Anda di halaman 1dari 8

BUDIDAYA TALAS (Colocasia esulenta (L) Schoot) DIBAWAH TEGAKAN

POHON PERKEBUNAN

Pendahuluan

Kebutuhan terhadap bahan pangan yang semakin meningkat akibat pertumbuhan penduduk,
sulit dipenuhi hanya dengan mengandalkan produksi beras. Hal ini karena semakin
terbatasnya sumber daya lahan yang sesuai untuk pertanaman padi penghasil beras. Untuk itu
pangan alternatif seperti umbi talas perlu terus dikembangkan. Peluang pengembangan talas
sebagai bahan pangan berpati non beras, cukup besar dan terus didorong oleh pemerintah.
Penggunaannya sebagai bahan makanan dapat diarahkan untuk menunjang ketahanan pangan
nasional melalui program diversifikasi pangan disamping peluangnya sebagai bahan baku
industri yang menggunakan pati sebagai bahan dasarnya.

Talas (Colocasia esulenta (L) Schoot) atau talas bogor dibudidayakan hampir di seluruh
kepulauan nusantara dari tepi pantai sampai ke pegunungan, di atas 1000 meter dari
permukaan laut, baik liar maupun ditanam. Talas termasuk tumbuhan tegak yang memiliki
perakaran liar, berserabut dan dangkal. Batang yang tersimpan dalam tanah pejal, bentuknya
menyilinder (membulat), umumnya berwarna cokelat tua, dilengkapi dengan kuncup ketiak
yang terdapat diatas lampang daun tempat munculnya umbi baru, tunas (stolon). Daun
memerisai dengan tangkai panjang dan besar.

Luas lahan untuk pertanian yang semakin berkurang menyebabkan usaha peningkatan
produksi talas melalui ekstensifikasi agak sulit dilakukan, yang bisa dilakukan adalah
meningkatkan produktivitas lahan, diantaranya melalui sistem tumpangsari. Tumpangsari
merupakan penanaman dua atau lebih tanaman secara serentak pada sebidang lahan yang
sama dengan pengaturan jarak tanam tertentu (Gomez dan Gomez, 1983).

Penanaman tumpang sari menciptakan agroekosistem pertanaman yang komplek, mencakup


interaksi antara tanaman sejenis maupun berbeda jenis. Persaingan terjadi apabila masing-
masing dua atau lebih spesies tanaman memerlukan kebutuhan hidup yang sama (Haryadi,
1996). Metode tumpangsari dibawah tegakan pohon karet banyak memiliki kendala, salah
satu kendala yang paling penting adalah rendahnya intensitas cahaya yang diterima sehingga
menimbulkan efek naungan bagi tanaman talas, menyebabkan menurunkan produksi umbi,
sehingga diperlukan klon talas yang toleran terhadap naungan untuk pengembangannya.

Kendala budidaya talas dibawah tegakan tanaman perkebunan

Bertanam secara tumpangsari (sebagai tanaman sela) di bawah tegakan tanaman perkebunan
merupakan salah satu alternatif dalam budidaya talas ternaungi. Bertanam secara tumpangsari
merupakan bentuk modifikasi pertanaman ganda (Gomez dan Gomez, 1986). Di lahan tidur
di bawah tegakan karet belum menghasilkan (TBM) yang selama ini belum dioptimalkan
pemanfaatannya, talas dapat dikombinasikan sebagai tanaman sela. Menurut BPS (2000)
potensi lahan TBM yang dapat dimanfaatkan sekitar 1,5 juta hektar. Di Indonesia, teknik
budidaya tanaman sela di bawah tegakan tanaman perkebunan sudah lama dilakukan oleh
petani. Penanaman berbagai tanaman pangan di bawah tegakan karet sudah biasa dilakukan
oleh petani. Petani melakukan budidaya tanaman sela umumnya masih secara sampingan.
Penanaman talas sebagai tanaman sela pada lahan perkebunan dapat memberikan beberapa
manfaat yaitu (a) pemanfaatan lahan lebih efisien, (b) kebun dan tanamannya lebih
terpelihara dengan baik, (c) tersedianya pangan alternatif bagi petani dan (d) sebagai sumber
pendapatan petani sebelum tanaman utama menghasilkan. Namun demikian terdapat
beberapa kendala terutama adalah intensitas radiasi yang rendah, sebagai faktor pembatas
utama untuk pertumbuhan dan produksi talas sebagai tanaman sela.

