Anda di halaman 1dari 12

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kelemahan otot progresif telah dikenali sejak awal abad ke-19 oleh Sir
Charles Bell, Marshall Hall dan Todd. Aran (1850) menggunakan istilah
progressive muscular atrophy (PMA). Duchene (1849) juga telah menggambarkan
penyakit dengan gejala yang serupa. Bell berpendapat bahwa atrofi otot progresif
ini terjadi sebagai akibat kelainan mielopatik sedangkan Aran dan Duchene
menyatakan akibat kelainan miopatik. Charcot (1869) menggunakan istilah la
sclerose laterale amyotropique atau Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) yang
mencakup sindrom klinis berupa atrofi otot progresif , fasikulasi dan kontraksi
spasmodik permanen .
Istilah amiotrofi digunakan untuk menunjukkan kelemahan otot dan atrofi
yang terjadi sebgai akibat denervasi. Duchene (1869) menggambarkan
progressive bulbar palsy (PBP). Istilah 'motor neuron disease' (MND)
diperkenalkan oleh Brain (1962) setelah melihat adanya hubungan antara PMA ,
ALS dan PBP yang dilihat dari variasi klinis terlibatnya upper motor neuron
(UMN) dan lower motor neuron (LMN) serta dari topografi rusaknya anterior
horn cells dan kelemahan otot .MND hanya dapat terjadi pada manusia dan
melibatkan sistem piramidalisnya Biasanya melibatkan bagian distal dari lengan
tetapi dapat juga melibatkan bagian distal dari satu atau kedua tungkai. Tangan
kanan lebih sering dikenai dari tangan kiri. Diduga bahwa motor neuron yang
berfungsi mengatur gerakan trampil (halus) lebih mudah mengalami degenerasi
pada MND .Pria lebih banyak dikenai dari wanita. Orang kulit putih lebih sering
dikenai daripada kulit hitam.
Prevalensi MND bervariasi di berbagai tempat. Berdasarkan laporan yang ada
prevalensi terendah dijumpai di Meksiko (0,8 per 100.000 penduduk) dan yang
tertinggi di lnggris (7,0 per 100.000 penduduk). Prevalensi yang relatif tinggi juga
dilaporkan pada suku Komoro yang hidup di Pulau Guam di Pasifik Barat, di
Semenanjung. Kii (Jepang) dan di New Guinea Barat .lnsidens MND juga
2

bervariasi antara 0,1 -0,58 per 100.000 penduduk per tahun dengan rata-rata 1,36
per 100.000 penduduk per tahun. MND familial mencakup lebih kurang 5-10%
dari seluruh kasus MND. Pada kebanyakan kasus MND familial pola
penurunannya adalah otosomal dominan dan hanya beberapa kasus yang
diturunkan secara otosomal resesif.Di Indonesia penelitian mengenai MND hanya
sedikit dilakukan. Gajdusek (1962) pernah melaporkan bahwa di beberapa desa di
Irian lara ditemukan 10-20% penduduknya mengalami atrofi otot-otot thenar dan
hipothenar, yang pada pengamatan lebih lanjut temyata sebagian besar menderita
MND . Di Bagian Neurologi FK USU/RS H.Adam Malik Medan pada tahun 1998
telah dirawat 3 orang penderita yang didiagnosa sebagai MND.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Motor Neuron Disease
2.1.1 Defenisi
Motor Neuron Disease (MND) adalah suatu penyakit mematikan yang
sudah dikenal sejak abad ke-19. Penyakit ini unik karena ditemukannya tanda-
tanda Upper Motor Neuron (UMN) dan Lower Motor Neuron (LMN) secara
bersamaan pada seorang penderita. Karena relatif jarang ditemukan , sering
seorang dokter luput mendeteksi gejala-gejala penyakit ini bahkan banyak yang
mendiagnosanya sebagai stroke.
MND adalah beberapa penyakit neurodegeneratif yang secara selektif
berdampak pada motor neuron, sel-sel yang mengendalikan otot-otot voluter dari
tubuh ini meliputi sklerosis lateral amyotrofik, paraplegia spastik
herediter, sklerosis lateral primer, atrofi muskular progresif, palsi bulbar
progresif dan palsi pseudobulbar. Atrofi muskular spinal terkadang dimasukkan
dalam kelompok tersebut oleh beberapa neurologis namun ini adalah penyakit
berbeda dengan sebab genetik yang jelas.
2.1.2 Klasifikasi
Motor Neuron Disease digolongkan atas :
1. Amyotrophic Lateral Sclerosis (80%)
2. Progressive bulbar palsy (10%).
3. Progressive muscular atrophy (8%)
4. Primary lateral sclerosis (2%)
5. Juvenile MND.
6. Monomelic MND
7. Familial MND.
2.1.3 Etiologi
MND adalah penyakit mematikan dengan etiologi yang belum diketahui, Berapa
faktor juga merupakan penyebab penyakit ini, yaitu :
1. Toksin
2. Proses penuaan dini (premature aging)
4

3. Defisiensi faktor trofik


4. Infeksi virus
5. Gangguan metabolisme
6. Otoimun.
2.1.4 Patologi
MND merupakan penyakit kronis dengan karakteristik adanya degenerasi
progresif dari LMN di anterior horn cells medulla spinalis dan nukleus safar
kranial di batang otak, serta UMN di korteks serebri. Pada banyak kasus, otak dan
medulla spinalis tetap normal secara makroskopis kecuali perubahan yang terjadi
akibat proses penuaan. Menariknya pada sebagian kasus terlihat adanya atrofi
selektif dari girus presentralis seperti yang telah digambarkan oleh Kahler dan
Pick pada tahun 1879, Atrofi medulla spinalis yang luas hanya ditemukan pada
kasus-kasus yang kronis, tetapi sebaliknya sering juga dijumpai adanya atrofi dari
akar safar spinalis anterior. Bisa juga terlihat adanya perubahan wama sklerotik
dan penciutan traktus kortikospinalis lateralis. Otot-otot skeletal di bagian distal
mengalami atrofi, menciut, pucat dan fibrotik.
Adams dkk. menyatakan yang terpenting adalah rusaknya sel-sel neuron
pada anterior horn medulla spinalis dan nukleus motorik di bagian bawah batang
otak. Neuron besar cenderung lebih terlibat dari yang kecil. Sel yang rusak ini
digantikan oleh astrosit fibrous. Kebanyakan sel neuron yang bertahan menjadi
mengecil, berkerut dan berisi lipofusin, kadang-kadang terlihat adanya inklusi
sitoplasmik. Secara histopatologik, gambaran utama dari MND meliputi:
(1). Berkurangnya motor neuron yang besar dengan astrogliosis fokal
(2). Senescent changes
(3). Inklusi intrasitoplasmik
(4). Aksonopati proksimal dan distal dengan sferoid aksonal
(5). Degenerasi traktus dan
(6). Degenerasi serabut motorik, motor end-plates dan atrofi otot
Pengamatan makroskopis pada safar tepi yang mengalami atrofi pada
anterior root menunjukkan adanya penurunan diameter serabut saraf. Saraf tepi
lainnya menunjukkan gambaran normal atau hanya sedikit mengalami atrofi. Pada
5

beberapa kasus ditemukan adanya kerusakan pada akson dari safar frenikus,
suralis, peroneus profunda clan superfisialis serta pada akar saraf servikalis dan
lumbalis bagian ventral. Atrofi otot yang jelas telah disebutkan pada beberapa
laporan awal tentang MND. Secara histologis terlihat adanya gambaran infiltrasi
lemak yang khas pada sel-set otot dan gambaran atrofi akibat denervasi. Adanya
atrofi serabut otot ini dihubungkan dengan kerusakan motor neuron alfa di
medulla spinalis. Kadangkadang terlihat serabut yang hipertrofik atau distrofiko
Biopsi menunjukkan timbulnya 'tunas' baru dari akson serabut safar yang tersisa
di dalam otot, sekunder terhadap denervasi.
2.1.4 Gambaran Klinis
Gambaran khas dari MND adalah adanya disfungsi saraf baik tipe UMN
maupun LMN. Pada MND ditemukan adanya atrofi, parese dan fasikulasi dengan
hiperrefleks, respon ekstensor dan pada beberapa kasus spastisitas. Gejala awal
yang sering antara lain : fatigue, kram otot, tungkai menyeret atau kesulitan
melakukan pekerjaan dengan satu tangan. Gejala-gejala ini biasanya asimetris dan
sering hanya mengenai satu anggota gerak walaupun pada saat diperiksa
umumnya sudah ditemukan defisit neurologis yang lebih luas. Gejala lain
termasuk atrofi otot, nyeri dan kram otot, fasikulasi dan langkah yang kaku.
Bila kerusakan UMN relatif lebih dominan , gejala utamanya bisa berupa
spastisitas, kekakuan dan klonus kaki. Keterlibatan bulbar biasanya berupa
kombinasi UMN dan LMN dan menyebabkan suara serak , perubahan artikulasi
dan suara sengau, Lidah biasanya dikenai secara simetris, gerakannya melambat,
dijumpai fasikulasi dan atrofi. Bila spastisitas dan parese berlanjut bisa terjadi
disfagia. Gangguan sensoris biasanya tidak dijumpai pada MND , tetapi kadang-
kadang bisa dijumpai parestesia, perasaan dingin dan perasaan tebal (numbness).
Jarang dijumpai adanya gangguan miksi dan defekasi, kecuali terjadi
paralise yang berat dari otot-otot skelet yang melibatkan otot-otot gluteus dan
daerah sakral. Hal ini karena nukleus Onuf yang terdapat di anterior horn safar
spinal S2 dan S3 relatifr asisten terhadap denervasi yang terjadi pada MND.
Fungsi otonom umurnnya normal. Penderita MND tidak mengalami dekubitus
sekalipun pada tahap lanjut karena fungsi sensorik dan regulasi otonom dari aliran
6

darah kulit berjalan baik. Demensia bisa ditemukan pada 3-5% penderita MND
tetapi tipenya berbeda dengan dernensia tipe Alzheimer dan biasanya menunjukan
demensia lobus frontalis.
Pada progressive bulbar palsy gejala awal yang menonjol adalah kelemahan
dari otot-otot yang diinervasi oleh nukleus motorik di batang otak bagian bawah,
misalnya otot-otot rahang, wajah, lidah faring dan laring. Gejala klinis utamanya
adalah disartria, disfonia, kesulitan mengunyah, salivasi dan disfagia. Lidah
lumpuh dengan tanda-tanda atrofi dan fasikulasi yang menonjol. Kadang-kadang
disertai kelumpuhan otot-otot wajah. Secara klinis terlihat adanya keterlibatan
UMN dan LMN dengan lidah yang spastis , refleks jaw-jerk yang meninggi
seperti juga pada anggota gerak.
Pada progressive muscular atrophy yang menonjol adalah keterlibatan LMN
dari otot-otot ekstremitas tanpa gambaran keterlibatan UMN yang jelas. Tetapi
refleks tendon yang menurun membedakannya dari progressive spinal muscular
atrophy. Biasanya timbul setelah usia 20 tahun dan tidak ada riwayat penyakit
yang mirip dalam keluarga .Pada 50% kasus PMA terlihat atrofi dari otot-otot
intrinsik tangan yang simetris yang secara perlahan berlanjut ke proksimal.
Perjalanan penyakitnya lebih lambat dari tipe lain .
Bentuk infantil dari PMA bermanifestasi seperti floppy infant dan disebut
penyakit Werdnig-Hoffinan. Variasi yang lain dengan distribusi ke proksimal
dikenal sebagai penyakit Kugelberg-Welander . Traktus kortikospinalis tidak
terlibat dan tidak ada gangguan sensoris. Penderita primary lateral sclerosis
menunjukkan paraparese spastik yang berjalan lambat lain melibatkan otot-otot
lengan dan orofaring .Tipe ini sangat jarang dijumpai. Penyakit dimulai pada usia
dewasa dengan tanda-tanda keterlibatan traktus kortikospinalis sekunder terhadap
rusaknya neuron motorik di korteks serebri. Tidak dijumpai atrofi maupun
fasikulasi . Fungsi sfingter biasanya baik . Pada beberapa penderita dijumpai
hemiparese spastik yang progresif yang dikenal sebagai varian Mills. Setelah
beberapa tahun gerakan jari-jari melambat, lengan menjadi spastik dan terjadi
gangguan berbicara. menyarankan kriteria diagnostik yang penting yaitu suatu
perkembangan penyakit selama 3 tahun tanpa bukti keterlibatan LMN.
7

2.1.5 Diagnosa
Yang terpenting untuk menegakkan diagnosa MND adalah diagnosa klinis.
Karena belum ada pemeriksaan khusus untuk MND, maka diagnosa pasti baru
dapat diketahui pada otopsi post-mortem dengan memeriksa otak ,medulla
spinalis dan otot penderita. Gejala utama yang menyokong diagnosa adalah
adanya tanda-tanda gangguan UMN dan LMN pada daerah distribusi saraf spinal
tanpa gangguan sensoris dan biasanya dijumpai fasikulasi spontan. Gambaran
khasnya berupa kombinasi tanda-tanda UMN dan LMN pada ekstremitas dengan
adanya fasikulasi lidah. Implikasi dari penegakan diagnosa MND adalah bahwa
kita menegakkan adanya suatu penyakit yang akan berkembang terus menuju
kematian. Jadi penting sekali untuk menegakkan diagnosa secara teliti dengan
menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan yang lain dengan melakukan
pemeriksaan yang lengkap dan sesuai. Pemeriksaan elektrofisiologis, radiologis,
biokimiawi, imunologi dan histopatologi mungkin diperlukan untuk
menyingkirkan penyakit lainnya.
 Diagnosa MND menurut El Escorial Criteria For ALS Diagnosis adalah :
1. ALS: ƒ tanda UMN dan LMN pada regio bulbar dan minimal 2 regio
spinal, atau tanda UMN dan LMN pada 3 regio spinal.
2. Kemungkinan besar ALS (probable ALS) : ƒ tanda UMN dan LMN
pada minimal 2 regio (beberapa tanda UMN harus restoral terhadap tanda
LMN)
3. Kemungkinan ALS (possible ALS) : tanda UMN dan LMN hanya pada
1 regio atau ƒ hanya tanda UMN pada minimal 2 regio atau ƒ tanda LMN
rostral terhadap tanda UMN.
4. Curiga ALS (suspected ALS) : ƒ tanda LMN pada minimal 2 regio.
Handisurya dan Yan Utama 6 mengajukan kriteria diagnostik MND
berdasarkan : 1. Anamnesa: adanya kelemahan yang progresif.
2. Pada pemeriksaan neurologis dijumpai :
a. adanya gangguan motorik.
b. tidak ada gangguan sensorik.
c. tidak ada gangguan fungsi otonom.
8

d. didapat salah satu atau keduanya dari tanda-tanda LMN (atrofi,


fasikulasi) dan tanda-tanda UMN (peninggian refleks tendon pada
ekstremitas yang atrofi, refleks patologis yang positif).
3. Pemeriksaan penunjang :
a. laboratorium: kadar protein dalam CSS normal atau sedikit meninggi.
b. Enzim CPK meningkat (pada 70% kasus).
c. EMG: terdapat adanya potensial denervasi dan otot-otot yang dipersarafi
oleh dua atau lebih akar safar pada setiap tiga daerah atau lebih
(ekstremitas, badan, kranium). Biasanya terdapat potensial sinkron,
kadang-kadang terdapat giant potential.
d. KHS: normal
e. Biopsi otot : terdapat gambaran histologis yang sesuai dengan atrofi
neurogen.
f. Biopsi saraf: tidak terdapat kelainan pada safar
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
 Elektromiografi (EMG) adalah pemeriksaan yang paling bermanfaat untuk
menegakkan diagnosa MND. Rekaman EMG menunjukkan adanya
fibrilasi dan fasikulasi yang khas pada atrofi akibat denervasi.
 Pemeriksaan biokimiawi darah penderita MND kebanyakan berada dalam
batas normal . Punksi lumbal dapat dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosa MND. Protein cairan serebrospinal sering dijumpai
normal atau sedikit meninggi. Kadar plasma kreatinin kinase (CK)
meninggi sampai 2-3 kali nilai normalnya pada sebagian penderita. Enzim
otot carbonic anhydrase III (CA III) merupakan petunjuk yang lebih
sensitif.
 Pemeriksaaan radiologis berguna untuk menyingkirkan kemungkinan
diagnosa lainnya .MRI dan CT-scan otot bermanfaat untuk membedakan
atrofi otot neurogenik dari penyakit miopatik dan dapat menunjukkan
distribusi gangguan penyakit ini. MRI mungkin dapat menunjukkan
sedikit atrofi dari korteks motorik dan degenerasi Wallerian dari traktus
motorik di batang otak dan medulla spinalis. Block dkk
9

mendemonstrasikan kemampuan proton magnetic resonance spectroscopy


untuk mendeteksi perubahan metabolik pada korteks motorik primer dari
penderita MND yang sesuai dengan adanya kerusakan sel neuron regional
dan berbeda secara bermakna dengan orang sehat atau penderita neuropati
motorik.
 Biopsi otot mungkin perlu dilakukan untuk membedakan MND yang
menimbulkan slowly progressive proximal weakness dari miopati. Bila
dilakukan biopsi otot, terlihat serabut otot yang mengecil dan hilangnya
pola mosaik yang nomlal dari serabut-serabut otot .

2.1.7 Penatalaksanaan

MND adalah penyakit yang menakutkan karena penyakitnya terus berlanjut


sedangkan terapinya belum ada yang efektif disertai adanya beberapa gejala klinis
yang progresif. Belum ada terapi yang spesifik untuk penyakit MND, yang ada
baru berupa terapi suportif. Penatalaksanaan penderita MND membutuhkan
pendekatan multidisiplin bervariasi menurut latar belakang sosial ekonomi,
budaya dan keluarga. Penyakit ini menyangkut problem erika, logistik dan
edukasi. Masalah etika terlibat pada saat pengambilan keputusan untuk
memberikan alat bantu penafasan buatan, pemberian makan dengan cara artifisial
dan penggunaan obat-obat golongan narkotik pada tahap akhir penyakit ini.

Tujuan terapi adalah mempertahankan penderita dapat berfungsi dengan


baik selama mungkin, membantu stabilitas emosi dan menangani masalah fisik
bila sudah timbul . Obat-obat seperti baclofen, diazepam, tizanidine dan
dantrolene dapat dipakai untuk mengatasi spastisitas yang terjadi.

Bensimon dkk. melaporkan penggunaan riluzole, suatu zat anti glutamat,


dapat memperlambat perkembangan MND dengan bulbar onset dan
memperpanjang harapan hidup penderita selama 3 bulan .Riluzole adalah suatu
derivat benzothiazole yang menghambat pelepasan glutamat dari ujung safar
presinaptik ; menstabilkan 'sodium channels' pada keadaan inaktif dan
mengantagonis efek glutamat di postsinaptik melalui mekanisme yang belum
10

diketahui dengan sempurna. Penelitian farmakologi klinik ditujukan pada


pengembangan obat yang dapat mempengaruhi fungsi motorik melalui aksi
langsung pada UMN dan LMN, atau secara tidak langsung melalui sirkuit saraf
atau jaringan penyokongnya.

