزَ ﺍلَتهﻌَ ْن ُه َوإِذْه َ‬
‫ش ْيء َع ْنال َّ‬ ‫ﺍر َﺍوإِ َما َ‬
‫طﺔﺍل َّ‬ ‫أ َ ْيدُون َه ِ‬
‫ام ْقدَ ً‬
‫ِدفَقَ ْ‬
‫طﻠَ ِك ْن‬

‫سالَ ِﺔبَابآخَﺮقَ ْوله‬


‫الﺮ َ‬
‫ش َهادَةبِ ِ‬ ‫) َو ْﺍل َحيَاء ( َع ْن ِ‬
‫صدْقﻌَﻠَىأَنَّال َّ‬
‫ِيال َحق َو ْﺍل ُﻤ َﺮﺍد ُهنَاﺍِ ْستِ ْﻌ َﻤال َهذَ ْ‬
‫ﺍﺍل ُخﻠُقﻌَ‬ ‫صيﺮفِي َحقذ ْ‬
‫َﻌﻤ ْنالت َّ ْق ِ‬
‫يحويَ ْﻤن ِ‬ ‫ش ْﺮع ُخﻠُقيَ ْب َﻌثﻌَﻠَى ِاجْ تِن ْ‬
‫َابال َقبِ َ‬ ‫يال ُﻤؤْ ِمنخ َْوف َﻤايُﻌَاببِ ِه َوفِيال َّ‬ ‫ساريَ ْﻌت َِﺮ ْ‬ ‫بِ ْال َﻤ ِدلُغَﺔتَغَي َ‬
‫ُّﺮوﺍ ْن ِك َ‬
‫سا ِني ْال ِجبِ ِﻠيالَّذِي َخ َﻠقَ ُهالﻠَّه ِﻔيالنُّﻔُوسك َْال َحيَ ِ‬
‫اء‬ ‫يَل ْل َحيَاءن َْو َعانِنَ ْﻔ َ‬
‫سانِي َو ِإي َﻤانِيﻔَالنَّ ْﻔ َ‬ ‫عوقِ َ‬ ‫ش ْﺮ َ‬‫َلىقَا ِعدَةﺍل َّ‬

‫ﺮو َغيْﺮذَ ِلك َِﻤ ْن ْال َقبَائِح‬ ‫ش ْﺮ ْ‬


‫بالخ َْﻤ َ‬ ‫َالزن ََاو ُ‬ ‫سبَبِ ْ ِ‬
‫اْلي َﻤانك ِ‬ ‫صﻤ ْن ِﻔ ْﻌ ْ‬
‫َلل َقبِيح ِب َ‬ ‫ش ْخ ِ‬ ‫ةو ْ ِ‬
‫ﺍْلي َﻤانِي َﻤايَ ْﻤنَﻌال َّ‬ ‫ةﺍل َﻤ ْﺮأَة َبيْنالنَّاس َحتَّىنُﻔُ ْ‬
‫وسال َكﻔَ َﺮ َ‬ ‫ةو ُمبَاش ََﺮ ْ‬ ‫ِم ْن َك ْش ْ‬
‫ﻔالﻌَ ْو َر َ‬
‫اصي‬ ‫ﺔْل َ َّن ُهيَ ْﻤنَﻌت َ َﻤ ْ‬
‫امال َﻤﻌَ ِ‬ ‫يﻤأ َ ْي ُ‬
‫ش ْﻌبَﺔ َع ِظي َﻤ ِ‬ ‫ةوفَ ْﺮع ُكِل َ ْ‬
‫ص َﻠوﺍلت َّ ْن ِكيﺮفِي َها ِلﻠتَّ ْﻌ ِظ ِ‬ ‫صنال َّ‬
‫ش َج َﺮ َ‬ ‫ش ْﻌبَﺔ ُ‬
‫غ ْ‬ ‫ِيثوﺍل ُّ‬ ‫‪َ .‬و َهذَﺍه َُو ْﺍل ُﻤ َﺮﺍدفِ ْ‬
‫يال َحد َ‬

‫‪3. Kelebihan dan Kekurangan‬‬


‫‪‬‬ ‫‪Kelebihan:‬‬
‫‪a. Ringkas dan padat‬‬
‫‪b. Bahasa mudah dipahami‬‬
‫‪‬‬ ‫‪Kekurangan:‬‬
‫‪a) Menjadikan petunjuk hadîts bersifat parsial‬‬
Metode ini tidak mendukung pemahaman hadis secara utuh dan dapat menjadikan petunjuk
hadîts bersifat parsial tidak terkait satu dengan yang lain, sehingga hadîts yang bersifat umum
atau samar tidak dapat diperjelas dengan hadis yang sifatnya rinci.

b) Tidak ada ruang untuk mengemukakan analisis yang memadai.

