Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

ABSES PERITONSIL

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian dalam Pendidikan Profesi


Dokter Stase Ilmu Telinga Hidung Tenggorok Fakultas Kedokteran

Pembimbing :
dr. Made Jeren, Sp. THT- KL

Diajukan Oleh :
Lisa Sriaji Purboningrum J510170061
Oka Iramda Saputra J510170014

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT TELINGA HIDUNG


TENGGOROKAN (THT)
RSUD Dr. HARJONO PONOROGO
FAKUKTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
REFERAT

ABSES PERITONSIL

Yang diajukan Oleh:


Lisa Sriaji Purboningrum J510170061
Oka Iramda Saputra J510170014

Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Pembimbing Ilmu Telinga Hidung
TenggorokAN (THT) Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing
Nama : dr. Made Jeren, Sp. THT- KL (.................................)

Dipresentasikan di hadapan
Nama : dr. Made Jeren, Sp. THT- KL (.................................)

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Abses peritonsil atau Quinsy merupakan suatuinfeksi akut yang diikuti


dengan terkumpulnya pus padajaringan ikat longgar antara m.konstriktor faring
dengantonsil pada fosa tonsil1. Infeksi ini menembus kapsultonsil (biasanya pada
kutub atas). Abses peritonsilmerupakan infeksi pada tenggorok yang
seringkalimerupakan komplikasi dari tonsilitis akut1.
Abses peritonsil merupakan infeksi pada kasuskepala leher yang sering
terjadi pada orang dewasa.Timbulnya abses peritonsil dimulai dari
infeksisuperfisial dan berkembang secara progresif menjaditonsilar selulitis.
Komplikasi abses peritonsil yangmungkin terjadi antara lain perluasan infeksi
keparafaring, mediastinitis, dehidrasi, pneumonia, hinggainfeksi ke intrakranial
berupa thrombosis sinuskavernosus, meningitis, abses otak dan obstruksi
jalannafas1.
Penyakit-penyakit infeksi pada tenggorok telahdiketahui sejak abad ke dua
Masehi oleh Aretaues ofCappadocia. Pada abad ke 2 dan 3 sebelum Masehi,
iamenerangkan tentang dua tipe penyakit pada tonsil yaitupembengkakan tonsil
tanpa ulserasi dan pembengkakantonsil dengan obstruksi jalan nafas.
Beberapakepustakaan menjelaskan bahwa abses peritonsil yangkita kenal
sekarang ini pertama kali dikemukakan padaawal tahun 1700-an2.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI
Tonsil palatina adalah massa jaringan limfoid yang terletak didalam
fosa tonsillaris pada dinding lateral orofaring. Tonsil palatina merupakan
bagian dari cincin waldeyer. Jaringan limfoid yang mengelilingi faring,
pertama kali digambarkan anatominya oleh Heinrich von Waldeyer, seorang
ahli anatomi Jerman. Jaringan limfoid lainnya yaitu adenoid (tonsil
pharingeal), tonsil lingual, pita lateral faring dan kelenjar-kelenjar limfoid.
Kelenjar ini tersebar dalam fossa Rossenmuler, dibawah mukosa dinding
faring posterior faring dan dekat orificium tuba eustachius (tonsil Gerlach’s).3

Gambar 1. waldeyer’s ring

Faring dibagi menjadi nasofaring, orofaring dan laringofaring.


Nasofaring merupakan bagian dari faring yang terletak diatas pallatum molle,
orofaring yaitu bagian yang terletak diantara palatum molle dan tulang hyoid,
sedangkan laringofaring bagian dari faring yang meluas dari tulang hyoid
sampai ke batas bawah kartilago krikoid. Orofaring terbuka ke rongga mulut
pada pilar anterior faring. Pallatum molle (vellum palati) terdiri dari serat otot
yang ditunjang oleh jaringan fibrosa yang dilapisi oleh mukosa. Penonjolan di

2
median membaginya menjadi dua bagian. Bentuk seperti kerucut yang
terletak disentral disebut uvula.3

Tonsil palatina terdiri dari3:


