Anda di halaman 1dari 9

SMKN 5 Yogyakarta

MENJADI SISWA YANG UNGGUL DAN


KOMPETITIF
SMKN 5 Yogyakarta memiliki program unggulan Edu Wisata yang diminati hingga
mancanegara. Selain dididik untuk berjiwa enterpreneur, para siswa juga sudah bisa menjual
hasil karyanya.

KUNJUNGAN tamu luar negeri biasa diterima Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN)
5 Yogyakarta. Awal tahun 2018, dua rombongan siswa dari Malaysia berkunjung ke sekolah
yang beralamat di Jalan Kenari no. 71 Yogyakarta ini. Pada akhir tahun 2017, Green School
dari Singapura, juga mendatangi sekolah ini. Tak hanya rombongan siswa, rombongan guru
sebanyak 60 orang dari Thailand pun pernah bertandang untuk menimba pengalaman dari
SMKN 5 Yogyakarta. Apa sesungguhnya yang menjadi daya tarik sekolah ini?

Program Eduwisata Hasta Karya yang dirintis SMKN 5 Yogyakarta, rupanya mengundang
penasaran banyak sekolah dari luar negeri. Program yang menawarkan wisata sambil berkarya
dan mencipta berbagai kreasi seni awalnya hanya ditawarkan untuk sekolah di dalam negeri,
terutama untuk sekolah menengah pertama. Namun, program yang juga dipromosikan melalui
website resmi sekolah menjadi perhatian hingga ke manca negara.

Unik, kreatif dan menghibur. Mungkin, inilah yang membuat sekolah di luar negeri ingin
berkunjung ke SMKN 5 Yogyakarta, sekaligus menikmati berbagai wisata di kota gudeg ini,
mulai dari wisata keraton, wisata ke Candi Prambanan dan Candi Borobudur hingga wisata
pantai. “kita juga kaget ada respon positif dari sekolah di luar negeri,” ujar Wiwik Indriani,
S.Pd, M.Si., Kepala Sekolah SMKN 5 Yogyakarta.

Eduwisata Hasta Karya menjadi keunggulan yang ditawarkan SMKN 5 Yogyakarta. Tamu
yang datang ke sekolah akan disuguhi berbagai penjelasan industri kreatif dalam sebuah mini
studio. Kemudian, mereka bisa memilih workshop yang disenangi, misalnya membuat keramik
yang sederhana, yang biasa ditempel di pintu lemari es atau membuat batik untuk sapu tangan.
“selain bisa belajar singkat proses produksi, juga hasil karyanya bisa dijadikan souvenir,” jelas
Wiwik.

Selain itu, para tamu juga bisa menikmati berbagai karya para siswa, baik karya keramik,
ukiran kayu, kerajinan logam, lukisan, hingga animasi. Semua karya seni dipajang dalam
ruangan khusus pameran. Inilah yang juga disebut dengan techno park.

Techno park merupakan salah satu program dari pencepatan peningkatan mutu pendidikan
kejuruan. Seluruh SMK yang masuk dalam program revitalisasi ditantang untuk membuat
sebuah showroom yang menampilkan buah karya siswa yang bernilai komersial. Sebuah
techno park merupakan sebuah pameran karya-karya siswa yang dibutuhkan oleh industri dan
masyarakat. “Kami terus membenahi galerinya, supaya semua karya siswa yang terbaik bisa
dipajang,” kata Wiwik.
SMKN 5 Yogyakarta merupakan sekolah dengan kompetensi industri kreatif, dengan fokus
keahlian Animasi, Desain Komunikasi Visual, Kriya Tekstil, Kriya Kulit, Kriya Keramik,
Kriya Logam dan Kriya Kayu. Berbagai keahlian ini harus diselaraskan dengan kebutuhan
industri. Salah satu inovasi pembelajarannya, diwujudkan dalam bentuk teaching factory.
Menurut Wiwik, teaching factory, merupakan upaya sekolah untuk meningkatkan kemampuan
siswa dalam proses pembelajaran, sehingga para siswa sudah terbiasa dalam proses produksi.

Program link and match ini memang harus menyentuh semua aspek dalam pembelajaran, mulai
dari penyelarasan kurikulum, sertifikasi keahlian hingga penyempurnaan sarana dan prasarana.
Sejak SMKN 5 Yogyakarta menjadi SMK revitalisasi pada akhir 2016, pemerintah
meningkatan sarana dan prasara pembelajaran, dengan memberi bantuan berupa dua ruang
praktek dan pembenahan alat untuk membuat kriya logam dan perhiasan. Penambahan
berbagai sarana dan prarana dalam rangka mendukung proses revitalisasi SMK.

Dengan model teaching factory, menurut Wiwik, diharapkan industri ikut mengajak SMK
industri kreatif untuk terlibat sebagai proses produksi atau beberapa pekerjaan kreatif
dipercayakan kepada siswa-siswa SMK. “Anak-anak kami insya Alloh bisa memenuhi tuntutan
dan kebutuhan industri,” katanya.Tak bisa terhindarkan, semua jurusan keahlian di sekolah
harus mengikuti perkembangan di era digital. Para siswa ditantang untuk menghasilkan
berbagai karya yang kreatif dan berkualitas.
Menurut Drs. Supana, Kepala Jurusan Kriya Logam, teaching factory merupakan yang
program yang tepat untuk mengembangkan kompetensi siswa. Karena, tidak hanya
menghasilkan produk, mereka bisa belajar disiplin dan kontrol manajemen. “Untuk memotivasi
anak-anak, kami promosikan karya mereka secara online,” jelasnya.
Dengan teaching factory, menurut Supana, para guru lebih bersemangat dan kreatif dalam
menjalankan proses pembelajaran. Para siswa tidak mengalami kejenuhan dalam belajar,
karena lebih banyak terjun dalam praktek sebagaimana yang dibutuhkan industri. Ukurannya
menjadi lebih jelas, apalagi dengan sistem blok. Para siswa dalam satu rombel dibagi dua, satu
kelompok mengikuti pembelajaran teori di kelas, satu kelompok lagi praktek di bengkel.
“dengan menggunakan sistem blok, keuntungannya alat yang dimiliki sekolah bisa
dimanfaatkan secara optimal,” jelas alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) ini.
Supana termasuk guru senior di SMKN 5 Yogyakarta, mengikuti banyak perkembangan
sekolah kejurusan. Untuk menghasilkan mutu terbaik, menurut Supana pihak sekolah harus
menjalin banyak kerja sama dengan industri, baik yang berupa pabrik besar, atau rumahan
untuk mempermudah siswa menjalani praktek kerja lapangan. Biasanya para siswa selepas
PKL diincar oleh industri untuk direkrut sebagai karyawannya. “karena itu, kita
bertanggungjawab untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas,” jelasnya.
SMKN 5 Yogyakarta, terus membangun kerjasama industri dengan berbagai pihak, termasuk
dengan perguruan tinggi untuk mengembangkan kurikulum dan proses pembelajaran. Bahkan,
beberapa guru ikut juga dilibatkan dalam proses produksi di sebuah industri. Seperti yang
dikerjakan oleh Desy Riani sari, guru jurusan DKV dan Animasi. “Ia banyak terlibat di
berbagai film animasi, seperti Battle of Surabaya dan Ajisaka,” jelas Wiwik.
Battle of Surabaya merupakan film animasi karya Mohammad Suyanto, Hery Soelistio dan Adi
Djayusman yang diproduksi tahun 2015 ini, digarap bersama rumah produksi animasi asal
Yogyakarta, MSV Pictures dan Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputter
(STMIK) AMIKOM Yogyakarta
Meskipun sudah terjun ke dunia industri, Desy Riani tak mau meninggalkan tugas dan
tanggumgjawabnya sebagai guru di almamaternya. “saya ini angkatan pertama jurusan
animasi, dan ingin berbagi ilmu dan pengalamannya dengan para siswa,” ungkapnya, yang
juga sempat mengenyam pendidikan tinggi seni rupa ini.
Desy Riani mengaku ilmu dan pengetahuan yang didapatnya dari SMK sangat aplikatif di dunia
kerja. Apalagi, sekarang fasilitasnya lebih baik.”Yang perlu ditingkatkan kedisplinan siswa,
karena sekolah dan kerja industri itu tetap ada bedanya,” jelasnya lagi.
SMKN 5 Yogyakarta beruntung berada di kota budaya dan kota wisata, yang sangat apresiatif
terhadap berbagai karya seni hasil buah tangan manusia. Nilai seni yang tak mungkin
tergantikan walaupun pesatnya perkembangan teknologi. Meski demikian, para guru harus
dibiasakan dengan menggunakan berbagai perangkat teknologi, supaya tidak tertinggal
kemajuan zaman.