Metode ini tidak menyediakan ruangan yang memuaskan berkenaan dengan wacana pluralitas
pemahaman suatu hadîts. Namun inilah ciri khas metode ijmaliy yang jika pensyarah tidak
konsisten dengan pola ini maka ia otomatis akan keluar dari ranah metode ijmaliy.

c. Metode Muqârin(Komparatif)

1.Pengertian

Metode muqârin adalah metode memahami hadîts dengan cara: (1) membandingkan hadîts
yang memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam kasus yang sama atau memiliki redaksi yang
berbeda dalam kasus yang sama. (2) membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam
mensyarah hadîts.

Jadi metode ini dalam memahami hadîts tidak hanya membandingkan hadîts dengan hadîts
lain, tetapi juga membandingkan pendapat ulama (pensyarah) dalam mensyarah hadîts.

Diantara kitab syarah hadîts yang menggunakan metode muqarin ini adalah Shahih Muslim bi
Syarh al-Nawawiy karya Imam Nawawiy, Umdah al-Qâriy Syarh Shahih al-Bukhariy karya
Badr al-Din Abu Muhammad Mahmûd al-’Ainiy, dan lain-lain.

Ruang lingkup atau wilayah kajian dari masing-masing aspek itu berbeda-beda. Ada yang
berhubungan dengan kajian redaksidan kaitannya dengan konotasi kata atau kalimat yang
dikandungnya, dan ada yang menguraikan berbagai aspek, baik yang menyangkut kandungan
(makna) hadîts maupun korelasi antara hadîts dengan hadîts.

1. Ciri-ciri Metode Muqarin


a) Membandingkananalitis redaksionaldan perbandingan periwayat, serta kandungan
makna dari masing-masing hadîts yang diperbandingkan.
b) Membahas perbandingan berbagai hal yang dibicarakan oleh hadîts tersebut.
c) Perbandingan pendapat para pensyarah mencakup ruang lingkup yang sangat luas
karena uraiannya membicarakan berbagai aspek, baik menyangkut kandungan (makna)
hadîts maupun korelasi (munasabah)antara hadîts dengan hadîts.

Jadi, ciri utama metode ini adalah perbandingan, yang mencakup dua sasaran yakni
membandingkan hadits dengan hadîts, dan pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadîts.
Contoh :

Diantara kitab yang menggunakan syarh muqârin adalah Umdah al-Qâry Syarh Shahih al-
Bukhâriy karya Badr al-Din Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad al-’Aini, menjelaskan
pemakaian mufradat (suku kata), urutan kata, kemiripan redaksi. Jika yang akan
diperbandingkan adalah kemiripan redaksi misalnya, maka langkah-yang ditempuh dapat
disimpulkan sebagai berikut :

