Anda di halaman 1dari 2

Pergulatan Menuju Republik

TAN MALAKA (1925-1945)


Tan Malaka adalah seorang pejuang politik yang cerdik dan ulung, tetapi juga
kontroversial dan tragis. Di samping itu, ia juga adalah seorang intelektual dan pemikir yang
berkaliber. Dari seorang Tan Malaka lahirlah pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot,
dan briliyan. Jadi tidak mengherankan apabila ada cukup banyak karangan yang ditulis
olehnya. Madilog merupakan hasil pemikiran terbaik dari Tan Malaka, dari sekian banyak
karangan yang ditulisnya. Melalui buku ini, ia menganalisa “Mengapa bangsa Indonesia
sampai terjajah begitu lama?”.
Sepanjang hidupnya, Tan Malaka mengalami suatu proses kehidupan yang penuh
dengan konflik dan kisah-kisah yang dramatis. Satu hal yang pasti bahwa dia adalah seorang
tokoh yang legendaris. Untuk tanggal kelahirannya belum dapat dipastikan, karena masih
merupakan sebuah misteri. Akan tetapi berdasarkan berbagai pertimbangan, Poeze memilih
bahwa tahun kelahirannya ialah Tahun 1897, di sebuah desa kecil, Pandan Gadang, Sumatera
Barat. Drama kehidupannyapun berakhir secara ironis dan tragis, di mana ia meninggal
karena ditembak oleh sekolompok tentara republik di zaman revolusi. Lebih tragisnya lagi,
sampai sekarang kuburannya yang pasti, belum dapat ditemukan.
Tan Malaka tumbuh sebagai seorang yang lincah, riang dan mempunyai otak yang
cerdas. Jadi tidak mengherankan apabila banyak orang yang berusaha dan berupaya agar Tan
Malaka dapat melanjutkan studinya sampai ke negeri Belanda. Salah satu orang yang sangat
berperan penting dalam kehidupan Tan Malaka adalah gurunya, G.H. Horensma. Dialah yang
berusaha agar Tan Malaka dapat pergi ke negeri Belanda, yang walaupun dengan susah
payah, khususnya dalam hal finansial. Dengan mengenal Horensma, Tan Malaka mulai
menyadari bahwa nilai-nilai kemanusiaan yang agung dapat menembus tembok-tembok
SARA, ideologi politik dan status sosial. Baginya, ada dua hal yang selalu bertentangan di
dalam diri manusia yakni kebaikan dan kejahatan.
Sesampainya di negeri Belanda, Tan Malaka kembali mendapatkan beberapa masalah
yang sangat menyusahkannya. Mulai dari masalah finansial dan gagal dalam studi, sampai
pada penyakit serius yang dideritanya. Dalam keadaan yang kritis ini, beliau semakin
menyadari makna dari nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. Dengan kasih sayang yang ia
dapatkan dari orang-orang di sekitarnya dan berbagai masalah yang menghampirinya, Tan
Malaka semakin terdorong untuk selalu berjuang dan berusaha menjadi orang yang humanis.
Di Belanda, Tan Malaka sudah mulai belajar untuk hidup berpolitik. Setelah bertemu
dengan Ki Hajar Dewantara, ia bergabung dengan kelompok marxis dan komunis. Tan
Malaka menggunakan pemikiran-pemikiran ini untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Namun pada akhirnya, ia melepaskan diri dari Komunis dan Komintern, untuk
meneruskan perjuangannya, berdasarkan prinsip dan keyakinan politiknya sendiri.
Ketika pulang ke Indonesia, Tan Malaka ditawari untuk menjadi guru bagi anak-anak
dari para buruh perkebunan Senembah di Tanjungmorawa, Deli. Hari demi hari, kehidupan
Tan Malaka semakin membaik. Mulai dari finansial sampai status sosial pun didapatnya.
Seiring dengan itu, matanya semakin terbuka untuk melihat betapa kejamnya sistem kapitalis
yang dipraktekkan di perkebunan-perkebunan di Deli, di mana para kapitalis memperlakukan
kuli-kuli kontrak bangsanya sendiri dengan semena-mena. Tragisnya lagi, para kuli itu tidak
berdaya menghadapi hal ini dan juga tidak ada seorangpun yang membela mereka. Di tempat
ini, ia melihat tidak adanya kemanusiaan yang adil dan beradab. Ia semakin meyakini bahwa
justru selama ini sistem kapitalislah yang telah melahirkan kolonialisme dan imperealisme, di
mana hal inilah yang membuat bangsa Indonesia dijajah dan diperbudak.
Akhirnya Tan Malaka sampai pada sebuah dilema, mau memilih kehidupan finansial
dan status sosial yang baik ataukah keluar untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsanya.
Berangkat dari keprihatinan ini, dengan pikiran yang jernih dan sesuai hati nuraninya, Tan
Malaka memilih keluar dari zona nyamannya untuk pergi kepada perjuangan melawan sistem
kapitalis dan kolonialis yang menjajah bangsanya, Indonesia.
Perjuangan politik Tan Malaka adalah perjuangan melawan sistem dan bukan
memusuhi atau membenci orang-orang yang hidup di bawah sistem itu. Baginya, setiap orang
mempunyai nilai-nilai kemanusiaan yang agung, hanya saja sistem-sistem yang ada membuat
mereka cenderung mempunyai sifat-sifat yang buruk. Contohnya kolonialisme dan
imperialisme. Oleh karena itulah, Tan Malaka selalu berjuang untuk mengahancurkan sistem
yang buruk itu dan sekaligus membangun sistem baru yang dapat memanusiakan manusia.
Dengan berbagai usaha, ia berjuang untuk melawan sistem kapitalis dan kolonialis.
Keyakinan terkuatnya bahwa apabila berbagai pihak mulai menyatukan langkah dan bekerja
secara bersama-sama, niscaya bangsa Indonesia dapat keluar dari penjajahan ini. Misalnya
persatuan dan kerja sama dari aliran-aliran Islam dan nasionalis. Pada awalnya, ia percaya
dan meyakini bahwa orang-orang komunis (PKI) dengan paham Marxisme dan Komunisme
dapat menjadi aktor utama dalam perjuangan itu, namun setelah melihat keadaan yang
sesungguhnya, ia tampak ragu apabila PKI hanya berjuang sendirian. Keraguannya itu benar-
benar tejadi, ketika PKI dihancurkan habis-habisan oleh pihak kolonial karena dengan nekat,
mereka mencoba untuk melakukan pemberontakan. Melihat masalah ini, bertambah yakinlah
Tan Malaka bahwa penjajahan ini dapat dihapuskan, apabila gerakan revolusi itu
mendapatkan dukungan dari dari berbagai pihak di Indonesia. Sekali lagi, Tan Malaka mau
mengusahakan persatuan dan kerja sama.
Memang pada saat itu, terjadi perpecahan di dalam tubuh Indonesia sendiri yakni
antara kelompok Sarekat Islam (SI) dan PKI. Melihat permasalahan ini, Tan Malaka berusaha
untuk menyatukan kembali kedua kelompok ini, lebih-lebih ketika ia menjabat sebagai ketua
PKI pada tahun 1921. Dengan pemikirannya, ia melawan ‘Keputusan Komintern’ pada tahun
1920, di mana gerakan ini sangat memusuhi gerakan Islam, karena gerakan Islam merupakan
bentuk lain dari imperealisme, yang pada esensinya merupakan lawan dari Marxisme dan
Komunisme. Baginya, bahwa gerakan untuk memusuhi Islam dan Pan-Islamisme merupakan
suatu kekeliruan, karena justru inilah alat yang digunakan oleh masyarakat Islam di daerah
terjajah di Asia dan Afrika, untuk memperjuangkan kemerdekaan mereka. Usahanya ini
semakin hari semakin baik, namun semuanya pupus, ketika ia ditangkap dan dibuang ke
negeri Belanda. Keadaannya yang selalu dicari-cari dan dikejar-kejar, membuat dia memiliki
banyak nama lain (samaran).
Ketika PKI menjadi lumpuh total pada tahun 1926-1927, Tan Malaka melahirkan
PARI (Partai Republik Indonesia) bersama kedua temannya, Subakat dan Djamaluddin.
Melalui ini, Tan Malaka mulai mengembangkan kreasi pemikiran politiknya sendiri, visi dan
prinsip politik yang diyakininya, dalam perjuangan melawan kolonialisme. PARI bukanlah
kelanjutan dari PKI, karena dengan jelas di dalam PARI tidak terdapat sedikitpun pemikiran
atau ungkapan Marxisme dan Komunisme. Ia benar-benar telah melepaskan paham-paham
itu. Jelaslah dengan lahirnya PARI, Tan Malaka sangat dibenci dan dicari-cari oleh para
Komunis dan Komintern. Oleh karena selalu dicari-cari, PARI menjalankan perjuangan
dengan gerakan bawah tanah. Namun pada akhirnya juga, PARI menuai kegagalan karena
pihak Belanda berhasil melumpuhkan gerakan mereka.
Meskipun Tan Malaka selalu dibenci, tidak disetujui, dicari-cari dan dikejar-kejar
oleh beberapa pihak karena pemikirannya yang selalu berlawanan arah, seorang Tan Malaka
tak pernah takut dan tetap teguh pada pendiriannya, dalam memperjuangkan kemerdekaan
berdasarkan pemikiran dan keyakinan politiknya sendiri. Ia adalah tuan di dalam dirinya
sendiri, baik dalam perjuangan politiknya maupun dalam mengembangkan pemikirannya.

Anda mungkin juga menyukai