Unsur radiasi matahari yang penting bagi tanaman ialah intensitas cahaya, kualitas cahaya,
dan lamanya penyinaran. Bila intensitas cahaya yang diterima rendah, maka jumlah cahaya
yang diterima oleh setiap luasan permukaan daun dalam jangka waktu tertentu rendah
(Gardner et al., 1991). Kondisi kekurangan cahaya berakibat terganggunya metabolisme,
sehingga menyebabkan menurunnya laju fotosintesis dan sintesis karbohidrat (Chowdury et
al., 1994 ; Sopandie et al., 2003). Pada sistem campuran dari berbagai jenis tanaman atau
mixed cropping (pohon dengan tanaman semusim, atau hanya pepohonan saja), maka setiap
jenis tanaman dapat mengubah lingkungannya dengan caranya sendiri. Sebagai contoh, jenis
tanaman yang bercabang banyak akan menaungi tanaman yang lain. Beberapa tanaman yang
jaraknya tidak terlalu dekat akan memperoleh keuntungan, prosesnya sering disebut dengan
‘facilitation’. Contohnya, pohon dadap yang tinggi dan lebar sebaran kanopinya memberikan
naungan yang menguntungkan bagi tanaman kopi. Contoh lain, jenis tanaman yang
berperakaran lebih dalam daripada yang lain sehingga lebih memungkinkan untuk menyerap
air dan hara dari lapisan yang lebih dalam. Dalam waktu singkat kondisi lingkungan di
sekitar tanaman akan berubah (ketersediaan hara semakin berkurang), sehingga akhirnya
akan menimbulkan kompetisi antar tanaman. Proses saling mempengaruhi, baik yang
menguntungkan maupun yang merugikan, antar komponen penyusun sistem campuran ini
(termasuk system agroforestri) sering disebut dengan ‘interaksi’.

Gambar 1. Interaksi tanaman tahunan dan tanaman semusim pada sistem agroforestri.
(sumber : http://makati24.blogspot.com/2012/05/bahan-kuliah-mk-sistem-agroforestri.html)

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap komoditas yang peka terhadap cahaya
menyebutkan yakni naungan 50% pada genotipe yang peka menyebabkan jumlah gabah per
malai kecil serta persentase gabah hampa yang tinggi, sehingga produksi biji rendah
(Sopandie et al., 2003). Cekaman naungan 50% menyebabkan hasil per hektar tanaman
kedelai menurun 10-40% (Handayani 2003). Intensitas cahaya rendah pada saat pembungaan
padi dapat menurunkan karbohidrat yang terbentuk, sehingga menyebabkan meningkatnya
gabah hampa (Chaturvedi et al., 1994). Intensitas cahaya rendah menurunkan hasil kedelai
(Asadi et al., 1997), jagung (Andre et al., 1993), padi gogo (Supriyono et al., 2000), ubi jalar
(Nurhayati et al., 1985), dan talas (Caiger, 1986 ; Wirawati et al., 2002). Banyak penelitian
yang terus dikembangkan untuk memanfaatkan lahan dibawah tegakan pohon perkebunan
dengan membuat suatu varietas tertentu yang toleran terhadap intensitas cahaya rendah.

Dari gambaran tersebut dapat dijelaskan bahwa pengembangan tanaman talas dihadapkan
pada berbagai kendala yang sangat kompleks sehingga, diperlukan klon talas yang berdaya
hasil tinggi dengan sifat toleran terhadap faktor biofisik dengan memanfaatkan area di bawah
tegakan pohon perkebunan.