a. mengidentifikasi dan menghimpun hadîts yang redaksinya bermiripan,


b. memperbandingkan antara hadîts yang redaksinya mirip tersebut, yang membicarakan satu
kasus yang sama, atau dua kasus yang berbeda dalam satu redaksi yang sama,
c. menganalisa perbedaan yang terkandung di dalam berbagai redaksi yang mirip, baik
perbedaan itu mengenai konotasi hadis maupun redaksinya, seperti berbeda dalam
menggunakan kata dan susunannya dalam hadîts, dan sebagainya,
d. memperbandingkan antara berbagai pendapat ulama tentang hadîts yang dijadikan objek
bahasan.
2. Kelebihan dan Kekurangan
 Kelebihan:
a) Memberikan wawasan pemahaman yang relatif lebih luas kepada para pembaca
bila dibandingkan denga metode lain.
b) Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang
terkadang jauh. berbeda.
c) Pemahaman dengan metode muqarin sangat berguna bagi mereka yang ingin
mengetahui berbagai pendapat tentang sebuah hadîts.
d) Pensyarah didorong untuk mengkaji berbagai hadîts serta pendapat-pendapat para
pensyarah lainnya.
 Kekurangan:
a) Metode ini tidak relevan bagi pembaca tingkat pemula, karena pembahasan yang
dikemukakan terlalu luas sehingga sulit untuk menentukan pilihan.
b) Metode ini tidak dapat diandalkan untuk menjawab permasalah sosial yang
berkembang di tengah masyarakat, karena pensyarah lebih mengedepankan
perbandingan daripada pemecahan masalah
c) Metode ini terkesan lebih banyak menelusuri pemahaman yang pernah diberikan
oleh ulama daripada mengemukakan pendapat baru.

Untuk dapat memahami hadîts dengan tepat, kelengkapan ilmu bantu mutlak diperlukan.
Berkaitan dengan ilmu bantu daIam memahami hadîts, Yusuf al-Qardhawiy memberikan
beberapa pedoman, yaitu :

1). Mengetahui petunjuk Al Qur’an yang berkenaan dengan hadîtstersebut.

2). Menghimpun hadîts-hadîts yang se-tema.

3). Menggabungkan dan men-tarjih antar hadîts-hadîts yang tampak bertentangan.

4). Mempertimbangkan latar belakang, situasi dan kondisi ketika hadîts diucapkan diperbuat
serta tujuaannya.

5). Mampu membedakan antara sasaran yang berubah-ubah dengan sasaran yang tetap.

6). Mampu membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan bersifat metafora.

7). Mampu membedakan antara hadîts yang berkenaan dengan alam gaib dengan yang kasat
mata.
8). Mampu memastikan makna dan konotasi kata-kata dalam hadîts.

d. Metode Mawdhu’iy (Tematis)

1.) Pengertian

Metode mawdhu’iy adalah memahami hadîts dengan cara menghimpun hadits yang
membicarakan tentang topik atau permasalahan yang sama kemudian memahami hadîts tersebut
secara tematik.

Meskipun metode ini lebih populer di kalangan ahli tafsir, namun metode ini juga telah
diterapkan untuk memahami hadîts-hadîts Rasulullah Saw. Diantara ulama kontemporer yang
mengembangkan metode ini adalah Yusuf al-Qardhawiy. Dalam konteks ini ia mengatakan
bahwa untuk memahami hadîts secara benar kita harus menghimpun semua hadîts shahih yang
berkaitan dengan satu tema tertentu, kemudian mengembalikan kandungan yang mutasyabih
kepada yang muhkam, mengaitkan yang muthlaq dengan muqayyad, dan menafsirkan yang ‘aam
dengan yang khas.

2) Ciri-ciri Metode Mawdhu’iy

Bertitik tolak dari pemikiran Yusuf al-Qardhawiy diatas, dapat dipahami bahwa ciri-ciri metode
ini adalah:

a) Menghimpun hadîts- hadîts yang membicarakan satu topik atau permasalahan tertentu.

b) Memahami makna dari masing-masing hadîts.

c) Memahami hadîts secara komprehensif dengan menggunakan pendekatan tematik.

Dengan metode maudhu’iy pensyarah berupaya menghimpun hadîts- hadîtsdari kitab-kitab


hadîts yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian,
membahas dan menganalisis kandungan hadîts- hadîts tersebut sehingga menjadi satu kesatuan
yang utuh, sehingga menghasilkan kesimpulan yang mudah dipahami.

Berikut ini adalah contoh metode mawdhu’iy oleh al-Qardhawiy :


Berkenaan dengan larangan memakai sarung sampai bawah mata kaki. Sebagian orang
menjadikan hadîts ini sebagai dalil keharusan memendekkan pakaian. Padahal menurut al-
Qardhawiy, jika sejumlah hadîts tentang permasalahn ini dikaji, maka akan diketahui maksud
hadis tersebut dan dalam konteks apa ia diucapkan.

