Anda di halaman 1dari 27

L3 Sk1 Medikolegal “malpraktik”

1.Praktiek kedokteran (uu terkait, cara dapat str/sip)


Izin Praktek bagi dokter memberikan pelayanan medis di sarana kesehatan
pemerintah, Swasta maupun perorangan.

Dasar hukum :

1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan


2. Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran
3. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
512/Menkes/PER/IV/2007 tentang Izin praktik dan Pelaksanan
Praktik Kedokteran

Syarat-syarat yang harus dipenuhi:


1. Surat rekomendasi / surat pengantar dari organisasi profesi (IDI)
Ikatan Dokter Indonesia
2. Foto Copy KTP Pemohon
3. Foto Copy KTP pemegang kuasa (jika dikuasakan)
4. Foto Copy Surat Tanda Registrasi (STR) asli yang telah
dilegalisir oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI)
5. Pas photo terbaru ukuran 4×6 = 2 lbr, 3×4 = 1 lbr
6. Surat Permohonan bermaterai Rp 6.000,-
7. Surat Pernyataan telah memiliki tempat praktek bermaterai Rp
6.000,-
8. Surat kuasa bermaterai Rp 6.000,- atau Surat Tugas bila tidak
bisa mengurus sendiri
9. Untuk permohonan SIP yang ke 2 & 3, mengajukan permohonan
dgn melampirkan persyaratan serta melampirkan foto copy SIP /
SPTP sebelumnya.
10. Semua berkas syarat di atas dibuat rangkap 2 (dua

Prosedur untuk mendapatkan perizinan:

1. Pemohon mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas


Kesehatan dengan dilampiri persyaratan yang telah ditentukan
dan mengisi formulir yang telah disediakan.
2. Permohonan yang telah lengkap syarat-syaratnya diterima oleh
Dinas Kesehatan, pemohon menerima tanda terima berkas
permohonan.
3. Verifikasi data-data permohonan dan syarat oleh Dinas
Kesehatan.
4. Proses Izin dan pembuatan slip pembayaran.
5. Pemohon membayarkan retribusi dan mengambil surat izin di
Dinas Kesehatan

Mengurus Izin Praktek Dokter Umum


1
Izin Praktek bagi dokter memberikan pelayanan medis di sarana kesehatan
pemerintah, Swasta maupun perorangan.

Dasar hukum :

1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan


2. Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran
3. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga
Kesehatan
4. Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 3 tahun 2009
tentang Izin Praktik Dokter dan Dokter Gigi
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
512/Menkes/PER/IV/2007 tentang Izin praktik dan Pelaksanan
Praktik Kedokteran

Syarat-syarat yang harus dipenuhi:


1. Surat rekomendasi / surat pengantar dari organisasi profesi (IDI)
2. Foto Copy KTP Pemohon
3. Foto Copy KTP pemegang kuasa (jika dikuasakan)
4. Foto Copy Surat Tanda Registrasi (STR) asli yang telah
dilegalisir oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI)
5. Hasil pemeriksaan kualitas air dari Dinas Kesehatan
6. Pas photo terbaru ukuran 4×6 = 2 lbr, 3×4 = 1 lbr
7. Surat Permohonan bermaterai Rp 6.000,-
8. Surat Pernyataan telah memiliki tempat praktek bermaterai Rp
6.000,-
9. Surat kuasa bermaterai Rp 6.000,- atau Surat Tugas bila tidak
bisa mengurus sendiri
10. Untuk permohonan SIP yang ke 2 & 3, mengajukan
permohonan dg melampirkan persyaratan serta melampirkan
foto copy SIP / SPTP sebelumnya.
11. Semua berkas syarat di atas dibuat rangkap 2 (dua)

Prosedur untuk mendapatkan perizinan:

1. Pemohon mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas


Kesehatan dengan dilampiri persyaratan yang telah ditentukan
dan mengisi formulir yang telah disediakan.
2. Permohonan yang telah lengkap syarat-syaratnya diterima oleh
Dinas Kesehatan, pemohon menerima tanda terima berkas
permohonan.
3. Verifikasi data-data permohonan dan syarat oleh Dinas
Kesehatan.
4. Pemrosesan Izin dan pembuatan slip pembayaran.
5. Pemohon membayarkan retribusi dan mengambil surat izin di
Dinas Kesehatan

2
2. Malpraktik (def, kriteria,jenis, padsal, alur pelaporan&penyelesaian)
Definisi Malpraktek
Malpraktek atau malpraktek medik adalah istilah yang sering digunakan orang untuk tindak
pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang berprofesi didalam dunia kesehatan atau biasa
disebut tenaga kesehatan. Malpraktek medik adalah kelalaian seorang dokter untuk
mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam
mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama.
Sesuatu perbuatan atau sikap medis dianggap lalai apabila memenuhi empat unsur 4D, yaitu:
1. Duty. Ada kewajiban medis untuk melakukan tindakan medis tertentu terhadap pasien
pada situasi kondisi tertentu
2. Derelection of that duty. Adanya penyimpangan kewajiban tersebut
3. Damage. Segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan
kesehatan kedokteran yang diberikan
4. Direct causal relationship. Dapat dibuktikan adanya hubungan sebab akibat yang nyata
antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian

Dasar Hukum Malpraktek


Investigasi
Seorang dokter atau dokter gigi yang menyimpang dari standar profesi dan
melakukankesalahan profesi belum tentu melakukan malpraktik medis yang dapat dipidana,
malpraktik medis yang dipidana membutuhkan pembuktian adanya unsur culpa lata atau
kalalaian berat dan pula berakibat fatal atau serius (Ameln, Fred, 1991). Hal ini sesuai dengan
ketentuan pasal 359 KUHP, pasal 360, pasal 361 KUHP yang dibutuhkan pembuktian culpa
lata daridokter atau dokter gigi. Dengan demikian untuk pembuktian malpraktik secara hukum
pidana meliputi unsur :
1) Telah menyimpang dari standar profesi kedokteran;
2) Memenuhi unsur culpa lata atau kelalaian berat; dan
3) Tindakan menimbulkan akibat serius, fatal dan melanggar pasal 359, pasal 360,
KUHP.Adapun unsur-unsur dari pasal 359 dan pasal 360 sebagai berikut :
1) Adanya unsur kelalaian (culpa).
2) Adanya wujud perbuatan tertentu .
3) Adanya akibat luka berat atau matinya orang lain.
4) Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain itu.
Tiga tingkatan culpa:
1) Culpa lata : sangat tidak berhati-hati (culpa lata), kesalahan serius, sembrono (grossfault
or neglect)
2) Culpa levis : kesalahan biasa (ordinary fault or neglect)
3
3) Culpa levissima : kesalahan ringan (slight fault or neglect) (Black 1979 hal. 241).

Dalam pembuktian perkara perdata, pihak yang mendalilkan sesuatu harus mengajukan bukti
– buktinya. Dalam hal ini dapat dipanggil saksi ahli untuk diminta pendapatnya. Jika kesalahan
yang dilakukan sudah demikian jelasnya (res ipsa loquitur, thething speaks for itself )
sehingga tidak diperlukan saksi ahli lagi, maka beban pembuktian dapat dibebankan
pada dokternya.

Jenis-Jenis Malpraktek
Malpraktek medik dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu malpraktek etik (ethical malpractice)
dan malpraktek yuridis (yuridical malpractice), ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum.
A. Malpraktek Etik
Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah tenaga kesehatan melakukan tindakan yang
bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan. Misalnya seorang bidan
yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kebidanan. Etika kebidanan
yang dituangkan dalam Kode Etik Bidan merupakan seperangkat standar etis, prinsip,
aturan atau norma yang berlaku untuk seluruh bidan.
B. Malpraktek Yuridis Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga bentuk,
yaitu malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal malpractice) dan
malpraktek administratif (administrative malpractice).
1. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice) Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-
hal yang menyebabkan tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam
transaksi terapeutik oleh tenaga kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatige daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien. Adapun isi
daripada tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi terlambat
melaksanakannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan, tetapi tidak
sempurna dalam pelaksanaan dan hasilnya.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan

Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi
beberapa syarat seperti:
a. Harus ada perbuatan (baik berbuat maupun tidak berbuat).
b. Perbuatan tersebut melanggar hukum (tertulis ataupun tidak tertulis).