 Korteks : Di dalam nya terdapat germinating folikel, tempat pembentukan
limfosit, plasma sel.
 Medula : Terdiri dari jaringan ikat yang merupakan kerangka penyokong
tonsil & berhubungan dengan kripta.
Batas-batas tonsil palatina9:
 Lateral : Kapsul fibrous yang berhubungan dengan fasia pharingo-basilaris
yang menutupi m. konstriktor pharing superior. Masuk ke dalam parenkim
tonsil akan membentuk septa dan membawa pembuluh darah dan saraf.
 Medial : Mukosa yang dibentuk oleh epitel selapis gepeng, kripta, dan
mikrokripta.
 Posterior : Pilar posterior yang dibentuk oleh palatopharingeus yang
berjalan dari bagian bawah pharing menuju aponeurosis palatum molle.
 Anterior : Pilar anterior yang dibentuk oleh palatoglossus yang berjalan
dari permukaan bawah lidah menuju aponeurosis palatum molle.
Palatoglosus mempunyai origo seperti kipas di permukaan oral
palatum mole dan berakhir pada sisi lateral lidah. Palatofaringeus merupakan
otot yang tersusun vertikal dan diatas melekat pada palatum mole, tuba
eustachius dan dasar tengkorak. Otot ini meluas kebawah sampai kedinding
atas esofagus. Otot ini lebih penting daripada palatoglosus dan harus
diperhatikan pada operasi tonsil agar tidak melukai otot ini. Kedua pilar
bertemu diatas untuk bergabung dengan paltum mole. Di inferior akan
berpisah dan memasuki jaringan pada dasar lidah dan lateral dinding faring.
Plika triangularis (tonsilaris) merupakan lipatan mukosa yang tipis,
yang menutupi pilar anterior dan sebagian permukaan anterior tonsil. Plika
semilunaris (supratonsil) adalah lipatan sebelah atas dari mukosa yang
mempersatukan kedua pilar. Fossa supratonsil merupakan celah yang
ukurannya bervariasi yang terletak diatas tonsil diantara pilar anterior dan

3
posterior. Celah atau ruangan ini terjadi karena tonsil tidak mengisi penuh
fossa tonsil. Tonsil palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain,
berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, Permukaan sebelah dalam tertutup
oleh membran epitel skuamosa berlapis yang sangat melekat. Permukaan
lateral-nya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat kripta.
Kripta tonsil berbentuk saluran tidak sama panjang dan masuk ke bagian
dalam jaringan tonsil yang mengandung jaringan limfoid dan disekelilingnya
terdapat jaringan ikat. Ditengah kripta terdapat muara kelenjar mukus.
Permukaan kripta ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel permukaan
medial tonsil. Umumnya berjumlah 8-20 buah untuk masing-masing tonsil,
kebanyakan terjadi penyatuan beberapa kripta. Saluran kripta ke arah luar
biasanya bertambah luas. Secara klinik kripta dapat merupakan sumber
infeksi, baik lokal maupun umum karena dapat terisi sisa makanan, epitel
yang terlepas, kuman.3
Bagian luar tonsil terikat pada m.konstriktor faringeus superior,
sehingga tertekan setiap kali menelan, m. palatoglusus dan m. palatofaring
juga menekan tonsil. Selama masa embrio, tonsil terbentuk dari kantong
pharyngeal kedua sebegai tunas dari sel endodermal. Singkatnya setelah lahir,
tonsil tumbuh secara irregular dan sampai mencapai ukuran dan bentuk,
tergantung dari jumlah adanya jaringan limphoid.3
Struktur di lateral terdapat kapsul yang dipisahkan dari m.konstriktor
faring superior oleh jaringan areolar longgar. V. palatina externa berjalan
turun dari palatum molle dalam jaringan ikat longgar ini, untuk bergabung
dengan pleksus venosus pharyngeus. Lateral terhadap m.konstriktor faring
superior terdapat m. styloglossus dan lengkung a.facialis. A. Carotis interna
terletak 2,5 cm di belakang dan lateral tonsilla.3
Tonsilla palatina mendapat vaskularisasi dari ramus tonsillaris yang
merupakan cabang dari arteri facialis, cabang – cabang a. lingualis, a. palatina
ascendens a. pharyngea ascendens. Sedangkan inervasinya diperoleh dari n.
glossopharyngeus dan n. palatinus minor. Pembuluh limfe masuk dalam nl.

4
cervicales profundi. Nodus paling penting pada kelompok ini adalah nodus
jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan belakang angulus mandibulae.3

Ruang Peritonsiler3
Ruang peritonsil letaknya berbatasan sebelah medial dengan kapsul
tonsil palatine, sebelah lateral dengan muskulus kontriktor faring superior,
sebelah anterior dengan pilar anterior dan sebelah posterior dengan pilar
posterior.
Akumulasi nodus berlokasi di antara kapsul tonsil palatinus dan otot-
otot konstriktor pharynx. Pillar anterior dan posterior, torus tubarius
(superior), dan sinus piriformis (inferior) membentuk batas-batas potential
peritonsillar space.

