Anda di halaman 1dari 23

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

PERKAWINAN CAMPURAN

DISUSUN

1. Syaidah Irma (02011181520040)


2. Deva Pratama (02011181520051)
3. Ahmad Syarif (02011181520105)
4. Lailiana Yustin Nursa (02011181520117)
5. Reni Junita (02011181520123)
6. Supatma (02011181520143)
7. Alpi Juniarsyih (02011181520151)
8. Pipit Triandini (02011181520154)
9. Vivi Afriliani (02011181520420)
10. Novia Handayani (02011281520442)
KELAS :C

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

TAHUN AJARAN 2017/2018

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat, hidayah dan karunia-Nyalah penulisan dan penyusunan makalah ini dapat selesai
dengan tepat waktu. Makalah ini diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah Hukum
Perdata Internasional. Adapun judul makalah ini adalah “Perkawinan Campuran”

Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Sri Handayani, S.H.,M.Hum. selaku Dosen Hukum Perdata Internasional


2. Seluruh anggota kelompok yang telah berpartisipasi

Makalah ini membahas tentang : Pengertian dan Syarat-Syarat Perkawinan Campuran,


Prosedural Perkawinan Campuran, Pembahasan tentang Problematika dalam Perkawinan
Campuran, Perkawinan Campuran dalam perundang-undangan dan Pembahasan tentang
Status dan Kedudukan Anak dari Hasil Perkawinan Campuran.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis berharap terdapat kritik dan saran yang
membangun dari pembaca guna memacu perbaikan tugas dimasa mendatang. Untuk itu,
penulis ucapkan terima kasih.

Indralaya, 16 Februari 2017

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara merdeka yang memiliki berbagai hubungan luar negeri
dengan negara lain. Hal ini dibuktikan dengan adanya kedutaan besar Indonesia di beberapa
negara di Dunia. Tak hanya berhubungan dalam dunia politik, Indonesia juga menjalin
hubungan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya dengan negara lain. Dalam lingkup yang
lebih kecil, kita menyadari bahwa Indonesia juga memiliki hubungan yang baik dengan
negara lain karena adanya ikatan perkawinan yang melibatkan antar warga negara Indonesia
dan warga negara asing.
Dalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 57 : “Yang dimaksud dengan
perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah
satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaaran Indonesia”.
Dengan adanya perkawinan campuran sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut, tentunya
akan menghasilkan perpaduan budaya diantara keduanya. Takhanya itu, perkawinan
campuran juga akan melibatkan Hukum Perdata Internasional didalamnya.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas penulis dapat merumuskan berbagai masalah diantaranya:
1. Apa yang dimaksud dengan perkawinan campuran dan syarat-syarat perkawinan
campuran?
2. Bagaimana prosedur melaksanakan perkawinan campuran?
3. Apasaja problematika perkawinan campuran dan bagaimanakah solusi dari
problematika tersebut?
4. Apasaja peraturan yang mengatur tentang perkawinan campuran di Indonesia?
5. Bagaimana status dan kedudukan anak hasil dari perkawinan campuran?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perkawinan campuran.
2. Untuk mengetahui bagaimana prosedur melaksanakan perkawinan campuran.
3. Untuk menganalisa suatu problematika yang terjadi akibat perkawinan campuran
sekaligus untuk mengetahui solusi dari problematika tersebut
4. Untuk mengetahui dasar hukum yang mengatur tentang perkawinan campuran
D. Manfaat Penulisan

Makalah yang betemakan “Perkawinan Campuran” ini diharapkan dapat menjadi


bahan acuan penulis dalam presentasi. Selain itu, makalah ini dapat dijadikan sebagai materi
pembelajaran bagi mahasiswa hukum yang mengambil mata kuliah Hukum Perdata
Internasional.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian dan Syarat-Syarat Perkawinan Campuran


A. Pengertian Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang berbeda
kewarganegaraan (pasal 57). Dari definisi pasal 57 UU Perkawinan ini dapat diuraikan
unsur-unsur perkawinan campuran sebagai berikut:
a. perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita;
b. di Indonesia tunduk pada aturan yang berbeda;
c. karena perbedaan kewarganegaraan;
d. salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Unsur pertama jelas menunjuk kepada asas monogami dalam perkawinan. Unsur
kedua menunjukkan kepada perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan wanita yang kawin
itu. Tetapi perbedaan itu bukan karena perbedaan agama, suku bangsa, golongan di Indonesia
melainkan karena unsur ketiga karena perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan
kewarganegaraan ini bukan kewarganegaraan asing semuanya, melainkan unsur keempat
bahwa salah satu kewarganegaraan itu ialah kewarganegaraan Indonesia.
Tegasnya perkawinan campuran menurut UU ini adalah perkawinan antar
warganegara Indonesia dan warganegara asing. Karena berlainan kewarganegaraan tentu saja
hukum yang berlaku bagi mereka juga berlainan.

B. Syarat-Syarat dan Pelangsungan Perkawinan Campuran


Apabila perkawinan campuran itu dilangsungkan di Indonesia, perkawinan campuran
dilakukan menurut UU Perkawinan (pasal 59 ayat 2) yang menyatakan: “bahwa perkawinan
campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut UU Perkawinan No. 1 tahun
1974”. Pasal 60 ayat 1 menyatakan: “Mengenai syarat-syarat perkawinan harus memenuhi
syarat-syarat perkawinan menurut hukum masing-masing pihak”. Pasal 60 ayat 2
menyatakan: “Pejabat yang berwenang memberikan keterangan tentang telah dipenuhi syarat-
syarat perkawinan menurut hukum masing-masing pihak ialah pegawai pencatat menurut
hukum masing-masing pihak”.
Pasal 60 ayat 3 menyatakan: Apabila pegawai pencatat menolak memberikan surat
keterangan itu, yang berkepentingan itu mengajukan permohonan kepada Pengadilan, dan
pengadilan memberikan keputusannya. Jika keputusan pengadilan itu menyatakan bahwa
penolakkan itu tidak beralasan, maka keputusan Pengadilan itu menjadi pengganti surat
keterangan tersebut.
Setelah surat keterangan Pengadilan atau keputusan Pengadilan diperoleh, maka
perkawinan segera dilangsungkan. Pelangsungan perkawinan dilangsungkan menurut hukum
masing-masing agama. Bagi yang beragama islam, menurut hukum islam yaitu dengan
upacara akad nikah, sedangkan bagi agama yang bukan islam dilakukan menurut hukum
agamanya itu. Dengan kata lain supaya dapat dilakukan akad nikah menurut agama islam,
kedua mempelai harus beragama islam. Supaya dapat dilakukan upacara perkawinan menurut
catatan sipil, kedua pihak yang kawin itu harus tunduk ketentuan upacara catatan sipil.
Pelangsungan perkawinan dilakukan dihadapan pegawai pencatat.
Ada kemungkinan setelah mereka memperoleh surat keterangan atau putusan
Pengadilan, perkawinan tidak segera mereka lakukan. Apabila perkawinan mereka tidak
dilangsungkan dalam masa enam bulan sesudah keterangan atau putusan itu diberikan, maka
surat keterangan atau putusan pengadilan itu tidak mempunyai kekuatan lagi (pasal 60 ayat
5).

2. Prosedur Dalam Melaksanakan Perkawinan Campuran


Prosedur bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang akan menikah di Indonesia
dengan laki-laki Warga Negara Asing (WNA) berdasarkan UU yang berlaku saat ini (UU No.
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) adalah sebagai berikut.

1. Perkawinan Campuran
Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
karena perbedaan kewarganegaraan, dikenal dengan Perkawinan Campuran (pasal 57 UU No.
1 tahun 1974 tentang Perkawinan). Artinya perkawinan yang akan anda lakukan adalah
perkawinan campuran.

2. Sesuai dengan UU Yang Berlaku


Perkawinan Campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-
Undang Perkawinan dan harus memenuhi syarat-syarat perkawinan. Syarat Perkawinan
diantaranya: ada persetujuan kedua calon mempelai, izin dari kedua orangtua/wali bagi yang
belumberumur 21 tahun, dan sebagaimua (lihat pasal 6 UU Perkawinan).
3. Surat Keterangan dari Pegawai Pencatat Perkawinan

Bila semua syarat telah terpenuhi, anda dapat meminta pegawai pencatat perkawinan
untuk memberikan Surat Keterangan dari pegawai pencatat perkawinan masing-masing
pihak, --anda dan calon suami anda,-- (pasal 60 ayat 1 UU Perkawinan). Surat Keterangan
ini berisi keterangan bahwa benar syarat telah terpenuhi dan tidak ada rintangan untuk
melangsungkan perkawinan. Bila petugas pencatat perkawinan menolak memberikan surat
keterangan, maka anda dapat meminta Pengadilan memberikan Surat Keputusan, yang
menyatakan bahwa penolakannya tidak beralasan (pasal 60 ayat 3 UU Perkawinan).Surat
Keterangan atau Surat Keputusan Pengganti Keterangan ini berlaku selama enam bulan. Jika
selama waktu tersebut, perkawinan belum dilaksanakan, maka Surat Keterangan atau Surat
Keputusan tidak mempunyai kekuatan lagi (pasal 60 ayat 5 UU Perkawinan).

4. Surat-surat yang harus dipersiapkan


Ada beberapa surat lain yang juga harus disiapkan, yakni:
a. Untuk calon suami, sebagai calon suami, harus melengkapi surat-surat dari daerah atau
negara asalnya. Untuk dapat menikah di Indonesia, ia juga harus menyerahkan "Surat
Keterangan" yang menyatakan bahwa ia dapat kawin dan akan kawin dengan WNI. SK ini
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang di negaranya. Selain itu harus pula dilampirkan:
o Fotokopi Identitas Diri (KTP/pasport)/Fotokopi Akte Kelahiran
o Surat Keterangan bahwa ia tidak sedang dalam status kawin;atau
o Akte Cerai bila sudah pernah kawin; atau
o Akte Kematian istri bila istri meninggal
Surat-surat tersebut lalu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penterjemah
yang disumpah dan kemudian harus dilegalisir oleh Kedutaan Negara WNA tersebut yang ada
di Indonesia.

b. Untuk calon istri sebagai calon istri, harus melengkapi diri anda dengan:
o Fotokopi KTP
o Fotokopi Akte Kelahiran
o Data orang tua calon mempelai
o Surat pengantar dari RT/RW yang menyatakan bahwa anda tidak ada halangan bagi
anda untuk melangsungkan perkawinan
5. Pencatatan Perkawinan (pasal 61 ayat 1 UU Perkawinan)

Pencatatan perkawinan ini dimaksudkan untuk memperoleh kutipan Akta Perkawinan


(kutipan buku nikah) oleh pegawai yang berwenang.Bagi yang beragama Islam, pencatatan
dilakukan oleh pegawaiPencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah Talak Cerai
Rujuk. Sedang bagi yang Non Islam, pencatatan dilakukan oleh PegawaiKantor Catatan Sipil.

6. Legalisir Kutipan Akta Perkawinan

Kutipan Akta Perkawinan yang telah anda dapatkan, masih harus dilegalisir di
Departemen Hukum dan HAM dan Departemen Luar Negeri, serta didaftarkan di Kedutaan
negara asal suami.Dengan adanya legalisasi itu, maka perkawinan anda sudah sah dan
diterima secara internasional, baik bagi hukum di negara asal suami,maupun menurut hukum
di Indonesia

7. Konsekuensi Hukum

Ada beberapa konsekuensi yang harus anda terima bila anda menikah dengan seorang
WNA. Salah satunya yang terpenting yaitu terkait dengan status anak. Berdasarkan UU
Kewarganegaraan terbaru, anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria
WNA,maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, kini
sama-sama telah diakui sebagai warga negara Indonesia.Anak tersebut akan
berkewarganegaraan ganda, dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia
harus menentukan pilihannya.Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling
lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin. Jadi bersiaplah untuk
mengurus prosedural pemilihan kewarganegaraan anak anda selanjutnya.

Bagi perkawinan campuran yang dilangsungkan di luar Indonesia, harus didaftarkan


di kantor Catatan Sipil paling lambat 1 (satu) tahun setelah yang bersangkutan kembali ke
Indonesia. Bila tidak, maka perkawinan anda belum diakui oleh hukum kita. Surat bukti
perkawinan itu didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal anda di Indonesia
(pasal 56 ayat (2) UU No 1/74).

3. Problematika dan Solusi Perkawinan Campuran


1. Masalah Kesahan Perkawinan
Di dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 telah ditentukan bahwa sahnya perkawinan
di Indonesia adalah berdasarkan masing-masing agama dan kepercayaannya ( Pasal 2 ayat 1 ).
Oleh karena itu mengenai perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia harus
dilakukan berdasarkan hukum perkawinan Indonesia jadi kesahan perkawinan tersebut harus
berdasarkan hukum agama dan harus dicatat apabila kedua belah pihak, calon suami-isteri ini
menganut agama yang sama tidak akan menimbulkan masalah, namun apabila berbeda
agama, maka akan timbul masalah hukum antar agama. Masalahnya tidak akan menjadi
rumit apabila jalan keluarnya dengan kerelaan salah satu pihak untuk meleburkan
diri/mengikuti kepada agama pihak, yang lainnya tetapi kesulitan ini muncul apabila kedua
belah pihak tetap ingin rnempertahankan keyakinannya. Terlebih lagi karena Kantor Catatan
Sipil berdasarkan Keppres No.12 Tahun 1983, tidak lagi berfungsi untuk menikahkan.
Namun di dalam kenyataannya sering terjadi untuk mudahnya pasangan tersebut kawin
berdasarkan agama salah satu pihak, dan kemudian setelah perkawinannya disahkan mereka
kembali kepada keyakinannya masing-masing.

Di Indonesia perkawinan antar agama masih merupakan suatu problem yang masih perlu
dicarikan jalan keluarnya dengan sebaik-baiknya. Mengenai kesahan perkawinan campuran
ini memang belum ada Pengaturan khusus, sehingga dalam prakternya sering terjadi peristiwa
dimana keduanya menikah dalam satu akidah, namun kemudian setelah perkawinan disahkan
mereka kembali kepada keyakinannya masing-masing. Disamping itu terdapat juga pasangan
yang melangsungkan perkawinan di luar negeri, baru kemudian didaftarkan di Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, masalah perkawinan campuran ini tidak mungkin dihilangkan,
maka untuk adanya kepastian hukum sebaiknya dibuatkan suatu pengaturan mengenai
kesahan perkawinan campuran ini.

2. Masalah Pencatatan

Mengenai perkawinan campuran dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tidak ada
ketentuan yang mengatur secara khusus tentang pencatatan perkawinan campuran. Dengan
demikian apabila perkawinan dilangsungkan di Indonesia maka berlaku ketentuan pasal 2
ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan ketentuan Pasal 2 sampai dengan Pasal 9
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun
1974 yang antara lain disebutkan :

a. Pada Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Pencatatan perkawinan
dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut Agama Islam dilakukan oleh
Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam undang-undang No. 32 Tahun 1954
tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Pencatatan perkawinan dari mereka yang
melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain
Agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatatan perkawinan pada Kantor Catatan Sipil
sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan
perkawinan. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi
tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara
pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 3 sampai
dengan Pasal 9. Apabila pengaturannya demikian, maka mengenai pencatatan ini akan
timbul masalah kalau calon suami atau calon Isteri bersikeras tetap mempertahankan
keinginannya maka akan dicatat dimana, karena masalah perkawinan campuran pada
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang pencatatan perkawinan
campuran, baik untuk perkawinan antar keyakinannya maupun perkawinan antar
kewarganegaraan. Demikian dalam hal pencatatan perkawinan apabila pasangan tersebut
beragama Islam, meskipun adanya perbedaan kewarganegaraan tetap dicatatkan di KUA.
Sedangkan apabila pasangan tersebut beragama non muslim meskipun berbeda
kewarganegaraan tetap pencatatannya di Kantor Catatan Sipil. jadi yang perlu dipikirkan
pengaturannya adalah pencatatan bagi pasangan yang berbeda agama. Untuk itu memang
diperlukan pemikiran secara mendalam dari berbagai segi agar tidak merugikan salah
satu pasangan.

3. Masalah Harta Benda Perkawinan

Apabila pihak suami warga negara Indonesia, maka ketentuan hukum material
berkaitan dengan harta kekayaan diatur berdasarkan hukum suami, yaitu Undangundang No.
1 Tahun 1974. Namun harta benda perkawinan campuran ini apabila tidak dilakukan
perjanjian perkawinan yang menyangkut harta perkawinan maka berkenaan dengan harta
perkawinan ini akan tunduk pada pasal 35, dimana ditentukan, bahwa : Harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; Harta bawaan dari masing-masing
suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan,
adalah dibawah penguasaan masingmasing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Selanjutnya mengenai harta bersama ini dapat dikelola bersama-sama suami dan isteri, namun
dalam setiap perbuatan hukum yang menyangkut harta bersama harus ada persetujuan kedua
belah pihak (Pasal 36 ayat (1)). Sedangkan dalam hal harta bawaan masing-masing suami dan
isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya Pasal 36 ayat (2)). Apabila terjadi perceraian, maka harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing (Pasal 37), yang dimaksud hukum masing-masing pihak di dalam
undang-undang Perkawinan ini adalah hukum agama, hukum adat atau hukum lainnya.

Untuk Perkawinan Campuran akan munjadi masalah Hukum Perdata internasional,


karena akan terpaut 2 (dua) sistem hukum perkawinan yang yang berbeda, yang dalam
penyelesaiannya dapat digunakan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 6 ayat (1) GHR ( Regeling of
de gemengde huwelijken) S. 1898 yaitu diberlakukan hukum pihak suami. Masalah harta
perkawinan campuran ini apabila pihak suami warga negara Indonesia, maka tidak ada
permasalahan, karena diatur berdasarkan hukum suami yaitu Undang-undang No.l Tahun
1974. Sedangkan apabila isteri yang berkebangsaan Indonesia dan suami berkebangsaan asing
maka dapat menganut ketentuan Pasal 2 dan Pasal 6 ayat (1) GHR, yaitu diberlakukan hukum
pihak suami. Namun karena GHR tersebut adalah pengaturan produk zaman Belanda,
sebaiknya masalah ini diatur dalam Hukum Nasional, yang disesuaikan dengan
perkembangan zaman.

4. Masalah Perceraian

Di dalam suatu perkawinan diharapkan tidak akan terjadi perceraian, karena dengan
terjadinya perceraian akan menimbulkan berbagai permasalahan. Namun apabila tetap terjadi
perceraian, maka perkawinan yang dilaksanakan di Indonesia dan pihak suami warga negara
Indonesia, jelas syarat-syarat dan alasan perceraian harus berdasarkan ketentuan yang berlaku
di Indonesia. yaitu dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No.9
Tahun 1975 dan khusus untuk pegawai negeri sipil berlaku pula ketentuan-ketentuan PP No.
10 Tahun 1983 dan PP No. 45 Tahun 1990. Tetapi dalam hal Perkawinana Campuran yang
perkawinannya dilangsungkan di Indonesia sedangkan pihak suami adalah warga negara
asing dan mereka menetap di luar negeri, maka dalam hal ini akan timbul masalah Hukum
Perdata internasional lagi yaitu untuk menentukan alasan dan syarat perceraian tersebut
demikian pula bagi mereka yang melangsungkan perkawinan di luar negeri. Putusnya
perkawinan disebabkan kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan.

Dalam hal perceraian hanya dapat dilakukan didepan pengadilan yang berwenang,
setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak. Selain itu untuk melakukan perceraian harus cukup alasan bahwa antara suami isteri
itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Disini jelas apabila perkawinan
campuran dilakukan di Indonesia jelas alasan maupun akibat terjadinya perceraian
berdasarkan ketentuan yang diatur di dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974. Bila
perkawinan campuran yang di langsungkan di Indonesia namun tinggalnya di luar negeri atau
perkawinannya dilangsungkan diluar negeri dalam hal ini belum ada pengaturannya. Oleh
karena itu perlu diatur atau paling tidak. adanya perjanjian perkawinan antara keduanya.
apabila kemungkinan putus perkawinan tersebut. Karena apabila sebelum perkawinan pihak
suami dan pihak isteri telah membuat perjanjian dan dilakukan didepan institusi yang
berwenang, yang berisi masalah, kalau terjadi perceraian dalam hal alasan maupun akibat
perceraian yaitu tanggung jawab dan kewajiban memelihara anak dari hasil perkawinan
mereka, maka sudah ada jaminan bagi anak.

5. Status Anak

Mengenai anak ini, cukup banyak peraturan yang mengatur tentang anak, dan dilain
pihak keberadaan anak tidak terlepas dan berhubungan erat dengan hukum perkawinan,
hukum keluarga, dan hukum kewarisan. Dalam hal perkawinan campuran masalah status anak
ini juga menghadapi permasalahan yaitu berkaitan dengan kewarganegaraan dari anak. Selain
daripada itu dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 mengenai kedudukan anak telah diatur
pada Bab 9 dalam Pasal 42 sampai Pasal 44 yang antara lain menentukan :

a. Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang
sah (Pasal 42)

b. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
Ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat(1))

c. Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia
dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzinah dan anak itu akibat daripada perzinahan
tersebut.

d. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang
berkepentingan.

Bertitik tolak dari pengaturan tersebut, jelas bahwa Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tidak mengatur mengenai anak hasil perkawinan antar bangsa Indonesia dengan bangsa-asing
karena dalam Pasal 42 tersebut hanya mengatur mengenai kedudukan anak. Selanjutnya
dalam pasal 43 mengatur anak yang dilahirkan diluar perkawinan dan juga mengatur
mengenai seorang suami yang dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya
bila mana ia dapat membuktikan bahwa isterinya melahirkan anak akibat perzinahan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Perkawinan hanya mengatur
kedudukan anak hasil perkawinan antara warga negara Indonesia saja. Sedangkan apabila
perkawinan campuran yang berbeda kewarganegaraan, masalah kedudukan anak atau status
anak ini memang dapat menimbulkan permasalahan. Permasalahan yang timbul adalah
apabila si isteri berkewarganegaraan Indonesia dan suami berkewarganegaraan asing, maka
kalau mempunyai anak pihak isteri tidak mempunyai pilihan untuk memberikan
kewarganegaraannya kepada anak.

Kenapa demikian, karena Indonesia menganut asas keturunan (asas ius sanguinis) yaitu
kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh keturunan daripada orang yang bersangkutan (si
suami). Selain itu apabila si anak mempunyai kewarganegaraan dari bapak (asing) maka
dalam proses pelaporan ke Kedutaan dan Kantor Imigrasi bukan perkara yang mudah, dan
membutuhkan biaya yang cukup besar, bahkan ada negara tertentu si anak yang masih kecil
harus dibawa untuk melaporkan kekedutaan. Sedangkan bilamana isteri yang
berkewarganegaraan Indonesia mengikuti suami tinggal di negara suaminya, maka ketika
mengajukan permohonan menjadi "Permanent resident (PR) prosesnya memakan waktu 4
tahun. Selanjutnya apabila perkawinan tidak berjalan mulus dan terjadi kekerasan yang
akhirnya terjadi perceraian maka akan timbul permasalahan si anak menjadi warganegara
yang mana (ikut Ayah atau ikut Ibu). Jumlah peristiwa perkawinan campuran yang terjadi di
Indonesia cenderung meningkat dan hal tersebut mengakibatkan permasalahan yang berkaitan
dengan penentuan status kewarganegaraan anak dari perkawinan tersebut. Untuk
memecahkan hal tersebut dapat dilakukan antara lain (menurut hasil tim analisis dan evaluasi
hukum tentang status anak, hasil perkawinan campuran antar WNI dan asing).

1). Konsekuensi hukum status anak hasil perkawinan kewarganegaraan Indonesia


dan asing (Ius Sanguinis).
a) Perjanjian Perkawinan tentang Kewarganegaraan anak yang disahkan oleh
Notaris.

Perkawinan antara seorang pria Warga Negara Amerika dengan Wanita Warga Negara
Indonesia, mereka menghendaki agar anak dari perkawinan mereka mengikuti
kewarganegaraan Ibunya melalui perjanjian dihadapan Notaris (tahun 1994) perlu
dikukuhkan oleh pengadilan, yang menyatakan bahwa anak yang lahir dari perkawinan
mereka menjadi warga negara Indonesia yaitu mengikuti kewarganegaraan ibunya.
Perjanjian ini disampaikan kepada Kantor Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta tahun 1995 dan
pada tahun 1995 saat mengajukan akta kelahiran anak-anaknya dan memohon agar dalam
pencatatan kelahiran anakanaknya tersebut tertulis Warga Negara Indonesia.

b) Status anak dari perkawinan campuran yang putus karena cerai dan di bawah
pengasuhan Ibunya.

Perkawinan antara seorang pria WNA dengan wanita WNI dan perkawinan tersebut
putus karena perceraian padahal anaknya masih dibawah umur, maka anak dari perkawinan
tersebut diputus oleh Pengadilan dibawah asuhan ibunya yang WNI, padahal status anak
tersebut adalah WNA. Oleh karena itu untuk melindungi anak tersebut, sebaiknya si ibu
mengajukan permohonan kewarganegaraan Indonesia kepada pengadilan. Atau si anak dapat
memilih sendiri kewarga negaraannya setelah berumur 18 tahun (pasal 3 UU No. 62 Tahun
1959).

c) Anak dari perkawinan campuran yang dilaporkan oleh Ibunya sebagai anak
luar kawin. Hal tersebut dilakukan oleh sang Ibu agar anak hasil perkawinan campuran
tersebut menjadi Warga Negara Indonesia, dan untuk menghindari anak menjadi WNA.

2) Anak WNI yang lahir di luar negeri (ius soli)


a) Status anak dari perkawinan campuran yang menganut asas
kewarganegaraan yang berbeda. Perkawinan antara seorang pria WNA dengan wanita yang
WNI, dimana negara asal, pria tersebut menganut asas kewarganegaraan ius soli. Anak dari
perkawinan tersebut yang lahir di Indonesia sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia
mempunyai kewarganegaraan ayahnya, sedangkan hukum yang berlaku di negara ayahnya
anak tersebut berkewarganegaraan Indonesia sehingga anak tersebut statusnya bipatrida.

b) Anak dari perkawinan campuran yang tinggal di luar negeri. Perkawinan


campuran antara pria WNI dengan wanita yang WNA dan tinggal diluar negeri yang
menganut asas kewarganegaraan ius soli. Anak dari perkawinan tersebut menurut hukum di
Indonesia kewarga negaraannya mengikuti ayahnya yaitu WNI, namun karena lahir dan diluar
negeri yang menganut asas kewarganegaraan ius soli, maka anak tersebut menjadi WNA.

6. Masalah Warisan.

Kita mengetahui bahwa mengenai warisan, di Indonesia sampai saat ini masih bersifat
plural, disamping berlakunya Hukum waris adat yang beraneka ragam sistemnya dan juga
berlaku waris yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata serta hukum waris
Islam. Jadi mengenai Perkawinan Campuran masalah warisan juga belum ada pengaturan
tersendiri sehingga sangat memungkinkan terjadinya permasalahan Masalah warisan ini,
karena di. Indonesia belum mempunyai peraturan perundang-undangan yang bersifat
nasional, maka dalam warisan tetap mengacu kepada hukum adat, hukum Islam dan
KUHPerdata. Oleh karena itu warisan yang berkaitan dengan perkawinan campuran, memang
diserahkan kepada suami isteri yang bersangkutan.

1. Perkawinan Campuran dalam peraturan perundang-undangan


1. Menurut Staatblad 1896 N0. 158.
Pengertian Perkawinan Campuran Masa Pemerintahan Kolonial Beslit
Kerajaan 29 Desember 1896 No. 23 Staatsblad 1896/158 (Regeling op de gemengde
huwelijken", selanjutnya disingkat GHR) memberi defenisi sebagai berikut:
Perkawinan dari orang-orang yang di Indonesia berada di bawah hukum yang
berlainan ( Pasal 1 ).

Menurut Pasal 1 GHR tersebut, maka yang masuk dalam lingkup perkawinan
campuran yaitu:

a. Perkawinan campuran internasional, yaitu antara warganegara dan orang asiny,


antara orang-orang asing dengan hukum berlainan, dan perkawinan yang
dilangsungkan di luar negeri.

b. Perkawinan campuran antar tempat, misalnya seperti perkawinan antara seorang


Batak dengan perempuan Sunda seorang pria Jawa dengan wanita Lampung, antara
orang Arab dari Sumbawa dan Arab dari Medan dan sebagainya yang disebabkan
karena perbedaan tempat.

c. Perkawinan campuran antar golongan (intergentiel). Adanya perkawinan campuran


antar golongan adalah disebabkan adanya pembagian golongan penduduk oleh
Pemerintah Kolonial kepada 3 (tiga) golongan yaitu: (1) Golongan Eropa; (2)
Golongan Timur Asing; (3) Golongan Bumi Putera (penduduk asli) sehingga
perkawinan yang dilakukan antar mereka yang berbeda golongan disebut perkawinan
campuran antar golongan. Misalnya: (1) antara Eropa dan Indonesia; (2) antara Eropa
dan Tionghoa; (3) antara Eropa dan Arab; (4) antara Eropa dan Timur Asing; (5)
antara Indonesia dan Arab; (6) antara Indonesia dan Tionghoa; (7) antara Indonesia
dan Timur Asing; (8) antara Tionghoa dan Arab. d. Perkawinan Campuran Antar
Agama Perkawinan bagi mereka yang berlainan agama disebut pula
perkawinan campuran. Adanya perkawinan beda agama dalam sistem hukum
perkawinan kolonial disebabkan Pemerintah Hindia Belanda dalam hal perkawinan
mengesampingkan hukum dan ketentuan agama. Perkawinan antar agama terdapat
pertentangan dalam praktek dan banyak perkawinan dari masyarakat dan kaum
agamawan namun oleh pemerintah kolonial tetap dipertahankan, bahkan pada tahun
1901 .M dianggap perlu untuk menambah GHR dengan ketentuan pasal 7 ayat (2)
yang menetapkan bahwa "Perbedaan agama, tak dapat digunakan sebagai !arangan
terhadap suatu perkawinan campuran." Penambahan ayat 2 pada pasal 7 GHR itu
adalah akibat pengaruh konferensi untuk hukum Internasional di Den Haaq pada
Tahun 1900.

2. Menurut Undang-Undang No 1 tahun 1974

a. Pengertian Perkawinan Campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di


Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan
salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. (pasal 57)

b. Ruang Lingkup. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah


hasil Badan Legislatif Negara Republik Indonesia dalam menciptakan Hukum
Nasional yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Dalam hal perkawinan
campuran diatur dalam pasal 57 UU Perkawinan yang menetapkan sebagai berikut:
"Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undangundang ini ialah
perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,
karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan
Indonesia. Berdasarkan pasal 57 yang dimaksud perkawinan campuran adalah:

1). Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan.

2) Perkawinan karena perbedaan kewarganegaraan.

3). Perkawinan karena salah satu pihak berkewar ganegaraan Indonesia.

Untuk dapat melangsungkan perkawinan campuran itu supaya perkawinanya sah, maka
ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU Perkawinan harus dipenuhi artinya
perkawinan bagi mereka yang beragama Islam harus sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
Begitu pula bagi mereka yang beragama selain Islam, maka bagi mereka harus sesuai dengan
ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Apabila hukum agama yang
bersangkutan membolehkan, maka perkawinan campuran dilangsungkan menurut agama
Islam yang dilaksanakan oleh pegawai pencatat nikah di KUA Kecamatan, sedangkan
perkawinan campuran yang dilangsungkan menurut agamanya dan kepercayaannya selain
agama Islam dilaksanakan pencatatannya di Kantor Catatan Sipil.

Dengan demikian ketentuan hukum yang dibuat oleh pemerintah zaman kolonial tentang
perkawinan campuran tidak berlaku lagi karena sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan. Bagi orang-orang berlainan kewarganegaraan yang
melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya
dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut caracara yang telah ditentukan
dalam undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. ( pasal 58 ).
Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan
menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum
perdata. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut undang-
undang perkawinan ini. ( pasal 59 ).

Perkawinan campuran yang diatur dalam undang-undang ini adalah perkawinan


campuran yang berbeda kewarganegaraan yaitu antara orang Indonesia dengan orang asing.
Hal tersebut penting diatur, mengingat eksistensi bangsa dan negara Indonesia tidak mungkin
dilepas kan dari konteks pergaulan transnasional dan atau intemasional. Pengaruh dari gejala
regionalisasi, internasionalisasi atau globalisasi di pelbagai bidang kehidupan manusia,
mengakibatkan hubungan antar manusia semakin luas dan tidak terbatas, akhirnya ada yang
saling jatuh cinta dan melangsungkan perkawinan antar kewarganegaraan. Perkawinan
Campuran yang berbeda kewarganegaraan ini semakin meningkat jumlahnya, meskipun di
dalam kenyataannya banyak yang menghadapi problem/permasalahan.

2. Status Kewarganegaraan Anak Hasil Perkawinan Campuran

Indonesia menganut asas kewarganegaraan tunggal, dimana kewarganegaraan anak


mengikuti ayah, sesuai pasal 13 ayat (1) UU No. 62 Tahun 1958:
“Anak yang belum berumur 18 tahun dan belum kawin yang mempunyai hubungan
hukum kekeluargaan dengan ayahnya sebelum ayah itu memperoleh kewarga-negaraan
Republik Indonesia, turut memperoleh kewarga-negaraan Republik Indonesia setelah ia
bertempat tinggal dan berada di Indonesia. Keterangan tentang bertempat tinggal dan berada
di Indonesia itu tidak berlaku terhadap anak-anak yang karena ayahnya memperoleh kewarga-
negaraan Republik Indonesia menjadi tanpa kewarga-negaraan.”

Dalam ketentuan UU kewarganegaraan ini, anak yang lahir dari perkawinan campuran bisa
menjadi warganegara Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing :
1. Menjadi Warganegara Indonesia
Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warga negara asing
dengan pria warganegara Indonesia (pasal 1 huruf b UU No.62 Tahun 1958), maka
kewarganegaraan anak mengikuti ayahnya, kalaupun Ibu dapat memberikan
kewarganegaraannya, si anak terpaksa harus kehilangan kewarganegaraan Indonesianya. Bila
suami meninggal dunia dan anak-anak masih dibawah umur tidak jelas apakah istri dapat
menjadi wali bagi anak anak nya yang menjadi WNI di Indonesia. Bila suami (yang berstatus
pegawai negeri)meningggal tidak jelas apakah istri (WNA) dapat memperoleh pensiun suami.

2. Menjadi Warganegara Asing


Apabila anak tersebut lahir dari perkawinan antara seorang wanita warganegara
Indonesia dengan warganegara asing. Anak tersebut sejak lahirnya dianggap sebagai warga
negara asing sehingga harus dibuatkan Paspor di Kedutaan Besar Ayahnya, dan dibuatkan
kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) yang harus terus diperpanjang dan biaya
pengurusannya tidak murah. Dalam hal terjadi perceraian, akan sulit bagi ibu untuk mengasuh
anaknya, walaupun pada pasal 3 UU No.62 tahun 1958 dimungkinkan bagi seorang ibu WNI
yang bercerai untuk memohon kewarganegaraan Indonesia bagi anaknya yang masih di
bawah umur dan berada dibawah pengasuhannya, namun dalam praktek hal ini sulit
dilakukan.
Masih terkait dengan kewarganegaraan anak, dalam UU No.62 Tahun 1958, hilangnya
kewarganegaraan ayah juga mengakibatkan hilangnya kewarganegaraan anak-anaknya yang
memiliki hubungan hukum dengannya dan belum dewasa (belum berusia 18 tahun atau belum
menikah). Hilangnya kewarganegaraan ibu, juga mengakibatkan kewarganegaraan anak yang
belum dewasa (belum berusia 18 tahun/ belum menikah) menjadi hilang (apabila anak
tersebut tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya).

Menurut UU Kewarganegaraan Baru


1. Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran
Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau
universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut:
1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan
kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan
terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
ini.
3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan
bagi setiap orang.
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride)
ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada
anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.

Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah


atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara
otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.
1. Kewarganegaraan Ganda Pada Anak Hasil Perkawinan Campuran
Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria
WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI,
sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan
ganda, dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan
pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga)
tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.
Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi
anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian
kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak.
Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.

Bila dikaji dari segi hukum perdata internasional, kewarganegaraan ganda juga
memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan
pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara
nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak
bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum
negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti
kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban
umum pada ketentuan negara yang lain.
Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat
syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18
tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil harus
mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat perkawinan
dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah
garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal
8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan
yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.

BAB III

KESIMPULAN
Perkawinan campuran adalah perkawinan antara pearkawinan antara dua orang yang
berbeda kewarganegaraannya, yang satu berkewarganegaraan Indonesia dan yang satu
berkewarganegaraan asing. Perbedaan disini dibatasi pada perbedaan kewarganegaraan bukan
pada perbedaan agama.
Sedangkan mengenai syarat-syarat perkawinan campuran sudah diatur dalam UU
nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Diantaranya ialah kelengkapan surat-surat baik dari
negara Indonesia ataupun negara asal dari orang asing yang akan menikah tersebut. Seperti
surat-surat yang menjadi syarat perkawinan di Indonesia dan yang menjadi syarat di negara
asing tempat dia berdiam atau sebagai warga negara disana.
Terdapat banyak sekali problematika yang timbul akibat perkawinan campuran. Hal
ini juga dipengaruhi karena belum adanya pengaturan yang lengkap akan permasalahan dari
perkawinan campuran yang sangat rumit dan kompleks. Meskipun demikian, perkawinan
campuran kian menjadi trend dikalangan masyarakat.
Dan mengenai status anak dari perkawinan campuran ini pun sudah diatur secara jelas
dalam UU nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam UU
ini, memperbolehkan adanya kewarganegaraan ganda bagi anak hasil dari perkawinan
campuran hingga dia berusia delapan belas tahun. Hal ini diatur dalam pasal 6 ayat (1) yang
menentukan bahwa anak tersebut bisa mengikuti kewarganegaraan ayahnya atau ibunya
sebelum ia berusia delapan belas tahun atau sudah menikah. Dan setelah ia berusia delapan
belas tahun atau sudah menikah maka ia harus menentukan sendiri mengenai status
kewarganegaraannya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
REFERENSI

Kitab UU Hukum Perdata BW


UU Dasar Negara RI No. 1945
UU Nomor 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, 1991
UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Undang-undang nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
BPHN - Pengkajian Hukum tentang Perkawinan Campuran, Tahun 1992/1993
Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Status Anak Hasil Perkawinan Antar WNI dan
WNA Tahun 2004

INTERNET

www.hukumonline.com diakses pada tanggal 14 Februari 2017


www.irmadevita.com diakses pada tanggal 14 Februari 2017

Anda mungkin juga menyukai