Anda di halaman 1dari 24

KPK SUPERVISI, BIROKRASI tetap

KORUPSI.

SAHDAR (SENTRA ADVOKASI UNTUK HAK DASAR RAKYAT)

Hanya Perlu satu orang jujur untuk mengagalkan korupsi.


Rose Ackerman

i
Sentra Advokasi untuk Hak Dasar Rakyat (Sahdar) adalah organisasi masyarakat sipil
yang bergerak dalam isu pemenuhan Hak Dasar Rakyat dan Tata Kelola Pemerintah
Yang Baik, dan kami sedang berjuang meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya
pemberantasan korupsi sebagai upaya pemenuhan hak dasar masyarakat
Sahdar terlibat aktif dalam riset, advokasi dan kampanye antikorupsi sejak tahun 2004.
Sahdar bekerjasama dengan berbagai pihak mulai dari pemerintah, peneliti, akademisi,
media, pejuang hak azasi, pejuang anti korupsi dan kelompok kreatif serta mahasiswa
dalam mendorong pemenuhan hak dasar, transparansi, akuntabilitas, integritas
pemerintah dan bisnis.

Penulis. Ibrahim, Iqbal Harun.

ii
Daftar Isi

KPK Supervisi, Birokrasi tetap Korupsi ......................................................... i


Tentang SAHDAR ................................................................................................ ii
Daftar Isi ................................................................................................................ iii
Pengantar oleh Ketua Badan Pengawas ............................................................ iv
Pengantar oleh Wakil Ketua Badan Pengawas .................................................. v
I. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
II. Pendahuluan ............................................................................................................. 1
III. Metode ...................................................................................................................... 2
IV. Tren Korupsi 2017 ................................................................................................... 3
a. Jumlah Kasus Korupsi ...................................................................................... 3
b. Efektifitas Penindakan Korupsi ......................................................................... 4
c. Modus Korupsi Terbanyak ................................................................................ 6
d. Praktik Pungutan Liar ........................................................................................ 7
e. Profil Pelaku Korupsi ........................................................................................ 9
f. Sektor Paling Banyak Di Korupsi .................................................................... 10
g. Daerah Denga Kasus Korupsi Terbanyak ......................................................... 12
V. Korporasi dan Birokrasi Korupsi ............................................................................. 14
VI. Birokrasi dan Kultur Korupsi ................................................................................. 15
VII. Kesimpulan ............................................................................................................. 19
VIII. Rekomendasi ........................................................................................................... 23
IX. Referensi ................................................................................................................. 22

iii
KPK Supervisi, Birokrasi tetap Korupsi

I. Latar Belakang
Sepanjang tahun 2017, setelah masuk dalam wilayah supervisi KPK, karena mendapat
tinta merah, dapat dikatakan belum terjadi perubahan signifikan di Sumatera Utara.
Upaya KPK untuk mereduksi korupsi di daerah ini tetap menguap tanpa bekas, terlihat
tidak merubah apapun. Meskipun faktanya penguatan-penguatan sudah dilakukan, dan
berbagai macam forum sudah dibentuk oleh KPK dan bekerja sama dengan Pemerintah
Sumatera Utara. Faktanya Sumatera Utara tetap menjadi salah satu Provinsi dengan
jumlah kasus korupsi terbesar di Indonesia. Ironi memang, karena di tahun 2017, Kota
Medan justru mendapatkan Juara Satu, sebagai ibukota Provinsi yang dianggap sebagai
kota paling korup berdasarkan hasil survey Transparancey International Indonesia.
Permasalahan Korupsi di Sumatera Utara, dari tahun ke tahun tetaplah sama, seperti
halnya dari tahun 2010 sampai dengan 2016 – sebagaimana yang kami paparkan dalam
catatan akhir tahun terkait masalah korupsi di Sumut – 98 % kasus korupsi di Sumut
terjadi di lembaga eksekutif, diikuti dengan legislatif dan yudikatif. Sejumlah 60% dari
keseluruhan pelaku yang diajukan ke pengadilan tindak pidana korupsi adalah Aparatur
Sipil Negara, 40% nya merupakan pelaku dari pihak swasta, dan sisanya adalah Pejabat
Negara1. Meskipun terdapat relasi erat antara Birokrat dan Korporat telah terindentifikasi,
tetap saja permasalahan korupsi tidak semudah yang dibayangkan untuk dapat
diselesaikan. Bahkan serangkaian langkah Penegakan Hukum di Sumatera Utara baik
kordinasi, supervisi, dan OTT tidak ternyata menimbulkan ketakutan di antara para
koruptor yang “bermain” di Sumut.
Tentunya akan menjadi pertanyaan dibenak semua orang mengapa perbaikan tata kelola
birokrasi agar tidak korupsi di Sumut menjadi begitu sulit. Dan dianggap kinerja tim
korsub pencegahan KPK di Provinsi Sumatera Utara disimpulkan banyak pihak belum
memberikan dampak signifikan, mengapa demikian dan apa tindak lanjut yang tepat
untuk dilakukan.
II. Pendahuluan
Pada bagian ini akan digambarkan bagaimana potret penindakan dan pencegahan korupsi
yang terjadi sepanjang tahun 2017 di Sumatera Utara. Terkait dengan deskprisi dan
analisis kasus-kasus korupsi yang dimunculkan pada laporan tahunan ini, kesemuanya
didasarkan pada hasil pengumpulan data terhadap seluruh kasus korupsi/dugaan kasus
korupsi yang terekspose ke publik, baik melalui media cetak, elektronik, laporan
masyarakat, maupun dokumen aparat penegak hukum sepanjang periode 2016 – 2017.
Data korupsi yang ada disusun dan disajikan dalam bentuk statistik kriminal dengan
pendekatan konstruksi sosial penanganan kasus korupsi di Sumatera Utara. Pendekatan
ini dipakai untuk mempermudah pembaca memahami bagaimana pola korupsi yang
terjadi, dan secara khusus dilakukan untuk menemukan titik singgung antara
penindakan yang tepat dan upaya pencegahan, sebagai produksi pengetahuan untuk

1Release Annual Report SAHDAR 2016.

1
tindak lanjut penanganan praktik korupsi birokrasi yang perlu dilakukan di tahun
berikutnya.
Lain dari itu, dalam pelaporan ini, statisitik kriminal dipandang sebagai metode yang
paling memungkinkan untuk memperlihatkan secara real korupsi dalam angka. Dengan
demikian kasus-kasus korupsi yang tidak terpublikasi baik oleh penegak hukum ataupun
masyarakat tentunya tidak termasuk dalam data yang kami kumpulkan. Sedangkan kasus
kasus yang masih dalam tingkatan penyidikan tetap kami jadikan bahan analisis untuk
melengkapi data kasus yang sedang dalam proses persidangan di Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi, hal ini dilakukan untuk menunjukkan kenyataan sosial korupsi, dan
bagaimana penegakan hukum di dilakukan.
Lebih jauh menjadi paradoks, di mana setiap tahunnya terjadi peningkatan penindakan
kasus korupsi di level eksekutif/birokrasi, bahkan KPK secara khusus sudah menurunkan
tim untuk melakukan supervisi di Sumatera Utara, namun sampai dengan saat ini tidak
ada “TANDA” bahwa kejahatan korupsi tereduksi di Sumatera Utara, akan tetapi pada
saat yang sama dibalik upaya pendampingan oleh KPK tersebut, berbagai kasus korupsi
justru terus muncul ke publik, hal ini menunjukan betapa kompleksnya problem korupsi
di Sumut.
Berangkat dari uraian di atas, apakah KPK telah berhasil mengubah mekanisme kerja
birokrasi di Sumut setelah dilakukan supervisi selama beberapa tahun terakhir. Apakah
KPK telah berhasil menjadi pemantik untuk mengubah perilaku korupsi aparatur
birokrasi, dan apakah sistem pencegahan korupsi di Sumut sudah berhasil dibentuk
melalui Kordinasi dan Supervisi yang sudah dilakukan. Secara umum, laporan ini akan
disusun dalam tiga bagian. Bagian pertama akan menggambarkan situasi real kejahatan
korupsi berupa statisitik kriminal. Bagian kedua, membahas tentang apa penyebab dan
upaya yang bisa dilakukan dalam memberantas korupsi. Bagian ketiga dan terakhir adalah
simpulan serta rekomendasi yang bisa dilakukan.
III. Metode
Laporan ini menggunakan pendekatan kriminologi, di mana kasus-kasus korupsi yang
terekspos ke publik dijadikan statisitik kriminal2, dan menjadi basis data dalam mengkaji
kejahatan korupsi di Sumatera Utara. Selanjutnya, sebagaimana tradisi penelitian
kriminologi post-modern3, kami menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif
dipadukan dengan pendekatan kualitatif untuk mendapatkan gambaran yang utuh
mengenai gejolak dan efektifitas pemberantasan korupsi yang telah dilakukan oleh APH
sepanjang tahun 2017.
lebih lanjut kami juga melakukan analisis untuk mengungkap informasi dibalik data yang
telah ter-ekspose. Adapun pengunaan pendekatan gabungan dalam laporan ini karena
statistik kriminal saja tidak cukup untuk menggambarkan bagaimana realitas sosial
permasalahan korupsi, sehingga dipadangan perlu dilakukan mixed methods dalam
penyajian laporan kali ini, agar mendapat pemahaman yang utuh mengenai gejala sosial
dan fenomena korupsi yang terungkap ke publik4.