B. FISIOLOGI
1. Faring
Fungsi faring terutama untuk pernapasan, menelan, resonansi suara
dan artikulasi. Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap. Pertama,
gerakan makanan dari mulut ke faring secara volunter. Tahap kedua,
transport makanan melalui faring, dan tahap ketiga, jalannya bolus
melalui esofagus, keduanya secara involunter. Langkah yang sebenarnya
adalah : pengunyahan makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah.
Elevasi lidah dan palatum mole mendorong bolus ke orofaring. Otot
suprahioid berkontraksi, elevasi tulang hioid dan laring dan dengan
demikian membuka hipofaring dan sinur piriformis. Secara bersamaan otot
laringis intrinsik berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk
mencegah aspirasi. Gerakan yang kuat dari lidah bagian belakang akan
mendorong makanan ke bawah melalui orofaring, gerakan dibantu oleh
kontraksi otot konstriktor faringis media dan superior. Bolus dibawa
melalui introitus esofagus ketika otot konstriktor faringis inferior
berkontraksi dan otot krikofaringeus berelaksasi. Peristaltik dibantu oleh
gaya berat, menggerakkan makanan melalui esofagus dan masuk ke
lambung.3

5
2. Laring
Walaupun laring biasanya dianggap sebagai organ penghasil suara,
namun ternyata mempunyai tiga fungsi utama, yaitu proteksi jalan napas,
respirasi, dan fonasi. Kenyataannya, secara filogenetik, laring mula-mula
berkembang sebagai suatu sfingter yang melindungi saluran pernapasan,
sementara perkembangan suara merupakan peristiwa yang terjadi
belakangan.
Perlindungan jalan napas selama aksi menelan terjadi melalui
berbagai mekanisme berbeda. Aditus laringis sendiri tertutup oleh kerja
sfingter dari otot tiroaritenoideus dalam plika ariepiglotika dan korda
vokalis palsu, di samping aduksi korda vokalis sejati dan aritenoid yang
ditimbulkan oleh otot intrinsik laring lainnya. Elevasi laring di bawah
pangkal lidah melindungi laring lebih lanjut dengan mendorong epiglotis
dan plika ariepiglotika ke bawah menutup aditus. Struktur ini mengalihkan
makanan ke lateral, menjauhi aditus laringis dan masuk ke sinus
piriformis, selanjutnya ke introitus esofagi. Relaksasi otot krikofaringeus
yang terjadi bersamaan mempermudah jalan makanan ke dalam esofagus
sehingga tidak masuk ke laring. Di samping itu, respirasi juga dihambat
selama proses menelan melalui suatu refleks yang diperantarai reseptor
pada mukosa daerah supraglotis. Hal ini mencegah inhalasi makanan atau
saliva.
Pada bayi posisi laring yang lebih tinggi memungkinkan kontak
antara epilglotis dengan permukaan posterior palatum mole. Maka bayi-
bayi dapat bernapas selama laktasi tanpa masuknya makanan ke jalan
napas.
Selama respirasi, tekanan intratoraks dikendalikan oleh berbagai
derajat penutupan korda vokalis sejati. Perubahan tekanan ini membantu
sistem jantung seperti juga ia mempengaruhi pengisian dan pengosongan
jantung dan paru. Selain itu, bentuk korda vokalis palsu dan sejati
memungkinkan laring berfungsi sebagai katub tekanan bila menutup,
memungkinkan peningkatan tekanan intratorakal yang diperlukan untuk

6
tindakan-tindakan mengejan, misalnya mengangkat berat atau defekasi.
Pelepasan tekanan secara mendadak menimbulkan batuk yang berguna
untuk mempertahankan ekspansi alveoli terminal dari paru dan
membersihkan sekret atau partikel makanan yang berakhir dalam aditus
laringis, selain semua mekanisme proteksi lain yang disebutkan di atas.
Namun, pembentukan suara agaknya merupakan fungsi laring yang
paling kompleks dan paling baik diteliti. Korda vokalis sejati yang
terduksi, kini diduga berfungsi sebagai suatu alat bunyi pasif yang bergetar
akibat udara yang dipaksa antara korda vokalis sebagai akibat kontraksi
otot-otot ekspirasi. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan
berbagai cara. Otot intrinsik laring ( dan krikotiroideus) berperan penting
dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa
ujung-ujung bebas korda vokalis sejati dan tegangan korda itu sendiri. Otot
ekstralaring juga dapat ikut berperan. Semuanya ini dipantau melalui suatu
mekanisme umpan balik yang terdiri dari telinga manusia dan suatu sistem
dalam laring sendiri yang kurang dimengerti. Sebaliknya, kekerasan suara
pada hakekata proporsional dengan tekanan aliran udara subglotis yang
menimbulkan gerakan korda vokalis sejati. Di lain pihak, berbisik diduga
terjadi akibat lolosnya udara melalui komisura posterior di antara aritenoid
yang terabduksi tanpa getaran korda vokalis sejati3
3. Tonsil
Tonsil dan adenoid adalah jaringan limfoid pada faring posterior di
area cincin Waldeyer. Fungsinya adalah untuk melawan infeksi.3

Gambar 2. Tonsila palatina

7
C. ABSES PERITONSIL
1. Definisi
Abses peritonsil adalah suatuinfeksi akut dan berat di daerah
orofaring. Absesperitonsil merupakan kumpulan pus yang terlokalisirpada
jaringan ikat longgar antara m.konstriktor faring superior dengan tonsil
pada fosa tonsil1. Abses peritonsil umumnya merupakankomplikasi dari
tonsilitis akut berulang atau bentuk absesdari kelenjar Weber pada kutub
atas tonsil1.
2. Etiologi
Abses peritonsil disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob
maupun yang anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan
abses peritonsil adalah Streptococcus pyogene (Group A betahemolitic
streptococcus) sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah
fusobacterium. Untuk kebanyakan abses peritonsil diduga disebabkan
karena kombinasi antara organisme aerob dan anaerob. Kuman aerob:
Grup A beta-hemolitik streptococci (GABHS) Group B, C, G
Streptococcus, Hemophilus influenza (type b and nontypeable)
Staphylococcus aureus, Haemophilus parainfluenzae, Neisseria species.
Mycobacteria sp Kuman Anaerob: Fusobacterium Peptostreptococcuse,
Streptococcus sp. Bacteroides. Virus : Eipsten-Barr Adenovirus Influenza
A dan B, Herpes simplex, Parainfluenza 4.
3. Epidemiologi
Abses peritonsil kira-kira 30% dariabses leher dalam4,sekalipun
sudah di eraantibiotika, abses peritonsil masih seringditemukan dengan
jumlah yang menurunmenjadi 18% di United Kingdom dalamsepuluh
tahun terahir ini5.
Tonsilitis banyak ditemukan padaanak-anak. Abses peritonsil
biasanyaditemukan pada orang dewasa dan dewasamuda, sekalipun dapat
terjadi pada anak-anak.5 Abses peritonsil umumnya terjadi akibat
komplikasi tonsilitis akut , dikatakan bahwaabses peritonsil merupakan
salah satu komplikasi umum dari tonsilitis akut, pada penelitian di seluruh

8
dunia dilaporkan insidensabses peritonsil ditemukan 10 -37 per 100.000
orang.6,7di Amerika dilaporkan 30 kasus per 100 orang per tahun, 45.000
kasus baru pertahun. Data yang akurat secara internasional belum
dilaporkan5.Biasanya unilateral, bilateral jarang ditemukan.
Yang Lin melaporkan sebuah kasus bilateral abses peritonsil. Usia
bervariasipaling tinggi pada usia 15-35 tahun, tidak ada perberdaan antara
laki-laki dan perempuan.8Marom, et al melakukan studi pada 427 pasien
dengan abses peritonsil, dikatakan bahwa karakteristik abses peritonsil
berubah, dikatakan penyakit ini lebih lama dan lebih buruk, dan faktor
merokok mungkin merupakan faktor predisposisi.15
Abses peritonsil adalah kumpulan pus di dalam ruangan antara
tonsil dan otot m. konstriktor superior. Abses peritonsil dapat terjadi pada
umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun.
Padaanak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem
immunnya, tetapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang
signifikan pada anak-anak. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik
atau percobaan penggunaan antibiotik oral untuktonsilitis akut merupakan
predisposisi untuk berkembangnya abses peritonsil.
4. Patogenesis
Abses peritonsil merupakan komplikasi dari tonsilitis akut berulang
atau bentuk abses dari kelenjar Weber pada kutub atas tonsil. Infeksi yang
terjadi akan menembus kapsul tonsil (umumnya pada kutub atas tonsil)
dan meluas ke dalam ruang jaringan ikat di antara kapsul dan dinding
posterior fosa tonsil9.
Pada fosa tonsil ditemukan suatu kelompokkelenjar di ruang supra
tonsil yang disebut kelenjarWeber. Fungsi kelenjar-kelenjar ini adalah
mengeluarkancairan ludah ke dalam kripta-kripta tonsil, membantuuntuk
menghancurkan sisa-sisa makanan dan debris yangterperangkap di
dalamnya lalu dievakuasi dan dicerna.Jika terjadi infeksi berulang, dapat
terjadi gangguan padaproses tersebut lalu timbul sumbatan terhadap
sekresikelenjarWeber yang mengakibatkan terjadinyapembesaran kelenjar.

9
Jika tidak diobati secara maksimal,akan terjadi infeksi berulang selulitis
peritonsil atauinfeksi kronis padakelenjar Weber dan sistem
salurankelenjar tersebut akan membentuk pus sehinggamenyebabkan
terjadinya abses10.
5. Patofisiologi
Infeksi memasuki kapsul tonsil sehingga terjadi peritonsilitis dan
kemudian terjadi pembentukan nanah. Daerah superior dan lateral fosa
tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh karena itu infiltrasi
supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini,
sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat
terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada stadium permulaan
(stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga permukaan yang
hiperemis. Bila proses tersebut berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah
tersebut lebih lunak dan berwarna kekuning-kuningan. Pembengkakan
peritonsil akan mendorong tonsil ke tengah, depan, bawah, dan uvula
bengkak terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut,
peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.
pterigoid interna, sehingga timbul trismus11.
Kelenjar Weber adalah kelenjar mucus yang terletak di atas kapsul
tonsil, kelenjar ini mengeluarkan air liur ke permukaan kripta tonsil.
Kelenjar ini bisa tertinggal pada saat tonsilektomi, sehingga dapat menjadi
sumber infeksi setelah tonsilektomi. Dilaporkan bahwa penyakit gigi
dapat memegang peranan dalam etiologi abses peritonisl. Fried dan Forest
menemukan 27% adanya riwayat infeksi gigi. Abses peritonsil mengalami
peningkatan pada penyakit periodontal dibandingkan tonsilitis rekuren12.
6. Manifestasi klinis
Nyeri tenggorok yang sangat(Odinofagi) dapat merupakan gejala
menonjol,dan pasien mungkin mendapatkan kesulitanuntuk makan bahkan
menelan ludah. Akibattidak dapat mengatasi sekresi ludah sehinggaterjadi
hipersalivasi dan ludah seringkalimenetes keluar. Keluhan lainnya
berupamulut berbau (foetor ex ore), muntah

10
(regurgitasi), sampai nyeri alih ke telinga(otalgi). Trismus akan muncul
bila infeksimeluas mengenai otot-otot pterigoid.Pemeriksaan fisik kadang-
kadang sukardilakukan, karena adanya trismus. Gejalayang klasik adalah
trismus, suara bergumam,disebut hot potato voice, dan uvula terdorongke
arah yang sehat. Demam hanya ditemukan
sebanyak 25% kasus yang dilakukan olehSowerby, dan kawan
kawan.Palatum moletampak membengkak dan menonjol kedepan,
dapat teraba fluktuasi. Uvula bengkak danterdorong ke sisi kontralateral.
Tonsilbengkak, hiperemis, mungkin banyak detritusdan terdorong ke arah
tengah, depan, danbawah. Palpasi (jika mungkin) dapatmembedakan abses
dari selulitis.13

Gambar 3. Abses Peritonsil


7. Diagnosis Banding
Penonjolan satu atau kedua tonsil, atau setiappembengkakan pada
daerah peritonsilar harusdipertimbangkan penyakit lain selain abses
peritonsilsebagai diagnosis banding. Contohnya adalah
infeksimononukleosis, benda asing, tumor / keganasan /limfoma, penyakit
Hodgkin leukemia, adenitis servikal,aneurisma arteri karotis interna dan
infeksi gigi14.
Kelainan-kelainan ini dapat dibedakan dari absesperitonsil melalui
pemeriksaan darah, biopsi danpemeriksaan diagnostik lain.Tidak ada
kriteria spesifik yang dianjurkanuntuk membedakan selulitis dan abses
peritonsil. Karenaitu disepakati bahwa, kecuali pada kasus yang

11
sangatringan, semua penderita dengan gejala infeksi daerahperitonsil harus
menjalani aspirasi/punksi. Apabila hasilaspirasi positif (terdapat pus),
berarti abses, makapenatalaksanaan selanjutnya dapat dilakukan. Bila
hasilaspirasi negatif (pus tidak ada), pasien mungkin dapatdidiagnosis
sebagai selulitis peritonsil14
8. Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan riwayatpenyakit, gejala klinis, dan
pemeriksaan fisik.Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk
menegakkan diagnosis. Aspirasi dengan jarumpada daerah yang paling
fluktuatif, atau punksimerupakan tindakan diagnosis yang akurat
untuk memastikan abses peritonsil. Yangmerupakan “gold standar” untuk
mendiagnosis abses peritonsil adalah denganmengumpulkan pus dari abses
denganmenggunakan jarum aspirasi. Untukmengetahui jenis kuman pada
abses peritonsiltidak dapat dilakukan dengan cara usap
tenggorok. Pemeriksaan penunjang akansangat membantu selain untuk
diagnosis, jugauntuk perencanaan penatalaksanaan.Pada pemeriksaan
penunjang dapatdilakukan pemeriksaan laboratorium seperti
darah lengkap, pemeriksaan radiologi polosposisi antero-posterior hanya
menunjukkan“distorsi” dari jaringan tetapi tidak bergunauntuk menentuan
pasti lokasi abses,pemeriksaan CT scan pada tonsil dapat terlihatdaerah
yang hipodens, yang menandakanadanya cairan pada tonsil yang terkena,
disamping itu juga dapat dilihat pembesaranyang asimetris pada tonsil.
Pemeriksaan inidapat membantu untuk rencana operasi.
Ultrasonografi merupakan teknik yangsederhana dan noninvasif dapat
membantudalam membedakan antara selulitis dan awalabses.
9. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium darah berupa faalhemostasis, terutama
adanya leukositosis sangatmembantu diagnosis. Pemeriksaan radiologi
berupa fotorontgen polos, ultrasonografi dan tomografi komputer11.
Saat ini ultrasonografi telah dikenal dapatmendiagnosis abses
peritonsil secara spesifik danmungkin dapat digunakan sebagai

