Anda di halaman 1dari 10

PROPOSAL PENELITIAN

HUBUNGAN ANTARA GEN GH (Growth Hormone) DENGAN KARAKTERISTIK


FENOTIP KAMBING KACANG DI KABUPATEN BATANGHARI

OLEH

FIONA GITA SAFITRI


E10016123
B

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Pendahuluan

Kambing kacang (Capra Hirsus) merupakan salah satu kambing yang berasal dari
Indonesia, yang pada umumnya juga dikenal sebagai kambing jawa dengan populasi yang
cukup tinggi dan tersebar luas. Kambing kacang memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil,
memiliki telinga yang kecil dan berdiri tegak. Kambing ini telah beradaptasi dengan
lingkungan setempat, dan memiliki keunggulan pada tingkat kelahiran (Setiadi, 2003).
Ternak ini sangat potensial untuk dikembangbiakkan dan dimanfaatkan produksi dagingnya.
Kambing lokal merupakan sumber daya genetik yang perlu untuk dikembangbiakkan.
Menurut Tunnisaa (2013), beberapa kelebihan kambing lokal antara lain kemampuan
bertahan hidup (adaptasi) pada lahan tandus dengan ketersediaan pakan yang terbatas, serta
daya tahan terhadap penyakit. Namun, di antara kelebihan tersebut terdapat juga beberapa
kelemahannya antara lain performa bobot badan dan laju pertumbuhan yang relatif lebih
rendah dibandingkan dengan kambing lokal lainnya.
Ternak kambing dimanfaatkan sebagai usaha sampingan atau dapat dijadikan
sebagai tabungan karena pemeliharaan dan pemasaran hasil produksi (baik daging, susu,
kotoran maupun kulitnya) maupun ternak hidup relatif mudah. Bahkan, ternak kambing ini
sudah menyebar rata di seluruh Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kambing mempunyai
potensi untuk dipelihara serta ternak kambing juga mempunyai potensi cepat menyesuaikan
diri dengan baik terhadap lingkungan dan kultur masyarakat Indonesia. Ternak kambing yang
banyak diminati dan dipelihara di Indonesia adalah kambing kacang. Kambing kacang adalah
ras unggul kambing yang pertama kali di kembangkan di Indonesia. Badannya kecil dan
pendek, telinga pendek tegak, punggung meninggi, baik jantan maupun betina memiliki
tanduk, dengan warna bulu yg bervariasi seperti, warna coklat, hitam, putih, atau campuran
dari ke tiga warna tersebut.
Populasi kambing Kacang di Provinsi Jambi pada tahun 2012 sebanyak 430.014
ekor, tahun 2014 sebanyak 422.715 ekor, dan pada tahun 2016 sebanyak 487.113 ekor, terjadi
penambahan populasi sebesar 2,66% pertahun. (Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan
Provinsi Jambi, 2016). Dengan melihat angka populasi ini, dapat disimpulkan bahwa
kambing juga berpotensi sebagai salah satu sumber daya genetik yang potensial untuk
dikembangkan sebagai ternak alternatif penghasil daging merah yang dapat memenuhi
kebutuhan akan daging masyarakat di Kota Jambi sebagai alternatif ketika harga daging sapi
sedang melonjak. Menurut Malveiro, et al., (2001) pengukuran potensi ternak dapat diamati
melalui sifat pertumbuhan. Pertumbuhan merupakan sifat yang dikendalikan banyak gen.
Salah satu gen penting yang mempengaruhi pertumbuhan ternak kambing adalah gen growth
hormone (GH). Pendeteksian gen GH pada kambing penting dilakukan untuk mengetahui
keragaman gen tersebut karena diduga berhubungan dengan sifat-sifat yang bernilai
ekonomis dapat dijadikan sebagai penciri genetik.
Perkembangan teknologi saat ini memberikan perubahan di bidang pertanian dan
peternakan, khususnya bidang ilmu pemuliaan. Teknik molekular menggunakan amplifikasi
DNA target memberikan alternatif metode untuk diagnosis dan identifikasi keragaman gen.
Eksperesi gen dapat mempengaruhi sifat yang muncul. Fenotipik yang muncul dapat
dipengaruhi oleh variasi gen pada arah dan besar respon terhadap perubahan lingkungan .
Fenotipik yang bersifat ekonomis merupakan sifat kuantitatif yang dikontrol oleh banyak gen
dan masing-masing gen memberikan sedikit kontribusi pada sifat tersebut (Noor, 2008). Gen
semacam ini disebut dengan gen mayor yang terletak pada lokus sifat kuantitatif atau
quantitative traits loci (QTL). Gen mayor yang dapat digunakan sebagai kandidat dalam
program Marker Assisted Selection (MAS) jika gen tersebut mempunyai fungsi dan
pengaruh biologis yang nyata terhadap sifat kuantitatif (Diyono, 2009).
Hingga saat ini, karakterisasi kualitatif dan morfometrik ternak kambing kacang
belum banyak dilakukan di Kabupaten Batanghari. Padahal, karakterisasi ini sangat
menentukan sumber keragaman genetik dan dapat menentukan struktur populasi. Atas
pertimbangan itulah maka dilakukan penelitian yang berjudul “hubungan antara gen gh
(growth hormone) dengan karakteristik fenotip kambing kacang di kabupaten batanghari”.
1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan diambil sebagai berikut:


1. Bagaimana hubungan antara gen GH (growth hormone) dengan karakteristik
fenotipe Kambing Kacang?
2. Bagaimana hubungan antara gen GH dengan keragaman genetik kambing
kacang yang tersebar di Kabupaten Batanghari?

1.3. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara gen GH (Growth
Hormone) dengan karakteristik fenotipe, keragaman genetik, dan bagaimana morfometrik
kambing kacang yang tersebar di Kabupaten Batanghari.

1.4. Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah adalah menambah wawasan ilmu
pengetahuan khususnya menambah informasi karakteristik genetik khususnya faktor genetik
yang terkait dengan pertumbuhan, hubungan antara keragaman gen GH pada fenotipe
kambing kacang, serta morfometrik pada kambing kacang yang ada di Kabupaten
Batanghari.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kambing Kacang


Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia yang memiliki bobot badan
lebih kecil dibandingkan bangsa kambing lainnya. Ciri-ciri kambing Kacang adalah telinga
kecil dan berdiri tegak, memiliki tanduk, profil wajah lurus, ekor kecil dan tegak, ambing
kecil dengan konformasi baik dan puting yang relatif besar, warna tubuhnya gelap dan coklat
dengan kondisi bulu kambing betina pendek dan kasar sedangkan pada yang jantan lebih
panjang daripada betina. Kambing Kacang memiliki keunggulan diantaranya mudah
beradaptasi dengan lingkungan setempat dan reproduksinya cukup baik sehingga pada umur
15-18 bulan bisa menghasilkan keturunan (T. Abadi, 2015).
Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia penghasil daging yang cukup
potensial. Kambing dapat memanfaatkan bahan alami dan hasil ikutan industri yang tidak
dikonsumsi oleh manusia sebagai bahan pakan. Makanan utama ternak kambing adalah
hijauan berupa rumput lapangan. Hijauan merupakan sumber energi dan vitamin yang baik,
namun kandungan protein kasarnya relatif rendah dibanding dengan bahan pakan biji- bijian,
misalnya kacang kedelai dan jagung (T. Abadi, 2015).
Sebagai salah satu kambing asli Indonesia, kambing Kacang memiliki keuntungan
untuk beradaptasi dan bertahan hidup di lahan dengan kondisi hijauan berkualitas rendah,
ketahanan terhadap penyakit lokal dan tingkat reproduksi yang tinggi. Ukuran kambing
Kacang kecil (relatif) dengan tubuh yang kompak, telinga tegak dan tanduk kecil pada kedua
jenis kelamin dan sebagian besar dipelihara oleh petani dalam sistem pertanian tradisional
dengan tujuan utama untuk produksi daging (Sodiq et al 2010).
Bagi sebagian besar orang Asia, kambing memiliki peran tidak hanya sebagai sumber
protein hewani (daging dan susu), tetapi sebagai salah satu persyaratan utama dalam ritual
keagamaan seperti pengorbanan hewan (qurban) atau merayakan seorang anak yang baru
lahir (aqiqah) khususnya dalam tradisi Islam (Ilham et al., 2016).
Tingkat kesuburan kambing Kacang tinggi dengan kemampuan hidup darilahir
sampai sapih 79,4%, sifat prolifik anak kembar dua 52,2%, kembar tiga 2,6% dan anak
tunggal 44,9%. Umur rata-rata dewasa kelamin adalah 307,72 hari dengan persentase karkas
44-51%. Rata-rata bobot anak lahir 3,28 kg dan bobot sapih (umur 90 hari) sekitar 10,12 kg
(Pamungkas, dkk., 2009).
Kambing Kacang memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil dengan bobot badan
kambing jantan dapat mencapai 36 kg dan betina mencapai 30 kg. Persentase karkas berkisar
antara 47,40 – 51,30 %. Reproduksi ternak kambing bersifat prolifik dengan rata-rata jumlah
anak perkelahiran 1,78 ekor pada kondisi laboratoriumdan berkisar antara 1,45 – 1,76 pada
kondisi usaha peternakan di pedesaan ( Rahim dkk, 2012).
Umur pubertas kambing jantan adalah 7 bulan, sedangkan betina 6 bulan. Umur
beranak pertama berkisar antara 12 - 13 bulan. Jumlah kelahiran kembar pada kambing
Kacang tergolong tinggi dimana kelahiran kembar tiga umum terjadi dan kelahiran kembar
empat (Herman et al.,1983).

