Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN TEORI

Penelitian mengenai integrasi kawasan industri dengan wilayah sekitarnya merupakan


penelitian kuantitatif yang menggunakan teori teori terkait sebagai landasan dalam melakukan
penelitian. Untuk mengukur tingkat integrasi kawasan industri dan kawasan sekitaranya dalam
menuju kota industri, perlu mengetahui komponen integrasi keruangan secara umum dan
karakteristik kota industri. Kemudian karakteristik kota industri dikaji berdasarkan teori-teori
terkait. Setelah diketahui penjelasan terkait komponen integrasi kota industri maka tahap
selanjutnya merumuskan variabel dan sub variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini..

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Industri Integrasi

Kota Industri

Pemisahan Konektivitas Aksesibilitas Ruang Terbuka Permukiman Integrasi


penggunaan lahan dan Jalur Publik Keruangan
Distribusi

Integrasi Kawasan Industri Millenium Kecamatan Tigaraksa Kabupaten


Tangerang dengan Wilayah Sekitar Menuju Kota Industri

Sumber : Penulis 2018


2.1 Industri
2.1.1 Pengertian Industri

Menurut Winardi (1998) dalam Hismendi (2014) mendefinisikan industri sebagai sebuah
usaha produktif terutama dalam bidang produksi dan perusahaan tertentu menyelenggarakan
jasa-jasa seperti transportasi atau perkembangan yang menggunakan modal atau tenaga kerja
dalam jumlah yang relatif besar.

Pengertian lain diambil dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
yang menyatakan bahwa industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang berupa
kegiatan mengolah bahan baku dan memanfaatkan sumberdaya sehingga menghasilkan barang
yang bermanfaat dan memiliki nilai jual tinggi. G.Kartasapoetra (1997) dalam Sulastri (2013)
berpendapat bahwa Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan
baku dan bahan setengah jadi barang yang nilainya lebih tinggi

2.1.2 Jenis-jenis industri

Berdasarkan pada Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik


Indonesia Nomor 257/MPP/Kep/7/1997, industri diklasifikasikan menurut besarnya jumlah
investasi, sebagai berikut:

a. Industri kecil dan menengah, merupakan jenis industri yang memiliki investasi
sampai dengan Rp. 5.000.000.000,00.
b. Industri besar, yaitu industri yang investasinya lebih dari Rp.5.000.000.000,00

Nilai investasi tersebut tidak termasuk nilai tanah dan bangunan tempat usaha. Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian mengelompokkan industri menjadi 3 jenis,
yaitu: industri kecil, industri menengah, dan industri besar. Sementara itu, Biro Pusat Statistik
(BPS) mengelompokkan industri menjadi 4, yaitu:

a. Industri besar, yaitu industri yang menggunakan tenaga kerja 100 orang atau lebih.
b. Industri sedang, yaitu industri yangg menggunakan tenaga kerja 20-99 orang.
c. Industri kecil, yaitu industri yang menggunakan tenaga kerja 5-19 orang.
d. Industri kerajinan rumah tangga, yaitu industri yang menggunakan tenaga kerja 1-4
orang
Wigjosoebroto (2004) dalam Sutanta (2010) mengklasifikasikan jenis-jenis industri
berdasarkan pada aktifitas-aktifitas umum yang dilaksanakan, sebagai berikut:
a. Industri penghasil bahan baku (the primary row-material industry), yaitu industri
yang aktifitas produksinya mengolah sumber daya alam guna menghasilkan bahan
baku maupun bahan tambahan lainnya yang dibutuhkan oleh industri penghasil
produk atau jasa. Industri tipe ini umum dikenal sebagai “ekstrative/ primary
industry”. Contoh: industri perminyakan, industri pengolah bijih besi, dan lain-lain.
b. Industri manufaktur (the manufacturing industries), adalah industri yang
memproses bahan baku guna dijadikan bermacam-macam bentuk/model produk,
baik yang berupa produk setengah jadi (semi manufactured) ataupun yang sudah
berupa produk jadi (finished goods product). Disini akan terwujud suatu
transformasi proses baik secara fisik ataupun kimiawi terhadap input material dan
akan memberi nilai tambah yang lebih tinggi terhadap material tersebut. Contoh:
industri permesinan, industri mobil, industri tekstil, dan lain-lainnya.
c. Industri penyalur (distribusition industries), adalah industri yang memiliki fungsi
untuk melaksanakan proses distribusi baik untuk row material maupun finished
goods product. Row materials maupun finished goods product (manufactured
goods) akan didistribusikan dari produsen ke produsen yang lain dan dari produsen
ke konsumen. Operasi kegiatan ini meliputi aktifitasaktivitas buying dan selling,
storing, sorting, grading, packaging, dan moving goods (transportasi).
2.2 Kawasan Industri

Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun


1996, dalam pembangunannya mempunyai bentuk fisik yang mencakup unsur (1) lahan, (2)
prasarana, sarana penunjang, (3) pengelolaan kawasan industri, (4) tata tertib kawasan industri,
(5) izin AMDAL (Analisis mengenai dampak lingkungan), (6) izin usaha kawasan industri.
Lahan bagi peruntukan industri harus mempertimbangkan kesesuaian dengan tata ruang
daerah yang berlaku dan daya dukung lahan pada Kawasan tersebut. Kemudian dalam
penentuan lahan bagi Kawasan industri tidak diperbolehkan untuk membuka lahan pada
kawasan pertanian.

Selanjutnya UNIDO (1978:6) dalam Dirdjojuwono (2004) mendefinisikan Kawasan


Industri (Industrial Estates) adalah sebidang lahan yang dipetak-petak sedemikian rupa sesuai
dengan rancangan menyeluruh, dilengkapi dengan jalan, kemudahan-kemudahan umum
(public utilities) dengan atau tanpa bangunan pabrik, yang diperuntukkan bagi pengarahan
industri dan dikelola secara khusus (full timer). Dalam kawasan Industri akan dibagi menjadi
zona industri dan area industri. Dalam kawasan indsutri, zona industri dan area industri terbagi
3 (tiga) unsur utama kegiatan produksi yaitu: (a) modal (investasi) (b) tenaga kerja
(wiraswasta) (c) pengusaha (wiraswasta) di bidang investasi; ketiganya dapat mengubah
struktur ekonomi daerah menjadi lebih industrial dan produktif.