4
c. Ada kerugian
d. Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan melanggar hukum
dengan kerugian yang diderita.
e. Adanya kesalahan (schuld)

Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian
tenaga kesehatan, maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsur berikut:
a. Adanya suatu kewajiban tenaga kesehatan terhadap pasien.
b. Tenaga kesehatan telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim
dipergunakan.
c. Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
d. Secara faktual kerugian itu diesbabkan oleh tindakan dibawah standar.

Namun adakalanya seorang pasien (penggugat) tidak perlu membuktikan adanya


kelalaian tenaga kesehatan (tergugat). Dalam hukum ada kaidah yang berbunyi “res
ipsa loquitor” yang artinya fakta telah berbicara. Dalam hal demikian tenaga kesehatan
itulah yang harus membutikan tidak adanya kelalaian pada dirinya. Dalam malpraktek
perdata yang dijadikan ukuran dalam melpraktek yang disebabkan oleh kelalaian adalah
kelalaian yang bersifat ringan (culpa levis). Karena apabila yang terjadi adalah
kelalaian berat (culpa lata) maka seharusnya perbuatan tersebut termasuk dalam
malpraktek pidana.
Contoh dari malpraktek perdata, misalnya seorang dokter yang melakukan operasi
ternyata meninggalkan sisa perban didalam tubuh si pasien. Setelah diketahui bahwa
ada perban yang tertinggal kemudian dilakukan operasi kedua untuk mengambil perban
yang tertinggal tersebut. Dalam hal ini kesalahan yang dilakukan oleh dokter dapat
diperbaiki dan tidak menimbulkan akibat negatif yang berkepanjangan terhadap pasien.
2. Malpraktek Pidana
Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat
tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam melakukan upaya
perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut. Malpraktek
pidana ada tiga bentuk yaitu:
a. Malpraktek pidana karena kesengajaan(intensional), misalnya pada kasus aborsi
tanpa insikasi medis, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal
diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat
keterangan yang tidak benar.

5
b. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya melakukan
tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta
melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
c. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat atau
kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati-
hati.
3. Malpraktek Administratif
Malpraktek administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan pelanggaran
terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek
bidan tanpa lisensi atau izin praktek, melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan
lisensi atau izinnya, menjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa, dan
menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.

Kelalaian dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance dan nonfeasance:
1. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat /
layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi
yang memadai.
2. Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan
dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan
medisdengan menyalahi prosedur
3. Nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan
kewajiban baginya.

Pasal-pasal yang Mengatur Malpraktek


Peraturan Non Hukum
Diatur oleh Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). KODEKI semula merupakan
peraturan non hukum karena peraturan ini telah menjadi petunjuk perilaku atau etika seorang
dokter dalam menjalankan profesinya. Dalam KODEKI diatur tentang kewajiban dokter
terhadap pasien yang dicantumkan di dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 14, yaitu:
Pasal 10 KODEKI: “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi
makhluk insani”
Pasal 11 KODEKI: “Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala
ilmu dan keterampilannya untu kepentingan penderita. Dalam hal ia tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka ia wajib merujuk penderita kepada dokter lain yang
mempunyai keahlian dalam bidang penyakit tersebut”