2.2. Keragaman Genetik


Keragaman genetik terjadi tidak hanya antar bangsa tetapi juga di dalam satu bangsa
yang sama, antar populasi maupun di dalam populasi, atau di antara individu dalam populasi.
Pada spesies domestik suatu identifikasi tingkat keragaman, terutama pada lokus-lokus
yang mempunyai sifat bernilai penting mempunyai keterkaitan dengan seleksi dalam
program pemuliaan (Zein et al., 2012).
Genotipe hewan merupakan sebuah pendekatan yang berguna untuk menggambarkan
prinsip-prinsip genetika dan penerapan langsung dalam hal pewarisan sifat. Hukum Hardy-
Weinberg menyatakan bahwa frekuensi genotipe suatu populasi yang cukup besar akan selalu
dalam keadaan seimbang bila tidak ditemukan seleksi, migrasi, mutasi, dan genetic drift. Sifat-
sifat ditemukan dalam keragaman genetik dalam spesies dan bangsa atau galur dalam masing-
masing spesies. Genetika dipandang dari segi populasi, terutama frekuensi gen dengan efek yang
diinginkan (Yuniarsih et al., 2011).
Seleksi alami pada awalnya bekerja pada level fenotipik, memihak kepada atau tidak
menguntungkan untuk sifat-sifat yang diekspresikan (fenotipe). Lukang gen (gene pool)
yaitu agregat total gen pada suatu populasi pada suatu waktu, akan berubah ketika organisme
dengan fenotipe yang kompatibel dengan lingkungan akan lebih mampu bertahan hidup
dalam jangka lama dan akan berkembang biak lebih banyak dan meneruskan gen-gennya
lebih banyak pula ke generasi berikutnya (Elrod dan Stansfield, 2007).
Dalam jangka panjang, keragaman genetik akan lebih lestari dalam populasi
besar daripada dalam populasi kecil. Melalui efek damparan genetik (genetic drift) yaitu
perubahan dalam gen dari suatu populasi kecil yang berlangsung semata-mata karena proses
kebetulan, suatu sifat genetik dapat hilang dari populasi kecil dengan cepat (Indrawan dkk.,
2007).

2.3. Gen GH (growth Hormone)


Pertumbuhan dan perkembangan adalah proses kompleks yang melibatkan berbagai
macam gen di kelenjar endokrin dan diatur dalam koordinasi, yang menyebabkan proses
metabolisme dalam tubuh berjalan lancar. Salah satu gen yang mengendalikan pertumbuhan
ternak dan sering digunakan untuk menentukan keragaman genetik baik pada sapi dan
kambing adalah gen Growth Hormone (GH). Hormon pertumbuhan adalah peptida yang
dikodekan oleh gen tunggal sekitar 2,5 kb panjangnya dan terdiri dari lima ekson dan empat
intron (Wickramaratne et al 2010).
Fungsi gen ini mengontrol proses pembentukan GH pada sel somatotrof di lobus
anterior memainkan peran dalam pertumbuhan jaringan dan metabolisme lemak (Burton et
al 1994), meningkatkan efisiensi pakan, meningkatkan pertumbuhan organ dan tulang pada
hewan yang sedang berkembang (Etherton dan Bauman). 1998) pengaturan pengembangan
kelenjar susu di ruminansia (Akers 2006) dan juga terkait dengan sifat produktif dan efek
superovulasi (Zhang et al 2011).
Gen GH merupakan pengontrol sifat pertumbuhan yang keberadaan dan polimorfismenya
penting untuk mendukung seleksi terhadap pertumbuhan. Keberadaan dan keragaman gen GH
menarik dikaji dihubungkan dengan karakteristik kuantitatif pada domba ekor tipis yang ada di
Provinsi Jambi. (Depison et al. 2017).
Gen GH ditranskripsikan dan diterjemahkan di kelenjar pituitari anterior. Proses
transkripsi diregulasi oleh dua faktor pengikat, yaitu Pit-1 dan Prop-1. Sekresi GH oleh pituitari
di stimulus oleh GH-releasing hormone yang terdapat di hipotalamus, tetapi juga dihambat oleh
somatostatin yang juga disekresikan oleh hipotalamus. Sintesis dan sekresi gen GH diregulasi oleh
hypothalamic releasing factors dan somatotrophic transcription factors (Fodor et al., 2006).
Terkait dengan hal tersebut gen GH digunakan sebagai salah satu kandidat kuat marker
genetik untuk sifat pertumbuhan (Silveira et al., 2008).
Karakteristik kuantitatif pada domba ekor tipis didataran tinggi lebih baik daripada
dataran rendah, penciri genetik dari PCR-RFLP pada MspI dan Alu gen GH bersifat
Polimorfik pada dataran tinggi dan rendah. (Depison et al, 2017).

2.4. Karakteristik Fenotipik


Rumpun ternak kambing lokal yang dominan di Indonesia ada dua yaitu kambing
Kacang dan kambing Etawah. Namun dalam perkembangannya di duga karena
perkembangan jaman dan dalam kurun waktu yang lama serta pengaruh kondisi lingkungan
serta iklim yang berbeda mengakibatkan penampilan ternak kambing secara perlahan-lahan
menimbulkan perbedaan akibat penyesuaian dengan lingkungan setempat. Selain itu juga
diduga akibat persilangan dengan kambing dari luar (eksotik) menimbulkan fenotip yang
bermacam-macam terhadap jenis/bangsa kambingnya (Ilham, 2012).
Karakteristik reproduksi dibandingkan Kambing PE, Kambing kacang lebih prolifik
dengan jumlah anak sekelahiran berkisar antara 1,40-1,76 dengan median 1,65 dalam. Pada
kambing peranakan etawah jumlah anak sekelahiran berkisar antara 1,30- 1,70 dengan
median 1,50. Dari segi bobot sapih umur 90 hari, kambing kacang dan peranakan etawah
pada kondisi stasiun percobaan adalah 6,9 dan 8,6 kg. Pada kondisi pedesaan bobot sapih
kambing peranakan etawah adalah 10,1 kg (Subandriyo 2005).

Ilham, F., 2012. Keragaman Fenotip Kambing Lokal Kabupaten Bone Bolango. Universitas
Negeri Gorontalo.
Ilham, F., Rachman, S.D.A.B., Dagong, M.I.A., Rahim, L., Yulianty, 2016. Genetic
polymorphisms of growth hormone (GH) gene in kacang goat population based on
polymerase chain reaction-restriction fragment length polymorphism (PCR-RFLP)
identification. Livest. Res. Rural Dev. 28.
T. Abadi, C.M.S.L. dan E.P., 2015. Pola pertumbuhan bobot badan kambing kacang betina
di kabupaten grobogan. Anim. Agric. J. 4, 93–97.
Sodiq A, Priyono A and Tawfik E S 2010 Assessment of the kid production traits of kacang
goat under smallholders production system. Journal of Animal Production. Vol 12 No 2:111-
117.
Pamungkas, F. A., A. Batubara, M. Doloksaribu dan E. Sihite. 2009. Petunjuk Teknis
beberapa Plasma Nutfah Kambing Lokal Indonesia. Puslitbangnak. Departemen
Pertanian. Jakarta.

Herman, R. Duljaman, M., Sugama, N. 1983. Perbaikan Produksi Daging Kambing


Kacang. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Rahim L, Sri Rahma RR, Dagong, M.I.A dan Kusumandari I.P. 2012. Keragaman
kelompok gen pertumbuhan (GH, GHR, IGF-1, Leptin dan Pit-1) dan
hubungannya dengan karakteristik tumbuh kembang dan karkas pada ternak
kambing Marica dan Kacang. Makassar. Laporan Penelitian

Yuniarsih, P., Jakaria, dan Muladno. 2011. Ekspolarasi Gen Growth Hormone Exon 3 pada
Kambing Peranakan Etawah (PE), saanen dan PESAmelalui Teknik PCR-SSCP.
IPB, Bogor.
Zein, A.M.S., S Sulandari., Muladno., Subandiyo., dan Riwantoro. 2012. Diversitas
Genetik dan Hubungan Kekerabatan Kambing Lokal Indonesia Menggunakan
Marker DNA Mikrosatelit. JITV Vol.17 No.1 : 25-35.
Elrod, Susan L. dan Stansfield, William D. 2007. Genetika. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Indrawan, M., R. B. Primack dan J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta.

Wicjramaratne S H G, Ulmek B R, Dixit S P, Kumar S and Vyas M K 2010 Use of growth


hormone gene polymorphism in selecting osmanabadi and sangamneri goats. Tropical
Agricultural Research Volume 21(4): 398 – 411.
Zhang C, Yun L, Kunkun H, Weinbing Z, Deging Xu, Qunying Wen and Ligou Yang 2011
The association of two single nucleotide polymorphisms (SNPs) in growth hormone (GH)
gene with litter size and superovulation response in goat?breeds. Genetic and Molecular
Biology. 34 (1):49?55.
Akers R M 2006 Major advances associated with hormone and growth factor regulation of
mammary growth and lactation in dairy cow. Journal of Dairy Science.
Etherton T D and Bauman D E 1998 Biology of somatotropin in growth and lactation of
domestic animals. Physiological Reviews. Volume 78 no 3: 745?761.
Depison, Sarbani A., Jamsari., Arnim,. dan Yurnalis . Association of Growth Hormone Gene
Polymorphism with Quantitative Characteristic of thin-tailed Sheep Using PCR-
RFLP in Jambi Province. African Journal of Biotechnology. Vol. 16(20) pp 1159-
1167.
Silveira, L. G. G., L. R. Furlan, R. A. Curi, A. L. J. Ferraz, M. M. de Alencar, L. C. A.
Regitano, C. L. Martins, M. de Beni, Arrigoni, L. Suguisawa, A. C. Silveira and H.
N. de Oliveira. 2008. Growth hormone 1 gene (GH1) polymorphisms as possible
markers of the production potential of beef cattle using the Brazilian Canchim breed
as a model. Genet. Mol. Biol. 31: 874-879.
Subandriyo, 2005. Strategi Pemanfaatan Plasma Nutfah Kambing Lokal Dan Peningkatan
Mutu Genetik Kambing di Indonesia. Balai Penelitian Ternak,Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai