Anda di halaman 1dari 52

ANATOMI DAN FISIOLOGI KONJUNGTIVA

PENDAHULUAN

Konjungtiva adalah membran mukosa yang tipis dan transparan, yang membungkus permukaan

anterior dari bola mata dan permukaan posterior dari palpebra. Lapisan permukaan konjungtiva, yaitu

lapisan epitel berhubungan dengan epidermis dari palpebra dan dengan lapisan permukaan dari kornea,

yaitu epitel kornea. 1,2,3,4

Konjungtiva bertanggung jawab terhadap produksi mukus, yang penting dalam menjaga

stabilitas tear film dan transparansi kornea. Selain itu, konjungtiva juga mampu melindungi permukaan

okular dari patogen, baik sebagai barier fisik, maupun sebagai sumber sel-sel infalamsi. 1,2,3

Selanjutnya, untuk lebih memahami konjungtiva, dalam Sari Pustaka ini akan dibahas lebih

lanjut tentang embriologi, anatomi dan fisiologi konjungtiva.

EMBRIOLOGI

Mata berkembang dari tiga lapisan embrional primitif, yaitu: ektoderm permukaan, ektoderm

neural, dan mesoderm. Pembentukan lapisan germinal mesoderm terjadi pada masa-masa gestasi awal.

1,5

Secara anatomis, perkembangan konjungtiva dimulai pada stadium pertumbuhan palpebra.

Stadium differensisasi palpebra berlangsung pada minggu ke 4-5 hingga bulan kedua masa gestasi.

Stadium pertumbuhan palpebra dimulai dengan proliferasi dari lapisan ektoderm membentuk lembaran

palpebra sampai menjadi satu. Pada akhirnya palpebra superior dan inferior terlihat jelas pada minggu
ke 6. Pada minggu ke-6, invaginasi optic cup menjadi lengkap dan lens vesikel sudah terpisah dari

ektoderm permukaan. Pada minggu ke 7-8 masa gestasi, ektoderm permukaan membentuk konjungtiva.

6,7

Gambar 1. Embriologi Konjungtiva 1,5

ANATOMI
Konjungtiva dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu:

1. Konjungtiva Palpebra

Pada sambungan mukokutaneus, lapisan epidermis dari kulit palpebra berubah menjadi

konjungtiva palpebra atau konjungtiva tarsal dan melanjut-kan diri ke belakang melapisi permukaan

posterior palpebra. Lapisan ini melekat secara erat dengan lempeng tarsus. Pada batas superior dan

inferior dari tarsus, konjungtiva melanjutkan diri ke posterior dan melapisi jaringan episklera sebagai

konjungtiva bulbi. 1,2,3,4,8,9,10

2. Konjungtiva Forniks

Dari permukaan dalam palpebra, konjungtiva palpebra melanjutkan diri ke arah bola mata

membentuk dua resesus, yaitu forniks superior dan inferior. Forniks superior terletak kira-kira 8-10

mm dari limbus, dan forniks inferior terletak kira-kira 8 mm dari limbus. Pada bagian medial,

struktur ini menjadi karunkula dan plika semilunaris. Di sisi lateral, forniks terletak kira-kira 14 mm

dari limbus. Saluran keluar dari glandula lakrimal bermuara pada bagian lateral forniks superior.

1,2,3,11

Konjungtiva forniks superior dan inferior melekat longgar dengan pembungkus otot rekti

dan levator yang terletak di bawahnya. Kontraksi otot-otot ini akan menarik konjungtiva sehingga ia

akan ikut bergerak saat palpebra maupun bola mata bergerak. Perlekatan yang longgar tersebut

juga akan memudahkan terjadinya akumulasi cairan. 11

3. Konjungtiva Bulbi
Konjungtiva bulbi meluas dari daerah limbus ke daerah forniks. Lapisan ini sangat tipis dan

transparan sehingga sklera yang terletak di bawahnya dapat terlihat. Konjungtiva bulbi melekat

secara longgar dengan sklera sehingga memungkinkan bola mata bergerak bebas ke segala arah.

Selain itu, konjungtiva bulbi juga melekat secara longgar dengan septum orbita pada forniks dan

melipat hingga beberapa kali. Selain memberikan kebebasan bola mata untuk bergerak, hal ini juga

akan memperluas permukaan sekresi konjungtiva. 1,2,3,9,10,11

Ket. Gambar : (1) Limbus, (2) Konjungtiva Bulbi, (3) Konjungtiva Forniks,

(4) Konjungtiva Palpebra, (5) Pungtum Lakrimalis, (6) Konjungtiva Marginalis

Gambar 2. Anatomi Konjungtiva 12


Kurang lebih 3 mm dari limbus, perlekatan antara konjungtiva bulbi, kapsula tenon, dan

sklera menjadi erat, sehingga konjungtiva tidak dapat diangkat dengan mudah. Garis yang terbentuk

pada pertemuan antara konjungtiva dan kornea disebut limbus konjungtiva. Ia terletak kira-kira 1

mm anterior ke tepi kornea (limbus kornea), yang merupakan pertemuan antara kornea dan sklera.

1,2,3,9,10,11

Gambar 3. Batas-batas limbus 11

Plika Semilunaris dan Karunkula

Plika Semilunaris merupakan bagian dari konjungtiva bulbi pada daerah kantus medial yang merupakan

lipatan tebal berbentuk bulan sabit yang lunak dan mudah bergerak. Batas lateral berbentuk konkaf dan

merupakan daerah yang bebas. Di bawah lipatan tersebut terdapat ruangan kecil sedalam kira-kira 2
mm saat mata melirik ke medial. Saat mata melirik ke lateral, ruangan tersebut akan menghilang.

Karunkula merupakan struktur epidermoid kecil semacam daging yang menempel superfisial di sebelah

medial dari plika semilunaris. Karena merupakan jaringan peralihan antara konjungtiva dan kulit, ia

mengandung elemen pigmen dan membran mukosa. 1,4,8,11

Ket. Gambar : (10) Plika Semilunaris, (11) Karunkula

Gambar 4. Plika Semilunaris dan Karunkula 12

HISTOLOGI

Konjungtiva seperti halnya membran mukosa lainnya, terdiri atas dua lapisan, yaitu :

1. Lapisan epitel bertingkat

Ketebalan lapisan epitel konjungtiva bervariasi mulai dari 2-4 lapisan pada daerah tarsal, 6-8

lapisan pada daerah pertemuan korneoskleral, hingga 8-10 lapisan pada daerah tepi konjungtiva. Di

daerah forniks, epitel konjungtiva berbentuk kolumnar dan berubah menjadi epitel kuboid di daerah

bulbar dan tarsal. Di limbus, epitel berubah menjadi epitel skuamous bertingkat tak bertanduk yang

akan melanjutkan diri menjadi epitel kornea 1,3,9,11


2. Lapisan Stroma (Substansia Propria)

Stroma konjungtiva dipisahkan dengan lapisan epitel konjungtiva oleh membrana basalis.

Lapisan ini dibagi atas lapisan adenoid yang terletak di permukaan dan lapisan fibrosa yang terletak

lebih dalam. Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan pada beberapa area juga

mengandung struktur mirip folikel. Lapisan ini tidak berkembang hingga mencapai usia 2–3 bulan

setelah kelahiran. Lapisan fibrosa tersusun atas jaringan ikat yang mengandung pembuluh darah dan

serabut saraf dan melekat pada lempeng tarsus. 1,3,9

Substansia propria mengandung sel mast (6000/mm3), sel plasma, limfosit, dan netrofil yang

memegang peranan dalam respon imun seluler. Jenis limfosit yang paling banyak ditemukan adalah

sel T, yaitu kira-kira 20 kali lebih banyak dibanding sel B. Selain itu, ditemukan pula IgG, IgA, dan IgM

yang terletak ekstraseluler. 3,7,13

Permukaan epitel konjungtiva ditutupi oleh mikrovili. Mikrovili dibentuk oleh penonjolan

sitoplasma yang menonjol ke permukaan sel epitel. Ukuran diameter dan tinggi mikrovilli kira-kira

0,5 um dan 1 um. Fungsi mikrovilli selain untuk memperluas daerah absorbsi juga untuk menjaga

stabilitas dan integritas tear film. 3


Gambar 5. Histologi Konjungtiva 12

Stem Cells Konjungtiva

Epitel konjungtiva memiliki kemampuan untuk memperbarui diri secara konstan. Hal ini

dimungkinkan oleh adanya stem cells yang merupakan sumber dari aktivitas miosis. Stem cells pada

konjungtva bulbi dimulai dari limbus, sedangkan stem cels pada konjungtiva palpebra dimulai dari

mucocutaneus junction dan berjalan ke arah forniks. Masing-masing memiliki dua bagian, yaitu

progenitor dimana sel-sel berproliferasi dan bagian di mana sel-sel tidak berproliferasi. Siklus sel yang

lambat membentuk sel antara yang kemudian akan berkembang menjadi sel epitel konjungtiva yang

matur. 7

Sel Goblet Konjungtiva

Sel goblet adalah sel yang relatif besar dengan ukuran kurang lebih 25 µm. Sel ini dibentuk oleh

membran yang berisi musin. Daerah basal sel goblet mengandung nukleus, retikulum endoplasma, dan

apparatus golgi. Daerah apeks mengandung sejumlah besar granula sekretoris yang memberi bentuk

yang unik pada sel tersebut. Organel dan nukleus pada sel goblet yang telah berkembang akan

terdorong ke tepi oleh kandungan mukus di dalamnya. Lisosom, mikrosom, dan mitokondria juga

ditemukan dalam sitoplasma. 7,13

Sel goblet diketahui berperan dalam sekresi musin sejak 140 tahun yang lalu. Sekarang kita tahu

bahwa sel goblet memproduksi hingga 2,2 µL mukus dalam sehari. Mukus ini penting dalam menjaga

integritas permukaan okular, karena ia dapat melicinkan dan melindungi sel epitel. 13
Gambar 6. Sel Goblet Konjungtiva 12

Sel goblet ditemukan pada lapisan tengah dan superfisial epitel dan merupakan 15 % dari sel

epitel permukaan manusia. Sel ini dapat ditemukan di forniks inferior bagian nasal, tengah dan sedikit di

daerah palpebral. Jarang ditemukan di konjungtiva bulbi dan tidak ada di kornea. Total populasi sel

goblet berkisar antara 1000 hingga 56.000 per mm2 permukaan konjungtiva, tergantung pada ada atau

tidaknya proses inflamasi pada daerah tersebut. Sebagian besar sel goblet melekat pada membrana

basalis oleh suatu tangkai sitoplasmik yang tipis. Sel goblet melekat dengan sel epitel tetangganya oleh

desmosom. 3,13
Gambar 7. Distribusi sel goblet 13

Tabel 1

Densitas rata-rata Sel Goblet per mm2 dengan standar deviasi 14

AREA NASAL CENTRAL TEMPORAL


Upper palpebral 648±173 512±164 347±201
Upper fornical 584±83 510±86 365±99
Upper bulbar 520±159 451±122 331±14
Upper limbal - 0 -
Interpalpebral 241±82 - 165±100
Horizontal limbal 0 - 0
Lower limbal - 0 -
Lower bulbar 683±208 493±42 427±112
Lower fornical 1677±326 830±303 672 ±227
Lower palpebral 1511±325 719±211 632 ±122

KELENJAR
Epitel konjungtiva mengandung sejumlah kelenjar yang penting untuk mempertahankan

kelembaban dan menghasilkan lapisan air mata. Kelenjar lakrimal asesorius ditemukan pada konjungtiva

forniks dan sepanjang tepi superior lempeng tarsus. Kelenjar Krause ditemukan pada forniks superior

sebanyak kira-kira 20-40 buah, sedangkan pada forniks inferior hanya 6-8 kelenjar. Kelenjar-kelejar ini

ditemukan pada jaringan ikat subkonjungtiva. Kelenjar Krause memiliki struktur yang sama dengan

kelenjar lakrimal utama yang terletak pada rongga orbita. Kelenjar lakrimal asesorius lainnya adalah

kelenjar wolfring. Kelenjar ini ditemukan pada sepanjang tepi superior lempeng tarsus sebanyak 2

hingga 5 buah. 3,7

Gambar 8. Kelenjar Konjungtiva 15

VASKULARISASI
Pembuluh darah okular berasal dari arteri oftalmika, yang merupakan cabang dari arteri karotis

interna. Arteri oftalmika bercabang menjadi arteri retina sentralis, arteri siliaris posterior, dan beberapa

arteri silaris anterior. 7

Vaskularisasi konjungtiva berasal dari 2 sumber, yaitu :

1. Arteri Palpebralis

Pleksus post tarsal dari palpebra, yang diperdarahi oleh arkade marginal dan perifer dari palpebra

superior akan memperdarahi konjungtiva palpebralis. Arteri yang berasal dari arkade marginal

palpebra akan melewati tarsus, mencapai ruang subkonjungtiva pada daerah sulkus subtarsal

membentuk pembuluh darah marginal dan tarsal. Pembuluh darah dari arkade perifer palpebra

akan menembus otot Muller dan memperdarahi sebagian besar konjungtiva forniks. Arkade ini akan

memberikan cabang desenden untuk menyuplai konjungtiva tarsal dan juga akan mengadakan

anastomose dengan pembuluh darah dari arkade marginal serta cabang asenden yang melalui

forniks superior dan inferior untuk kemudian melanjutkan diri ke konjungtiva bulbi sebagai arteri

konjungtiva posterior. 3,11,14

2. Arteri Siliaris Anterior

Arteri siliaris anterior berjalan sepanjang tendon otot rektus dan memperca-bangkan diri sebagai

arteri konjungtiva anterior tepat sebelum menembus bola mata. Arteri ini mengirim cabangnya ke

pleksus perikorneal dan ke daerah konjungtiva bulbi sekitar limbus. Pada daerah ini, terjadi

anastomose antara pembuluh darah konjungtiva anterior dengan cabang terminal dari pembuluh

darah konjungtiva posterior, menghasilkan daerah yang disebut Palisades of Busacca. 3,11
Gambar 9. Arteri-arteri Konjungtiva 16

Vena-vena konjungtiva lebih banyak dibandingkan arteri konjungtiva. Diameter vena-vena ini

bervariasi dari 0,01 hingga 0,1 mm dan dapat diidentifikasi dengan mudah. Drainase utama dari

konjungtiva talsalis dan konjungtiva bulbi langsung mengarah ke vena-vena palpebralis. Beberapa vena

tarsalis mengarah ke vena-vena oftalmikus superior dan inferior, yang akan berakhir pada sinus

kaverosus. 3,11
Gambar 10. Sistem vena Konjungtiva 17

SISTEM LIMFATIK

Konjungtiva memiliki sistem limfatik yang kaya anastomose. Sistem limfatik pada konjungtiva

berperan dalam reaksi imunologis yang terjadi pada penyakit okular dan pasca pembedahan. Aliran

limfatik yang berasal dari lateral akan mengarah ke kelenjar limfe preaurikuler, sementara aliran limfatik

yang berasal dari medial akan mengarah ke kelenjar limfe submandibular. Pembuluh limfe konjungtiva

dibentuk oleh 2 pleksus, yaitu:

1. Pleksus Superfisial

Pleksus ini terdiri atas pembuluh-pembuluh kecil yang terletak di bawah kapiler pembuluh darah. Ia

menerima aliran limfatik dari area limbus.

2. Pleksus Profunda

Pleksus ini terdiri dari pembuluh-pembuluh yang lebih besar yang terletak di substansia propria. 3,11
Gambar 11. Sistem Limfatik Konjungtiva 18

INERVASI

Inervasi sensoris konjungtiva bulbi berasal dari nervus siliaris longus, yang merupakan cabang

dari nervus nasosiliaris, cabang dari divisi oftalmikus nervus trigeminus. Inervasi dari konjungtiva

palpebral superior dan konjungtiva forniks superior berasal dari cabang frontal dan lakrimal divisi

oftalmikus nervus trigeminus. Inervasi dari konjungtiva palpebra inferior dan konjungtiva forniks inferior

berasal dari cabang lakrimal divisi oftamikus nervus trigeminus pada dae-rah lateral, dan dari nervus

infraorbital dari divisi maksilla nervus trigeminus. 11


Gambar 12. Inervasi Konjungtiva 19

FLORA NORMAL KONJUNGTIVA

Pada permukaan konjungtiva terdapat sejumlah populasi bakteri dan jamur. Walaupun memiliki

jumlah yang konstan, populasi ini mengalami siklus berkelan-jutan dengan spesies yang berulang. Pada

saat kelahiran, konjungtiva dalam keadaan steril. Namun setelah 5 hari, ia akan mendapatkan flora

bakteri seperti yang ditemukan pada orang dewasa. Flora bakteri pada kedua mata biasanya sama, dan

perubahan yang terjadi pada salah satu mata, biasanya juga akan terjadi pada mata sebelahnya. 13

Organisme-organisme yang menghuni konjungtiva bersifat fakultatif patogen. Mereka tidak

akan menimbulkan gejala inflamasi bila hubungan parasit dan penjamu (host) berada dalam keadaan

seimbang. Bila keseimbangan ini terganggu, maka akan timbul proses inflamasi. 13
Tabel 2. Flora Bakteri pada Konjungtiva 13

Frequency of Culture from Normal

Organism Conjunctiva (%)

Staphylococcus albus 91*

Diphtheroids 55

Staphylococcus aureus 25*

Streptococcus viridians 8

Bacillus group 2

Mimeae 1

Pneumococci 1

Proteus 1

Pseudomonas and miscellaneous 2

Tabel 3. Flora Jamur pada Konjungtiva 13

Frequency of Culture from Normal

Organism Conjunctiva (%)

Aspergillus 26

Candida 16
Frequency of Culture from Normal

Organism Conjunctiva (%)

Harmodendem 11

White yeasts 10

Paecilomyces 6

Penicillium 5

Mycelia sterile 5

FISIOLOGI

Sel epitel konjungtiva sebagai sumber sekresi elektrolit dan air

Sebagaimana halnya kornea, konjungtiva juga mensekresi Na+, Cl-, dan air. Oleh karena

konjungtiva lebih banyak menempati permukaan okular dibandingkan kornea, ia merupakan sumber

potensial elektrolit dan air dalam lapisan akuous tear film. Saat ini, sekresi elektrolit dan air konjungtiva

sudah mulai diteliti. Informasi terakhir menyebutkan bahwa saraf simpatis dapat memicu sekresi

tersebut. 7

Mekanisme sekresi elektrolit dan air pada konjungtiva serupa dengan yang terjadi pada glandula

lakrimal dan epitel kornea. Sekresi Cl- ke dalam air mata melalui mekanisme transport aktif konjungtiva

mencapai 60%-70%. Sisanya berasal dari absorbsi Na--glukosa dari air mata. Hal ini menunjukkan bahwa

konjungtiva juga mengabsorbsi elektrolit dan air. 7


Sel goblet konjungtiva sebagai sumber sekresi musin

Salah satu sumber utama lapisan musin pada tear film adalah sel goblet konjungtiva. Sel goblet

yang terdistribusi ke seluruh konjungtiva akan mensekresi musin. Musin merupakan glikoprotein dengan

berat molekul besar. Musin dibentuk oleh protein yang didukung oleh rantai yang terikat dengan

sejumlah karbohidrat. Oleh karena rantai karbohidrat tersebut bersifat heterogen, maka gen-gen yang

mensintesis protein dapat digunakan untuk menentukan jenis-jenis musin yang dihasilkan. Ada 9 jenis

gen musin, mulai dari MUC1 hingga MUC8. Sel goblet konjungtiva mensekresi MUC5AC, sedangkan sel

lain di permukaan okular tidak mensekresi jenis musin ini. 7

Musin diproduksi oleh permukaan kasar dari retikulum endoplasma dan tertahan pada ikatan

membran-granula dalam bentuk filamen. Granula-granula tersebut akan bersatu menjadi satu bentuk

droplet yang besar untuk kemudian dikeluarkan ke permukaan melalui membran sel yang ruptur.

Membran sel tersebut akan menyusun kembali dirinya, menutup muara yang terbentuk. Sel yang telah

terpakai tadi akan beristirahat dalam jangka waktu yang bervariasi untuk kemudian kembali memulai

siklus sekretorisnya atau berdeskuamasi dan digantikan oleh sel yang lain. 13

Fungsi musin :

1. Musin berperan penting dalam menjaga integritas permukaan okular oleh karena ia melapisi dan

melindungi sel epitel. Musin bekerja dengan jalan mengurangi tegangan permukaan tear film untuk

menjaga stabilitasnya.

2. Musin berperan dalam mempertahankan imunitas lokal dengan menjadi medium tempat

immunoglobulin (IgA) dan lisosim mikrobisidal melekat.

3. Musin juga berperan dalam mekanisme pembersihan mata dengan jalan mengikat debris sel, benda

asing, dan bakteri. Saat mata berkedip, ikatan ini akan bergerak ke arah kantus medial, untuk

kemudian dikeluarkan ke kulit.


4. Musin juga berperan saat terjadi respon inflamasi oleh karena ia memiliki sistem produksi

superoksida. 3

Sistem pertahanan konjungtiva terhadap infeksi

Selain bertanggung jawab terhadap produksi musin, konjungtiva juga memiliki kemampuan yang

besar dalam melawan infeksi . Hal ini dapat dipahami oleh karena :

1. Epitel konjungtiva yang intak mencegah invasi dari mikroba

2. Konjungtiva mengandung banyak imunoglobulin

3. Adanya flora bakteri normal di konjungtiva

4. Sekresi musin oleh sel goblet konjungtiva dapat mengikat mikroba untuk kemudian dikeluarkan

melalui sistem ekskresi lakrimal

5. Aktivitas enzimatik konjungtiva memungkinkan jaringan ini dalam melokalisir dan menetralisir

partikel-partikel asing

6. Conjunctiva-Associated Lymphoid Tissue (CALT). 13

Penyembuhan luka konjungtiva

Insisi bedah maupun laserasi traumatik konjungtiva dengan cepat akan memicu terjadinya

respon penyembuhan luka. Epitel konjungtiva akan mengalami penyembuhan oleh adanya migrasi sel

dan proliferasi miotik. Mula-mula, sel-sel epitel dari lapisan suprabasal bermigrasi dan saling mendekat

untuk menutupi defek yang ada. Selanjutnya, sel-sel basal melepaskan ikatannya lalu saling mendekat.

Proliferasi lapisan basal tersebut akan mengembalikan ketebalan normal dari epitel. Dengan proses
tersebut, luka seluas 1 cm2 yang terjadi pada konjungtiva akan menyembuh dalam waktu 48 hingga 72

jam. 3

Respon penyembuhan luka pada stroma konjuntiva mirip dengan yang terjadi pada jaringan

berpembuluh darah di daerah tubuh yang lain. Penyembuhan luka pada lapisan stroma terjadi dalam 4

tahapan, yaitu:

1. Fase Bekuan

Fase ini terjadi dengan cepat, segera setelah terbentuknya luka pada konjungtiva. Ia ditandai dengan

terjadi konstriksi pembuluh darah dan keluarnya sel-sel darah dan protein plasma (fibrinogen,

fibronektin, dan plasminogen). Matriks fibrin-fibronektin akan terbentuk saat darah atau plasma

ekstraseluler bertemu dengan faktor-faktor jaringan tersebut.

2. Fase Proliferasi

Pada fase ini, fibroblas, kapiler-kapiler baru, serta sejumlah sel-sel inflamasi seperti monosit dan

makrofag akan bermigrasi ke arah bekuan yang terbentuk dan bereplikasi. Fibroblas berasal dari tepi

luka, jaringan subkonjungtiva, dan episklera.

3. Fase Granulasi

4. Fase Kolagen

Fase kolagen ditandai dengan terjadinya agregasi molekul tropokolagen untuk membentuk fibril

kolagen imatur (kolagen tipe III) yang akan berkembang menjadi kolagen matur (kolagen tipe I).

Pada akhirnya kapiler-kapiler dan fibroblas akan menghilang meninggalkan jaringan parut yang tebal

dan padat. 3,13

PENUTUP
Konjungtiva adalah membran mukosa tipis dan transparan yang melapisi permukaan anterior

bola mata (konjungtiva bulbi), forniks superior dan inferior (konjungtiva forniks), dan permukaan

posterior palpebra (konjungtiva palpebra). Konjungtiva mengandung sel goblet yang berfungsi dalam

produksi mukus yang merupakan salah satu lapisan tear film. Selain itu, konjungtiva juga memiliki fungsi

dalam melindungi mata dari patogen melalui mekanisme pertahanan fisik, biokimia, dan imunologis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan DG, Asburg T, Paul Riodan-Eva. Anatomi and Embriologi of The Eye in : General
Ophthalmology. 16th Edition. Mc. Graw Hill Companies. USA. 2004: 5-6, 25-27.
2. Liesegang. TJ, Skuta GL, Contor LB. Anatomy and Embriology of the Eye in: Fundamental and
Principles of Ophthalmology. Section 2. American Academy of Ophthalmology. San Franscisco. 2008-
2009: 36.
3. Pepperl JE, et al. Conjungtiva in : Duane’s Clinical Ophalmologi (CD-ROM). Philadelphia Lippincot
William and Wilkins Publisher. 2003.
4. Lang GK. Conjuctiva in : Ophthalmology A Pocket Textbook Atlas. 2nd Edition. Thieme. New York.
2006: 67-69.
5. Cook CS. Prenatal Development of the Eye and Its Adnexa in : Duane’s Clinical Ophalmologi (CD-
ROM). Philadelphia Lippincot William and Wilkins Publisher. 2003.
6. Newell FW. Ophthalmology Principle and Concept. 6th Edition. The C>V> Mosby Company. St Louis.
Toronto. 1986.
7. Moses RA. Ophthalmic Facial Anatomy ang Physiology in: Adler’s Physiology of the Eye. 8th Edition.
The C.V. Mosby Co. St. Louis Toronto. 1987 : 23-4.
8. Friedman NJ, Kaiser PK, Trattler WB. Cornea/External Disease in : Review of Ophthalmology. Elsevier
Saunders. Philadelphia. Pennsylvania. 2005: 197.
9. Kanski JJ, Menon J. Conjunctiva in: Atlas of Clinical Ophthalmology. 3th Edition. Mosby Elsevier.
2006: 4-6.
10. Stewart WB. Ophthalmic Plastic and Reconstructive Surgery. American Academy of Ophthalmolgy.
San Fransisco. 1984: 75.
11. Snell RS, Lemp MA. The Ocular Appendages in: Clinical Anatomy of The Eye. 2nd Edition. Blackwell
Science. 1998 : 108-114
12. http://www.missionforvisionusa.org : Anatomy of the Human Eye. 2005.
13. Records RE. The Conjungtiva and Lacrimal System in : Duane’s Clinical Opthalmology (CD-Rom),
Philadelphia Lippincot William and Wilkins Publisher. 2003.
14. Rivas L, Oroza M.A, Esteban A.P, Castillo J.M. Topographical Distribution of Ocular Surface Cells by
The Use of Impression Cytology. Servicio of Oftalmologia. Madrid. Spain. 1990. Available on :
http://www3.interscience.wiley.com/cgi-bin/fulltext/122402204/PDFSTART
15. http://images.google.co.id/images?hl=id&um=1&sa
www.dartmouth.edu/.../chapter 46/46-10.HTM
16. http://en.wikipedia.org/wiki/File:Gray572.png : Ophthalmic Veins.
17. Eyelid Anatomy in : Duane’s Clinical Opthalmology (CD-Rom), Philadelphia Lippincot William and
Wilkins Publisher. 2003.
18. http://en.wikipedia.org/wiki/File:Gray777.png : Ophthalmic Nerve

KELAINAN DEGENERATIF KONJUNGTIVA

PTERIGIUM

Suatu lipatan bentuk sayap dari konjungtiva dan merupakan jaringan fibrovaskuler yang mengarah ke
superficial kornea
Pathogenesis

Penyebab pterigium paling umum adalah eksposure ultraviolet, selain faktor-faktor predisposisi lain
seperti mata kering, inflamasi dan eksposure angin dan debu. UV-B adalah mutagenic untuk gen
suppressor tumor P53 pada stem sel limbus basal. Overekspressi dari sitokin seperti TGF-B dan VEGF
akan meningkatkan regulasi kolagenase, migrasi seluler dan angiogenesis. Perubahan patologis yang
terjadi meliputi degenerasi elastoid dari kolagen dan jaringan fibrovaskuler subepitelial.

Kornea menunjukkan destruksi pada lapisan Bowman oleh pertumbuhan fibrovaskuler ke kornea, sering
dengan inflamasi ringan. Epitel mungkin normal, tebal dan tipis dan kadang-kadang memperlihatkan
dysplasia.

Gambaran klinik.

Pterigium sering didahului atau bersamaan dengan pingeukula. Tidak diketahui kenapa pada beberapa
pasien pingeukula berkembang menjadi pterigium, sedangkan yang lainnya tetap menjadi pingeukula.
Regular dan ireguler astigmatisme terjadi disesuaikan dengan ukuran pterigium. Suatu tanda pada
kornea yang merupakan tanda pterigium yang merupakan pigmented iron line (Stocker’s line)

Bagian-bagian konjungtiva

a. Kepala ( bagian apical yang tampak pada kornea)


b. Leher ( yang tampak pada limbal)
c. Body (bagian sclera antara limbus dan kantus)

TIPE PTERIGIUM

 Pterigium progresif: tebal, gemuk dan vaskuler dengan sedikit infiltrat pada kornea, di
depan kepala dari pterigium ( disebut cap dari pterigium)
 Pterigium regresif : tipis, atrofi, tipis dengan sedikit vaskularisasi. Disini tidak ada cap,
selanjutnya ini menjadi membranous tapi tidak pernah menghilang.

Gejala:

Pterigium adalah suatu kondisi asimptomatik pada stadium awal, kecuali gangguan kosmetik. Gangguan
visual terjadi ketika pterigium sudah sampai area pupil atau astigmatisme yang disebabkan oleh jaringan
fibrosis pada stadium regresif. Kadang-kadang diplopia terjadi karena terbatasnya gerakan bola mata.
Komplikasi:

Dapat terjadi degenerasi kistik dan infeksi yang tidak sering. Yang jarang adalah perubahan neoplastik
menjadi epithelioma, fibrosarkoma atau malignant melanoma, bisa terjadi.

Differential diagnosis

Pterigium harus dapat dibedakan dengan pseudopterigium. Pseudopterigium adalah lipatan konjungtiva
bulbi yang melekat kekornea. Hal ini terbentuk karena adhesi kemosis konjungtiva dengan ulkus kornea
marginal. Ini biasanya juga terjadi setelah trauma bakar kimia.

PERBEDAAN ANTARA PTERIGIUM DAN PSEUDOPTERIGIUM

Pterigium Pseudopterigium
1. Etiologi Proses degeneratif Proses inflamasi
2. Umur Biasanya terjadi pada umur tua Dapat terjadi pada segala
umur
3. Tempat Selalu pada fissure palpebra Dapat terjadi pada segala
tempat
4. Stage Dapat progresif, regresif atau Selalu stasioner
stasionber
5. Probe test Test tidak dapat lewat Probe dapat lewat dibawahnya
dibawahnya

Treatment

Eksisi pterigium dapat dilakukan dengan indikasi untuk :

1. Keluhan kosmetik
2. Lanjutan progresif yang menuju ke area pupil
3. Diplopia yang diakibatkan gangguan pergerakan bola mata
EKSISI PTERIGIUM

Pterigium adalah suatu pertumbuhan abnormal konjungtiva-kornea, didaerah interpalpebra. Indikasi


eksisi pterigium meliputi persistent discomfort, distorsi visual, ukuran significant (> 3 -4 mm) dan
berkembang secara progresif menuju central kornea/axis visual dan menurunkan motilitas okuler.

Eksisi mikrosurgikal pada pterigium bertujuan untuk mendapatkan konjungtiva normal, topograpi
permukaan okuler yang halus. Secara umum teknik surgical untuk mengangkat pterigium dengan
menggunakan flat blade untuk memotong lapisan halus yang menuju limbus kornea. Bagaimanapun
untuk eksisi ini lebih dipilih pemotongan kebawah dengan bare sclera pada limbus, disini tidak
diperlukan pemotongan jaringan tenon’s sebelah medial secara berlebihan, ini kadang menimbulkan
perdarahan inadvertent trauma dari jaringan muscle dibawahnya. Setelah eksisi, light thermal cautery
biasanya diberikan pada sclera untuk homeostasis.

Tehnik surgical dari eksisi pterigium:

1. Setelah diberikan anestesi topikal, mata dibersihkan dan dibuka dengan eyelid speculum
2. Kepala dari pterigium diangkat dan dilepaskan dari kornea dengan sangat hati-hati.
3. Kemudian massa dari pterigium dipisahkan dari sclera dibawahnya dan konjungtiva superficial.
4. Jaringan pterigium kemudian dieksisi, dengan jangan sampai merusak musculus rectus medialis
5. Perdarahan dapat terjadi dan jaringan episklera terekspose dapat di kauter

Pilihan untuk menutup luka meliputi :

BARE SCLERA : tidak ada jahitan atau kalau ada digunakan benang absorble digunakan untuk
melepaskan konjungtiva dari superficial sclera didepan insertio tendon musculus rectus, meninggalkan
suatu area sclera yang terekspose (tehnik ini kurang dapat diterima karena tingginya angka rekurens
40% - 75% )

SIMPLE CLOSURE : Kedua ujung bebas konjungtiva disatukan (efektif hanya untuk defek yang sangat
kecil)
SLIDING FLAP : Suatu insisi bentuk L dibuat berbatasan dengan luka dibuat untuk flap konjungtiva yang
dipindahkan untuk menutup luka.

ROTATIONAL FLAP : Suatu insisi bentuk U yang dibuat berbatasan dengan luka dan didapatkan
konjungtiva bentuk lidah, lalu dirotasikan untuk menutupi luka.

KONJUNGTIVAL GRAFT : Suatu graf bebas, biasanya dari konjungtiva bulbi superior, dieksisi disesuaikan
dengan ukuran luka dan digunakan untuk menutup luka lalu difiksasi dengan jahitan

KONJUNGTIVAL TRANSPLANTATION untuk PTERIGIUM

Indikasi paling umum untuk konjungtival transplantation adalah managemen pterigium primer lanjut
dan rekuren. Tehnik ini mengurangi resiko pterigium rekuren sekitar 3-5% dan memperbaiki restriksion
fungsi musculus ekstraocular yang kadang-kadang terjadi setelah eksisi pterigium. Karena konjungtiva
bulbar superior biasanya normal dan tidak rusak oleh karena kurangnya eksposure ultraviolet dan iritasi
kimia, jaringan autograft konjungtiva dapat diambil dari area ini pada mata yang sama.

Berbagai variasi tekhnik transplantasi konjungtiva dapat digunakan untuk menangani pterigium.
Prosedur yang dipakai didasarkan pada pasien rawat jalan, penggunaan anesthesia topikal plus
peribulbar atau retrobulbar, terutama pada kasus rekuren yang berkomplikasi scar. Suatu suture
traction (misalnya 6-0 pada spatuled needle) ditempatkan pada arah jam 12. Pterigium biasanya dieksisi
dengan suatu pisau #57 atau crescent (flat) blade. Adalah penting untuk mengangkat jaringan
fibrovaskuler sebanyak mungkin jika memungkinkan.

CONCRETIONS

Etiologis

Dibentuk oleh akumulasi mucus dan debris sel konjungtiva yang mati yang masuk ke konjungtiva
yang depresi yang disebut loop of Henle. Penyakit ini umumnya mengenai orang dewasa sebagai
suatu proses deganerasi dan juga pada pasien trachoma stadium scarring. Nama concretions adalah
istilah yang tidak cocok karena penyakit ini bukan deposit calcareous.
Gambaran klinik

Concretions dapat terlihat pada konjungtiva palpebra, lebih umum pada palpebra superior
dibandingkan palpebra inferior. Penyakit ini juga terlihat pada forniks bawah. Concretions ini terlihat
putih kekuningan, kelihatan keras, areanya meninggi, ukuran bervariasi dari ukuran sangat kecil
sampai sebesar peniti. Jika telah mengeras akan menyebabkan foreign body sensation dan lakrimasi
oleh gesekan permukaan kornea. Kadang-kadang terjadi abrasi kornea.

Terapi

Dilakukan pengangkatan dengan hypodermic needle dengan topikal anesthesia.

KONDISI SIMPTOMATIK DARI KONJUNGTIVA

 Hiperemia konjungtiva
 Kemosis konjungtiva
 Ekkimosis konjungtiva
 Xerosis konjungtiva
 Discoloration konjungtiva
SIMPLE HIPEREMIA KONJUNGTIVA

Sim

KONJUNGTIVITIS

Inflamasi dari konjungtiva secara klasik didefinisikan sebagai hiperemia konjungtiva yang disertai
dengan keluarnya sekret yang dapat dalam bentuk serous, mucoid, mucopurulen atau purulen.

Klasifikasi berdasarkan etiologi:

1. Konjungtivitis infeksi : bakteri, chlamidia, virus, fungi,riketsia, spirochaeta,protozoa, parasit, dsb.


2. Konjungtivitis alergi
3. Konjungtivitis iritatif
4. Keratokonjungtivitis yang dihubungkan dengan penyakit yang berasal dari kulit dan membran
mukosa.
5. Konjungtivitis traumatik
6. Keratokonjungtivitis yang tidak diketahui etiologinya.
Klasifikasi berdasarkan klinik:

1. Katarhal akut atau konjungtivitis mukopurulen


2. Konjungtivitis purulent akut
3. Konjungtivitis serous
4. Konjungtivitis simple khronik
5. Konjungtivitis angular
6. Konjungtivitis membranous
7. Konjungtivitis pseudomembranous
8. Konjungtivitis papillary
9. Konjungtivitis follicular
10. Opthalmia neonatorum
11. Konjuntivitis Granulomatous
12. Konjungtivitis ulcerative
13. Konjungtivitis sikatrik
Konjungtivitis infeksi

Inflamasi dari konjungtiva yang disebabkan oleh mikroorganisme, bakteri adalah yang paling
sering. Fakta menunjukkan bahwa konjungtiva mempunyai mekanisme protektif natural:

- Temperatur rendah yang diakibatkan oleh eksposure udara


- Proteksi oleh palpebra
- Efek pembilasan oleh air mata
- Aktifitas antibakteri dari lysozyme
- Proteksi humoral oleh immunoglobulin dalam air mata

Konjungtivitis Bakteri

Saat ini ada penurunan relative insidens konjungtivitis bakteri, terutama konjungtivitis karena
Gonococcus dan corynebacterium diphteriae. Bagaimanapun pada Negara berkembang penyakit ini
masih ada dan merupakan tipe konjungtivitis paling umum. Penyakit ini dapat terjadi sebagai kasus
sporadik dan epidemik. Konjungtivitis bakteri epidemik sering terjadi selama musim angin.

Etiologi :
A. Faktor predisposisi
Bentuk epidemik khusus, hygiene yang kurang, iklim yang panas dan kering, sanitasi yang buruk
dan kebiasaan yang kotor. Faktor-faktor ini dapat menimbulkan penyakit dan mempunyai
tingkat penularan yang tinggi.

B. Organisme penyebab
Berdasarkan frekuensinya organisme yang paling banyak menyebabkan konjungtivitis:

- Staphylococcus aureus adalah yang paling banyak menyebabkan konjungtivitis bakteri dan
blepharoconjungtivitis
- Staphylococcus epidermidis adalah suatu flora tidak berbahaya dari palpebra dan konjungtiva.
Ini dapat menyebabkan blepharoconjungtivitis
- Streptococcus pneumonia (pneumococcus) menyebabkan konjungtivitis akut biasanya ditandai
dengan haemorhage subconjungtival petechie. Penyakit ini mempunyai self limiting 9-10 hari.
- Streptococcus pyogenes (haemolyticus) adalah virulent dan biasanya menyebabkan
konjungtivitis pseudomembran.
- Haemophilus influenza (aegyptus, Koch-weeks bacillus). Ini secara klasik menyebabkan
epidemik konjungtivitis mukopurulent, yang dikenal dengan red-eye, terutama pada daerah
semitropis.
- Moraxella lacunate (Moraxella Axenfeld bacillus) adalah paling banyak menyebabkan
konjungtivitis angular dan blepharoconjungtivitis angular.
- Pseudomonas pyocyanea adalah suatu organism virulent. Ini setiap saat dapat menyerang
kornea.
- Neisseria gonorrhoeae secara khusus menghasilkan konjungtivitis purulent akut pada orang
dewasa dan ophthalmia neonatorum pada bayi baru lahir. Bakteri ini menyerang epitel kornea
yang intak.
- Neisseria meningitidis (Meningicoccus) dapat menghasilkan konjungtivitis mucopurulent.
- Corynebacterium diphteriae menyebabkan konjungtivitis membraneous akut. Merupakan
infeksi yang jarang.
C. Cara penjalaran infeksi (sumber infeksi)
Sumber infeksi dapat berasal dari 3 sumber yaitu :

(1) Infeksi eksogen bisa berasal dari : a. langsung melalui kontak tertutup, sebagai air-borne
infeksion atau water-borne infeksion; b. melalui vektor penular (misalnya lalat); atau c.
melalui materi penyebar seperti jari-jari dokter, perawat,handuk, saputangan, dan
tonometer.
(2) Local yang dapat berasal dari struktur sekitarnya seperti infeksi saccus lakrimalis, palpebra,
dan nasopharings. Proses ini juga dapat terjadi karena perubahan karakter organism
normal pada saccus konjungtiva yang dapat menimbulkan infeksi.
(3) Infeksi endogen merupakan infeksi yang sangat jarang menyebar melalui darah seperti
gonococcal dan infeksi meningococcal.
D. Patologi
Perubahan pathological dari konjungtivitas bakteri terdiri atas:

(1) Respon vascular yang ditandai dengan kongesti dan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah konjungtiva dengan proliferasi dari kapiler.
(2) Respon seluler yang ditandai dengan exudasi dari sel PMN dan sel inflamasi lain ke
substansia propria dari konjungtiva seperti pada saccus konjngtiva.
(3) Respon jaringan konjungtiva. Konjungtiva menjadi edematous, degenerasi epital superficial,
lepas dan terjadi deskuamasi. Pada respon ini terjadi proliferasi lapisan basal epitel
konjungtiva dan meningkatnya jumlah sekresi mucin oleh sel goblet.
(4) Sekret konjungtiva terdiri dari tears, mucus, sel inflamasi, epitel deskuamasi , fibrin dan
bakteri.Jika inflamasinya sangat berat, diapedesis dari sel darah merah dapat terjadi dan
secret dapat menjadi blood stained.
Beratnya perubahan pathological bervariasi tergantung beratnya inflamasi dan organism
penyebab. Perubahan yang nyata yang dapat dilihat adalah konjungtivitis purulent kemudian
menjadi konjungtivitis mukopurulent.

Tipe klinik dari konjungtivitis bakteri

Konjungtivitis yang terjadi tergantung bakteri penyebab dan beratnya infeksi. Konjungtivitis
bakteri dapat menghadirkan bentuk klinik sebagai berikut:

- Katarhal akut atau konjungtivitis mukopurulent


- Konjungtivitis purulent akut
- Konjungtivitis membraneous akut
- Konjungtivitis pseudomembraneous akut
- Konjungtivitis bacterial khronik
- Konjungtivitis angular khronik

KONJUNGTIVITIS BAKTERIAL (AAO 8)

Pathogenesis. Bakteri sebagai penyebab konjungtivitis kurang umum pada orang dewasa. Konjungtivitis
bakterial dihasilkan dari bakterial overgrowth dan infiltrasi lapisan epitel konjungtiva dan kadang-kadang
substansia propria. Sumber infeksi dapat secara langsung melalui kontak langsung dengan sekresi
individu yang terinfeksi (biasanya melalui kontak mata-tangan) atau perluasan infeksi dari kolonisasi
organism dari nasal dan mukosa sinus pasien sendiri. Pada orang dewasa dengan konjungtivitis bakterial
unilateral, system nasolakrimalis sebaiknya diperiksa. Obstruksi duktus nasolakrimalis, dacryosystitis,
dan kanalikulitis dapat menyebabkan konjungtivitis bakterial unilateral.

Meskipun sembuh sendiri, konjungtivitis bacterial kadang-kadang berat dan mengancam


penglihatan jika penyebabnya spesies bakteri virulent seperti Neisseria gonorrhoeae atau streptococcus
pyogenes. Pada kasus yang jarang, konjungtivitis dapat merupakan pertanda penyakit sistemik
mengancam kehidupan, seperti konjungtivitis yang disebabkan oleh N. meningitidis. Infeksi langsung
dan inflamasi dari permukaan okuler, oleh pengaruh jaringan yang berbatasan dengannya seperti
kornea, dan respon inflamasi akut host dan respon reparative yang lama berkontribusi pada patologi
konjungtivitis.

Gambaran klinis dan management. Konjungtivitis bacterial dapat diduga pada pasien dengan inflamasi
konjungtiva dan suatu secret purulent. Cepatnya onset dan beratnya inflamasi konjungtiva dapat diduga
organism penyebab yang mungkin. Tabel dibawah ini menunjukkan klasifikasi klinik konjungtivitis
bacterial berdasarkan parameter-parameternya.

Klasifikasi klinik konjungtivitis bacterial


Onset penyebab berat organisme penyebab

Lambat (hari sampai minggu) Ringan-sedang Staphylokokkus aureus


Moraxella lacunata

Proteus spp

Enterobacteriaceae

Pseudomonas

Akut atau subakut (jam-hari) Sedang-berat Haemophilus influenzae biotipe III

Haemophilus influenza

Streptokokkus pneumoniae

Staphylokokkus aureus

Hiperakut (kurang dari 24 jam) Berat Neisseria gonorrhoeae

Neisseria meningitidis

KONJUNGTIVITIS BAKTERIALIS AKUT

BATASAN :

Peradangan akut konjungtiva karena bakteri

ETIOLOGI :

Stafilokokkus aureus, Stafilokokkus epidermidis, Streptokokkus pneumoni (pneumokokkus),


Streptokokkus piogenes, Hemofilus influenza, moraxella lakunata.

GAMBARAN KLINIS :

a. Konjungtiva tarsalis hiperemis, injeksi konjungtiva bulbi


b. Kelopak mata bengkak dan sekret mukopurulen

PEMERIKSAAN LABORATORIUM :

1. Apus konjungtiva dengan pewarnaan gram untuk menentukan kuman penyebab


2. Apus konjungtiva dengan giemza akan didapatkan sel radang PMN.

PENGOBATAN :

Topikal antibiotic sesuai dengan kuman penyebab :

a. Sulfasetamid 10-15 %
b. Kloramfenikol 1 % tetesan mata/salep mata
c. Gentamisin 0,3 % 4-5 kali/hari selama 5-7 hari

KONJUNGTIVITIS PURULENT AKUT (AAO 8)


Konjungtivitis purulent akut merupakan bentuk dari konjungtivitis bakterial, karakteristik
bersifat akut (durasi kurang dari 3 minggu), sembuh sendiri, permukaan konjungtiva mengalami
respon inflamasi akut dengan sekret purulen. Kasus bisa terjadi spontan atau epidemic. Paling
umum etiologi pathogennya adalah S.pneumoniae, S.aureus, dan H.Influenzae. frekuensi dari
organisme ini diisolasi tergantung dari umur pasien dan lokasi geografik.
S.pneumoniae adalah paling umum sebagai penyebab konjungtivitis bacterial purulent akut,
secret purulent sedang, edema palpebra, kemosis, konjungtival haemorhages, dan kadang-
kadang membrane inflamasi pada konjungtiva tarsal sering dikaitkan dengan konjungtivitis akut
yang disebabkan oleh S. pneumonia. Ulkus jarang terjadi.
Konjungtivitis H.influenzae terjadi pada anak kecil, kadang-kadang disertai dengan otitis
media, dan pada orang dewasa, dikaitkan dengan kolonisasi kronik dengan H.influenzae
(sebagai contoh perokok atau pada pasien dengan penyakit bronchopulmonary kronik).
Konjungtivitis purulent akut yang disebabkan oleh H.influenzae biotipe III (sebelumnya disebut
H aegyptius) menyerupai S.pneumoniae; meskipun tidak ada membrane konjungtiva, ulkus
epithelial kornea perifer dan infiltrate stroma terjadi lebih umum. H. influenzae selulitis
preseptal merupakan predisposisi pada children untuk menjadi meningitis fulminant yang mana
lebih dari 20 % pasien yang recovery meninggalkan gangguan neurologic. Insidens dari infeksi
dapat dikurangi melalui program vaksinasi secara giat.
S.aureus dapat menghasilkan suatu blepharokonjungtivitis . Sekret yang dihasilkan lebih
kurang purulent dibandingkan dengan yang terlihat pada konjungtivitis pneumokokkal dan
tanda-tanda kurang berat.
Apusan gram-stain dan kultur dari konjungtiva tidak diperlukan pada kasus inkomplit dengan
suspek konjungtivitis bakterial tapi sebaiknya dilakukan pada situasi-situasi dibawah ini :
1. Host yang rentan, seperti neonates atau debil atau individu dengan imun lemah
2. Konjungtivitis purulent kasus berat, yang berdifferensiasi menjadi konjungtivitis
hiperpurulent secara umum mendapat terapi sistemik.
3. Kasus yang tidak responsif dengan terapi awal
Management. Paling banyak kasus konjungtivitis purulent akut dapat diterapi dengan terapi
antibiotik empiris. Kasus tanpa komplikasi yang menyerupai kasus konjungtivitis virus boleh tidak secara
tidak secara rutin diterapi dengan antibiotik empiris.
Terapi awal untuk konjungtivitis bakterial akut yang tidak berat meliputi obat-obat topikal
berikut:tetes polymixin kombinasi, aminoglykoside atau fluorokuinolon (ciprofloksasin, ofloksasin,
levofloksasin, moxifloksasin, atau gatifloksasin) tetes, atau salep basitrasin atau ciprofloksasin. Dosis
yang diberikan adalah 4 kali sehari selama 5-7 hari tanpa indikasi yang lain. Kasus dengan gram negative
coccobacillus pada pemeriksaan apusan gram stained adalah kemungkinan disebabkan oleh spesies
Haemophilus dan dapat diterapi dengan polymiksin B – trimetoprin. Lebih jauh, antibiotik oral di
anjurkan untuk pasien dengan konjungtivitis purulent akut disertai dengan pharyngitis, konjungtivitis-
otitis syndrome, dan untuk konjungtivitis pada anak-anak.
Jika menggunakan terapi antibiotik spektrum luas pada kasus konjungtivitis hiperakut, terapi awal
sebaiknya dipertahankan sampai didapatkan hasil morfologi gram stained dari apusan konjungtiva jika
memungkinkan. Treatment definitif dapat diberikan setelah didapatkan hasil kultur jika memungkinkan,
hasil apusan kadang-kadang inconclusive sehingga dapat dilakukan suatu kategori predominant dari
organism yang responsible terhadap infeksi. Kultur dari hidung atau tenggorokan dapat diambil jika ada
keterkaitan dengan sinusitis atau pharingitis. Jika tidak jelas adanya sinusitis, rhinitis, atau pharingitis,
apusan nasal atau tenggorokan boleh dilakukan jika dicurigai relapsing konjungtivitis, karena kolonisasi
organism persistent dari mukosa respiratory mungkin menjadi sumber infeksi.
KONJUNGTIVITIS PURULENT AKUT
Juga dikenal sebagai blenorrhea akut atau konjungtivitis hiperakut dengan karakteristik respon
inflamasi yang hebat. Terbagi dalam dua bentuk :
1. Konjungtivitis purulent pada orang dewasa
2. Ophthalmia neonatorum pada bayi baru lahir
KONJUNGTIVITIS PURULEN AKUT PADA ORANG DEWASA
Mengenai orang dewasa terutama laki-laki, penyebab utama adalah gonokokkus, tapi pada kasus yang
jarang dapat juga oleh staphylokokkus aureus atau pneumokokkus. Infeksi gonokokkal secara langsung
menyebar dari genital ke mata. Saat ini insidens konjungtivitis gonokokkal secara nyata sudah menurun.
Gejala klinik :
Ini dapat dibagi dalam tiga tahap :
1. Stadium infiltrasi : ini berlangsung selama 4 – 5 hari dengan karakteristik :
 Kemungkinan sangat nyeri atau nyeri samar pada bola mata
 Kemosis konjungtiva dengan gambaran beludru merah terang
 Palpebra bengkak
 Sekret serous atau sanguinous
 Pre-auriculer lymphonodus membesar
2. Stadium Blenorrhoeae: dimulai sekitar hari ke- 5, berlangsung beberapa hari dengan
karakteristik :
 Sekret purulent, sangat banyak, tebal dan sedikit menetes ke pipi
 Gejala yang lain meningkat, tapi tegangan pada palpebra menurun
3. Stadium penyembuhan lambat : selama stadium ini, nyeri menurun, pembengkakan palpebra
surut, konjungtiva tetap merah, menebal dan menyerupai beludru, secret berkurang secara
pelan-pelan dan berakhir dengan resolusi secara komplit.
Konjungtivitis gonokokkal biasanya disertai dengan urethritis dan arthritis.
Komplikasi :
1. Melibatkan kornea. Sering gonokokkus menyebar ke kornea yang intak. Ini bisa terjadi dalam
bentuk kekeruhan diffuse dan udem, nekrosis sentral, ulkus kornea atau terjadi perforasi.
2. Iridosiklitis
3. Komplikasi sistemik jarang tapi dapat terjadi seperti : arthritis gonorrhea, endokarditis dan
septicemia.
Pengobatan :
1. Terapi sistemik lebih diutamakan dari terapi topikal pada infeksi karena Neisseria gonorhoeae
dan Neisseria meningitidis. Karena adanya resistensi penicillin dan tetracycline, kedua obat ini
tidak lagi adekuat sebagai pengobatan barisan pertama. Beberapa regimen pengobatan yang
dapat digunakan :
 Norfloksasin 1,2 gram secara oral selama 5 hari
 Cefoxitim 1,0 gram atau cefotaxim 500 mg intravena 4 kali sehari atau ceftriakson 1,0 gram
intramuskuler, semuanya selama 5 hari atau
 Spectinomycin 2,0 gram IM selama 3 hari
Semua regimen pengobatan diatas dapat diikuti oleh doksisiklin 100 mg 2x1 atau erythromycin 250 –
500 mg secara oral 4 kali sehari selama 1 minggu.
2. Terapi antibiotik topikal.
Obat topikal yang di rekomendasikan meliputi tetes mata ofloksasin, ciprofloksasin, tobramycin
atau salep mata bacitracin atau erythromycin setiap dua jam selama 2-3 hari pertama,
selanjutnya 5 kali sehari selama 7 hari. Karena adanya strain resisten, maka terapi intensif
dengan penicillin tidak lagi dipercaya.
3. Irigasi pada mata dengan cairan saline steril adalah sangat terapeutik dalam membersihkan
debris yang infeksius.
4. Tindakan umum yang lain sama dengan konjungtivitis mukopurulent akut.
5. Atropine topikal 1 % diberikan 1 kali atau 2 kali sehari jika kornea terlibat.
6. Sexual partner dari pasien harus diperiksa juga.

KONJUNGTIVITIS MUKOPURULENT AKUT

Merupakan tipe yang paling banyak dari konjungtivitis bacterial akut. Ini secara khas ditandai
oleh hyperemia konjungtiva dan secret mukopurulent dari weeks bacillus, pneumococcus dan
streptococcus. Konjungtivitis mukopurulent

Gambaran klinik

- Ada rasa tidak enak dan sensasi benda asing


- Mild photophobia akibat kesulitan untuk toleransi cahaya
- Sekret mukopurulent dari mata
- Perlengketan pinggir palpebra, oleh sekret selama tidur
- Penglihatan kabur oleh mukous yang melengket didepan kornea
- Kadang-kadang pasien mengeluhkan halo berwarna akibat efek prismatik dari mukous didepan
kornea
Tanda klinik

- Kongesti konjungtiva lebih jelas pada konjungtiva palpebra, forniks dan perifer dari konjungtiva
bulbi, ini memberikan gambaran “Fiery red eye”. Kongesti kurang jelas pada zona
sirkumkorneal.
- Kemosis yang merupakan pembengkakan dari konjungtiva
- Haemorhages petechie akan terlihat ketika organisme penyebabnya adalah pneumococcus.
- Perlengkapan mukopus terlihat pada forniks, kantus dan pinggir palpebra
- Cilia biasanya disertai dengan krusta kuning.
Perjalanan klinik

Konjungtivitis mukopurulent mencapai puncaknya setelah 3-4 hari, pada infeksi yang ringan infeksi
dapat teratasi tanpa diterapi dan sembuh setelah 10-15 hari, dan pada kondisi yang kurang intense
dapat menjadi konjungtivitis katarhal khronik.

Komplikasi

kadang-kadang berkomplikasi menjadi ulkus corneal marginal,keratitis superficial ,blepharitis atau


dakriosistitis.

Diferential diagnosis

(1) Penyebab lain yang mengakibatkan mata merah akut


(2) Tipe konjungtivitis yang lain : dapat dilihat dari gambaran klinik penyakit dan dikonfirmasi
dengan sitologi konjungtiva dan bacterial examination dari sekresi dan hapusan jaringan.

PERBEDAAN GAMBARAN TIPE YANG PALING BANYAK PADA KONJUNGTIVA

Bakteri Virus alergie chlamydia

A. Tanda klinik
1. Kongesti nyata sedang ringan- sedang sedang

2. Kemosis ++ + ++ +

3. Haemorhages + + - -

subkonjungtival

4. Sekret Purulent/muko- serous benang/serous mukopurulent

Purulent

5.Papillae + - ++ +

6.Folikel - + - ++

7. Pseudomembran + + - -

8. Pannus - - - (Kec. Vernal) +

9.Pre-auricular + ++ - +

Lymp nodes

B. Gambaran sitologik
1. Neutrofils + +(early) - +
2. Eosinophil - - + -
3. Lymphosit - + - +
4. Sel plasma - - - +
5. Sel multinuclear - + - -
6. Inclusion bodies :
Sitoplasma - + (pox) - +
Nukleus - + (herpes) - -
7. Mikroorganisme + - - -

Penatalaksanaan/pengobatan :

1. Antibiotik topikal. Untuk mengontrol infeksi sesuai dengan pengobatan utama konjungtivitis
mukopurulent akut. Idealnya antibiotik harus sesuai dengan kultur dan sensitifitas test tapi
dalam praktek sangat sukar dikerjakan. Bagaimanapun secara rutin , sebagian besar pasien
berespon dengan baik terhadap antibiotik spectrum luas. Terapi dapat dimulai dengan
Chloramfenicol 1%, gentamicin (0,3%), atau framycetin tetes mata 3-4 jam dalam sehari dan
salep digunakan waktu malam tidak hanya untuk antibiotik pelindung, tapi juga mengurangi
perlekatan pada pagi hari. Jika pasien tidak berespon terhadap obat ini , dapat diberikan obat
antibiotic terbaru seperti ciprofloksasin (0,3%), ofloksasin (0,3%) atau gatifloksasin (0,3 %).
2. Irigasi sakkus konjungtiva dengan air saline hangat steril satu kali atau dua kali sehari, dapat
menolong dengan mengeluarkan material yang mengganggu. Seringkali ini merupakan kontra
indikasi karena pembilasan ini akan membersihkan lysozyme dan protein protektif lain yang ada
dalam air mata.
3. Dark goggles dapat digunakan untuk mencegah photofobia.
4. Tidak dibalut, karena eksposure udara akan memberikan temperatur rendah pada cul de sac
konjungtiva yang akan menghambat pertumbuhan bakteri. Bila dibalut sakkus konjungtiva akan
menjadi incubator, dan kemudian infeksi akan berkembang menjadi berat dalam 24 jam, dan
juga dengan pembalutan akan mencegah lepasnya secret.
5. Tidak diberikan steroid karena akan meningkatkan perkembangan infeksi lain dan dapat
menyebabkan ulkus kornea bacterial.
6. Antiinflamasi dan anelgesik (ibuprofen dan PCT) bisa diberikan secara oral selama 2 – 3 hari
untuk pengobatan symptomatic terhadap nyeri ringan terutama terhadap pasien sensitive.

KONJUNGTIVITIS GONOKOKKAL

Merupakan konjungtivitis merupakan konjungtivitis dengan onset yang sangat mendadak ,


konjungtivitis purulent berat, Eksudasi massif, kemosis berat, dan pada kasus yang tidak diterapi
akan didapatkan infiltrasi kornea, melting dan perforasi. Organisme yang paling responsible
untuk konjungtivitis hiperpurulent adalah Nisseria gonorrhoeae. Konjungitivitis gonokokkal
adalah suatu penyakit menular seksual yang dihasilkan dari kontak langsung genital-mata,
genital-hand-okular kontak, atau maternal-neonatus melalui jalan lahir.
Penyakit dengan karakteristik progresif cepat, sekret konjungtiva sangat purulen, konjungtiva
hyperemia dan kemosis, dan palpebra edema. Konjungtivitis gonokokkal dapat disertai dengan
lymphadenopathy preauriculer dan membentuk membrane konjungtiva. Keratitis merupakan
komplikasi ancaman penglihatan yang dilaporkan terjadi pada15% - 40% kasus. Gangguan
kornea terdiri dari kekeruhan epitel diffuse, defek epitel, infiltrate marginal, dan keratitis
infeksius ulcerative perifer yang secara cepat dapat terjadi perforasi.
Managemen. Konjungtivitis gonokokkal dapat diterapi dengan antibiotic sistemik. Antibiotik
topikal okuler dapat diberikan tapi bukan untuk menggantikan terapi sistemik. Regimen
pengobatan terhadap konjungtivitis mempengaruhi peningkatan prevalensi penicillin-resistant
N. gonorrhoeae (PRNG) di USA. Ceftriakson yang merupakan generasi ketiga cephalosporin ,
mempunyai efektifitas tinggi terhadap PRNG. Konjungtivitis gonokokkal tanpa komplikasi ulkus
kornea bisa diterapi dengan berobat jalan dengan 1 intramuskuler ceftriakson injeksi (1 g).
Pasien dengan ulkus kornea harus dirawat inap dirumah sakit dan diterapi dengan ceftriakson
intravena (1 g IV tiap 12 jam) selama 3 hari berturut-turut. Pasien dengan alergi penicillin dapat
diberikan spectinomycin (2 g IM) atau oral fluorokuinolon (ciprofloksasin 500 mg atau ofloksasin
400 mg 2 kali sehari selama 5 hari).
Salep eritromycin, salep bacitracin, salep gentamicin, dan ciprofloksasin solution dianjurkan
untuk terapi topikal. Hal yang sama pentingnya dengan terapi sistemik pada kasus yang sangat
berat, adalah sesering mungkin (tiap 30 – 60 menit) irigasi sakkus konjungtiva dengan normal
saline. Dengan irigasi menolong mengeluarkan sel-sel inflamasi, protease dan debris yang dapat
bersifat toksik pada pemukaan okuler dan berkontribusi untuk munculnya kornel melting.
Lebih dari sepertiga pasien konjungtivitis gonokokkal telah dilaporkan terjadi bersama-sama
dengan penyakit venereal disease. Karena tingginya frekuensi sama-sama ini , maka pada
konjungtivitis gonokokkal adalah bijaksana untuk memberikan terapi oral antibiotik untuk
treatment infeksi Chlamydia. Pasien sebaiknya dianjurkan untuk memeriksakan patner seksnya
untuk evaluasi dan treatment.

KONJUNGTIVITIS BAKTERIAL PADA NEONATUS


Neisseria gonorhoeae adalah penyebab konjungtivitis neonates paling berat, untungnya
N.gonorhoeae mempunyai responsible kurang dari 1 % dari semua kasus konjungtivitis neonates
di Negara industry, dan prevalensinya semakin menurun. Adapun penyebab konjungtivitis
bacterial neonates adalah :
 Chlamydia trachomatis
 Streptococcus viridans
 Staphylococcus aureus
 Haemophilus influenza
 Group D streptococcus
 Moraxella catarrhalis
 Escherichia coli dan gram negative batang yang lain
 Neisseria gonorrhoeae

KONJUNGTIVITIS GONOKOKKAL NEONATAL

Berkurangnya konjungtivitis gonokokkal neonatal menandakan efektifnya screening prenatal


infeksi genital gonokokkal maternal dan terapi profilaksis antimicrobial pada bayi baru lahir. Bayi dengan
konjungtivitis gonokokkal biasanya bilateral dengan secret konjungtiva 3 – 5 hari setelah partus. Sekret
dapat serosanguineous selama beberapa hari pertama dan eksudate purulent dapat berkembang
sesudahnya. Ulkus kornea, perforasi kornea, dan endopthalmitis telah dilaporkan sebagai komplikasi
pada konjungtivitis gonokokkal yang tidak diterapi. Infeksi gonokokkal pada bayi dapat juga berlokasi
ditempat lain meliputi rhinitis dan proctitis. Infeksi gonokokkal disseminated dengan arthritis,
meningitis, pneumonia dan sepsis dapat menghasilkan kematian pada bayi adalah komplikasi yang
jarang.

Managemen. Beberapa strain dari N gonorrhoeae resisten terhadap berbagai antibiotic, termasuk
penicillin (PRNG), fluorokuinolon (QRNG), dan tetracycline. First-line treatment untuk konjungtivitis
gonokokkal neonatal adalah ceftraxone. Untuk infeksi nondisseminated, single IM atau IV ceftriakson
injeksi (125 mg atau 25-50 mg/kgbb) atau dapat juga dipakai cefotaxime singel dose 100 mg/kg IV atau
IM. Untuk infeksi disseminated, terapi sebaiknya diperbesar dengan melakukan konsultasi ke konsultan
penyakit infeksi. Regimen ini sebaiknya dikombinasi dengan irigasi larutan saline setiap jam pada
konjungtiva sampai sekret tereliminasi. Jika diduga kornea terpengaruh, dapat diberikan erytromicin
topikal atau gentamicin salep atau dapat juga dipertimbangkan fluorokuinolon. Cycloplegia topikal
dapat juga diberikan. Treatment systemic harus diberikan pada bayi baru lahir dengan ibu gonorrhea
aktif, meskipun tidak terlihat adanya konjungtivitis.

KONJUNGTIVITIS KLAMIDIA NEONATAL


Konjungtivitis klamidia pada neonates berbeda dengan konjungtivitis klamidia pada orang dewasa
dimana pada neonates dapat terlihat dibawahini :

1. Tidak ada respon folikuler pada bayi baru lahir


2. Jumlah sekret mukopurulent pada bayi baru lahir lebih banyak
3. Dapat ditemukan membrane pada konjuntiva tarsal pada bayi baru lahir
4. Inclusion intracytoplasmik presentasenya lebih besar dengan Giemsa-stained pada bayi baru
lahir
5. Infeksi pada bayi baru lahir lebih berespon terhadap terapi topikal

Pemeriksan Gram dan Giemsa dari apusan konjungtiva dianjurkan pada neonates dengan konjungtivitis
untuk mengidentifikasi C.trachomatis dan N.gonorrhoeae dan juga bakteri lain yang mungkin sebagai
penyebab. Chlamydia associated disease yang lain, seperti pneumonitis dan otitis media, dapat muncul
bersama dengan konjungtivitis inclusion pada bayi baru lahir. Oleh karena itu erythromycin sistemik
(12,5 mg/kg oral atau IV 4 kali sehari selama 14 hari ). Konjungtivitis inclusion pada bayi baru lahir
biasanya berespon dengan baik terhadap topikal erythromycin atau sulfacetamide.

KERATOKONJUNGTIVITIS FLIKTENULARIS

BATASAN :

Adalah suatu kelainan yang khas yang terutama menyerang anak-anak sebagai reaksi alergi dari epitel
konjungtiva dan kornea terhadap suatu toksin endogen.

ETIOLOGI :

Merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap tuberkulo protein, stafilokokkus aureus, ascaris.

GAMBARAN KLINIS :

1. Satu nodul atau lebih dengan diameter 1-2 mm, berwarna keabu-abuan atau kuning dikelilingi
kemerahan (hiperemi konjungtiva) pada konjungtiva, limbus kornea dan kornea cenderung
mengalami ulserasi pada apeks.
2. Bila meluas ke kornea infiltrate letak superficial di sebut keratokonjutivitis fliktenularis. Dapat
terjadi ulserasi disebut ulkus vasikularis.
3. Merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap tuberkulo protein.
4. Tes fluoresens positif ( terwanai oleh fluoresens )

PENGOBATAN :

1. Steroid topikal : obat terpilih pengganti.


a. Dexametasone 0,1 % tetes mata 3-4 kali/hari
b. Prednison 1 % tetes mata 3-4 kali sehari
c. Kortison 0,5-2,5 % tetes mata 3-4 kali/hari
d. Apabila ada tanda-tanda radang diberikan kombinasi-kombinasi kortikosteroid antibiotik
topikal
e. Deksametasone 0,1 % - neomisin sulfat 3,5 mg/ml+polimiksin B

Sulfat 6000 IU/ml.

f. Hidrokortison asetat 0,5 % + Kloramfenikol 0,25 %


g. Prednison asetat + Sulfasetamid 10 %

KONJUNGTIVITIS VERNALIS

BATASAN :

Merupakan penyakit bilateral dari konjungtiva biasanya terjadi pada musim atau iklim panas.

ETIOLOGI :

Reaksi alergi dan biasanya ada riwayat penyakit atopic (asthma, atopic, eczema)

GAMBARAN KLINIS :

1. Konjungtiva tampak seperti susu (milky appeareance), banyak papil halus pada konjungtiva
tarsalis inferior. Pada konjungtiva superior ditemukan papil raksasa dengan gambaran seperti
susunan batu bulat (cobblestone appeareance); bentuk polygonal puncak rata-rata, berisi
pembuluh kapiler.
2. Tipe limbal : tampak adanya nodul-nodul kekuning-kuningan atau abu-abu seperti jelly , terpisah
atau berkelompok (Tantras dot)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM :

Apus konjungtiva : ditemukan eosinopil

PENGOBATAN :

1. Vasokonstriktor atau antihistamin topikal :


h. Natrium kromoglikat 20 mg
i. Klorfeniramin maleat 0,3 % 3-4 kali sehari
j. Fenilprenin 0,12%
k. Pemberian steroid topikal atau sistemik jangka pendek seperti dexametasone 0,1 % 3-4
kali sehari dan Prednison 1 %
2. Bila ada tanda radang diberikan kombinasi antibiotika steroid topikal :
l. Sulfasetamid + Prednisolon asetat 0,25 %
m. Kloramfenikol 0,2 % + Hidrokortison asetat 0,5 % 3-4 kali/hari.
n. Neomisin sulfat 3,5 mg + Polimiksin sulfat 6000 IU/ml + dexametasone 0,1 %

VERNAL KERATOKONJUNGTIVITIS

Biasanya tergantung musim, inflamasi bilateral dari kornea dan konjungtiva, Vernal keratokonjungtivitis
(VKC) terjadi predominan pada anak laki-laki, seringkali, biasanya terjadi pada individu atau keluarga
yang mempunyai riwayat atopy. Penyakit bisa terjadi menetap pada iklim tropis. Immunopathogenesis
tampaknya melibatkan reaksi hipersensitivitas tipe I dan IV. Infiltrate inflamasi konjungtiva,
mengandung eosinophil, lymphosit, sel plasma dan monosit.

Gambaran klinis. Gejala terdiri dari gatal, blepharospasme, photophobia, penglihatan kabur, dan sekret
mukoid banyak sekali. Secar klinis VKC dapat dibagi dalam dua bentuk : palpebral dan limbal.

Inflamasi pada VKC palpebral, berlokasi predominan pada konjungtiva palpebra, dimana terlihat
suatu hipertropi papilari difuse, biasanya lebih prominent pada bagian superior dibandingkan inferior.
Konjungtiva bulbi hiperemis dan kemosis. Pada kasus yang berat akan didapatkan giant papillae yang
menyerupai cobblestones yang dapat ditemukan pada tarsus palpebra superior. Vernal
keratokonjungtivitis tipe limbal dapat berdiri sendiri atau bersama-sama dengan VKC palpebral. VKC ini
predominant pada pasien keturunan Afrika atau asia dan juga lebih prevalent pada iklim yang lebih
panas. Limbus tampak lebih tebal, tampak gelatinous, dengan gundukan opalescent scatter dan injeksi
vaskuler, Horner-trantas dots, whitish dot yang merupakan macroaggregates dari degenerasi eosinopil
dan sel epitel, yang dapat dilihat sebagai limbus yang hypertropi pada pasien dengan limbal VKC.

Beberapa perubahan dapat juga terjadi pada korne dengan VKC.Punctate epithelial erosions pada
superior dan central kornea sering kali dapat dilihat. Pannus terjadi paling sering pada superior kornea,
tapi kadang-kadang vascularisasi kornea 360 o dapat juga terjadi. Ulkus epithelial noninfeksius dengan
bentuk oval atau seperti perisai (juga disebut Shield ulcer). Hubungan antara VKC dan keratokonus telah
pernah dilaporkan.

Penatalaksanaan. Terapi diberikan berdasarkan beratnya gejala yang dirasakan pasien dan gejala pada
penyakit ocular surface. Pada kasus ringan biasanya berhasil ditangani dengan antihistamin topikal.
Climatotherapy seperti penggunaan home air-condicioning atau berpindah ke lokasi yang lebih dingin
yang dapat memperbaiki kondisi. Pasien dengan penyakit ringan sampai sedang dapat berespon
terhadap obat topikal mast-cell stabilizers. Pada pasien dengan seasonal eksaserbation, tetes ini dapat
diberikan 4 kali sehari dimulai paling kurang 2 minggu saat onset simptomatik.

Pada kasus berat dapat digunakan kortikosteroid topikal atau imunomodulator topikal seperti
cyclosporine. Keduanya efektif dalam mengurangi inflamasi dan gejala. Karena ditakutkan akan
terjadinya komplikasi steroid pada pemakaian kronik, bagaimanapun kortikosteroid sebaiknya
digunakan untuk kasus eksaserbasi dengan gangguan sedang sampai berat dan/atau penurunan visual
acuity. Selama eksaserbasi, terapi intermitten sangat efektif: kortikosteroid topikal digunakan dengan
frekuensi yang sering (tiap 2 jam) selama 5-7 hari dan kemudian diturunkan secara bertahap. Karena
adanya kecenderungan preparat steroid suspense (seperti prednisolone asetat) untuk tertinggal
diantara papilla, penggunaannya kurang poten tapi steroid soluble seperti deksametasone phosphate
lebih disukai. Kortikosteroid boleh diputus antara 2 serangan. Untuk tidak mengecilkan hati pasien
terhadap penggunaan kortikosteroid pada kasus ringan, harus diberikan informasi akan terjadinya
komplikasi yang berbahaya pada pemakaian lama. Penggunaan anti inflamasi sistemik telah pernah
dilaporkan akan tetapi digunakan pada kasus yang sangat berat.
Pada pasien kooperatif akan menghentikan pengobatan topikalnya dapat digunakan alternative lain
untuk menghindari efek samping obat tersebut yaitu supratarsal injeksion dari kortikosteroid. Ruangan
subkonjungtival supratarsal berlokasi disuperior, pinggir atas tarsus superiordan sangat mudah
ditemukan dengan eversi palpebra superior. Ruangan ini bebas dari adhesi subepitel yang mengikat
konjungtiva palpebra superior ke tarsal plate. Injeksi supratarsal dapat digunakan steroid kerja pendek
seperti deksamethasone atau steroid kerja panjang seperti triamcinolone acetonide (40 mg/ml) dapat
diberikan dengan volume 0,5 -1,0 ml. Monitoring TIO harus dilakukan sehingga steroid yang
menginduksi TIO dapat dihindari.

Cyclosporine topikal dapat diberikan 2 kaki sehari, dapat juga digunakan untuk treatment refraksi
kasus VKC. Hanya sedikit data tentang dosis yang digunakan pada VKC: meskipun telah dilaporkan
sukses dengan sediaan 2 %, secara significant konsentrasi rendah menunjukkan efisiensi pada penyakit
inflamasi permukaan okuler lain. Laporan efek samping meliputi keratophaty epithelial punctuate dan
iritasi permukaan okuler. Absorbsi sistemik setelah pemberian topikal adalah minimal tapi pengalaman
dengan agent ini terbatas, dan penggunaan cyclosporine topikal pada VKC, sebaiknya diberikan untuk
kasus yang sangat berat.

KONJUNGTIVITIS PURULEN AKUT (GONOBLENORE)

BATASAN :

Peradangan konjungtiva yang akut dan purulen

ETIOLOGI :

Neisseria gonorhoe (diplococcus gonore, gonococcus)

GAMBARAN KLINIS :

1. Kelopak mata membengkak, merah dan tegang sehingga sulit untuk dibuka.
2. Konjungtiva khemosis dan dapat tertutup pseudomembran, kadang-kadang terjadi perdarahan.
3. Sekret mata purulen seperti nanah dan sangat banyak.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

1. Kerokan konjungtiva atau sekret dengan pengecatan gram ditemukan bakteri diplokokkus gram
intra dan ekstraseluler.
2. Penanaman pada media Thayer Martin : Koloni berbentuk konveks, mengkilat, menonjol,
bersifat mukoid dan berdiameter 0-5 mm.
3. Tes oksidase menggunakan larutan tetramethyl, fenylene diamine 1 % : positif menunjukkan
perubahan warna menjadi ungu tua.
4. Tes peragian gula : dengan media cetak (cystinetryptotic) agar terjadi peragian hanya pada
media yang mengandung glukosa.
5. Tes beta laktamase/tes idiometik : koloni kuman A dimasukkan dalam tabung berisi larutan
penisilin 0,1 ml digoyang selama 30 menit, diamkan selama 30 menit, lalu teteskan 15 ml larutan
kanji dan 0,02 ml larutan yodium. Adanya beta laktamase (penisilinase) menyebabkan terjadinya
perubahan warna biru yang menghilang dalam waktu kurang dari 10 menit.

PENATALAKSANAAN DAN PENGOBATAN :

1. Irigasi dengan larutan NaCl 0,9 % setiap ada secret.


2. Antibiotika topikal : obat terpilih/pengganti
o. Sulfasetamid 10 – 15 % tetes mata setiap habis irigasi.
p. Sulfasetamid 30 % zalp mata untuk malam.
q. Gentamisin 0,3% tetes mata dan zalp mata
r. Penisilin tetes mata konsentrasi 15000 IU/ml
s. Tetrasiklin salep mata
3. Antibiotika sistemik : obat terpilih/pengganti
NEONATUS :
t. Penisilin prokain dosis 50000 IU/kgBB/hari intramuskuler selama 5 hari
u. Cefotaxim dosis tunggal 100 mg/kgBB intramuskuler

DEWASA :
v. Penisilin Prokain intramuskuler dosis tunggal 4,8 juta IU di tambah 1 gram probenesid
peroral.
w. Ampisilin 3,5 gram dosis tunggal peroral di tambah probenesid 1 gram peroral.
x. Tetrasiklin 1,5 gram per oral, dilanjutkan 3 kali 500 mg selama 4 hari.
y. Spectinomisin 3 gram dosis tunggal intramuskuler.

TRAKOMA

Trakoma adalah suatu penyakit infeksi yang terjadi pada komunitas dengan hiegine yang buruk dan
sanitasi yang inadequate. Mengenai sekitar 150 juta individu seluruh dunia dan dapat menyebabkan
kebutaan. Trakoma bersifat endemik pada daerah timur tengah dan berkembang pada daerah
sekitarnya didunia. Di amerika ini terjadi secara sporadik pada daerah Indian amerika dan perbukitan
sebelah selatan amerika. Paling banyak infeksi ditransmisikan dari mata ke mata. Transmisi juga dapat
terjadi oleh lalat dan peralatan rumah tangga. Juga dapat menularkan bakteri lain yang menyebabkan
infeksi bakteri sekunder pada pasien dengan trachoma.

Gejala klinik. Gejala awal trachoma berupa sensasi benda asing, kemerahan, reflex air mata, dan secret
mukopurulent. Reaksi folikuler berat berkembang yang paling sering terlihat pada konjungtiva tarsalis
superior tapi kadang-kadang nampak pada forniks superior dan inferior, konjungtiva tarsalis inferior,
plika semilunaris, dan limbus. Folikel pada tarsus superior mungkin tidak jelas terlihat oleh karena
adanya hipertropi papillary yang difuse dan infiltrasi sel inflamasi. Folikel tarsalis yang besar dapat
menjadi nekrotik dan meninggalkan penyembuhan dengan scar yang signifikan. Scar linear atau stelate
pada tarsus superior (Arlt’s line) khas terjadi pada trakoma.Involution dan nekrosis dari folikel dapat
menghasilkan depressi limbal yang dikenal sebagai Herbert’s pits. Tanda pada kornea yang ditemukan
pada trakoma berupa keratitis epithelial, infiltrate stroma central dan perifer fokal dan multifocal dan
pannus fibrovascular superficial, yang mana paling prominent pada sepertiga superior kornea yang tapi
bisa meluas kesentral ke visual aksis.

Diagnosis klinik dari trachoma dapat ditegakkan bila didapatkan 2 dari gejala klinik dibawah ini :

 Folikel konjungtiva pada konjungtiva tarsal superior


 Folikel limbal dan sequelaenya (Herbert’s pits)
 Scar yang khas pada konjungtiva tarsal
 Pannus vascular paling nyata pada limbus superior

Scar yang berat dari konjungtiva dan duktus glandula lakrimalis dari trachoma kronik dapat
menghasilkan aqueous tear deficiency, obstruksi drainage air mata, trichiasis, dan entropion.

WHO memperkenalkan suatu simple severity grading system untuk trakoma yang didasari ada atau tidak
5 tanda dibawah ini:

 Inflamasi konjungtiva follicular


 Inflamasi konjungtiva diffuse
 Scar konjungtiva tarsal
 Silia yang aberrant
 Opacifikasi kornea

Treatment. Trakoma aktif dapat diterapi dengan tetracycline atau erytromicin topikal dan oral. Salep
mata tetracycline atau erythromycin boleh diberikan dua kali sehari selama 2 bulan. Tetracycline oral
dapat diberikan dengan dosis 1,5 – 2,0 gram sehari dalam dosis terbagi diberikan selama 3 minggu.
Erytromicin dapat diberikan kasus dimana terjadi resistensi terhadap tetracycline. Suatu dosis tunggal
dari azithromycin 1000 mg dapat menolong karena efektifitasnya yang panjang. Penanganan komplikasi
dari trachoma meliputi pemberian tear substitutes untuk dry eye dan surgical palpebra untuk entropion
atau trichiasis.

Syndrome stevens-Johnson dan Toksik Epidermal Necrolisis

Pathogenesis. Immune-kompleks yang terdapat pada kulit dan stroma Konjungtiva berimplikasi pada
pathogenesis erytema multiform. Paling umum dipengaruhi oleh agent termasuk obat-obatan seperti
sulfonamide, anticonvulsant, salicylate, penicillin, ampicillin dan isoniazid atau oleh organisme seperti
virus herpes simpleks, streptokokkus, adenovirus dan kadang-kadang mycoplasma.

Perubahan patologi dari SJS adalah adanya bullae subepitelial dan selanjutnya terjadi jaringan parut.
Pada suatu kondisi yang sangat berat disebut Toksik epidermal Nekrolisis (TEN). TEN paling banyak
mengenai anak-anak dan penderita AIDS.TEN didapatkan lebih banyak inflamasi superficial (epitel) dan
menghasilkan suatu jaringan parut yang ringan. Ciri khas penyakit ini adalah bulla interepitelial dan
pengelupasan yang luas dari kulit, sering dengan jaringan parut konjungtiva.
Tanda klinis. Istilah erytema multiform menunjukkan suatu reaksi inflamasi vesicobulosa akut dari kulit
dan membrane mucous. Jika gangguan hipersensitifitas ini hanya mengenai kulit istilah yang biasa
dipakai adalah erytema multiform minor. Jika kulit dan membrane mucous yang terkena ini dikenal
sebagai syndrome steven Johnson atau erytema multiform major yang merupakan 20 % dari semua
pasien erytema multiform. Insidens SJS adalah 5 kasus/1000 tiap tahun. Baru saja dilaporkan bahwa
pasien AIDS adalah mempunyai resiko tinggi untuk mengalami erytema multiform, khususnya pasien
pneumocystis carnii pneumonia.

SJS terjadi paling banyak pada anak-anak dan remaja dan wanita lebih banyak dari laki-laki. Demam,
athralgia, malaise, dan gangguan pernapasan atas dan bawah tiba-tiba terjadi pada onset penyakit.
Erupsi kulit terjadi dalam beberapa hari dengan suatu tanda klasik “target”: suatu pusat merah (red
center) yang dikelilingi oleh suatu cincin pucat kemudian cincin merah, walaupun macula popular atau
lesi bullosa adalah umum terjadi pada SSJ. Membrane mukosa dari mata, mulut dan genitalia mungkin
didapatkan lesi bulosa, dengan membrane atau pseudomembran

GIANT PAPILLARY KONJUNGTIVITIS

Batasan

Ini adalah inflamasi pada konjungtiva dengan formasi papillae dengan ukuran yang sangat besar.

Etiologi

Ini merupakan respons alergik terlokalisasi

Anda mungkin juga menyukai