Penggunaan TRH dan analog TRH, recombinant insulin-like growth


factorIGF-I) , faktor neurotropik seperti brain -derived neurotrophic factor
(BNDF) dan ciliary neurotrophic factor (CNTF) , bloker reseptor glutamat seperti
dextamorphan ,serta penghambat superoxydase dysmutase masih dalam
penelitian. Dalam praktek sehari-hari beberapa gejala yang sangat mengganggu
sering ditemukan seperti disfagia, tersedak, liur menetes clan disartria . Untuk
mengatasi liur menetes penderita dianjurkan menjaga posisi kepalanya sedikit
ekstensi, latihan menutup mulut , mengurangi makanan yang mengandung susu
atau mengulum potongan es. Kalau perlu dapat diberi atropin peroral, amitriptilin
atau piridostigmin. Untuk mengatasi disfagia, penderita dilatih mencari makanan
dengan ujung lidah, meregang lidah, menggigit dengan kuat dan menutup mulut.
Makanan yang lunak tetapi padat lebih baik daripada makanan cair. Karena
penderita sulit menelan cairan, makanan yang dikonsumsinya harus banyak
mengandung air. Mengulum potongan es kadang-kadang dapat membantu
penderita agar dapat menelan dengan lebih baik.

Neostigmin atau piridostigmin dapat diberikan bila perlu . Pemasangan


NGT dilakukan bila :

(1). Dehidrasi berat

(2). Sering tersedak

(3). Pneumonia aspirasi

(4). Sangat sulit menelan

(5) Berat badan menurun terus.


11

Agar tidak sering tersedak dianjurkan agar makan perlahan-lahan, setelah


mengunyah tunggu sebentar sebelum menelan makanan, tetap dalam posisi duduk
30 menit setelah makan dan frekuensi makan ditambah tetapi dengan porsi kecil.
Fisioterapi terutama ditujukan untuk melatih sisa-sisa serabut otot yang reinervasi
yang masih dapat dilatih dan untuk otot yang mengalami disuse atrophy pada
penderita yang cacat atau inaktif. Pergerakan sendi perlu untuk menghindari
kekakuan sendi dan nyeri. Fisioterapi juga diperlukan karena dapat membantu
mengatasi kekecewaan penderita. Penanganan psikososial ditujukan untuk
membantu stabilitas emosi penderita dan keluarganya begitu mengetahui MND
adalah penyakit yang belum dapat diobati. Penderita harus memperoleh
penjelasan bahwa ia masih dapat hidup normal dengan penyakitnya tersebut dan
dapat mengatasi problem yang muncul.
12

DAFTAR PUSTAKA

Hardiman O et al. Clinical Diagnosis and Management of Amyotrophic Lateral


Sclerosis. Nat. Rev. Neurol 7 2011;7:639-649. Doi:1038/nrneurol.2011.153.

Handisurya I, Utarna Y. Gambaran Klinis Motor Neuron Disease. Neurona. 1995.

Indah T. Motor Neuron Disease.2000, Fakultas Kedokteran Universitas Seelah


Maret. Solo.

Rasyid D. 2014. AMYOTROPIC LATERAL SCLEROSIS DENGAN


GAMBARAN KLINIK PROGRESIF BULBAR PALSY. BAGIAN
NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RS. DT. M. DJAMIL PADANG.

Rambe, A.S. MOTOR NEURON DISEASE. 2004. Bagian Neurologi Fakultas


Kedokteran USU/RSUP. H.Adam Malik Medan.

Anda mungkin juga menyukai