Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
TINJAUAN TEORI
Industri Integrasi
Kota Industri
Menurut Winardi (1998) dalam Hismendi (2014) mendefinisikan industri sebagai sebuah
usaha produktif terutama dalam bidang produksi dan perusahaan tertentu menyelenggarakan
jasa-jasa seperti transportasi atau perkembangan yang menggunakan modal atau tenaga kerja
dalam jumlah yang relatif besar.
Pengertian lain diambil dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
yang menyatakan bahwa industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang berupa
kegiatan mengolah bahan baku dan memanfaatkan sumberdaya sehingga menghasilkan barang
yang bermanfaat dan memiliki nilai jual tinggi. G.Kartasapoetra (1997) dalam Sulastri (2013)
berpendapat bahwa Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan
baku dan bahan setengah jadi barang yang nilainya lebih tinggi
a. Industri kecil dan menengah, merupakan jenis industri yang memiliki investasi
sampai dengan Rp. 5.000.000.000,00.
b. Industri besar, yaitu industri yang investasinya lebih dari Rp.5.000.000.000,00
Nilai investasi tersebut tidak termasuk nilai tanah dan bangunan tempat usaha. Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian mengelompokkan industri menjadi 3 jenis,
yaitu: industri kecil, industri menengah, dan industri besar. Sementara itu, Biro Pusat Statistik
(BPS) mengelompokkan industri menjadi 4, yaitu:
a. Industri besar, yaitu industri yang menggunakan tenaga kerja 100 orang atau lebih.
b. Industri sedang, yaitu industri yangg menggunakan tenaga kerja 20-99 orang.
c. Industri kecil, yaitu industri yang menggunakan tenaga kerja 5-19 orang.
d. Industri kerajinan rumah tangga, yaitu industri yang menggunakan tenaga kerja 1-4
orang
Wigjosoebroto (2004) dalam Sutanta (2010) mengklasifikasikan jenis-jenis industri
berdasarkan pada aktifitas-aktifitas umum yang dilaksanakan, sebagai berikut:
a. Industri penghasil bahan baku (the primary row-material industry), yaitu industri
yang aktifitas produksinya mengolah sumber daya alam guna menghasilkan bahan
baku maupun bahan tambahan lainnya yang dibutuhkan oleh industri penghasil
produk atau jasa. Industri tipe ini umum dikenal sebagai “ekstrative/ primary
industry”. Contoh: industri perminyakan, industri pengolah bijih besi, dan lain-lain.
b. Industri manufaktur (the manufacturing industries), adalah industri yang
memproses bahan baku guna dijadikan bermacam-macam bentuk/model produk,
baik yang berupa produk setengah jadi (semi manufactured) ataupun yang sudah
berupa produk jadi (finished goods product). Disini akan terwujud suatu
transformasi proses baik secara fisik ataupun kimiawi terhadap input material dan
akan memberi nilai tambah yang lebih tinggi terhadap material tersebut. Contoh:
industri permesinan, industri mobil, industri tekstil, dan lain-lainnya.
c. Industri penyalur (distribusition industries), adalah industri yang memiliki fungsi
untuk melaksanakan proses distribusi baik untuk row material maupun finished
goods product. Row materials maupun finished goods product (manufactured
goods) akan didistribusikan dari produsen ke produsen yang lain dan dari produsen
ke konsumen. Operasi kegiatan ini meliputi aktifitasaktivitas buying dan selling,
storing, sorting, grading, packaging, dan moving goods (transportasi).
2.2 Kawasan Industri
Kawasan industri adalah suatu daerah yang didominasi oleh kegiatan industri yang
mempunyai fasilitas kombinasi terdiri dari peralatan-peralatan pabrik (industrial plants),
sarana penelitian dan laboratorium untuk pengembangan, bangunan perkantoran, bank, serta
fasilitas sosial dan fasilitas umum (Dirdjojuwono 2004).
Kawasan industri memerlukan lahan khusus yang memang diperuntukan untuk peruntukan
industri. Sebagaimana prinsip pengembangan kawasan industri berdasarkan Permenperin No.
