Anda di halaman 1dari 6

A.

Patogenesis
Inflamasi
Patogenesis asma dapat diterangkan secara sederhana sebagai
bronkokonstriksi akibat proses inflamasi yang terjadi terus-menerus pada
saluran napas. Karena itu pemberian anti-inflamasi memegang peranan
penting pada pengobatan dan kontrol asma. Terlihat bahwa setelah pemberian
inhalasi kortikosteroid akan terjadi penurunan bermakna sel inflamasi dan
pertanda permukaan sel pada sediaan bilas dan biopsi bronkoalveolar.
Pemberian bronkodilator saja tidak dapat mengatasi reaksi inflamasi dengan
baik (Akib, 2002).
Pada tingkat sel tampak bahwa setelah terjadi pajanan alergen serta
rangsang infeksi maka sel mast, limfosit, dan makrofag akan melepas faktor
kemotaktik yang menimbulkan migrasi eosinofil dan sel radang lain. Pada
tingkat molekul terjadi pelepasan berbagai mediator serta ekspresi
serangkaian reseptor permukaan membentuk jalinan reaksi inflamasi. Pada
orkestrasi proses inflamasi ini sangat besar pengaruh sel Th2 sebagai
regulator penghasil sitokin yang dapat memacu pertumbuhan dan maturasi sel
inflamasi alergi. Pada tingkat jaringan akan tampak kerusakan epitel serta
sebukan sel inflamasi sampai submukosa bronkus, dan mungkin terjadi
rekonstruksi mukosa oleh jaringan ikat serta hipertrofi otot polos (Akib,
2002).
Sensitisasi
Berbagai penelitian asma pada anak memperlihatkan adanya suatu pola
hubungan antara proses sensitisasi alergi dengan perkembangan dan
perjalanan penyakit alergi yang dikenal sebagai allergic march (perjalanan
alamiah penyakit alergi). Secara klinis allergic march terlihat berawal sebagai
alergi saluran cerna (diare alergi susu sapi) yang akan berkembang menjadi
alergi kulit (dermatitis atopi) dan kemudian alergi saluran napas (asma
bronkial, rinitis alergi).
Suatu penelitian memperlihatkan bahwa kelompok anak dengan gejala
mengi pada usia kurang dari tahun, yang menetap sampai usia 6 tahun,
mempunyai predisposisi ibu asma, dermatitis atopi, rinitis alergi, dan
peningkatan kadar lgE, dibandingkan dengan kelompok anak dengan mengi
yang tidak menetap(Akib, 2002).
Laporan tersebut juga menyatakan bahwa anak mengi yang akan
berkembang menjadi asma terbukti mempunyai kemampuan untuk
membentuk respons lgE serta respons eosinofil pada uji provokasi berbagai
stimuli. Proses sensitisasi diperkirakan telah terjadi sejak awal masa
kehidupan, secara bertahap mulai dari rangsang alergen makanan dan infeksi
virus, sampai kemudian rangsang aeroalergen. Proses tersebut akan
mempengaruhi modul respons imun yang akan lebih cenderung ke arah
aktivitas Th 2 (Akib, 2002).
Kecenderungan aktivitas Th2 akan menurunkan produk IL-2 dan IFN-
oleh Th2. Terbukti bahwa anak dengan respons IFN- rendah pada masa awal
kehidupannya akan lebih tersensitisasi oleh aeroalergen dan menderita asma
pada usia 6 tahun dibandingkan dengan anak dengan respon IFN- normal
(Akib, 2002).

B. Diagnosis asma
GINA mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran
nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit
T. Pada orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi
berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam
atau dini hari. Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan
jalan napas yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat
reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi tersebut
juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai
rangsangan (Lenfant dkk, 2002). Konsensus Internasional menggunakan
definisi operasional sebagai mengi berulang dan/atau batuk persisten dalam
keadaan asma adalah yang paling mungkin, sedangkan sebab lain yang lebih
jarang telah disingkirkan (Warner dkk, 1998). Perbedaan di atas sebenarnya
hanya pada segi praktisnya saja. Definisi asma menurut GINA cukup lengkap
namun kurang praktis bila digunakan di lapangan, sehingga untuk lapangan
definisi yang sering digunakan adalah definisi Konsensus Internasional.
Pedoman Nasional Asma Anak di dalam batasan operasionalnya
menyepakatinya kecurigaan asma apabila anak menunjukkan gejala batuk
dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini
hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma
dan atopi pada penderita atau keluarganya (UKK Pulmologi, 2004).
Baik GINA, Konsensus Internasional, maupun PNAA menekankan
diagnosis asma didahului batuk dan atau mengi. Gejala awal tersebut
ditelusuri dengan algoritme kemungkinan diagnosis asma (Diagram 1). Pada
algoritme tampak bahwa batuk dan/atau mengi yang berulang (episodik),
nokturnal, musiman, setelah melakukan aktivitas, dan adanya riwayat atopi
pada penderita maupun keluarganya merupakan gejala atau tanda yang patut
diduga suatu asma. Untuk sampai pada diagnosis asma perlu suatu
pemeriksaan tambahan seperti uji fungsi paru atau pemberian obat
bronkodilator yang digunakan sebagai indikator untuk melihat respons
pengobatan, bahkan bila diperlukan dapat dilakukan uji provokasi bronkus
dengan histamin atau metakolin.
Akhir-akhir ini banyak yang berpendapat bahwa untuk menegakkan
diagnosis asma pada anak di bawah lima tahun sebaiknya berhati-hati apabila
tidak pernah dijumpai adanya wheezing (Martinez dkk, 2001). Hal itu
disebabkan pada usia tersebut kemungkinan batuk yang berulang hanyalah
akibat infeksi respiratorik saja. Demikian pula apabila dijumpai wheezing
pada usia di bawah tiga tahun (batita) hendaknya berhati-hati dalam
mendiagnosis asma. Wheezing yang dijumpai pertama kali belum tentu
merupakan gejala asma. Bila dijumpai keadaan batuk kronis dan/atau
berulang dengan/atau tanpa whee zing dengan karakteristik seperti di atas,
tetap perlu dipertimbangkan diagnosis asma.
Diagram 1. Diagnosis Asma

C. Klasifikasi

Klasifkasi asma sangat diperlukan karena berhubungan dengan


tatalaksana lanjutan (jangka panjang). GINA membagi asma menjadi 4
klasifikasi yaitu asma intermiten, asma persisten ringan, asma persisten
sedang, dan asma persisten berat (Lenfant dkk, 2002). Berbeda dengan
GINA, PNAA membagi asma menjadi 3 yaitu asma episodik ringan, asma
episodik sedang, dan asma persisten. Dasar pembagian ini karena pada asma
anak kejadian episodik lebih sering dibanding persisten (kronisitas). Dasar
pembagian atau klasifikasi asma pada anak adalah frekuensi serangan,
lamanya serangan, aktivitas diluar serangan dan beberapa pemeriksaan
penunjang (Tabel 1)

(Sumber: Supriyatno B. 2005. Diagnosis dan Penatalaksaan Terkini Asma pada


Anak. Jakarta : Departemen IKA FKUI)
DAFTAR PUSTAKA

Akib AAP (2002). Asma pada anak. Sari Pediatri 4(2): 78 – 82.

Supriyatno B. 2005. Diagnosis dan Penatalaksaan Terkini Asma pada Anak.


Jakarta : Departemen IKA FKUI)

Anda mungkin juga menyukai