5.) Kelebihan dan Kekurangan

 Kelebihan:
a) Pembahasan lebih fokus dan mendalam karena objek pemahaman hanya satu tema
tertentu. Contoh: Jihad, Thaharah, Shalat dan sebagainya.
b) Metode mawdhu’iy bisa diterapkan untuk menjawab problematika umat tentang
suatu masalah.
c) Referensi yang lebih luas karena tidak fokus pada satu kitab matan seperti halnya
metode-metode sebelumnya.
 Kekurangan:
Melahirkan syarah yang bersifat subjektif jika pensyarah tidak proporsional dalam
menghimpun hadîts

e. MetodeTakhrij
Menurut bahasa mempunyai beberapa makna, yang paling mendekati disi adalah berasal
dari kata kharaja yang artinya nampak dari tempatnya, atau keadaannya, dan terpisah dan
kelihatan. Demikian juga kata al-ikhraj yang artinya menampakkan dan memperlihatkannya,
dan al-makhraj artinya tempat keluar, dan akhraja al-Hadits wa kharrajahu artinya
menampakkan dan memperlihatkan hadis kepada orang dengan menjelaskan tempat
keluarnya.
Takhrij menurut istilah adalah menunjukkan tempat hadis pada sumber aslinya yang
mengeluarkan hadis tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya ketika diperlukan.

Dalam takhrij terdapat beberapa metode yang kami ringkas pokoknya saja sebagai berikut :

a. Metode petama, takhrij dengan cara mengetahui perawi hadist dari sahabat.
Metode ini dikhususkan jika kita mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadist,lalu
kita mencari bantuan dari tiga macam karya hadist:
1) Al-Masanid (musnad-musnad): dalam kitab ini disebutkan hadist-hadist yang
diriwayatkan oleh setiap sahabat secara tersendiri. Selama kita sudah mengetahui nama
sahabat yang meriwayatkan hadist,maka kita mecari hadist tersebut dalam kitab al-masanaid
hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut.
2) Al Ma’ajim (mu’jam-mu’jam): susunan hadist didalamnya berdasarkan urutan musnad
para sahabat atau syuyukh (guru-guru) atau bangsa (tempat asal) sesuai huruf kamus
(hijaiyah). Dengan mengetahui nama sahabat dapat memudahkan untuk merujuk haditsnya.
3) Kitab-kitab Al-Athraf : kebanyakan kitab-kitab al-ahtraf disusun berdasarkan musnad-
musnad para sahabaat dengaan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang peneliti
mengetahui bagian dari hadits itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang
ditunjukkan oleh kitab-kitab al-ahtraf tadi untuk kemudian mengambil hadits secara lengkap.
b. Metode kedua,takhrij dengan cara mengetahui permulaan lafazh dari hadits. Cara ini
dapat dibantu dengan:
1) Kitab-kitab yang berisi tentang hadits-hadits yang dikenal oleh orang banyak,misalnya;
“Ad-Durar Al-Muntatsirah fil Ahaditsi Al-Musytaharah” karya As-Suyuti, “Al-Laali’ Al-
Mantsurah fi Al-Ahadist Al-masyhurah” Karya Ibnu Hajar, “Al-Maqashid Al-Hasanah fi
bayaani Katsiirin min Al-Hadits Al-Musytahirah `alal Alsinah,” karya As-Sakhawy,
“Tamyiizu At-Thayyib min Al-Khabits fima Yaduru `Ala Alsinati An-naas min Al-Hadits”
Karya Ibnu Ad Dabi’ Asy-Syaibany, “Kasyful Khafa’ wa Muziilu Al-Ilbaas `amma Isytahara
min Al-Ahadist `ala Alsinati An-nas” Karya Al-`Ajluni.
2) Kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan urutan huruf kamus, misalnya: “Al-Jami’u
Ash-Shaghir min Ahadits Al-Basyir An-Nadzir” karya As-Suyuti.
3) Petunjuk-petunjuk dan indeks yang disusun para ulama kitab-kitab tertentu, misalnya :
“Miftah Ash-Shahihain” karangan At-Tauqadi, “Miftah At-Tartibi li Ahadits Tarikh Al-
Khatib” karya Sayyid Ahmad Al-Ghumari, “Al-Bughiyah fi Tartibi Ahadits Al-Khilyah karya
Sayyid Abdulaziz bin Al-Ghumari, “Fihris li Tartibi Ahadits Shahih Muslim” karya
Muhammad Fuad Abdul Baqi, “Miftah Muwattha’ Malik” karya Muhammad Fuad Abdul
Baqi.
c. Metode ketiga, takhrij dengan cara mengetahui kata yang jarang penggunannya oleh
orang dar bagian mana saja dari matan hadits.
Metode ini dapat dibantu dengan kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfaadzi Al-Hadits An-
Nabawi, berisi Sembilan kitab yang paling terkenal diantara kitab-kitab hadits, yaitu :
Kutubus Sittah, Muwattha’ Imam Malik, Musnad Ahmad dan Musnad Ad-Darimi. Kitab ini
disusun oleh seorang orientalis, DR. Vensink (wafat 1939 M), guru bahasa Arab di
Universitas Leiden, Belanda, dan ikut dalam menyebarkan dan mengedarkannya kitab ini
Muhammad Fuad Abdul Baqi.

d. Metode keempat, takhrij dengan cara mengetahui topik pembahasan hadits.


Jika telah diketahui topik dan obyek pembahasan hadits, maka bias dibantu dalam
takhrijnya dengan karya-karya hadits yang disusun berdasarkan bab-bab dan judul-judul. Cara
ini banyak dibantu dengan kitab “Miftah Kunuz As-Sunnah” yang berisi daftar isi hadits yang
disusun berdasarkan judul-judul pembahasan.Disusun oleh seorang orientalis berkebangsaan
Belanda, DR. Arinjan Vensink juga. Kitab ini mencakup daftar isi untuk 14 kitab hadits yang
terkenal, yaitu :

1) Shahih Bukhari 8) Musnad Ahmad


2) Shahih Muslim 9) Musnad Abu Daud Ath-Thayalisi
3) Sunan Abu Daud 10) Sunan Ad-Darimi
4) Jami’ At-Tirmidzi 11) Musnad Zaid bin Ali
5) Sunan An-Nasa’i 12) Sirah Ibnu Hisyam
6) Sunan Ibnu Majah 13) Maghazi al-Waqidi
7) Muwattha’ Malik 14) Thabaqat Ibnu Sa’ad

Dalam menyusun kitab ini, penyusun menghabiskan waktunya selama 10 tahun, kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan diedarkan oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, yang
mengahabiskan waktu untuk itu selama empat tahun.

C. Kaedah Penting dalam Memahami Al Qur’an dan Hadits


Umat Islam memiliki modal yang sangat besar untuk bersatu, karena mereka beribadah kepada
ilaah (Tuhan) yang satu, mengikuti nabi yang satu, berpedoman kepada kitab suci yang satu, berkiblat
kepada kiblat yang satu. Selain itu, ada jaminan dari Allah dan
Rasul-Nya, bahwa mereka tidak akan sesat selama mengikuti petunjuk Allah SWT, berpegang-teguh
kepada Alquran dan al Hadits.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
‫ف ِِإَّما‬
َ ‫َدﺍي ﺍَّتَبَع فَﻤِ ن هًدى ِمني ْي ِأتَيَّنُكﻢ‬ َ ‫يض ُّل‬
َ ‫فَل ه‬ َ ‫ { ْيشَقى‬123 } ‫ﺮض َو ْمن‬
ِ ‫وَّل‬ َ ‫ع‬ َ ْ‫شﺔ َلُِ ه فِإَّن ْذكِﺮى عن أ‬ ً َ‫مِ ﻌي‬
‫ضنًكا‬
َ ‫ش ُﺮه‬ُ ‫عﻤى ﺍْ ِلقَياَمِ ﺔ ي َْوم َو ْن ُح‬َ ْ‫أ‬
Artinya :
Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-
Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari
peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan
menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. (Q.S Thaha: 123, 124).
Nabi Muhammad swt bersabda,
ُ‫تضُِ ْلوﺍ ل َِْن أْ َم ْﺮيِن ْفيُ ْكﻢ تَ َِ ْركت‬
ِ ‫ بِ َهﻤا ت َ َّﻤ ْس ُكتْﻢ ما‬: ‫َتاب‬
َ ‫للا ك‬
ِ ‫سنَﺔ و‬
َّ ِِِ ‫ُرسْوله‬