35/M-IND/PER/3/2010 dalam pengembangan kawasan industri harus sesuai dengan peraturan
tata ruang yang berlaku dengan kondisi topografi yang relatif datar. topografi/kemiringan
tanah kawasan industri maksimal 15%. Lahan bagi peruntukan industri harus
mempertimbangkan kesesuaian dengan tata ruang daerah yang berlaku dan daya dukung lahan
pada kawasan tersebut. Penentuan lahan bagi Kawasan industri tidak diperbolehkan untuk
membuka lahan pada kawasan pertanian.
Menurut Adisasmita (2015) sebuah kota yang berkembang ditandai dengan penngkatan
kebutuhan lahan karena peningkatan jumlah penduduk. Penduduk yang bertambah banyak,
berarti kebutuhan mereka akan bertambah banyak yang berakibat pada peningkatan
penyediaan sarana dan prasarana untuk melayani aktivitas penduduk. Jika dikaitkan dengan
kawasan industri berarti perkembangan kawasan industri dicirikan dengan adanya peningkatan
penggunaan lahan industri (jumlah industri), dan peningkatan sarana dan prasarana kawasan
industri. Perkembangan suatu kawasan industri ditandai dengan bertambahnya pemanfaatan
sumber dayanya (sumber daya manusia, alam, dan modal) (Abdullah, 2010). Dalam konteks
ini berarti perkembangan industri dapat dilihat melalui peningkatan jumlah industri,
bertambahnya penggunaan lahan industri, dan peningkatan sumberdaya manusia yang
bergerak dibidang industri. Pernyataan ini diperkuat oleh Dirdojuwono (2004) menyatakan
perkembangan industri dapat dilihat melalui tiga indikator peningkatan investasi industri,
peningkatan jumlah industri, dan peningkatan jumlah tenaga kerja industri.
Pengertian integrasi diperoleh dari teori yang disampaikan Widjaja (1986:110) integrasi
merupakan sebuah keserasian satuan-satuan yang terdapat dalam suatu sistem, dan bukan
penyeragaman, namun merupakan satuan-satuan yang sedemikian rupa serta tidak merugikan
masing-masing satuan, saling mendukung satuan serta masih memiliki identitas masing-
masing dan saling menguntungkan. Sejalan dengan itu, Hendropuspito (1989:65) dalam Astri
and Hariyati (2013) berpendapat, bahwa secara umum integrasi diartikan sebagai pernyataan
secara terencana dari bagian bagian yang berbeda menjadi satu kesatuan yang serasi.
Pengertian tersebut kemudian dijelaskan spesifikasikan kedalam integrasi keruangan yang
merupakan penyusunan ruang menyangkut hubungan antara ruang untuk mewadahi suatu
kegiatan dan penggabungan dari berbagai kegiatan dalam suatu ruang dengan batas antara
kegiatan tersebut disamarkan (Alvanti 2009). ESDP menerangkan konsep integrasi keruangan
dengan interaksi dalam sebuah area dan terdapat kerja sama dalam setiap kegiatan serta
menunjukan adanya konektivitas antar sistem transportasi dalam skala geografis (ESDP 1999)
Robert Phelp (1995) yang mengilustrasikan konsep Modern Industrial City di Torrance,
California bahwa pengembangan kota industri di Torrance dalam perencanaan menggunakan
(1) pemisahan penggunaan lahan berdasarkan fungsinya yang mana kawasan hunian, bisnis dan
industri dipisahkan oleh tembok yang disebut border avenue dimana (2) masing masing distrik
dihubungkan oleh jalur sirkulasi jalan dan sarana transportasi. (3) Selain itu kawasan industri
Torrance ditempatkan pada lokasi yang aksesibel dan dapat dijangkau melalui jalan permukaan
maupaun rel kereta api dan (4) jalur sirkulasi untuk bahan bahan produksi industri dibedakan
dengan jalur komersial untuk mempermudah akses distribusi industri dan tidak mengganggu
sirkulasi perdagangan dan jasa yang lain. (5) Kemudian di Kota Torrance terdapat taman kota
yang dijadikan sebagai pusat bagi masyarakat untuk berkumpul dan bersosialisasi. Untuk
fasilitas bagi pekerja di kawasan industri Torrance juga menyediakan rumah sebanyak 2.500
untuk masyarakat yang bekerja di kawasan industri Torrance dengan manajemen pasar yang
diatur oleh pemilik industri untuk mencegah permukiman jatuh pada kepemilikan properti
individu ataupun pengembang serta agar harga rumah tetap terjangkau oleh pekerja. Bukan
hanya di fasilitasi permukiman akan tetapi (6) lokasi permukiman juga dibuat tidak searah
dengan arah angin dan industri agar polusi asap industri tidak mencapai pada zona permukiman.
Raymond & Neil (1972) juga mengilustrasikan pengembangan kota industri di U.S Steel di
Amerika Serikat yang didesain oleh Gary Indiana, seorang arsitek asal Amerika. Gary mendesai
kota industri U.S Steel pada tahun 1906 yang mana lokasi industri terpisah dengan kota dan
permukiman. Lokasi industri diposisikan dengan mempertimbangkan sumberdaya yang
dibutuhkan dengan industri dan terkoneksi dengan jaringan jalan atau rel kereta api. Rel kereta
api tersebut memudahkan U.S Steel untuk memperoleh bahan baku dari wilayah Chicago. Gary
juga membuat kawasan hunian untuk para pekerja industri yang dibagi berdasarkan
penghasilan dari karyawan tersebut.
Ilustrasi lain menjelaskan kawasan Neyveli di India oleh Prabhakar (2015), Neyveli
merupakan sebuah kota yang dibangun dekat lokasi penambangan oleh Neyveli Lignite
Corporation. Kota Neyveli di bangun pada ketinggian sekitar 87 mdpl. Neyveli adalah salah
satu kota modern dengan perencanaan di India. Wilayah permukiman dalam kota Neyveli
seluas 50 km2. Transportasi didalam kota terlayani dengan pelayanan bis, terhubung dengan
dua jalan raya yang mengelilingi kawasan Neyveli, dan terhubung dengan jaringan rel kereta
api. Kota Neyvely juga terfasilitasi oleh jaringan listrik, air, kesehatan, sanitasi, dan taman.
Terfasilitasi
infrastruktur dasar
permukiman dan
industri
Torrance menanam 100.000 Zona publik terdiri dari bangunan
pohon untuk digunakan sebagai pemerintah, museum, dan ruang Ketersediaan ruang
Menyediakan taman
taman yang menjadi taman kota pameran dan struktur besar untuk terbuka sebagai
atau ruang terbuka
olahraga dan teater zona publik
Pemisahan jalur untuk distribusi Pemisahan jalur
industri dan komersial untuk distribusi
industri dan
komersial
Permukiman dilokasikan pada Permukiman terletak di daerah Gary Land merancanag permukiman berada
Permukiman berada di
lokasi yang aman dari dampak yang tidak terganggu oleh industri jauh dari zona industri/pabrik
area peri-peri Kawasan
industri Permukiman berada
industri yang terpisah
Terdapat manajemen pengelolaan Manajemen pengelolaan hunian dikelola pada pinggiran
dengan Kawasan indu
hunian pekerja oleh pihak industri oleh pihak pengembang Gary Land
stri
Company
Sumber : phelp (1995), Wiebenson (1960), Raymond dan Neil (1972), Prabhakar(2015)
2.5 Pemisahan Penggunaan Lahan
Pengertian lahan berbeda dengan tanah. tanah lebih mengarah pada tubuh tanah (soil) dan
materi tanah (materials) yang menekankan pada sifat fisik tanah secara kimiawi dan organik.
Sementara itu lahan lebih dikaitkan pada unsur pemanfaatan/peruntukan dari bentang tanah
dalam hal ini dipahami sebagai ruang (Sadyohutomo, 2006:8). Menurut Jayadinata
(1999:10) lahan merupakan tanah yang sudah ada peruntukannya dan umumnya dimiliki dan
dimanfaatkan oleh perorangan atau lembaga untuk dapat dikembangkan. Penggunaan lahan
merupakan segala campur tangan manusia, baik secara permanen maupun secara siklus
terhadap suatu kelompok sumberdaya alam dan sumber daya buatan, yang secara keseluruhan
disebut lahan, dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhannya baik secara
kebendaan maupun spiritual ataupun kedua-duanya (Malingreau, 1977). Kaiser et al (1995:
196) menguraikan beberapa perspektif yang harus diperhatikan dalam memahami penggunaan
lahan (land use), antara lain :
a. Lahan adalah ruang fungsional yang diperuntukkan untuk mewadahi beragam penggunaan.
dalam perspektif ini lahan mengakomodasi pertumbuhan kawasan yang didorong oleh
pertumbuhan penduduk dan ekspansi ekonomi.
b. Lahan sebagai setting dari sistem aktivitas.
c. Lahan sebagai komoditas, yang dimaksud lahan sebagai komoditas yaitu penggunaan lahan
harus memperhatikan kemampuan fisik alamiah dan daya dukungnya
d. Lahan sebagai sumber daya citra dan estetika kawasan.
a. Perumahan, berupa kelompok rumah sebagai tempat tinggal dengan sarana dan prasarana
lingkungannya.
b. Perdagangan, yaitu tempat transaksi barang dan jasa berupa bangunan pasar, toko,
pergudangan dan lain sebagainya.
c. Industri adalah kawasan untuk kegiatan proses pengolahan bahan-bahan baku menjadi
barang setengah jadi atau barang jadi.
d. Jasa, berupa kegiatan pelayanan perkantoran pemerintah, kesehatan, sosial budaya, dan
pendidikan.
e. Taman yaitu kawasan yang berfungsi sebagai ruang terbuka publik, hutan kota dan taman
kota.
f. Perairan adalah areal genangan atau aliran air permananen maupun musiman baik buatan
ataupun alami.
Perencanaan penataan ruang suatu kawasan sangat perlu memperhatikan perencanaan
penggunaan lahannya, karena pada hakikatnya pada suatu lahan di dalamnya terjadi interaksi
langsung antara aktivitas manusia dengan lingkungannya. Berbagai macam aktivitas manusia
seringkali mengakibatkan adanya ketidakseimbangan dalam penggunaan lahan. Sebagai contoh
perubahan penggunaan lahan yang mulanya kawasan pertanian berubah menjadi kawasan
industri akan membawa dampak terhadap lingkungan, transportasi dan sosial masyarakat
dikawasan sekitarnya.
Perencanaan penggunaan lahan perlu mempertimbangkan hal-hal yang demikian untuk
keberlanjutan lahan di suatu kawasan. Perencanaan tata guna lahan juga diperlukan agar fungsi-
fungsi kawasan dapat saling menunjang keberadaanya. Perencanaan penggunaan lahan juga
diharapkan mampu meminimalisasi bangkitan pergerakan dari satu tempat ke tempat lain
karena itulah perencanaan tata guna lahan tidak bias lepas dengan sistem transportasi
(Catanese, 1988).
Perencanaan penggunaan lahan merupakan proses inventarisasi dan penilaian keadaan,
potensi dan pembatas-pembatas dari suatu daerah tertentu dan sumberdayanya yang
berinteraksi dengan orang yang menaruh perhatian terhadap daerah tersebut dalam menentukan
kebutuhan-kebutuhan mereka, keinginan dan aspirasinya untuk masa mendatang (Soil
Conservation Society of America, 1982 dalam Sitorus, 2016). Perencanaan penggunaan lahan
terdapat pada rencana pola ruang.
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16 Tahun 2009, rencana pola ruang
adalah rencana distribusi peruntukan ruang di dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan
ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Rencana pola ruang
berfungsi sebagai alokasi ruang untuk berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat dan
kegiatan pelestarian lingkungan dalam wilayah kota, sebagai pengatur keseimbangan dan
keserasian peruntukan ruang, sebagai dasar penyusunan indikasi program, sebagai dasar
pemberian izin pemanfaaran ruang pada wilayah kota. Penentuan distribusi penggunaan lahan
rencana pola ruang dirumuskan salah satunya berdasarkan daya dukung dan daya tampung
lahan. Penentuan penggunaan lahan tidak bisa hanya berdasarkan kebutuhan ruang tetapi juga
perlu membertimbangkan daya tamping dan daya dukung pada lahan tersebut. Rencana pola
ruang yang tepat akan memberikan manfaat pada keseimbangan dan keserasian pada
peruntukan ruang.
Membangun suatu kawasan sama halnya membangun suatu kota, hanya saja lebih spesifik
jenis kegiatannya. Oleh karena itu dalam mengembangkan kawasan industri perlu disediakan
kawasan permukiman dan kawasan komersial (Dirdojuwono, 2004). Menurut kamus tata ruang,
kegiatan komersial merupakan kegiatan yang mencerminkan suatu bentuk aktivitas
perdagangan di suatu kota yang meliputi aktivitas perdagangan retail dan pengusahaan jasa
skala lokal, pusat perbelanjaan skala regional serta daera hiburan, letaknya tidak selalu di
tengah-tengah kota dan memiliki pengaruh besar terhadap kegiatan ekonomi kota. (Soefaat,
1997). Sedangkan kawasan menurut UU No.24/1992 yaitu ruang yang merupakan kesatuan
geografis beserta segenap unsur yang terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek fungsional serta memilki cirri tertentu yang spesifik dan khusus. Jadi dapat
disimpulkan bahwa kawasan komersial merupakan suatu daerah atau wilayah yang difungsikan
sebagai tempat untuk aktivitas pergadagangan.
2.6 Konektivitas
Indikator aksesibilitas, konektivitas dan mobilitas merupakan indikator kesuksesan suatu
pembangunan infrastruktur transportasi yang terintegrasi (Herawati, 2017). Jumlah dan kualitas
prasarana perhubungan sangat mempengaruhi kemudahan pergerakan manusia, barang, dan
jasa antarwilayah. Dalam pengembangan kota industri transportasi menjadi sebuah kunci untuk
memperoleh bahan baku dan mendistribusikan hasil produksi industri (Catanese dan Snyder,
1992). Sejarah perkembangan kota industri menyebabkan adanya permasalahan dipusat kota
sehingga permukiman berpindah ke wilayah dipinggiran kota, dari sini transportasi/jaringan
jalan menjadi hal yang sangat penting untuk pergerakan manusia dan barang (Catanese dan
Snyder, 1992). Menurut Kansky dalam teori grafik, untuk mengukur kekuatan interaksi antar
wilayah melalui prasarana perhubungan ditentukan dengan indeks konektivitas. Jaringan jalan
merupakan salah satu dari elemen transportasi yang mampu menentukan tingkat konektivitas.
Dalam pengembangan suatu kota atau kawasan diperlukan jaringan jalan untuk
menghubungkan satu kawasan ke kawasan yang lain (Dirdojuwono, 2004). Indek konektivitas
adalah perbandingan antara jumlah satuan permukiman/penggunaan lahan dalam suatu wilayah
dengan jumlah jaringan sistem transportasi yang menghubungkan. Rumus indek konektivitas
oleh K.J. Kansky (dalam Muta’ali, 2015) adalah sebagai berikut
𝑒
𝛽=
𝑉
Faktor yang menjadi daya tarik dalam pengembangan kawasan industri adalah aksesibilitas.
(Sukandar, 2015). Jhon Black (1981) mengatakan bahwa aksesibilitas merupakan suatu ukuran
kenyamanan atau kemudahan pencapaian lokasi dan hubungannya satu sama lain, mudah atau
sulitnya lokasi tersebut dicapai melalui transportasi (Leksono dkk, 2010). Aksesibilitas diukur
melalui kemudahan waktu, biaya dan usaha dalam melakukan perpindah antar wilayah maupun
kawasan. (Muta’ali, 2015). Menurut Tarigan (2015) tingkat aksesibilitas dipengaruhi oleh
jarak, kondisi prasarana hubungan, ketersediaan sarana penghubung termasuk frekuensinya dan
tingkat keamanan serta kenyamanan. Selain itu tingkat aksesibilitas juga bisa dilihat dari
ketersediaan sarana dan prasarana penghubung, pola penggunaan lahan, dan jarak (Miro 2004).
Menurut Sumaatmadja (1988) tingkat aksesibilitas suatu wilayah bergantung pada morfologi,
topografi, dan laut serta ketersediaan sarana dan prasarana pendukung untuk hubungan antara
daerah sekitarnya.
Pelayanan dengan kondisi arus bebas dan kecepatan tinggi, kepadatan lalu lintas sangat rendah
dengan kecepatan yang dapat dikendalikan oleh pengemudi, pengemudi dapat
mempertahankan besar kecepatan tanpa atau dengan sedikit hambatan
Pelayanan dengan kondisi arus stabil dan kecepatan mulai dibatasi kondisi lalu lintas;
kecepatan dan pengemudi masih mempunyai cukup kebebasan untuk memilih kecepatan dan
lajur jalan yang digunakan.
Pelayanan dengan kondisi arus yang stabil tetapi kecepatan dan pergerakan kendaraan
dikendalikan; kepadatan lalu lintas sedang karena hambatan internal lalu lintas meningkat.
Pada tingkat pelayanan ini pengemudi memiliki keterbatasan untuk memilih kecepatan.
Pelayanan dengan kondisi arus mendekati tidak stabil dengan volume lalu lintas tinggi dan
kecepatan masih ditoleransi; pengemudi memiliki kebebasan yang sangat terbatas dalam
menjalankan kendaraan;
Pelayanan dengan kondisi arus yang lebih rendah daripada tingkat pelayanan dengan volume
lalu lintas mendekati kapasitas jalan dan kecepatan sangat rendah; kepadatan dari lalu-lintas
yang tinggi karena hambatan internal lalulintas tinggi; pengemudi mulai merasakan
kemacetan-kemacetan durasi pendek.
6. Tingkat Pelayanan F (besarnya V/C >1)
Pelayanan dengan kondisi arus tertahan (macet); kepadatan lalu lintas sangat tinggi dan volume
rendah serta terjadi kemacetan untuk durasi yang cukup lama; besar kecepatan maupun volume
turun sampai dengan 0 (nol).
Jaringan bagi kegiatan industri memiliki fungsi yang sangat penting terutama dalam
rangka kemudahan mobilitas pergerakan dan tingkat pencapaian (aksesibilitas) baik dalam
penyediaan bahan baku, pergerakan manusia dan pemasaran hasil-hasil produksi. Sebagai jalur
distribusi bagi sebuah industri berarti untuk pergerakan dalam penyediaan baan baku dan
pemasaran hasil produksi. Menurut Permenperin No 35 Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis
Kawasan Industri, untuk pengembangan kawasan industri harus terlayani oleh jalan arteri
primer karena distribusi baik untuk bahan baku atau pemasaranan menggunakan kendaraan truk
container dan perlunya akses utama ke pelabuhan/bandara.
Ruang publik memiliki peranan penting dalam suatu perencanaan kota. Dalam Undang-Undang
RI Nomor 26 Tahun 2007 menjelaskan perlunya rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang
terbuka hijau dan nonhijau, penyediaan dan pemanfaatan sarana dan prasarana jaringan pejalan
kaki, angkutan umum, kegiatan sector informal dan ruang evakuasi bencana yang dibutuhkan
untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial dan ekonomi dan pusat
pertumbuhan wilayah. Sebagai kota industri diharapkan kegiatan manufaktur atau pengolahan
dapat meningkatkan PDRB suatu pada wilayah kota tersebut dan dapat menjadi pemicu
pertumbuhan bagi wilayah disekitarnya. Pentingnya ruang public dalam perencanaan kota
diuraikan oleh Darmawan (2003) bawa fungsi ruang publik adalah sebagai berikut:
Ruang terbuka publik di perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau/
ruang. Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka suatu
wilayah perkotaan yang diisi oleh pohon, tanaman dan vegetasi guna mendukung manfaat
ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi
(kesejahteraan) bagi masyarakatnya. Ruang terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang
diperkeras (paved) maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai, danau,
maupun areal-areal yang diperuntukkan sebagai genangan retensi (Dwiyanto, 2009).
Penyediaan ruang terbuka bergantung kepada luas lahan dan jumlah penduduk yang dilayani.
Berdasarkan SNI 03-1733-2004 Tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan syarakat dan
kriteria penyediaan ruang terbuka publik adalah sebagaimana dalam tabel berikut
Permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan
perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum serta mempunyai penunjang
kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan (UU No. 1 Tahun 2011
Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman). Sementara kawasan permukiman adalah
lingkungan hunian yang bukan hanya sekedar rumah atau perumahan tetapi mencakup segala
fasilitas dan kelengkapan untuk memenuhi kebutuhan social dan mencari nafkah (Sadana, 2014)
a. Terdapat permukiman berskala kecil maupun besar dengan kepadatan yang beragam.
b. Harga lahan yang cenderung rendah.
c. Tersedia aksesibilitas berupa jaringan jalan menuju pusat kota.
d. Akses menuju pusat kota masih terbatas.
Pengembangan permukiman pada daerah pinggiran kota sejalan dengan Peraturan Menteri
No 40 Tahun 2016 tentang pedoman teknik kawasan industri yang menyatakan bahwa jarak
ideal permukiman terhadap industri yaitu minimal 2 km dari lokasi kegiatan industri.
penempatan lokasi permukiman pada jarak 2 km bertujuan untuk meminimalisasikan dampak
kegiatan industri terhadap permukiman. Akan tetapi dalam kenyataannya pengembangan
permukiman pada sekitar kawasan industri berada kurang dari 2 km dari kawasan industri. Suatu
lokasi dipilih sebagai lokasi bermukim tentu terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi
pemilihan lokasi tersebut. Rees (dalam Hermawan, 2010) menjelas faktor-faktor preferensi
bermukim antara lain: (1) status social ekonomi (ditinjau dari tingkat pendidikan, jenis
pekerjaan dan jumlah penghasilan), (2) nilai atau harga, kualitas dan tipe rumah, (3) lingkungan
sosial masyarakat, (4) aksesibilitas dan ketersediaan sarana dan prasarana. Sementara Turner
(dalam Hermawan, 2010) berpendapat bawa manusia cenderung melihat (1) nilai dan harga
rumah, (2) pelayanan sekitarnya, (3) kemudahan rumah dalam dipindanh tangan, (4) privasi
(meliputi status sosial) dan (5) kenyamanan.
Industri biasanya dikembangkan pada lahan hutan ataupun sawah yang dinilai kurang
produktif dalam segi ekonomi. Pengembangan industri pengembangan industri akan memberi
multiplier effect terhadap kawasan sekitarnya di antaranya terjadi peningkatan harga jual tanah
yang berlipat, sistem infrastruktur yang terbangun lebih baik dan nyaman, timbulnya
pemukiman baru. Hal ini terjadi perubahan lahan yang cukup signifikan dan dari segi ekonomi
perubahan guna lahan seperti ini menjadi menguntungkan. Namun biasanya yang terjadi,
peningkatan ekonomi akibat perubahan lahan ini tidak dibarengi dengan kajian lingkungan
seimbang. Akibatnya terjadi peningkatan run-off sekaligus pengurangan daya tampung air
akibat lahan resapan hilang. Dampaknya yang terjadi adalah terjadinya banji (Kodoatie, 2010).
Selain daerah resapan yang semakin berkurang perkembangan kawasan industri juga akan
berdampak pada isu global saat ini yaitu terjadinya perubahan iklim dengan semakin memanas
nya suhu permukaan bumi. Masalah lingkungan akibat aktivitas manusia tidak hanya sebatas
pada perubahan iklim saja. Banyak kasus pengrusakan lingkungan akibat dari aktivitas industri
seperti pencemaran air, tanah, udara dan keanekaragaman hayati. Namun pencemaran-
pencemaran tersebut tidak mutlak hanya disebabkan oleh aktivitas industri tetapi dengan
tumbuh dan berkembangnya sektor industri juga telah memberikan kontribusi terhadap
pengrusakan lingkungan (Djajadiningrat, 2004). tabel berikut ini menunjukan beberapa sector
industri dan polusi yang memberi dampak terhadap lingkungan yang diperoleh dalam buku
Djajadiningrat (2004) :
Berdasarkan judul penelitian yang telah diambil yaitu integrasi kawasan industri Millenium
Kabupaten Tangerang dengan wilayah sekitarnya menuju kota industri. Maka dapat
dirumuskan variabel penelitian sebagai berikut:
Industrialisasi
Pertumbuhan Industri
.
Kota Industri
1. Pemisahan penggunaan
laan
2. Konektivitas antar guna
lahan Perkembangan
3. Aksesibilitas PenggunaanLahan
4. Ketersediaan ruang Industri
terbuka publik
5. Permukiman pada
kawasan pinggiran