2
I.S. Susanto “Statistik Kriminal” cetakan ke I (Yogyakarta, Genta Publishing. tahun 2010, hal. 1).
3
Akhyar Yusuf Lubis “Postmodern Teori dan Metode”, cetakan ke II (Jakarta, Rajawali Pers. tahun 2014. hal 7)
4 Muhammad Mustofa “Metodologi Penelitian Kriminologi” cetakan ke I (Jakarta, Kencana. Tahun 2013, hal 16)

2
IV. Tren Korupsi Sepanjang 2017
Statistik korupsi ini diuraikan dalam beberapa bagian yang berkaitan langsung dengan
kerja birokrasi di Sumatera Utara, hal ini dilakukan dengan tujuan untuk membentuk
realitas pemberantasan korupsi dan refleksi terhadap upaya perbaikan yang telah
dilakukan selama 17 (tujuh belas) tahun terakhir di Sumatera Utara.
1. Jumlah Kasus Korupsi 2017
Seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini masih terdapat kasus korupsi yang sudah ter-
ekspose ke publik, namun belum dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor oleh Aparat Penegak
Hukum. Dari data yang terungkap ke publik, jumlah kasus ini bisa dikatakan cukup tinggi,
karena sampai dengan Desember 2017 sudah terdapat 103 (seratus tiga) dugaan kasus
korupsi yang tersebar secara merata di seluruh wilayah Sumatera Utara. Di luar jumlah
tersebut, terdapat 66 (enam puluh enam) kasus korupsi yang sudah disidangkan pada saat
ini di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Medan, beberapa kasus diantaranya,
diketahui merupakan pengembangan dari kasus-kasus di tahun sebelumnya yang sudah
ditindaklanjuti oleh APH.
Penting untuk disampaikan bahwa 103 (seratus tiga) dugaan kasus korupsi tersebut
merupakan jumlah total dari kasus-kasus yang sudah muncul sejak 17 (tujuh belas tahun)
lalu. Beberapa diantaranya masih terungkap ke publik karena ada pelaku atau pihak yang
belum diadili, seperti halnya kasus, dana belanja rutin Kabupaten Tapanuli Selatan tahun
2001 – 2002, dana pengadaan komputer yayasan MAN 1 Pematang Siantar, dan
Pengadaan alat kesehatan di Rumah Sakit Djoelmi Binjai tahun 2012.
Tabel 1 : Jumlah Kasus Korupsi 20175.

120

100

80

60

40

20

0
2016 2017
Dugaaan Kasus Korupsi 81 103
Sudah Ditindaklanjuti 65 66

Seperti yang kami ungkap pada Annual Report tahun 2016, di tahun tersebut saja sudah
terdapat 81 (delapan puluh satu) dugaan kasus korupsi yang belum mendapat tindak lanjut
dari APH6. Dengan demikian, apabila 81 (delapan puluh satu) dugaan kasus tersebut
diakumulasikan dengan dugaan kasus korupsi tahun ini, terdapat penambahan 22 (dua

5 Dokumentasi SAHDAR.01.2017
6
Annual Report SAHDAR 2017

3
puluh dua) kasus baru yang ter-ekspose ke publik dan belum dilimpahkan ke pengadilan
oleh APH di Sumatera Utara.
2. Efektifitas Dari Penindakan Korupsi Sepanjang 2017
Beranjak dari data kasus yang telah ditindaklanjuti sepanjang tahun 2017, Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan sudah menyidangkan 129
Register perkara korupsi, dengan jumlah terdakwa sebanyak 137 (seratus tiga puluh
tujuh) orang. Artinya dari 66 (enam puluh enam) kasus korupsi yang sudah
ditindaklanjuti, telah berkembang menjadi sejumlah 129 (seratus dua puluh sembilan)
register perkara. Sementara itu, dari sejumlah register yang telah diajukan oleh
Kepolisian, Kejaksaan dan KPK, sebagian kasus yang kami temui, merupakan
pengembangan dari kasus korupsi di tahun-tahun sebelumnya.
Grafik II : Kasus Korupsi yang sudah disidangkan di Pengadilan7

160
137 139
140 130 130
120
100
80 64 66
60
40
20
0
2016 2017
Jumlah Kasus 64 66
Jumlah Terdakwa 130 137
Jumlah Register 130 139

Dari data di atas dapat dilihat grafik peningkatan jumlah perkara dan terdakwa yang
disidangkan. Di tahun 2016 terdapat 64 (enam puluh empat) kasus dan di tahun 2017
menjadi 66 (enam puluh enam) kasus korupsi. Peningkatan kasus terus terjadi dari tahun
ke tahun8, kami mencatat sepanjang Pengadilan Tipikor berdiri, setiap tahunnya kasus
korupsi terus bertambah secara teratur, dan tidak ada tanda tanda untuk berkurang.
Lebih lanjut, terkait data di atas, kami membagi menjadi dua kelompok register perkara
(lihat Grafik II). Dapat diperhatikan dan dibaca beberapa pola, — dari data persidangan
di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi — yang menunjukan bahwa penindakan kasus
korupsi oleh Penengak Hukum seperti di ‘jaga’, karena beberapa kasus tidak pernah
kunjung selesai dalam satu kali pelimpahan berkas. Tak heran di tahun berikutnya, dari
perkara yang sama, timbul satu persatu pelaku yang disidangkan ke meja hijau. Kondisi
ini teridentifikasi sejak tahun 2011, ditemukan bahwa dari tahun ke tahun, perkara yang
dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi meningkat relatif stabil mendekati
angka yang sama, seperti jumlah nomor register dan jumlah terdakwa, di tahun 2016
terdapat 64 (enam puluh empat) kasus korupsi yang di sidangkan, dan di tahun 2017
terdapat 66 (enam puluh enam) kasus korupsi. Apakah hal ini terjadi karena adanya
sebuah kesepakatan tidak tertulis di antara penegak hukum, agar mempertahankan

7 Berdasarkan data perkara Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan 2017.
8
Annual Report SAHDAR 2016

4
jumlah, atau apakah ini terkait politik pemberantasan korupsi Pemerintah, atau
hanya kebetulan saja.
Terkait kasus yang sudah dilimpahkan ke pengadilan tipikor, yang menarik perhatian
adalah kasus korupsi oleh Binahati Benadictus Baeha, di mana mantan Bupati Nias ini,
pada tahun 2011 sudah pernah di hukum terkait kasus korupsi dana bantuan bencana alam
di Nias9, dan pada tahun ini, Binahati sebagai mantan kepala daerah kembali menjadi
pesakitan karena terlibat dalam kasus korupsi penyertaan modal di Perusahaan Riau
Airlines tahun 2007. Selain kasus tersebut, di tahun ini masih terdapat kasus Korupsi Alat
Kesehatan dari beberapa daerah seperti Mandailing Natal dan Binjai yang berasal dari
Tahun Anggaran 2012, dan kasus- korupsi di sektor infrastruktur. Dua kasus korupsi ini
menjadi kasus yang paling banyak ditindak oleh APH selama kurun waktu 2017.

Berkaitan dengan kasus di bidang kesehatan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan


ICW-SAHDAR, ditemukan fakta bahwa dari tahun 2010 hingga 2016, Sumut
merupakan provinsi dengan kasus korupsi sektor kesehatan terbanyak, yakni 36 kasus.
— Hal ini disampaikan oleh Febri Hendri pada sela media briefing antara ICW dengan
SAHDAR terkait pemetaan potential fraud di program JKN- BPJS— Oleh karena itu,
tidak heran, kasus korupsi Pengadaan Barang dan Jasa di bidang kesehatan setiap
tahunnya terus disidangkan di Pengadilan Tipikor. Ledakan kasus korupsi bidang
kesehatan ini sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari mega program perbaikan bidang
kesehatan di era SBY, di mana program ini dikorupsi secara besar besaran oleh
Nazarudin Bendahara Partai Demokrat melalui P.T. Permai Grup, salah satu korporasi
penyuplai Alat Kesehatan untuk Rumah Sakit di seluruh wilayah Indonesia 10.

