Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN KASUS RADIOLOGI

“Seorang perempuan dengan Cholelitiasis”

Diajukan untuk
Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik dan Melengkapi Salah Satu
Syarat Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Radiologi
Di RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO KOTA SEMARANG
HALAMAN JUDUL

Disusun oleh :
Koko Agung Tri Wibowo
30101307221

Pembimbing :
dr. Luh Putu Endyah Santi Maryani, Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI


RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO KOTA SEMARANG
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
PERIODE 13 AGUSTUS - 8 SEPTEMBER 2018

i
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Koko Agung Tri Wibowo


NIM : 30101307221
Fakultas : Kedokteran Umum
Universitas : Universitas Islam Sultan Agung
Bagian : Ilmu Radiologi
Judul Laporan Kasus : Seorang perempuan dengan Cholelitiasis
Diajukan : Agustus 2018
Pembimbing : dr. Luh Putu Endyah Santi Maryani, Sp. Rad

Telah diperiksa dan disahkan tanggal: ...........................................

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Luh Putu Endyah Santi M., Sp. Rad

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia yang telah diberikan
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul “Seorang
perempuan dengan Cholelitiasis disertai Calculous Cholecystisis “guna memenuhi
salah satu persyaratan dalam menempuh kepaniteraan klinik bagian Ilmu Radiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung Semarang di RSUD K.R.M.T
Wongsonegoro Kota Semarang periode 13 Agustus – 9 September 2018.
Penulis sangat bersyukur atas keberhasilan penyusunan laporan kasus
ini.Hal ini tidak terlepas dari dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Luh Putu Endyah Santi Maryani, Sp. Rad
2. dr. Oktina Rachmi Dachliana, Sp.Rad
3. dr. Lia Sasdesi Mangiri, Sp.Rad
4. Seluruh staff instalasi radiologi RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota
Semarang
5. Rekan-rekan anggota kepaniteraan klinik ilmu Radiologi.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran bersifat membangun dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan.Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan segala pihak yang telah membantu.Semoga laporan kasus ini dapat
bermanfaat bagi penulis sendiri maupun pembaca.

Semarang, Agustus 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 3
2.1. Anatomi Kandung Empedu ............................................................. 3
2.2. Fisiologi Kandung Empedu ............................................................. 6
2.3. Kolelitiasis ....................................................................................... 8
2.3.1. Definisi .................................................................................. 8
2.3.2. Etiologi .................................................................................. 9
2.3.3. Patofisiologi ........................................................................... 10
2.3.4. Manifestasi Klinis .................................................................. 13
2.3.5. Diagnosis ............................................................................... 16
2.3.6. Penatalaksanaan ..................................................................... 18
2.4. Kolesistitis ....................................................................................... 19
2.4.1. Definisi .................................................................................. 19
2.4.2. Patogenesis ............................................................................ 20
2.4.3. Diagnosis Banding ................................................................. 21
2.4.4. Diagnosis ............................................................................... 21
2.4.5. Komplikasi............................................................................. 24
2.4.6. Penatalaksanaan ..................................................................... 25
2.4.7. Prognosis ............................................................................... 27
BAB III LAPORAN KASUS............................................................................. 29
3.1. Identitas Pasien ................................................................................ 29
3.2. Anamnesis ....................................................................................... 29
3.3. Pemeriksaan Fisik ........................................................................... 31
3.4. Pemeriksaan Penunjang................................................................... 34
3.5. Diagnosis dan Diagnosis Banding................................................... 40
3.6. Penatalaksanaan .............................................................................. 40
3.7. Prognosis ......................................................................................... 41
BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................. 42
BAB V DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 43

iv
BAB I
PENDAHULUAN
Kolelitiasis atau batu empedu pada hakekatnya merupakan endapan satu
atau lebih komponen empedu (kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium dan
protein1. Kolelitiasis (kalkuli atau batu empedu) biasanya di bentuk dalam kadung
empedu dari bahan-bahan padat empedu. Berdasarkan bentuk, ukuran, dan
komposisinya ada dua jenis utama batu empedu : batu pigmen yang terdiri atas
pigmen empedu tak jenuh yang jumlahnya berlebihan, dan batu kolestrol, yang
merupakan bentuk paling umum. Faktor-faktor resiko pada batu empedu termasuk
sirosis, hemolisis, dan infeksi percabangan saluran empedu faktor-faktor resiko
untuk batu kolestrol termasuk kontrasepsi oral, estrogen, dan klofibrat. Wanita
mengalami batu kolesterol dan penyakit kandung empedu empat kali lebih sering
di banding pria : biasanya di atas 40 tahun, multi para, dan obesitas. Kolelitiasis
dapat terjadi di dalam kandung empedu atau saluran empedu (duktus koledokus)
atau keduanya.
Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi kandung empedu dengan/atau tanpa
adanya batu, akibat infeksi bacterial. Faktor yang mempengaruhi terjadinya
kolesistitis akut yaitu statis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding
kandung empedu. Kuman yang tersering menyebabnya kolesistitis akut yaitu
E.coli, strep. Fecalis, klebsiella, anaerob (bacteroides dan clostridia), kuman akan
mendekonjugasi garam empedu sehingga menghasilkan asam empedu toksik yang
merusak mukosa. Di Amerika 10-20% penduduknya menderita kolelitiasis (batu
empedu) dan sepertiganya juga menderita kolesistitis akut. Penyakit ini lebih sering
terjadi pada wanita, usia tua dan lebih sering terjadi pada orang kulit putih. Pada
wanita, terutama pada wanita-wanita hamil dan yang mengkonsumsi obat-obatan
hormonal, insidensi kolesistitis akut lebih sering terjadi. Beberapa teori mengatakan
hal ini berkaitan dengan kadar progesteron yang tinggi yang menyebabkan stasis
aliran kandung empedu. Di Indonesia, walaupun belum ada data epidemiologis
penduduk, insidensi kolesistitis dan kolelithiasis relatif lebih rendah dibandingkan
dengan negara-negara barat1,2,3.

1
Gejala dari kolesistitis diantaranya nyeri epigastrium atau perut kanan atas
yang dapat menjalar ke daerah pundak sampai scapula kanan dan disertai demam.
Penjalaran dapat ke sisi kiri sehingga menstimulasi angina pektoris. Nyeri timbul
dipresipitasi oleh makanan berlemak dan palpasi abdomen. Pasien juga mengalami
anoreksia dan sering mual 4.
Pada kasus ini akan dibahas mengenai Seorang perempuan dengan
Cholelitiasis, dengan harapan dapat menambah informasi tentang imejing
kolesistitis dan penyakit ginjal kronis sehingga dapat membantu dalam
mendiagnosisnya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Kandung Empedu

Gambar 1. Anatomi kandung empedu dan saluran bilier7


Kandung empedu adalah sebuah kantung berbentuk seperti buah pir, yang
terletak pada permukaan inferior dari hati pada garis yang memisahkan lobus
kanan dan kiri, yang disebut dengan fossa kandung empedu. Ukuran kandung
empedu pada orang dewasa adalah 7cm hingga 10 cm dengan kapasitas lebih
kurang 30mL. Kandung empedu menempel pada hati oleh jaringan ikat
longgar, yang mengandung vena dan saluran limfatik yang menghubungkan
kandung empedu dengan hati. Saluran biliaris dimulai dari kanalikulus
hepatosit, yang kemudian menuju ke duktus biliaris. Duktus yang besar
bergabung dengan duktus hepatikus kanan dan kiri, yang akan bermuara ke
duktus hepatikus komunis di porta hepatis. Ketika duktus sistika dari kandung
empedu bergabung dengan duktus hepatikus komunis, maka terbentuklah

3
duktus biliaris komunis. Duktus biliaris komunis secara umum memiliki
panjang 8 cm dan diameter 0.5-0.9 cm, melewati duodenum menuju pangkal
pankreas, dan kemudian menuju ampula Vateri8.