Kawasan industri adalah suatu daerah yang didominasi oleh kegiatan industri yang
mempunyai fasilitas kombinasi terdiri dari peralatan-peralatan pabrik (industrial plants),
sarana penelitian dan laboratorium untuk pengembangan, bangunan perkantoran, bank, serta
fasilitas sosial dan fasilitas umum (Dirdjojuwono 2004).
Kawasan industri memerlukan lahan khusus yang memang diperuntukan untuk peruntukan
industri. Sebagaimana prinsip pengembangan kawasan industri berdasarkan Permenperin No.
35/M-IND/PER/3/2010 dalam pengembangan kawasan industri harus sesuai dengan peraturan
tata ruang yang berlaku dengan kondisi topografi yang relatif datar. topografi/kemiringan
tanah kawasan industri maksimal 15%. Lahan bagi peruntukan industri harus
mempertimbangkan kesesuaian dengan tata ruang daerah yang berlaku dan daya dukung lahan
pada kawasan tersebut. Penentuan lahan bagi Kawasan industri tidak diperbolehkan untuk
membuka lahan pada kawasan pertanian.

Menurut Adisasmita (2015) sebuah kota yang berkembang ditandai dengan penngkatan
kebutuhan lahan karena peningkatan jumlah penduduk. Penduduk yang bertambah banyak,
berarti kebutuhan mereka akan bertambah banyak yang berakibat pada peningkatan
penyediaan sarana dan prasarana untuk melayani aktivitas penduduk. Jika dikaitkan dengan
kawasan industri berarti perkembangan kawasan industri dicirikan dengan adanya peningkatan
penggunaan lahan industri (jumlah industri), dan peningkatan sarana dan prasarana kawasan
industri. Perkembangan suatu kawasan industri ditandai dengan bertambahnya pemanfaatan
sumber dayanya (sumber daya manusia, alam, dan modal) (Abdullah, 2010). Dalam konteks
ini berarti perkembangan industri dapat dilihat melalui peningkatan jumlah industri,
bertambahnya penggunaan lahan industri, dan peningkatan sumberdaya manusia yang
bergerak dibidang industri. Pernyataan ini diperkuat oleh Dirdojuwono (2004) menyatakan
perkembangan industri dapat dilihat melalui tiga indikator peningkatan investasi industri,
peningkatan jumlah industri, dan peningkatan jumlah tenaga kerja industri.

Tabel . Sintesa perkembangan kawasan industri


Adisasimita (2015) Abdullah (2010) Dirdojuwono (2004) Sintesa
Peningkatan jumlah Peningkatan jumlah Peningkatan jumla Peningkatan jumlah
penduduk (dalam industri pekerja pekerja pekerja
jumlah pekerja)
Peningkatan penyediaan
sarana prasarana
Peningkatan penggunaan Bertambahnya Peningkatan
lahan penggunaan lahan penggunaan lahan
industri industri (termasuk
Bertambah jumlah Pertumbuhan jumla penambaan jumlah
industri industri industri
Penngkatan investasi
Sumber : Adisasmita (2015), Abdullah (2010), Dirdojuwono (2004)
2.3 Integrasi

Pengertian integrasi diperoleh dari teori yang disampaikan Widjaja (1986:110) integrasi
merupakan sebuah keserasian satuan-satuan yang terdapat dalam suatu sistem, dan bukan
penyeragaman, namun merupakan satuan-satuan yang sedemikian rupa serta tidak merugikan
masing-masing satuan, saling mendukung satuan serta masih memiliki identitas masing-
masing dan saling menguntungkan. Sejalan dengan itu, Hendropuspito (1989:65) dalam Astri
and Hariyati (2013) berpendapat, bahwa secara umum integrasi diartikan sebagai pernyataan
secara terencana dari bagian bagian yang berbeda menjadi satu kesatuan yang serasi.
Pengertian tersebut kemudian dijelaskan spesifikasikan kedalam integrasi keruangan yang
merupakan penyusunan ruang menyangkut hubungan antara ruang untuk mewadahi suatu
kegiatan dan penggabungan dari berbagai kegiatan dalam suatu ruang dengan batas antara
kegiatan tersebut disamarkan (Alvanti 2009). ESDP menerangkan konsep integrasi keruangan
dengan interaksi dalam sebuah area dan terdapat kerja sama dalam setiap kegiatan serta
menunjukan adanya konektivitas antar sistem transportasi dalam skala geografis (ESDP 1999)

Tabel 2.1 Sintesa Komponen Integrasi


Widjaja (1986) Alvanti (2009) Sintesa
Kesatuan sistem yang serasi Pengabungan kegiatan Penggabungan kegiatan
yang serasi
Hubungan saling Hubungan antar ruang Hubungan antar ruang
menguntungkan yang saling
menguntungkan
Sumber : Widjaja (1986), Alvanti (2009)
2.4 Kota Industri

Kota industri merupakan sebuah wilayah terintegrasi yang menggabungkan kawasan


industri, kawasan hunian, dan kawasan komersial dengan konsentrasi kegiatan penduduk yang
tinggi. (Yayat, 2017). Sementara menurut Harris (2009) kota industri (industrial city) adalah
sebuah wilayah perkotaan dimana kegiatan pengolahan atau manufaktur mendominasi
perekonmian lokal yang akan berdampak pada lingkungan dan hubungan social
masyarakatnya. Konsep ini pertama kali dicetus oleh Tony Garnier (1917) beliau mendesain
kota industri Plateau di sebelah tenggara Negara Perancis. Beliau menetapkan (1) pemisahan
penggunaan lahan berdasarkan fungsinya. Zona tersebut yaitu kawasan hunian, industri, ruang
publik dan pertanian. (2) Masing masing Kawasan dihubungkan dengan jaringan dan pola
sirkulasi baik dengan kendaraan maupun jalur pedestrian. (3) Zona hunian ditempatkan pada
lokasi yang ideal dan tidak terkena polusi dari kegiatan industri dan nyaman.(4) Zona industri
berada pada lokasi yang aksesibel baik untuk memperoleh sumberdaya ataupun transportasi.
(Wiebenson, 1960)