12
alternatifpemeriksaan. Mayoritas kasus yang diperiksamenampakkan
gambaran cincin isoechoic dengangambaran sentral hypoechoic11.

Gambar 4. Intraoral ultrasonografi11


Gambaran tersebut kurang dapat dideteksi bilavolume relatif pus
dalam seluruh abses adalah kurangdari 10% pada penampakan tomografi
komputer.Penentuan lokasi abses yang akurat, membedakan antaraselulitis
dan abses peritonsil serta menunjukkangambaran penyebaran sekunder
dari infeksi inimerupakan kelebihan penggunaan tomografi
komputer.Khusus untuk diagnosis abses peritonsil di daerah kutubbawah
tonsil akan sangat terbantu dengan tomografikomputer13.

Gambar 5.Tomografi komputer abses peritonsil.


Pemeriksaan denganmenggunakan foto rontgen polos dalam
mengevaluasiabses peritonsil terbatas. Bagaimanapun tomografikomputer
dan ultrasonografi dapat membantu untukmembedakan antara abses
peritonsil dengan selulitistonsil13.

13
10. Tatalaksana
Penatalaksanaan harus segeradilakukan dan adekuat untuk
mencegahobstruksi pernafasan dan mencegah meluasnyaabses ke ruang
parapfaring dan mediastinumdan basis kranii.7
Setelah dibuat diagnosa abses peritonsil,segera dilakukan aspirasi
kemudianinsisi abses dan drainase. Masih adakontroversi antara insisi
drainase denganaspirasi jarum saja, atau dilanjutkan dengan
insisi dan drainase, Gold standard adalahinsisi dan drainase abses.1 Pus
yang diambildilakukan pemeriksaan kultur dan resistensitest.
Penanganan meliputi, menghilangkannyeri, dan antibiotik yang
efektif mengatasiStaphylococcus aureus dan bakteri anaerob.Pada stadium
infiltrasi, diberikan antibiotikadosis tinggi, dan obat simtomatik. Juga
perlukumur-kumur dengan cairan hangat Pemilihanantibiotik yang tepat
tergantung dari hasilkultur mikroorganisme pada aspirasi jarum.
Penisilin merupakan “drug of chioce” padaabses peritonsil dan efektif
pada 98% kasusjika yang dikombinasikan dengan
metronidazole.9 Metronidazole merupakanantimikroba yang sangat baik
untuk infeksianaerob. Dosis untuk penisilin pada dewasa adalah 600 mg
IVtiap 6 jam selama 12-24 jam, dan anak 12.500- 25.000 U/Kg tiap 6 jam.
a. Tehnik Insisi
Tindakan dapat dilakukan denganposisi duduk dengan
menggunakan anestesilokal. Pertama faring disemprot dengananestesi
topikal. Kemudian 2 cc Xilocaindengan adrenalin 1/100,000
disuntikkan.Dilakukan aspirasi terlebih dahulu untukmemastikan ada
pus, kemudian pisau tonsilno 12 atau no 11 dengan plester
untukmencegah penetrasi yang dalam yang digunakan untuk membuat
insisi melaluimukosa dan submukosa dakat kutub atas fosa
tonsilaris.Lokasi insisi biasanya dapatdiidentifikasi pada : 1, dipalpasi
pada daerah yang paling fluktuatif dan paling menonol, 2, pada titik
yang terletak dua pertiga dari garis khayal yang dibuat antara dasar
uvula dengan molar terakhir pada sisi yang sakit 3,pada pertengahan

