Anda di halaman 1dari 20

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Skabies merupakan penyakit kulit yang endemis diwilayah beriklim tropis
dan subtropis merupakan penyakit kulit menular. Skabies dalam bahasa Indonesia
sering disebut kudis, orang jawa menyebutnya gudig, sedangkan orang sunda
menyebutnya budug. Penyakit ini juga sering disebut dengan kutu badan,
budukan, gatas agogo yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei varian hominis
(sejenis kutu, tungau), ditandai dengan keluhan gatal, terutama pada malam hari
dan ditularkan melalui kontak langsung atau tidak langsung melalui alas tempat
tidur dan pakaian.
Infestasi tungau ini mudah menyebar dari orang ke orang melalui kontak
fisik dan sering menyerang seluruh penghuni dalam satu rumah. Tungau betina
membuat terowongan di bawah lapisan kulit paling atas dan menyimpan telurnya
dalam lubang. Beberapa hari kemudian akan menetas tungau muda (larva). Infeksi
menyebabkan gatal-gatal hebat, mungkinan merupakan suatu reaksi alergi
terhadap tungau.
Q fever adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri Coxiella
burnetii (C. burnetii). Q fever pertama kali dilaporkan berjangkit di Australia pada
tahun 1935 kemudian menyebar hampir ke seluruh dunia hingga saat ini. Laporan
World Health Organization (WHO) berdasarkan pemeriksaan serologis
menyatakan bahwa penyakit Q fever pertama kali ditemukan di Indonesia pada
tahun 1937, dimana dari 188 serum sapi yang diperiksa ternyata positip
(3)
mengandung antibodi terhadap C. burnetii Selanjutnya VAN PEENEN et al.
(1978) melaporkan adanya bukti serologis Q fever di Indonesia pada para pekerja
dengan resiko tinggi terpapar agen penyakit

Demam kambuh tick-borne (TBRF) adalah infeksi yang disebarkan oleh jenis
kutu tertentu. Gejala tanda adalah demam tinggi yang berlangsung selama
beberapa hari, hilang selama seminggu, dan kemudian kembali. TBRF tidak
2

terlalu umum. Sebagian besar kasus terjadi di negara-negara Barat, seperti


California, Washington, dan Colorado.

Tick-borne Relapsing Fever (TBRF) disebabkan oleh spesies spirochete


bakteri termasuk Borelliahermsii, Borelliaparkerii, atau Borelliaturicatae, dengan
Borelliahermsii menjadi agen penyebab yang paling umum. Bakteri yang
ditularkan oleh gigitan spesies Ornithodoros tick lunak. Kutu ini memberi makan
terutama pada malam hari. Gigitan kutu biasanya tidak menimbulkan rasa sakit
dan mereka hanya makan selama 15 hingga 30 menit sebelum mengundurkan diri.
Ini membuat sulit mendeteksi kutu pada tubuh seseorang. Kutu lunak
Ornithodoros umumnya memakan mamalia kecil dan hewan pengerat termasuk
tikus, tupai, tupai, tikus dan kelinci, dan dengan tidak adanya tuan rumah ini
mereka akan memakan mamalia berdarah panas lainnya termasuk manusia.
Banyak virus zoonosis lainnya ditularkan ke manusia oleh serangga
hematophagous (nyamuk, lalat, menggigit pengusir hama dan kutu) dan
ditetapkan sebagai arthropod-borne viruses (arboviruses). Dalam beberapa tahun
terakhir, prevalensi penyakit yang ditularkan melalui vektor telah berkembang
pesat, karena intensifikasi perjalanan manusia dan perdagangan lintas benua.
Jumlah kasus telah meningkat di daerah endemik, tetapi kasus juga menyebar ke
(4)
wilayah baru di mana virus tidak pernah ada sebelumnya . Selain itu,
perkembangan resistensi nyamuk terhadap insektisida telah semakin memperumit
kontrol dan akhirnya eliminasi penyakit yang ditularkan melalui vektor dari
daerah tertentu

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang tersebut dapat dirumuskan masalah sebagai berikut
1.2.1 Pengertian dari Relapsing Fever, Scabies, Arthropod Borne, Acararina
(Kutu) dan Q-Fever
1.2.2 Gejala dari Relapsing Fever, Scabies, Arthropod Borne, Acararina (Kutu)
dan Q-Fever
3

1.2.3 Faktor Penyebab dari Relapsing Fever, Scabies, Arthropod Borne,


Acararina (Kutu) dan Q-Fever
1.2.4 Cara Pencegahan dari Relapsing Fever, Scabies, Arthropod Borne,
Acararina (Kutu) dan Q-Fever
1.2.5 Cara Mengobati Relapsing Fever, Scabies, Arthropod Borne, Acararina
(Kutu) dan Q-Fever