Pengaruh cahaya terhadap pertumbuhan tanaman

Cahaya matahari merupakan energi utama di permukaan bumi, peranannya secara langsung
maupun tidak langsung sangat berpengaruh nyata bagi kehidupan di bumi. Cahaya yang
mengenai suatu permukaan sebagian akan diserap, dipantulkan dan sisanya diteruskan ke
bagian lain. Untuk mencapai suatu permukaan yang lebih rendah cahaya matahari banyak
mengalami rintangan seperti daun-daun yang berada lebih tinggi, akibatnya radiasi matahari
yang sampai pada bagian tanaman yang lebih bawah semakin berkurang.

Cahaya matahari mempunyai peran penting bagi pertumbuhan tanaman. Kualitas, lama
penyinaran dan intensitas cahaya matahari merupakan tiga komponen utama yang
mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Kualitas cahaya yang mempengaruhi laju
pertumbuhan baik pada fase vegetatif maupun generatif adalah cahaya tampak dengan
panjang gelombang 400 nm sampai 700 nm. Panjang gelombang pada kisaran tersebut
merupakan radiasi aktif untuk fotosintesis.

Lama penyinaran menunjukkan lamanya tanaman mendapat cahaya matahari dalam satu hari.
Intensitas merupakan jumlah radiasi per satuan luas per satuan waktu. Menurut Gardner,
Pearce dan Mitchell (1991), dari radiasi matahari yang diserap selama siang hari oleh
permukaan tanaman budidaya, 75 sampai 85% digunakan untuk menguapkan air, 5 sampai
10% menjadi cadangan bahan dalam tanah, 5 sampai 10% lain menjadi bahan pertukaran
dengan atmosfir bumi melalui proses konveksi dan 1 sampai 5% berfungsi dalam
fotosintesis.

Pada proses fotosintesis, cahaya matahari ditangkap klorofil untuk menghasilkan bahan baku
dan cadangan makanan bagi pertumbuhan tanaman. Selain itu produk fotosintesis juga
digunakan untuk memperbaiki struktur tubuh serta menghasilkan energi untuk respirasi.
Efisiensi tumbuhan dalam membagikan hasil fotosintesisnya ke bagian yang berbeda akan
berpengaruh terhadap hasil panen (Gardner et al 1991).

Fotosintesis dan respirasi adalah proses biokimia tanaman padi yang sangat ditentukan oleh
ketersediaan hara, air, cahaya serta keadaan cuaca maupun iklim. Laju fotosintesis sangat
bervariasi antar spesies tanaman, yang berhubungan dengan tempat adaptasi tanaman. Spesies
tanaman budidaya termasuk spesies tumbuhan yang paling efisien dalam memanfaatkan
cahaya (Gardner et al, 1991). Secara umum, fotosintesis dipengaruhi oleh peningkatan
intensitas cahaya. Laju fotosintesis bertambah dengan kenaikan intensitas cahaya sampai
tingkat tertentu pada saat daun-daun menjadi jenuh. Pada tingkat ini kecepatan fotosintesis
tidak tergantung pada intensitas cahaya.
Pertumbuhan dan produksi suatu tanaman adalah hasil fisiologi yang ada dalam tanaman.
Prosses fisiologi itu (fotosintesis, penyerapan air, translokasi, transpirasi, respirasi, asimilasi
karbon dioksida dan metabolisme nitrogen) secara langsung dipengaruhi oleh faktor luar
seperti tersedianya air, energi surya, CO2 di atmosfir, temperatur, tersedianya unsur hara dan
media tumbuh tanaman. Menurut Baharsjah (1980), cahaya matahari diperlukan untuk
berbagai aktivitas fisiologis tanaman seperti fotosintesis, pembungaan, membuka dan
menutupnya stomata. Oleh karena itu intensitas cahaya matahari sangat mempengaruhi
pertumbuhan dan hasil tanaman.

Pengaruh naungan terhadap produksi talas

Tanaman yang tumbuh di lingkungan bercekaman naungan sulit mengekspresikan


kemampuan genetiknya secara penuh untuk tumbuh, berkembang dan berproduksi dengan
baik. Respon varietas tanaman terhadap naungan beragam, ada varietas yang peka dan ada
varietas yang toleran. Tanaman toleran cekaman lingkungan yaitu tanaman yang masih
mampu berproduksi dengan baik walaupun ditanam pada kondisi tercekam, sedangkan
tanaman peka adalah tanaman yang mengalami stress bila ditanam pada kondisi tercekam
sehingga produksinya sangat menurun.

Tanaman talas tergolong tanaman perlu cahaya. Defisit cahaya pada tanaman talas dapat
berakibat fatal, yaitu terganggunya proses metabolisme yang berimplikasi kepada
tereduksinya laju fotosintesis dan turunnya sintesis karbohidrat, sehingga secara langsung
mempengaruhi tingkat produktivitas yang rendah di bawah naungan. Naungan 50% pada
talas mengakibatkan penurunan bobot kering umbi klon peka lebih tinggi dibandingkan
dengan klon toleran (Jukri dan Purwoko 2003). Pengaruh naungan tersebut juga terjadi pada
tanaman selain talas. Pada naungan 50% genotipe padi gogo yang toleran terhadap naungan
memiliki jumlah anakan dan jumlah gabah per malai yang lebih banyak, persentase gabah
hampa yang lebih kecil dan hasil relatif yang tinggi dari pada genotipe yang peka. Tingginya
hasil gabah dari genotipe yang toleran naungan di duga sangat terkait dengan kehampaan
gabah yang rendah, jumlah anakan produktif dan jumlah gabah/malai yang tinggi. Dugaan ini
dibuktikan dengan koefisien korelasi yang sangat nyata antara hasil (%) dengan persentase
gabah hampa berkisar -0,89, jumlah anakan produktif (0,83), dan jumlah gabah/malai (0,54).
Artinya makin rendah kehampaan dan makin tinggi jumlah anakan produktif serta jumlah
gabah/malai, maka semakin tinggi persentase hasil relatif (Sahardi 2000). Muhuria et al
(2006) melaporkan hasil penelitian pada tanaman kedelai dalam intensitas cahaya 50% terjadi
perubahan pada karakter daun meliputi: (1) meningkatnya luas daun spesifik, luas daun
trifoliat, kandungan klorofil a dan b, dan (2) berkurangnya kepadatan trikoma, ketebalan
daun, panjang lapisan palisade, dan nisbah klorofil a/b. Perubahan tersebut merupakan
mekanisme untuk efisiensi penangkapan cahaya.

Mekanisme adaptasi tanaman terhadap naungan

Mekanisme adaptasi terhadap stress lingkungan terdiri dua yaitu penghindaran (aviodance)
dan toleransi (Levit, 1980). Pada stress cahaya rendah, mekanisme penghindaran meliputi
karakter tanaman untuk mendapatkan cahaya lebih banyak, sedangkan mekanisme toleransi
meliputi karakter tanaman untuk dapat memanfaatkan intensitas cahaya rendah dengan
efisien. Menurut Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa mekanisme adaptasi tanaman
terhadap naungan adalah dengan cara menurunkan titik kompensasi cahaya dan
memperlambat fotosintesis jenuh pada tingkat radiasi yang rendah. Tanaman tersebut secara
bertahap mengembangkan kemampuan untuk tumbuh pada kondisi ternaungi walaupun
pertumbuhannya lambat. Dengan demikian tanaman yang tumbuh di bawah naungan
memperlihatkan karakter morfologi dan anatomi berbeda. Mekanisme adaptasi tersebut dapat
dilakukan dengan perbaikan karakter morfologi dan fisiologi tanaman.

Adaptasi anatomi dan morfologi tanaman

Dari sudut ini, karateristik tanaman yang beraklimatisasi terhadap intensitas cahaya rendah
telah dijelaskan oleh Anderson (1986). Daun tanaman yang ternaungi akan lebih tipis dan
lebar daripada daun yang ditanam pada areal terbuka yang disebabkan oleh pengurangan
lapisan palisade dan sel-sel mesofil. Daun yang lebar dan tipis memungkinkan penangkapan
cahaya lebih banyak dan diteruskan ke bagian daun yang lebih bawah dengan cepat sehingga
kegiatan fotosintesis berlangsung maksimal. Perubahan karakter tersebut diduga merupakan
bentuk mekanisme penghindaran terhadap cahaya rendah. Sebagaimana Evans dan Poorter
(2001) menjelaskan respon menghindar (shade avoidance response) tanaman yang
mengalami cekaman intensitas cahaya rendah dilakukan dengan memaksimalkan
penangkapan cahaya dengan cara perubahan anatomi dan morfologi daun untuk fotosintesis
yang efisien, yaitu daun tanaman yang ternaungi menjadi lebih tipis dan luas permukaan daun
menjadi lebih lebar sehingga jaringan pemanen cahaya menjadi lebih lebar. Menurut Taiz dan
Zeiger (1991); Khumaida (2002) penipisan daun disebabkan oleh berkurangnya lapisan
palisade pada sel mesofil daun.

Intensitas cahaya juga mempengaruhi bentuk dan anatomi daun termasuk sel epidermis dan
tipe sel mesofil. Perubahan tersebut sebagai mekanisme untuk pengendalian kualitas dan
jumlah cahaya yang dapat dimanfaatkan oleh kloroplas daun. Selain itu, anatomi daun seperti
ukuran palisade, klorofil dan stomata sangat menentukan efisiensi fotosintesis (Sahardi,
2000).

Intensitas cahaya rendah menyebabkan kerapatan trikoma berkurang. Kondisi ini sangat
menguntungkan tanaman karena jumlah cahaya yang akan direfleksikan oleh adanya trikoma
akan menjadi sedikit (Muhuria L.et al, 2006). Dengan demikian, semakin sedikit jumlah
trikoma akan semakin baik bagi tanaman karena akan semakin efisien dalam menangkap
cahaya. Data ini menunjukkan bahwa pengurangan trikoma merupakan salah satu mekanisme
yang dibentuk tanaman untuk mengefisienkan penangkapan cahaya.

Perubahan Kandungan klorofil daun.

Pada keadaan normal, aparatus fotosintetik termasuk klorofil mengalami proses kerusakan,
degradasi dan perbaikan. Proses perbaikan ini bergantung pada cahaya, sehingga bila
tanaman dinaungi kemampuan ini akan menjadi terbatas. Kekuatan melawan degradasi ini
sangat penting bagi adaptasi terhadap naungan, yaitu dengan meningkatkan jumlah kloroplas
perluas daun dan dengan peningkatan jumlah klorofil pada kloroplas.

Hasil pengukuran intensitas kehijauan daun menggunakan Klorofil meter (FJK Chlorophyll
Tester dan SPAD-502) menunjukkan bahwa daun yang menerima intesitas cahaya rendah
mengalami peningkatan kehijauan. Warna hijau pada daun terikat erat dengan kandungan
klorofil sehingga dapat diduga bahwa peningkatan intensitas kehijauan merupakan gambaran
adanya peningkatan kandungan klorofil. Dugaan ini diperkuat oleh adanya korelasi yang kuat
antara intensitas kehijauan dengan kandungan klorofil. Dengan demikian dapat diperkirakan
bahwa meningkatnya intensitas kehijauan merupakan mekanisme yang dibangun tanaman
agar dapat menangkap dan menggunakan cahaya secara efisien (Soepandie et al, 2006).
Perubahan Fisiologi dan biokimia.

Naungan menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia, salah satu diantaranya perubahan
kandungan N daun, kandungan rubisco dan aktivitasnya. Rubisco adalah enzim yang
memegang peranan penting dalam fotosintesis yaitu yang mengikat CO2 dan RuBP dalam
siklus Calvin yang menghasilkan 3-PGA. Intensitas cahaya mempengaruhi aktivitas rubisco
dimana naungan menyebabkan rendahnya aktivitas rubisco.

Intensitas cahaya merupakan faktor untuk mengatur distribusi N diantara daun-daun pada
posisi yang berbeda. Intensitas cahaya rendah pada saat pembungaan pada padi menyebabkan
penurunan karbohidrat, protein, auksin, prolin, dan sitokinin namun, kandungan giberelin dan
N terlarut pada malai meningkat. Sterilitas yang tinggi dalam kondisi cahaya rendah
disebabkan gangguan metabolisme N dan akumulasi N terlarut dipanikel yang menyebabkan
gangguan dalam pengisian biji (Chaturvedi et al 1994).

Peran fisiologi dalam meningkatkan produktivitas tanaman talas pada lahan dibawah
tegakan pohon karet

Cara yang efektif dan efisien untuk menaikkan produksi tanaman secara berkelanjutan adalah
meningkatkan ketepatan pemilihan komponen teknologi dengan memperhatikan kondisi
lingkungan abiotik dan biotik serta pengelolaan lahan yang optimal termasuk pemanfaatan
residu dan sumberdaya yang ada setempat. Sejauh ini teknik budidaya yang cukup
berkembang adalah tanaman sela di wilayah perkebunan maupun perhutanan pada waktu
tanaman pokok masih kecil dan kanopi belum menutup. Namun, teknik budidaya ini secara
umum produksinya menurun.

Tanaman yang tumbuh di bawah naungan memperlihatkan karakter morfologi dan fisiologi
yang berbeda dengan tanaman tanpa naungan. Anatomi dan morfologi berubah sebagai
respon adaptasi terhadap perubahan penyinaran. Untuk pengembangan tanaman talas sebagai
tanaman sela perlu upaya perbaikan varietas yang toleran terhadap naungan dengan daya
hasil yang tinggi. Kemampuan tanaman untuk beradaptasi terhadap kondisi lingkungan
spesifik akan ditentukan oleh sifat genetik tanaman. Ketersediaan keragaman genetik akan
menentukan keberhasilan program pemuliaan untuk toleransi terhadap naungan. Oleh karena
itu perlu mencari karakter-karakter anatomi dan morfologi yang berkaitan erat dengan
toleransi naungan.

Luas daun dan kandungan klorofil daun talas erat kaitannya dengan produksi talas yang
ditanam secara tumpangsari. Talas yang ditanam secara tumpangsari di bawah tegakan karet,
tinggi rendahnya produksi yang dihasilkan antara lain tergantung sifat toleransi talas terhadap
kondisi intensitas cahaya rendah. Berkaitan dengan rendahnya intensitas cahaya matahari di
bawah tegakan karet, perlu mengungkap kandungan klorofil dan luas daun kaitannya dengan
produksi talas bila ditanam sebagai tanaman sela dibawah tegakan karet, sehingga
mendapatkan klon talas yang toleran atau peka terhadap naungan, selanjutnya akan
menambah koleksi plasma nutfah talas.

Tanaman akan melakukan penyesuaian untuk mengefisienkan penangkapan energi cahaya


yaitu dengan meningkatkan luas daun agar terpenuhi kebutuhan cahaya yang aktif dalam
proses fotosintesis. Bentuk penyesuaian lain adalah meningkatnya tinggi tanaman dan kadar
klorofil a dan b (Lambers et al., 1998). Klorofil b berfungsi sebagai antena fotosintetik yang
mengumpulkan cahaya. Peningkatan kadar klorofil b tanaman yang ternaungi berkaitan
dengan peningkatan protein klorofil sehingga akan meningkatkan efisiensi fungsi antena
fotosintetik pada Light Harvesting Complex II (LHC II) yang dicirikan dengan membesarnya
antena pada fotosistem II (Hidema et al, 1992). Perubahan ukuran luas daun serta kadar
klorofil a dan b akibat pengaruh naungan tanaman karet, erat kaitannya dengan perubahan
bobot basah umbi dan bobot kering umbi.

Djukri 2006 melaporkan efek dari tumpangsari talas dengan tanaman karet yang belum
menghasilkan (TBM) menyebabkan perubahan kandungan klorofil, luas daun, dan produksi
talas. Peningkatan kadar klorofil b yang lebih tinggi dari pada klorofil a merupakan upaya
tanaman mengefisiensikan penangkapan energi cahaya untuk fotosintesis, namun belum
mampu mengatasi penurunan hasil (bobot basah dan bobot kering umbi). Pada budidaya
tumpangsari talas dengan tanaman karet menunjukkan peningkatan luas daun pada daun talas,
hal ini dikarenakan pada keadaan ternaungi spektrum cahaya yang aktif dalam proses
fotosintesis (panjang gelombang 400-700 nm) menurun. Tanaman akan melakukan
penyesuaian untuk mengefisienkan penangkapan energi cahaya yaitu dengan meningkatkan
luas daun agar terpenuhi kebutuhan cahaya yang aktif dalam proses fotosintesis.

Penutup

Produksi tanaman talas pada lahan dibawah tegakan pohon dapat ditingkatkan melalui
optimalisasi peran fisiologi untuk memperbaiki potensi hasil dan adaptasi tanaman pada
lahan cekaman tersebut. Dengan diperolehnya informasi karakter agronomi dan morfologi
yang berkaitan erat dengan toleransi terhadap naungan, dapat dimanfaatkan oleh pemulia
tanaman dalam pembentukan varietas unggul yang toleran terhadap naungan.

Daftar Pustaka

Andre FH, Uhart SH, Frugone MI. 1993. Intercepted Radiation at Flowering and Kernel Number in
Maize: Shade versus Plant Density Effects. Crop Sci 33: 482-485.
Anderson JM, Chow WS, Park YI. 1995. The grand design of photosynthesis acclimation of the
photosynthetic apparatus to environtmental cues. Photosynthesis Rss. 46:129-139 (1986)
Asadi D, Arsyad M, Zahara H, Darmijati. 1997. Pemuliaan Kedelai untuk Toleran Naungan dan
Tumpangsari. Buletin Agrobio. Vol. 1. No. 2. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman
Pangan. Bogor. hal:15-20
BPS. 2000. Statistical Year Book of Indonesia. Jakarta: Biro Pusat Statistik.
Caiger, S. 1986. Effect of shade on yield of taro cultivars in Tuvalu.
Agriculture Bulletin 11 (2): 66-68.
Chaturvedi GS, Ram PC, Singh AK, Ram P, Ingram KT, Singh BB, Singh RK, Singh VK. 1994.
Carbohydrate Status of Rainfed Lowland Rice in Relation to Submergence, Drought and
Shade Tolerance. In Proceeding: Physiology of Stress Tolerance in Rice. Los Banos: IRRI
Philippines. hal:104-122.
Chowdury PK, Thangaraj M, and Jayapragasam. 1994. Biochemical Changes in Low Irradiance
Tolerant and Succeptible Rice Cultivars. Biol. Plantarum. 36(2): 237-242.
Djukri, 2006, Karakter Tanaman dan Produksi Umbi Talas Sebagai Tanaman Sela Di Bawah
Tegakan Karet, Biodiversitas, vol.7 nomor 3, Hal : 256-259.
Evans, J.R., H. Poorter. 2001. Photosynthetic acclimation of plants to growth irradiance: the
relative importance of specific leaf area and nitrogen partitioning in maximizing carbon gain.
Plant Cell Environ. 24:755-767.
Gardner FP, Pearce RB, and Mitchell RL. 1991. Physiology of Crop Plants. Diterjemahkan oleh
H.Susilo. Jakarta. Universitas Indonesia Press.
Gomez, A.A. and K.A. Gomez. 1986. Multiple Cropping in the Humid Tropics
of Asia. Ottawa: IDRC.
Handayani, T. 2003. Pola pewarisan sifat toleran terhadap intensitas cahaya rendah pada kedelai
(Glycine max L. Merr) dengan penciri spesifik karakter anatomi, morfologi dan molekuler
[disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 175h.
Harjadi, S. S. 1996. Pengantar Agronomi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 197 hal.
Hidema, J., A. Makino, Y. Kurita, T. Mae, and K. Ohjima. 1992. Changes in
the level of chlorophyll and light-harvesting chlorophyll a/b protein PS II in rice leaves agent
under different irradiances from full expansion
through senescense. Plant Cell Physiologi 33 (8): 1209-1214.
Khumaida, N. 2002. Studies on adaptability of soybean and upland rice to shade stress
[dissertation]. Tokyo: The University of Tokyo. 98h.
Djukri, B.S. Purwoko. 2003. Pengaruh naungan paranet terhadap sifat toleransi tanaman talas. J.
Ilmu Pertanian 10:17-25
Lambers, H., F.S. Chapin, and T.L. Pons. 1998. Plant Physiologycal Ecology.
New York: Springer Verlag Inc.
Levitt, J. 1980. Responses of Plants to Environmental Stress. 2nd Edition. New York : Academic
Press. 606 hal.
Muhuria L, KN Tyas, N Khumaida, Trikoesoemaningtyas dan D Sopandie. 2006. Adaptasi Tanaman
Kedelai Terhadap Intensitas Cahaya Rendah :Karakter Daun untuk Efisiensi Penangkapan
Cahaya. Bul. Agron. (34) (3) 133 – 140.
Nurhayati, A. P., J. Lontoh, J. Koswara. 1985.Pengaruh Intensitas dan Saat
Pemberian Naungan terhadap Produksi Ubi Jalar. Bul. Agr. 16: 28-38
Sahardi. 2000. Studi Karakteristik Anatomi dan Morfologi serta Pewarisan Sifat Toleransi
terhadap Naungan pada Padi Gogo (Oryza sativa L). Disertasi. IPB Bogor. hal:1-3.
Salisbury FB and Ross CW. 1995. Plant Physiology. Wadsorth publishing Co. Inc. Belmont,
California. 422P.
Sopandie, D., M.A. Chozin, S. Sastrosumarjo, T. Juhaeti, dan Sahardi. 2003.
Toleransi padi gogo terhadap naungan. Hayati. 10(2): 71-75
Soepandie D., 2006., Persfektif Fisiologi Dalam Pengembangan Tanaman Pangan Di Lahan
Marjinal; Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Fisologi Tanaman , Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Supriyono B, Chozin MA, Sopandie D, dan Darusman LK. 2000. Perimbangan Pati-Sukrosa dan
Aktivitas Enzim Sukrosa Fosfat Sintase pada Padi Gogo yang Toleran dan Peka terhadap
Naungan. Hayati. 7(2):31-34.
Taiz L and Zeiger E. 1991. Plant Physiology. Tokyo. The Benyamin/Cumming Publishing
Company Inc. p: 219-247.
Wirawati T, B. S. Purwoko, D. Sopandie, I.Hanarida. 2002. Studi Fisiologi Adaptasi Talas
terhadap Kondisi Naungan. Seminar Program Pasca Sarjana. Program Pascasarjana, IPB.
Bogor.

Anda mungkin juga menyukai