SKENARIO 1
KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) MALARIA
KELOMPOK 18
LES YASIN G0012244
LATIFA ZULFA S G0012112
LELY AMEDIA RATRI G0012114
M. BEIZAR YUDHISTIRA G0012134
OKI SARASWATI UTOMO G0012156
R.rr. ERVINA KUSUMA W G0012168
RIANITA PALUPI G0012180
RIZKI FEBRIAWAN G0012190
TIA KANZA NURHAQIQI G0012220
TRIA MULTI FATMAWATI G0012222
YUSUF ARIF SALAM G0012240
TUTOR:
Cr. Siti Utari, Dra., M.Kes
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO 1
BAGAIMANA MENGATASI PENINGKATAN ANGKA KEJADIAN DEMAM DI PULAU
SERIBU?
Pada Bulan Agustus 2013, terdapat peningkatan angka kejadian demam tinggi di Dinas
Kesehatan Kepulauan Seribu. Dilaporkan adanya 427 kasus demam tinggi dalam sebulan
dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 10%. Kasus demam tinggi ini meningkat
dibandingkan kasus sebelumnya dimana rata-rata hanya dilaporkan 100 kasus dan jarang
menyebabkan kematian. Dinas Kesehatan setempat menurunkan tim untuk melakukan
investigasi akan kondisi yang terjadi. Mereka mencurigai adanya Kejadian Luar Biasa (KLB)
penyakit malaria. Investigasi dilakukan dengan menerapkan langkah-langkah penyelidikan
KLB.
Malaria memang masih menjadi permasalahan kesehatan di dunia dan di Indonesia. Di
Indonesia, prevalensi dan insidensi penyakit malaria di Indonesia masih tinggi, mencapai
417.819 kasus positif pada 2012. Andi mengatakan saat ini 70 persen kasus malaria terdapat
di wilayah Indonesia Timur, terutama diantaranya Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku
Utara, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Wilayah endemic malaria di Indonesia Timur, ujar Andi,
tersebar di 84 kabupaten/kota dengan jumlah penduduk berisiko 16 juta orang. Andi
menjelaskan faktor geografis yang sulit dijangkau dan penyebaran penduduk yang tidak
merata merupakan penyebab sulitnya pengendalian malaria di wilayah itu. Selain itu, faktor
host, termasuk status gizi dan adanya penyakit tertentu juga meningkatkan risiko infeksi
malaria. Untuk itu, pihaknya juga melakukan pemberdayaan masyarakat dengan
pembentukan pos malaria desa dan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) juga digerakkan
melalui kecamatan RT-RT setempat untuk menurunkan House Index maupun Container Index
pada jentik nyamuk.
Selain itu, juga dilakukan surveillance aktif dan surveillance migrasi. Saat ini
pemerintah menargetkan bebas malaria pada tahun 2030. Bebas malaria adalah kondisi
dimana Annual Parasite Incident (API), atau insiden parasite tahunan, di bawah satu per
1.000 penduduk dan tidak terdapat kasus malaria pada penduduk local selama tiga tahun
berturut-turut.
Diadaptasi dari: http://www.voaindonesia.com/content/kasus-malaria-di-indonesia-masih-
tinggi/1648507.html
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
Seven Jump
Jump I: Membaca scenario dan mengklarifikasi kata sulit
Dalam skenario ini beberapa istilah yang perlu diklasifikasi adalah sebagai berikut:
1. Case Fatality Rate (CFR) : probabilitas kematian di kalangan penyakit yang
didiagnosis dalam periode tertentu
2. Annual Parasite Incident (API) : jumlah penderita positif per seribu penduduk
3. Prevalensi : seberapa sering penyakit sering terjadi pada populasi tertentu
4. Insidensi : jumlah penderita baru dalam waktu tertentu
5. Kejadian Luar Biasa (KLB) : timbulnya suatu kejadian kesakitan/kematian dan atau
meningkatnya suatu kejadian kesakitan yang bermakna secara epidemiologis pada
suatu kelompok penduduk dalam kurun waktu tertentu
6. House Index (HI) : jumlah rumah dengan jentik nyamuk dibagi dengan jumlah rumah
yang diperiksa
7. Container Index (CI) : Jumlah tempat penampungan air dengan jentik nyamuk dibagi
dengan jumlah tempat penampungan air yang diperiksa
8. Surveillance aktif : Pengumpulan dan analisis data secara terus menerus dan
sistematis yang didiseminasikan kepada pihak yang bertanggungjawab dalam
pencegahan penyakit dan masalah kesehatan dengan menggunakan petugas khusus
untuk melakukan kunjungan.
9. Surveillance migrasi : Pengumpulan data penduduk yang migrasi dari daerah endemis
ke daerah nonendemis ataupun sebaliknya
1. Trias Epidemiologi
a. Konsep Agent penyakit, manusia (Host) dan lingkungan (Environment)
Ditinjau dari sudut ekologis ada tiga faktor yang dapat menimbulkan suatu
kecacatan, kesakitan, ketidakmampuan dan kematian yang disebut sebagai trias
epidemiologi yaitu agent penyakit, manusia dan lingkungan. Dalam keadaan
normal terjadi suatu keseimbangan yang dinamis diantara tiga komponen ini atau
dengan kata lain di sebut sehat. Pada suatu keadaan terjadinya suatu gangguan
pada keseimbangan dinamis ini, misalnya akibat menurunnya kualitas lingkungan
hidup sampai pada tingkat tertentu maka akan memudahkan agen penyakit masuk
kedalam tubuh manusia dan keadaan disebut sakit (Chandra, 2009).
b. Konsep agen penyakit
Agen penyakit dapat berupa benda hidup atau mati dan faktor mekanis, namun
kadang kadang untuk penyakit tertentu, penyebabnya tidak di ketahui seperti pada
penyakit ulkus peptikum, penyakit jantung koroner dan lain-lain. Agen penyakit
dapat di klasifikasikan menjadi lima kelompok yaitu:
1) Agen biologi: Bakteri, virus, riketsia, protozoa, metazoa
2) Agen nutrisi: Karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan lainnya.
3) Agen fisik: Panas, radiasi, kelembaban, dingin, tekanan, cahaya, dan
kebisingan.
4) Agen kimiawi: Dapat bersifat endogen seperti : asidosis, diabetes
(hyperglikemia), uremia dan bersifat eksogen seperti alergen, debu, gas,
debu dan lainnya.
5) Agen mekanis: Gesekan, benturan, pukulan yang dapat menimbulkan
kerusakan pada jaringan tubuh host (pejamu).
9) Gaya hidup
Kebiasaan minum alkohol, narkoba, merokok dapat menimbulkan gangguan
pada kesehatan.
10) Psikis
Faktor kejiwaan seperti stres, emosional dapat menyebabkan penyakit
hypertensi, ulkus peptikum, depresi, insomnia.
d. Konsep Enviroment
Lingkungan hidup manusia pada dasarnya terdiri dari dua bagian yaitu
lingkungan internal berupa keadaan yang dinamis dan seimbang yang disebut
hemostatis. Dan lingkungan hidup eksternal di luar tubuh manusia. Lingkungan
hidup eksternal terdiri dari tiga komponen yaitu:
1) Lingkungan fisik
Bersifat abiotik atau benda mati seperti air, tanah, udara, cuaca, makanan,
rumah, panas dan lain lain. Lingkungan fisik ini berinteraksi secara konstan
dengan manusia sepanjang waktu dan masa . serta memegang peran penting
dalam proses terjadinya penyakit pada masyarakat, seperti kekurangan
persediaan air bersih terutama pada musim kemarau dapat menimbulkan
penyakit diare dimana-mana.
2) Lingkungan biologis
Bersifat biotik atau benda hidup seperti tumbuh tumbuhan, hewan, virus,
bakteri, jamur, parasit, serangga dan lain lain yang dapat berfungsi sebagai agen
penyakit.reservoir infeksi, vektor penyakit atau penjamu.
Hubungan manusia dengan lingkungan biologisnya bersifat dinamis dan bila
terjadi ketidakseimbangan antara hubungan manusia dengan lingkungan dengan
lingkungan biologisnya maka manusia akan menjadi sakit.
3) Lingkungan sosial
Berupa kultur, adat istiadat, kebiasaan, kultur, agama, sikap, gaya hidup,
pekerjaan, kehidupan masyarakat. Bila manusia tidak dapat menyesuaikan
dirinya dengan lingkungan sosial, maka akan terjadi konflik yang bersifat
kejiwaan dan menimbulkan penyakit psikosomatik, stres, depresi dan lainnya.
e. Interaksi agen penyakit, host dan environment
Dalam usaha pencegahan dan kontrol yang efektif terhadap penyakit perlu di
pelajari
mekanisme yang terjadi antara agen, host dan environment yaitu:
2. Peningkatan angka kejadian demam tinggi di Kepulauan Seribu dapat disebabkan oleh
banyaknya penduduk daerah endemic malaria yang migrasi ke Kepulauan Seribu dan
banyaknya masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan menjadi faktor risiko
terjadinya malaria karena karakteristik nyamuk Anopheles yang aktif di malam hari.
3. Tujuan Investigasi
Tujuan Umum:
a. Mencegah meluasnya (penanggulangan).
b. Mencegah terulangnya KLB di masa yang akan datang (pengendalian).
Tujuan Khusus:
a. Diagnosis kasus yang terjadi dan mengidentifikasi penyebab penyakit.
b. Memastikan bahwa keadaan tersebut adalah KLB.
c. Mengidentifikasikan sumber dan cara penularan.
d. Mengidentifikasi keadaan yang menyebabkan KLB .
e. Mengidentifikasikan populasi yang rentan atau daerah yang beresiko akan terjadi
KLB (CDC, 1981; Bres, 1986).
4. Kriteria KLB
Suatu daerah dapat ditetapkan dalam keadaan KLB, apabila memenuhi salah satu
kriteria sebagai berikut:
a. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau
tidak dikenal pada suatu daerah.
b. Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 (tiga) kurun waktu
dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya.
c. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan
periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari atau minggu menurut jenis
penyakitnya.
d. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan
dalam tahun sebelumnya.
e. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata
jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya.
f. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu)
kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih
dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode
sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
g. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu
periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode
sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
Kepala dinas kesehatan kabupaten/kota, kepala dinas kesehatan provinsi, atau
Menteri dapat menetapkan daerah dalam keadaan KLB, apabila suatu daerah
memenuhi salah satu kriteria.
a. Tujuan Surveilans
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan
populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat
dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif.
Tujuan khusus surveilans:
1) Memonitor kecenderungan (trends) penyakit;
2) Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini
outbreak;
3) Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease
burden) pada populasi;
4) Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan,
implementasi, monitoring, dan evaluasi program kesehatan;
5) Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan;
6) Mengidentifikasi kebutuhan riset
b. Jenis Surveilans
Dikenal beberapa jenis surveilans:
1) Surveilans individu;
Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor
individu-individu yang mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya
pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis. Surveilans individu
memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera terhadap kontak,
sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh,
karantina merupakan isolasi institusional yang membatasi gerak dan aktivitas
orang-orang atau binatang yang sehat tetapi telah terpapar oleh suatu kasus
penyakit menular selama periode menular. Tujuan karantina adalahmencegah
transmisi penyakit selama masa inkubasi seandainya terjadi infeksi.
Isolasi institusional pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS 1980an
dan SARS. Dikenal dua jenis karantina: (1) Karantina total; (2) Karantina
parsial. Karantina total membatasi kebebasan gerak semua orang yang terpapar
penyakit menular selama masa inkubasi, untuk mencegah kontak dengan orang
yang tak terpapar. Karantina parsial membatasi kebebasan gerak kontak secara
selektif, berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya
transmisi penyakit. Contoh anak sekolah diliburkan untuk mencegah penularan
penyakit campak, sedang orang dewasa diperkenankan terus bekerja. Satuan
tentara yang ditugaskan pada pos tertentu dicutikan, sedang di pospos lainnya
tetap bekerja.
Dewasa ini karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan dengan
masalah legal, politis, etika, moral, dan filosofi tentang legitimasi,
akseptabilitas, dan efektivitas langkah-langkah pembatasan tersebut untuk
mencapai tujuan kesehatan masyarakat (Bensimon dan Upshur, 2007).
2) Surveilans penyakit;
Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus-
menerus terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui
pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan
penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Jadi fokus perhatian
surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu.
Di banyak negara, pendekatan surveilans penyakit biasanya didukung
melalui program vertikal (pusat-daerah). Contoh, program surveilans
tuberkulosis, program surveilans malaria. Beberapa dari sistem surveilans
vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi tidak sedikit yang tidak terpelihara
dengan baik dan akhirnya kolaps, karena pemerintah kekurangan biaya.
Banyak program surveilans penyakit vertikal yang berlangsung paralel antara
satu penyakit dengan penyakit lainnya, menggunakan fungsi penunjang
masing-masing, mengeluarkan biaya untuk sumberdaya masingmasing, dan
memberikan informasi duplikatif, sehingga mengakibatkan inefisiensi.
3) Surveilans sindromik;
Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan
pengawasan terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit,
bukan masing-masing penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan deteksi
indikator-indikator kesehatan individual maupun populasi yang bisa diamati
sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-
indikator individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda, atau temuan
laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber, sebelum diperoleh
konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.
Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional,
maupun nasional. Sebagai contoh, Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) menerapkan kegiatan surveilans sindromik berskala nasional terhadap
penyakit-penyakit yang mirip influenza (flu-like illnesses) berdasarkan laporan
berkala praktik dokter di AS. Dalam surveilans tersebut, para dokter yang
berpartisipasi melakukan skrining pasien berdasarkan definisi kasus sederhana
(demam dan batuk atau sakit tenggorok) dan membuat laporan mingguan
tentang jumlah kasus, jumlah kunjungan menurut kelompok umur dan jenis
kelamin, dan jumlah total kasus yang teramati. Surveilans tersebut berguna
untuk memonitor aneka penyakit yang menyerupai influenza, termasuk flu
burung, dan antraks, sehingga dapat memberikan peringatan dini dan dapat
digunakan sebagai instrumen untuk memonitor krisis yang tengah berlangsung
Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit tertentu dari
fasilitas kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas, pada lokasi tertentu,
disebut surveilans sentinel. Pelaporan sampel melalui sistem surveilans
sentinel merupakan cara yang baik untuk memonitor masalah kesehatan
dengan menggunakan sumber daya yang terbatas (DCP2, 2008; Erme dan
Quade, 2010).
4) Surveilans Berbasis Laboratorium;
Surveilans berbasis laboartorium digunakan untuk mendeteksi dan
menonitor penyakit infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan
melalui makanan seperti salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium
sentral untuk mendeteksi strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi
outbreak penyakit dengan lebih segera dan lengkap daripada sistem yang
mengandalkan pelaporan sindroma dari klinik-klinik (DCP2, 2008).
5) Surveilans terpadu;
Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua
kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/
kota) sebagai sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans terpadu
menggunakan struktur, proses, dan personalia yang sama, melakukan fungsi
mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan pengendalian
penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan
perbedaan kebutuhan data khusus penyakit penyakit tertentu Karakteristik
pendekatan surveilans terpadu:
a) Memandang surveilans sebagai pelayanan bersama (common services);
b) Menggunakan pendekatan solusi majemuk;
c) Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural;
d) Melakukan sinergi antara fungsi inti surveilans (yakni, pengumpulan,
pelaporan, analisis data, tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans
(yakni, pelatihan dan supervisi, penguatan laboratorium, komunikasi,
manajemen sumber daya);
e) Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit. Meskipun
menggunakan pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap memandang
penyakit yang berbeda memiliki kebutuhan surveilans yang berbeda
6) Surveilans kesehatan masyarakat global.
Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi manusia
dan binatang serta organisme, memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas
negara. Konsekunsinya, masalah-masalah yang dihadapi negara-negara
berkembang dan negara maju di dunia makin serupa dan bergayut. Timbulnya
epidemi global (pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya jejaring
yang terpadu di seluruh dunia, yang manyatukan para praktisi kesehatan,
peneliti, pemerintah, dan organisasi internasional untuk memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi batas-batas negara. Ancaman
aneka penyakit menular merebak pada skala global, baik penyakit-penyakit
lama yang muncul kembali (re-emerging diseases), maupun penyakit-penyakit
yang baru muncul (newemerging diseases), seperti HIV/AIDS, flu burung, dan
SARS. Agenda surveilans global yang komprehensif melibatkan aktor-aktor
baru, termasuk pemangku kepentingan pertahanan keamanan dan ekonomi
c. Prinsip Surveilans Epidemiologi
1) Pengumpulan data Pencatatan insidensi terhadap population at risk.
Pencatatan insidensi berdasarkan laporan rumah sakit, puskesmas, dan sarana
pelayanan kesehatan lain, laporan petugas surveilans di lapangan, laporan
masyarakat, dan petugas kesehatan lain; Survei khusus; dan pencatatan jumlah
populasi berisiko terhadap penyakit yang sedang diamati. Tehnik pengumpulan
data dapat dilakukan dengan wawancara dan pemeriksaan. Tujuan
pengumpulan data adalah menentukan kelompok high risk; Menentukan jenis
dan karakteristik (penyebabnya); Menentukan reservoir; Transmisi; Pencatatan
kejadian penyakit; dan KLB.
2) Pengelolaan data
Data yang diperoleh biasanya masih dalam bentuk data mentah (row data)
yang masih perlu disusun sedemikian rupa sehingga mudah dianalisis. Data
yang terkumpul dapat diolah dalam bentuk tabel, bentuk grafik maupun bentuk
peta atau bentuk lainnya. Kompilasi data tersebut harus dapat memberikan
keterangan yang berarti.
3) Analisis dan interpretasi data untuk keperluan kegiatan
Data yang telah disusun dan dikompilasi, selanjutnya dianalisis dan dilakukan
interpretasi untuk memberikan arti dan memberikan kejelasan tentang situasi
yang ada dalam masyarakat.
4) Penyebarluasan data dan keterangan termasuk umpan balik
Setelah analisis dan interpretasi data serta telah memiliki keterangan yang
cukup jelas dan sudah disimpulkan dalam suatu kesimpulan, selanjutnya dapat
disebarluaskan kepada semua pihak yang berkepentingan, agar informasi ini
dapat dimanfaatkan sebagai mana mestinya.
5) Evaluasi
Hasil evaluasi terhadap data sistem surveilans selanjutnya dapat digunakan
untuk perencanaan, penanggulangan khusus serta program pelaksanaannya,
untuk kegiatan tindak lanjut (follow up), untuk melakukan koreksi dan
perbaikan-perbaikan program dan pelaksanaan program, serta untuk
kepentingan evaluasi maupun penilaian hasil kegiatan.
Peningkatan angka
kejadian demam tinggi
Definisi
Penyebab
Kejadian Luar Biasa
(KLB) Kriteria
Penyelidikan Surveillance
Host
Pencegahan
Environment
LO (Learning Objection) yang perlu diketahui dan dicari pada pertemuan kedua adalah
1. Menjelaskan riwayat alamiah penyakit secara umum dan penyakit malaria
2. Menjelaskan peran kedokteran komunitas dalam penanggulangan wabah malaria
3. Menjelaskan langkah dalam pengendalian KLB
4. Menjelaskan pihak mana saja yang bertanggung jawab pada KLB malaria
5. Menjelaskan pencegahan KLB malaria
1. Riwayat alamiah penyakit adalah deskripsi tentang perjalanan waktu dan perkembangan
penyakit pada individu, dimulai sejak terjadinya paparan dengan agen kausal hingga
terjadinya akibat penyakit, seperti kesembuhan, atau kematian, tetapi terinterupsi oleh
suatu intervensi preventif maupun terapetik (CDC, 2010c). Riwayat alamiah penyakit
merupakan salah satu elemen utama epidemiologi deskriptif (Bhopal, 2002, dikutip
wikipedia, 2010).
Perjalanan penyakit dimulai dengan terpaparnya individu sebagai penjamu yang rentan
(suseptibel) oleh agen kausal.Paparan (expossure) adalah kontak atau kedekatan (proximity)
dengan sumber agen penyakit.Konsep paparan berlaku untuk penyakit infeksi maupun non-
infeksi.Contoh,paparan virus hepatitis-B (HBV) dapat menginduksi terjadinya hepatitis B,
paparan stress terus menerus dapat menginduksi terjadinya neurosis, paparan radiasi
menginduksi terjadinya mutasi DNA dan menyyebabkan kanker dan sebagainya. Arti
“induksi” itu sendiri merupakan aksi yang mempengaruhi terjadinya tahap awal suatu
proses patologis.Jika terdapat tempat penempelan (attachment) dan jalan masuk sel yang
tepat, maka paparan agen infeksi dapat menyebabkan invasi agen infeksi dan terjadi infeksi.
Periode waktu sejak infeksi hingga terdekteksi infeksi melalui tes laboratorium/skrinning
disebut “window period”.Dalam “window period” individu telah terinfeksi, sehingga dapat
menularkan penyakit.meskipun infeksi tersebut belum terdeteksi oleh tes
laboratorium.Implikasinya tes laboratorium hendaknnya tidak dilakukan selama “window
period”, sebab infeksi tidak akan terdeteksi.
Selanjutnya berlangsung proses promosi pada tahap preklinik, yaitu keadaan patologis yang
irreversibel dan asimtomatis ditingkatkan derajatnya menjadi keadaan dengan manifestasi
klinis (Kleinbaum et al., 1982; Rothman, 2002).Melalui proses promosi agen kausal akan
meningkatkan aktivitasnya, masuk dalam formasi tubuh , menyebabkan transformasi sel
atau disfungsi sel, sehingga penyakit menunjukkan tanda dan gejala klinis.
Waktu yang diperlukan mulai dari paparan agen kausal hingga timbulnya manifestasi klinis
disebut masa inkubasi (penyakit infeksi) atau masa laten (penyakit kronis).Pada fase ini
penyakit belum menampakkan tanda dan gejala klinis , disebut penyakit subklinis
(asimtomatis). Kovariat yang berperan dalam masa laten (masa inkubasi) yakni faktor yang
meningkatkan resiko terjadinya penyakit secara klinis, disebut faktor resiko.Sebaliknya ,
faktor yang menurunkan resiko terjadinya penyakit secara klinis disebut faktor protektif.
Selanjutnya terjadi inisiasi penyakit klinis, pada saat ini mulai timbul tanda (sign) dan
gejala.Gejala klinis paling awal disebut prodromal.Selama tahap klnis, manifestasi klinis
akan diekspresikan hingga terjadi hasil akhir/resolusi penyakit , baik sembuh, remisi,
perubahan beratnya penyakit, komplikasi, rekuren, relaps, cacat atau kematian. Periode
waktu untuk mengekspresikan penyakit klinis hingga terjadi hasil akhir suatu penyakit
disebut durasi penyakit.Kovariat yang mempengaruhi progresi ke arah hasil akir penyakit,
disebut faktor prognostik. Penyakit penyerta yang mempengaruhi fungsi individu atau
prognosis penyakit disebut komorbiditas.
Tahap Dini/Klinis
Dikenal beberapa kaadaan klinik dalam perjalan infeksi malaria yaitu :
a. Serangan primer (Periode Klinis)
Yaitu keadaan mulai dari akhir masa inkubasi dan mulai terjadi serangan paroksimal yang
terdiri dari dingin/menggigil; panas dan berkeringat. Serangan paroksimal ini dapat pendek
atau panjang tergantung dari perbanyakan parasit dan keadaan imunitaspenderita. Gejala
yang biasa terjadi adalah terjadinya “Trias Malaria” ( Malaria paroxysm ) secara
berurutan :
1) Periode dingin
Mulai menggigil, kulit dingin dan kering, penderita sering membungkus diri dengan
selimut atau sarung dan pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan gigi-
gigi saling terantuk, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan. Periode ini
berlangsung 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya temperatur.
2) Periode panas
Penderita muka merah, kulit panas dan kering, nadi cepat, dan panas badan tetap tinggi
sampai 40o C atau lebih, penderita. Periode ini lebih lama darifase dingin, dapat
sampai 2 jam atau lebih, diikuti dengan keadaan berkeringat.
3) Periode berkeringat
Penderita berkeringat mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, sampai basah,
temperatur turun, penderita merasa capai dan sering tertidur. Bila penderita bangun
akn merada sehat dan dapat melakukan pekerjaan biasa.
b. Periode laten
Yaitu periode tanpa gejala dan tanpa parasitemia selama terjadinya infeksi
malaria.Biasanya terjadi diantara dua keadaan paroksismal.
c. Recrudescense
Yaitu berulangnya gejala klinik dan parasitemia dalam masa 8 minggu
sesudahberakhirnya serangan primer.
d. Recurrence
Yaitu berulangnya gejala klinik atau parasitemia setelah 24 minggu
berakhirnyaserangan primer.
Tahap Lanjut
Merupakan tahap di mana penyakit bertambah jelas dan mungkin tambah berat dengan
segala kelainan patologis dan gejalanya. Pada tahap ini penyakit sudah menunjukkan
gejala dankelainan klinik yang jelas, sehingga diagnosis sudah relatif mudah
ditegakkan. Dan jugasudah memerlukan perlukan pengobatan. Pada penyakit malaria
tahap lanjut terjadi tergantung pada jenis atau tipe penyakit malarianya.
Tahap Akhir
Berakhirnya perjalanan penyakit dapat berada dalam lima pilihan keadaan, yaitu:
a. Sembuh sempurna, yakni bibit penyakit menghilang dan tubuh menjadi pulih, sehat
kembali.
b. Sembuh dengan cacat, yakni bibit penyakit menghilang, penyakit sudah tidak
ada,tetapi tubuh tidak pulih sepenuhnya, meninggalkan bekas gangguan yang
permanen berupacacat.
c. Karier, di mana tubuh penderita pulih kembali, namun penyakit masih tetap ada
dalam tubuh tanpa memperlihatkan gangguan penyakit.
d. Penyakit tetap berlangsung secara kronik.
e. Berakhir dengan kematian. Pada tahap akhir penyakit malaria dapat sembuh
sempurna, sembuh karier atau pembawa, dan ada juga yang meninggal dunia
dikarenakan plasmodium yang menyerang yaitu plasmodium falcifarum. Jenis
plasmodium ini bisa menimbulkan kematian dan merupakan penyebab infeksi
terbanyak , Pada P. Falciparum dapat menyerang ke organ tubuh dan menimbulkan
kerusakan seperti pada otak, ginjal, paru, hati dan jantung.
d. Angin
Kecepatan dan arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk dan ikut
menentukan jumlah kontak antara nyamuk dan manusia. Kecepatan angin
pada saat matahari terbit dan terbenam yang merupakan saat terbangnya
nyamuk ke dalam atau ke luar rumah.
e. Ketinggian
Ketinggian yang semakin naik maka secara umum malaria berkurang, hal ini
berhubungan dengan menurunnya suhu rata-rata. Mulai ketinggian diatas 2000
m diatas permukaan laut jarang ada transmisi malaria, hal ini dapat mengalami
perubahan bila terjadi pemanasan bumi dan pengaruh El-Nino. Di pegunungan
Irian Jaya yang dulu jarang ditemukan malaria kini lebih sering ditemukan
malaria. Ketinggian maksimal yang masih memungkinkan transmisi malaria
ialah 2500 m diatas permukaan laut (di Bolivia).
f. Sinar matahari
Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda.
A. sundaicus lebih suka tempat yang teduh. A.hyrcanus dan A.pinctulatus
lebih menyukai tempat yang terbuka. A.barbirostris dapat hidup baik di tempat
yang teduh maupun yang terang.
g. Arus air
A.barbirostris menyukai tempat perindukan yang airnya statis atau mengalir
lambat, sedangkan A. minimus menyukai aliran air yang deras dan A.letifer
menyukai air tergenang.
2) Lingkungan biologik
Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai tumbuhan lain dapat
mempengaruhi kehidupan larva karena ia dapat menghalangi sinar matahari atau
melindungi dari serangan mahluk hidup lainnya. Adanya berbagai jenis ikan
pemakan larva seperti ikan kepala timah, gambusia, nila, mujair dan lain-lain akan
mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah. Adanya ternak seperti sapi,
kerbau dan babi dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila
ternak tersebut dikandangkan tidak jauh jaraknya dari rumah.
3) Lingkungan kimiawi
Kadar garam dari tempat perindukan mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk,
seperti A. sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya 12-
18% dan tidak berkembang pada kadar garam 40% keatas. Namun di Sumatera
Utara ditemukan pula perindukan A. sundaicus dalam air tawar.
4) Lingkungan sosial budaya
Kebiasaan masyarakat berada diluar rumah sampai larut malam, dimana
vektor yang bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan gigitan nyamuk.
Tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang bahaya malaria akan
mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk memberantas malaria antara lain
dengan menyehatkan lingkungan, menggunakan kelambu, memasang kawat kasa
pada rumah dan menggunakan anti nyamuk (Achmadi, 2005).
Menurut penelitian Dasril (2005), masyarakat yang berpengetahuan rendah
kemungkinan risiko tertular malaria 3 kali dibandingkan masyarakat yang
berpengetahuan baik, sedangkan risiko penularan malaria pada masyarakat yang
memiliki sikap kurang 2,7 kali dibandingkan masyarakat yang memiliki sikap
baik. Masyarakat dengan kebiasaan bekerja di luar rumah malam hari mempunyai
risiko tertular malaria 4 kali dibandingkan masyarakat yang tidak memiliki
kebiasaan bekerja di luar rumah malam hari.
DAFTAR PUSTAKA