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk Mengetahui Pengertian dari Relapsing Fever, Scabies, Arthropod
Borne, Acararina (Kutu) dan Q-Fever
1.3.2 Untuk Mengetahui Gejala dari Relapsing Fever, Scabies, Arthropod
Borne, Acararina (Kutu) dan Q-Fever
1.3.3 Untuk Mengetahui Faktor Penyebab dari Relapsing Fever, Scabies,
Arthropod Borne, Acararina (Kutu) dan Q-Fever
1.3.4 Untuk Mengetahui Cara Pencegahan dari Relapsing Fever, Scabies,
Arthropod Borne, Acararina (Kutu) dan Q-Fever
1.3.5 Untuk Mengetahui Cara Mengobati Relapsing Fever, Scabies, Arthropod
Borne, Acararina (Kutu) dan Q-Fever
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Relapsing Fever, Scabies, Arthropod Borne, Acararina (Kutu)


dan Q-Fever
2.1.1 Pengertian Relapsing Fever

Relapsing fever adalah infeksi disebabkan oleh bakteri spesies Borrelia dan
ditularkan oleh kutu lembut. Kutu Lembut diketahui menghuni sarang tikus dan
burung dan bisa tetap di sarang bagi banyak orang tahun setelah sarang telah
dikosongkan. Tiga spesies Borrelia mayor yang menyebabkan relapsing fever

1. B. hermsii - ditemukan pada kutu Ornitodoros yang lunak hermsi. Tick ini
hidup dalam hubungan erat dengan tikus rusa, tikus kayu, dan beberapa
lainnya burung di negara bagian barat, khususnya di jenis pohon jarum
hutan pada ketinggian 1200-8000 kaki.
2. B. parkeri - ditemukan di soft tick O. parkeri, yang mendiami liang tupai
tanah dan anjing padang rumput atau gua di negara bagian barat daya pada
ketinggian rendah. O. parkeri juga bisa parasit host mamalia lainnya
seperti tikus, kelinci, dan burung hantu
3. B. turicatae - ditemukan di centang lembut O. turicata, yang
dikaitkan dengan tanah tupai, anjing padang rumput, tikus kayu, kelinci,
dan banyak hewan lain di Amerika Serikat bagian barat.

Kutu lebih memilih daerah dengan kelembaban rendah dan prelevasi


rendah dan telah ditemukan di gua dan liang bawah tanah. Gigitan dari kutu lunak
biasanya tidak menyakitkan dan terakhir kurang dari 30 menit. Karena itu,
seseorang bisa tidak menyadari bahwa dia atau dia digigit. Seseorang biasanya
menjadi terinfeksi pada saat tidur yang dipenuhi binatang pengerat
5

2.1.2 Pengertian Scabies

Skabies merupakan penyakit kulit yang endemis diwilayah beriklim tropis


dan subtropis merupakan penyakit kulit menular. Skabies dalam bahasa Indonesia
sering disebut kudis, orang jawa menyebutnya gudig, sedangkan orang sunda
menyebutnya budug. Penyakit ini juga sering disebut dengan kutu badan,
budukan, gatas agogo yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei varian hominis
(sejenis kutu, tungau).
Penyakit ini menular dari hewan ke manusia (zoonosis), manusia ke
hewan bahkan dari manusia ke manusia. Penyebaran tungau skabies melalui
kontak langsung dengan penderita skabies secara terus menerus, bisa juga
menular melalui penggunaan handuk bersamaan, sprei tempat tidur, dan segala hal
yang dimiliki pasien skabies.

2.1.3 Pengertian Arthropod Borne

Virus Arbo ditularkan dari mamalia yang mereka tumpangi oleh vektor
arthropoda (kutu, serangga) yang menjadi produktif oleh infeksi virus (5). Nyamuk
merupakan serangga vektor utama penyebab berbagai penyakit tropis penting di
Indonesia. Nyamuk dalam siklus hidupnya dipengaruhi oleh perubahan suhu dan
kelembaban sehingga dapat berkembang dengan pesat dan berpotensi
(6)
menyebarkan penyakit . Beberapa spesies nyamuk merupakan vektor penyakit
virus Arbo di alam. Berikut mosquito-borne arboviruses sebagai vektor penyakit
virus Arbo.

Vektor penyakit zoonotik virus Arbo dapat bertindak sebagai vektor


patogen, termasuk Flavivirus (Flaviviridae) seperti virus Dengue (DENV), Yellow
Fever virus (YFV), West Nile virus (WNV); Alphavirus (Togaviridae) seperti
Chikungunya virus (CHIKV), O'nyong-nyong virus (ONNV), Semliki Forest virus
(SFV), Sindbis virus (SINV) dan Bunyavirus (Bunyaviridae) seperti Rift Valley
Fever virus (RVFV). Semua virus Arbo ini ditularkan oleh spesies Aedes
termasuk Aedes aegypti dan A. albopictus serta Culex sp, dengan pengecualian
6

ONNV yang merupakan satusatunya virus Arbo ditularkan oleh nyamuk


Anopheles dan lebih khusus vektor malaria di Afrika A. Gambiae (7)

2.1.4 Pengertian Acararina (Kutu)

2.1.5 Pengertian Q-Fever

Q fever adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri Coxiella


burnetii (C.burnetii). Q fever pertama kali dilaporkan berjangkit di Australia pada
tahun 1935 kemudian menyebar hampir ke seluruh dunia hingga saat ini.
selanjutnya VAN PEENEN et al. (1978) melaporkan adanya bukti serologis Q
fever di Indonesia pada para pekerja dengan resiko tinggi terpapar agen penyakit.

Q fever bersifat zoonosis yaitu dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau
sebaliknya. Hewan yang paling umum menjadi target Q fever adalah hewan
domestik terutama sapi, domba dan kambing. C. burnetii sangat infeksius di alam
dan dengan penyebarannya secara aerosol berpotensi untuk dipakai sebagai
(8)
senjata biologis , sehingga penanganan yang benar dan cepat menjadi penting
bila terjadi wabah. Namun demikian, hingga saat ini belum pernah dilakukan
penelitian yang lebih mendalam tentang penyakit Q fever di Indonesia.

2.2 Gejala dari Relapsing Fever, Scabies, Arthropod Borne, Acararina


(Kutu) dan Q-Fever
2.2.1 Gejala Relapsing Fever
Gejala biasanya berkembang sekitar 5-15 hari setelah gigitan dari orang
yang terinfeksi kutu lembut dan mungkin termasuk demam, sakit kepala, dan
kedinginan sesekali disertai mual, muntah, atau nyeri perut. Demam biasanya
sembuh setelah 3-5 hari dan pasien mengalami pemulihan sebelum demam dan
gejala lainnya kembali. Hingga selusin kambuh dapat terjadi ketika bakteri secara
berulang-ulang mengubah antigen permukaannya, setiap kali memunculkan yang
baru respon imun dari inang manusianya. Individu yang mengembangkan ini atau
7

lainnya gejala setelah menghabiskan waktu di padang gurun atau setelah paparan
terhadap hewan pengerat atau sarang hewan pengerat harus menemui penyedia
layanan kesehatan sesegera mungkin.

2.2.2 Gejala Scabies


Ciri khas dari skabies adalah gatal-gatal hebat, yang biasanya semakin
memburuk pada malam hari. Lubang tungau tampak sebagai garis bergelombang
dengan panjang sampai 2,5cm, kadang pada ujungnya terdapat berukuran kecil.
Lubang/terowongan tungau dan gatal-gatal paling sering ditemukan dan dirasakan
di sela-sela jari tangan, pada pergelangan tangan, sikut, ketiak, di sekitar puting
payudara wanita, alat kelamin pria (penis dan kantung zakar), di sepanjang garis
ikat pinggang dan bokong bagian bawah. Gejala gatal (pruritus) akan timbul lebih
dari 3 minggu setelah infestasi tungau ke dalam kulit.
Ruam pada kulit berawal dengan terjadinya papulae eritrema (penonjolan
kulit tanpa berisi cairan, berbentuk bulat, berbatas tegas, berwarna merah, ukuran
<1 cm) yang terus berkembang menjadi vesicle atau pustule (penonjolan kulit
berisi cairan atau nanah). Infeksi jarang mengenai wajah, kecuali pada anak-anak
dimana lesinya muncul sebagai lepuhan berisi air. Pada bayi dan anak-anak dapat
juga ditemukan ruam pada kulit kepala, wajah, leher, telapak tangan, dan kaki.
Masa inkubasi berlangsung 2 sampai 6 minggu sebelum serangan gatal muncul
pada orang yang sebelumnya belum pernah terpajan. Orang yang sebelumnya
pernah menderita skabies maka gejala akan muncul 1–4 hari setelah infeksi ulang.

2.2.3 Gejala Arthropod Borne


Masa inkubasi waktu antara ketika infeksi terjadi dan ketika gejala muncul
- bervariasi dari virus ke virus, tetapi biasanya terbatas antara 2 dan 15 hari untuk
arbovirus.(9) Mayoritas infeksi, bagaimanapun, tidak menunjukkan gejala (10)
Di
antara kasus-kasus di mana gejala muncul, gejala cenderung tidak spesifik,
menyerupai penyakit mirip flu, dan tidak menunjukkan agen penyebab tertentu.
Gejala-gejala ini termasuk demam, sakit kepala, malaise, ruam dan kelelahan.
Jarang, muntah dan demam hemoragik dapat terjadi. Sistem saraf pusat juga dapat
8

dipengaruhi oleh infeksi, seperti ensefalitis dan meningitis yang kadang-kadang


(11)
diamati Prognosis baik untuk kebanyakan orang, tetapi buruk pada mereka
yang mengalami gejala berat, dengan tingkat kematian hingga 20% pada populasi
ini tergantung pada virus. Wanita yang sangat muda, lanjut usia, hamil, dan orang-
orang dengan defisiensi imun lebih mungkin mengembangkan gejala berat.

2.2.4 Gejala Acararina (Kutu)

2.2.4 Gejala Q-Fever

Gejala klinis Q fever pada hewan umumnya bersifat subklinis, sering


ditandai dengan adanya penurunan nafsu makan, gangguan pernafasan dan
gangguan reproduksi berupa abortus. Sedangkan gejala klinis pada manusia
berupa demam mirip dengan gejala influenza dan seringkali diikuti dengan
pneumonia. Selain itu Q fever juga mempunyai 2 bentuk penyakit yaitu akut dan
kronis

Penyakit Q fever menahun (kronis) akan menimbulkan kondisi yang fatal


yaitu mengakibatkan kegagalan fungsi hati, radang tulang, radang otak, gangguan
pada pembuluh darah dan yang kerap terjadi adalah peradangan jantung
(endokarditis) yang berakibat kematian. Penelitian terbaru yang dilaporkan oleh
(12)
menjelaskan bahwa penularan Q fever secara aerosol dapat menimbulkan lesi
pada paru-paru.

2.3 Faktor Penyebab dari Relapsing Fever, Scabies, Arthropod Borne,


Acararina (Kutu) dan Q-Fever
2.3.1 Faktor Penyebab dari Relapsing Fever
Di Amerika Serikat, relapsing fever disebabkan oleh tiga strain bakteri
yang disebut borrelia: B. hermsii, B. parkeri, dan B. turicatae. Mereka menyebar
melalui gigitan kutu lunak yang terinfeksi, yang hidup di sarang hewan kecil
seperti tikus, tupai, dan tupai. Tidak seperti kutu keras, yang tetap melekat selama
9

berhari-hari, kutu lunak hanya memberi makan selama 15 hingga 30 menit


sebelum mereka berhenti. Gigitan mereka sering tidak menyakitkan, sehingga
mungkin tergigit dan tidak menyadarinya.
2.3.2 Faktor Penyebab dari Scabies
Faktor yang menyebabkan skabies adalah keterkaitan antara faktor sosio
demografi dengan lingkungan. Faktor sosio demografi antara lain kemiskinan,
malnutrisi, personal hygiene yang buruk, rendahnya Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS) dan kepadatan penduduk. Di Provinsi Nusa Tenggara Barat skabies
disebabkan karena kontak dengan hewan yang terkena skabies, sedangkan faktor
lingkungannya meliputi kelembaban yang tinggi dan sanitasi yang rendah
terutama di daerah kumuh. Di luar kulit tungau dapat bertahan hidup 2 sampai 3
hari pada suhu kamar dengan kelembaban 40% sampai 80%.

2.3.3 Faktor Penyebab dari Arthropod Borne


Faktor penyebab timbulnya masalah penyakit zoonotik virus Arbo adalah
belum terputusnya rantai penularan penyakit oleh vektor nyamuk, oleh karena itu
(13)
pengendalian nyamuk dewasa sangat penting Pengendalian penyakit ini dapat
dilakukan dengan mengontrol sumber penyakit secara aktif dan penyidikan
epidemiologi melalui petugas surveilans. Penyebaran infeksi virus Arbo dapat
dikontrol secara efektif dengan menggunakan vaksin, namun vaksin yang beredar
(14)
untuk penyakit yang disebabkan virus Arbo sangat terbatas Pencegahan
penyakit zoonotik virus Arbo sangat tergantung pada pengendalian vektornya,
(15)
karena tanpa perantara vektor virus tidak dapat menular . Menurut Dash etal.
(2013), dalam mengendalikan penyakit virus Arbo harus dilakukan dengan
memahami karakteristik vektor arthropoda yang merupakan faktor utama dalam
penyebaran virus

2.3.4 Faktor Penyebab dari Acararina (Kutu)


10

2.3.5 Faktor Penyebab dari Q-Fever

Q fever disebabkan oleh bakteri Coxiella burnetii, bersifat obligat


intraseluler,menyerupai bakteri gram negatip dan berukuran 0,3–1,0 µm. Kuman
C. burnetii memiliki 2 fase antigen yaitu fase I bersifat virulen (patogenik) yang
dapat diisolasi dari hewan maupun manusia yang terinfeksi di alam maupun di
laboratorium. Sedangkan fase II bersifat kurang virulen diperoleh selama
dikembangbiakan secara berseri di biakan sel atau telur tertunas Fase I memiliki
susunan lipopolisakarida diantaranya L-vironosa, dihidrohidroksistreptosa dan
galaktosamin uronil (1,6)-glukosamin yang tidak terdapat pada fase II. Hal inilah
yang diduga membedakan patogenisitas diantara kedua fase C. burnetii tersebut.
Secara serologis, antibodi anti-fase I ditemukan dengan titer tinggi hanya selama
dalam bentuk penyakit yang kronis, sedangkan antibodi antifase II ditemukan
dominan dalam penyakit Q fever akut (16)

2.4 Cara Pencegahan dari Relapsing Fever, Scabies, Arthropod Borne,


Acararina (Kutu) dan Q-Fever
2.4.1 Cara Pencegahan dari Relapsing Fever
A. menghindari tempat tinggal hewan pengerat dan kutu dan situs alami yang
terinfestasi, seperti liang hewan atau gua.
B. Pemeriksaan kandang rumah dan kabin liburan dan mengurangi habitat
hewan pengerat di sekitar rumah dapat dilakukan dengan konsultasi
dengan spesialis kesehatan lingkungan setempat dan layanan pemindahan
hama.
C. Perawatan kimia dari daerah yang dipenuhi hewan pengerat tersedia dan
harus dikelola oleh spesialis pengendalian hama.
D. Kontak dengan kutu dan inang hewan potensial harus terjadi hanya ketika
memakai sarung tangan, karena TBRF telah dikontrak setelah mencemari
kulit dengan darah hewan yang terinfeksi (17)
11

E. Mengenakan pakaian yang melindungi kulit (misalnya, celana panjang dan


kemeja lengan panjang) dan menerapkan pengusir serangga pada kulit dan
pakaian yang terbuka (misalnya permetrin) adalah metode pencegahan
untuk penyakit yang ditularkan oleh kutu keras tetapi tidak jelas
manfaatnya dalam mencegah TBRF,
F. karena orang sering digigit saat tidur. Perlindungan selama tidur di tempat
tinggal yang berpotensi terinfestasi dapat diberikan paling baik dengan
menggunakan penolak topikal.

Pencegahan LBRF terjadi melalui kontrol kutu dengan mempromosikan


(18)
kebersihan pribadi dan delousing sistematis, misalnya dengan permetrin .
Pengendalian epidemi juga dapat melibatkan penggunaan antibiotik secara luas.

Pelaporan TBRF ke departemen kesehatan setempat dianjurkan untuk kasus-kasus


yang didiagnosis di negara-negara di mana TBRF dapat dilaporkan (yaitu,
Arizona, California, Colorado, Idaho, New Mexico, Montana, Nevada, Oregon,
Texas, Utah, Washington, dan Wyoming). Pengawasan adalah informasi untuk
tindakan. Dalam kasus TBRF, tindakan itu mungkin termasuk pencegahan dan
pendidikan publik dan dokter tentang epidemiologi dan presentasi klinis penyakit.
Data surveilans yang akurat sangat penting untuk memajukan pemahaman
penyakit yang ditularkan ini.

2.4.2 Cara Pencegahan dari Scabies


Setiap orang yang tinggal dan kontak langsung bersama penderita harus
diobati meskipun tidak timbul gejala gatal-gatal. Hal ini disebabkan gejala gatal
baru timbul setelah beberapa minggu setelah infestasi tungau. Baju, sprei, sarung
bantal, selimut, handuk, saputangan, dan kain lainnya yang sebelumnya
digunakan oleh penderita disarankan dicuci dengan air panas dan dijemur
dibawah sinar matahari atau dry cleaned untuk membunuh tungau yang menempel
sehingga tidak menjadi sumber penularan
12

2.4.3 Cara Pencegahan dari Arthropod Borne

mengurangi risiko digigit oleh arthropoda dengan menggunakan langkah


langkah perlindungan pribadi seperti

1. tidur di bawah kelambu,


2. mengenakan pakaian pelindung,
3. menerapkan penolak serangga seperti permethrin dan DEET untuk
pakaian dan kulit terbuka, dan (jika mungkin) menghindari area yang
diketahui. pelabuhan populasi artropoda tinggi.

Arboviral encephalitis dapat dicegah dengan dua cara utama:

1. tindakan perlindungan pribadi


mengurangi waktu di luar rumah terutama di jam malam awal,
mengenakan celana panjang dan kemeja lengan panjang dan
menerapkan pengusir nyamuk ke area kulit yang terbuka

2. tindakan kesehatan masyarakat


sering membutuhkan penyemprotan insektisida untuk membunuh nyamuk
remaja (larva) dan dewasa.

2.4.4 Cara Pencegahan dari Acararina (Kutu)

2.4.5 Cara Pencegahan dari Q-Fever


1. Vaksinasi

Vaksin telah tersedia di Australia sejak 1989 (Q-Vax; CSL Biotherapies,


Parkville, Victoria, Australia). Ini adalah vaksin formalin-inactivated seluruh sel
yang diproduksi dan berlisensi di Australia. Selama 15 bulan masa tindak lanjut,
ada tujuh kasus pada kelompok kontrol dan tidak ada kasus pada kelompok yang
(19)
divaksinasi Namun, vaksin ini dapat menginduksi reaksi lokal, dan pasien
13

harus dievaluasi dengan tes kulit (Q-Vax skin test) untuk demam Q sebelum
vaksinasi untuk menghindari efek samping yang parah.

program vaksinasi yang didanai secara nasional dimulai di negara ini pada
(20)
tahun 2002 Kepatuhan program adalah 100% di antara pekerja rumah jagal
dan 43% di petani. Setelah kampanye ini, pelaporan untuk demam Q menurun
(20)
50%, dan jumlah rawat inap juga menurun . Pada tahun 2011, di bagian
tenggara Belanda, kampanye vaksinasi menargetkan orang-orang yang berisiko
(21)
untuk mengalami endokarditis dan infeksi vaskular selama epidemi . Namun,
tingkat cakupan pada orang berisiko tinggi hanya 11% hingga 18% yang diamati,
menggambarkan kemanjuran yang buruk dari perspektif kesehatan masyarakat.
Tidak ada negara lain yang mencoba melembagakan program vaksinasi berskala
besar di antara orang-orang yang terpajan di tempat kerja hingga saat ini. Di
daerah-daerah ini, peningkatan kesadaran dokter tentang risiko infeksi C. burnetii
dalam beberapa kategori pekerja harus membantu dalam diagnosis dini dan
pengobatan infeksi.

2. Isolasi

Mengenai pencegahan penularan pada pekerja laboratorium yang


menangani C. burnetii, semua manipulasi harus dilakukan di laboratorium
biosafety level 3 (BSL3) dengan alat pelindung diri (APD) yang sesuai. Untuk
personel perawatan kesehatan yang melakukan otopsi pada pasien yang diduga
meninggal karena demam Q, pemakaian masker pelindung pernapasan N95
dianjurkan. Rekomendasi yang sama dapat dibuat untuk staf kebidanan yang
berhubungan dengan wanita yang melahirkan wanita yang didiagnosis dengan
infeksi C. burnetii.
Selain itu, karena C. burnetii dapat bertahan hidup di lingkungan dalam
bentuk spora-seperti, permukaan yang terkontaminasi harus dibersihkan dengan
larutan yang mengandung senyawa amonium-deterjen ganda quaternary, yang
benar-benar menginaktivasi bakteri setelah waktu kontak 30-menit (42).
14

.Pengenceran 1: 100 dari pemutih rumah tangga juga merupakan solusi yang
efektif.

2.5 Cara Mengobati Relapsing Fever, Scabies, Arthropod Borne, Acararina


(Kutu) dan Q-Fever
2.5.1 Cara Mengobati Relapsing Fever

Spirochetes TBRF rentan terhadap penicillin dan antimikrobalainnya,serta


tetrasiklin, makrolida, dan mungkin fluoroquinolon. CDC belum mengembangkan
pedoman pengobatan khusus untuk TBRF, Namun, para ahli umumnya
merekomendasikan tetrasiklin 500 mg setiap 6 jam selama 10 hari sebagai rejimen
oral yang disukai untuk orang dewasa. Eritromisin, 500 mg (atau 12,5 mg / kg)
setiap 6 jam selama 10 hari merupakan alternatif yang efektif ketika tetrasiklin
merupakan kontraindikasi. Terapi parenteral dengan ceftriaxone 2 gram per hari
selama 10-14 hari lebih disukai untuk pasien dengan keterlibatan sistem saraf
pusat, mirip dengan penyakit Lyme neurologis awal. Berbeda dengan TBRF,
LBRF yang disebabkan oleh B. recurrentis dapat diobati secara efektif dengan
satu dosis antibiotic .

Ketika memulai terapi antibiotik, semua pasien harus diamati selama 4 jam
pertama pengobatan untuk reaksi Jarisch-Herxheimer. Reaksi, perburukan gejala
dengan keras, hipotensi, dan demam tinggi, terjadi pada lebih dari 50% kasus dan
mungkin sulit dibedakan dari krisis febris. Selimut pendingin dan penggunaan
agen antipiretik yang tepat dapat diindikasikan. Selain itu, sindrom gangguan
pernapasan akut yang membutuhkan intubasi baru-baru ini telah dijelaskan pada
beberapa pasien yang menjalani pengobatan untuk TBRF.

2.5.2 Cara Mengobati Scabies


Salep sulfur 5% - 10% telah digunakan selama satu abad dengan hasil
yang memuaskan. Salep sulfur terdiri dari campuran sulfur dan jeli petroleum atau
krim dingin. Campuran ini diberikan secara topikal pada malam hari selama tiga
malam Efek samping penggunaan sulfur adalah menyebabkan iritasi kulit, kotor,
15

dan berbau, membutuhkan penggunaan yang berulang-ulang sehingga tidak


disukai oleh penderita. Maka saat ini salep sulfur sudah tidak digunakan lagi
Permethrin 5%, meskipun lebih mahal daripada agen yang lain, sekarang
menjadi terapi pilihan di Australia, Inggris, dan Amerika. Permethrin merupakan
insektisida sintetik pyrethoid turunan dari chrysanthemums yang mudah
ditoleransi dan toksisitasnya rendah, sedikit diabsorbsi oleh kulit dan yang
terabsorbsi langsung dimetabolisme oleh tubuh. Aplikasi topikal lebih baik
efeknya dibanding dengan oral. Dari program pemberantasan scabies secara masal
pada suku Aborigin di Australia utara, menunjukkan bahwa permethrin dapat
menyembuhkan 90% penderita
Pada penelitian yang dilakukan oleh Charles dan Charles (1992)
menunjukkan bahwa penggunaan kombinasi daun mimba dan kunyit yang dibuat
menjadi pasta dapat menyembuhkan scabies pada 814 penderita. Sebesar 97%
dari kasus scabies dapat disembuhkan dalam 3-15 hari pengobatan.

2.5.3 Cara Mengobati Arthropod Borne

ensefalitis arboviral adalah penyakit virus, antibiotik bukanlah bentuk


pengobatan yang efektif dan tidak ada obat antiviral yang efektif yang ditemukan.
Perawatan bersifat suportif, berusaha mengatasi masalah seperti pembengkakan
otak, hilangnya aktivitas pernapasan otomatis otak dan komplikasi lain yang bisa
(22)
diobati seperti pneumonia bakteri. Aspirin dan ibuprofen tidak boleh diambil
dalam kasus demam berdarah karena dapat meningkatkan risiko pendarahan dan
menyebabkan Dengue Shock Syndrome. (23)

2.5.4 Cara Mengobati Acararina (Kutu)

2.5.5 Cara Mengobati Q-Fever


Ketika infeksi primer bersifat simptomatis, dianjurkan untuk memulai
pengobatan antibiotik menggunakan doxycycline (200 mg per hari). Studi
komparatif non-acak pertama dilakukan pada tahun 1962. Powell dkk.
16

membandingkan dua rejimen pengobatan dan menunjukkan bahwa durasi demam


lebih pendek (1,7 hari) pada pasien yang diobati dengan doxycycline
dibandingkan pada pasien yang tidak diobati (3,3 hari) (651). Perawatan ini
tampaknya lebih efektif ketika dimulai dalam 3 hari pertama gejala. (Sobradillo
dkk). juga mengamati bahwa pengobatan doxycycline dikaitkan dengan
penurunan demam yang lebih cepat. Sebuah penelitian retrospektif baru-baru ini
dilakukan oleh (Dijkstra et al.) selama wabah di Belanda menegaskan bahwa
pengobatan dengan doksisiklin, fluoroquinolone, klaritromisin, atau
kotrimoksazol dikaitkan dengan penurunan risiko rawat inap dibandingkan
dengan pasien yang menerima beta-laktam atau azitromisin. Penelitian yang sama
menemukan bahwa penundaan dalam memulai pengobatan lebih dari 7 hari
dikaitkan dengan tingkat rawat inap yang lebih tinggi. Efek samping doxycycline
seperti fotosensitifitas dapat dicegah dengan perlindungan matahari, dan wanita
harus menggunakan kontrasepsi yang efektif selama masa pengobatan. Lama
pengobatan standar adalah 14 hari
17

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
18

BAB IV
PENUTUP

4.1 Simpulan
4.1.1 Pengertian dari Relapsing Fever, Scabies, Arthropod Borne, Acararina
(Kutu) dan Q-Fever
4.1.2 Gejala dari Relapsing Fever, Scabies, Arthropod Borne, Acararina (Kutu)
dan Q-Fever
4.1.3 Faktor Penyebab dari Relapsing Fever, Scabies, Arthropod Borne,
Acararina (Kutu) dan Q-Fever
4.1.4 Cara Pencegahan dari Relapsing Fever, Scabies, Arthropod Borne,
Acararina (Kutu) dan Q-Fever
4.1.5 Cara Mengobati Relapsing Fever, Scabies, Arthropod Borne, Acararina
(Kutu) dan Q-Fever

4.2 Saran
19

Daftar Pustaka

1. Majematang Mading dan Ira Indriaty, 2015, Kajian Aspek Epidemiologi Skabies
Pada Manusia, Vol.2 No.2 2015, http://___________________, diakses
November 2018
2. Tias Pramesti Griana, 2013, Scabies : Penyebab, Penanganan Dan
Pencegahannya, Vol.4 No.1 2013, http://__________, diakses November 2018
3. KAPLAN, M.M. and P. ERTAGNA. 1955. The geographical distribution of Q
fever. Bull. Wld. Health. Org. 13: 829−860.
4. Gubler DJ. 2009. Vector-borne diseases. Rev Sci Tech. 28:583-588.
5. Darpel KE, Langner KFA, Nimtz M, Anthony SJ, Brownlie J,Takamatsu HH,
Mellor PS, Mertens PPC. 2011. Saliva proteins of vector Culicoides modify
structure and infectivity of bluetongue virus particles. PloS One. 6:e17545.
6. Gould EA, Higgs S. 2009. Impact of climate change and other factors on
emerging arbovirus diseases. Trans R Soc Trop Med Hyg. 103:109-121.
7. Kean J, Rainey SM, McFarlane M, Donald CL, Schnettler E, Kohl A, Pondeville
E. 2015. Fighting arbovirus transmission: Natural and engineered control of
vector competence in Aedes mosquitoes. Insects. 6:236-278
8. RAOULT, D., T. MARRIE and J. MEGE. 2005. Natural history and
patophysiology of Q fever. Lancet Infect. Dis. 5(4): 219
9. Mostashari, F.; Bunning, M. L.; Kitsutani, P. T.; Singer, D. A.; Nash, D.; Cooper,
M. J.; Katz, N.; Liljebjelke, K. A.; Biggerstaff, B. J.; Fine, A. D.; Layton, M. C.;
Mullin, S. M.; Johnson, A. J.; Martin, D. A.; Hayes, E. B.; Campbell, G. L.
(2001). "Epidemic West Nile encephalitis, New York, 1999: Results of a
household-based seroepidemiological survey". The Lancet. 358 (9278): 261–264
10. Reiter, P. (2010). "Yellow Fever and Dengue: A threat to Europe?".
Eurosurveillance. 15 (10): 19509
11. Davis, L. E.; Debiasi, R.; Goade, D. E.; Haaland, K. Y.; Harrington, J. A.;
Harnar, J. B. Pergam, S. A.; King, M. K.; Demasters, B. K.; Tyler, K. L. (2006).
"West Nile virus neuroinvasive disease". Annals of Neurology. 60 (3): 286–300
12. STEIN, A., C. LOUVEAU, H. LEPIDI, F. RICCI, P. BAYLAC, B. DAVOUST
and D. RAOULT. 2005. Q fever pneumonia: Virulence of Coxiellaburnetii
pathovars in a murine model aerosolInfection. Infect. Immun. 73(4): 2469–2477.
20

13. Samsudin. 2008. Virus patogen serangga: Bio-insektisida ramah lingkungan


[Internet]. Tersedia dari: http://lembagapertaniansehat/developusefulinnovation
forfamersrubrik
14. Hall RA, Blitvich BJ, Cheryl AJ, Stuart DB. 2012. Advances in virus arbo
surveillance, detection and diagnosis. J Biomed Biotechnol. 2012:1-2.
15. Paramarta IGE, Kari IK, Hapsara S. 2009. Faktor risiko lingkungan pada pasien
Japanese encephalitis. Sari Pediatri. 10:308-313.
16. PEACOCK, M.G., R.N. PHILIP, J.C. WILLIAMS and R.S. FAULKNER. 1983.
Serological evaluation of Q fever in humans: enhanced phase I titers of
immunoglobulins G and A are diagnostic for Q fever endocarditis. Infect.
Immun. 41: 1089−1098.
17. Beck MD. Present distribution of relapsing fever in California. In: Moulton FR,
editor. A Symposium on relapsing fever in the Americas. Washington, DC:
American Association for the Advancement of Science; 1942. pp. 20–25
18. Dennis DT, Hayes EB. Relapsing fever. In: Braunwald E, Hauser SL, Fauci AS,
editors. Harrison’s principles of internal medicine. 16th edition. New York:
McGraw-Hill; 2005. pp. 991–995.
19. Shapiro RA, Siskind V, Schofield FD, Stallman N, Worswick DA, Marmion BP.
1990. A randomized, controlled, double-blind, cross-over, clinical trial of Q fever
vaccine in selected Queensland abattoirs. Epidemiol Infect 104:267–273
20. Gidding HF, Wallace C, Lawrence GL, McIntyre PB. 2009. Australia's national
Q fever vaccination program. Vaccine 27:2037–2041.
doi:10.1016/j.vaccine.2009.02.007
21. Vermeer-de Bondt PE, Schoffelen T, Vanrolleghem AM, Isken LD, van Deuren
M, Sturkenboom MCJM, Timen A. 2015. Coverage of the 2011 Q fever
vaccination campaign in the Netherlands, using retrospective population-based
prevalence estimation of cardiovascular risk-conditions for chronic Q fever.
PLoS One 10:e0123570
22. CDC Information on Arboviral Encephalitides". Archived from the original on
January 27, 2007. Retrieved 2007-02-07 (1)
23. http://www.who.int/denguecontrol/human/en

Anda mungkin juga menyukai