Robert Phelp (1995) yang mengilustrasikan konsep Modern Industrial City di Torrance,
California bahwa pengembangan kota industri di Torrance dalam perencanaan menggunakan
(1) pemisahan penggunaan lahan berdasarkan fungsinya yang mana kawasan hunian, bisnis dan
industri dipisahkan oleh tembok yang disebut border avenue dimana (2) masing masing distrik
dihubungkan oleh jalur sirkulasi jalan dan sarana transportasi. (3) Selain itu kawasan industri
Torrance ditempatkan pada lokasi yang aksesibel dan dapat dijangkau melalui jalan permukaan
maupaun rel kereta api dan (4) jalur sirkulasi untuk bahan bahan produksi industri dibedakan
dengan jalur komersial untuk mempermudah akses distribusi industri dan tidak mengganggu
sirkulasi perdagangan dan jasa yang lain. (5) Kemudian di Kota Torrance terdapat taman kota
yang dijadikan sebagai pusat bagi masyarakat untuk berkumpul dan bersosialisasi. Untuk
fasilitas bagi pekerja di kawasan industri Torrance juga menyediakan rumah sebanyak 2.500
untuk masyarakat yang bekerja di kawasan industri Torrance dengan manajemen pasar yang
diatur oleh pemilik industri untuk mencegah permukiman jatuh pada kepemilikan properti
individu ataupun pengembang serta agar harga rumah tetap terjangkau oleh pekerja. Bukan
hanya di fasilitasi permukiman akan tetapi (6) lokasi permukiman juga dibuat tidak searah
dengan arah angin dan industri agar polusi asap industri tidak mencapai pada zona permukiman.

Raymond & Neil (1972) juga mengilustrasikan pengembangan kota industri di U.S Steel di
Amerika Serikat yang didesain oleh Gary Indiana, seorang arsitek asal Amerika. Gary mendesai
kota industri U.S Steel pada tahun 1906 yang mana lokasi industri terpisah dengan kota dan
permukiman. Lokasi industri diposisikan dengan mempertimbangkan sumberdaya yang
dibutuhkan dengan industri dan terkoneksi dengan jaringan jalan atau rel kereta api. Rel kereta
api tersebut memudahkan U.S Steel untuk memperoleh bahan baku dari wilayah Chicago. Gary
juga membuat kawasan hunian untuk para pekerja industri yang dibagi berdasarkan
penghasilan dari karyawan tersebut.

Ilustrasi lain menjelaskan kawasan Neyveli di India oleh Prabhakar (2015), Neyveli
merupakan sebuah kota yang dibangun dekat lokasi penambangan oleh Neyveli Lignite
Corporation. Kota Neyveli di bangun pada ketinggian sekitar 87 mdpl. Neyveli adalah salah
satu kota modern dengan perencanaan di India. Wilayah permukiman dalam kota Neyveli
seluas 50 km2. Transportasi didalam kota terlayani dengan pelayanan bis, terhubung dengan
dua jalan raya yang mengelilingi kawasan Neyveli, dan terhubung dengan jaringan rel kereta
api. Kota Neyvely juga terfasilitasi oleh jaringan listrik, air, kesehatan, sanitasi, dan taman.

Prabhakar (2015) juga menggambarkan kota industri di Jhamsedpur, India. Jhamsedpur


merupakan kota pertama di India yang dikembangkan sebagai kota industri. Kota Jhasedpur
terletak diantara pertemuan dua aliran sungai dan Jhamsedpur memiliki kekayaan berupa bijih
besi, batubar, bauksit dan kapur. Jhamsedpur merupakan kota dengan aglomerasi perkotaan
terbesar dan memliki populasi penduduk paling besar di negara bagian Jharkhand. Dari segi
transportasi, kota ini memiliki konektivitas yang baik oleh rel kereta api dan jaringan jalan dan
terlayani bandara kecil untuk melayani mobilitas kota. Kota Jhamsedpur terlayani Jubilee Park
yang merupakan pemberian dari perusahaan industri Tata Steel untuk melayani masyarakat
pada kota tersebut.
Tabel 2.8 : Sintesa Teori Karakteristik Integrasi Kota Industri
Tony Ganier (1917) dalam
Phelp (1995) Raymond & Neil (1972) Prabhakar (2015) Sintesa
Wiebenson (1960)
Peraturan Pemisahan guna lahan Pemisahan guna lahan pada Gary mendesain U.S Steel Corporation pada
memisahkan hunian, industri dan Plateau, Perancis yaitu industri, lokasi yang terpisah dengan zona Pemisahan
bisnis oleh border avenue hunian, ruang publik, dan permukiman dan zona lain Penggunaan Lahan
pertanian
Masing masing distrik di Masing masing distrik Terhubung oleh
hubungkan dengan jaringan jalan dihubungkan oleh jaringan jalan Konektivitas antar
jaringan transportasi
dan pola sirkulasi kendaraan ataupun pendestrian guna lahan
(jalan/rel)
Kawasan Industri berada pada Kawasan Industri berada pada Lokasi U.S Steel Corporation aksesibel
lokasi yang aksesibel dengan zona aksesibel baik tranportasi dengan mempertimbangkan bahan baku dan Aksesibilitas
jalan dan jalur kereta api maupun sumber daya jaringan untuk memperolehnya