14
garis horizontal antara pertengahan basis uvula dan M3 atas. Hemostat
tumpul dimasukkan melalui insisi ini dan dengan lembut direntangkan.
Pengisapan tonsil sebaiknya segera disediakanuntuk mengumpulkan
pus yang dikeluarkan. 10 Jika terdapat trismus, maka untukmengatasi
rasa nyeri, diberikan analgesia (lokal), dengan menyuntikkan xylocain
atau novocain 1% di ganglion sfenopalatinum.Ganglion ini terletak di
bagian belakang atas lateral dari konka media. Ganglion sfenopalatinum
mempunyai cabang n. palatine anterior, media dan posterior yang
mengirimkan cabang aferennya ke tonsil danpalatum molle di atas
tonsil. Daerah yang paling tepat untuk insisi mendapat inervasi dari
cabang palatine m. trigeminus yangmelewati ganglion sfenopalatinum.
Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi Bila
tonsilektomi dilakukan bersama-sama dengan tindakan drainase abses
maka disebut tonsilektomi “a chaud”, bila tonsilektomidilakukan 3-4
hari sesudah darinase abses disebut tonsilektomi “ a tiede” dan bila
tonsilektomi dilakukan 4-6 minggu sesudahdrainase abses disebut
tonsilektomi “ a froid”. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah
infeksi tenang, yaitu 2-3 minggusesudah drainase abses.7

Gambar 6. Teknik Insisi


b. Tonsilektomi
Tonsilektomi merupakan indikasiabsolut pada orang yang
menderita abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada
ruang jaringan sekitarnya. Absesperitonsil mempunyai kecenderungan
besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan

15
tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis
menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggukemudian mengingat
kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi
menganjurkan tonsilektomi segera.7

Gambar 7. Tonsilektomi
11. Komplikasi
Komplikasi segera yang dapat terjadi berupadehidrasi karena
masukan makanan yang kurang.Pecahnya abses secara spontan dengan
aspirasi darahatau pus dapat menyebabkan pneumonitis atau absesparu.
Pecahnya abses juga dapat menyebabkanpenyebaran infeksi ke ruang leher
dalam, dengankemungkinan sampai ke mediastinum dan dasartengkorak16.
Komplikasi abses peritonsil yang sangat seriuspernah dilaporkan
sekitar tahun 1930, sebelum masapenggunaan antibiotika. Infeksi abses
peritonsilmenyebar ke arah parafaring menyusuri selubung
karotiskemudian membentuk ruang infeksi yang luas16.
Perluasan Infeksi ke daerah parafaring dapatmenyebabkan
terjadinya abses parafaring, penjalaranselanjutnya dapat masuk ke
mediastinum sehingga dapat terjadi mediastinitis17.
Pembengkakan yang timbul di daerah supraglotis dapat
menyebabkan obstruksi jalan nafas yangmemerlukan tindakan
trakeostomi. Keterlibatan ruang-ruangfaringomaksilaris dalam komplikasi
absesperitonsil mungkin memerlukan drainase dari luarmelalui segitiga
submandibular.Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranialdapat

16
mengakibatkan thrombus sinus kavernosus,meningitis dan abses otak.
Pada keadaan ini, bila tidakditangani dengan baik akan menghasilkan
gejala sisaneurologis yang fatal17.
Komplikasi lain yang mungkintimbul akibat penyebaran abses
adalah endokarditis,nefritis, dan peritonitis juga pernah ditemukan.Marom,
melaporkan sebanyak 13 pasien (3%)mengalami komplikasi seperti
selulitis parafaring atauedema supraglotis dan penanganan komplikasi
yangserius di rumah sakit16.
Ming CF13 mengatakan bila tidak dilakukanpengobatan abses
peritonsil dengan segera maka dapatmenyebabkan komplikasi antara lain
limfadenitisservikal, infeksi parafaring dan perdarahan, edema laring,abses
leher dalam, dan jarang terjadi seperti fascitisnekrotik servikal, dan
mediastinitis17.
12. Prognosis
Pemberian antibiotik yang adekuat dan drainase abses merupakan
penanganan yang kebanyakan hasilnya baik, dalam beberapa hari terjadi
penyembuhan. Dalam jumlah kecil,diperlukan tonsilektomi beberapa lama
kemudian. Bila pasien tetap mengeluh sakit tenggorok setelah insisi abses,
maka tonsilektomi menjadi indikasi. Kekambuhan abses peritonsil pada
usia lebih muda dari 30 tahun lebih tinggi terjadi, demikian juga bila
sebelumnya menderita tonsilitas sebelumnya sampai 5 episode17.

17
BAB III
KESIMPULAN

Abses peritonsil merupakan infeksi akut atau abses yang berlokasi di


spatium peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat di antara tonsildengan m.
kontriktor superior, biasanya unilateral dan didahului oleh infeksi
tonsilopharingitis akut 5-7 hari sebelumnya. Abses peritonsil dapat terjadi pada
umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun.
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler
adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus),
Staphylococcus aureus, dan Haemophilusinfluenzae. Sedangkan organisme
anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas,
Fusobacterium,danPeptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler
diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik.
Gejala klinis berupa rasa sakit di tenggorok yang terus menerus hingga
keadaan yang memburuk secara progresif walaupun telah diobati. Rasa nyeri
terlokalisir, demam tinggi, (sampai 40°C), lemah dan mual. Odinofagi dapat
merupakan gejala menonjol dan pasien mungkin mendapatkan kesulitan untuk
makan bahkan menelan ludah. Akibat tidak dapat mengatasi sekresi ludah
sehingga terjadihipersalivasi dan ludah seringkali menetes keluar. hot potato
voice merupakan suatu penebalan pada suara. Penderita mengalami kesulitan
berbicara, suara menjadi seperti suara hidung, membesar seperti mengulum
kentang panas (hot potato’s voice) karena penderita berusaha mengurangi rasa
nyeri saat membukamulut.
Menegakkan diagnosis penderita dengan abses peritonsil dapat dilakukan
berdasarkan anamnesis tentang riwayat penyakit, gejala klinis dan pemeriksaan
fisik penderita. Aspirasi dengan jarum pada daerah yang paling fluktuatif, atau
punksi merupakan tindakan diagnosis yang akurat untuk memastikan
absesperitonsil.
Penatalaksanaan pada abses peritonsil secara medika dan non mediak
mentosa. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika golongan penislin atau
klindamisin, dan obat simptomatik. Obat kumur-kumur jiga diperlukan, dengan

18
menggunakan cairan hangat dan kompres dingin pada leher. Dosis untuk penisilin
pada dewasa adalah 600 mg IV tiap 6 jam selama 12-24 jam, dan anak 12.500-
25.000 U/Kg tiap 6 jam. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada
daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tindakan
tonsilektomi juga dilakukan pada orang yang menderita abses peritonsilaris
berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringansekitarnya.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Infection: Hospital university Sains Malaysia Experience, The internet


Journal Of Otorhinolaryngology 2008, volume 10 Number 1.
2. Segal N, Sabri SE. Peritonsillar Abscess in Children in The Southern District
of Israel. Int Journal of Ped Otol 2012;73:1148-50.Sterreyu. Peritonsillar
Abscess http://sterreyu.wordpress.com last up date 09/17/2013.
3. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Applied anatomy and physiology mouth
and pharynx. In: Richard AB (ed). Ear, Nose and Throat Disease, a pocket
reference. 2nd rev.ed. New York: Thieme Flexibook 1994:307 -315
4. Finkelstein Y, Ziv JB. Peritonsillar Abscess as a Cause of Transient
Velopharyngeal Insufficiency. Cleft Palate Craniofacial Journal, July
2013;30:421-28.
5. Gadre AK, Gadre KC. Infection of the deep spaces of the neck. In: Bayle
BJ,Johnson JT. editors. Head and Neck Surgery Otolaryngology.4th ed.
Philadelphia : Lippincot Company 2006 : 666-81
6. Ellis H,editor. Clinical anatomy. 11 ed. Australia : 006 : 279-80 Marom T et
al. Peritonsil abscess. American J of Otolaryngology- Head and
Neck Medicine and surgery 31 (2010) 162-7
7. Lin YY MD, Lee JC MD . Bilateral peritonsillar abssses complicating
acutetonsillitis. CMAJ,August 9,2011,183 (11)
8. Fasano J.C, Chudnofsky C. Bilateral Peritonsillar Abscesses: Not Your Usual
Sore Throat. The Journal of Emergency Medicine 2015;29 p. 45-7.
9. Megalamani SB, Suria G. Changing Trends In Bacteriology of Peritonsillar
Abscess. Journal of Laryngol & Otol 2012;122:928-30.
10. Repanos C, Mukherjee P. Role of Microbiological Studies in Management of
Peritonsillar Abscess. Journal of Laryngol & Otol 2016;123:877-79.
11. Ming CF. Effycacy of Three Theraupetic Methods for Peritonsillar Abscess.
Journal of Chinese Clinical Medicine 2016;2:108-11.
12. Badran KH, Karkos PD. Aspiration of Peritonsillar Abscess in Severe
Trismus. Journal of Laryngol & Otol 2016;120:492-94.

20
13. Sowerby LJ, Hussain Z. Journal of otolaryngology- Head and Neck
Surgery2013 , 10-5
14. Lyon M, Blaivas M. Intraoral Ultrasound In the Diagnosis and Treatment of
SuspectedPeritonsillar Abscess In The Emergency Department. ACAD
Emerg Med 2015;12:85-8.
15. Marom T et al. Peritonsil abscess.American J of Otolaryngology- Head
andNeck Medicine and surgery 31 (2010)162-7
16. Losanoff JE, Missavage AE. Neglected Peritonsillar Abscess Resulting In
Necrotizing Soft Tissue Infection of The Neck and Chest Wall. Int J Clin
Pract 2015;59:1476-78.
17. Beriault M, Green J. Innovative Airway Management for Peritonsillar
Abscess. Cardiothoracic J Anesth 2016;53:92-5.

21

Anda mungkin juga menyukai