“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang
kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.” (Hadits Shahih Lighairihi,

D. KENYATAAN UMAT
Inilah yang menimbulkan keprihatinan, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa umat
Islam telah berpecah-belah menjadi banyak golongan. Antara satu dengan lainnya memiliki prinsip-
prinsip yang berbeda, bahkan kadang-kadang saling bertentangan. Kenyataan seperti ini menjadi bukti
kebenaran nubuwwah (kenabian) Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau telah
memberitakan iftiraqul ummah (perpecahan umat Islam) ini semenjak hidup beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Walaupun demikian, kita tidak boleh pasrah terhadap kenyataan yang ada, bahkan kita
diperintahkan untuk mengikuti syariat dalam keadaan apa saja. Sedangkan syariat telah memerintahkan
agar kita bersatu di atas al-haq, di atas Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya
radhiallahu ‘anhum.
Salah satu hal terpenting untuk menyatukan umat ini ialah, umat harus mengikuti
kaidah yang benar dalam memahami al-Kitab dan as-Sunnah. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
rahimahullah berkata, “Pada zaman ini, kita hidup bersama kelompok-kelompok orang yang semua
mengaku bergabung dengan Islam. Mereka meyakini bahwa Islam adalah Alquran dan as-Sunnah, tetapi
kebanyakan mereka tidak ridha berpegang dengan perkara ketiga yang telah dijelaskan, yaitu sabilul
mukminin (jalan kaum mukminin), jalan para sahabat yang dimuliakan dan orangorang yang mengikuti
mereka dengan sebaik-baiknya dari kalangan tabi’in dan para
pengikut mereka, sebagaimana telah kami jelaskan di dalam hadits “Sebaik-baik manusia adalah
generasiku”, dan seterusnya.
Oleh karena itu, tidak merujuk kepada Salafush Shalih dalam pemahaman, pemikiran dan pendapat,
merupakan penyebab utama yang menjadikan umat Islam berpecahbelah menuju jalan-jalan yang banyak.
Maka, barangsiapa benar-benar menghendaki, kembalilah kepada al-Kitab dan as-Sunnah, yaitu wajib
kembali kepada apa yang ada pada para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para tabi’in dan para
pengikut mereka setelah mereka.” [Manhaj as Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin al Albani].

E. RUJUKAN MEMAHAMI NASH


Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim al ‘Aql hafizhahullah menjelaskan kaidah-kaidah dan
rujukan dalam memahami nash-nash (teks-teks) Alquran dan al-Hadits di kitab kecil beliau, Mujmal
Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah. Beliau menyatakan, rujukan di dalam memahami al-Kitab
dan as-Sunnah adalah nash-nash yang menjelaskannya, juga pemahaman Salafush Shalih dan imam-imam
yang mengikuti jalan mereka. Dan apa yang telah pasti dari hal itu, tidak dipertentangkan dengan
kemungkinankemungkinan (makna) bahasa. Al-qur’an dan as-Sunnah, keduanya merupakan wahyu Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, di antara keduanya sama sekali tidak terdapat pertentangan di dalamnya.
Oleh karena itul, cara memahami al-Kitab dan as-Sunnah ialah dengan nash-nash al- Kitab dan as-Sunnah
itu sendiri. Karena yang paling mengetahui maksud suatu perkataan, hanyalah pemilik perkataan tersebut.
Al-Hafizh Ibnu Katsir menyatakan, jalan yang paling benar dalam menafsirkan Al Quran
ialah:
Alquran ditafsirkan dengan Alquran. Karena apa yang disebutkan oleh Alquran secara global di satu
tempat, terkadang telah dijelaskan pula dalam Alquran secara luas di tempat yang lain.
Jika tidak mendapatkan tafsir di dalam Alquran dan as-Sunnah, dalam hal ini kitame-ruju` kepada
perkataan para sahabat. Mereka lebih mengetahui tentang hal itu, karena mereka menyaksikan alamat-
alamat dan keadaan-keadaan yang mereka mendapatkan keistimewaan tentangnya [yaitu hanya generasi
sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu dan yang menjadi penyebab turunnya. Demikian juga
Rasulullah bersama mereka, sehingga para sahabat dapat menanyakan ayat-ayat yang susah difahami.
Juga karena para sahabat memiliki pemahaman yang sempurna, ilmu yang benar, dan amal yang shalih.
Terlebih para ulama sahabat dan para pembesar mereka, seperti imam empat, yaitu khulafaur rasyidin,
para imam yang mengikuti petunjuk dan mendapatkan petunjuk, Abdullah bin Mas’ud, juga al-habrul al-
bahr (seorang ‘alim dan banyak ilmunya) Abdullah bin Abbas.
Jika engkau tidak mendapatkan tafsir di dalam Alquran dan as-Sunnah, dan engkau tidak
mendapatinya dari para sahabat, maka dalam hal ini banyak para imam me-ruju` kepada perkataan-
perkataan tabi’in, seperti Mujahid bin Jabr, karena beliau merupakan ayat (tanda kebesaran Allah) dalam
bidang tafsir. Juga seperti Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah maula Ibnu Abbas, ‘Atha bin Abi Rabah, al-Hasan
al-Bashri, Masruq bin al Ajda’, Sa’id bin al-Musayyib, Abul ‘Aliyah, Rabii’ bin Anas, Qatadah, adh-
Dhahhak bin Muzahim, dan lainnya dari kalangan tabi’in (generasi setelah sahabat), dan tabi’ut tabi’in
(generasi setelah tabi’in). (Perkataan-perkataan tabi’in bukanlah hujjah jika mereka berselisih), namun
jika mereka sepakat terhadap sesuatu, maka tidak diragukan bahwa itu merupakan hujjah. Jika mereka
berselisih, maka perkataan sebagian mereka bukanlah hujjah terhadap perkataan sebagian yang lain, dan
bukan hujjah atas orang-orang setelah mereka. Dalam masalah itu, maka tempat kembali ialah kepada
bahasa Alquran dan as-Sunnah, atau keumumam bahasa Arab, atau perkataan para sahabat dalam masalah
tersebut. Adapun menafsirkan Alquran semata-mata hanya dengan pikiran (akal), maka (hukumnya)
haram.” (Tafsir al-Qur`anul Azhim, Muqaddimah,
4-5). Adapun kewajiban berpegang sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih, yaitu parasahabat, tabi’in,
dan para imam yang mengikuti jalan mereka, maka dalil-dalilnya sangat banyak, antara lain:
Firman Allah Ta’ala,
ِ ‫غ ِْيَﺮ َويَّتِبْع ﺍْلهَُِ دى َلُِ ه تَبَّيَن ما ْبﻌِد من ﺍلَّ ُﺮسو َل يَشاِق‬
‫ق َوَِ من‬ َ ‫نص ِِلِه ت ََّولى ما ن َِولِه ﺍْلُ ْﻤ ِؤمِ نيَن سِبي ِل‬
ْ ‫َج َّهنَﻢ ُو‬
ْ‫مصيًﺮﺍ َوَِ سآَءت‬
ِ
Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang
telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruknya tempat kembali. (Q.S an-Nisaa` : 115).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