Gambar 2. Anatomi kandung empedu9


Kandung empedu terdiri dari fundus, korpus, infundibulum, dan kolum.
Fundus mempunyai bentuk bulat dengan ujung yang buntu. Korpus merupakan
bagian terbesar dari kandung empedu yang sebagian besar menempel dan
tertanam didalam jaringan hati sedangkan Kolum adalah bagian sempit dari
kandung empedu10,11.
Kandung empedu tertutup seluruhnya oleh peritoneum viseral, tetapi
infundibulum kandung empedu tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh lapisan
peritoneum. Apabila kandung empedu mengalami distensi akibat bendungan
oleh batu, bagian infundibulum menonjol seperti kantong yang disebut
kantong Hartmann12.

4
Duktus sistikus memiliki panjang yang bervariasi hingga 3 cm dengan
diameter antara 1-3 mm. Dinding lumennya terdapat katup berbentuk spiral
yang disebut katup spiral Heister dimana katup tersebut mengatur cairan
empedu mengalir masuk ke dalam kandung empedu, akan tetapi dapat
menahan aliran cairan empedu keluar. Duktus sistikus bergabung dengan
duktus hepatikus komunis membentuk duktus biliaris komunis10,12.
Duktus hepatikus komunis memiliki panjang kurang lebih 2,5 cm
merupakan penyatuan dari duktus hepatikus kanan dan duktus hepatikus kiri.
Selanjutnya penyatuan antara duktus sistikus dengan duktus hepatikus
komunis disebut sebagai common bile duct (duktus koledokus) yang memiliki
panjang sekitar 7 cm. Pertemuan (muara) duktus koledokus ke dalam
duodenum, disebut choledochoduodenal junction. Duktus koledokus berjalan
di belakang duodenum menembus jaringan pankreas dan dinding duodenum
membentuk papila vater yang terletak di sebelah medial dinding duodenum.
Ujung distalnya dikelilingi oleh otot sfingter oddi yang mengatur aliran
empedu masuk ke dalam duodenum. Duktus pankreatikus umumnya bermuara
ditempat yang sama dengan duktus koledokus di dalam papila vater, tetapi
dapat juga terpisah10,12.
Suplai darah ke kandung empedu biasanya berasal dari arteri sistika yang
berasal dari arteri hepatikus kanan.Asal arteri sistika dapat bervariasi pada tiap
tiap orang, namun 95 % berasal dari arteri hepatik kanan. Aliran vena pada
kandung empedu biasanya melalui hubungan antara vena vena kecil. Vena-
vena ini melalui permukaan kandung empedu langsung ke hati dan bergabung
dengan vena kolateral dari saluran empedu bersama dan akhirnya menuju vena
portal. Aliran limfatik dari kandung empedu menyerupai aliran venanya.
Cairan limfa mengalir dari kandung empedu ke hati dan menuju duktus sistika
dan masuk ke sebuah nodus atau sekelompok nodus. Dari nodus ini cairan
limfa pada akhinya akan masuk ke nodus pada vena portal. Kandung empedu
diinervasi oleh cabang dari saraf simpatetik dan parasimpatetik, yang melewati
pleksus seliaka. Saraf preganglionik simpatetik berasal dari T8 dan T9. Saraf
postganglionik simpatetik berasal dari pleksus seliaka dan berjalan bersama

5
dengan arteri hepatik dan vena portal menuju kandung empedu. Saraf
parasimpatetik berasal dari cabang nervus vagus9.

Gambar 3. Vaskularisasi kandung empedu (a) arteri hepatika kanan


(b) arteri koledokus kanan (c) arteri retroduodenal (d) cabang kiri arteri
hepatika (e) arteri hepatika (f) arteri koledokus kiri (g) arteri hepatika
komunis (h) arteri gasroduodenal10.

2.2. Fisiologi Kandung Empedu


Fungsi dari kandung empedu adalah sebagai reservoir (wadah) dari cairan
empedu sedangkan fungsi primer dari kandung empedu adalah memekatkan
empedu dengan absorpsi air dan natrium11. Empedu diproduksi oleh sel
hepatosit sebanyak 500-1000 ml/hari. Dalam keadaan puasa, empedu yang
diproduksi akan dialirkan ke dalam kandung empedu dan akan mengalami
pemekatan 50%. Setelah makan, kandung empedu akan berkontraksi, sfingter
akan mengalami relaksasi kemudian empedu mengalir ke dalam duodenum.
Sewaktu-waktu aliran tersebut dapat disemprotkan secara intermiten karena
6
tekanan saluran empedu lebih tinggi daripada tahanan sfingter. Aliran cairan
empedu diatur oleh tiga faktor yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi
kandung empedu, dan tahanan dari sfingter koledokus10,12.
Menurut Guyton & Hall13 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :
 Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak,
karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu
membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi
partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan
dalam getah pankreas, asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk
akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.
 Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk
buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir
dari penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh
sel- sel hati.
Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon kolesistokinin,
hal ini terjadi ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30 menit
setelah makan. Dasar yang menyebabkan pengosongan adalah kontraksi ritmik
dinding kandung empedu, tetapi efektifitas pengosongan juga membutuhkan
relaksasi yang bersamaan dari sfingter oddi yang menjaga pintu keluar duktus
biliaris komunis kedalam duodenum. Selain kolesistokinin, kandung empedu
juga dirangsang kuat oleh serat-serat saraf yang mensekresi asetilkolin dari
sistem saraf vagus dan enterik. Kandung empedu mengosongkan simpanan
empedu pekatnya ke dalam duodenum terutama sebagai respon terhadap
perangsangan kolesistokinin. Saat lemak tidak terdapat dalam makanan,
pengosongan kandung empedu berlangsung buruk, tetapi bila terdapat jumlah
lemak yang adekuat dalam makanan, normalnya kandung empedu kosong
secara menyeluruh dalam waktu sekitar 1 jam. Garam empedu, lesitin, dan
kolesterol merupakan komponen terbesar (90%) cairan empedu. Sisanya
adalah bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik. Garam empedu adalah
steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal dari kolesterol. Pengaturan

7
produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik yang dapat ditingkatkan
sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan11.
2.3. Kolelitiasis
2.3.1. Definisi
Kolelitiasis atau batu empedu pada hakekatnya merupakan endapan
satu atau lebih komponen empedu (kolesterol, bilirubin, garam empedu,
kalsium dan protein1,8,10.

Kolelitiasis (kalkuli atau batu empedu) biasanya di bentuk dalam


kadung empedu dari bahan-bahan padat empedu dalam hal bentuk, ukuran, dan
komposisinya ada dua jenis utama batu empedu : batu pigmen yang terdiri atas
pigmen empedu tak jenuh yang jumlahnya berlebihan, dan batu kolestrol, yang
merupakan bentuk paling umum. Faktor-faktor resiko pada batu empedu
termasuk sirosis, hemolisis, dan infeksi percabangan saluran empedu faktor-
faktor resiko untuk batu kolestrol termasuk kontrasepsi oral, estrogen, dan
klofibrat. Wanita mengalami batu kolesterol dan penyakit kandung empedu
empat kali lebih sering di banding pria : biasanya di atas 40 tahun, multi para,
dan obesitas1,10.

Kolelitiasis adalah material atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk


dalam kandung empedu. Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran dari
kolesterol, pigmen empedu, kalsium dan matriks inorganik10. Kolelitiasis
adalah adanya batu yang terdapat di dalam kandung empedu atau saluran
empedu (duktus koledokus) atau keduanya.

8
Gambar 4. Batu Empedu9

2.3.2. Etiologi
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti, adapun faktor
predisposisi terpenting, yaitu : gangguan metabolisme yang menyebabkan
terjadinya perubahan komposisi empedu, statis empedu, dan infeksi kandung
empedu.

Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor


terpenting dalam pembentukan batu empedu karena hati penderita batu
empedu kolesterol mengekskresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol.
Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu (dengan
cara yang belum diketahui sepenuhnya) untuk membentuk batu empedu10.

Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan


supersaturasi progresif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur-
unsur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme
spingteroddi, atau keduanya dapat menyebabkan statis. Faktor hormonal
(hormon kolesistokinin dan sekretin) dapat dikaitkan dengan keterlambatan
pengosongan kandung empedu8.

Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam


pembentukan batu. Mukus meningkatkan viskositas empedu dan unsur sel atau
bakteri dapat berperan sebagai pusat presipitasi/ pengendapan. Infeksi lebih

9
timbul akibat dari terbentuknya batu, dibanding penyebab terbentuknya
batu8,10.

2.3.3. Patofisiologi
Seperti telah disebutkan sebelumnya, sembilan puluh persen kasus
kolesistitis melibatkan batu di saluran sistikus (kolesistitis kalkulus), dan 10%
sisanya merupakan kasus kolesistitis akalkulus. Faktor yang mempengaruhi
timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis cairan empedu, infeksi
kuman dan iskemia dinding kandung empedu. Kolesistitis kalkulus akut
disebabkan oleh tersumbatnya duktus sistikus hingga menyebabkan distensi
kandung empedu18.

Biasanya sumbatan ini adalah disebabkan adanya batu empedu yang


mempunyai 2 tipe yaitu batu kolesterol dan batu pigmen. Pada batu kolesterol,
empedu yang disupersaturasi dengan kolesterol dilarutkan dalam daerah
hidrofobik micelle, kemudian terjadinya kristalisasi dan akhirnya prepitasi
lamellar kolesterol dan senyawa lain membentuk matriks batu. Pada batu
pigmen, ada dua bentuk yakni batu pigmen murni dan batu kalsium bilirubinat.
Batu pigmen murni lebih kecil, sangat keras dan penampilannya hijau sampai
hitam. Proses terjadinya batu ini berhubungan dengan sekresi pigmen dalam
jumlah yang meningkat atau pembentukan pigmen abnormal yang mengendap
di dalam empedu. Sirosis dan statis biliaris merupakan predisposisi
pembentukan batu pigmen18.

Batu empedu yang mengobstruksi duktus sistikus menyebabkan cairan


empedu menjadi stasis dan kental, kolesterol dan lesitin menjadi pekat dan
seterusnya akan merusak mukosa kandung empedu diikuti reaksi inflamasi
atau peradangan dan supurasi. Seiring membesarnya ukuran kantong empedu,
aliran darah dan drainase limfatik menjadi terganggu hingga menyebabkan
terjadinya di dinding kandung empedu iskemia, nekrosis mukosa dan jika lebih
berat terjadinya ruptur18.

10
Sementara itu, mekanisme yang akurat dari kolesistitis akalkulus
tidaklah jelas, namun beberapa teori mencoba menjelaskan. Radang mungkin
terjadi akibat kondisi dipertahankannya konsentrat empedu, zat yang sangat
berbahaya, di kandung empedu, pada keadaan tertentu. Misalnya pada kondisi
puasa berkepanjangan, kantong empedu tidak pernah menerima stimulus dari
kolesistokinin (CCK) untuk mengosongkan isinya, dengan demikian, empedu
terkonsentrasi dan tetap stagnan di lumen18,19

Gambar 5. Kolesistitis Akut yang disebabkan oleh batu empedu18


Batu empedu terjadi karena adanya zat tertentu dalam empedu yang
hadir dalam konsentrasi yang mendekati batas kelarutan mereka. Bila empedu
terkonsentrasi di dalam kandung empedu, larutan akan berubah menjadi jenuh
dengan bahan-bahan tersebut, kemudian endapan dari larutan akan membentuk
Kristal mikroskopis. Kristal terperangkap dalam mukosa bilier, akan
menghasilkan suatu endapan. Oklusi dari saluran oleh endapan dan batu
menghasilkan komplikasi penyakit batu empedu20.

Pada kondisi normal kolesterol tidak mengendap di empedu karena


mengandung garam empedu terkonjugasi dan lesitin dalam jumlah cukup agar
kolesterol berada di dalam larutan misel. Jika rasio konsentrasi kolesterol
berbanding garam empedu dan lesitin meningkat, maka larutan misel menjadi
sangat jenuh. Kondisi yang sangat jenuh ini mungkin karena hati memproduksi

11
kolesterol dalam bentuk konsentrasi tinggi. Zat ini kemudian mengendap pada
lingkungan cairan dalam bentuk kristal kolesterol20.

Bilirubin, pigmen kuning yang berasal dari pemecahan heme, secara


aktif disekresi ke dalam empedu oleh hati. Sebagian besar bilirubin di dalam
empedu berada dalam bentuk konjugat glukoronida yang larut dalam air dan
stabil, tetapi sebagian kecil terdiri dari bilirubin tak terkonjugasi. Bilirubin tak
terkonjugasi, seperti lemak, fosfat, karbonat, dan anion lainnya cenderung
untuk membentuk presipitat tak larut dengan kalsium. Kalsium memasuki
empedu secara pasif bersama dengan elektrolit lain. Dalam situasi pergantian
heme tinggi, seperti hemolisis kronis atau sirosis, bilirubin tak terkonjugasi
mungkin berada dalam empedu pada konsentrasi yang lebih tinggi dari
biasanya. Kalsium bilirubinat mungkin kemudian mengkristal dari larutan dan
akhirnya membentuk batu pigmen hitam20.

Empedu yang biasanya steril, tetapi dalam beberapa kondisi yang tidak
biasa (misalnya ada striktur bilier), mungkin terkolonisasi dengan bakteri.
Bakteri menghidrolisis bilirubin terkonjugasi dari hasil peningkatan bilirubin
tak terkonjugasi dapat menyebabkan presipitasi terbentuknya kristal kalsium
bilirubinat, bakteri hidrolisis lesitin menyebabkan pelepasan asam lemak yang
komplek dengan kalsium dan endapan dari larutan lain. Konkresi yang
dihasilkan memiliki konsistensi disebut batu pigmen coklat20.

Batu empedu kolesterol dapat terkoloni dengan bakteri dan dapat


menimbulkan peradangan mukosa kandung empedu. Enzim dari bakteri dan
leukosit menghidrolisis bilirubin konjugasi dan asam lemak. Akibatnya, dari
waktu ke waktu, batu kolesterol bisa mengumpulkan proporsi kalsium
bilirubinat dan garam kalsium, lalu menghasilkan campuran batu empedu20.

Kondisi batu kandung empedu memberikan berbagai manifestasi


keluhan pada pasien dan menimbulkan berbagai masalah keperawatan. Jika
terdapat batu empedu yang menyumbat duktus sistikus dan biliaris komunis
untuk sementara waktu, tekanan di duktus biliaris akan meningkat dan

12
peningkatan peristaltik di tempat penyumbatan mengakibatkan nyeri visera di
daerah epigastrum, mungkin dengan penjalaran ke punggung. Respon nyeri,
gangguan gastrointestinal dan anoreksia akan meningkatkan penurunan intake
nutrisi20.

Respon komplikasi akut dengan peradangan akan memberikan


manifestasi peningkatan suhu tubuh. Respon kolik bilier secara kronis akan
meningkatkan kebutuhan metabolisme sehingga pasien cenderung mengalami
kelelahan. Respon adanya batu akan dilakukan intervensi medis pembedahan,
intervensi litotripsi atau intervensi endoskopi20.

