Diskusi MODS
Diskusi MODS
Telah dirawat seorang laki-laki usia 26 tahun di bagian Penyakit Dalam RSUP
Dr. M. Djamil Padang sejak hari Jumat tanggal 27 Oktober 2018 pukul 16.30 WIB
dengan :
Syok sepsis ec Kolangitis Akut
Melena ec Non Variceal Bleeding ec Stress Ulcer
Kolestasis Ekstrahepatal ec Tumor Kaput Pankreas Post Bypass Billiodigestive
Anemia Ringan Normositik Normokrom ec Perdarahan Akut
Disseminated Intravascular Coagulation
AKI stage II ec Pre Renal ec Sepsis
Hiponatremia et hipokalemia ec GI Lost
Kolangitis akut pada pasien ini ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan keluhan demam, nyeri perut
kanan atas, kuning seluruh tubuh. Pada pemeriksaan fisik didapatkan, ikterik yang
kehijauan, pada pemeriksaan penunjang didapatkan leukositosis, hiperbilirubinemia,
peningkatan SGOT dan SGPT, peningkatan kadar Alkali Fosfatase dan Gamma GT,
pada pemeriksaan urinalisa didapatkan hiperbilirubinuria.
Diagnosis defenitif kolangitis akut memerlukan konfirmasi infeksi bilier
sebagai sumber gejala sakit sistemik, misalnya dengan aspirasi cairan bilier purulen
pada ERCP. Namun demikian, kolangitis akut biasanya didiagnosis secara klinis
dengan adanya trias Charcod : ( 1 ) demam dan / atau bukti inflamasi seperti
peradangan , ( 2 ) ikterik dan hasil tes fungsi hati yang abnormal seperti kolestasis ,
dan ( 3 ) riwayat penyakit empedu , nyeri abdomen kanan atas dan dilatasi kandung
empedu 5,6.
Jika memenuhi 3 kategori dapat didiagnosis sebagai cholangitis akut, karena
tidak adanya metode yang mudah untuk mendapatkan cairan empedu untuk
pemeriksaan dan kultur selain dengan aspirasi pada ERCP, pungsi perkutan dan
pembedahan 7.
29
Suatu studi prospektif melaporkan hanya 22% pasien dengan cairan empedu
purulen pada operasi koledoktomi memenuhi criteria trias Charcot. Adanya tambahan
syok sepsis dan delirium (confusion) pada triad Charcot dikenal sebagai pentad
Reynold.
Kriteria diagnostik Tokyo Guidelines 13 (TG13) untuk Akut Kolangitis adalah
kriteria untuk menegakkan diagnosis berdasarkan tanda-tanda klinis atau tes darah di
samping manifestasi empedu berdasarkan hasil pencitraan yang didapat.
Tabel . Kriteria diagnosis kolangitis akut
A. Inflamasi sistemik
A-1. Demam
A-2. Hasil pemeriksaan laboratorium, menunjukan adanya
respnon inflamasi
B. Kolestasis
B-1. Ikterus
B-2. Hasil laboratorium menunjukan tes fungsi hati yang abnormal
C. Pencitraan
C-1. Dilatasi Bilier
C-2. Bukti dari etiologi dilakukan pencitraan (penyepitan, batu, sumbatan
dan lainnya)
Catatan :
A-2: nilai hitung abnormal sel darah putih, peningkatan serum level C-reaktif
protein, dan perubahan lain dari indikator inflamasi.
B-2: peningkatan serum ALP, Gamma GT, AST dan ALT.
Faktor lain yang dapat membantu diagnosis kolangitis akut termasuk nyeri
abdomen kanan atas dan adanya riwayat dari penyakit bilier sebelumnya
seperti gallstones, proses bilier sebelumnya, dan pemasangan sten bilier.
Dalam hepatitis akut penanda respon sistemik inflamasi juga dipantau.