Terfasilitasi
infrastruktur dasar
permukiman dan
industri
Torrance menanam 100.000 Zona publik terdiri dari bangunan
pohon untuk digunakan sebagai pemerintah, museum, dan ruang Ketersediaan ruang
Menyediakan taman
taman yang menjadi taman kota pameran dan struktur besar untuk terbuka sebagai
atau ruang terbuka
olahraga dan teater zona publik
Pemisahan jalur untuk distribusi Pemisahan jalur
industri dan komersial untuk distribusi
industri dan
komersial
Permukiman dilokasikan pada Permukiman terletak di daerah Gary Land merancanag permukiman berada
Permukiman berada di
lokasi yang aman dari dampak yang tidak terganggu oleh industri jauh dari zona industri/pabrik
area peri-peri Kawasan
industri Permukiman berada
industri yang terpisah
Terdapat manajemen pengelolaan Manajemen pengelolaan hunian dikelola pada pinggiran
dengan Kawasan indu
hunian pekerja oleh pihak industri oleh pihak pengembang Gary Land
stri
Company
Sumber : phelp (1995), Wiebenson (1960), Raymond dan Neil (1972), Prabhakar(2015)
2.5 Pemisahan Penggunaan Lahan
Pengertian lahan berbeda dengan tanah. tanah lebih mengarah pada tubuh tanah (soil) dan
materi tanah (materials) yang menekankan pada sifat fisik tanah secara kimiawi dan organik.
Sementara itu lahan lebih dikaitkan pada unsur pemanfaatan/peruntukan dari bentang tanah
dalam hal ini dipahami sebagai ruang (Sadyohutomo, 2006:8). Menurut Jayadinata
(1999:10) lahan merupakan tanah yang sudah ada peruntukannya dan umumnya dimiliki dan
dimanfaatkan oleh perorangan atau lembaga untuk dapat dikembangkan. Penggunaan lahan
merupakan segala campur tangan manusia, baik secara permanen maupun secara siklus
terhadap suatu kelompok sumberdaya alam dan sumber daya buatan, yang secara keseluruhan
disebut lahan, dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhannya baik secara
kebendaan maupun spiritual ataupun kedua-duanya (Malingreau, 1977). Kaiser et al (1995:
196) menguraikan beberapa perspektif yang harus diperhatikan dalam memahami penggunaan
lahan (land use), antara lain :
a. Lahan adalah ruang fungsional yang diperuntukkan untuk mewadahi beragam penggunaan.
dalam perspektif ini lahan mengakomodasi pertumbuhan kawasan yang didorong oleh
pertumbuhan penduduk dan ekspansi ekonomi.
b. Lahan sebagai setting dari sistem aktivitas.
c. Lahan sebagai komoditas, yang dimaksud lahan sebagai komoditas yaitu penggunaan lahan
harus memperhatikan kemampuan fisik alamiah dan daya dukungnya
d. Lahan sebagai sumber daya citra dan estetika kawasan.

Penggunaan lahan pada kawasan perkotaan diklasifikasikan menjadi beberapa jenis.


Menurut sadyohutomo (2006) penggunaan lahan pada kawasan perkotaan dibagi menjadi 7
jenis antara lain

a. Perumahan, berupa kelompok rumah sebagai tempat tinggal dengan sarana dan prasarana
lingkungannya.
b. Perdagangan, yaitu tempat transaksi barang dan jasa berupa bangunan pasar, toko,
pergudangan dan lain sebagainya.
c. Industri adalah kawasan untuk kegiatan proses pengolahan bahan-bahan baku menjadi
barang setengah jadi atau barang jadi.
d. Jasa, berupa kegiatan pelayanan perkantoran pemerintah, kesehatan, sosial budaya, dan
pendidikan.
e. Taman yaitu kawasan yang berfungsi sebagai ruang terbuka publik, hutan kota dan taman
kota.
f. Perairan adalah areal genangan atau aliran air permananen maupun musiman baik buatan
ataupun alami.
Perencanaan penataan ruang suatu kawasan sangat perlu memperhatikan perencanaan
penggunaan lahannya, karena pada hakikatnya pada suatu lahan di dalamnya terjadi interaksi
langsung antara aktivitas manusia dengan lingkungannya. Berbagai macam aktivitas manusia
seringkali mengakibatkan adanya ketidakseimbangan dalam penggunaan lahan. Sebagai contoh
perubahan penggunaan lahan yang mulanya kawasan pertanian berubah menjadi kawasan
industri akan membawa dampak terhadap lingkungan, transportasi dan sosial masyarakat
dikawasan sekitarnya.
Perencanaan penggunaan lahan perlu mempertimbangkan hal-hal yang demikian untuk
keberlanjutan lahan di suatu kawasan. Perencanaan tata guna lahan juga diperlukan agar fungsi-
fungsi kawasan dapat saling menunjang keberadaanya. Perencanaan penggunaan lahan juga
diharapkan mampu meminimalisasi bangkitan pergerakan dari satu tempat ke tempat lain
karena itulah perencanaan tata guna lahan tidak bias lepas dengan sistem transportasi
(Catanese, 1988).
Perencanaan penggunaan lahan merupakan proses inventarisasi dan penilaian keadaan,
potensi dan pembatas-pembatas dari suatu daerah tertentu dan sumberdayanya yang
berinteraksi dengan orang yang menaruh perhatian terhadap daerah tersebut dalam menentukan
kebutuhan-kebutuhan mereka, keinginan dan aspirasinya untuk masa mendatang (Soil
Conservation Society of America, 1982 dalam Sitorus, 2016). Perencanaan penggunaan lahan
terdapat pada rencana pola ruang.
Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16 Tahun 2009, rencana pola ruang
adalah rencana distribusi peruntukan ruang di dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan
ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya. Rencana pola ruang
berfungsi sebagai alokasi ruang untuk berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat dan
kegiatan pelestarian lingkungan dalam wilayah kota, sebagai pengatur keseimbangan dan
keserasian peruntukan ruang, sebagai dasar penyusunan indikasi program, sebagai dasar
pemberian izin pemanfaaran ruang pada wilayah kota. Penentuan distribusi penggunaan lahan
rencana pola ruang dirumuskan salah satunya berdasarkan daya dukung dan daya tampung
lahan. Penentuan penggunaan lahan tidak bisa hanya berdasarkan kebutuhan ruang tetapi juga
perlu membertimbangkan daya tamping dan daya dukung pada lahan tersebut. Rencana pola
ruang yang tepat akan memberikan manfaat pada keseimbangan dan keserasian pada
peruntukan ruang.

Membangun suatu kawasan sama halnya membangun suatu kota, hanya saja lebih spesifik
jenis kegiatannya. Oleh karena itu dalam mengembangkan kawasan industri perlu disediakan
kawasan permukiman dan kawasan komersial (Dirdojuwono, 2004). Menurut kamus tata ruang,
kegiatan komersial merupakan kegiatan yang mencerminkan suatu bentuk aktivitas
perdagangan di suatu kota yang meliputi aktivitas perdagangan retail dan pengusahaan jasa
skala lokal, pusat perbelanjaan skala regional serta daera hiburan, letaknya tidak selalu di
tengah-tengah kota dan memiliki pengaruh besar terhadap kegiatan ekonomi kota. (Soefaat,
1997). Sedangkan kawasan menurut UU No.24/1992 yaitu ruang yang merupakan kesatuan
geografis beserta segenap unsur yang terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek fungsional serta memilki cirri tertentu yang spesifik dan khusus. Jadi dapat
disimpulkan bahwa kawasan komersial merupakan suatu daerah atau wilayah yang difungsikan
sebagai tempat untuk aktivitas pergadagangan.

Permen PU No.41/PRT/M/2007 tentang pedoman kawasan budidaya mendefinisikan


kawasan peruntukan perdagangan dan jasa merupakan kawasan yang diperuntukan untuk
kegiatan perdagangan dan jasa, termasuk pergudangan, yang diharapkan mampu
mendatangkan keuntungan bagi pemiliknya dan memberikan nilai tambah pada satu kawasan
perkotaan. Zona komersial cenderung dikembangkan di sepanjang koridor jalan utama danzona
industri berada pada 60 meter dari jalan utama. Keadaan ini adalah untuk menjadikan zona
komersial sebagai zona penyangga antara industri dan permukiman (Dirdjojuwono, 2004).
Pola Penggunaan lahan industri dan komersial di Torrance, California

Sumber :City of Torrance, California, 2010

2.6 Konektivitas
Indikator aksesibilitas, konektivitas dan mobilitas merupakan indikator kesuksesan suatu
pembangunan infrastruktur transportasi yang terintegrasi (Herawati, 2017). Jumlah dan kualitas
prasarana perhubungan sangat mempengaruhi kemudahan pergerakan manusia, barang, dan
jasa antarwilayah. Dalam pengembangan kota industri transportasi menjadi sebuah kunci untuk
memperoleh bahan baku dan mendistribusikan hasil produksi industri (Catanese dan Snyder,
1992). Sejarah perkembangan kota industri menyebabkan adanya permasalahan dipusat kota
sehingga permukiman berpindah ke wilayah dipinggiran kota, dari sini transportasi/jaringan
jalan menjadi hal yang sangat penting untuk pergerakan manusia dan barang (Catanese dan
Snyder, 1992). Menurut Kansky dalam teori grafik, untuk mengukur kekuatan interaksi antar
wilayah melalui prasarana perhubungan ditentukan dengan indeks konektivitas. Jaringan jalan
merupakan salah satu dari elemen transportasi yang mampu menentukan tingkat konektivitas.
Dalam pengembangan suatu kota atau kawasan diperlukan jaringan jalan untuk
menghubungkan satu kawasan ke kawasan yang lain (Dirdojuwono, 2004). Indek konektivitas
adalah perbandingan antara jumlah satuan permukiman/penggunaan lahan dalam suatu wilayah
dengan jumlah jaringan sistem transportasi yang menghubungkan. Rumus indek konektivitas
oleh K.J. Kansky (dalam Muta’ali, 2015) adalah sebagai berikut

𝑒
𝛽=
𝑉

Keterangan : β = indeks konektivitas


e = jumlah jaringan jalan
V = jumlah satuan aktivitas / kegiatan (permukiman/penggunaan lahan lain)
2.7 Aksesibilitas dan Mobilitas

Faktor yang menjadi daya tarik dalam pengembangan kawasan industri adalah aksesibilitas.
(Sukandar, 2015). Jhon Black (1981) mengatakan bahwa aksesibilitas merupakan suatu ukuran
kenyamanan atau kemudahan pencapaian lokasi dan hubungannya satu sama lain, mudah atau
sulitnya lokasi tersebut dicapai melalui transportasi (Leksono dkk, 2010). Aksesibilitas diukur
melalui kemudahan waktu, biaya dan usaha dalam melakukan perpindah antar wilayah maupun
kawasan. (Muta’ali, 2015). Menurut Tarigan (2015) tingkat aksesibilitas dipengaruhi oleh
jarak, kondisi prasarana hubungan, ketersediaan sarana penghubung termasuk frekuensinya dan
tingkat keamanan serta kenyamanan. Selain itu tingkat aksesibilitas juga bisa dilihat dari
ketersediaan sarana dan prasarana penghubung, pola penggunaan lahan, dan jarak (Miro 2004).
Menurut Sumaatmadja (1988) tingkat aksesibilitas suatu wilayah bergantung pada morfologi,
topografi, dan laut serta ketersediaan sarana dan prasarana pendukung untuk hubungan antara
daerah sekitarnya.

Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan akesibilitas dipengaruhi oleh kondisi


prasarana perhubungan dan ketersediaan sarana transportasi (moda transportasi). Komponen
jarak dapat dikesampingkan apabila kondisi sarana dan prasarana transportasi baik dan mampu
menempuh suatu lokasi dengan waktu yang singkat. Jaringan jalan merupakan salah satu
prasarana transportasi. Aksesibilitas jaringan jalan sangat dipengaruhi oleh tingkat pelayanan
jalan. Tingkat pelayanan jalan akan memberikan gambaran kondisi lalulintas yang ada pada
suatu wilayah (Sutanta, 2010). Tingkat pelayanan jalan merupakan ukuran yang digunakan
untuk mengetahui kualitas ruas jalan tertentu dalam melayani arus lalulintas yang melewatinya
(Sukandar, 2015). Tingkat pelayanan jalan dapat dihitung dengan menggunakan Manual
Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI, 1997) dengan rumus sebagai berikut :
𝑉
𝑉𝐶𝑅 =
𝐶

Keterangan : VCR = Volume Capacity Ratio (nilai tingkat pelayanan)


V = Volume lalulintas (smp/jam)
C = Kapasitas Ruas Jalan (smp/jam)

Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 14 Tahun 2005 tentang Karakteristik


Tingkat Pelayanan adalah sebagai berikut

1. Tingkat Pelayanan A (besarnya V/C < 0,2 ).

Pelayanan dengan kondisi arus bebas dan kecepatan tinggi, kepadatan lalu lintas sangat rendah
dengan kecepatan yang dapat dikendalikan oleh pengemudi, pengemudi dapat
mempertahankan besar kecepatan tanpa atau dengan sedikit hambatan

2. Tingkat Pelayanan B (besarnya V/C = 0,21 – 0,44)

Pelayanan dengan kondisi arus stabil dan kecepatan mulai dibatasi kondisi lalu lintas;
kecepatan dan pengemudi masih mempunyai cukup kebebasan untuk memilih kecepatan dan
lajur jalan yang digunakan.

3. Tingkat Pelayanan C (besarnya V/C = 0.45 – 0.74)

Pelayanan dengan kondisi arus yang stabil tetapi kecepatan dan pergerakan kendaraan
dikendalikan; kepadatan lalu lintas sedang karena hambatan internal lalu lintas meningkat.
Pada tingkat pelayanan ini pengemudi memiliki keterbatasan untuk memilih kecepatan.

4. Tngkat Pelayanan D (besarnya V/C = 0,75 – 0,84)

Pelayanan dengan kondisi arus mendekati tidak stabil dengan volume lalu lintas tinggi dan
kecepatan masih ditoleransi; pengemudi memiliki kebebasan yang sangat terbatas dalam
menjalankan kendaraan;

5. Tingkat Pelayanan E (besarnya V/C = 0,85 – 1,00)

Pelayanan dengan kondisi arus yang lebih rendah daripada tingkat pelayanan dengan volume
lalu lintas mendekati kapasitas jalan dan kecepatan sangat rendah; kepadatan dari lalu-lintas
yang tinggi karena hambatan internal lalulintas tinggi; pengemudi mulai merasakan
kemacetan-kemacetan durasi pendek.
6. Tingkat Pelayanan F (besarnya V/C >1)

Pelayanan dengan kondisi arus tertahan (macet); kepadatan lalu lintas sangat tinggi dan volume
rendah serta terjadi kemacetan untuk durasi yang cukup lama; besar kecepatan maupun volume
turun sampai dengan 0 (nol).

Aksesibilitas juga dipengaruhi ketersediaan moda transportasi. Moda transportasi


memudahkan pergerakan manusia ataupun barang dalam suatu wilayah. Ketersediaan moda
transportasi (angkutan umum) akan memfasilitasi tenaga kerja industri untuk menuju kawasan
industri. Sarana transportasi merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan
industri, keadaan sarana transportasi yang memadai dapat mendukung kelancaran produksi dan
distribusi bagi industri (Suchaini, 2013).

2.8 Jalur Distribusi Industri

Jaringan bagi kegiatan industri memiliki fungsi yang sangat penting terutama dalam
rangka kemudahan mobilitas pergerakan dan tingkat pencapaian (aksesibilitas) baik dalam
penyediaan bahan baku, pergerakan manusia dan pemasaran hasil-hasil produksi. Sebagai jalur
distribusi bagi sebuah industri berarti untuk pergerakan dalam penyediaan baan baku dan
pemasaran hasil produksi. Menurut Permenperin No 35 Tahun 2010 tentang Pedoman Teknis
Kawasan Industri, untuk pengembangan kawasan industri harus terlayani oleh jalan arteri
primer karena distribusi baik untuk bahan baku atau pemasaranan menggunakan kendaraan truk
container dan perlunya akses utama ke pelabuhan/bandara.

2.9 Ruang Terbuka Publik

Ruang publik memiliki peranan penting dalam suatu perencanaan kota. Dalam Undang-Undang
RI Nomor 26 Tahun 2007 menjelaskan perlunya rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang
terbuka hijau dan nonhijau, penyediaan dan pemanfaatan sarana dan prasarana jaringan pejalan
kaki, angkutan umum, kegiatan sector informal dan ruang evakuasi bencana yang dibutuhkan
untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial dan ekonomi dan pusat
pertumbuhan wilayah. Sebagai kota industri diharapkan kegiatan manufaktur atau pengolahan
dapat meningkatkan PDRB suatu pada wilayah kota tersebut dan dapat menjadi pemicu
pertumbuhan bagi wilayah disekitarnya. Pentingnya ruang public dalam perencanaan kota
diuraikan oleh Darmawan (2003) bawa fungsi ruang publik adalah sebagai berikut:

a. Sebagai tempat interaksi, komunikasi masyarakat, baik formal maupun informal.


b. Sebagai ruang terbuka yang menampung koridor-koridor jalan yang menuju ke arah ruang
public tersebut sekaligus sebagai pembagi ruang fungsi bangunan disekitaranya serta ruang
untuk transit bagi masyarakat yang akan pindah ke arah tujuan lain.
c. Sebagai tempat kegiatan komersial masyarakat (PKL).
d. Sebagai paru-paru kota yang dapat menyegarkan kawasan tersebut.

Ruang terbuka publik di perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau/
ruang. Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka suatu
wilayah perkotaan yang diisi oleh pohon, tanaman dan vegetasi guna mendukung manfaat
ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi
(kesejahteraan) bagi masyarakatnya. Ruang terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang
diperkeras (paved) maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai, danau,
maupun areal-areal yang diperuntukkan sebagai genangan retensi (Dwiyanto, 2009).
Penyediaan ruang terbuka bergantung kepada luas lahan dan jumlah penduduk yang dilayani.
Berdasarkan SNI 03-1733-2004 Tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan syarakat dan
kriteria penyediaan ruang terbuka publik adalah sebagaimana dalam tabel berikut