2.3.4. Manifestasi Klinis


1. Kolik Billier
Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung
empedu akan mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan
menderita panas dan mungkin teraba massa padat pada abdomen.
Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada
abdomen kuadran kanan atas yang menjalar ke punggung atau bahu
kanan; rasa nyeri ini biasanya disertai mual dan muntah dan
bertambah hebat dalam makan makanan dalam porsi besar. Pada
sebagian pasien rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan persisten.
Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan kontraksi kandung
empedu yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat
tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam keadaan distensi, bagian
fundus kandung empedu akan menyentuh dinding abdomen pada
daerah kartilago kosta 9 dan 10 kanan. Sentuhan ini menimbulkan
nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika pasien
melakukan inspirasi dalam dan menghambat pengembangan rongga
dada 10,21.
2. Ikterus
Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam dudodenum akan
menimbulkan gejala yang khas, yaitu: gatah empedu yang tidak lagi

13
dibawa ke dalam duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan
empedu ini membuat kulit dan membran mukosa berwarna
kuning10,21.
3. Defisiensi vitamin
Obstruksi aliran empedu juga akan mengganggu absorbsi
vitamin A, D, E, K yang larut lemak. Karena itu pasien dapat
memperlihatkan gejala defisiensi vitamin-vitamin ini jika obstruksi
bilier berlangsung lama. Defisiensi vitamin K dapat mengganggu
pembekuan darah yang normal10,21.
4. Kolesistitis Akut
Sebagian besar (90-95%) kasus kolesistitis akut disertai
kolelitiasis dan keadaan ini timbul akibat obstruksi duktus sistikus
yang menyebabkan peradangan organ tersebut. Respon peradangan
dapat dicetuskan tiga faktor yaitu: a) inflamasi mekanik yang
dicetuskan oleh kenaikan tekanan intra lumen dan distensi
menyebabkan iskemia mukosa dan dinding kandung empedu, b)
inflamasi kimiawi akibat pelepasan lesitin, c) inflamasi bakteri yang
memegang peran pada sebagian besar pasien dengan kolesititis akut.
Pasien dianggap menderita kolesistitis akut jika mereka
memiliki kriteria berikut21.
1. Nyeri akut region hypochondria kanan dan / atau nyeri epigastric
durasi > 8-12 jam.

2. Nyeri tekan/ teraba massa di kuadran kanan atas.

3. Peningkatan suhu (> 37.50C) dan / atau leukositosis (> 10x109 /


L).

4. Bukti kolesistitis akut pada ultrasonografi.

5. Koledokolitiasis dan Kolangitis


Batu kandung empedu dapat bermigrasi masuk ke duktus
koledokus melalui duktus sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau

14
batu empedu dapat juga terbentuk dalam saluran empedu
(koledokolitiasis primer). Gambaran klinis koledokolitiasis
didominasi penyulitnya seperti ikterus obstruksif, kolangitis dan
pankreatitis. Tujuh puluh empat pasien dengan koledokolitiasis
simtomatik memperlihatkan bahwa nyeri dan ikterus merupakan
gejala utama10,21.
6. Kolesistolitiasis
Kolesistolitiasis atau kolesistitis kalkulosus yaitu adanya batu
di dalam kandung empedu yang biasanya disertai proses inflamasi.
Batu empedu yang terdapat di dalam kandung empedu dapat
memberikan gejala nyeri akut episodik akibat kolesistitis akut, kolik
bilier, rasa tidak nyaman pada perut yang berulang dan kronik akibat
episode berulang dari kolik bilier ringan atau gejala-gejala
dyspepsia. Tertanamnya batu dalam leher kandung empedu diduga
menyebabkan spasme belakang, kandung empedu di daerah kosong
dan nyeri berhenti, dan jika batu tetap berada di leher kandung
empedu akan terjadi nyeri yang terus menerus. Cairan empedu yang
terperangkap akan berubah komposisinya menyebabkan inflamasi
lokal dan menyebabkan rasa nyeri yang menetap beberapa saat, Isi
kandung empedu dapat terinfeksi akibat adanya toksemia yang dapat
menyebabkan empiema, gangren atau perforasi. Kontraksi kandung
empedu akibat batu adalah penjelasan tradisional terhadap post
prandial discomfort, tetapi tidak terdapat hubungan yang jelas
antara gejala ini dengan adanya batu empedu pada populasi umum.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda toksemia,
kuadran kanan atas abdomen secara klasik ditemukan Murphy’s
sign. Pada kasus yang lebih lanjut dapat diraba massa inflamasi
akibat pembengkakan kandung empedu yang dikelilingi oleh
omentum18.

15
2.3.5. Diagnosis

1. Ultrasonografi (USG)

Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas


yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran
saluran empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG
juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena
fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab
lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit
dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG
punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang
ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.

Gambar 6. USG batu empedu22

16
2. CT-Scan
Metode ini juga merupakan pemeriksaan yang akurat untuk
menentukan adanya batu empedu, pelebaran saluran empedu dan
koledokolitiasis.

Gambar 7. CT scan abdomen22.

3. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography)


Yaitu sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus
koledukus dan duktus pancreatikus, kemudian bahan kontras
disuntikkan ke dalam duktus tersebut. Fungsi ERCP ini
memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier dan memudahkan
akses ke dalam duktus koledukus bagian distal untuk mengambil
batu empedu, selain itu ERCP berfungsi untuk membedakan ikterus
yang disebabkan oleh penyakit hati (ikterus hepatoseluler dengan
ikterus yang disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga dapat
digunakan untuk menyelidiki gejala gastrointestinal pada pasien-
pasien yang kandung empedunya sudah diangkat.

17
Gambar 8. ERCP 22.

Ultrasonografi (USG) merupakan modalitas penunjang yang


murah, tidak invasif, aman dan tersedia dengan potensi sangat akurat
untuk pencitraan pada pasien suspect cholelithiasis (Raymond,
2007). Pemeriksaan ultrasonografi pada perut kanan atas merupakan
suatu metode pilihan untuk mendiagnosis cholelithiasis. Tingkat
sensitivitasnya lebih dari 95% untukmendeteksi cholelithiasis
dengan diameter 1,5 mm atau lebih 23.
2.3.6. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan non bedah 21:
a. Penatalaksanaan pendukung dan diet
80% dari pasien inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan
istirahat, cairan infus, pengisapan nasogastrik, analgesik dan
antibiotik. Diit yang dianjurkan adalah tinggi protein dan
karbohidrat.
b. Farmakoterapi
Asam ursodeoksikolat (urdafalk) dan kenodeoksikolat
(chenodial, chenofalk). Fungsinya untuk menghambat sintesis
kolesterol dalam hati dan sekresinya dan tidak desaturasi getah
empedu.
c. Pengangkatan batu empedu tanpa pembedahan

18
Pengangkatan batu empedu : menginfuskan bahan pelarut
(monooktanoin atau metil tertier butil eter (MTBE) ke dalam
kandung empedu.
Pengangkatan non bedah : dengan lewat saluran T-tube dan
dengan alat jaring untuk memegang dan menarik keluar batuyang
terjepit dalam duktus koleduktus.
d. Extracorporal shock-wave lithotripsy (ESWL) : gelombang kejut
berulang yang diarahkan kepada batu empedu yang
gelombangnya dihasilkan dalam media cairan oleh percikan
listrik.
Efek samping : petekia kulit dan hematuria mikroskopis
2. Penatalaksanaan bedah 21 :
a. Kolesistektomi : paling sering digunakan atau dilakukan :
kandung empedu diangkat setelah arteri dan duktus sistikus
diligasi.
b. Minikolesistektomi : mengeluarkan kandung empedu lewat luka
insisi selebar 4 cm.
c. Kolesistektomi laparoskopik (endoskopik) : lewat luka insisi
kecil melalui dinding abdomen pada umbilikus.
d. Koledokostomi : insisi lewat duktus koledokus untuk
mengeluarkian batu empedu.
2.4. Kolesistitis
2.4.1. Definisi
Kolesistitis adalah radang dinding kandung empedu yang disertai
keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan demam. Berdasarkan
etiologinya, kolesistitis dapat dibagi menjadi:

1. Kolesistitis kalkulus, yaitu kolesistitis yang disebabkan batu kandung


empedu yang berada di duktus sistikus.
2. Kolesistitis akalkulus, yaitu kolesistits tanpa adanya batu empedu.

19
Berdasarkan onsetnya, kolesistitis dibagi menjadi kolesistitis akut dan
kolesistitis kronik. Pembagian ini juga berhubungan dengan gejala yang timbul
pada kolesistitis akut dan kronik. Pada kolesistitis akut, terjadi inflamasi akut
pada kandung empedu dengan gejala yang lebih nyata seperti nyeri perut kanan
atas, nyeri tekan dan demam. Sedangkan, kolesistitis kronik merupakan
inflamasi pada kandung empedu yang timbul secara perlahan-lahan dan sangat
erat hubungannya dengan litiasis dan gejala yang ditimbulkan sangat minimal
dan tidak menonjol 4.

2.4.2. Patogenesis
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah
stasis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu.
Penyebab utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu (90%) yang
terletak di duktus sistikus yang menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan
sebagian kecil kasus kolesititis (10%) timbul tanpa adanya batu empedu.
Kolesistitis kalkulus akut disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus oleh batu
empedu yang menyebabkan distensi kandung empedu. Akibatnya aliran darah
dan drainase limfatik menurun dan menyebabkan iskemia mukosa dan
nekrosis. Diperkirakan banyak faktor yang berpengaruh seperti kepekatan
cairan empedu, kolesterol, lisolesitin, dan prostaglandin yang merusak lapisan
mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh reaksi inflamasi dan supurasi 14.

Faktor predisposisi terbentuknya batu empedu adalah perubahan


susunan empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung empedu. Perubahan
susunan empedu mungkin merupakan faktor terpenting pada pembentukan
batu empedu. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa hati penderita batu
kolesterol mensekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol
yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu dengan cara yang
belum dimengerti sepenuhnya. Stasis empedu dapat mengakibatkan
supersaturasi progresif, perubahan susunan kimia dan pengendapan unsur
tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme sfingter Oddi atau
keduanya dapat menyebabkan stasis. Faktor hormonal terutama pada

20
kehamilan dapat dikaitkan dengan pengosongan kandung empedu yang lebih
lambat. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam
pembentukan batu, melalui peningkatan deskuamasi sel dan pembentukan
mukus. Akan tetapi, infeksi mungkin lebih sering sebagai akibat adanya batu
empedu daripada menjadi penyebab terbentuknya batu empedu 14.

2.4.3. Diagnosis Banding


Diagnosis banding untuk nyeri perut kanan atas yang tiba-tiba, perlu
dipikirkan seperti penjalaran nyeri saraf spinal, kelainan organ di bawah
diafragma seperti appendiks yang retrosekal, Angina pektoris, infark miokard
akut, apendisitis akut, retrosaekal, tukak peptic perforasi, pankreatitis akut,
obstruksi intestinal 1.

2.4.4. Diagnosis
Pasien kolesistitis akut memiliki riwayat nyeri hebat pada abdomen
bagian atas yang bertahan dalam beberapa jam hingga akhirnya mereka
mencari pertolongan ke unit gawat darurat lokal. Secara umum, pasien
kolesistitis akut juga sering merasa mual dan muntah serta pasien melaporkan
adanya demam. Tanda-tanda iritasi peritoneal juga dapat muncul, dan pada
beberapa pasien menjalar hingga ke bahu kanan atau skapula. Kadang-kadang
nyeri bermula dari regio epigastrium dan kemudian terlokalisisr di kuadran
kanan atas (RUQ). Meskipun nyeri awal dideskripsikan sebagai nyeri kolik,
nyeri ini kemudian akan menetap pada semua kasus kolesistitis. Pada
kolesistitis akalkulus, riwayat penyakit yang didapatkan sangat terbatas.
Seringkali, banyak pasien sangat kesakitan (kemungkinan akibat ventilasi
mekanik) dan tidak bisa menceritakan riwayat atau gejala yang muncul 4.

Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan nyeri tekan di kuadran


kanan atas abdomen, dan seringkali teraba massa atau teraba penuh. Palpasi
kuadran kanan atas saat inspirasi seringkali menyebabkan rasa tidak nyaman
yang berat yang menyebabkan pasien berhenti menghirup napas, hal ini disebut

21
sebagai tanda Murphy positif. Terdapat tanda-tanda peritonitis lokal dan
demam 4.

Dari pemeriksaan laboratorium pada pasien akut kolesistitis, dapat


ditemukan leukositosis serta kemungkinan peninggian serum transaminase dan
fosfatase alkali. Apabila keluhan nyeri bertambah hebat disertai suhu tinggi
dan menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi empiema dan
perforasi kandung empedu perlu dipertimbangkan 4.

Pemeriksaan pencitraan untuk kolesistitis diantaranya adalah


ultrasonografi (USG), computed tomography scanning (CT-scan), skintigrafi
dan magnetic resonance cholangiopancreatography (MRCP) saluran empedu.
Pada USG, dapat ditemukan adanya batu, penebalan dinding kandung empedu
(>3mm), adanya cairan di perikolesistik, dan tanda Murphy positif saat kontak
antara probe USG dengan abdomen kuadran kanan atas. Nilai kepekaan dan
ketepatan USG mencapai 90-95% 15.

Gambar 9. Kiri : gambaran vesika felea normal. Kanan : gambaran


kolesistitis 15

Pemeriksaan CT scan abdomen kurang sensitif dan mahal, tapi mampu


memperlihatkan adanya abses perikolesisitik yang masih kecil yang mungkin
tidak terlihat dengan pemeriksaan USG15.

22
Gambar 10. Pemeriksaan CT scan pada kolesistitis 15.

Skintigrafi saluran empedu mempergunakan zat radioaktif HIDA atau


99m Tc6 Iminodiacetic acid mempunyai kepekaan dan ketepatan yang lebih
rendah daripada USG dan juga lebih rumit untuk dikerjakan. Terlihatnya
gambaran duktus koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu pada
pemeriksaan kolesistografi oral atau skintigrafi sangat menyokong kolesistitis
akut 15

Gambar 11. Koleskintigram normal 15.

23
Gambar 12. Gambaran 99mTc-HIDA scan yang memperlihatkan tidak
adanya pengisian kandung empedu akibat obstruksi duktus sitikus 15

Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Cholangiopancreatography


(MRCP) lebih berguna untuk menvisualisasi saluran pankreas dan saluran
empedu yang terdilatasi 15.

2.4.5. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kolesistitis 1:

 Empiema, terjadi akibat proliferasi bakteri pada kandung empedu


yang tersumbat. Pasien dengan empiema mungkin menunjukkan
reaksi toksin dan ditandai dengan lebih tingginya demam dan
leukositosis. Adanya empiema kadang harus mengubah metode
pembedahan dari secara laparoskopik menjadi kolesistektomi
terbuka.
 Ileus batu kandung empedu, jarang terjadi, namun dapat terjadi pada
batu berukuran besar yang keluar dari kandung empedu dan
menyumbat di ileum terminal atau di duodenum dan atau di pilorus.

24
 Kolesistitis emfisematous, terjadi ± pada 1% kasus dan ditandai
dengan adanya udara di dinding kandung empedu akibat invasi
organisme penghasil gas seperti Escherichia coli, Clostridia
perfringens, dan Klebsiella sp. Komplikasi ini lebih sering terjadi
pada pasien dengan diabetes, lebih sering pada laki-laki, dan pada
kolesistitis akalkulus (28%). Karena tingginya insidensi
terbentuknya gangren dan perforasi, diperlukan kolesitektomi
darurat. Perforasi dapat terjadi pada lebih dari 15% pasien.
 Komplikasi lain diantaranya sepsis dan pankreatitis.

2.4.6. Penatalaksanaan
A. Terapi Konservatif
Walaupun intervensi bedah tetap merupakan terapi utama untuk
kolesistitis akut dan komplikasinya, mungkin diperlukan periode
stabilisasi di rumah sakit sebelum kolesistektomi. Pengobatan umum
termasuk istirahat total, perbaiki status hidrasi pasien, pemberian nutrisi
parenteral, diet ringan, koreksi elektrolit, obat penghilang rasa nyeri
seperti pemberian petidin dan antispasmodic. Pemberian antibiotic pada
fase awal sangat pentig untuk mencegah komplikasi seperti peritonitis,
kolangitis dan septisemia. Golongan ampisilin, sefalosporin dan
metronidazol cukup memadai untuk mematikan kuman-kuman yang
umum terdapat pada kolesistitis akut seperti E. Coli, Strep. Faecalis dan
Klebsiela, namun pada pasien diabetes dan pada pasien yang
memperlihatkan tanda sepsis gram negative, lebih ianjurkan pemberian
antibiotic kombinasi 4.
Berdasarkan rekomendasi Sanford, dapat diberikan
ampisilin/sulbactam dengan dosis 3 gram/6 jam, IV, cephalosporin
generasi ketiga atau metronidazole dengan dosis awal 1 gram, lalu
diberikan 500 mg/6 jam, IV. Pada kasus-kasus yang sudah lanjut dapat
diberikan imipenem 500mg/6 jam, IV. Bila terdapat mual dan muntah
dapat diberikan anti emetic atau dipasang NGT. Pasien-pasien dengan

25
kolesistitis akut tanpa komplikasi yang hendak dipulangkan harus
dipastikan tidak demam dengan tanda-tanda vital yang stabil, tidak
terdapat tanda-tanda bstruksi pada hasil laboratorium dan USG,
penyakit-penyakit lain yang menyertai (seperti diabetes mellitus) telah
terkontrol. Pada saat pulang, pasien diberikan antibiotic yang sesuai
seperti Levofloxacin 1x500mg PO dan Metronidazole 2x500mg PO, anti
emetic dan analgesic yang sesuai 4.
B. Terapi Bedah
Saat kapan dilaksanakan tindakan kolesistektomi masih
diperdebatkan, apakah sebaiknya dilakukan secepatnya (3 hari) atau
ditunggu 6-8 minggu setelah terapi konservatif dan keadaan umum
pasien lebih baik. Sebanyak 50% kasus akan membaik tanpa tindakan
bedah. Ahli bedah yang pro operasi dini menyatakan, timbul gangrene
dan komplikasi kegagalan terapi konservatif dan dihindarkan dan lama
perawatan di rumah sakit menjadi lebih singkat dan biaya dapat ditekan.
Sementara yang tidak setuju menyatakan, operasi dini akan
menyebabkan penyebaran infeksi ke rongga peritoneum dan teknik
operasi lebih sulit karena proses inflamasi akut di sekitar duktus akan
mengaburkan anatomi 16.
Namun, kolesistostomi atau kolesistektomi darurat mungkin perlu
dilakukan pada pasien yang dicurigai atau terbukti mengalami
komplikasi klesistitis akut nonkomplikata, hampir 30% pasien tidak
berespons terhadap terapi medis dan perkembangan penyakit atau
ancaman komplikasi menyebabkan operasi perlu dini dilakukan (dalam
24 sampai 72 jam). Komplikasi teknis pembedahan tidak meningkat pada
pasien yang menjalani kolesistektomi dibi dibanding kolesistektomi yang
tertunda. Penundaan intervensi bedah mungkin sebaiknya dicadangkan
untuk (1) pasien yang kondidi medis keseluruhannya memiliki resiko
besar bila dilakukan operasi segera dan (2) pasien yang diagnosis
kolesistitis akutnya masih meragukan 16.

26
Kontraindikasi untuk tindakan kolesistektomi laparoskopik meliputi:

 Resiko tinggi untuk anestesi umum


 Obesitas
 Adanya tanda-tanda perforasi kandung empedu seperti abses,
peritonitis, atau fistula
 Batu empedu yang besar atau kemungkinan adanya keganasan.
 Penyakit hati stadium akhir dengan hipertensi portal dan koagulopati
yang berat 1.

Pada pasien dengan resiko tinggi untuk dilakukan pembedahan,


drainase perkutaneus dengan menempatkan selang (tube) drainase
kolesistostomi transhepatik dengan bantuan ultrasonografi dan
memasukkan antibiotik ke kandung empedu melalui selang tersebut
dapat menjadi suatu terapi yang definitif. Hasil penelitian menunjukkan
pasien kolesistitis akalkulus cukup diterapi dengan drainase perkutaneus
ini 1.
Selain itu, dapat juga dilakukan terapi dengan metode endoskopi.
Metode endoskopi dapat berfungsi untuk diagnosis dan terapi.
Pemeriksaan endoscopic retrograde cholangiopancreatography dapat
memperlihatkan anatomi kandung empedu secara jelas dan sekaligus
terapi dengan mengeluarkan batu dari duktus biliaris. Endoscopic
ultrasound-guided transmural cholecystostomy adalah metode yang
aman dan cukup baik dalam terapi pasien kolesistitis akut yang memiliki
resiko tinggi pembedahan. Pada penelitian tentang endoscopic
gallbladder drainage yang dilakukan oleh Mutignani et al, pada 35
pasien kolesistitis akut, menunjukkan keberhasilan terapi ini secara
teknis pada 29 pasien dan secara klinis setelah 3 hari pada 24 pasien 1.
2.4.7. Prognosis
Penyembuhan spontan didapatkan pada 85% kasus, sekalipun
kandung empedu menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu dan tidak
berfungsi lagi. Tidak jarang menjadi kolesistitis rekuren. Kadang-kadang

27
kolesistitis akut berkembang menjadi gangren, empiema dan perforasi
kandung empedu, fistel, abses hati atau peritonitis umum secara cepat.
Hal ini dapat dicegah dengan pemberian antibiotik yang adekuat pada
awal serangan. Tindakan bedah akut pada pasien usia tua (>75 tahun)
mempunyai prognosis yang jelek di samping kemungkinan banyak
timbul komplikasi pasca bedah 4.

28
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Penderita


Nama : Ny. A
Usia : 37 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Pedurungan Kidul, Semarang
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Status : Rawat Inap
Ruang : Nakula 1
Tanggal masuk : 13 Agustus 2018
No.RM : 274***
3.2. Anamnesis
Anamnesis pada pasien dilakukan pada tanggal 14 Agustus 2018, pukul 15.30
WIB di kamar rawat inap Ruang Nakula 1 RSUD K.R.M.T Wongsonegoro
Kota Semarang dan didukung dengan catatan medis.
 Keluhan Utama :
Nyeri perut kanan atas
 Riwayat penyakit sekarang:

Pasien datang ke IGD RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota


Semarang pada tanggal 30 Agustus 2018 pukul 19.00 WIB dengan
keluhan nyeri perut kanan atas sejak 6 hari SMRS. Nyeri dirasakan tiba-
tiba dan menetap dengan intensitas berat selama 1-3 jam kemudian
menghilang perlahan-lahan, nyeri dirasakan dari perut kanan atas
hingga bagian ulu hati dan menjalar ke dada kanan. Nyeri seperti ini
dirasakan terus menerus selama 6 hari terakhir. Jika nyeri muncul pasien
sampai keringat dingin menahan rasa nyeri dan tidak dapat melakukan
aktivitas apapun.pasien biasanya hanya berbaring di tempat tidur jika

29
serangan nyeri datang. Nyeri dirasakan bertambah apabila pasien
menarik nafas dalam. Sesak dan nyeri dada disangkal. Pasien juga
mengeluhkan mual dan muntah, pasien muntah 2 kali, isi makanan,
darah(-). Setiap kali makan pasien mengaku sering merasa mual. Nafsu
makan menjadi turun semenjak sakit. Pasien juga mengatakan
mengalami demam sejak 2 hari SMRS. Demam dirasakan terus
menerus, naik-turun, dan tidak disertai menggigil. Demam meningkat
terutama saat nyeri muncul. Demam turun jika diberi obat penurun
panas.

Pasien juga mengeluhkan matanya menjadi kuning. Pasien tidak


memperhatikan sejak kapan matanya menjadi kuning, namun menurut
pasien saat sebelum masuk rumah sakit matanya belum sekuning seperti
ini. Namun sejak di rumah sakit makin terlihat jelas mata menjadi
kuning. Pasien juga mengatakan bahwa BAB berwarna putih sejak 5
hari SMRS. Frekuensi BAB 2kali/hari, padat, nyeri saat BAB (-), darah/
kehitaman (-). Selain itu, menurut pasien warna kencing menjadi kuning
kecoklatan (gelap) sejak 6 hari SMRS. Nyeri saat BAK (-), kencing
berpasir (-).

 Riwayat penyakit Dahulu:


- Riwayat keluhan serupa sebelumnya : Disangkal
- Riwayat hipertensi : Disangkal
- Riwayat kencing manis : Disangkal
- Riwayat sakit jantung : Disangkal
- Riwayat sakit ginjal : Disangkal
- Riwayat trauma : Disangkal
 Riwayat penyakit keluarga:
- Riwayat keluhan serupa : Disangkal
- Riwayat hipertensi : Disangkal
- Riwayat kencing manis : Diakui (ayah)
- Riwayat sakit jantung : Disangkal

30
- Riwayat sakit ginjal : Disangkal
- Riwayat trauma : Disangkal
 Riwayat sosioekonomi :
Pasien memiliki 3 orang anak, suami sebagai wiraswasta, pasien periksa
menggunakan BPJS.

3.3. Pemeriksaan Fisik (Tanggal 14/8/2018)


STATUS GENERALIS
- Keadaan umum : Tampak lemah
- Kesadaran : Composmentis
STATUS ANTROPOMETRIK
- TB : 173 cm
- BB : 67 kg
- IMT = BB(kg)/TB²(m²)
= 67 kg/(1,73 m)²
= 22.4 kg/m2(Normoweight)
TANDA VITAL
- Tekanan Darah : 120/70 mmHg
- HR (Nadi) : 105x/ Menit , reguler,isi dan tegangan cukup
- RR (Laju Napas) : 20x/ Menit , reguler
- Suhu : 37,8°C

STATUS INTERNUS
- Kepala : Bentuk normocephale, tidak teraba benjolan.
- Rambut : Warna putih, mudah dicabut, distribusimerata
- Mata :
- Bola mata : tidak terdapat eksoftalmus
- Konjungtiva : anemis +/+, perdarahan -/-,
- Sklera : ikterus -/-
- Palpebra : oedema -/-

31
- Pupil : bulat, isokor 3 mm/ 3mm, reflek cahaya +/+
- Hidung :
- Deformitas (-)
- Nafas cuping hidung (-/-),
- Tidak tampak adanya sekret atau perdarahan
- Telinga :
- Bentuk : normal
- Lubang : normal, discharge (-/-)
- Pendengaran : normal
- Perdarahan : tidak ada
- Mulut :
- Bibir : tidak ada kelainan kongenital, sianosis (-), oedem (-)
- Lidah : ukuran normal, tidak kotor, tidak tremor
- Gigi : perawatan gigi kurang
- Mukosa : hiperemi (-), stomatitis (-)

- Leher :
- Deviasi trakea : - (posisi trakea simetris)
- Kaku kuduk : - (negatif)
- Tiroid : tidak ada pembesaran
- JVP : tidak ada peningkatan JVP
- KGB : tidak ada pembesaran

- PF Thoraks:
a. Paru :
1. Inspeksi : laju nafas 20x/menit, pola nafas regular, simetris,
ketertinggalan gerak (-/-), retraksi (-/-), pergerakan otot bantu
pernafasan (-/-)
2. Palpasi : fremitus vokal normal,nyeri tekan (-), gerakan dada
simetris, tidak ada ketertinggalan gerak.
32
3. Perkusi : sonor pada kedua lapang paru.
4. Auskultasi : suara pernafasan vesikuler, ronkhi (-), wheezing(-)
b. Jantung :
1. Inspeksi : pulsasi ictus cordis tampak kuat angkat
2. Palpasi : pulsasi ictus cordis teraba di ICS V linea
mid clavicularis sinistra
3. Perkusi : kardiomegali (-)
4. Auskultasi : bunyi jantung I dan II reguler, murmur(-),
gallop (-)

- PF Abdomen :
1. Inspeksi : permukaan perut datar, pelebaran pembuluh darah(-),
sikatrik (-), massa (-), tanda peradangan (-), caput medusa (-),sikatrik
(-), striae (-),hiperpigmentasi (-)
2. Auskultasi: bunyi peristaltik usus normal, tidak ada bising usus, tidak
ada bising pembuluh darah.
3. Palpasi :
 Superfisial Nyeri tekan abdomen regio epigastrium (+),
Massa (-), defence muscular (-)
 Dalam  Nyeri tekan dalam (-)
 Organ  Hepar tidak teraba membesar, tepi tajam, permukaan
halus, konsistensi kenyal,lien schuffner (0), ginjal dextra et
sinistra tak teraba membesar
 Murphy’s Sign (-)
 Tes undulasi (-)
4. Perkusi :
 Perkusi 4 regio  timpani
 Hepar  pekak (+), liver span dextra 12 cm, sinistra 6 cm
 Lien  traube space (+)
 Ginjal  nyeri ketok ginjal (-)
 Pekak sisi dan pekak ahli (-)
33
- PF Ekstremitas :
- Superior : Akral hangat, Oedema -/-, capillary refill <2 detik
- Inferior : Akral hangat, Oedema -/-, capillary refill <2 detik

3.4. Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 29 Juli 2018
Pemeriksaan Lab Hasil
Hematologi
Hemoglobin 12.7 g/ dL (L)
Hematokrit 37.10 (L)
Jumlah leukosit 9.0 /µL (H)
Jumlah Trombosit 326 /µL (L)
Kimia Klinik
Glukosa Darah Sewaktu 88 mg/dL (H)
Ureum 12.1 mg/dL (H)
Creatinin 0.6 mg/dL (H)
SGOT 155 u/L
SGPT 473 u/L (H)
Cholesterol 155

Tanggal 8 Agustus 2018


Pemeriksaan Lab Hasil
Hematologi
Hemoglobin 11.7 g/ dL (L)
Hematokrit 35.10 (L)
Jumlah leukosit 6.3 /µL (H)
Jumlah Trombosit 337 /µL (L)
Kimia Klinik
Glukosa Darah Sewaktu 100 mg/dL (H)
Ureum 12.1 mg/dL (H)

34
Creatinin 0.6 mg/dL (H)
SGOT 30 u/L
SGPT 65 u/L (H)
Cholesterol 194

b. Pemeriksaan USG Abdomen


Tanggal 31 Juli 2018

35
36
Tanggal 14 Agustus 2018

37
Pembacaan Hasil USG Abdomen

Tanggal : 31 Juli 2018 di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang


DESKRIPSI:

38
- HEPAR ukuran dan bentuk normal, parenkim homogen, ekogenitas
normal, tepi rata, sudut tajam, tak tampak nodul, V.Porta dan V. Hepatika
tak melebar.
- VESIKA FELEA tak membesar, dinding tampak menebal (4,8 mm),
tampak batu ukuran sekitar 1,16 cm, tak tampak sludge.
- LIEN ukuran normal, parenkim homogen, V. Lienalis tak melebar, tak
tampak nodul.
- PANKREAS ukuran normal, parenkim homogen, duktus pankreatikus tak
melebar.
- GINJAL KANAN ukuran dan bentuk normal, batas kortikomeduler jelas,
PCS tak tampak melebar, tak tampak batu, tak tampak massa.
- GINJAL KIRI ukuran dan bentuk normal, batas kortikomeduler jelas, PCS
tak melebar, tak tampak batu, tak tampak massa.
- AORTA tak tampak melebar, tak tampak pembesaran limfonodi paraaorta.
- VESIKA URINARIA dinding tak menebal, permukaan regular, tak tampak
batu/massa.
- UTERUS ukuran normal, posisi antefleksi, parenkim homogen, tak tampak
massa, endometrial line baik.
- Tak Tampak efusi pleura. Tak Tampak cairan bebas intraabdomen

KESAN :

- Gambaran kolelitiasis (ukuran 1,16 cm) disertai kolelitiasis 


gambaran calculous cholecystitis
- Tak tampak kelainan pada sonografi organ-organ intra abdomen
diatas saat ini.

Tanggal : 14 Agustus 2018 di RSUD K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang


DESKRIPSI:

- HEPAR ukuran dan bentuk normal, parenkim homogen, ekogenitas


normal, tepi rata, sudut tajam, tak tampak nodul, V.Porta dan V. Hepatika
tak melebar.

39
- VESIKA FELEA post kolesistektomi
- LIEN ukuran normal, parenkim homogen, V. Lienalis tak melebar, tak
tampak nodul.
- PANKREAS ukuran normal, parenkim homogen, duktus pankreatikus tak
melebar.
- GINJAL KANAN ukuran dan bentuk normal, batas kortikomeduler jelas,
PCS tak tampak melebar, tak tampak batu, tak tampak massa.
- GINJAL KIRI ukuran dan bentuk normal, batas kortikomeduler jelas, PCS
tak melebar, tak tampak batu, tak tampak massa.
- AORTA tak tampak melebar, tak tampak pembesaran limfonodi paraaorta.
- VESIKA URINARIA dinding tak menebal, permukaan regular, tak tampak
batu/massa.
- UTERUS ukuran normal, posisi antefleksi, parenkim homogen, tak tampak
massa, endometrial line baik.
- Tak Tampak efusi pleura. Tak Tampak cairan bebas intraabdomen

KESAN :

- Tak tampak kelainan pada sonografi organ-organ intra abdomen


diatas saat ini.

3.5. Diagnosis dan Diagnosis Banding


- DIAGNOSIS KERJA :
Kolik abdomen post op kolistektomi
- DIAGNOSIS BANDING :
1. Polyp vesica fellea
2. Kolesistitis
3. Koledokolitiasis
3.6. Penatalaksanaan
- Infus NaCl 0,9% 20 tpm
- Injeksi ranitidine2x1 ampul IV
- Injeksi Ceftriaxone 2x1gr IV
- Injeksi Levofloxacin 1x500 mg IV

40
- Injeksi Ketorolac 10mg (bila perlu)
- Ursodeoxycholic acid 3x250 mg PO

3.7. Prognosis
- Quo ad vitam : dubia ad bonam
- Quo ad sanactionam : dubia ad bonam
- Quo ad functionam : dubia ad bonam

41
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil anamnesis, pasien mengeluh nyeri perut sejak 6 hari SMRS
secara tiba-tiba, nyeri menetap 1-3 jam lalu menghilang. Nyeri dirasakan pada
bagian ulu hati hingga ke atas dan menjalar ke dada kanan. Pasien juga
mengeluhkan demam yang naik turun sekitar 6 hari yang lalu, disertai kembung,
mual dan muntah berisi cairan. Pasien juga mengeluhkan sering merasa mudah
lelah saat beraktivitas. Pasien bercerita sesekali air seninya berwarna lebih gelap
meskipun telah mengkonsumsi cairan cukup. Pasien sering makan goreng-
gorengan, makanan bersantan, riwayat minum alcohol disangkal.

Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan demam, kongjungtiva anemis,


nyeri pada epigastrium dan Murphy sign positif.

Berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang, ditemukan :

1. Pemeriksaan Lab Darah


Kesan : anemia, leukositosis, trombositopenia, ureum meningkat, kreatinin
meningkat, SGPT meningkat, Widal (-).
2. USG abdomen
Kesan : Gambaran kolesistitis (penebalan 4,5 cm), tampak batu ukuran
sekitar 1,16 cm.

Pada pemeriksaan USG pada tanggal 31 Juli 2018 didapatkan penebalan


dinding vesika felea sekitar 4,5 cm dan tampak batu sekitar 1,16cm sehingga dari
hasil tersebut sesuai dengan gambaran kolelitiais dan kolesistitis. Pada tanggal 9
Agustus 2018 dilakukan tindakan kolistektomi. Pada pemeriksaan USG pada
tanggal 14 Agustus 2018 tidak didapatkan kelainan pada organ tersebut.

Pada pemeriksaan kimia klinik pada tanggal 29 Juli 2018 didapatkan kadar
SGPT dan SGOT yang meningkat, kondisi ini menandakan adanya kerusakan
parenkim hati akut, infeksi mononuklear, hepatitis kronis dan nekrosis hati. Tetapi
pada pemeriksaan USG tidak didapatkan kelainan pada Hepar.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Sherlock S, Dooley J. Gallstones and Benign Biliary Disease. In: Dooley J,


Lok A Burroughs A Heathcote E. Diseases of the Liver and biliary System. 12’h
ed. UK: Blackwell Science. P257-293
2. Lambou SG,Heller SJ.Lithogenesis and Bile Metabolism in :Surgical Clinics
of North American .Elsevier Saunders 2008 Volume 88 :1175-1194
3. Nurhadi.Analisa Batu Kandung Empedu.2012.Bandung
4. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid I Edisi IV. EGC. Jakarta.2009.
5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS). 2013. (cited 2018 july 12) available from :
www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202013.
pdf
6. Paulsen F. & J. Waschke. 2013. Sobotta Atlas Anatomi Manusia : Anatomi
Umum dan Muskuloskeletal. Jakarta : EGC.
7. Avunduk, C. 2002. Manual of Gastroenterology: Diagnosis and Therapy.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 505 p
8. Welling,T.H. dan Simeone, D.M., 2009. Gallbladder and Biliary Tract:
Anatomy and Structural Anomalies. Edisi ke-5. USA: Wiley-Blackwell.
9. Greenberger NJ, Paumgartner G.2011. Diseases of the gallbladder and bile
duct. Dalam: Fauci AS, Kosper DL, Longo D, Braunwald E, Hauser SL,
Loscalzo J, et al (eds). Harrison’s principle of internal medicine. 18th edition.
New York: Mc Graw-Hill
10. Hunter JG, Oddsdettir M. 2014. Gallbladder and extrahepatic billiary system.
Eighth edition. New York: Mc Graw-Hill.
11. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2010. 570-9.
12. Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta: EGC

43
13. Shojamanesh H, Roy PK, Patti MG. Acalculous Cholecystitis. [Diakses pada:
1 Juni 2011]. http://emedicine.medscape.com/article/187645-overview.
14. Rasad, Sjahriar. 2009. Radiologi Diagnostik. Jakarta : Balai Pustaka.
15. Wilson E, Gurusamy K, Gluud CC, Davidson BR. Cost-utility and value of
information analysis of early versus delayed laparoscopic cholecystectomy for
acute cholecystitis. Br J Surg. Feb 2010;97(2);210-9.
16. Single S. Corellation of Ultrasonographic Parameters with serum Creatinine
in Chronic Kidney Disease . Journal of Clinical Imaging Science; 2013.
[Diakses pada: 12 Juli 2018].
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3779384/
17. Albert J. Bredenoord, Andre S, Jan T. Functional Anatomy and Pysiology .A
guide to Gastrointestinal Motility Disorder, Springer; 2016:1-13
18. Keshav K, Chahal MS, Joshi H.S, Kashmir S, Agarwal R. Prevalece of
different types Gallstone in the patient with cholelithiasis at rohilkhan medical
college and hospital. International Journal of contemporary surgery:
2015:3(1):1-4
19. Debas Haile T.Biliary Tract In : Pathophysiology and Management.Springer
– Verlaag 2004 ; Chapter 7 :198 – 224
20. Saquib Zet. al. “Early vs Interval Cholecystectomy in Acute Cholecystitis: an
Experience at Ghurki Trust Teaching Hospital, Lahore”. Department of
Surgery, Ghurki Trust Teaching Hospital/Lahore Medical & Dental College,
Lahore (2013)
21. Nathanson LK. Management of Common Bile Duct Stone in:Hepatobiliary
And Pancreatic Surgery. Saunders 2009; 4th edition, Chapter 10:185-196.
22. Freeman HM. Mullen MG, Friel CM. The Progression of Cholelithiasis to
Gallstone Illeus : Do Large Gallstone Warrant Surgery. Journal of
Gastrointestinal Surgery: 2016:1-3

44

Anda mungkin juga menyukai