30
Batasan :
Ket: White Blood Cell (WBC), C-reaktif protein (CRP), Alkaline Phosphatase
(ALP), Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT), Aspartate Transaminase
(AST/SGOT) dan Alanine Transaminase (ALT/SGPT)
31
Pada pasien ini menurut kriteria diagnosis TG 13 termasuk kolangitis akut
(definit diagnosis) karena memenuhi kriteria satu item A yaitu adanya demam dan
bukti laboratorium berupa leukositosis, satu kriteria B yaitu ikterik dan bukti
laboratorium berupa peningkatan alkali fosfatase, Gamma GT dan SGOT/SGPT, dan
satu item C yaitu pada pencitraan baik USG abdomen dan CT Scan dijumpai adanya
tumor kaput pankreas dan adanya prosedur tindakan bilier sebelumnya yaitu operasi
bypass billiodigestive.
Pada pasien ini digolongkan kepada kolangitis akut derajat berat karena
didapatkannya suatu tanda disfungsi organ, yaitu hipotensi, kreatinin serum >1,5
mg/dl, dan kadar trombosit < 100.000/µL. Pada pasien ini juga telah dilakukan operasi
bypass billiodigestive berupa pemasangan insersi T-Tube dan dilanjutkan membuat
anastomose kandung empedu ke jejunum, anastomose gaster ke jejunum dan
anastomose jejunum ke jejunum.
Kolangitis akut terutama disebabkan oleh infeksi bakteri pada pasien dengan
obstruksi bilier. Organisme biasanya naik dari duodenum. Faktor predisposisi yang
paling penting pada kolangitis akut adalah obstruksi bilier dan stasis. Penyebab paling
umum dari obstruksi bilier pada pasien dengan kolangitis akut tanpa stent saluran
empedu adalah batu empedu (28-70 persen), stenosis jinak (5-28 persen), dan
keganasan (10-57 persen). Selain itu, kolangitis akut adalah komplikasi umum
penempatan stent untuk obstruksi bilier.
Diagnosis sepsis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan kriteria sepsis
menurut qSOFA (quick Sequential Organ Failure Assessment) dimana didapatkan
skor 2. Kriteria qSOFA pasien ini adalah hipotensi (tekanan darah sistolik < 100
mmhHg) dan frekensi nafas yang meningkat (> 22 x / menit).
Nilai skor 2 ini menyatakan perlu adanya suatu pemeriksaan lanjutan untuk
menentukan adanya disfungsi organ. Skor SOFA pasien ini didapatkan PaO2/FiO2 >
400, trombosit < 100.000, Bilirubin > 12,0, hipotensi dengan penggunaan norepinefrin
> 0,1, Glasgow Coma Scale (13-14), kreatinin 2,2 mg/dL sehingga didapatkan hasil
SOFA skor 13. Peningkatan nilai skor SOFA ≥ 2 menggambarkan risiko mortalitas
sekitar 10 % pada populasi umum dengan kecurigaan infeksi, pada pasien ini
didapatkan skor SOFA 13 dengan risiko mortalitas sekitar 95,2 %. Skor SOFA tidak
32
digunakan sebagai alat untuk penatalaksanaan pasien, namun untuk menilai sepsis
secara klinis dan laboratorium.
Sepsis yang berat disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ,
hipotensi, atau hipoperfusi seperti menurunnya fungsi ginjal, hipoksemia, dan
perubahan status mental. Syok septik merupakan sepsis dengan tekanan darah arteri
<90 mmHg atau 40 mmHg di bawah tekanan darah normal pasien tersebut selama
sekurang-kurangnya 1 jam meskipun telah dilakukan resusitasi cairan atau dibutuhkan
vasopressor untuk mempertahankan agar tekanan darah sistolik tetap ≥90 mmHg atau
tekanan arterial rata-rata ≥70 mmHg.
Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang ditandai
dengan bakteremia selanjutnya berkembang menjadi systemic inflammatory response
syndrome (SIRS) dilanjutkan sepsis, sepsis berat, syok sepsis dan berakhir pada
multiple organ dysfunction syndrome (MODS).Komplikasi bervariasi berdasarkan
etiologi yang mendasari. Potensi komplikasi yang mungkin terjadi meliputi:13,14
Cedera paru akut (acute lung injury)
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
Gagal jantung
Gangguan fungsi hati
Gagal ginjal
Sindroma disfungsi multiorgan
33
Gangguan hematologi yang terlihat pada DIC karena sepsis terdiri dari 4
mekanisme yang terjadi secara bersama-sama yakni : (1) Kerusakan endotel dan
pembentukan trombin yang diperantarai oleh faktor jaringan (tissue factor) ; (2)
Gangguan mekanisme fisiologis antikoagulasi (misal, penekanan sistem anti-trombin
dan protein C sehingga tidak dapat mengimbangi pembentukan trombin) ; (3)
gangguan degradasi fibrin akibat penekanan sistem fibrinolisis. Hal ini terutama
disebabkan oleh tingginya kadar plasminogen activator inhibitor tipe 1 (PAI-1) yang
beredar di sirkulasi, namun pada beberapa bentuk khusus DIC, fungsi fibrinolisis
dapat meningkat sehingga menyebabkan perdarahan ;(4) aktivasi inflamasi 13,14.