‫ي َُﻠونُ ْهﻢ ﺍَّلِذيَن ثَّﻢ ي َُﻠونُ ْهﻢ ﺍَّلِذيَن ثَّﻢ ْق ِﺮني ﺍلَّناِس خ َِْيُﺮ‬
Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang
yang mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringi
mereka (yaitu generasi tabi’ut tabi’in). (Hadits mutawatir, Bukhari, no. 2652, 3651, 6429;
Muslim, no. 2533; dan lainnya).
Berpegang teguh kepada Sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
Sunnah (ajaran) para khulafaur rasyidin dan para sahabat inilah solusi di saat umat
menghadapi perselisihan, tidak ada jalan lain.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
ِ ُ ‫للا بَتْقَوى أ‬
َ َ‫وصيُ ْكﻢ _ كِثيًﺮﺍ ﺍْخِ تََلًفا ف‬
‫سيَﺮى ْبﻌِدي ْمنُ ْكﻢ يِ ْﻌش ْمن فِإَّنُه يا‬ ِ َّ ‫بش ْعبًدﺍ ِوإْن وﺍلَّطاَعِﺔ وﺍلَّسْﻤِ ع‬
ِ ‫َح‬
‫ع ْﻠيُ ْكﻢ‬
َ َِ‫ف‬
َ ‫ت‬
ِ ‫سنِﺔ بُسَّن‬ ُ ‫ع ْﻠيَها َوعضُّوﺍ بَها ت َ َّﻤ‬
َّ ‫سكوﺍ ﺍلَّﺮﺍِشِديَن ﺍْلَ ْﻤ ِهدِييَن ﺍْلُ َخﻠَﻔاِء ُو‬ َ ‫ت ِوإَّيا ُ ْكﻢ بالَّنَوﺍ ِِجذ‬
ِ ‫ُو ْم َحدَثا‬
‫ضَِ َّلَلٌﺔ ْبدَعٍﺔ ُوك َّل ْبدَعٌﺔ ْم َحدَثٍﺔ ك َّل فِإَّن ﺍْ ُْلُم ِور‬ َ
Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada
penguasa kaum muslimin), walaupun (ia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya,
barangsiapa hidup setelahku, ia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi
kamu berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk
dan lurus. Peganglah, dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru
(dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua
bid’ah adalah sesat. (H.R Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; ad-Darimi; Ahmad; dan
lainnya dari al-‘Irbadh bin Sariyah).
Jika suatu istilah telah jelas maknanya menurut al-Kitab, as-Sunnah, sesuai dengan
pemahaman para ulama Salaf, atau telah terjadi ijma`, maka seorang pun tidak boleh
menyelisihinya dengan alasan makna bahasa.
Namun, ada sebagian orang yang menyimpang memiliki anggapan bahwa setiap
mubaligh adalah rasul, dan rasul tetap diutus sampai hari Kiamat. Alasan yang
dikemukakan ialah, karena secara bahasa, rasul artinya orang yang diutus. Pemahaman
seperti ini adalah bid’ah, sesat dan menyesatkan [penulis pernah ikut membantah
seorang mubaligh dari Gemolong, Sragen, Jawa Tengah, yang mengaku sebagai rasul.
Dia beralasan, rasul artinya ialah orang yang diutus. Sedangkan orang ini mengaku
sendiri, bila ia tidak mengerti bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya.
Ini sebagian contoh kasus tentang kesalahan memahami istilah agama Islam, karena
semata-mata me-ruju` kepada arti bahasa. Kasus seperti ini sangat banyak. Semua ini
menyadarkan kita tentang perlunya memahami al-Kitab dan as-Sunnah sesuai dengan
pemahaman Salafush Shalih. Tentu pemahaman tersebut melalui para ulama Ahlu
Sunnah wal Jama’ah, atau para ustadz yang dikenal kelurusan aqidah dan manhaj
mereka, serta amanah mereka dalam menyampaikan ilmu agama. Hal itu dapat secara
langsung berguru kepada mereka, atau lewat tulisan, kaset, dan semacamnya.
Semoga Allah selalu membimbing kita di atas jalan kebenaran.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagaimana kita ketahui bahwa hadis adalah sumber ajaran kedua setelah Al-Qur’an.
Dimana Hadis adalah pembicaraan, perkataan, percakapan, cerita, kabar dan kejadian
yang diungkapkan dan dialami oleh Rasulullah SAW. Dilihat dari segi itu sudah menjadi
kewajiban manusia untuk memahami atau mempelajari hadis. Dalam mempelajari hadis
ada berbagai macam metode yang digunakan yakni : metode maudu’i, tahlili, ijmali atau
muqaran.
B. Saran
Untuk melihat lebih jelas masing-masing metode penulis hanya merujuk beberapa buku
saja, untuk lebih jelasnya nanti perbanyak mencari sumber yang jelas agar lebih baik dan
bisa dimengerti.
DAFTAR PUSTAKA

Pengantar studi ilmu hadits penerbit “PUSTAKA AL-KAUTSAR” Jl.Cipinang raya Jakarta
timur

ILMU HADITS, pengantar memahami hadist Nabi SAW penerbit “Dar al-Hikmah wa al-ulum”
Alauddin Press Makassar

Metodologi Pemahaman Hadist oleh Prof. Dr . Arifuddin Ahmad,M.Ag

http://mamanpermatahati.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai