Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN TUTORIAL

BLOK KEDOKTERAN KOMUNITAS

SKENARIO 1
KEJADIAN LUAR BIASA (KLB) MALARIA

KELOMPOK 18
LES YASIN G0012244
LATIFA ZULFA S G0012112
LELY AMEDIA RATRI G0012114
M. BEIZAR YUDHISTIRA G0012134
OKI SARASWATI UTOMO G0012156
R.rr. ERVINA KUSUMA W G0012168
RIANITA PALUPI G0012180
RIZKI FEBRIAWAN G0012190
TIA KANZA NURHAQIQI G0012220
TRIA MULTI FATMAWATI G0012222
YUSUF ARIF SALAM G0012240

TUTOR:
Cr. Siti Utari, Dra., M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO 1
BAGAIMANA MENGATASI PENINGKATAN ANGKA KEJADIAN DEMAM DI PULAU
SERIBU?

Pada Bulan Agustus 2013, terdapat peningkatan angka kejadian demam tinggi di Dinas
Kesehatan Kepulauan Seribu. Dilaporkan adanya 427 kasus demam tinggi dalam sebulan
dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 10%. Kasus demam tinggi ini meningkat
dibandingkan kasus sebelumnya dimana rata-rata hanya dilaporkan 100 kasus dan jarang
menyebabkan kematian. Dinas Kesehatan setempat menurunkan tim untuk melakukan
investigasi akan kondisi yang terjadi. Mereka mencurigai adanya Kejadian Luar Biasa (KLB)
penyakit malaria. Investigasi dilakukan dengan menerapkan langkah-langkah penyelidikan
KLB.
Malaria memang masih menjadi permasalahan kesehatan di dunia dan di Indonesia. Di
Indonesia, prevalensi dan insidensi penyakit malaria di Indonesia masih tinggi, mencapai
417.819 kasus positif pada 2012. Andi mengatakan saat ini 70 persen kasus malaria terdapat
di wilayah Indonesia Timur, terutama diantaranya Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku
Utara, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Wilayah endemic malaria di Indonesia Timur, ujar Andi,
tersebar di 84 kabupaten/kota dengan jumlah penduduk berisiko 16 juta orang. Andi
menjelaskan faktor geografis yang sulit dijangkau dan penyebaran penduduk yang tidak
merata merupakan penyebab sulitnya pengendalian malaria di wilayah itu. Selain itu, faktor
host, termasuk status gizi dan adanya penyakit tertentu juga meningkatkan risiko infeksi
malaria. Untuk itu, pihaknya juga melakukan pemberdayaan masyarakat dengan
pembentukan pos malaria desa dan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) juga digerakkan
melalui kecamatan RT-RT setempat untuk menurunkan House Index maupun Container Index
pada jentik nyamuk.
Selain itu, juga dilakukan surveillance aktif dan surveillance migrasi. Saat ini
pemerintah menargetkan bebas malaria pada tahun 2030. Bebas malaria adalah kondisi
dimana Annual Parasite Incident (API), atau insiden parasite tahunan, di bawah satu per
1.000 penduduk dan tidak terdapat kasus malaria pada penduduk local selama tiga tahun
berturut-turut.
Diadaptasi dari: http://www.voaindonesia.com/content/kasus-malaria-di-indonesia-masih-
tinggi/1648507.html
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
Seven Jump
Jump I: Membaca scenario dan mengklarifikasi kata sulit
Dalam skenario ini beberapa istilah yang perlu diklasifikasi adalah sebagai berikut:
1. Case Fatality Rate (CFR) : probabilitas kematian di kalangan penyakit yang
didiagnosis dalam periode tertentu
2. Annual Parasite Incident (API) : jumlah penderita positif per seribu penduduk
3. Prevalensi : seberapa sering penyakit sering terjadi pada populasi tertentu
4. Insidensi : jumlah penderita baru dalam waktu tertentu
5. Kejadian Luar Biasa (KLB) : timbulnya suatu kejadian kesakitan/kematian dan atau
meningkatnya suatu kejadian kesakitan yang bermakna secara epidemiologis pada
suatu kelompok penduduk dalam kurun waktu tertentu
6. House Index (HI) : jumlah rumah dengan jentik nyamuk dibagi dengan jumlah rumah
yang diperiksa
7. Container Index (CI) : Jumlah tempat penampungan air dengan jentik nyamuk dibagi
dengan jumlah tempat penampungan air yang diperiksa
8. Surveillance aktif : Pengumpulan dan analisis data secara terus menerus dan
sistematis yang didiseminasikan kepada pihak yang bertanggungjawab dalam
pencegahan penyakit dan masalah kesehatan dengan menggunakan petugas khusus
untuk melakukan kunjungan.
9. Surveillance migrasi : Pengumpulan data penduduk yang migrasi dari daerah endemis
ke daerah nonendemis ataupun sebaliknya

Jump II: Menentukan/mendefinisikan permasalahan


Permasalahan pada skenario ini yaitu sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan trias epidemiologi?
2. Mengapa terjadi peningkatan angka kejadian demam tinggi di pulau seribu?
3. Apa tujuan dilakukannya investigasi?
4. Mengapa kasus ini disebut KLB? Apa saja kriteria KLB?
5. Apa peran kedokteran komunitas dalam penanggulangan wabah malaria?
6. Bagaimana strategi dalam pengendalian KLB malaria?
7. Bagaimana cara surveillance aktif dan migrasi? Apa tujuannya?
8. Pihak mana saja yang bertanggung jawab pada kasus tersebut?
9. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya angka prevalensi dan insidensi?
10. Bagaimana strategi pemberdayaan masyarakat pada kejadian wabah malaria?
11. Bagaimana pencegahan yang tepat untuk menanggulangi KLB malaria?
Jump III: Melakukan curah pendapat dan membuat pernyataan sementara mengenai
permasalahan

1. Trias Epidemiologi
a. Konsep Agent penyakit, manusia (Host) dan lingkungan (Environment)
Ditinjau dari sudut ekologis ada tiga faktor yang dapat menimbulkan suatu
kecacatan, kesakitan, ketidakmampuan dan kematian yang disebut sebagai trias
epidemiologi yaitu agent penyakit, manusia dan lingkungan. Dalam keadaan
normal terjadi suatu keseimbangan yang dinamis diantara tiga komponen ini atau
dengan kata lain di sebut sehat. Pada suatu keadaan terjadinya suatu gangguan
pada keseimbangan dinamis ini, misalnya akibat menurunnya kualitas lingkungan
hidup sampai pada tingkat tertentu maka akan memudahkan agen penyakit masuk
kedalam tubuh manusia dan keadaan disebut sakit (Chandra, 2009).
b. Konsep agen penyakit
Agen penyakit dapat berupa benda hidup atau mati dan faktor mekanis, namun
kadang kadang untuk penyakit tertentu, penyebabnya tidak di ketahui seperti pada
penyakit ulkus peptikum, penyakit jantung koroner dan lain-lain. Agen penyakit
dapat di klasifikasikan menjadi lima kelompok yaitu:
1) Agen biologi: Bakteri, virus, riketsia, protozoa, metazoa
2) Agen nutrisi: Karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan lainnya.
3) Agen fisik: Panas, radiasi, kelembaban, dingin, tekanan, cahaya, dan
kebisingan.
4) Agen kimiawi: Dapat bersifat endogen seperti : asidosis, diabetes
(hyperglikemia), uremia dan bersifat eksogen seperti alergen, debu, gas,
debu dan lainnya.
5) Agen mekanis: Gesekan, benturan, pukulan yang dapat menimbulkan
kerusakan pada jaringan tubuh host (pejamu).

c. Konsep Host (pejamu)


Faktor manusia sangat komplek dalam proses terjadinya penyakit dan
tergantung pada karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing individu antara
lain:
1) Umur
Menyebabkan adanya perbedaan penyakit yang diderita seperti penyakit
campak pada anak-anak, penyakit kanker pada usia pertengahan dan penyakit
arteroklerosis pada usia lanjut.
2) Jenis kelamin
Frekuensi penyakit pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan pada wanita dan
penyakit tertentu seperti penyakit pada kehamilan serta persalinan hanya
terjadi pada wanita sebagaimana halnya penyakit hypertrofi prostat hanya di
jumpai pada laki-laki.
3) Ras
Hubungan antara ras dan penyakit tergantung pada tradisi, adat istiadat dan
perkembangan kebudayaan. Terdapat penyakit tertentu yang hanya di jumpai
pada ras tertentu seperti sicle cell anemia pada ras negro.
4) Genetik
Ada penyakit tertentu yang diturunkan secara herediter seperti mongolisme,
buta warna, hemofilia dan lain-lain.
5) Pekerjaan
Status pekerjaan mempunyai hubungan erat dengan penyakit akibat pekerjaan
seperti : kecelakan kerja, keracunan, silikosis, asbestosis dan lain lain.
6) Status nutrisi
Gizi jelek mempermudah seseorang menderita penyakit infeksi seperti TBC
dan kelainan gizi seperti obesitas, kolestrol tinggi dan lainnya.
7) Status kekebalan
Reaksi tubuh pada penyakit tergantung pada status kekebalan yang dimiliki
sebelumnya seperti kekebalan terhadap penyakit virus yang tahan lama dan
seumur hidup.
8) Adat istiadat
Ada beberapa adat istiadat yang dapat menimbulkan penyakit seperti
kebiasaan makan ikan mentah dapat menyebabkan penyakit cacing hati.

9) Gaya hidup
Kebiasaan minum alkohol, narkoba, merokok dapat menimbulkan gangguan
pada kesehatan.
10) Psikis
Faktor kejiwaan seperti stres, emosional dapat menyebabkan penyakit
hypertensi, ulkus peptikum, depresi, insomnia.
d. Konsep Enviroment
Lingkungan hidup manusia pada dasarnya terdiri dari dua bagian yaitu
lingkungan internal berupa keadaan yang dinamis dan seimbang yang disebut
hemostatis. Dan lingkungan hidup eksternal di luar tubuh manusia. Lingkungan
hidup eksternal terdiri dari tiga komponen yaitu:
1) Lingkungan fisik
Bersifat abiotik atau benda mati seperti air, tanah, udara, cuaca, makanan,
rumah, panas dan lain lain. Lingkungan fisik ini berinteraksi secara konstan
dengan manusia sepanjang waktu dan masa . serta memegang peran penting
dalam proses terjadinya penyakit pada masyarakat, seperti kekurangan
persediaan air bersih terutama pada musim kemarau dapat menimbulkan
penyakit diare dimana-mana.
2) Lingkungan biologis
Bersifat biotik atau benda hidup seperti tumbuh tumbuhan, hewan, virus,
bakteri, jamur, parasit, serangga dan lain lain yang dapat berfungsi sebagai agen
penyakit.reservoir infeksi, vektor penyakit atau penjamu.
Hubungan manusia dengan lingkungan biologisnya bersifat dinamis dan bila
terjadi ketidakseimbangan antara hubungan manusia dengan lingkungan dengan
lingkungan biologisnya maka manusia akan menjadi sakit.
3) Lingkungan sosial
Berupa kultur, adat istiadat, kebiasaan, kultur, agama, sikap, gaya hidup,
pekerjaan, kehidupan masyarakat. Bila manusia tidak dapat menyesuaikan
dirinya dengan lingkungan sosial, maka akan terjadi konflik yang bersifat
kejiwaan dan menimbulkan penyakit psikosomatik, stres, depresi dan lainnya.
e. Interaksi agen penyakit, host dan environment
Dalam usaha pencegahan dan kontrol yang efektif terhadap penyakit perlu di
pelajari
mekanisme yang terjadi antara agen, host dan environment yaitu:

1) Interaksi antara agen penyakit dan lingkungan


Suatu keadaan terpengaruhnya agen penyakit secara langsung oleh lingkungan
yang menguntungkan agen penyakit. Terjadi pada saat prapatogenesis suatu
penyakit, misalnya viabilitas bakteri terhadap sinar matahari, stabilitas vitamin
yang terkandung dalam sayuran di dalam ruang pendingin dan penguapan bahan
kimia beracun oleh proses pemanasan bumi global.
2) Interaksi antara manusia dan lingkungan
Suatu keadaan terpengaruhnya manusia secara langsung oleh lingkungan dan
terjadi pada saat prapatogenesis suatu penyakit, misalnya udara dingin, hujan
dan kebiasaan membuat dan menyediakan makanan.
3) Interaksi antara host dengan agen penyakit
Suatu keadaan agen penyakit yang menetap, berkembangbiak dan dapat
merangsang manusia untuk menimbulkan respon berupa tanda-tanda dan gejala
penyakit berupa demam, perubahan fisiologi jaringan tubuh dan pembentukan
kekebalan atau mekanisme pertahanan tubuh lainnya. Interaksi yang terjadi
dapat berupa sembuh sempurna, kecacatan atau kematian.

2. Peningkatan angka kejadian demam tinggi di Kepulauan Seribu dapat disebabkan oleh
banyaknya penduduk daerah endemic malaria yang migrasi ke Kepulauan Seribu dan
banyaknya masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan menjadi faktor risiko
terjadinya malaria karena karakteristik nyamuk Anopheles yang aktif di malam hari.

3. Tujuan Investigasi
Tujuan Umum:
a. Mencegah meluasnya (penanggulangan).
b. Mencegah terulangnya KLB di masa yang akan datang (pengendalian).
Tujuan Khusus:
a. Diagnosis kasus yang terjadi dan mengidentifikasi penyebab penyakit.
b. Memastikan bahwa keadaan tersebut adalah KLB.
c. Mengidentifikasikan sumber dan cara penularan.
d. Mengidentifikasi keadaan yang menyebabkan KLB .
e. Mengidentifikasikan populasi yang rentan atau daerah yang beresiko akan terjadi
KLB (CDC, 1981; Bres, 1986).

4. Kriteria KLB
Suatu daerah dapat ditetapkan dalam keadaan KLB, apabila memenuhi salah satu
kriteria sebagai berikut:
a. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu yang sebelumnya tidak ada atau
tidak dikenal pada suatu daerah.
b. Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama 3 (tiga) kurun waktu
dalam jam, hari atau minggu berturut-turut menurut jenis penyakitnya.
c. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih dibandingkan dengan
periode sebelumnya dalam kurun waktu jam, hari atau minggu menurut jenis
penyakitnya.
d. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu) bulan menunjukkan
kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata per bulan
dalam tahun sebelumnya.
e. Rata-rata jumlah kejadian kesakitan per bulan selama 1 (satu) tahun
menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan dengan rata-rata
jumlah kejadian kesakitan per bulan pada tahun sebelumnya.
f. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam 1 (satu)
kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih
dibandingkan dengan angka kematian kasus suatu penyakit periode
sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
g. Angka proporsi penyakit (Proportional Rate) penderita baru pada satu
periode menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibanding satu periode
sebelumnya dalam kurun waktu yang sama.
Kepala dinas kesehatan kabupaten/kota, kepala dinas kesehatan provinsi, atau
Menteri dapat menetapkan daerah dalam keadaan KLB, apabila suatu daerah
memenuhi salah satu kriteria.

5. Surveillance aktif dan migrasi


Surveilans kesehatan masyarakat adalah pengumpulan, analisis, dan analisis data
secara terus menerus dan sistematis yang kemudian didiseminasikan (disebarluaskan)
kepada pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam pencegahan penyakit dan masalah
kesehatan lainnya (DCP2, 2008).

a. Tujuan Surveilans
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan
populasi, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan dapat
dilakukan respons pelayanan kesehatan dengan lebih efektif.
Tujuan khusus surveilans:
1) Memonitor kecenderungan (trends) penyakit;
2) Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit, untuk mendeteksi dini
outbreak;
3) Memantau kesehatan populasi, menaksir besarnya beban penyakit (disease
burden) pada populasi;
4) Menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan,
implementasi, monitoring, dan evaluasi program kesehatan;
5) Mengevaluasi cakupan dan efektivitas program kesehatan;
6) Mengidentifikasi kebutuhan riset
b. Jenis Surveilans
Dikenal beberapa jenis surveilans:
1) Surveilans individu;
Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan memonitor
individu-individu yang mengalami kontak dengan penyakit serius, misalnya
pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning, sifilis. Surveilans individu
memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera terhadap kontak,
sehingga penyakit yang dicurigai dapat dikendalikan. Sebagai contoh,
karantina merupakan isolasi institusional yang membatasi gerak dan aktivitas
orang-orang atau binatang yang sehat tetapi telah terpapar oleh suatu kasus
penyakit menular selama periode menular. Tujuan karantina adalahmencegah
transmisi penyakit selama masa inkubasi seandainya terjadi infeksi.
Isolasi institusional pernah digunakan kembali ketika timbul AIDS 1980an
dan SARS. Dikenal dua jenis karantina: (1) Karantina total; (2) Karantina
parsial. Karantina total membatasi kebebasan gerak semua orang yang terpapar
penyakit menular selama masa inkubasi, untuk mencegah kontak dengan orang
yang tak terpapar. Karantina parsial membatasi kebebasan gerak kontak secara
selektif, berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya
transmisi penyakit. Contoh anak sekolah diliburkan untuk mencegah penularan
penyakit campak, sedang orang dewasa diperkenankan terus bekerja. Satuan
tentara yang ditugaskan pada pos tertentu dicutikan, sedang di pospos lainnya
tetap bekerja.
Dewasa ini karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan dengan
masalah legal, politis, etika, moral, dan filosofi tentang legitimasi,
akseptabilitas, dan efektivitas langkah-langkah pembatasan tersebut untuk
mencapai tujuan kesehatan masyarakat (Bensimon dan Upshur, 2007).
2) Surveilans penyakit;
Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan terus-
menerus terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi penyakit, melalui
pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan
penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Jadi fokus perhatian
surveilans penyakit adalah penyakit, bukan individu.
Di banyak negara, pendekatan surveilans penyakit biasanya didukung
melalui program vertikal (pusat-daerah). Contoh, program surveilans
tuberkulosis, program surveilans malaria. Beberapa dari sistem surveilans
vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi tidak sedikit yang tidak terpelihara
dengan baik dan akhirnya kolaps, karena pemerintah kekurangan biaya.
Banyak program surveilans penyakit vertikal yang berlangsung paralel antara
satu penyakit dengan penyakit lainnya, menggunakan fungsi penunjang
masing-masing, mengeluarkan biaya untuk sumberdaya masingmasing, dan
memberikan informasi duplikatif, sehingga mengakibatkan inefisiensi.
3) Surveilans sindromik;
Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan
pengawasan terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala) penyakit,
bukan masing-masing penyakit. Surveilans sindromik mengandalkan deteksi
indikator-indikator kesehatan individual maupun populasi yang bisa diamati
sebelum konfirmasi diagnosis. Surveilans sindromik mengamati indikator-
indikator individu sakit, seperti pola perilaku, gejala-gejala, tanda, atau temuan
laboratorium, yang dapat ditelusuri dari aneka sumber, sebelum diperoleh
konfirmasi laboratorium tentang suatu penyakit.
Surveilans sindromik dapat dikembangkan pada level lokal, regional,
maupun nasional. Sebagai contoh, Centers for Disease Control and Prevention
(CDC) menerapkan kegiatan surveilans sindromik berskala nasional terhadap
penyakit-penyakit yang mirip influenza (flu-like illnesses) berdasarkan laporan
berkala praktik dokter di AS. Dalam surveilans tersebut, para dokter yang
berpartisipasi melakukan skrining pasien berdasarkan definisi kasus sederhana
(demam dan batuk atau sakit tenggorok) dan membuat laporan mingguan
tentang jumlah kasus, jumlah kunjungan menurut kelompok umur dan jenis
kelamin, dan jumlah total kasus yang teramati. Surveilans tersebut berguna
untuk memonitor aneka penyakit yang menyerupai influenza, termasuk flu
burung, dan antraks, sehingga dapat memberikan peringatan dini dan dapat
digunakan sebagai instrumen untuk memonitor krisis yang tengah berlangsung
Suatu sistem yang mengandalkan laporan semua kasus penyakit tertentu dari
fasilitas kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas, pada lokasi tertentu,
disebut surveilans sentinel. Pelaporan sampel melalui sistem surveilans
sentinel merupakan cara yang baik untuk memonitor masalah kesehatan
dengan menggunakan sumber daya yang terbatas (DCP2, 2008; Erme dan
Quade, 2010).
4) Surveilans Berbasis Laboratorium;
Surveilans berbasis laboartorium digunakan untuk mendeteksi dan
menonitor penyakit infeksi. Sebagai contoh, pada penyakit yang ditularkan
melalui makanan seperti salmonellosis, penggunaan sebuah laboratorium
sentral untuk mendeteksi strain bakteri tertentu memungkinkan deteksi
outbreak penyakit dengan lebih segera dan lengkap daripada sistem yang
mengandalkan pelaporan sindroma dari klinik-klinik (DCP2, 2008).
5) Surveilans terpadu;
Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan semua
kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/ kabupaten/
kota) sebagai sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans terpadu
menggunakan struktur, proses, dan personalia yang sama, melakukan fungsi
mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk tujuan pengendalian
penyakit. Kendatipun pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan
perbedaan kebutuhan data khusus penyakit penyakit tertentu Karakteristik
pendekatan surveilans terpadu:
a) Memandang surveilans sebagai pelayanan bersama (common services);
b) Menggunakan pendekatan solusi majemuk;
c) Menggunakan pendekatan fungsional, bukan struktural;
d) Melakukan sinergi antara fungsi inti surveilans (yakni, pengumpulan,
pelaporan, analisis data, tanggapan) dan fungsi pendukung surveilans
(yakni, pelatihan dan supervisi, penguatan laboratorium, komunikasi,
manajemen sumber daya);
e) Mendekatkan fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit. Meskipun
menggunakan pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap memandang
penyakit yang berbeda memiliki kebutuhan surveilans yang berbeda
6) Surveilans kesehatan masyarakat global.
Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi manusia
dan binatang serta organisme, memudahkan transmisi penyakit infeksi lintas
negara. Konsekunsinya, masalah-masalah yang dihadapi negara-negara
berkembang dan negara maju di dunia makin serupa dan bergayut. Timbulnya
epidemi global (pandemi) khususnya menuntut dikembangkannya jejaring
yang terpadu di seluruh dunia, yang manyatukan para praktisi kesehatan,
peneliti, pemerintah, dan organisasi internasional untuk memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan surveilans yang melintasi batas-batas negara. Ancaman
aneka penyakit menular merebak pada skala global, baik penyakit-penyakit
lama yang muncul kembali (re-emerging diseases), maupun penyakit-penyakit
yang baru muncul (newemerging diseases), seperti HIV/AIDS, flu burung, dan
SARS. Agenda surveilans global yang komprehensif melibatkan aktor-aktor
baru, termasuk pemangku kepentingan pertahanan keamanan dan ekonomi
c. Prinsip Surveilans Epidemiologi
1) Pengumpulan data Pencatatan insidensi terhadap population at risk.
Pencatatan insidensi berdasarkan laporan rumah sakit, puskesmas, dan sarana
pelayanan kesehatan lain, laporan petugas surveilans di lapangan, laporan
masyarakat, dan petugas kesehatan lain; Survei khusus; dan pencatatan jumlah
populasi berisiko terhadap penyakit yang sedang diamati. Tehnik pengumpulan
data dapat dilakukan dengan wawancara dan pemeriksaan. Tujuan
pengumpulan data adalah menentukan kelompok high risk; Menentukan jenis
dan karakteristik (penyebabnya); Menentukan reservoir; Transmisi; Pencatatan
kejadian penyakit; dan KLB.
2) Pengelolaan data
Data yang diperoleh biasanya masih dalam bentuk data mentah (row data)
yang masih perlu disusun sedemikian rupa sehingga mudah dianalisis. Data
yang terkumpul dapat diolah dalam bentuk tabel, bentuk grafik maupun bentuk
peta atau bentuk lainnya. Kompilasi data tersebut harus dapat memberikan
keterangan yang berarti.
3) Analisis dan interpretasi data untuk keperluan kegiatan
Data yang telah disusun dan dikompilasi, selanjutnya dianalisis dan dilakukan
interpretasi untuk memberikan arti dan memberikan kejelasan tentang situasi
yang ada dalam masyarakat.
4) Penyebarluasan data dan keterangan termasuk umpan balik
Setelah analisis dan interpretasi data serta telah memiliki keterangan yang
cukup jelas dan sudah disimpulkan dalam suatu kesimpulan, selanjutnya dapat
disebarluaskan kepada semua pihak yang berkepentingan, agar informasi ini
dapat dimanfaatkan sebagai mana mestinya.
5) Evaluasi
Hasil evaluasi terhadap data sistem surveilans selanjutnya dapat digunakan
untuk perencanaan, penanggulangan khusus serta program pelaksanaannya,
untuk kegiatan tindak lanjut (follow up), untuk melakukan koreksi dan
perbaikan-perbaikan program dan pelaksanaan program, serta untuk
kepentingan evaluasi maupun penilaian hasil kegiatan.

6. Faktor yang mempengaruhi tingginya angka prevalensi


Prevalensi
Prevalensi adalah jumlah orang dalam suatu populasi yang menderita suatu penyakit
atau kondisi tertentu pada jangka waktu tertentu. prevalensi dipengaruhi banyak hal
sehingga angka prevalensi dapat berubah-ubah. Berikut hal yang dapat mempengaruhi
angka prevalensi :
a. Faktor yang meningkatkan angka prevalensi
1) Durasi penyakit lebih lama
2) Banyak pasien yang tidak sembuh
3) Peningkatan kejadian atau penyakit baru
4) Orang sakit atau kondisi tertentu yang migrasi masuk ke suatu wilayah
5) Orang sehat migrasi keluar dari suatu wilayah
6) Fasilitas diagnostik lebih baik sehingga banyak kasus yang terdeteksi
b. Faktor yang menurunkan angka prevalensi
1) Durasi penyakit yang pendek
2) Tingkat kematian yang tinggi dari suatu penyakit
3) Sedikit atau menurunnya kejadian atau penyakit baru
4) Orang sehat yang migrasi masuk ke suatu wilayah
5) Orang sakit yang migrasi keluar dari suatu wilayah
6) Peningkatan jumlah kasus yang sembuh

7. Pemberdayaan masyarakat pada KLB Malaria


Upaya pemberdayaan masyarakat dalam menanggulangi malaria adalah sebagai berikut :
a. Pencegahan dan penanggulangan faktor risiko
1) Melakukan survei vektor dan analisis dinamika penularan untuk menentukan
metode pengendalian vektor yang tepat.
2) Mendistribusikan kelambu berinsektisida secara massal maupun integrasi dengan
program/sektor lain di lokasi endemis malaria.
3) Melakukan penyemprotan rumah (Indoor Residual Spraying) atau pengendalian
vektor lain yang sesuai di lokasi potensial atau sedang terjadi KLB.
4) Memantau efikasi insektisida (termasuk kelambu berinsektisida) dan resistensi
vektor.
b. Surveilans epidemiologi dan penanggulangan wabah
1) Meningkatkan kemampuan unit pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta
(Puskesmas, poliklinik, rumah sakit) dalam pelaksanaan SKD-KLB. Sistem
Kewaspadaan Dini (SKD) adalah upaya untuk pencegahan terjadinya KLB
melalui kegiatan pemantauan penyakit (surveilans) dilakukan terus-menerus untuk
memantau terjadinya kenaikan kasus malaria.
2) Menanggulangi KLB malaria.
3) Meningkatkan cakupan dan kualitas pencatatan-pelaporan tentang angka kesakitan
malaria serta hasil kegiatan.
4) Melakukan pemetaan daerah endemis malaria dari data rutin dan hasil survei.
c. Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)
1) Meningkatkan peran aktif masyarakat antara lain melalui pembentukan Pos
Malaria Desa (Posmaldes) di daerah terpencil. Pos Malaria Desa (Posmaldes)
adalah wadah pemberdayaan masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan
malaria yang dibentuk dari, oleh dan untuk masyarakat secara mandiri dan
berkelanjutan.

2) Meningkatan promosi kesehatan.


3) Menggalang kemitraan dengan berbagai program, sektor, LSM, organisasi
keagamaan, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, organisasi
internasional, lembaga donor, dunia usaha dan seluruh masyarakat.
4) Integrasi dengan program lain dalam pelayanan masyarakat, seperti pembagian
kelambu berinsektisida, pengobatan penderita.
5) Menyusun Perda atau peraturan perundangan lainnya untuk mendukung eliminasi
malaria.
d. Peningkatan sumber daya manusia
1) Menyelenggarakan pelatihan tenaga mikroskopis Puskesmas dan rumah sakit
pemerintah maupun unit pelayanan kesehatan swasta serta menjaga kualitas
pemeriksaan sediaan darah.
2) Sosialisasi dan pelatihan tata laksana penderita.
3) Pelatihan tenaga pengelola malaria dalam bidang teknis dan manajemen.
8. Jump IV: Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan
pernyataan sementara mengenai permasalahan pada langkah 3.

Peningkatan angka
kejadian demam tinggi

Definisi

Penyebab
Kejadian Luar Biasa
(KLB) Kriteria

Penyelidikan Surveillance

Penanggulangan Pihak pemerintah,


masyarakat, petugas
kesehatan

Riwayat Alamiah Penyakit

Trias Epidemiologi Agent Etiologi, siklus hidup

Host

Pencegahan
Environment

Jump V: Merumuskan tujuan pembelajaran

LO (Learning Objection) yang perlu diketahui dan dicari pada pertemuan kedua adalah
1. Menjelaskan riwayat alamiah penyakit secara umum dan penyakit malaria
2. Menjelaskan peran kedokteran komunitas dalam penanggulangan wabah malaria
3. Menjelaskan langkah dalam pengendalian KLB
4. Menjelaskan pihak mana saja yang bertanggung jawab pada KLB malaria
5. Menjelaskan pencegahan KLB malaria

Jump VI : Mengumpulkan Informasi Baru dengan Belajar Mandiri


Jump VII: Melaporkan, Membahas, dan Menata Kembali Informasi Baru yang
Diperoleh

1. Riwayat alamiah penyakit adalah deskripsi tentang perjalanan waktu dan perkembangan
penyakit pada individu, dimulai sejak terjadinya paparan dengan agen kausal hingga
terjadinya akibat penyakit, seperti kesembuhan, atau kematian, tetapi terinterupsi oleh
suatu intervensi preventif maupun terapetik (CDC, 2010c). Riwayat alamiah penyakit
merupakan salah satu elemen utama epidemiologi deskriptif (Bhopal, 2002, dikutip
wikipedia, 2010).

Perjalanan penyakit dimulai dengan terpaparnya individu sebagai penjamu yang rentan
(suseptibel) oleh agen kausal.Paparan (expossure) adalah kontak atau kedekatan (proximity)
dengan sumber agen penyakit.Konsep paparan berlaku untuk penyakit infeksi maupun non-
infeksi.Contoh,paparan virus hepatitis-B (HBV) dapat menginduksi terjadinya hepatitis B,
paparan stress terus menerus dapat menginduksi terjadinya neurosis, paparan radiasi
menginduksi terjadinya mutasi DNA dan menyyebabkan kanker dan sebagainya. Arti
“induksi” itu sendiri merupakan aksi yang mempengaruhi terjadinya tahap awal suatu
proses patologis.Jika terdapat tempat penempelan (attachment) dan jalan masuk sel yang
tepat, maka paparan agen infeksi dapat menyebabkan invasi agen infeksi dan terjadi infeksi.
Periode waktu sejak infeksi hingga terdekteksi infeksi melalui tes laboratorium/skrinning
disebut “window period”.Dalam “window period” individu telah terinfeksi, sehingga dapat
menularkan penyakit.meskipun infeksi tersebut belum terdeteksi oleh tes
laboratorium.Implikasinya tes laboratorium hendaknnya tidak dilakukan selama “window
period”, sebab infeksi tidak akan terdeteksi.
Selanjutnya berlangsung proses promosi pada tahap preklinik, yaitu keadaan patologis yang
irreversibel dan asimtomatis ditingkatkan derajatnya menjadi keadaan dengan manifestasi
klinis (Kleinbaum et al., 1982; Rothman, 2002).Melalui proses promosi agen kausal akan
meningkatkan aktivitasnya, masuk dalam formasi tubuh , menyebabkan transformasi sel
atau disfungsi sel, sehingga penyakit menunjukkan tanda dan gejala klinis.
Waktu yang diperlukan mulai dari paparan agen kausal hingga timbulnya manifestasi klinis
disebut masa inkubasi (penyakit infeksi) atau masa laten (penyakit kronis).Pada fase ini
penyakit belum menampakkan tanda dan gejala klinis , disebut penyakit subklinis
(asimtomatis). Kovariat yang berperan dalam masa laten (masa inkubasi) yakni faktor yang
meningkatkan resiko terjadinya penyakit secara klinis, disebut faktor resiko.Sebaliknya ,
faktor yang menurunkan resiko terjadinya penyakit secara klinis disebut faktor protektif.
Selanjutnya terjadi inisiasi penyakit klinis, pada saat ini mulai timbul tanda (sign) dan
gejala.Gejala klinis paling awal disebut prodromal.Selama tahap klnis, manifestasi klinis
akan diekspresikan hingga terjadi hasil akhir/resolusi penyakit , baik sembuh, remisi,
perubahan beratnya penyakit, komplikasi, rekuren, relaps, cacat atau kematian. Periode
waktu untuk mengekspresikan penyakit klinis hingga terjadi hasil akhir suatu penyakit
disebut durasi penyakit.Kovariat yang mempengaruhi progresi ke arah hasil akir penyakit,
disebut faktor prognostik. Penyakit penyerta yang mempengaruhi fungsi individu atau
prognosis penyakit disebut komorbiditas.

Tahapan Riwayat Alamiah Penyakit Malaria


Tahap Prepatogenesis
Pada tahap ini individu berada dalam keadaan normal/sehat tetapi mereka pada dasarnya peka
terhadap kemungkinan terganggu oleh serangan agen penyakit. Walaupun demikian pada
tahap ini sebenarnya telah terjadi interaksi antara host dengan bibit penyakit. Tetapi interaksi
ini masih terjadi di luar tubuh, dalam arti bibit penyakit masih ada diluar tubuh host. Pada
proses prepatogenesis penyakit malaria bisa terjadi pada orang-orang yang tinggal didaerah
malaria atau orang yang mengadakan perjalanan ke darah malaria
Daur hidup spesies malaria terdiri dari fase seksual (sporogoni) dalam badan nyamuk
Anopheles dan aseksual (skizogoni) dalam badan hospes vertebra termauk manusia. Tahap
prepatogenesis penyakit malaria dimulai pada fase seksual (sporogoni). Fase seksual dimulai
dengan bersatunya gamet jantan dan gamet betina untuk membentuk ookinet dalam
perutnyamuk. Ookinet akan menembus dinding lambung untuk membentuk kista di selaput
luarlambung nyamuk. Waktu yang diperlukan sampai pada proses ini adalah 8-35 hari,
tergantung pada situasi lingkungan dan jenis parasitnya. Pada tempat inilah kista akan
membentuk ribuan sporozoit yang terlepas dan kemudian tersebar ke seluruh organ
nyamuktermasuk kelenjar ludah nyamuk. Pada kelenjar inilah sporozoit menjadi matang dan
siap ditularkan bila nyamuk menggigit manusia. (Widoyono, 2008).
Siklus hidup Plasmodium
Siklus hidup Plasmodium terjadi pada tubuh nyamuk dan manusia. Siklus seksual parasit
malaria berkembang di darah manusia yang telah terinfeksi. Nyamuk Anopheles sp. betina
akan terinfeksi setelah menggigit orang yang darahnya mengandung gametosit. Siklus
perkembangan Plasmodium dalam nyamuk berkisar 7-20 hari, dan akhirnya berkembang
menjadi sporozoit yang bersifat infektif.
Sporozoit ini yang akan bermigrasi ke kelenjar ludah nyamuk dan kemudian akan
ditransmisi kepada manusia lainnya apabila digigit oleh nyamuk yang terinfeksi ini. Nyamuk
Anopheles yang terinfeksi ini akan bersifat infektif sepanjang hidupnya. Sporozoit yang telah
diinokulasi pada manusia akan bermigrasi kepada hati dan bermultiplikasi dalam hepatosit
sebagai skizon. Fase ini disebut fase eksoeritrositik. Setelah beberapa hari, hepatosit yang
terinfeksi skizon akan ruptur dan melepaskan merozoit ke dalam darah di mana mereka akan
menginfeksi eritrosit. Parasit akan multiplikasi dalam eritrosit sekali lagi dan berubah dari
merozoit kepada trofozoit, skizont, dan akhirnya muncul sebagai 8-24 merozoit yang baru.
Eritrosit akan pecah, dan melepaskan merozoit untuk menginfeksi sel-sel yang lain. Setiap
siklus dari proses ini, yang dikenali sebagai skizogoni eritrositik, akan berlangsung selama 48
jam pada Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium falciparum dan 72 jam pada
Plasmodium malariae. Dengan setiap siklus ini, parasit akan bertambah secara logaritmik dan
setiap kali sel-sel ruptur akan terjadi serangan klasik demam yang intermiten.
Secara klinis, gejala infeksi malaria tunggal terdiri atas beberapa serangan demam
dengan interval tertentu, yang diselingi satu periode bebas demam. Pasien biasanya
mengalami lemah, nyeri kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau muntah. Pasien dengan
infeksi majemuk / campuran (lebih dari satu jenis plasmodium), serangan demam terjadi terus
menerus (tanpa interval), sedangkan pada pejamu yang imun gejala klinisnya minimal.
Serangan demam yang pertama didahului oleh masa inkubasi.
Masa inkubasi ini bervariasi antara 9-30 hari tergantung pada spesies parasit. Masa
terpendek pada Plasmodium falciparum dan terpanjang pada Plasmodium malariae. Masa
inkubasi ini juga tergantung pada intensitas infeksi, pengobatan yang pernah didapat
sebelumnya dan derajat imunitas pejamu. Masa inkubasi pada penularan secara alamiah pada
Plasmodium falciparum 12 hari, Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale 13-17 hari dan
Plasmodium malariae 28-30 hari. Masa inkubasi malaria akibat transfusi darah pada
Plasmodium falciparum 10 hari, Plasmodium vivax 16 hari, dan Plasmodium malariae 40
hari. 11 6 Setelah melewati masa inkubasi, timbul periode paroksisme berupa gejala demam
pada anak besar dan orang dewasa.
Dari daur hidup Plasmodium sp. yang sudah disampaikan di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa penyebaran penyakit malaria oleh agen Plasmodium melalui dua host,
yaitu manusia dan nyamuk Anopheles. Untuk itu pencegahan penyakit malaria dapat
dilakukan dengan melihat dari daur penyakit malaria itu sendiri dan intervensi dari penyebab
melalui pendekatan dengan trias epidemiologi, yang akan dibahas pada bab selanjutnya.
Tahap Inkubasi
Masa inkubasi pada penyakit malaria beberapa hari sampai beberapa bulan yang kemudian
barulah muncul tanda dan gejala yang dikeluhkan oleh penderita seperti
demam,menggigil, linu atau nyeri persendian, kadang sampai muntah, dll. Masa
inkubasi pada penularan secara alamiah bagi masing-masing species parasit adalah sebagai
berikut, Plasmodium Falciparum 12 hari. Plasmodium vivax dan Plasmodium Ovate 13 -17
hari.Plasmodium maJariae 28 -30 hari. Manusia yang tergigit nyamuk infektif akan
mengalami gejala sesuai dengan jumlah sporozoit, kualitas plasmodium, dan daya tahan
tubuhnya. Sporozoit akan memulai stadium eksoeritrositer dengan masuk ke dalam sel hati.
Di hati sporozoit matang menjadi skizon yangakan pecah dan melepaskan merozoit jaringan.
Merozoit akan memasuki aliran darah dan menginfeksi eritrosit untuk memulai siklus
eritrositer. Merozoit dalam erotrosit akan mengalami perubahan morfologi yaitu :
merozoit -> bentuk cincin -> trofozoit -> merozoit .

Tahap Dini/Klinis
Dikenal beberapa kaadaan klinik dalam perjalan infeksi malaria yaitu :
a. Serangan primer (Periode Klinis)
Yaitu keadaan mulai dari akhir masa inkubasi dan mulai terjadi serangan paroksimal yang
terdiri dari dingin/menggigil; panas dan berkeringat. Serangan paroksimal ini dapat pendek
atau panjang tergantung dari perbanyakan parasit dan keadaan imunitaspenderita. Gejala
yang biasa terjadi adalah terjadinya “Trias Malaria” ( Malaria paroxysm ) secara
berurutan :
1) Periode dingin
Mulai menggigil, kulit dingin dan kering, penderita sering membungkus diri dengan
selimut atau sarung dan pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan gigi-
gigi saling terantuk, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan. Periode ini
berlangsung 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya temperatur.
2) Periode panas
Penderita muka merah, kulit panas dan kering, nadi cepat, dan panas badan tetap tinggi
sampai 40o C atau lebih, penderita. Periode ini lebih lama darifase dingin, dapat
sampai 2 jam atau lebih, diikuti dengan keadaan berkeringat.

3) Periode berkeringat
Penderita berkeringat mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, sampai basah,
temperatur turun, penderita merasa capai dan sering tertidur. Bila penderita bangun
akn merada sehat dan dapat melakukan pekerjaan biasa.
b. Periode laten
Yaitu periode tanpa gejala dan tanpa parasitemia selama terjadinya infeksi
malaria.Biasanya terjadi diantara dua keadaan paroksismal.
c. Recrudescense
Yaitu berulangnya gejala klinik dan parasitemia dalam masa 8 minggu
sesudahberakhirnya serangan primer.
d. Recurrence
Yaitu berulangnya gejala klinik atau parasitemia setelah 24 minggu
berakhirnyaserangan primer.

e. Relapse atau “Rechute”


Ialah berlangnya gejala klinik atau parasitemia yang lebih lama dari wakti diantara
serangan periodik dari infeksi primer.(Rampengan, 2007)

Tahap Lanjut
Merupakan tahap di mana penyakit bertambah jelas dan mungkin tambah berat dengan
segala kelainan patologis dan gejalanya. Pada tahap ini penyakit sudah menunjukkan
gejala dankelainan klinik yang jelas, sehingga diagnosis sudah relatif mudah
ditegakkan. Dan jugasudah memerlukan perlukan pengobatan. Pada penyakit malaria
tahap lanjut terjadi tergantung pada jenis atau tipe penyakit malarianya.

Tahap Akhir
Berakhirnya perjalanan penyakit dapat berada dalam lima pilihan keadaan, yaitu:
a. Sembuh sempurna, yakni bibit penyakit menghilang dan tubuh menjadi pulih, sehat
kembali.
b. Sembuh dengan cacat, yakni bibit penyakit menghilang, penyakit sudah tidak
ada,tetapi tubuh tidak pulih sepenuhnya, meninggalkan bekas gangguan yang
permanen berupacacat.
c. Karier, di mana tubuh penderita pulih kembali, namun penyakit masih tetap ada
dalam tubuh tanpa memperlihatkan gangguan penyakit.
d. Penyakit tetap berlangsung secara kronik.
e. Berakhir dengan kematian. Pada tahap akhir penyakit malaria dapat sembuh
sempurna, sembuh karier atau pembawa, dan ada juga yang meninggal dunia
dikarenakan plasmodium yang menyerang yaitu plasmodium falcifarum. Jenis
plasmodium ini bisa menimbulkan kematian dan merupakan penyebab infeksi
terbanyak , Pada P. Falciparum dapat menyerang ke organ tubuh dan menimbulkan
kerusakan seperti pada otak, ginjal, paru, hati dan jantung.

Faktor-faktor yang Berperan dalam Terjadinya Malaria

1. Faktor Agent ( penyebab infeksi)

Untuk kelangsungan hidupnya, plasmodium sebagai penyebab infeksi memerlukan 2 macam


siklus, yaitu:

1) Siklus di luar sel darah merah (siklus preeritrositer)


Siklus ini berlangsung di dalam sel hati. Jumlah merosoit yang dikeluarkan
skizon hati berbeda untuk setiap spesies. P. falciparum menghasilkan 40.000
merosoit, P. vivax lebih dari 10.000, P. ovale 15.000 merosoit. Di dalam sel darah
merah membelah, sampai sel darah merah tersebut pecah. Setiap merosoit dapat
menghasilkan 20.000 sporosoit. Pada P. vivax dan P. ovale ada yang ditemukan
dalam bentuk laten di dalam sel hati dan disebut hipnosoit sebagai suatu fase dari
siklus hidup parasit yang dapat menyebabkan penyakit kumat/kambuh (long term
relapse). Bentuk hipnosoit dari P. vivax bisa hidup sebagai dormant stage sampai
beberapa tahun. Sejauh ini diketahui bahwa P. vivax dapat kambuh berkali-kali
sampai jangka waktu 3–4 tahun, sedangkan P.ovale sampai bertahun-tahun, bila
pengobatan tidak adekuat. P. falciparum dapat persisten selama 1–2 tahun dan P.
malariae sampai 21 tahun. (Depkes, 2003b).
2) Siklus di dalam sel darah merah (eritrositer)
Siklus skizogoni eritrositer yang menimbulkan demam. Merosoit masuk
kedalam darah kemudian tumbuh dan berkembang menjadi 9–24 merosoit (tergantung
spesies). Pertumbuhan ini membutuhkan waktu 48 jam untuk malaria tertiana (P.
falciparum, P.vivax dan P.ovale), serta 72 jam untuk malaria quartana (P.malariae).
Fase gametogoni yang menyebabkan seseorang menjadi sumber penular penyakit
bagi vektor malaria. Beberapa parasit tidak mengulangi siklus seksual, tetapi
berkembang menjadi gametosit jantan dan gametosit betina. Gametosit pada P.vivax
dan P.ovale timbul 2–3 hari sesudah terjadi parasitemia, P. falciparum 6–14 hari dan
P.malariae beberapa bulan kemudian (Depkes, 2003b).
2. Vektor Malaria
Penyakit malaria ditularkan oleh nyamuk hanya dari genus Anopheles. Di
Indonesia sendiri telah diidentifikasi ada 90 spesies dan 24 spesies diantaranya telah
dikonfirmasi sebagai nyamuk penular malaria. Di setiap daerah dimana terjadi
transmisi malaria biasanya hanya ada 1 atau paling banyak 3 spesies Anopheles yang
menjadi vektor penting. Vektor-vektor tersebut memiliki habitat, mulai dari rawa-
rawa, pegunungan, sawah, pantai dan lain-lain (Achmadi, 2005). Hanya nyamuk
Anopheles betina yang menghisap darah yang diperlukan untuk pertumbuhan telur
nyamuk . Perilaku nyamuk sangat menentukan dalam proses penularan malaria
(Depkes RI, 1999).
Menurut Achmadi (2005), secara umum nyamuk yang diidentifikasi sebagai
penular malaria mempunyai kebiasaan makan dan istirahat yang bervariasi yaitu:
a) Zoofilik : nyamuk yang menyukai darah binatang.
b) Anthropofilik : nyamuk yang menyukai darah manusia.
c) Zooanthropofilik : nyamuk yang menyukai darah binatang dan juga manusia.
d) Endofilik : nyamuk yang suka tinggal di dalam rumah/bangunan.
e) Eksofilik : nyamuk yang suka tinggal di luar rumah.
f) Endofagik : nyamuk yang suka menggigit di dalam rumah/bangunan.
g) Eksofagik : nyamuk yang suka menggigit di luar rumah.
Vektor utama di Pulau Jawa dan Sumatera adalah A. sundaicus, A. maculatus,
A. aconitus dan A. balabacensis. Sedangkan di luar pulau tersebut, khususnya
Indonesia wilayah tengah dan timur adalah A.barbirostis, A. farauti, A. koliensis, A.
punctulatus, A. subpictus dan A. balabacensis (Achmadi, 2005).
Tempat tinggal manusia dan ternak merupakan tempat yang paling disenangi
oleh Anopheles. Ternak besar seperti sapi dan kerbau dapat mengurangi gigitan
nyamuk pada manusia (cattle barrier), apabila kandang hewan tersebut diletakkan di
luar rumah tetapi tidak jauh jaraknya dari rumah (Depkes, 2003).
3. Faktor Manusia
Pada dasarnya setiap orang dapat terkena malaria. Menurut Anies (2006),
manusia menjadi sumber infeksi malaria bila mengandung gametosit dalam jumlah
yang besar dalam darahnya, kemudian nyamuk mengisap darah manusia tersebut dan
menularkan kepada orang lain. Perbedaan prevalensi menurut umur dan jenis kelamin
sebenarnya berkaitan dengan perbedaan derajat kekebalan karena variasi keterpaparan
kepada gigitan nyamuk. Bayi di daerah endemik malaria mendapat perlindungan
antibodi maternal yang diperoleh secara transplasental (Anies, 2006).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan mempunyai respons
imun yang lebih kuat dibandingkan dengan laki-laki, namun kehamilan menambah
risiko malaria. Malaria pada wanita hamil mempunyai dampak yang buruk terhadap
kesehatan ibu dan anak. Faktor-faktor genetik pada manusia dapat mempengaruhi
terjadinya malaria, dengan pencegahan invasi parasit ke dalam sel, mengubah respons
immunologik atau mengurangi keterpaparan terhadap vektor (Harijanto, 2000).
4. Faktor Lingkungan
Lingkungan berperan dalam pertumbuhan vektor penular malaria, menurut
Harijanto (2000) ada beberapa faktor lingkungan yang sangat berperan yaitu :
1) Lingkungan fisik
Faktor geografi dan meteorologi di Indonesia sangat menguntungkan transmisi
malaria di Indonesia. Pengaruh suhu ini berbeda pada setiap spesies. Pada suhu
26,7°C masa inkubasi ekstrinsik adalah 10-12 hari untuk P.falciparum dan 8-11
hari untuk P.vivax, 14-15 hari untuk P.malariae dan P.ovale.
a. Suhu
Suhu mempengaruhi perkembangan parasit dalam nyamuk. Suhu yang
optimum berkisar antara 20 – 30°C. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu)
makin pendek masa inkubasi ekstrinsik (sporogoni) dan sebaliknya makin
rendah suhu makin panjang masa inkubasi ekstrinsik.
b. Kelembaban
Kelembaban yang rendah memperpendek umur nyamuk, meskipun tidak
berpengaruh pada parasit. Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling
rendah untuk memungkinkan hidup nyamuk. Pada kelembaban yang lebih
tinggi nyamuk jadi lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga
meningkatkan penularan malaria.
c. Hujan
Pada umumnya hujan akan memudahkan perkembangan nyamuk dan
terjadinya epidemi malaria. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis dan
deras hujan, jenis vektor dan jenis tempat perindukan. Hujan yang diselingi
panas akan memperbesar kemungkinan berkembangbiaknya nyamuk
Anopheles.

d. Angin
Kecepatan dan arah angin dapat mempengaruhi jarak terbang nyamuk dan ikut
menentukan jumlah kontak antara nyamuk dan manusia. Kecepatan angin
pada saat matahari terbit dan terbenam yang merupakan saat terbangnya
nyamuk ke dalam atau ke luar rumah.
e. Ketinggian
Ketinggian yang semakin naik maka secara umum malaria berkurang, hal ini
berhubungan dengan menurunnya suhu rata-rata. Mulai ketinggian diatas 2000
m diatas permukaan laut jarang ada transmisi malaria, hal ini dapat mengalami
perubahan bila terjadi pemanasan bumi dan pengaruh El-Nino. Di pegunungan
Irian Jaya yang dulu jarang ditemukan malaria kini lebih sering ditemukan
malaria. Ketinggian maksimal yang masih memungkinkan transmisi malaria
ialah 2500 m diatas permukaan laut (di Bolivia).
f. Sinar matahari
Pengaruh sinar matahari terhadap pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda.
A. sundaicus lebih suka tempat yang teduh. A.hyrcanus dan A.pinctulatus
lebih menyukai tempat yang terbuka. A.barbirostris dapat hidup baik di tempat
yang teduh maupun yang terang.
g. Arus air
A.barbirostris menyukai tempat perindukan yang airnya statis atau mengalir
lambat, sedangkan A. minimus menyukai aliran air yang deras dan A.letifer
menyukai air tergenang.
2) Lingkungan biologik
Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai tumbuhan lain dapat
mempengaruhi kehidupan larva karena ia dapat menghalangi sinar matahari atau
melindungi dari serangan mahluk hidup lainnya. Adanya berbagai jenis ikan
pemakan larva seperti ikan kepala timah, gambusia, nila, mujair dan lain-lain akan
mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah. Adanya ternak seperti sapi,
kerbau dan babi dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila
ternak tersebut dikandangkan tidak jauh jaraknya dari rumah.
3) Lingkungan kimiawi
Kadar garam dari tempat perindukan mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk,
seperti A. sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya 12-
18% dan tidak berkembang pada kadar garam 40% keatas. Namun di Sumatera
Utara ditemukan pula perindukan A. sundaicus dalam air tawar.
4) Lingkungan sosial budaya
Kebiasaan masyarakat berada diluar rumah sampai larut malam, dimana
vektor yang bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan gigitan nyamuk.
Tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang bahaya malaria akan
mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk memberantas malaria antara lain
dengan menyehatkan lingkungan, menggunakan kelambu, memasang kawat kasa
pada rumah dan menggunakan anti nyamuk (Achmadi, 2005).
Menurut penelitian Dasril (2005), masyarakat yang berpengetahuan rendah
kemungkinan risiko tertular malaria 3 kali dibandingkan masyarakat yang
berpengetahuan baik, sedangkan risiko penularan malaria pada masyarakat yang
memiliki sikap kurang 2,7 kali dibandingkan masyarakat yang memiliki sikap
baik. Masyarakat dengan kebiasaan bekerja di luar rumah malam hari mempunyai
risiko tertular malaria 4 kali dibandingkan masyarakat yang tidak memiliki
kebiasaan bekerja di luar rumah malam hari.

2. Kedokteran komunitas (community medicine) adalah cabang kedokteran yang


memusatkan perhatian kepada kesehatan anggota-anggota komunitas, dengan
menekankan diagnosis dini penyakit, memperhatikan faktor-faktor yang
membahayakan (hazard) kesehatan yang berasal dari lingkungan dan pekerjaan, serta
pencegahan penyakit pada komunitas (The Free Dictionary, 2010).
Salah satu peran kedokteran komunitas dalam penanggulangan malaria yaitu melalui
pembentukan Pos Malaria Desa. Pos Malaria Desa adalah wadah pemberdayaan
masyarakat dalam pengendalian malaria yang dibentuk dari, oleh, dan untuk
masyarakat secara mandiri dan berkelanjutan.
Tujuan :
a. Meningkatkan jangkauan penemuan kasus malaria melalui peran aktif masyarakat
dan dirujuk ke fasilitas kesehatan terdekat
b. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pencegahan malaria
Posmaldes diperlukan karena :
a. Sekitar 45% dari desa endemis malaria merupakan daerah terpencil dimana
transportasi dan komunikasi sulit, akses pelayanan kesehatan rendah, sosial ekonomi
masyarakat rendah, cakupan penemuan kasus malaria oleh Puskesmas rendah,
pengobatan tidak sempurna karena banyak obat malaria yang bebas dijual
b. Posmaldes merupakan embrio berbagai bentuk UKBM (Usaha Kesehatan
Bersumberdaya Masyarakat) lainnya
Tugas kader malaria :
a. Menemukan kasus malaria klinis
b. Merujuk penderita
c. Melakukan penyuluhan dan upaya pencegahan bersama masyarakat
d. Membuat catatan hasil kegiatan
e. Kader mendapat pelatihan dan dilengkapi dengan posmaldes kit dan media
penyuluhan malaria
3. Langkah pencegahan kasus dan pengendalian outbreak dapat dimulai sedini mungkin
(do early) setelah tersedia informasi yang memadai. Bila investigasi outbreak telah
memberikan fakta yang jelas mendukung hipotesis tentang kausa outbreak, sumber
agen infeksi, dan cara transmisi yang menyebabkan outbreak, maka upaya
pengendalian dapat segera dimulai tanpa perlu menunggu pengujian hipotesis oleh studi
analitik yang lebih formal.
a. Identifikasi outbreak
Outbreak adalah peningkatan kejadian kasus penyakit yang lebih banyak daripada
ekspektasi normaldi di suatu area atau pada suatu kelompok tertentu, selama suatu
periode waktu tertentu. Informasi tentang potensi outbreak biasanya datang dari
sumber-sumber masyarakat, yaitu laporan pasien (kasus indeks), keluarga pasien,
kader kesehatan, atau warga masyarakat. Tetapi informasi tentangpotensi outbreak
bisa juga berasal dari petugas kesehatan, hasil analisis data surveilans, laporan
kematian, laporan hasil pemeriksaan laboratorium, atau media lokal (suratkabar dan
televisi).Hakikatnya outbreak merupakan deviasi (penyimpangan) dari keadaan rata-
rata insidensi yang konstan dan melebihi ekspektasi normal Karena itu outbreak
ditentukan dengan cara membandingkan jumlah kasus sekarang dengan rata-rata
jumlah kasus dan variasinya di masa lalu (minggu, bulan, kuartal, tahun). Besar
deviasi yang masih berada dalam “ekspektasi normal” bersifat arbitrer, tergantung
dari tingkat keseriusan dampak yang diakibatkan bagi kesehatan masyarakat dimasa
yang lalu. Sebagai ancar-ancar kuantitatif, pembuat kebijakan dapat menggunakan
mean+3SD sebagai batas untuk menentukan keadaan outbreak. Batas mean+/- 3SD
lazim digunakan dalam biostatistik untuk menentukan observasi ekstrim yang
disebut outlier (Duffy dan Jacobsen, 2001), jadi suatu kondisi yang sesuai dengan
definisi epidemi/ outbreak. Sumber data kasus untuk menenetukan terjadinya
outbreak: (1) Catatan surveilans dinaskesehatan; (2) Catatan morbiditas dan
mortalitas di rumah sakit; (3) Catatan morbiditas danmortalitas di puskesmas; (4)
Catatan praktik dokter, bidan, perawat; (5) Catatan morbiditas upayakesehatan
sekolah (UKS).
b. Investigasi kasus
DEFINISI KASUS
Peneliti melakukan verifikasi apakah kasus-kasus yang dilaporkan telah
didiagnosisdengan benar (valid). Peneliti outbreak mendefinisikan kasus dengan
menggunakan seperangkatkriteria sebagai berikut: (1) Kriteria klinis (gejala, tanda,
onset); (2) Kriteria epidemiologis (karakteris-tik orang yang terkena, tempat dan
waktu terjadinya outbreak); (3) Kriteria laboratorium (hasilkultur dan waktu
pemeriksaan) (Bres, 1986). Definisi kasus harus valid (benar), baku, dan sebaiknya
seragam. Definisi kasus yang bakudan seragam penting untuk memastikan bahwa
setiap kasus didiagnosis dengan cara yang sama,konsisten, tidak tergantung pada
siapa yang mengidentifikasi kasus, maupun di mana dan kapankasus tersebut terjadi.
Definisi kasus yang baku memungkinkan dilakukannya perbandingan jumlahkasus
penyakit yang terjadi di suatu waktu atau tempat dengan jumlah kasus yang terjadi
di waktuatau tempat lainnya. Sebagai contoh, dengan definsi kasus baku dapat
dibandingkan jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) yang terjadi pada
Januari 2010 di Surakarta dengan jumlah kasuspada Februari 2010 di kota itu.
Demikian pula dapat dibandingkan jumlah kasus DBD yang terjadipada Januari
2010 di Surakarta dengan jumlah kasus pada Januari 2010 di Jakarta. Dengan
definisikasus standar, maka jika ditemukan perbedaan jumlah kasus maka
merupakan perbedaan yangsesungguhnya, bukan karena perbedaan dalam
mendiagnosis (CDC, 2010a). Penggunaan definisikasus seperti yang
direkomendasikan Standar Surveilans WHO memungkinkan pertukaran informasi
tentang kejadian penyakit-penyakit secara internasional. Dengan menggunakan
definisi kasus, maka individu yang diduga mengalami penyakit akan dimasukkan
dalam salah satu klasifikasi kasus. Berdasarkan tingkat ketidakpastian diagnosis,
kasus dapat diklasifikasikan menjadi: (1) kasus suspek (suspected case, syndromic
case), (2) kasus mungkin (probable case, presumptive case), dan (3) kasus pasti
(confirmed case, definite case)
c. Investigasi kausa
WAWANCARA DENGAN KASUS
Intinya, tujuan wawancara dengan kasus dan nara sumber terkaitkasus adalah untuk
menemukan kausa outbreak. Dengan menggunakan kuesioner dan formulir baku,
peneliti mengunjungi pasien (kasus), dokter, laboratorium, melakukan wawancara
dan doku-mentasi untuk memperoleh informasi berikut: (1) Identitas diri (nama,
alamat, nomer telepon jikaada); (2) Demografis (umur, seks, ras, pekerjaan); (3)
Kemungkinan sumber, paparan, dan kausa; (4)Faktor-faktor risiko; (5) Gejala klinis
(verifikasi berdasarkan definisi kasus, catat tanggal onset gejalauntuk membuat
kurva epidemi, catat komplikasi dan kematian akibat penyakit); (6) Pelapor(berguna
untuk mencari informasi tambahan dan laporan balik hasil investigasi). Pemeriksaan
klinisulang perlu dilakukan terhadap kasus yang meragukan atau tidak didiagnosis
dengan benar(misalnya, karena kesalahan pemeriksaan laboratorium). Informasi
tentang masing-masing kasus yang diwawancara/ ditemui dimasukkan dalam “tabel
outbreak” (line listing). Dalam tabel outbreak, variabel-variabel tentang informasi
kasusdiletakkan pada kolom, sedang urutan kasus diletakkan pada baris. Ikhtisar
informasi tentang kasusyang dicatat dalam tabel outbreak berguna untuk
merumuskan teori/ hipotesis tentang sumber,kausa, dan cara penyebaran penyakit.
d. Melakukan pencegahan dan pengendalian
Bila investigasi kasus dan kausa telah memberikan fakta di pelupuk mata tentang
kausa, sumber, dancara transmisi, maka langkah pengendalian hendaknya segera
dilakukan, tidak perlu melakukan studi analitik yang lebih formal. Prinsipnya, makin
cepat respons pengendalian, makin besar peluang keberhasilan pengendalian. Makin
lambat repons pengendalian, makin sulit upaya pengendalian, makin kecil peluang
keberhasilan pengendalian, makin sedikit kasus baru yang bisa dicegah. Prinsip
intervensi untuk menghentikan outbreak sebagai berikut: (1) Mengeliminasi sumber
patogen; (2) Memblokade proses transmisi; (3) Mengeliminasi kerentanan
(Greenberg et al., 2005;Aragon et al., 2007). Sedang eliminasi sumber patogen
mencakup: (1) Eliminasi atau inaktivasi pato-gen; (2) Pengendalian dan
pengurangan sumber infeksi (source reduction); (3) Pengurangan kontakantara
penjamu rentan dan orang atau binatang terinfeksi (karantina kontak, isolasi kasus,
dan seba-gainya); (4) Perubahan perilaku penjamu dan/ atau sumber (higiene
perorangan, memasak dagingdengan benar, dan sebagainya); (5) Pengobatan
kasus.Blokade proses transmisi mencakup: (1) Penggunaan peralatan pelindung
perseorangan(masker, kacamata, jas, sarung tangan, respirator); (2) Disinfeksi/ sinar
ultraviolet; (3) Pertukaranudara/ dilusi; (4) Penggunaan filter efektif untuk
menyaring partikulat udara; (5) Pengendalianvektor (penyemprotan insektisida
nyamuk Anopheles, pengasapan nyamuk Aedes aegypti,penggunaan kelambu
berinsektisida, larvasida, dan sebagainya).Eliminasi kerentanan penjamu (host
susceptibility) mencakup: (1) Vaksinasi; (2) Pengobatan(profilaksis, presumtif); (3)
Isolasi orang-orang atau komunitas tak terpapar (reverse isolation); (4)Penjagaan
jarak sosial (meliburkan sekolah, membatasi kumpulan massa).
e. Melakukan studi analitik (jika perlu)
Dalam investigasi outbreak, tidak jarang peneliti dihadapkan kepada teka-teki
menyangkut sejumlahkandidat agen penyebab. Fakta yang diperoleh dari investigasi
kasus dan investigasi kausa kadangbelum memadai untuk mengungkapkan sumber
dan kausa outbreak. Jika situasi itu yang terjadi,maka peneliti perlu melakukan studi
analitik yang lebih formal. Desain yang digunakan lazimnyaadalah studi kasus
kontrol atau studi kohor retrospektif. Seperti desain studi epidemiologi
analitiklainnya, studi analitik untuk investigasi outbreak mencakup: (1) pertanyaan
penelitian; (2) signi-fikansi penelitian; (3) desain studi; (4) subjek; (5) variabel-
variabel; (6) pendekatan analisis data; (7)interpretasi dan kesimpulan.Contoh, 75
orang menghadiri sebuah acara kenduri di sebuah desa. Terdapat 5 jenismakanan
dihidangkan. Esok harinya mulai berjatuhan sejumlah kasus penyakit, sehingga
disimpul-kan terjadi outbreak karena makanan terkontaminasi (foodborne disease).
Makanan mana dari ke 4 jenis tersebut yang mengandung agen kausal dan
merupakan penyebab outbreak? Karena sebagianbesar kasus telah terjadi, maka
peneliti melakukan studi kohor retrospektif untuk menjawab perta-nyaan tersebut.
Data yang dikumpulkan disajikan dalam
f. Mengkomunikasikan temuan
Temuan dan kesimpulan investigasi outbreak dikomunikasikan kepada berbagai
pihak pemangku kepentingan kesehatan masyarakat. Dengan tingkat rincian yang
bervariasi, pihak-pihak yang perludiberitahu tentang hasil penyelidikan outbreak
mencakup pejabat kesehatan masyarakat setempat, pejabat pembuat kebijakan dan
pengambil keputusan kesehatan, petugas fasilitas pelayanan kesehatan, pemberi
informasi peningkatan kasus, keluarga kasus, tokoh masyarakat, dan media.
Penyajian hasil investigasi dilakukan secara lisan maupun tertulis (laporan awal dan
laporan akhir). Pejabat dinas kesehatan yang berwewenang hendaknya hadir pada
penyajian hasil investigasioutbreak. Temuan-temuan disampaikan dengan bahasa
yang jelas, objektif dan ilmiah, dengan kesimpulan dan rekomendasi yang dapat
dipertanggungjawabkan. Peneliti outbreak memberikan laporan tertulis dengan
format yang lazim, terdiri dari: (1) introduksi, (2) latar belakang, (3) metode, (4)
hasil-hasil, (5) pembahasan, (6) kesimpulan, dan (7)rekomendasi. Laporan tersebut
mencakup langkah pencegahan dan pengendalian, catatan kinerjasistem kesehatan,
dokumen untuk tujuan hukum, dokumen berisi rujukan yang berguna jika
terjadisituasi serupa di masa mendatang
g. Mengevaluasi dan meneruskan surveilans
Pada tahap akhir investigasi outbreak, Dinas Kesehatan Kota/ Kabupaten dan
peneliti outbreak perlumelakukan evaluasi kritis untuk mengidentifikasi berbagai
kelemahan program maupun defisiensi infrastruktur dalam sistem kesehatan.
Evaluasi tersebut memungkinkan dilakukannya perubahan-perubahan yang lebih
mendasar untuk memperkuat upaya program, sistem kesehatan, termasuk surveilans
itu sendiri. Investigasi outbreak memungkinkan identifikasi populasi-populasi yang
terabaikan atau terpinggirkan, kegagalan strategi intervensi, mutasi agen infeksi,
ataupun peristiwa-peristiwa yang terjadi di luar kelaziman dalam program kesehatan.
Evaluasi kritis terhadap kejadian outbreak memberi kesempatan kepada penyelidik
untuk mempelajari kekurangan-kekurangan dalam investigasi outbreak yang telah
dilakukan, dan kelemahan-kelemahan dalam sistemkesehatan, untuk diperbaiki
secara sistematis di masa mendatang, sehingga dapat mencegah terulangnya
outbreak (Murti, 2010)
4. a. Peran Dinas Kesehatan Provinsi :
1) Kajian Epidemiologi Ancaman KLB
2) Peringatan Kewaspadaan Dini KLB
3) Peningkatan Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Terhadap KLB
4) Advokasi dan Asistensi Penyelenggaraan SKD KLB
b. Peran Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota:
1) Kajian Epidemiologi Ancaman KLB
2) Peringatan Kewaspadaan Dini KLB
3) Peningkatan Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Terhadap KLB
4) Advokasi dan Asistensi Penyelenggaraan SKD KLB,
5) Pengembangan SKD KLB Darurat
c. Peran Puskesmas
1) Kajian Epidemiologi Ancaman KLB, Peringatan Kewaspadaan Dini KLB
2) Peningkatan Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Terhadap KLB
d. Peran Masyarakat (perorangan, kelompok dan masyarakat):
1) Peningkatan kegiatan pemantauan perubahan kondisi rentan;
2) Peningkatan kegiatan pemantauan perkembangan penyakit dengan melapor
kepada puskesmas, dinas kesehatan kabupaten/kota sebagai laporan kewaspadan
dini;
3) Melaksanakan penyuluhan serta mendorong kewaspadaan KLB di tengah
masyarakat;
4) Melakukan identifikasi penderita, pengenalan tatalaksana kasus dan rujukan
serta upaya pencegehan dan pemberantasan tingkat awal
5. Pencegahan sesuai perjalanan penyakit termasuk pencegahan malaria
Pencegahan dapat dilakukan sesuai tahapan perjalanan penyakit, terdapat empat jenis
pencegahan yaitu :
a. Pencegahan primordial : Tujuan : untuk mencegah timbulnya pola hidup berisiko
tinggi. Contoh: olahraga teratur, mencegah gaya hidup merokok, mencegah
pencemaran udara, mencegah pola makan tinggi lemak.
b. Pencegahan primer : Tujuan : mencegah agar penyakit tidak terjadi dengan
mengendalikan agent dan faktor determinan. Contoh : Pemberian suplemen vitamin A
pada anak-anak secara rutin dan berkala, Pemberian semua keperluan dasar yang
memenuhi syarat kesehatan.
c. Pencegahan sekunder : Tujuan : mengurangi keparahan penyakit dengan melakukan
diagnosis dan pengobatan dini. Untuk penyakit tertentu dilakukan penapisan atau
screening. Kriteria untuk melakukan screening: a)Penyakit (Parah, Prevalensi tinggi
pada fase awal, Perjalanan penyakit telah dimengerti betul, Periode antara sakit ringan
dan sakit keras cukup lama) b)Diagnosis (Fasilitas tersedia, Cara pengobatan dapat
diterima masyarakat dan efektif) c)Pengujian (Sensitif dan spesifik, Mudah, murah,
aman, Dapat diterima dan dipercaya).
d. Pencegahan tersier : Tujuan : mencegah terjadinya cacat, Contoh : Pengobatan
penderita, Rehabilitasi penderita.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit malaria yaitu di antaranya:
a. Menghindari gigitan nyamuk dengan memakai baju tertutup
b. Menggunakan krim anti nyamuk
c. Memasang kelambu anti nyamuk
d. Jika akan bepergian ke tempat di mana banyak nyamuk malaria, sebaiknya
berkonsultasi dahulu dengan dokter
e. Menghindari keluar rumah setelah senja
f. Menyemprotkan obat nyamuk di kamar tidur dan isi rumah
Pengendalian malaria secara kimia
Pengendalian kimia dapat menggunakan kelambu berinsektisida, indoor residual
spray, repellent, insektisida rumah tangga dan penaburan larvasida (Kementerian
Kesehatan).
a. Repellent
Repellent adalah bahan-bahan kimia yang mempunyai kemampuan untuk
menjauhkan serangga dari manusia sehingga dapat dihindari gigitan serangga
atau gangguan oleh serangga terhadap manusia. Repellent digunakan dengan
cara menggosokkannya pada tubuh atau menyemprotkannya pada pakaian,
oleh karena itu harus memenuhi beberapa syarat yaitu tidak mengganggu
pemakainya, tidak melekat atau lengket, baunya menyenangkan pemakainya
dan orang sekitarnya, tidak menimbulkan iritasi pada kulit, tidak beracun,
tidak merusak pakaian dan daya pengusir terhadap serangga hendaknya
bertahan cukup lama. DEET (N,N-diethyl-mtoluamide) adalah salah satu
contoh repellent yang tidak berbau, akan tetapi menimbulkan rasa terbakar jika
mengenai mata, luka atau jaringan membranous (Soedarto, 1992).
b. Penaburan Larvasida
Pemberantasan nyamuk Anopheles secara kimiawi dapat dilakukan dengan
menggunakan larvasida yaitu zat kimia yang dapat membunuh larva nyamuk,
yang termasuk dalam kelompok ini adalah solar/minyak tanah, parisgreen,
temephos, fention, altosid dll. Selain zat-zat kimia yang disebutkan di atas
dapat juga digunakan herbisida yaitu zat kimia yang mematikan tumbuh–
tumbuhan air yang digunakan sebagai tempat berlindung larva nyamuk
(Hiswani, 2004).
c. Kelambu berinsektisida/ LLIN
Menurut WHO dalam Guideline for Laboratory and Field Testing of LLINs
adalah kelambu berinsektisida (kelambu yang sudah dilapisi racun serangga)
buatan pabrik yang diharapkan dapat mempertahankan aktifitas biologi sampai
jumlah minimum dari standar WHO untuk pencucian, dan periode waktu
minimum di bawah kondisi lapangan. LLINs diharapkan dapat
mempertahankan aktifitas biologinya minimal 20 kali pencucian menurut
standart WHO di bawah kondisi Laboratorium dan tiga yang
direkomendasikan penggunaannya dalam kondisi lapangan. Bahan dasar
pembuatan kelambu LLINs yang beredar di Indonesia terdiri dari dua jenis,
yaitu polyester dan polyethylene.

DAFTAR PUSTAKA

Murti B (2010) Investigasi outbreak. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret


http://fk.uns.ac.id/static/materi/Investigasi_Outbreak_-_Prof_Bhisma_Murti.pdf -Diakses
September 2015
The Free Dictionary (2010). Community medicine. medical-dictionary.thefreedictionary.com/
community+medicine. Diakses 7 September 2015
Direktorat PPBB dan Ditjen PP & PL (2011). Buku Saku Menuju Eliminasi Malaria. Jakarta :
Kementerian Kesehatan RI.
Chandra Budiman, (2009). Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Notoadmodjo, Soekidjo (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Widoyono, 2008. Penyakit Tropis. Jakarta: Erlangga
Arif et al., 2001. Kapita Selekta Kedokteran Ed.3. Jakarta: Media Aesculapius
Kristina NN (2014) Sistem kewaspadaan dini kejadian luar biasa (skd-klb).
http://www.diskes.baliprov.go.id/id/sistem-kewaspadaan-dini-kejadian-luar-
biasa--skd-klb- -Diakses September 2015.

Anda mungkin juga menyukai