Tan Malaka adalah seorang pejuang politik yang cerdik dan ulung, tetapi juga kontroversial dan tragis. Di samping itu, ia juga adalah seorang intelektual dan pemikir yang berkaliber. Dari seorang Tan Malaka lahirlah pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot, dan briliyan. Jadi tidak mengherankan apabila ada cukup banyak karangan yang ditulis olehnya. Madilog merupakan hasil pemikiran terbaik dari Tan Malaka, dari sekian banyak karangan yang ditulisnya. Melalui buku ini, ia menganalisa “Mengapa bangsa Indonesia sampai terjajah begitu lama?”. Sepanjang hidupnya, Tan Malaka mengalami suatu proses kehidupan yang penuh dengan konflik dan kisah-kisah yang dramatis. Satu hal yang pasti bahwa dia adalah seorang tokoh yang legendaris. Untuk tanggal kelahirannya belum dapat dipastikan, karena masih merupakan sebuah misteri. Akan tetapi berdasarkan berbagai pertimbangan, Poeze memilih bahwa tahun kelahirannya ialah Tahun 1897, di sebuah desa kecil, Pandan Gadang, Sumatera Barat. Drama kehidupannyapun berakhir secara ironis dan tragis, di mana ia meninggal karena ditembak oleh sekolompok tentara republik di zaman revolusi. Lebih tragisnya lagi, sampai sekarang kuburannya yang pasti, belum dapat ditemukan. Tan Malaka tumbuh sebagai seorang yang lincah, riang dan mempunyai otak yang cerdas. Jadi tidak mengherankan apabila banyak orang yang berusaha dan berupaya agar Tan Malaka dapat melanjutkan studinya sampai ke negeri Belanda. Salah satu orang yang sangat berperan penting dalam kehidupan Tan Malaka adalah gurunya, G.H. Horensma. Dialah yang berusaha agar Tan Malaka dapat pergi ke negeri Belanda, yang walaupun dengan susah payah, khususnya dalam hal finansial. Dengan mengenal Horensma, Tan Malaka mulai menyadari bahwa nilai-nilai kemanusiaan yang agung dapat menembus tembok-tembok SARA, ideologi politik dan status sosial. Baginya, ada dua hal yang selalu bertentangan di dalam diri manusia yakni kebaikan dan kejahatan. Sesampainya di negeri Belanda, Tan Malaka kembali mendapatkan beberapa masalah yang sangat menyusahkannya. Mulai dari masalah finansial dan gagal dalam studi, sampai pada penyakit serius yang dideritanya. Dalam keadaan yang kritis ini, beliau semakin menyadari makna dari nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. Dengan kasih sayang yang ia dapatkan dari orang-orang di sekitarnya dan berbagai masalah yang menghampirinya, Tan Malaka semakin terdorong untuk selalu berjuang dan berusaha menjadi orang yang humanis. Di Belanda, Tan Malaka sudah mulai belajar untuk hidup berpolitik. Setelah bertemu dengan Ki Hajar Dewantara, ia bergabung dengan kelompok marxis dan komunis. Tan Malaka menggunakan pemikiran-pemikiran ini untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Namun pada akhirnya, ia melepaskan diri dari Komunis dan Komintern, untuk meneruskan perjuangannya, berdasarkan prinsip dan keyakinan politiknya sendiri. Ketika pulang ke Indonesia, Tan Malaka ditawari untuk menjadi guru bagi anak-anak dari para buruh perkebunan Senembah di Tanjungmorawa, Deli. Hari demi hari, kehidupan Tan Malaka semakin membaik. Mulai dari finansial sampai status sosial pun didapatnya. Seiring dengan itu, matanya semakin terbuka untuk melihat betapa kejamnya sistem kapitalis yang dipraktekkan di perkebunan-perkebunan di Deli, di mana para kapitalis memperlakukan kuli-kuli kontrak bangsanya sendiri dengan semena-mena. Tragisnya lagi, para kuli itu tidak berdaya menghadapi hal ini dan juga tidak ada seorangpun yang membela mereka. Di tempat ini, ia melihat tidak adanya kemanusiaan yang adil dan beradab. Ia semakin meyakini bahwa justru selama ini sistem kapitalislah yang telah melahirkan kolonialisme dan imperealisme, di mana hal inilah yang membuat bangsa Indonesia dijajah dan diperbudak. Akhirnya Tan Malaka sampai pada sebuah dilema, mau memilih kehidupan finansial dan status sosial yang baik ataukah keluar untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Berangkat