Lebih lanjut, melalui pemantauan yang dilakukan di pengadilan tipikor, kami tidak hanya
melihat peningkatan kasus korupsi yang relatif terjaga dan stabil, situasi penanganan
kasus di pengadilan juga menunjukan kompleksitas kasus dan hiruk-pikuk dari setiap
register yang disidangkan. Tidak sedikit terdakwa yang disidangkan mengeluh atau
mengaku menyesal karena terlibat dalam kasus korupsi. Tetapi tidak ternyata secara
faktual pengakuan itu berkorelasi dengan perubahan perilaku birokrat. Karena masih
banyak kasus korupsi yang disidangkan di pengadilan namun tidak memberikan efek
pencegahan melalui sistem penegakan hukum.
Apakah penal policy yang dikenal dalam tradisi posivtivis terlihat kurang efektif untuk
mengubah atau mereduksi gejolak sosial yang ada11. Karena korupsi di lingkup birokrasi
tetap memuncak, dan setiap harinya Hakim di Pengadilan terus-menerus “menggerutu”
karena tidak ada perubahan yang berarti dari ASN, padahal tidak sedikit dari mereka yang
sudah diadili, berulang-ulang di tempat yang sama seperti Dinas Pendidikan dan Dinas
Pekerjaan Umum.

9
Binahati Benedictus Baeha merupakan mantan Bupati Nias, 2006-2011, melakukan korupsi dengan
menggunakan dana bantuan darurat kemanusiaan untuk korbna tsunami Nias, yang dilakukan pada 8 Desember s.d 16
Desember 2008, untuk kepentingan pribadi dan diberikan kepada orang lain sebesar Rp 3.746.798.238,- dana bantuan
sebesar Rp 9.480.000.000 berada di rekening a.n Bencana Alam Tsunami Kabupaten Nias, dipindahkan ke rekening
pribadi Baziduhu Ziliwu, dan dibelanjakan hingga selisih sebesar Rp 3.764.798.238 tidak dibelanjakan dan dibuat
laporan fiktif
10
Hasil Riset ini dipublikasikan di harian cetak Analisa tertanggal Rabu, 6 September 2017
11 Stephan Hurtwitz “Kriminologi” ” cetakan ke I (Jakarta, Penerbit Bina Aksara. tahun 1986. hal. 9)

5
3. Modus Korupsi Terbanyak di Tahun 2017
Release laporan kinerja KPK tahun 2017 mengungkapkan bahwa trend kasus korupsi di
level nasional telah berubah. Yang sebelumnya di tahun 2016 lebih banyak di dominasi
oleh kasus pengadaan barang dan jasa, namun di tahun 2017, situasi tersebut telah
bergeser menjadi kasus penyuapan. Dan selanjutnya diikuti dengan kasus TPPU12.
Namun, berbeda dengan situasi nasional, di Sumatera Utara, kasus pengadaan barang dan
jasa tetap menjadi permasalahan korupsi yang paling banyak terjadi sepanjang tahun
2017.
Grafik III : Jenis Kasus Terbanyak di Tahun 201713

40 Pengadaan Barang
dan Jasa : 38
35

30
Suap, Pungli dan
25 Gratifikasi : 23
Pengadaan Barang dan Jasa
20
Suap, Pungli dan Gratifikasi
15 Lainnya
10

0
Kasus Korupsi

Seperti gambar pada tabel di atas, apabila dicermati dari data yang kami peroleh, dalam
kurun waktu 2016-2017 terdapat tiga puluh sembilan kasus korupsi Pengadaan Barang
dan Jasa yang sudah ditindaklanjuti dan disidangkan di pengadilan, diikuti dengan kasus
suap, pungli dan gratifikasi sebanyak dua puluh tiga kasus dan lainnya lima kasus. Situasi
saat ini, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kondisi lima tahun terakhir, di mana
berdasarkan hasil pemantauan SAHDAR yang dipublikasikan pada akhir tahun 2016,
menunjukkan bahwa Pengadaan Barang dan Jasa menjadi kasus korupsi paling eksis di
Sumatera Utara sepanjang tahun 2010-201614.
Fakta ini sebenarnya harus menjadi koreksi terhadap sistem pengadaan elektronik yang
sudah dibangun oleh pemerintah, karena sampai dengan saat ini tetap saja terdapat celah
terjadinya praktik KKN dalam pengadaan barang dan jasa. Beberapa celah yang menjadi
temuan kami terkait pengadaan adalah lemahnya pegawasan pada pelaksanaan pasca
pengadaan, beberapa kasus korupsi yang disidangkan di pengadilan menunjukkan fakta
bahwa meskipun sejak awal pengadaan sering kali di-design untuk tidak dikorupsi,
namun tetap saja ada pengadaan yang akhirnya menjadi arena korupsi, karena tim
pengawas tidak berkompeten atau sengaja tidak melakukan tugasnya dalam
melaksanakan pengawasan.

12 Release Kinerja KPK 2017.


13 Dokumentasi SAHDAR.02.2017
14
https://bumantaranews.com/2016/12/08/sahdar-korupsi-pbj-di-sumut-rugikan-negara-rp359-m/

6
Tidak hanya sampai di situ, kami juga mencatat, dalam korupsi pengadaan barang/jasa,
meskipun aparatur birokrasi yang dilibatkan sudah bersertifikasi, faktanya sebagian besar
dari mereka tidak memiliki kemampuan. Banyak dari mereka dipersidangan mengaku
tidak tahu-menahu, dan hanya bisa bersaksi bahwa mereka di perintah ataupun sudah
melakukan seperti yang diajarkan dalam pendidikan sertifikasi15.
Apakah pendidikan sertifikasi yang dilakukan benar, dan aparatur birokrasi yang terlibat
dalam pengadaan mengikuti semua rule dalam pengadaan barang/jasa, tentunya apabila
demikian tidak akan terjadi korupsi dalam proses pengadaan. Karena itu, wajar saja
timbul dugaan bahwa pendidikan sertifikasi yang diikuti oleh mereka hanya bertujuan
untuk meningkatkan pendapatan/gaji dari aparatur tersebut. Karena aparatur yang
memiliki sertifikasi memiliki kesempatan untuk terlibat dalam berbagai macam proyek,
sementara itu, proses pendidikan sertifikasi tidak dipahami dengan baik. Kenapa aparatur
seperti ini bisa mendapatkan sertifikat pengadaan barang/jasa. Ada apa dengan
pendidikan sertifikasi PBJ kita.?
4. Terungkapnya Praktik Pungutan Liar di Tahun 2017: Apresiasi Untuk APH
Yang patut di apresiasi, selama satu tahun terakhir, penegak hukum sukses mengungkap
kasus Pungutan Liar dengan jumlah yang cukup signifikan. Berkaca dari tahun
sebelumnya, kasus seperti ini meskipun terungkap, tetapi sangat jarang dibawa ke
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Karenanya patut diapresiasi kerja tim saber pungli
Kepolisian Daerah Sumatera Utara. Tetapi dari itu, tentunya menjadi per-tanda bahwa
terdapat “penyakit akut” di birokrasi Pemerintahan di Sumatera Utara, meskipun berulang
kali tertangkap tangan, tetapi aparatur sipil negara tidak jera, praktek tidak transparan,
tidak akuntabel dan tidak bebas dari praktik korupsi masih terus terjadi.
Dibalik semua penangkapan yang telah dilakukan, kasus Pungutan Liar ini hanya berakhir
pada pelaku yang tertangkap tangan, tetapi tidak pernah ada pengungkapan kepada siapa
uang ini dialirkan. Umum mengetahui, tindakan seperti ini termasuk dalam organized
crime, yang tidak mungkin terjadi oleh satu atau dua orang pelaku kejahatan saja.. Hal ini
bisa di lihat dalam beberapa kasus seperti di bawah ini.
Kasus BPN Deli Serdang. Malthus Hutagalung selaku Kepala Seksi Survei, Pengukuran,
dan Pemetaan Kantor Pertanahan Deli Sedang ditangkap melalui operasi tangkap tangan
oleh Polisi Daerah Sumatera Utara. tidak hanya Malthus, Kepala dinas beserta sembilan
orang lain juga turut serta ditangkap dalam operasi tersebut, namun semuanya hanya
dijadikan saksi, sedangkan Malthus sebagai Kepala Seksi ditetapkan sebagai tersangka
seorang diri. Kasus korupsi yang menjeratnya ialah Pungutan Liar sebesar
Rp. 20.000.000,- (terbilang dua puluh juta rupiah) terhadap penerbitan 7 (tujuh) persil
tanah. Dari kasus ini kenapa hanya Malthus Hutagalung saja yang dijadikan tersangka
dan disidangkan di Pengadilan, sementara itu sembilan orang lainya dibebaskan dan
hanya dijadikan saksi dalam kasus tersebut.
Sementara itu, perlakuan berbeda terjadi pada kasus OTT di Dinas Pertambangan.
Eddy Saputra Salim selaku Kepala Dinas Pertambangan yang ditangkap melalui operasi
tangkap tangan oleh Polisi Daerah Sumatera Utara bersama 6 (enam) orang lainnya,
namun di kasus ini hanya Eddy Saputra yang ditetapkan sebagai tersangka, sementara

15 Dokumentasi Pemantauan SAHDAR.

7
yang lain dibebaskan. Kasus korupsi yang menjeratnya adalah Pungutan Liar sejumlah
Rp. 14.900.000.- ( terbilang empat belas juta sembilan ratus ribu rupiah). Eddy Saputra
Salim diduga melakukan pemerasan terhadap pengurusan izin usaha pertambangan
terkait dengan izin teknis IUP-OP. Modus pungli dilakukan Eddy dengan mempersulit
dan memperlambat rekomendasi penerbitan izin teknis usaha pertambangan dan industri
pengerukan tanah.
Lebih lanjut, di bawah ini, dapat dilihat persentase kasus suap pungli dan gratifikasi yang
terjadi selama tahun 2017, bila nilai kerugian yang ada dibandingkan dengan biaya yang
harus dikeluarkan untuk menindak pelaku, tentu menjadi tidak relevan sebab 58% (lima
puluh delapan persen) kasus jenis ini berada di lingkup kerugian Rp. 200.000,- (terbilang
dua ratus ribu) sampai dengan Rp 15.000.000,- (terbilang lima belas juta rupiah). Karena
itu, menjadi standing point di mana kasus pungli yang dibawa ke meja hijau hampir
setengahnya merupakan kasus dengan tingkat kerugian yang rendah, antara Rp 200.000,-
(terbilang dua ratus ribu rupiah) (Kasus Pungli di Dinas Perhubungan Serdang Bedagai) –
Rp 15.000.000. (terbilang lima belas juta rupiah) Tetapi meskipun termasuk dalam petty
corruption16, hal ini tidak bisa dianggap sebagai hal yang lumrah, karena dilakukan oleh
aparatur birokrasi dalam kurun waktu yang panjang dan terjadi kepada banyak orang.
Grafik IV : Jumlah Uang Yang Beredar di Kasus Pungli, Suap & Gratifikasi17

5%

100 rb - 15 juta
37% 15 jt - 500 jt
58% 500 jt - 5 Miliar

Praktik pungli ini apabila di dalami lebih jauh, sebenarnya terjadi karena banyak faktor
salah satunya karena minim-nya informasi di dinas pemerintah, tidak adanya kejelasan
mengenai pengurusan administrasi mengakibatkan banyak pihak merasa frustasi dan
akhirnya mau tidak mau memilih jalan untuk memberikan suap kepada ASN yang
berinteraksi langsung kepada mereka. Dari fakta ini menjadi benar rumus korupsi yang
dikemukakan oleh Klitgard bahwa korupsi terjadi, apabila kekuasaan ditambah
kewenangan dikurangi akuntabilitas18. Sehingga wajar kasus seperti di Dinas
Pertambangan dan BPN Deli Serdang terjadi karena tidak sesuai dengan tata kelola
pengurusan izin.

16 Etty Indriati “Pola dan Akar Korupsi” cetakan ke I (Jakarta, Penerbit Gramedia. tahun 2014. hal. 3)
17 Dokumentasi SAHDAR.03..2017
18 Robert Klitgard “Membasmi Korupsi” cetakan ke II ( Jakarta. Penerbit Yayasan Obor. Tahun 2001. Halaman

99)

8
5. Profil Pelaku Korupsi Berdasarkan Institusi 2017.
Di tahun ini, ASN merupakan terdakwa yang paling banyak ditindak terkait kasus
korupsi. Kondisi ini sama seperti tahun 2016 lalu, di mana 64% (enam puluh empat
persen) terdakwa yang disidangkan di Pengadilan merupakan ASN. Tercatat ASN yang
terlibat dalam kasus sebagian besar didakwa melakukan penyalahgunaan
wewenang/jabatan, melakukan pungli, menerima suap dan gratifikasi. Di posisi kedua,
ada pihak swasta selaku rekanan dari proyek pemerintah yang terlibat dalam kasus
tersebut. Catatan kami pelaku korupsi ASN 56% (lima puluh enam persen) tetap
mendominasi, kedua ada pihak Swasta sebesar 39% (tiga puluh sembilan persen),
BUMN/BUMD empat persen dan Eks Pejabat Publik sebesar satu persen19.
Grafik V : Profil Pelaku Korupsi di tahun 201720

4%
1%
ASN
39% DPRD
Swasta
56%
BUMN/BUMD
Bupati/Walikota/Wako
0%

Dengan situasi ini, bagaimana ‘nasib’ pakta integritas yang telah ditanda tangani seluruh
pejabat Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota di Sumatera Utara pada akhir 2016. Karena
faktanya setelah menandatangani pakta integritas tersebut, Aparatur Sipil di Dinas
Pertambangan dan Energi terkena OTT. Tidak hanya sampai di situ, terjadi pula OTT
terhadap OK Arya Bupati Kabupaten Batu Bara.
Kembali kepada institusi yang terpapar korupsi. Di tahun 2017 terdapat sedikit perbedaan
dengan tahun sebelumnya, di mana apabila kita melihat di tahun 2016, ketiga lembaga
negara di Sumut, seperti Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif secara kompak didera
permasalahan korupsi yang massive. Yakni, kasus korupsi, suap hakim Pengadilan Tata
Usaha Negara Tripeni cs oleh Gatot Pujo Nugroho dan suap interpelasi anggota DPRD
Sumut21. Sedangkan di tahun 2017 ini hanya ada kasus dari lembaga eksekutif yang
muncul dilimpahkan ke Pengadilan. Sehingga bila dilakukan perbandingan sederhana
terkait korupsi yang terjadi di tiga lembaga pemerintah, — eksekutif, legislatif dan
yudikatif —. Eksekutif 100% (seratus persen) menjadi satu satunya lembaga pemerintah

19
Selanjutnya, hal senada juga diungkap oleh ICW dalam release kinerja penegakan hukum, di mana lembaga
eksekutif, seperti Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kota merupakan institusi paling banyak terjadi kasus korupsi
sepanjang 2016. Data yang ada secara nasional ada 219 kasus korupsi yang terjadi di Pemerintahan Daerah, dan 73
kasus korupsi di Pemerintah Kota, yang apabila keduanya digabungkan, telah menimbulkan kerugian negara Rp 721
miliar
20
Dokumentasi SAHDAR.04.2017
21 Penting untuk disampaikan adalah penanganan kasus korupsi suap DPRD Sumut sampai saat ini masih

menyisakan tanda tanya besar, karena terdapat banyak pelaku yang potensial untuk diadili, namun malah tidak ada
tindak lanjut, sehingga terbangun opini di masyarakat Sumut bahwa KPK melakukan tebang pilih dalam penindakan
kasus korupsi.

9
yang terdampak kasus korupsi 2017, dengan demikian, di tahun ini tidak ada pelaku
korupsi yang berasal dari lembaga Yudikatif dan Legislatif.
Grafik VI : Persentase Lembaga Negara Terbanyak Kasus Korupsi22

0%
Eksekutif
Yudikatif
Legislatif

100%

6. Sektor Paling Banyak di Korupsi


Di tahun 2017, 39% (tiga puluh sembilan persen) kasus korupsi terjadi di sektor
pembangunan infrastruktur yang ditangani oleh Dinas Pekerjaan Umum dan TRTB
dengan jumlah total 17 (tujuh belas) kasus. Diikuti dengan sektor pendidikan oleh Dinas
Pendidikan sebesar 20% (dua puluh persen) dengan total jumlah 9 (sembilan) kasus, dan
kesehatan dengan persentase sebanyak 16% (enam belas persen) dengan total 7 (tujuh)
kasus. Dilanjutkan dengan kasus korupsi di sektor lain seperti Perhubungan 7% (tujuh
persen), Pangan 7% (tujuh persen), Penanaman Modal 5% (lima persen), kelautan 4%
(empat persen) dan kebersihan 2 % (dua persen).
Grafik VI : Sektor Paling Banyak Terjadi Kasus Korupsi 23

Pendidikan
5% Infrastruktur
7% 20%
2%
7% Kesehatan

4% kelautan
perhubungan
16% kebersihan
39% Pangan
penanaman modal & minerba

Pada grafik di atas dapat dilihat terdapat sektor kerja pemerintah yang sangat rentan
terhadap permasalahan korupsi, terutama infrastruktur, pendidikan dan kesehatan
menjadi sektor yang paling rawan, ini dikarenakan jumlah anggaran pada sektor tersebut
sangat besar, dengan demikian dana yang bisa dikorupsi pada sektor ini juga menjadi
lebih besar, karena banyak kegiatan yang harus dilakukan. Lain dari itu, dikarenakan

22 Dokumentasi SAHDAR.04.2017
23
Dokumentasi SAHDAR.05.2017

10
prioritas pembangunan memberikan alokasi anggaran yang besar pada ketiga sektor di
atas.
Lebih lanjut, dapat di-informasikan bahwa terdapat kesamaan kondisi sektor yang paling
terpapar korupsi di tahun 2017 dengan tahun 2016. Yakni, sektor infrastruktur tetap
menjadi arena ter-banyak. Sampai dengan saat ini belum ada perubahan ke arah perbaikan
pada Satuan Kerja Pemerintah yang berkaitan dengan sektor Infrastruktur di Sumatera
Utara. Hal serupa juga terjadi pada sektor kesehatan dan pendidikan.
Seperti kasus mark up dana pembangunan sekolah, penyalahgunaan dana bos, tetap
ditemui di tahun ini, kami juga menemukan fakta menarik di pertengahan tahun 2017
terdapat kasus korupsi di sektor pendidikan yang cukup menyita perhatian, namun sampai
saat ini belum ditindak lanjuti oleh APH24, di mana terdapat “KELAS SILUMAN” yang
secara khusus di-ada-kan oleh sekolah-sekolah negeri di Kota Medan, untuk menampung
siswa jalur khusus, atau “siswa siluman” yang masuk ke sekolah negeri tanpa perlu
melalui sistem PPDB Online.
Permasalahan awal dikarenakan tidak konsistennya Dinas Pendidikan Sumut dalam
mengumumkan hasil penerimaan siswa. Sebab pengumuman tidak dilakukan melalui
website namun dilakukan secara manual, melalui pengumuman print out di masing
masing sekolah. ini membuka celah bagi sekolah untuk melakukan penerimaan siswa
diluar jalur resmi.
Tabel VII Sekolah Yang Terlibat dalam Skandal PPDB Online25.
No Nama Sekolah Jumlah Kelas Siluman Jumlah Siswa
1 SMA Negeri 2 5 Kelas 180 orang
2 SMA Negeri 3 2 Kelas -
3 SMA Negeri 4 1 Kelas 36 orang
4 SMA Negeri 5 2 Kelas -
5 SMA Negeri 8 1 Kelas 36 orang
6 SMA Negeri 13 2 Kelas 77 orang
7 SMA Negeri 14 1 Kelas 36 orang
8 SMA Negeri 15 1 Kelas 36 orang

Tidak hanya kasus korupsi penerimaan siswa online, kami juga menemukan adanya
korupsi pada program Kartu Indonesia Pintar (KIP) Jokowi di Kota Medan, melalui
investigasi yang dilakukan kepada siswa/i penerima KIP di 21 (dua puluh satu)
Kecamatan di Kota Medan, kami menemukan terdapat perbedaan jumlah uang PIP
kepada siswa di masing-masing Kecamatan Kota Medan. Dari perbedaaan itu ditemukan
adanya jumlah satuan anggaran yang sudah ditentukan untuk diberikan kepada siswa/i,
dilakukan pemotongan sebesar 50 % (lima puluh persen).
Modus tindakan pemotongan anggaran tersebut terjadi karena ada keterlibatan kuat dari
Dinas Pendidikan dengan Pihak Bank swasta seperti BNI atau BRI selaku bank penyalur
dana KIP kepada siswa/i. Bahkan untuk melegitimasi pemotongan anggaran tersebut
ditemukan fakta dimana Dinas Pendidikan mengeluarkan Surat Keputusan resmi
tentang besaran uang KIP yang bisa diterima oleh siswa/i dan nilai besaran uang tersebut

24
Kasus ini sempat diangkat dalam harian Kompass, tertanggal 14 Januari 2018, halaman 8.
25 Hasil Rapat Dengar Pendapat Antara DPRD Sumut dengan Wali Kelas

11
berbeda dengan jumlah yang sudah dianggarkan oleh Pemerintah Pusat. Di bawah ini
terdapat tabel jumlah anggaran KIP yang dipotong oleh Dinas dan Bank.
Tabel IX : Anggaran KIP yang diterima oleh Siswa di Medan.26
No Tingkatan Pendidikan Jumlah Normal Per Tahun Jumlah Faktual27
1 Sekolah Dasar Rp. 900.000. Rp. 450.000,-
2 Sekolah Menegah Pertama Rp. 1.500.000 Rp. 750.000,-
3 Sekolah Menengah Atas Rp. 2.000.000 Rp. 1.000.000,-

7. Daerah Dengan Kasus Korupsi Terbanyak 2017


Tingginya kasus korupsi yang terjadi di berbagai daerah di Sumut masih sama seperti
tahun sebelumnya. Mulai dari Pemerintah Provinsi, Pemerintahan Kab/Kota, kecamatan
dan Desa yang terjadi secara merata. Menjadi catatan, tidak terlihat adanya indikasi
penurunan kasus korupsi sejak tahun 2010. Dari 66 (enam puluh enam) kasus korupsi
yang disidangkan di PN Medan tahun ini, secara merata setiap Kabupaten/Kota di Sumut
tetap “menyumbang” satu sampai dua kasus korupsi.
Tabel X: Pemerintahan Dengan Kasus Korupsi Terbanyak28
Pemerintahan Jumlah Kasus Jumlah Kerugian
Pemerintah Kota Medan 9 Kasus Rp. 14.783.459.883,-
Pemerintah kabupaten Deli Serdang 6 Kasus Rp. 15.228.000.000,-
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara 5 Kasus Rp. 622.000.000,-
Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai 4 kasus Rp. 6.987.874.000,-
Pemerintah Kabupaten Langkat 3 Kasus Rp. 392.000.000,-
Pemerintah Kabupaten Batu Bara 3 Kasus Rp. 5.115.072.345,-
Pemerintah Kabupaten Pak Pak barat 3 Kasus Rp. 3.271.945.000,-

Dapat di lihat melalui tabel di atas, khusus untuk Pemerintah Kota Medan, data yang ada
menunjukan bahwa kondisi Kota Medan saat ini, sejalan dengan release catatan akhir
tahun Transaparency International Indonesia, “Kota Medan adalah kota terkorup di
Indonesia”29. Data yang dikumpulkan selama tahun 2017, menunjukan bahwa benar
Pemerintah Kota Medan adalah Pemerintahan di mana daerahnya paling banyak terjadi
kasus korupsi. Tercatat Medan dengan 9 (sembilan) kasus korupsi yang disidangkan di
tahun ini, menjadi kota dengan kasus terbanyak diantara kota dan kabupaten se-Sumatera
Utara. Jenis kasus yang terjadi diantaranya adalah kasus Pungli, Suap dan Gratifikasi oleh
aparatur birokrasi seperti kasus Penggandaan Voucher di Dinas Kebersihan, dan kasus
pengadaan Barang dan Jasa infrastruktur berupa bangunan atau jalan. Kondisi serupa juga
diikuti oleh Pemerintah Kabupaten Deli Serdang, dengan 6 (enam) kasus korupsi yang
diantaranya didominasi oleh kasus Pungli Suap dan Gratifikasi serta kasus Anggaran
Dana Desa. Dilanjutkan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dengan 5 (lima) kasus
korupsi dan Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai sebanyak empat korupsi.
Dengan demikian seluruh instansi baik Provinsi, Kabupaten maupun Kota di Sumatera
Utara terjebak dengan kasus korupsi, tidak dapat dikatakan lain bahwa tidak ada
Kabupaten/Kota di Sumatera Utara yang bersih dari permasalahan korupsi, bahkan tidak
26 Hasil Investigasi SAHDAR.
27
Jumlah Anggaran KIP Pertahun yang disalurkan kepada Penerima.
28
Dokumentasi SAHDAR.06.2017
29 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20171122193232-12-257460/survei-tii-medan-kota-terkorup-2017

12
terkecuali dengan Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara. yang sudah dikawal secara
langsung oleh Tim Supervisi KPK.
Keadaan ini sebenarnya sejalan dengan tingginya anggaran dari masing-masing daerah.
Di tahun ini kami mencatat bahwa Pemerintah Provinsi Sumut mendapat kucuran
anggaran sebesar Rp 12.000.000.000,- (terbilang dua belas triliun rupiah) lebih, Kota
Medan, Rp 5,500.000.000.000,- (lima triliun lima ratus miliar upiah), Deli Serdang
sebesar Rp. 3,500.000.000.000,- (terbilang tiga triliun lima ratus miliar rupiah), dan
Serdang Bedagai sebesar Rp. 1,400.000.000.000,- (terbilang satu triliun lima ratus miliar
rupiah). Empat pemerintah daerah di bawah ini di tahun 2017 adalah daerah dengan kasus
korupsi terbanyak, dengan tingginya anggaran yang ada maka semakin banyak pula
kegiatan yang akan dilakukan di daerah tersebut, sehingga dapat dikatakan kasus korupsi
terjadi secara beriringan dengan tingginya aktifitas pembangunan dan gerak kemajuan
sebuah daerah.
Tabel XII : Anggaran Pemeritahan dan Kerugian Korupsi di Tahun 201730
No Pemerintahan Anggaran Kerugian Korupsi
1 Pemerintah Sumatera Utara Rp. 12.333.323.789.674 Rp. 15.228.000.000
2 Pemerintah Kota Medan Rp. 5.523.623.117.419 Rp. 14.783.459.883
3 Pemerintah Deli Serdang Rp. 3.497.039.137.164 Rp, 622.000.000
4 Pemerintah Sergei Rp. 1.424.829.584.055. Rp. 6.987.874.100

8. Nilai Kerugian Akibat Korupsi.


Berdasarkan kasus yang disidangkan sepanjang tahun 2017, Secara keseluruhan Sumatera
Utara mendera kerugian yang tidak sedikit, secara rill kerugian akibat korupsi sepanjang
tahun 2017 saja mencapai angka Rp. 85.091.138.376,- (terbilang delapan puluh lima
miliar, sembilan puluh satu juta, seratus tiga puluh delapan ribu, tiga ratus tujuh puluh
enam rupiah). Sedangkan potensi kerugian yang muncul dari perhitungan secara
keseluruhan kasus yang telah terekspose namun belum dilimpahkan ke pengadilan
mencapai angka sebesar. Rp. 202.933.913.370.. (terbilang Dua Ratus Dua miliar,
sembilan ratus tiga puluh tiga juta sembilan ratus tiga belas ribu tiga ratus tujuh puluh
rupiah).
V. Korporasi dan Birokrasi Korupsi
Korporasi baik dalam tingkatan lokal maupun global pada saat ini menjadi aktor yang
cukup disorot dalam berbagai macam masalah, mulai dari masalah pelanggaran Hak
Azasi Manusia, pengrusakan lingkungan dan juga korupsi. Dari 66 (enam puluh enam)
kasus korupsi yang terjadi di Sumut, terdapat 22 (dua puluh dua) Perusahan/Korporasi
yang kami catat ikut terlibat dan turut ambil bagian dalam terjadinya permasalahaan
korupsi sepanjang periode 2017. Di bawah ini ada beberapa nama korupsi yang terlibat
dalam kasus korupsi.

30 Dokumentasi SAHDAR.08.2017

13
Tabel XIII: Korporasi Terlibat Korupsi31
Nama Korporasi Terdakwa Kasus Korupsi
Bhakti Karya Nusa Pratama Ir. H Amsali Rehabilitasi Pasar Bundar Binjai
Dempo Sejahtera Abadi Nintra Herawati Pengadaan Alat Kesehatan Binjai
- Maringan Samosir Suap Bupati Batu Bara
Khalimal Consultant Affandi Amran Pembangunan dan Rehabilitasi Saluran Air
Indoprima Haeri Nopianto Pembangunan Perpusataan di Sumut
PT Cahaya Anak Bangsa Fadhil Gumala Pengadaan Alat Kesehatan Binjai

Terlibatnya korporasi dalam korupsi, bukanlah fenomena baru. Sebagai bagian yang
integral dalam PBJ Pemerintah, tidak sedikit korporasi yang turut serta dengan oknum
ASN untuk melakukan korupsi. Selain itu, pemilik korporasi juga kerap melakukan suap
dan gratifikasi kepada Kepala Daerah untuk memuluskan kepentingan dan pekerjaan
yang mereka lakukan di daerah yang dipimpin oleh Kepala Daerah. Salah satu contoh
kasus yang cukup menarik, adalah Operasi Tangkap Tangan terhadap Kepala Daerah
Batu Bara, Ok Arya Zulkarnain. Uang suap senilai Rp. 4.100.000.000,- (terbilang empat
miliar seratus juta rupiah) diberikan oleh satu satu pemilik korporasi yang bernama
Maringan Samosir dengan tujuan untuk memuluskan proyek pembangunan infrastruktur
di Kabupaten Batu Bara kepada Oka Arya Zulkarnain32.
Lebih lanjut, apabila melihat tabel di atas, terdapat dua korporasi yakni, PT Cahaya Anak
Bangsa, dan Dempo Sejahtera Abadi yang diketahui memiliki keterlibatan dengan PT
Permai Group —PT Permai Group merupakan salah satu Korporasi di tingkat Nasional
yang menjadi aktor dari kasus mega korupsi pengadaan alat kesehatan tahun 2012 —.
Dimana kedua korporasi tersebut merupakan rekanan yang dibentuk secara serampangan
dan ditunjuk khusus demi memuluskan praktik korupsi alat kesehatan dibeberapa daerah
di Sumut33.
Lebih lanjut, tidak hanya keterlibatan di bidang Pengadaan Alat Kesehatan, belakangan
ini mulai terungkap ke publik praktek korupsi pada pengurusan izin usaha, izin prinsip,
dan izin operasi oleh korporasi. Tepatnya banyak korporasi tertangkap tangan melakukan
suap dan gratifikasi untuk memuluskan izin usahanya. Di sepanjang tahun 2017 saja ada
beberapa kali Operasi Tangkap Tangan yang dilakukan terkait pengurusan izin, seperti
Eddy Saputra Salim, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumut, ataupun kasus suap
di Dinas Penanaman Modal & Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Sumut.
Temuan dari kasus itu, korupsi perizinan terjadi dengan berbagai macam modus,
diantaranya, korporasi sering kali melakukan suap, dan gratifikasi dalam proses
permohonan izin, ataupun sebaliknya, di mana birokrat melakukan pungli kepada
korporasi yang melakukan permohonan izin. Dampak dari aktifitas haram ini, banyak

31 Dokumentasi.SAHDAR.09.2017
32
Menarik adalah, dalam kasus ini tidak hanya Bupati Baru Bara dan pemilik korporasi yang dijadikan tersangka,
namun ada enam orang lagi, yang juga turut ditetapkan oleh KPK sebagai pihak yang ikut terlibat dalam kasus suap
dan gratifikasi.
33 Tidak hanya kedua perusahaan tersebut, kami juga menemukan perusahaan lain yang turut terlibat dalam mega

korupsi Alat Kesehatan 2012, salah satunya adalah perusahaan yang dimiliki oleh Ridwan Winata, yaitu, PT Magnum
Global Mandiri. Dari data yang ada, PT MGM menjadi penyalur alat kesehatan di 5 Provinsi di Pulau Sumatera, yakni,
Sumatera Utara, Sumanatera Barat, Sumatera Selatan, Riau dan Lampung, terkhusus untuk wilayah Sumatera Utara
saja, PT MGM menjadi panyalur alat kesehatan di 6 Kab/Kota, yakni Toba Samosir, Tapanuli Tengah, Labuhan Batu
Selatan, Padang Lawas Utara dan Sibolga.

14
ditemukan korporasi melakukan pelanggaran sangat serius dalam peruntukan dan
pelaksanaan izin usaha. Karena izin didapatkan melalui proses yang koruptif seperti suap
dan gratifikasi. Pelanggaran ini mau tidak mau dilakukan dengan tujuan menutupi ongkos
suap dan gratifikasi yang telah dikeluarkan. Lain dari itu, demi kepentingan persaingan,
dan menekan biaya produksi, sehingga “mengambil” melebihi yang diizinkan, korporasi
tidak segan menyuap oknum aparatur sipil negara untuk menutupi aktifitas mereka seperti
melakukan pelanggaran ketentuan ketenagakerjaan, lingkungan hidup, perlindungan
perempuan dan anak, serta pelanggaran hak-hak masyarakat lokal. Juga ditemukan
pelanggaran batas wilayah yang diizinkan dalam aktifitas korporasi di sektor Sumber
Daya Alam.
Ini tidak menjadi dugaan tetapi telah menjadi fakta yang terungkap di dunia Internasional
seperti adanya “complain” terhadap korporasi di Indonesia yang memproduksi Crude
Palm Oil di pasar Eropa dan Amerika Serikat, yang dituduh telah melakukan pelanggaran
HAM dan Perusakan Lingkungan. Dengan itu dapat dipastikan telah terjadi korupsi
disektor pengawasan pelaksanaan perizinan. Salah satu contoh temuan SAHDAR,
bahwa sedang terjadi perambahan dan perusakan Hutan Lindung TORMATUTUNG di
Kabupaten Asahan yang dilakukan oleh dua Perusahaan Perkebunan Besar, tetapi tidak
ada tindakan apapun dari penegak hukum.
Lain dari itu, kami juga menemukan modus korupsi dengan cara okupasi aset milik
Pemerintah dan BUMN oleh korporasi yang berkerja sama dengan aparatur birokrasi atau
BUMN, seperti di Sumut kasus PT ACK yang mengokupasi aset PT KAI. Tanah yang
dahulunya merupakan perumahan pegawai PT KAI yang digusur dan ‘disulap’ menjadi
kompleks Super Mall Center Point di tengah pusat kota Medan. Dari aktifitas satu
korporasi yang tidak taat aturan ini saja di estimasi negara telah menderita kerugian
sebesar Rp. 2.000.000.000.000,- (terbilang dua triliun rupiah). Besarnya kerugian yang
timbul, tidak terlepas dari perkembangan nilai ekonomis bangunan yang cukup signifikan
pada saat ini. Dan sampai dengan saat ini, pengendali P.T. ACK atau aktor utamanya
seorang yang bernama Iskak Charlie belum berhasil diseret ke meja hijau oleh aparat
penegah hukum, termasuk dalam hal ini KPK R.I.
VI. Birokrasi dan Kultur Korupsi
Uraian di atas adalah gambaran korupsi yang masih terjadi selama tahun 2017. Lantas
bagaimana implementasi dari kesepakatan seluruh Kepala Daerah untuk melakukan
pencegahan korupsi. Dengan terus meningkatnya angka korupsi di Sumut, bisa jadi
kesepakatan ini hanyalah drama 'cari muka' Kepala Daerah. Karena sampai dengan saat
ini semua hal di atas tidak juga menyebabkan pelaku korupsi di tingkat lokal tereduksi
untuk tidak melakukan korupsi. Lihat grafik I dan grafik II di mana angka kasus korupsi
tiap tahunya terus bertambah, di tahun 2016 terdapat 64 (enam puluh empat) kasus dan
di tahun 2017 terdapat 66 (enam puluh enam) kasus. Tidak hanya pada jumlah kasus,
jumlah orang yang melakukan tindak pidana ini juga mengalami peningkatan, dari tahun
sebelumnya terdapat 130 (seratus tiga puluh) orang dan di tahun 2017 menjadi 137
(seratus tiga puluh tujuh) orang.
Umum diketahui budaya korupsi di Sumatera Utara tumbuh subur, tidak ada satupun
sektor yang bebas dari permasalahan korupsi, mulai dari sektor pendidikan, infrastruktur,
kesehatan hingga perizinan. Karena itu tidak salah apabila korupsi dikatakan menjadi

15
habitus, karena faktanya terus tumbuh dan berkembang dengan mudah dalam kehidupan
masyarakat34. Lihat grafik VI, dimana hampir secara merata sektor kerja birokrasi terjadi
kasus korupsi, tanpa terkecuali.
Budaya korupsi35, dalam konteks permasalahan kali ini adalah kekuatan yang menjadi
penggerak untuk memampukan orang - orang melakukan perbuatan atau tindakan sosial.
Lahir dari sebuah kebiasan yang muncul secara terus-menerus dan akhirnya menjadi
aktivitas populer, karena korupsi sangat dominan. Apabila diaktualisasikan dalam
kehidupan yang lebih nyata, seperti halnya judul bab dari tulisan ini, birokrasi dan
kultur korupsi. Budaya korupsi ini muncul dari perilaku aparatur birokrasi yang
memanfaatkan keadaan, untuk menguntungkan dirinya sendiri, menggunakan relasi
kekuasaan dan kesempatan yang ada di dalam struktur birokrasi dan akhirnya menjadi
habitus yang tidak disadari36. Lihat grafik V di mana aparatur birokrat menjadi pelaku
terbanyak tindak pidana korupsi, sebanyak 56 % (lima puluh enam persen) mendominasi
keseluruhan pelaku korupsi sepanjang tahun 2017.
Habitus budaya korupsi akhirnya menjadikan orang dalam birokrasi melakukan
perbuatan korupsi itu sendiri. Disadari, praktik aparatur birokrasi telah menjadi nilai dan
budaya yang akhirnya menjadi penggerak dari perilaku koruptif (process of
inculcation)37. Sederhananya, perilaku korupsi karena sudah ada begitu lama dalam
lingkungan birokrasi, sepertinya terjadi begitu saja, karena sudah terbiasa terjadi. Oleh
teorikus sosial seperti Bouerdiu, Habitus digambarkannya sebagai produksi dari sebuah
situasi dan kesadaran agent di dalam sebuah struktur, yang mendorong individu untuk
melakukan atau be-reaksi terhadap situasi tertentu. Karena itu ketika habitus korupsi
bertemu dengan arena-nya, menguasi atau dikuasai, perilaku koruptif pun muncul, dipicu
oleh situasi yang di-persepsi-kan oleh agent/aparatur birokrasi. Maka tidak heran apabila
sektor PBJ dengan dana yang sangat besar setiap tahunnya tetap menjadi arena terkorup
di Sumut. Sebab tingginya keterkaitan aparatur birokrasi dan terbukanya kesempatan
untuk melakukan korupsi ketika pelaksanaan pengadaan barang/jasa.
Lebih lanjut, mengapa korupsi bisa menjadi biasa terjadi di dalam birokrasi. Tidak dapat
dikatakan lain karena sejak awal, jauh sebelum aparatur birokrasi terlibat di dalam
struktur birokrasi, orang tersebut sudah membawa elemen perilaku koruptif, dimana
elemen tersebut terbentuk dari situasi di masyarakat, dan akhirnya menggerakkan birokrat
kepada reproduksi korupsi ketika berada dalam arena tertentu, dalam hal ini arena yang
dimaksud adalah birokrasi. Dengan demikian ide korupsi sudah terbentuk dan dimulai
sejak aparatur tersebut berada di luar dari sistem birokrasi pemerintah. Keadaan ini lah
yang menyebabkan habitus korupsi akhirnya mapan di dalam arena struktur birokrasi.

34
Jannes Alexander Uhi, “Filsafat Kebudayaan” Cetakan ke I (Yogjakarta, Pustaka Pelajar, Tahun 2016. Hlm 3)
35
Van Paursen (1987 :189 ) menegaskan bahwa kebudayaan tidaklah melulu menyangkut suatu benda, tetapi bisa
dikaitan dengan suatu pe-kerja-an, yakni yang menyangkut suatu aktivitas. Dalam hal ini aktivitas yang kami maksud
adalah tingginya aktivitas korupsi yang terjadi di Sumut, sehingga disebut sebagai budaya karena berimplikasi terhadap
masa depan, kerja sama dan perubahan organisasi koruptif Kebudayaan bukan pemberian kodrat, melainkan suatu
konstruksi manusia yang terjadi dari sebuah pergulatan hidup dari waktu ke waktu dari suaru tempat ke tempat lainnya
Ibid, halaman 23.
36 Bourdieu menerangkan bahwa habitus adalah merupakan hasil dari proses panjang pencekokan individu, dimulai

sejak kanak-kanak, kemudian berubah menjadi penginderaan kedua, atau hakikat ilmiah kedua, lebih lanjut mengenai
hal ini dapat dibaca di buku Arena Produksi Kultural, Bourdieu.

16
Demikian pengalaman selama masa di luar r yang menjadikan elemen koruptif — curang,
tidak jujur, mau menang sendiri — tertanam di aparatur birokrasi.
Relasi antara aparatur birokrasi satu dengan lainnya, seperti antara bawahan dengan
atasan, dan pertarungan untuk memperebutkan posisi strategis di dalam dan di luar
birokrasi oleh individu di dalam birokrasi tersebut, kesemuanya membutuhkan sumber
daya, dan hal tersebut tidak bisa diamankan tanpa adanya modal. Ini yang muncul di
dalam pikiran aparatur birokrasi, dengan demikian aparatur birokrasi harus
mengamankan posisinya dengan terlibat dalam praktik korupsi. Akhirnya ketimpangan
relasi antara aparatur birokrasi di dalam struktur birokrasi telah mendorong perilaku
korupsi.
Belum lagi tingginya pengaruh politik dalam birokrasi pemerintah kita. Praktik patronase
politik, di mana setiap pergantian kepala daerah akan membawa situasi yang tidak stabil
kepada struktur birokrasi, sehingga setiap aparatur birokrasi bertindak untuk
mengamankan posisinya di dalam struktur tersebut. Tingginya dominasi politik
menyebabkan struktur birokrasi sangat tidak stabil dan akhirnya mendorong timbulnya
tindakan koruptif, demi mengamankan kondisi yang ada.
Apa efek dari situasi tersebut. Apakah pencegahan korupsi tidak berjalan dengan
semestinya. Seperti yang kita ketahui bahwa supervisi dan pencegahan yang dilakukan
belum menunjukan hasil yang baik. Anggapan bahwa melawan korupsi bisa dilakukan
dari atas ke bawah atau top to down. Seperti Singapura dan Rwanda yang telah berhasil
mereformasi perilaku birokrasi di negaranya tidak bisa di copy paste dengan kondisi
sosial birokrasi kita, karena senyatanya melawan korupsi adalah perlawanan dalam
mengubah situasi sosial di dalam masyarakat, — jadi tidak tepat kiranya bila upaya
perlawanan terhadap korupsi hanya dilakukan melalui proses pencegahan dan
penindakan, sebab, me-minimalisir tindakan korupsi tidak akan terjadi dalam waktu yang
singkat —, sehingga yang perlu dilakukan untuk saat ini adalah upaya penanaman nilai
sejak jauh hari, yang kelak bisa diwariskan dan dibawa oleh orang yang akan menjadi
aparatur birokrasi nantinya.
Lebih lanjut lagi, upaya melawan korupsi di dalam birokrasi bukan sebuah perang satu
hari, hanya terpikir upaya tercepat bagaimana melawan korupsi, sementara nyatanya
pencegahan dan penindakan yang telah dilakukan, ternyata tidak mampu merubah kultur
dari perilaku koruptif. Bahwa penindakan dengan pendekatan hukum tidak juga mampu
menstimulasi perubahan sosial yang terkadang malah tidak sejalan, dan dapat
disimpulkan bahwa penghukuman dan perbaikan tanggung jawab tidak bisa dilakukan
dengan model model konvensional dan cara praktis.
VII. Kesimpulan
Perbaikan yang digagas melalui reformasi birokrasi, dan korsub pencegahan KPK,
dengan cara peningkatan gaji dan penguatan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah,
sepertinya belum cukup dalam menggerakan perubahan. Kenapa upaya tersebut belum
berhasil, karena permasalahan birokrasi yang korup pada saat ini tidak lagi disebabkan
oleh kecilnya gaji, ataupun ke-tiada-an pengawas pemerintah.
Namun sumber masalah yakni habitus koruptif yang sudah terbangun di dalam birokrasi
belum bisa diubah. Sehingga budaya korupsi tetap ada dan membudaya diantara para

17
birokrat, meskipun banyak upaya telah dilakukan. habitus koruptif yang telah
berkembang lama, mengakibatkan praktik korupsi menjadi hal yang lumrah dan wajar
dikalangan aparatur birokrasi. Relasi antara pegawai, satu dengan lainnya, bawahan
dengan atasan, pertarungan untuk memperebutkan posisi strategis di dalam dan di luar
birokrasi, semuanya membutuhkan sumber daya, dan hal tersebut tidak bisa diamankan
tanpa adanya modal. Dengan demikian aparatur birokrasi mengamankan posisinya
dengan terlibat dalam praktik korupsi.
Oleh karena itu, gagasan formulasi peningkatan gaji aparatur birokrasi sebenarnya kurang
relevan mengingat birokrat yang terjerat kasus korupsi bukan lagi biokrat dengan
tingkatan pendapatan/gaji yang rendah, namun birokrat yang notabene bergaji cukup.
Max Weber sendiri mengungkapkan, selain dengan cara meningkatkan gaji aparatur
birokrasi, ada beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk memperbaiki perilaku aparatur
birokrasi, pertama, menciptakan peluang karir yang tidak bergantung pada kebetulan dan
ketidakpastian, kedua, disiplin dan kontrol ketat, terbukanya ruang kritik oleh
masyarakat, ketiga, adanya mekanisasi tegas.
Dua dari empat hal di atas pada saat ini telah dilakukan pemerintah, — meskipun belum
berjalan secara maksimal — sementara ada dua hal lagi yang belum berhasil dilakukan
terkait optimalisasi kinerja birokrasi. Yakni, peluang karir yang tidak bergantung pada
kebetulan dan ketidakpastian dan adanya mekanisasi birokrasi yang tegas. Karena
faktanya arena birokrasi menunjukan bahwa demi mendapatkan kedudukan dan tempat
yang baik, birokrat/pegawai haruslah melakukan pendekatan yang baik. Pendekatan yang
baik dipahami sebagai pemberian mahar ataupun upeti dari pegawai kepada atasan.
Dengan demikian apabila tidak ada pendekatan yang baik, situasi itu opsi peluang karir
juga menghilang, sebab tidak ada kepastian bagi posisi karir birokrat. Hal ini belum
termasuk menghindari praktik politik di lingkup birokrasi.
Lebih lanjut terkait mekanisasi tegas. Faktanya praktik birokrasi sangatlah lentur, dimana
aparatur birokrasi sering kali tidak melaksanakan ketentuan dan aturan yang sudah ada,
dengan alasan mengikuti perintah atasan dan takut tidak diberi pekerjaan atau istilah “non
job” sehingga seringkali korupsi terjadi secara by design dikarenakan mekanisasi yang
tidak tegas, atau ketidaktaatan kepada aturan dan lebih memilih diskresi atasan. Ada
istilah yang digunakan oleh Weber untuk menanggulangi masalah ini, disebut sebagai
demokrasi Caesaris, di mana harus muncul sosok tega yang bisa memimpin jalannya
birokrasi dan menjadi penangung jawab birokrat di bawahnya, sehingga kerja birokrasi
bisa menjadi lebih baik. Namun apakah hal ini yang kita harapkan dalam perbaikan
reformasi birokrasi yang bebas KKN.
Selanjutnya, perilaku korupsi telah menjadi habitus38, sehingga Pungli, Suap dan
Gratifikasi menjadi kebiasaan yang terbudaya diantara birokrasi dan korporasi, dimana
hal ini tidak terpisahkan dari perilaku birokrat secara impersonal, sementara itu
pemerintah dengan tegas telah menjadikan reformasi birokrasi sebagai agenda prioritas
di dalam Nawa Cita dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Ironinya,
meskipun secara nasional penilaian reformasi birokrasi dianggap membaik, di mana
posisi Indonesia naik 23 (dua puluh tiga) peringkat dalam Indeks Efektifitas Pemerintah,

38
Nanang Martono “Kekerasan Simbolik di Sekolah, Sebuah ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu” cetakan
I (Jakarta, Grafindo Persada. Tahun 2012, halaman 36)

18
namun hal tersebut tidak terjadi di tingkatan lokal Sumatera Utara, karena nyatanya,
Lembaga Eksekutif masih menjadi bagian terbesar pelaku koruptif, dengan kenyataan
telah terjadi berulang kali OTT terhadap birokrat dan pejabat di Sumut.
VIII. Rekomendasi Untuk Tahun 2018
Rekomendasi yang perlu dilakukan dalam perbaikan birokrasi pemerintah adalah,
pertama penempatan APIP atau Inspektorat Daerah di bawah subordinasi langsung
Presiden, dengan itu diharapkan inspektorat nantinya akan mampu memberikan
rekomendasi sanksi kepada ASN yang melakukan pelanggaran etika, rekomendasi ini
nantinya juga harus dipatuhi oleh Bupati/Gubernur. Seperti dengan diberlakukannya
penundaan kenaikan pangkat dan golongan, penghapusan tunjangan, ataupun denda. Hal
ini berguna untuk merubah kultur disiplin birokrat.
Kedua, perlu formulasi baru untuk menghilangkan relasi yang timpang antara atasan dan
bawahan di dalam struktur birokrasi, sebab situasi ini memicu terjadinya praktik KKN
oleh ASN. Ketimpangan relasi antara pegawai di dalam birokrat kerap menjadikan situasi
tidak stabil, dan cenderung tanpa kepastian. Hal ini menjadi penyebab birokrat mau tidak
mau harus mengamankan posisinya dalam hubungan antar relasi tersebut, dengan cara
ikut bekerja sama dalam praktik KKN yang sudah ter-habitual di dalam Pemerintah.
Secara teknis upaya yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengubah kultur relasi ini
dengan menerapkan sistem mutasi promosi yang jelas.
Ketiga, perlu dilakukan pelibatan publik sebagai pengawas, dan yang paling utama untuk
mengakses keterbukaan terhadap kinerja birokrasi, pengawasan dan evaluasi dapat
dilakukan oleh publik sehingga pemerintah bisa mendapat masukan yang jelas terkait
pelayanan dan kinerja aparatur birokratnya.
Keempat, dan yang terakhir adalah optimalisasi gaji bagi birokrat, melalui tunjangan
kinerja, meskipun bukan menjadi salah satu faktor utama penyebab masih terjadinya
praktik korupsi di dalam tubuh birokrasi, namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
kajian ataupun dalam banyak literatur pencegahan korupsi, peningkatan kesejahteraan
merupakan faktor penting yang perlu dilakukan.
Selain hal tersebut, penting untuk dilakukan adalah perbaikan pada sistem pendidikan,
mulai dari pendidikan dasar sampai dengan jenjang pendidikan tinggi. Perbaikan ini harus
dilakukan secara berjenjang, karena penanaman nilai yang meng-eliminasi elemen
budaya korupsi harus dilakukan sejak dini, sehingga terbangun sistem sosial yang baik,
yang mampu memunculkan sumber daya manusia yang baik pula. Dengan tindakan ini
terjadi produksi kultural 39, yang baik yang diharapkan dapat membawa perubahan pada
birokrasi di Sumatera Utara.

39 Piere Bourdieu “Arena Produksi Kultural” cetakan ke II ( Bantul, Kreasi Wacana. Tahun 2012. hlm 45)

19
IX. Referensi

Akhyar Yusuf Lubis. 2014. “Postmodern Teori dan Metode” Jakarta: Rajawali
Pers.
Etty Indriati. 2014. “Pola dan Akar Korupsi” Jakarta : Gramedia.
I.S. Susanto. 2010. “Statistik Kriminal” Yogyakarta : Genta Publishing
Jannes Alexander Uhi. 2016. “Filsafat Kebudayaan” Yogjakarta : Pustaka Pelajar,
Muhammad Mustofa. 2013. “Metodologi Penelitian Kriminologi” Jakarta :
Kencana.
Nanang Martono. 2012. “Kekerasan Simbolik di Sekolah, Sebuah ide Sosiologi
Pendidikan Pierre Bourdieu” Jakarta : Grafindo Persada.
Robert Klitgard. 2001. “Membasmi Korupsi” Jakarta : Yayasan Obor.
Stephan Hurtwitz. 1986. “Kriminologi” Jakart : Bina Aksara.
Piere Bourdieu. 2012. “Arena Produksi Kultural” Bantul : Kreasi Wacana.

20

Anda mungkin juga menyukai