Anda di halaman 1dari 8

Kasus

Anak laki-laki, usia 3 tahun dibawa ke IGD Rumah Sakit di USA. Anak
laki-laki tersebut mengalami kecelakaan mobil dengan keluarganya dan
mengalami patah tulang femur. Kondisi anak sadar, kesakitan dan lemah. Hb 7.5
(10.5–12.7) dan Ht 27 (31.7–37.7). Tatalaksana yang diperlukan adalah operasi
secepatnya dan transfusi darah. Keluarganya yang lain dalam keadaan sadar penuh
dan luka-luka. Keluarga menolak untuk transfusi darah, karna mereka penganut
Jehovah

Analisi Kasus berdasarkan Four Boxes Method


1. Indikasi medis
Pada kasus ini termasuk dalam gawat darurat, dimana gawat darut
adalah suatu keadaan yang mana penderita memerlukan pemeriksaan medis
segera, apabila tidak dilakukan akan berakibat fatal bagi penderita. Tujuan
dari tatalaksana pada kasus ini untuk menyelamatkan nyawa pasien.
Prognosis dilakukan tatalaksana pada kasus ini baik. Bahaya yang akan
muncul pada pasien dapat dicegah dengan dilakukan penanganan segera.
Risiko medik jika tatalaksana tidak dilakukan atau dihentikan antara lain
kematian, Non union, yaitu ketidaksambungan tulang, Mal union, adalah
penyambungan tulang yang tidak sempurna, Delayed Union, adalah
keterlambatan penyambungan tulang, Sepsis atau ikut teralirnya suatu baksil
pada sirkulasi darah sehinga menyebabkan infeksi, Stiff Joint atau kekuatan
pada sendi.
Tindakan medis diperlukan karena anak tersebut butuh operasi segera
dan transfusi darah. Indikasi medis tersebut akan dilakukan berdasarkan 2
dari 4 kaidah dasar bioetika yaitu beneficence dan nonmaleficence.. Jika
menganut pada 2 kaidah dasar bioetik, seharusnya dokter melakukan 2
tindakan medis tersebut, akan tetapi keluarga pasien menganut keyakinan
Jehovah, dimana keyakinan tersebut melarang penganutnya untuk melakukan
salah satunya transfusi darah. Akan tetapi sekarang telah terdapat teknologi
terbaru dimana pasien tidak harus melakukan transfusi darah saat operasi
yang dinamakan teknik konservasi darah yaitu sebuah teknik pembedahan
rumit yang dilakukan tanpa transfusi sehingga tindakan medis bisa dilakukan
tanpa mengganggu keyakinan pasien.
2. Patient’s preference
Prinsip respect for autonomy
1. Apa yang pasien inginkan?
Pihak pasien menginginkan pasien selamat tapi tidak mampu
bekerja sama dengan pengobatan karena adanya paham keluarga yang
mengharamkan adanya transfuse darah.
2. Apakah pasien memiliki kapasitas untuk memberikan keputusan?
a. Pasien tidak mampu memberikan keputusan karena pasien adalah
anak-anak, sehingga keluarga pasien yang menggantikan pasien
untuk pengambilan keputusan.
3. Hak pasien untuk memilih dihormati baik secara etika dan hukum.
Pasien berhak dihormati baik secara etika maupun hukum yang
berlaku. Hukum memberikan pengaturan terhadap bentuk-bentuk hak
pasien dalam berbagai peraturan perundang-undangan, mulai dari
undang-undang, (UU No. 29/2004 tentang praktik kedokteran, UU
36/2009 tentang Kesehatan dan UU No. 44/2009 tentang RS), Peraturan
Pemerintah (PP No. 39/1995 tentang penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, PP No /1960 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran)
hingga peraturan yang berbentuk tekhnis yang diatur di dalam Peraturan
/Keputusan Menteri Kesehatan (Permenkes No.269.2008 tentang Rekam
Medik, Permenkes No. 2902008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran, Kepmenkes No. 1333/2002 tentang Persetujuan Penelitian
Kesehatan Terhadap Manusia).
Selain itu, berdasarkan pasal 39 UU Praktik Kedokteran
menyebutkan bahwa Praktek kedokteran diselenggarakan berdasarkan
pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam
upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan
kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.
Sementara itu pasal 14 Peraturan Meneteri Kesehatan Nomor
512/MENKES/PER/IV/2007 menyatakan : Praktik kedokteran
dilaksanakan berdasarkan pada kesepakatan berdasarkan hubungan
kepercayaan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya
untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan
kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. (Pasal 14 ayat
1). Kesepakatan dimaksud merupakan upaya maksimal pengabdian
profesi kedokteran yang harus dilakukan dokter dan dokter gigi dalam
penyembuhan dan pemulihan kesehatan pasien sesuai dengan standar
pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional dan kebutuhan
medis pasien (Pasal 14 ayat 2) Upaya maksimal dimaksud adalah sesuai
dengan situasi dan kondisi setempat (Pasal 14 ayat 3).
Kedua rumusan pasal tersebut telah menyiratkan bahwa transaksi
terapeutik merupakan suatu inspaningverbintenis yakni suatu perjanjian
yang didasarkan pada suatu usaha maksimal dan bukan pada suatu hasil
akhir (resultaantverbintenis). Dan melihat dari isi Pasal 14 Permenkes
No. 512 Tahun 2007 di atas bahwa yang menjadi tolok ukur usaha
maksimal adalah standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur
operasional dan kebutuhan medis pasien. Kriteria ini dipertegas oleh UU
Kesehatan melalui Pasal 24 yang menyebutkan bahwa “tenaga kesehatan
(termasuk dokter) harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi,
hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar
prosedur operasional”.Pasal ini menghendaki pemenuhan hak pasien
sebagai salah satu indikator suatu pelayanan kesehatan yang diberikan.
Sementara perumusan istilah “kebutuhan medis pasien” di dalam
Pasal 14 ayat (2) Permenkes No.512/2007 di atas secara spesifik telah
dikuatkan dalam Penjelasan Pasal 23 ayat (4) UU Kesehatan yang
menyatakan bahwa “selama memberikan pelayanan kesehatan tenaga
kesehatan harus mengutamakan indikasi medis dan tidak diskriminatif
demi kepentingan terbaik dari pasien dan sesuai dengan indikasi medis”.
Bila membaca rumusan penjelasan Pasal 23 ayat (4) tentang
“berdasarkan indikasi medis” menunjukkan bahwa ketentuan pasal ini
diarahkan/ditujukan kepada tenaga kesehatan yang berwenang
melakukan tindakan medis, dalam hal ini adalah dokter dan/atau dokter
gigi dengan mensyaratkan aspek keselamatan pasien sebagai tolok ukur
pelayanan kesehatan yang secara substansial tidak bertentangan dengan
hukum.
Suatu tindakan medis yang secara substansial atau secara materiil
dikatagorikan sebagai tidak bertentangan dengan hukum memiliki
beberapa aspek hukum yang wajib melingkupi tindakan medis tersebut.
Suatu tindakan medis dikatakan tidak bertentangan dengan hukum
apabila memenuhi 3 (tiga) persyaratan utama yakni adanya indikasi
medis, dilakukan sesuai dengan ilmu dan tekhnologi kedokteran yang
berlaku umum dan adanya persetujuan pasien (informed consent).
Persyaratan material tersebut dapat disejajarkan dengan persyaratan
sebuah perikatan yang sah yang didasarkan pada Pasal 1320 KUHPerdata
yang menyebutkan adanya 4 (empat) persyaratan yang harus dipenuhi
yakni :
a. Adanya kecakapan dari para pihak
b. Adanya kesepakatan para pihak
c. Adanya objek perjanjian/perikatan yang jelas
d. Dimana objek perjanjian/perikatan tersebut harus dilandaskan pada
alasan yang sah.
Di dalam transaksi terapeutik, syarat kecakapan dan kesepakatan
tertuang dalam bentuk informed consent, sementara syarat objek yang
jelas dan alasan yang sah termasuk sebagai syarat yang disebut dengan
lege artis (adanya indikasi medis dan penggunaan tekhnologi kedokteran
yang sesuai ). Meski memiliki kesejajaran konsep persyaratan namun
keduanya memiliki implikasi hukum yang berbeda. Apabila di dalam
perikatan pada umumya persyaratan kecakapan dan kesepatakan para
pihak merupakan persyaratan subjektif yang apabila dilanggar akan
menyebabkan perikatan/perjanjian dapat dibatalkan (nietigbaar)
sementara pelanggaran terhadap persyaratan objek yang jelas dan alasan
yang sah sebagai syarat objektif mengakibatkan perjanjian/perikatan
batal demi hukum; tidak demikian halnya di dalam sebuah transaksi
terapeutik.
Transaksi terapeutik tidak melihat konsep perbedaan syarat
subjektif dan syarat objektif terhadap persyaratan material tersebut.
Penulis berpendapat bahwa ketiga persyaratan medis tersebut (informed
consent, lege artis dan indikasi medis) harus bersifat limitative dalam arti
semuanya harus terpenuhi dan tidak dapat tidak, sehingga ketiadaan salah
satunya dapat mengakibatkan transaksi batal demi hukum dan kondisi ini
dapat dijadikan landasan gugatan/tuntutan hukum yang berdampak pada
batalnya transaksi terapeutik tersebut. Pemikiran ini dilandasi oleh
perumusan Pasal 23 ayat (4) dan Pasal 24 UU No.36/2009 serta Pasal 51
UU No.29/2004 yang telah dijabarkan di atas.
Pasal 23 ayat (4) dan Pasal 24 UU No.36/2009 telah menetapkan
adanya hak-hak pasien (salah satunya adalah informed consent) sebagai
kewajiban tenaga kesehatan dalam menyelenggarakan pelayanan
kesehatan yang sesuai asas-asas hukum positif yang telah ditetapkan
UU.Sementara pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 51 yang berintikan
kewajiban dokter di dalam melakukan pelayanan medisnya termasuk
kewajiban di dalam pemenuhan hak-hak pasien, diancam dengan sanksi
pidana.Pemahaman-pemahaman terhadap perumusan-perumusan di atas
telah memberikan makna ketegasan terhadap kedudukan dan fungsi hak-
hak pasien sebagai indikator ada tidaknya suatu kesalahan yang
dilakukan dokter di dalam transaksi terapeutik yang berjalan.
Berdasarkan kasus tersebut dokter harus melakukan prinsip
informed consent dengan baik, berterus terang pada pihak keluarga
mengenai pentingnya transfusi darah dan resiko yang akan terjadi jika
transfusi darah tidak di lakukan dan dengan melakukan informed consent
berarti dokter menghargai privasi dan keberadaan pasien.
3. Kualitas hidup pasien
Para pendukung saksi Jehova meyakini bahwa memakan ataupun
memasukan darah orang lain kedalam tubuh dengan cara papun sangat
terlarang hal demikian menunjuukan bahwa menrima donor ataupun
mendonorkan darah yang bagi banyak agama lain adalah suatu amal kebaikan,
sebaliknya menurut pandangan Kristen saksi yehova adalah perbuatan dosa.
Komunitas medis pernah memandang strategi untuk menghindari
tranfusi, juga disebut pengobatan nondarah, sebagai hal ekstrem bahkan
bunuh diri , tetapi ini telah berubah pada tahun belakangan. Pada 2010,
sebuah srtikel di jurnal heart, lung and circulation mengatakan bahwa
“pembedahan non darah” sebaiknya tidak hanya digunakan untuk saksi
jehova tetapi sebaiknya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari praktek
pembedahan sehari hari.
Ribuan dokter di seluruh dunia kini menggunakan teknik konservasi
darah untuk melakukan pembedahan yang rumit tanpa transfusi. Alternative
transfusi darah seperti itu digunakan bahkan di Negara Negara berkembang
dan diminta oleh banyak pasien non-saksi.
Luka pada syaraf atau pembuluh darah yang menyediakan darah
bagian ekstremitas adalah merupakan komplikasi yang sering terjadi
kerusakan pembuluh darah terutama arteri iliaka yang menyuplai pelvis,
perineum dan regio gluteal dan ARTERI iliaka eksterna yang menyeberangi
lipatan paha dan memasuki paha yang disebut arteri femoralis maka fraktur
pada daerah femur dan pelvis sangat mungkin ber syok hipofolemik.
Terkadang luka menyebabkan kehilangan fungsi yang ditemukan pada
kerusakan neurovaskuler. Hal ini penting dalam evaluasi sirkulasi dan
neurologis distal.
Karena tulang merupakan organ yang sangat vaskuler, maka dapat
terjadi kehilangan darah dalam jumlah yang besar. Tulang dikatakan organ
vaskuler karena periosteum yang merupakan jaringan fibrosa kuat yang
melapisi tulang panjang pada bagian luar kaya akan pembuluh darah yang
menembus tulang. Ada tiga kelompok pembuluh darah yang menyuplai
tulang panjang, yaitu pertama, sejumlah besar arteri kecil menembus tulang
kompakta untuk menyuplai kanal dan sistem havers, yang kedua, arteri lebih
besar menembus tulang kompakta untuk menyuplai tulang spongiosa dan
sum-sum tulang (lubang tempat pembuluh darah tersebut menembus tulang,
inilah yang dapat kita lihat berupa perembesan darah pada tulang dan ketika
satu atau dua arteri besar menyuplai kanal medula yang sering disebut arteri
nutrien.
Pada fraktur tertutup femur dapat menyebabkan kehilangan darah
lebih dari 1 (satu) liter apalagi biloa terjadi fraktur pada kedua femur. Fraktur
pelvis dapat menyebabkan perdarahan yang dapat masuk ke abdomen dan
daerah retroperitonial. Pada pelvis dapat terjadi beberapa fragmen pada
beberapa tempat dan setiap fraktur dapat menyebabkan kehilangan darah
sebanyak 500 (lima ratus) milliliter. Fraktus pelvis dapat pula menyebabkan
robekan pada kandung kemih atau pembuluh darah pelvis yang besar dan
dapat ber perdarahan yang fatal ke dalam abdomen. Perlu diingat, fraktur
yang multiple dapat mengancam jiwa walaupun tidak terlihat darah yang
terlihat keluar, yang ber syok dan bisa ber fatal dalam beberapa jam setelah
cedera

4. Contextual features
Menyangkut aspek non medis yang mempengaruhi pembuatan
keputusan, seperti faktor keluarga, ekonomi, budaya kaidah terkait justice.
Pada kasus tersebut terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
tindakan, yaitu faktor keluarga, agama, dan budaya yang mempengaruhi
keputusan karena mereka penganut Jehovah yang tidak dapat menerima
transfusi darah untuk segera dilakukan operasi. Jadi seorang dokter dalam
menggambil keputusan pengobatan harus meminta persetujuan dulu dari
orang tua pasien tersebut.
Faktor keluarga yang mempengaruhi keputusan tersebut, karena anak
tersebut masih orang tua yang bertanggung jawab penuh dalam mengambil
sebuah keputusan. Saya rasa bukan karena masalah keuangan namun karena
keppercayaan, karena menurut penganut Jehovah Perjanjian lama dan
perjanian baru dengan jelas memerintahkan untuk tidak menggunakan darah.
(kejadian Imamat 17:10; Ulangan 12:23; Kisah 15:28,29) Juga bagi
Allah,darah melambangkan kehidupan. (Imamat 17:14) jadi, kami
menghindar darah bukan hanya karena taat kepada Allah melainkan juga
respek kami kepada-Nya sebagai sang pember kehidupan. Berikut menurut
penganut Jehovah karena darah itu suci dan dilarang oleh kitab untuk
mentransfusikan kepada orang lain.
Beberapa keyakinan mempercayai bahwa suatu tindakan medis dapat
membahayakan kekayaan tertentu, akibatnya penolakan atas tindakan medis
pun terjadi. Situasi seperti ini menjadikan dilemma tersendiri bagi para medis
dimana menyeimbangkan keyakinan pasien dengan konsekuensi yang akan
dihadapi pasien tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

1. PP Nomor 39 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan .


2. Danny Wiradharma. Aspek Etis & Yuridis Tindakan Medis. Penerbit
Universitas Trisakti; hlm 38. 2003.
3. Hanafiah,J. Amir, A. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. EGC.
Jakarta.2009.
4. LI-Ting, Huang et all. Recanalisation of broncholial venous plexuses in
superior venous cava occlusion. Cite data : heart, lung and circulation.
ISSN 1444-2892, Vol 26.Elsavier 2017
5. David J. Ha et all. Manajemen Perdarahan pada Fraktur Pelvis yang
Mengancam-Jiwa. ISBN.2011

Anda mungkin juga menyukai