dari keprihatinan ini, dengan pikiran yang jernih dan sesuai hati nuraninya, Tan Malaka memilih keluar dari zona nyamannya untuk pergi kepada perjuangan melawan sistem kapitalis dan kolonialis yang menjajah bangsanya, Indonesia. Perjuangan politik Tan Malaka adalah perjuangan melawan sistem dan bukan memusuhi atau membenci orang-orang yang hidup di bawah sistem itu. Baginya, setiap orang mempunyai nilai-nilai kemanusiaan yang agung, hanya saja sistem-sistem yang ada membuat mereka cenderung mempunyai sifat-sifat yang buruk. Contohnya kolonialisme dan imperialisme. Oleh karena itulah, Tan Malaka selalu berjuang untuk mengahancurkan sistem yang buruk itu dan sekaligus membangun sistem baru yang dapat memanusiakan manusia. Dengan berbagai usaha, ia berjuang untuk melawan sistem kapitalis dan kolonialis. Keyakinan terkuatnya bahwa apabila berbagai pihak mulai menyatukan langkah dan bekerja secara bersama-sama, niscaya bangsa Indonesia dapat keluar dari penjajahan ini. Misalnya persatuan dan kerja sama dari aliran-aliran Islam dan nasionalis. Pada awalnya, ia percaya dan meyakini bahwa orang-orang komunis (PKI) dengan paham Marxisme dan Komunisme dapat menjadi aktor utama dalam perjuangan itu, namun setelah melihat keadaan yang sesungguhnya, ia tampak ragu apabila PKI hanya berjuang sendirian. Keraguannya itu benar- benar tejadi, ketika PKI dihancurkan habis-habisan oleh pihak kolonial karena dengan nekat, mereka mencoba untuk melakukan pemberontakan. Melihat masalah ini, bertambah yakinlah Tan Malaka bahwa penjajahan ini dapat dihapuskan, apabila gerakan revolusi itu mendapatkan dukungan dari dari berbagai pihak di Indonesia. Sekali lagi, Tan Malaka mau mengusahakan persatuan dan kerja sama. Memang pada saat itu, terjadi perpecahan di dalam tubuh Indonesia sendiri yakni antara kelompok Sarekat Islam (SI) dan PKI. Melihat permasalahan ini, Tan Malaka berusaha untuk menyatukan kembali kedua kelompok ini, lebih-lebih ketika ia menjabat sebagai ketua PKI pada tahun 1921. Dengan pemikirannya, ia melawan ‘Keputusan Komintern’ pada tahun 1920, di mana gerakan ini sangat memusuhi gerakan Islam, karena gerakan Islam merupakan bentuk lain dari imperealisme, yang pada esensinya merupakan lawan dari Marxisme dan Komunisme. Baginya, bahwa gerakan untuk memusuhi Islam dan Pan-Islamisme merupakan suatu kekeliruan, karena justru inilah alat yang digunakan oleh masyarakat Islam di daerah terjajah di Asia dan Afrika, untuk memperjuangkan kemerdekaan mereka. Usahanya ini semakin hari semakin baik, namun semuanya pupus, ketika ia ditangkap dan dibuang ke negeri Belanda. Keadaannya yang selalu dicari-cari dan dikejar-kejar, membuat dia memiliki banyak nama lain (samaran). Ketika PKI menjadi lumpuh total pada tahun 1926-1927, Tan Malaka melahirkan PARI (Partai Republik Indonesia) bersama kedua temannya, Subakat dan Djamaluddin. Melalui ini, Tan Malaka mulai mengembangkan kreasi pemikiran politiknya sendiri, visi dan prinsip politik yang diyakininya, dalam perjuangan melawan kolonialisme. PARI bukanlah kelanjutan dari PKI, karena dengan jelas di dalam PARI tidak terdapat sedikitpun pemikiran atau ungkapan Marxisme dan Komunisme. Ia benar-benar telah melepaskan paham-paham itu. Jelaslah dengan lahirnya PARI, Tan Malaka sangat dibenci dan dicari-cari oleh para Komunis dan Komintern. Oleh karena selalu dicari-cari, PARI menjalankan perjuangan dengan gerakan bawah tanah. Namun pada akhirnya juga, PARI menuai kegagalan karena pihak Belanda berhasil melumpuhkan gerakan mereka. Meskipun Tan Malaka selalu dibenci, tidak disetujui, dicari-cari dan dikejar-kejar oleh beberapa pihak karena pemikirannya yang selalu berlawanan arah, seorang Tan Malaka tak pernah takut dan tetap teguh pada pendiriannya, dalam memperjuangkan kemerdekaan berdasarkan pemikiran dan keyakinan politiknya sendiri. Ia adalah tuan di dalam dirinya sendiri, baik dalam perjuangan politiknya maupun dalam mengembangkan pemikirannya.