Gambaran klinis umum meliputi : demam, hipotensi, asidosis, hipoksia dan
proteinuria. Pada sebuah studi yang melibatkan 118 pasien didapatkan gambaran
utama yang terjadi pada pasien-pasien DIC antara lain: (1) perdarahan (64%), dapat
berasal dari gusi, saluran cerna, luka bekas operasi maupun rongga serosa paska
operasi, petechiae, ekimosis, epistaksis, hematoma, purpura, perdarahan dari
kateter intra vena maupun kateter urin (hematuri); (2) gangguan fungsi ginjal (25%) ;
(3) gangguan fungsi hati (19%) ; (4) gangguan pernafasan (16%) ; (5) Syok (14%) ;
(6) gangguan susunan saraf pusat (2%) 13.
Diagnosis AKI stage II pada pasien di tegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
kreatinin dan urine output. Pada pemeriksaan kreatinin awal cukup tinggi 2,2 mg/dL.
Pada urine ouput awal < 0.5 / kg BB/ jam dan berlangsung > 12 jam 14.
AKI pada pasien sepsis yang dirawat biasanya berada dalam kondisi klinis
yang lebih kritis. Mereka mempunyai risiko kematian yang lebih tinggi, hari
perawatan yang lebih lama dan biaya yang jauh lebih besar, terutama bila disertai
dengan kegagalan organ multipel. Menurut Schrier dan Wang, kematian pasien AKI
dengan sepsis jauh lebih tinggi (70%) jika dibandingkan dengan pasien AKI tanpa
sepsis (45 %)14,15.
Terapi antibiotik intravena harus diberikan sesegera mungkin. Pedoman
pemberian antibiotic sebaiknya berdasarkan pola infeksi spesifik dan resistensi lokal
rumah sakit. Beberapa panduan (guidelines) menyarankan pada kolangitis akut ringan
sebaiknya pemberian jangka pendek 2-3 hari dengan sefalosporin generasi pertama
atau kedua, penisilin dan inhibitor β laktamase.
34
Sedangkan kolangitis sedang sampai berat sebaiknya pemberian antibiotic
minimal 5-7 hari dengan sefalosporin generasi ketiga atau keempat, nonbaktam
dengan atau tanpa metronidazol untuk kuman anaerob, atau karbapenem. Mortalitas
dari cholangitis tinggi karena predisposisinya pada penderita dengan penyakit
penyerta yang lain.Pada zaman dahulu, tingkat mortalitasnya mencapai 100%.
Dengan ditemukannya Endoscopic Retrograde Cholangiography,
sphincterotomy terapeutik secara endoskopik, ekstraksi batu dan stenting bilier,
tingkat mortalitas telah menurun sampai kira-kira 5-10%.10,11,12.
35
DAFTAR PUSTAKA
36
9. Okamoto K, Takada T, Strasberg SM, Solomkin JS, Pitt HA, Garden OJ. TG13
management bundles for acute cholangitis and cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat
Sci. 2013;20:55–59
10. Takada T, Strasberg SM, Solomkin JS, Pitt HA, Gomi H, Yoshida M, Mayumi T.
TG13: Updated Tokyo Guidelines for the management of acute cholangitis and
cholecystitis. J Hepatobiliary Pancreat Sci. 2013;20:1–7.
11. Kiriyama S, Takada T, Strasberg SM, Solomkin JS, Mayumi T, Pitt HA,et al. TG13
Diagnostic criteria and severity grading of acute cholangitis. Tokyo Guidline. J
Hepatobiliary Pancreat Sci. 2013;20:24-34.
37
38
39