DIDIRIKAN OLEH PARA PEJUANG

SMKN 5 Yogyakarta sudah berusia tua. Cikal bakalnya bermula dari sebuah paguyuban seni,
yang didirikan dua bulan setelah diproklamirkan kemerdekaan negara Republik Indonesia
pada tahun 1945. Namanya, Pusat Tenaga Pelukis Indonesia yang selanjutnya disingkat dengan
PTPI. Paguyuban itu dipimpin oleh R.M. Soehardjo Djayengasmoro, pegawai bagian seni dan
Kerajinan di Kraton Yogyakarta

Sebagai organisasi yang lahir di masa revolusi kemerdekaan, PTPI memiliki misi dan tujuan
untuk menciptakan kader-kader seniman melalui lembaga pendidikan. Untuk merealisasikan
gagasan tersebut maka didirikanlah Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) pada tahun 1950,
yang dipimpin oleh RJ Katamsi, RMS Djajengasmoro, Hendrogunawan dan Koesnadi.
Disamping itu pada tanggal 1 Oktober 1950, mereka juga mendirikan tempat pelatihan dan
kursus ahli gambar yang diberi nama Kursus Ahli Gambar (KAG) dengan misi untuk
membentuk kader-kader pembina kebudayaan, terutama di bidang seni rupa.

Dalam perkembangan selanjutnya pada tanggal 20 Oktober 1952, ASRI dirubah menjadi
Perguruan Seni Rupa Menengah Atas “Prabangkara” (PSMA Prabangkara). Yang diprakarsai
salah satunya oleh RM Soehardjo Djajengasmoro (Wakil Direktur Asri), Ardan Sastrodihardjo
(Guru Asri) dan RM Prawitokusumo (pelukis dan Perajin).

Sebagai lembaga pendidikan swasta PSMA Prabangkara hidupnya sangat tergantung dari
pengabdian dan pengorbanan para pengurus dan pamongnya. Mereka tidak mengharapkan
imbalan jasa, bahkan sebaliknya mereka harus bergotong royong mengumpulkan dana untuk
kelangsungan hidup lembaga pendidikan tersebut.

Akhirnya, Perguruan Seni Rupa Menengah Atas “Prabangkara” (PSMA Prabangkara)


mendapatkan perhatian besar dari masyarakat dan pemerintah. Sehingga, status berubah
menjadi sekolah negeri dan sejak 1 September 1953 dirubah namanya menjadi Sekolah
Gambar Atas Negeri (SGAN) III, Menggambar dan Pekerjaan Tangan berdasarkan Keputusan
Menteri PP dan K Nomor 5622/B tanggal 13 November 1953. Sejak itu pula, tujuan lembaga
berubah, yang semula untuk membentuk kader-kader pengembang senirupa yang mampu
hidup mandiri menjadi menyiapkan tenaga pegawai/guru. Pada waktu itu kepala sekolah tetap
dipegang oleh RM Soehardjo Djajengasmoro.

Sebagai landasan dan arah lembaga pendidkan, Kepala Sekolah memiliki kebijakan yang harus
dipedomani dalam penyelenggaraan pendidikan, yaitu : 1) Slogan/Semboyan hidup “PAKHO”
singkatan dari : Praktis, Aestetis Etis, Kreatif, Harmonis dan Oktoaktif; 2) Pendidikan yang
berbasiskan industri rakyat; 3) Mengubah lama pendidikan dari 3 tahun menjadi 4 tahun hingga
5 tahun.

Pada tanggal 31 Agustus 1957 pimpinan sekolah diserahterimakan dari RM Soehardjo


Djajengasmoro kepada Soehonotjipto BSc. Pada kepemimpinan Soehonotjipto, BSc.ini, arah
kebijakannya masih melanjutkan kebijakan pimpinan sekolah yang lama, yaitu lebih
menekankan pada pendidikan yang berbasiskan industri kerajinan untuk membentuk kader-
kader wirausaha bidang industri kerajinan.

Pada tahun 1958, Pemerintah telah mengeluarkan peraturan baru yang menjelaskan bahwa
lulusan SGA “Prabangkara” tidak diperkenankan lagi untuk mengajar di SLTP, sehingga
pendidikan ini perlu dibubarkan, atau dilanjutkan 2 tahun lagi sehingga setingkat dengan
Kursus B1, atau masuk ke lingkungan Jawatan Pendidikan Kejuruan.

Untuk menindaklanjuti peraturan pemerintah tersebut, pada tanggal 17 Juli 1959, pengelola
SGA Prabangkara mendirikan sebuah yayasan yang diberi nama Yayasan Prabangkara dengan
tujuan untuk mewadahi dan menjamin keberlangsungan hidup lembaga pendidikan setelah
keluar peraturan pemerintah yang menyatakan lembaga pendidikan tersebut harus dibubarkan.
Setelah yayasan itu terbentuk, ternyata pemerintah tidak jadi membubarkannya tetapi justru
melanjutkan SGA III dan mengubahnya menjadi Sekolah Kejuruan Menggambar/Pekerjaan
Tangan (SKMPt) dengan SK Menteri Muda PP dan K Nomor 14086/UU tanggal 11 Februari
1960 dan pembinaannya diserahkan kepada Jawatan Pendidikan Kejuruan.

Satu tahun, sekolah ini berubah lagi namanya menjadi Sekolah Menggambar dan Pekerjaan
Tangan (SMPT), dan tidak lagi menggunakan istilah kejuruan. Seiring dengan kebutuhan
tenaga pembangunan di bidang industri kerajinan, maka pada tahun 1964, nama sekolah diubah
menjadi Sekolah Pembangun Industri Kerajinan (SPIK). Lama pendidikan dari 3 tahun diubah
menjadi 4 tahun.

Sekolah ini memiliki tujuan yaitu 1) mendidik dan melatih tenaga pembangun dalam bidang
kerajinan yang cakap dan sanggup berdiri sendiri sebagai industriawan kerajinan; 2) mendidik
dan melatih tenaga pembangun untuk mengembangkan kesanggupan ikut membimbing
masyarakat lingkungan guna meningkatkan tingkat hidupnya.

Berdasarkan tujuan inilah, sekolah milik negara ini ditujukan untuk mencetak wirausahawan
muda dalam bidang industri kerajinan dan mampu ikut meningkatkan taraf hidup masyarakat
lingkungannya. SPIK Negara saat itu memiliki 6 jurusan, yaitu : 1) Kerajinan
Anyam/Tenun/Perajutan; 2) Kerajinan Kulit/Plastik/Karton; 3) Kerajinan Kayu/Ukir; 4)
Kerajinan Logam; 5) Kerajinan Keramik; 6) Kerajinan Batik.

SPIK Yogyakarta merupakan sekolah pertama yang didirikan dalam bidang industri kreatif.
Setelah itu, lahir pula SPIK di Tasikmalaya dan Pacitan. Lulusannya kebanyakan menjadi
wirausaha dan pegawai negeri di lingkungan Departemen Perindustrian. Ada pula yang
menjadi guru ketrampilan di SLTP yang tersebar di seluruh Indonesia.

SPIK mengalami perkembangan pesat pada masa kepemimpinan Mijardi Surhonugroho. Selain
pengembangan di bidang sarana prasarana, sekolah juga melakukan penyempurnaan kurikulum
agar lebih relevan dengan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni. Untuk merealisasikan gagasan tersebut diselenggarakanlah rapat kerja perbaikan dan
penyempurnaan kurikulum pada tanggal 17-22 September 1973. Setahun kemudian, kelompok
kerja tidak hanya memantapkan eksistensi keberadaan SPIK tetapi juga mengembangkannya
sehingga melahirkan SPIK baru yaitu SPIK Jepara sebagai jelmaan dari STM ukir dan SPIK
Gowang Bali sebagai penyempurnaan dari ST Ukir.

Pada tahun 1975 sebagai tahun pertama PELITA II pada masa pemerintahan orde baru,
dilakukan penyempurnaan kurikulum sekolah sehingga pada tahun 1975 nama sekolah dirubah
dari SPIK Negara Yogyakarta menjadi SMIK Negeri Yogyakarta, dengan lama belajar selama
3 tahun. Dengan merujuk pada Kurikulum 1976 ini, SMIK Yogyakarta memiliki 6 jurusan,
yaitu Kerajinan Anyam, Kerajinan Batik, Kerajinan Keramik, Kerajinan Kulit, Kerajinan
Logam, dan Kerajinan ukir kayu

Sesuai dengan kebijakan pemerintah adanya program relevansi dan link and match, maka
kurikulum SMK selalu disesuaikan dengan kebutuhan industri, maka SMIK pun menerapkan
Kurikulum SMK 1994. Dengan diimplementasikannya kurikulum SMK 1994 ini, maka
kurikulum SMIK selalu terbuka terhadap berbagai upaya penyempurnaan. Selain menekankan
pada pemberian bekal kemampuan daya saing dan pengembangan lulusan yang lebih
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan industri, terutama dengan diterapkannya pola
penyelenggaraan Pendidikan Sistem Ganda (PSG). Maka, SMIK Yogyakarta pun kembali
merubah kelompok keahlian seni rupa dan kerajiannya, menjadi bidang keahlian seni rupa dan
kriya, kerajinan anyam dilebur ke kriya tekstil dan kriya kayu. Kriya batik dirubah menjadi
Kriya Tekstil.

Penerapan kurikulum SMK 1994 yang dirancang dan diharapkan dapat mewadahi wawasan
dan misi yang terkandung dalam kebijakan link and match (keterkaitan dan kesepadanan),
ternyata masih memerlukan beberapa penyempurnaan. Atas dasar itulah, maka dengan tetap
mengacu kepada kebijakan yang tertuang pada Keputusan Mendikbud Nomor 080/U/1993
tanggal 27 Februari 1993, disusunlah kurikulum SMK Edisi 1999, yang menganut prinsip,
yaitu 1) berbasis luas, kuat dan mendasar (Broad Based Curriculum, BBC); 2) berbasis
kompetensi (Competency Based Curriculum); 3) pembelajaran tuntas (Mastery learning); 4)
berbasis ganda (Dual Based Program) – dilaksanakan di sekolah dan di industri; 5) Perkuatan
kemampuan daya saing dan kemandirian pengembangan diri tamatan.

Nama SMKI Yogayakata berubah lagi menjadi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 5
Yogyakarta berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor
036/O/1997 tanggal 7 Maret 1997. Dengan nama baru ini SMK Negeri 5 Yogyakarta memiliki
peluang besar mengembangkan dan membuka program studi baru, yaitu Program keahlian
Desain dan Komunikasi Visual pada tahun 2002 dan Animasi pada tahun 2005.

Untuk menjamin mutu sistem penyelenggaraan pendidikan dan eksistensi SMK Negeri 5
Yogyakarta, maka pada tahun 2007 SMK Negeri 5 Yogyakarta telah memperoleh Sertifikat
ISO 9001:2000. Penyempurnaan kurikulum yang telah dilakukan mengacu pada Undang-
Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah
yang terkait yang mengamanatkan tentang adanya standar nasional pendidikan yang berkenaan
dengan standar isi, proses, dan kompetensi lulusan serta penetapan kerangka dasar dan standar
kurikulum oleh pemerintah.

Atas dasar itulah maka tahun 2004 SMIK Negeri 5 Yogyakarta menerapkan kurikulum SMK
tahun 2004.dan mulai tahun 2006 SMK Negeri 5 Yogyakarta mengembangkan kurikulum
menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dengan KTSP inilah SMK Negeri 5
Yogyakarta memiliki keleluasaan untuk mengembangkan kurikulum. Spektrum keahlian yang
dirumuskan pada tahun 2008, SMKN 5 Yogyakarta memiliki jurusan Seni Rupa Desain
Komunikasi Visual, Jurusan Desain dan Produksi mencakup kriya tekstil, kulit, keramik,
logam dan kayu. Sedangkan untuk Jurusan Seni Rupa Animasi terdiri dari jurusan Teknik
Komputer dan Informasi dan jurusan animasi

Pada tahun 2009 secara resmi SMK Negeri 5 Yogyakarta telah resmi ditetapkan sebagai salah
satu SMK Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di kota Yogyakarta. Karena itulah,
SMK Negeri 5 Yogyakarta senantiasa mengadakan perubahan perubahan dan penyempurnaan
di segala sektor dengan secara bertahap memenuhi standar pendidikan yang dipersyaratkan.
Sebagai alat penjamin sistem mutu SMK Negeri 5 Yogyakarta melaksanakan repeat ISO dari
ISO 9001:2000 ke ISO 9001:2008 dan telah bersertifikat di tahun 2010.

Seiring dengan perkembangan di dunia pendidikan dan perubahan kurikulum dari KTSP
menjadi menjadi Kurikulum 2013, maka spektrum bidang keahliannya menjadi paket keahlian
Desain Komunikasi Visual, Animasi, Kriya tekstil, Kriya Kulit, Kriya Keramik, Kriya Logam
dan Kriya Kayu.

MEMBANGUN SEKOLAH YANG UNGGUL

SMK Negeri 5 Yogyakarta memiliki visi sebagai Lembaga Pendidikan yang unggul dalam budi
pekert, prestasi, berjiwa entrepreneur dan kompetitif di dunia kerja berwawasan lingkungan.
Sedangkan, misinya 1) menanamkan pendidikan karakter untuk membentuk pribadi yang
beriman dan bertaqwa; 2) melindungi hak dasar anak dalam rangka menanamkan pendidikan
berwawasan kebangsaan dan budaya lokal, serta berwawasan lingkungan; 3) menyiapkan
peserta didik yang unggul dalam bidang akademik dan non akademik; 4) menyiapkan tenaga
terampil yang siap bersaing di tingkat ASEAN; 5) menyiapkan pribadi yang mandiri, kreatif,
produktif dan inovatif dalam bidang seni dan kerajinan: 6) menyiapkan tamatan yang unggul
dan kompetitif di dunia kerja

Peningkatan mutu sekolah, menurut Wiwik, harus dimulai dari peningkatan mutu guru.
“Alhamdulillah, kami sudah punya 15 asesor LSP, dan kami sudah punya program magang
guru di industri secara rutin,” jelasnya. Selain itu, forum musyawarah guru ikut menunjang
pengembangan model pembelajaran abad 21, yaitu yang disebut dengan project based learning.
Pengembangan mutu SMKN 5 Yogyakarta sejak masuk dalam daftar sekolah revitalisasi,
antara lain terpacunya para guru untuk memiliki pengalaman magang industri. Pada awal tahun
2017, menurut Wiwik, baru ada 13 guru yang mendapat kesempatan untuk magang di industri.
Kondisinya berubah di akhir tahun 2017, sebanyak 40 guru yang sudah melakukan magang
industri. “di tahun 2018, kami terus meningkatkan lagi,” tegasnya.
Secara kelembagaan, SMKN 5 Yogyakata ditargetkan untuk mencapai upgrade ISO 9001:2015
pada tahun 2018. Sementara, para siswa pun dari 106 yang tersertifikasi BNSP, pada akhir
tahun 2017 sudah bertambah menjadi 220 siswa. Untuk pengembangan laboratorium, sekolah
mendapat hibah dari KOICA sebanyak 24 unit komputer

Gerakan Literasi Sekolah termasuk program yang digalakan oleh SMKN 5 Yogyakata.
Program nasional ini sebenarnya sudah digaungkan sejak akhir 2015 dengan pembentukan
Satuan Tugas Gerakan Literasi Sekolah (Satgas GLS) dalam lingkup Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah, sebagai tindaklanjut atas terbitnya Permendikbud nomor 23
tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.

Seiring dengan geliat literasi, sekolah-sekolah mulai menggiatkan aktivitas berliterasi antara
lain dengan kegiatan 15 menit membaca buku/ bahan bacaan non pelajaran sebelum jam
pembelajran setiap hari. Kegiatan tersebut merupakan aktivitas pembiasaan agar seluruh warga
sekolah mempunyai sikap cinta/ gemar membaca.

Sebagai sekolah Industi Kreatif, SMKN 5 Yogyakarta dengan bidang keahlian Kriya Kayu,
kriya Kulit, Kriya Tektil, Kriya Logam, Kriya Keramik, Animasi dan Desain Komunikasi
Visual, memanfaatkan tema literasi untuk memotivasi peserta didik dan jurusan-jurusan untuk
menyajikan pojk baca di setiap kelas, jurusan maupun unit-unit yang ada di sekolah. Setiap
kelas tersedia pojok baca dengan bahan bacaan buku-buku hiburan maupun referensi yang
selaras dengan kejuran masing-masing.

Dengan memanfaatkan berbagai bahan daur ulang, seperti kardus, pigura, rak dari peti kemas
dan bahan lainnya, setiap kelas berkreasi untuk menyajikan sebuah pojok baca dengan tema
terentu yang kreatif dan nyaman. Hasil karya siswa berupa batik, keramik, lukisan melengkapi
ruangan dan sebagai ornamen atas kehadiran pojok baca di kelas-kelas maupun jurusan. “ini
sebuah upaya menanamkan kepedulian terhadap kelas dan area kerja mereka sendiri” tegas
Wiwik.

Selain itu, kelas maupun area jurusan menjadi lebih bersih dan tampil lebih dinamis, karena
tembok yang kotor digantikan dengan karya lukis siswa. Kegiatan pembuatan Pojok Literasi
ini, menurut Wiwik, merupakan kegiatan yang dilombakan dalam rangka memperingati Hari
Sumpah Pemuda sekaligus Bulan Bahasa tahun 2017. “tidak hanya menitik beratkan pada
lomba, tetapi keleluasaan berskpresi menjadi tujuan dalam memberi makna literasi, “ jelasnya.

Prestasi para siswa dalam berbagai kejuaraan juga merupakan bukti kesungguhan sekolah
dalam mendidik dan mengembangkan kualitas siswanya. Adnan Dani Pratama, misalnya
pernah menjadi juara 1 Lomba Keramik LKS Tingkat Provinsi pada tahun 2017. Selain itu,
Ilham Maulana yang menjadi juara 1 Lomba Landscaping dan Gardening LKS tingkat Provinsi
DIY. Setiap peserta ditantang untuk membuat sketsa sendiri, sementara bahannya disiapkan
panita. “Tantangannya bagaimana membuat titik fokusnya, dengan bahan yang ada sehingga
terlihat serasi dan indah,” kata Ilham asal Riau, yang bercita-cita ingin menjadi arsitek ini.

Untuk LKS Tingkat DIY, para siswa SMKN 5 Yogyakarta sering menyabet juara 1 kompetensi
sesuai keahlian di jurusannya, mulai dari lomba kerajinan keramik, kulit, tekstil, melukis
hingga animasi. Bahkan Muhammad Dzaky Aziz berhasil merebut juara 1 lomba melukis, LKS
tingkat nasional pada tahun 2017. “Saya senang melukis realis tentang lingkungan sosial, saat
kejuaraan itu, saya melukis seorang anak kecil yang menjadi pemulung, ‘ kata Dzaky.
Beberapa karya para siswa bisa dilihat di berbagai ruangan, baik ruang kepala sekolah, ruang
guru dan ruang kelas. Karya mereka pun dipromosikan di web resmi sekolah. Masyarakat
umum bisa melihat langsung dan membeli karya mereka di galeri sekolah. “anak-anak biar
termotivasi dan memiliki kebanggaan dengan karyanya,” ungkap Wiwik Indriani. Apresiasi
dan penghargaan dari pemerintah, sekolah dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk
meningkatan kemampuan dan kepercayaan diri para siswa.

KONTRIBUSI ALUMNI
Alumni SMKN 5 Yogyakarta sudah terbesar dimana-mana. Mereka menjalani profesinya
secara beragam, ada yang sesuai dengan kompetensi pendidikannya, ada juga yang
berwirausaha. Ripno, salah seorang alumni yang kini menjadi Ketua Ikatan Alumni SMKN 5
Yogyakarta, adalah seorang konsultan di industri pariwisata. Ia pun memiliki usaha di bidang
jasa dengan total karyawan sekitar 500 orang. “Meskipun, tidak ada kaitannya kompetensi awal
saya, sekolah kejuruan telah membentuk mental untuk siap bekerja, “ ungkap Ripno yang lulus
dari SMK jurusan Ukir Kayu pada tahun 1992.
Selepas dari SMK, Ripno melanjukan pendidikan tinggi ke D1 Jurusan Pariwisata. Kemudian,
bekerja di perhotelan hingga mencapai karir sebagai general manajer. Untuk mengembangkan
kemampuannya, sambil bekerja Ripno melanjutkan pendidkannya hingga S-2 Manajemen. Ia
memutuskan berhenti berkarir di perhotelan tahun 2009, dan beralih menjadi seorang
enterpreneur. “saya modal nekad memanfaatkan jaringan yang saya punya,’ ujarnya.
Kerja keras dan displin menjadi modal utamanya dalam berbisnis. Sebagaimana ia dahulu
merantau ke Yogyakarta, dari kota Ciamis untuk sekolah di SMK juga bermodal nekad. “Saya
dulu tidak punya background seni, tapi ketika kita serius mendalami, akan bisa dikuasai juga,”
ungkapnya. Nilai-nilai kemandirian yang penting untuk ditanamkan di kalangan para siswa
SMK. Kemauan untuk belajar terus dan tidak tergantung pada orang lain, menjadi modal untuk
sebuah kemajuan.
Menurut Ripno, siswa SMK memiliki modal keahlian yang bisa dikembangkan. Misalnya,
banyak industri perhotelan yang menggunakan interior hasil karya anak SMK. “selain skill dan
knowledge, yang terpenting juga mental, kalau mentalnya sudah bagus bisa meraih masa depan
lebih baik lagi,” jelasnya. Ripno banyak diminta SMKN 5 Yogyakarta, untuk berbagai ilmu
dan pengalaman bagi para siswa dan guru.
Menurutnya, pengembangan mutu SMK harus dimulai dari guru. Para guru harus mengenal
dunia industri, memiliki wawasan dan jaringan yang luas. “saat ini bukan saatnya lagi mengajar
secara teksbook, anak-anak harus dirubah mindsetnya, agar bisa bersaing di dunia industri,”
jelasnya lagi.
Selain dididik untuk menjadi pekerja menengah profesional, para siswa SMK harus dibangun
wawasan untuk berwirausaha. Selain Ripno, SMKN 5 Yogyakarta juga mengundang alumni
lainnya yang sukses, antara lain Heri Nur Widodo. Alumni tahun 2000 ini jurusan keramik ini,
sempat melanjutkan pendidikannya ke Universitas Negeri Yogyakarta, jurusan Seni Rupa. “Ini
basic dasaar semua kerajinan, yaitu seni rupa apa pun keahlian seninya,” kata Heri.
Selepas dari UNY, Heri justru bekerja di dunia training SDM. Pengalamannya di dunia
organisasi rupanya membentuk keahlian lain. “Saya tidak idealis dengan keahlian seni, waktu
kuliah saya sambil bekerja apa saja,” kenangnya. Berbagai pengalaman hidup inilah, yang
akhirnya mendorong Heri untuk memilih menjadi seorang pengusaha sejak tahun 2010
Bermodal jariangan, Heri merintis bisnis di bidang perdagangan umum, memasok berbagai
peralatan kantor, seperti komputer, ATK, dan alat kesehatan ke berbagai instansi pemerintah
dan perusahaan. “Alhamdulillah, omzet di perdagangan umm hampir Rp 4 miliar per tahun,”
katanya. Dalam berusaha, Heri mengambil filosofi petani. Seorang petani harus kreatif
menanam tanaman tumpang sari, selain tanaman utamanya, supaya bisa dipanen harian dan
mingguan.
Perputaran uang di bisnis perdagangan umum termasuk lama. Karena itu, ia pun membuka
usaha katering, dengan nama Kedai Sehat untuk pemasukan hariannya. Untuk pemasukan
mingguan, Heri mmebuka usha rental alat multi media, seperti penyewaan sound system,
kamera dan berbagai alat syuting lainnya. Untuk memaksimalkan penggunaan alat itu pun, Heri
membuka usaha lembaga kursus dalam bidang multimedia.
Usaha lainnya, Heri membentuk Baitul Maal wa Tamwil (BMT) yang bernama Kangmas untuk
memberdayakan ekonomi kecil dalam permodalan. Tak semata-mata bisnis, ia rupanya sejak
awal sudah terbentuk mental socialpreuner. Semua keuntungan usahanya sebagian disisihkan
untuk pemberdayaan sosial. Ia mendidik para ibu yang biasa membuat kain jumputan, dengan
nama Batik Jumputan sehingga bernilai komersial. Mereka diberdayakan dari mulai
permodalan, produksi hingga pemasaran. Maka, dikenallah kumpung tempat mereka tinggal
dengan Kampung Jumputan.
Sebagaimana Ripno, Heri pun diajak oleh SMKN 5 Yogyakarta untuk membantu
almamaternya mendidik para siswa agar memiliki mentalitas wirausaha.”Anak-anak SMK baru
dilatih dalam bidang produksi, setelah itu mereka harus dilatih mentalitas enterprenership,”
jelas Heri. Untuk memiliki mental tangguh sebagai pengusaha, memang tak mudah. Namun,
para siswa SMK ini sudah memiliki keahlian produksi dan kemandirian bekerja sebagai modal
awal.
Lulusan SMK semakin banyak, sementara pertumbuhan industri kreatif belum sepesat jumlah
lulusannya. Tidak semua lulusan SMK tertampung di dunia industri. Karena itu, tak ada pilihan
lain, jika tidak ingin menjadi pengangguran, mereka harus melatih diri untuk berwirausaha.
Mentalitas ini yang ingin ditularkan para alumni kepada para siswa.

Anda mungkin juga menyukai