Tabel : Kriteria sarana ruang terbuka perkotaan


Jumlah Luas lahan Standard Radius Kriteria lokasi dan
No Jenis Sarana
penduduk minimal (m2/jiwa) pelayanan penyelesaian
Taman/ tempat 250 250 1 100 Ditengah kelompok tetangga
1
main
Taman/ tempat 2.500 1.250 0,5 1.0000 Di pusat kegiatan lingkungan
2
main
Taman dan 30.000 9.000 0,3 Sebisa mungkin berkelompok
3
lapangan olahraga dengan sarana pendidikan
Taman dan 120.000 24.000 0,2 Terdapat dijalan utama, Sebisa
4 lapangan olahraga mungkin berkelompok dengan
sarana pendidikan
5 Jalur hijau 15 m Terletak menyebar
Kuburan / 120.000 Mempertimbangkan radius
6 pemakaman pencapaian dari area yang
umum dilayani
Sumber :SNI 03-1733-2004

2.10 Kawasan Permukiman

Permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan
perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum serta mempunyai penunjang
kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan (UU No. 1 Tahun 2011
Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman). Sementara kawasan permukiman adalah
lingkungan hunian yang bukan hanya sekedar rumah atau perumahan tetapi mencakup segala
fasilitas dan kelengkapan untuk memenuhi kebutuhan social dan mencari nafkah (Sadana, 2014)

Pemilihan lokasi permukiman perlu mempertimbangkan beberapa syarat agar tercipta


lingkungan masyarakat yang layak huni. Syarat-syarat pemilihan lokasi permukiman menurut
Kasjono (2010) dalam Sadana (2014) diantaranaya (1) tidak terganggu oleh polusi, (2) memberi
kemungkinan untuk berkembang, (3) mempunyai aksesibilitas baik, (5) mudah dan aman untuk
mencapai tempat kerja, dan (5) tidak berada dibawah permukaan air. Menurut Direktorat Jendral
Cipta Karya, dalam Surtiani (2006) lokasi kawasan permukiman yang layak antara lain tidak
terganggu oleh polusi (air, udara, suara), tersedia air bersih, memiliki kemungkinan untuk
perkembangan pembangunannya mempunyai aksesibilitas yang baik, mudah dan aman
mencapai tempat kerja, tidak berada dibawah permukaan air setempat, dan mempunyai
kemiringan rata-rata.

Revolusi industri menyebabkan kota-kota lebih berkembang dalam pembangunan.


Penduduk semakin padat dan meningkatnya polusi pada kota-kota industri menyebabkan
perkembangan permukiman ke daerah pinggiran kota (Catanese, 1988). Menurut Smith dalam
(Yunus, 1987) daerah pinggiran kota atau urban fringe adalah suatu wilayah yang terletak pada
lahan terbangun tetapi posisinya berada pada batas administrasi kota. Menurut Dirjen Penataan
Ruang (dalam Kharisma, 2017) daerah pinggiran kota memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Terdapat permukiman berskala kecil maupun besar dengan kepadatan yang beragam.
b. Harga lahan yang cenderung rendah.
c. Tersedia aksesibilitas berupa jaringan jalan menuju pusat kota.
d. Akses menuju pusat kota masih terbatas.

Pengembangan permukiman pada daerah pinggiran kota sejalan dengan Peraturan Menteri
No 40 Tahun 2016 tentang pedoman teknik kawasan industri yang menyatakan bahwa jarak
ideal permukiman terhadap industri yaitu minimal 2 km dari lokasi kegiatan industri.
penempatan lokasi permukiman pada jarak 2 km bertujuan untuk meminimalisasikan dampak
kegiatan industri terhadap permukiman. Akan tetapi dalam kenyataannya pengembangan
permukiman pada sekitar kawasan industri berada kurang dari 2 km dari kawasan industri. Suatu
lokasi dipilih sebagai lokasi bermukim tentu terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi
pemilihan lokasi tersebut. Rees (dalam Hermawan, 2010) menjelas faktor-faktor preferensi
bermukim antara lain: (1) status social ekonomi (ditinjau dari tingkat pendidikan, jenis
pekerjaan dan jumlah penghasilan), (2) nilai atau harga, kualitas dan tipe rumah, (3) lingkungan
sosial masyarakat, (4) aksesibilitas dan ketersediaan sarana dan prasarana. Sementara Turner
(dalam Hermawan, 2010) berpendapat bawa manusia cenderung melihat (1) nilai dan harga
rumah, (2) pelayanan sekitarnya, (3) kemudahan rumah dalam dipindanh tangan, (4) privasi
(meliputi status sosial) dan (5) kenyamanan.

Tabel. Sintesa faktor preferensi bermukim


Rees (dalam Turner (dalam ,
Sintesa
Hermawan, 2010) Hermawan, 2010)
Status sosial ekonomi Privasi Status sosial (tingkat
pendidikan, penghasilan, dan
jenis pekerjaan
. Harga rumah/lahan Nilai/harga rumah Harga rumah
Aksesibilitas Pelayananan Aksesibilitas
ketersediaan sarana Ketersediaan dan
prasarana keterjangkuan sarpras
Lingkungan sosial
masyarakat
Kenyamanan
Sumber : Hermawan, 2010
2.11 Dampak Kawasan Industri

Industri biasanya dikembangkan pada lahan hutan ataupun sawah yang dinilai kurang
produktif dalam segi ekonomi. Pengembangan industri pengembangan industri akan memberi
multiplier effect terhadap kawasan sekitarnya di antaranya terjadi peningkatan harga jual tanah
yang berlipat, sistem infrastruktur yang terbangun lebih baik dan nyaman, timbulnya
pemukiman baru. Hal ini terjadi perubahan lahan yang cukup signifikan dan dari segi ekonomi
perubahan guna lahan seperti ini menjadi menguntungkan. Namun biasanya yang terjadi,
peningkatan ekonomi akibat perubahan lahan ini tidak dibarengi dengan kajian lingkungan
seimbang. Akibatnya terjadi peningkatan run-off sekaligus pengurangan daya tampung air
akibat lahan resapan hilang. Dampaknya yang terjadi adalah terjadinya banji (Kodoatie, 2010).
Selain daerah resapan yang semakin berkurang perkembangan kawasan industri juga akan
berdampak pada isu global saat ini yaitu terjadinya perubahan iklim dengan semakin memanas
nya suhu permukaan bumi. Masalah lingkungan akibat aktivitas manusia tidak hanya sebatas
pada perubahan iklim saja. Banyak kasus pengrusakan lingkungan akibat dari aktivitas industri
seperti pencemaran air, tanah, udara dan keanekaragaman hayati. Namun pencemaran-
pencemaran tersebut tidak mutlak hanya disebabkan oleh aktivitas industri tetapi dengan
tumbuh dan berkembangnya sektor industri juga telah memberikan kontribusi terhadap
pengrusakan lingkungan (Djajadiningrat, 2004). tabel berikut ini menunjukan beberapa sector
industri dan polusi yang memberi dampak terhadap lingkungan yang diperoleh dalam buku
Djajadiningrat (2004) :

Tabel : Dampak industri terhadap lingkungan


Sektor Udara Air Tanah/Lahan
Kimia (industri Emisi dari berbagai Emisi dari kimia Buangan sampah dari
campuran, anorganik unsur kimia SO2, NOx, organic, suspense- proses kimia, endapan
dan organik, CO, CFS, VOCs dan suspensi padat, bahan- lumpur dan proses
eksplorasi minyak kimia organik, resiko bahan organic, dan pengolahan limbah
eksplorasi dan PCBs, resiko tumpahan
kebakaran produk-produk kimia
Pulp dan kertas Emisi SO2, NOx, CH4, Emisi dari suspensi
CO2, hydrogen padat, bahan-bahan
sulphide, mercaptans, organik, chlorinated
chlorine compound, oorganic subtances,
dioxins toxins (dioxins)
Semen, kaca dan Emisi debu semen Kontaminasi dari Kontaminasi terhadap
keramik proses penggunaan air tanah oleh logam dan
seperti minyak dan masalah pembuangan
logam berat sampah
Pertambangan logam Emisi debu dari proses Kontaminasi terhadap Gangguan-gangguan
dan mineral ekstraksi, penyimpanan air permukaan dan permukaan tanah dan
dan pengangkutan dan, tinggiya kandungan erosi, degradasi lahan
konsentrat besi asam air akibat oleh luas timbunan
kontaminasi logam ampas ampas
berbahaya
Besi dan baja Emisi SO2, NOx, Penggunaan air proses Lumpur dan residu
hydrogen sulphide, emisi dari material bahan material dan
PAHs, timah arsenic, organik, suspense masalah pembuangan
cadmium, debu dan padat, logam, dan lain- air yang
bahan-bahan lain lain mengkontaminasi
tanah.
Logam-logam non Emisi dari bahan-bahan Air pencucian yang Lumpur dari bahan
besi kimia SO2, NOx, CO, telah terkontaminasi pengolahan limbah
hydrogen sulfit, logam, gas-gas efluen,
hydrogen klorida, bahan-bahan padat,
aluminium arsenic, florin dan hidrokarbon
cadmium chromium,
tembaga, dll
Produksi dan Emisi debu dari proses Kontaminasi air Pengrusakan
pertambangan batu ekstraksi, permukaan dan permukaan tanah dan
bara penggudangan, dan groundwater oleh erosi, degradasi lahan
penggangkutan kandungan silica yang akibat ampas lumpur
batubara tinggi
Pengilangan minyak Emisi gas kimia, bau- Penggunaan cooling Sampah-sampah
dan produk-produk bauan, dan resiko water berbahaya, efluen
petroleum aktivitas ekplorasi dan pengolahan lumpur
kebakaran
Kulit dan Emisi dari debu debu Efluen dari berbagai Lumpur-lumpur krom
penyamakan kulit kulit dan gas penggunaan banyak
bahan-bahan toxit
Sumber : WHO, Geneva, 1997 dalam Djajadiningrat, 2004
2.12 Sintesa Variabel

Berdasarkan judul penelitian yang telah diambil yaitu integrasi kawasan industri Millenium
Kabupaten Tangerang dengan wilayah sekitarnya menuju kota industri. Maka dapat
dirumuskan variabel penelitian sebagai berikut:

Tabel 2.10 Variabel dan Sub Variabel Penelitian


Variabel Sub Variabel Indikator
Rencana penggunaan Ketersediaan rencana pemisahan penggunaan lahan
lahan untuk pemisahan dalam rencana penggunaan lahan pada kawasan
Pemisahan lahan
penggunaan lahan Penggunaan lahan Pola penggunaan lahan terpisah atau tidak
eksisting (pemisahan
penggunaan lahan)
Konektivitas antar Indeks konektivitas pada kawasan penelitian
guna lahan
Tingkat pelayanan Tingkat pelayanan jalan berdasarkan MKJI (1997)
Integrasi jalan
Aksesibilitas
kota industri Moda transportasi Keberadaan dan pelayanan sarana transportasi
angkutan umum umum
Ketersediaan ruang Ada atau tidak ruang terbuka publi pada kawasan
terbuka publik penelitian
Ketersediaan ruang Kondisi ruang terbuka Kondisi ruang terbuka publik pada kawasan
terbuka publik public penelitian (berdasarkan SNI 03-1733-2004)
Keterjangkauan ruang Keterjangkauan ruang terbuka public pada kawasan
terbuka publik penelitian
Permukiman pada Jarak lokasi permukiman dengan industri
kawasan pinggiran
Sumber : Peneliti, 2018
2.13 Kerangka Pemikiran

Industrialisasi

Pertumbuhan Industri
.

Kota Industri

Kawasan Kawasan Komersial Kawasan Industri


Permukiman

Integrasi Kota Industri

1. Pemisahan penggunaan
laan
2. Konektivitas antar guna
lahan Perkembangan
3. Aksesibilitas PenggunaanLahan
4. Ketersediaan ruang Industri
terbuka publik
5. Permukiman pada
kawasan pinggiran

Analisis Korelas dan Deskriptif

Integrasi Kawasan Industri Millenium Kecamatan Tigaraksa, Kabupaten Tangerang dengan


Wilayah Sekitar menuju Kota Industri

Gambar 1.4 : Kerangka pemikiran penelitian

Sumber : Peneliti, 2018

Anda mungkin juga menyukai