6
Pasal 13 KODEKI: “Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia”
Pasal 14 KODEKI: “ Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali ia yakin ada orang lain yang bersedia dan lebih mampu memberikan
pertolongan darurat terhadap pasien yang membutuhkannya, padahal ia mampu dapat terkena
sasaran tuntutan malpraktek juga”
Peraturan Hukum
1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Pasal-pasal didalam KUHP yang terkait dengan malpraktik medik, yaitu:
a. Pasal 263 dan 267 KUHP (Membuat Surat Keterangan Palsu)
b. Pasal 290 KUHP (Melakukan Pelanggaran Kesopanan)
c. Pasal 299 KUHP (Mengobati seorang wanita dengan memberitahukan atau
menimbulkan harapan bahwa kandungannya dapat digugurkan)
d. Pasal 322 KUHP (Membuka Rahasia)
e. Pasal 304 KUHP (Pembiaran / Penelantaran)
f. Pasal 306 KUHP (Apabila tindakan penelantaran tersebut mengakibatkan kematian)
g. Pasal 322 KUHP (Membocorkan rahasia profesi)
h. Pasal 333 KUHP (Dengan sengaja dan tanpa hak telah merampas kemerdekaan
seseorang)
i. Pasal 344 KUHP (Euthanasia)
j. Pasal 347 KUHP (Sengaja melakukan abortus tanpa persetujuan wanita yang
bersangkutan)
k. Pasal 348 KUHP (Sengaja melakukan abortus dengan persetujuan)
l. Pasal 349 KUHP (Membantu atau melakukan tindakan abortus provocatus
criminalis)
m. Pasal 359 KUHP (Kelalaian yang menyebabkan kematian)
n. Pasal 360 KUHP (Kelalaian yang menyebabkan luka / cacat)
o. Pasal 386 KUHP (Memberi atau menjual obat palsu)
p. Pasal 531 KUHP (Tidak memberi pertolongan pada orang yang berada dalam
keadaan bahaya)

Pemberlakukan hukum pidana dalam kasus-kasus kelalaian medis yang terjadi di dalam
penyelenggaraan praktek kedokteran haruslah sebagai ultimatum remidium artinya hukum
pidana sebagai alternatif terakhir apabila upaya-upaya non litigasi sudah tidak bisa lagi berhasil
untuk mengatasi permasalahan yang timbul. Selain iitu juga karena praktek kedokteran

7
merupakan profesi yang sangat mulia dan luhur yang diperlukan oleh banyak orang dan praktek
kedokteran dijamin pelaksanaannya oleh undang-undang.
2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Pasal-pasal didalam KUHPerdata yang terkait dengan malpraktek medik, yaitu:
a. Pasal 1239 KUH Perdata (Melakukan wanprestasi atau cidera janji)
b. Pasal 1365 KUH Perdata(Melakukan perbuatan melawan hukum)
c. Pasal 1366 KUH Perdata (Melakukan kelalaian sehingga menimbulkan kerugian)
d. Pasal 1367 KUH Perdata (Bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan oleh
bawahannya)
3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan
a. Pasal 54 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Kesalahan atau kelalaian
yang dilakukan tenaga kesehatan)
b. Pasal 80 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja melakukan tindakan
medis tidak sesuai dengan Standart Operational Procedure pada ibu hamil)
c. Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja melakukan
transplantasi organ tubuh untuk tujuan komersil)
d. Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Tanpa keahlian sengaja
melakukan transplantasi, implan alat kesehatan, bedah plastik)
e. Pasal 81 ayat 2a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 (Sengaja mengambil organ
tanpa memperhatikan kesehatan dan persetujuan pendonor / ahli waris)

4) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran


a. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 (Pengaturan praktek kedokteran
bertujuan untuk, Pertama memberikan perlindungan kepada pasien, Kedua
mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh
dokter dan dokter gigi, dan Ketiga memberikan kepastian hukum kepada masyarakat,
dokter dan dokter gigi)
b. Pasal 44 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 (Mensyaratkan kepada setiap dokter
dan dokter gigi dalam memberikan pelayanan haruslah mempunyai standar
pelayanan. Standar pelayanan disini adalah pedoman yang harus diikuti oleh dokter
atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktek kedokteran)
c. Pasal 75 dan 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 (Mensyaratkan setiap dokter
harus mempunyai surat registrasi yang ditandatangani oleh konsil kedokteran.
Sedangkan surat izin praktek kedokteran ditandatangani oleh pejabat kesehatan yang
berwenang di kabupaten/kota tempat praktek kedokteran atau dokter gigi
dilaksanakan. Kedua persyaratan tersebut menjadi suatu hal yang mutlak dimiliki

8
oleh seorang dokter. Apabila dokter tidak mempunyai surat registrasi dan surat izin
praktek, maka selain dokter tersebut tidak sah, masyarakat juga tidak berani di
diagnosa oleh dokter tersebut karena takut terjadi malpraktek)

5) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan


a. Pasal 32 (Pasien berhak atas ganti rugi apabila dalam pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
mengakibatkan terganggunya kesehatan, cacat atau kematian yang terjadi karena
kesehatan atau kelalaian. Dalam perikatan sebagaimana diatur di dalam KUHPerdata
dikenal adanya dua macam perjanjian, yaitu:
 Inspanningverbintenis: perjanjian upaya, artinya kedua belah pihak yang
berjanji berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang
diperjanjikan
 Resultaatbintennis: perjanjian bahwa pihak yang berjanji akan memberikan
result, yaitu sesuatu hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.

Pencegahan Malpraktek
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena adanya
malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
1. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena
perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil
(resultaat verbintenis).
2. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
3. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
4. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
5. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala
kebutuhannya.
6. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.

Upaya menghadapi tuntutan hukum


Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga perawat
menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga kesehatan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien
atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian tenaga kesehatan. Apabila tuduhan
kepada kesehatan merupakan criminal malpractice, maka tenaga kesehatan dapat melakukan :

9
1. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan
yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya
perawat mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan
risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai
sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
2. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk
pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak
unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri
dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah
pengaruh daya paksa.

Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya perawat menggunakan jasa penasehat hukum,
sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya. Pada perkara perdata dalam
tuduhan civil malpractice dimana perawat digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang
dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak
yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau
pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (perawat)
bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.

Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak


diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk
membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya
hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan
(damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan
dan hal inilah yang menguntungkan tenaga perawatan.

Alur Hukum dalam Menyelesaikan Masalah Malpraktek


Suatu tuntutan hukum perdata, dalam hal ini sengketa antara pihak dokter dan rumah sakit
berhadapan dengan pasien dan keluarga atau kuasanya, dapat diselesaikan melalui dua cara,
yaitu cara litigasi (melalui proses peradilan) dan cara non litigasi (di luar proses peradilan).
Apabila dipilih penyelesaian melalui proses pengadilan, maka penggugat akan mengajukan
gugatannya ke pengadilan negeri di wilayah kejadian, dapat dengan menggunakan kuasa hukum
(pengacara) ataupun tidak. Dalam proses pengadilan umumnya ingin dicapai suatu putusan tentang
kebenaran suatu gugatan berdasarkan bukti-bukti yang sah (right-based) dan kemudian putusan
tentang jumlah uang ganti rugi yang "layak" dibayar oleh tergugat kepada penggugat. Dalam
menentukan putusan benar-salahnya suatu perbuatan hakim akan membandingkan perbuatan yang

10
dilakukan dengan suatu norma tertentu, standar, ataupun suatu kepatutan tertentu, sedangkan dalam
memutus besarnya ganti rugi hakim akan mempertimbangkan kedudukan sosial-ekonomi kedua
pihak (pasal 1370-1371 KUH Perdata).

Apabila dipilih proses di luar pengadilan (alternative dispute resolution), maka kedua pihak berupaya
untuk mencari kesepakatan tentang penyelesaian sengketa (mufakat). Permufakatan tersebut dapat
dicapai dengan pembicaraan kedua belah pihak secara langsung (konsiliasi atau negosiasi), ataupun
melalui fasilitasi, mediasi, dan arbitrasi, atau cara-cara kombinasi. Fasilitator dan mediator tidak
membuat putusan, sedangkan arbitrator dapat membuat putusan yang harus dipatuhi kedua pihak.
Dalam proses mufakat ini diupayakan mencari cara penyelesaian yang cenderung berdasarkan
pemahaman kepentingan kedua pihak (interest-based, win-win solution), dan bukan right-based.
Hakim pengadilan perdata umumnya menawarkan perdamaian sebelum dimulainya persidangan,
bahkan akhir-akhir ini hakim memfasilitasi dilakukannya mediasi oleh mediator tertentu.

Dalam hal tuntutan hukum tersebut diajukan melalui proses hukum pidana, maka pasien cukup
melaporkannya kepada penyidik dengan menunjukkan bukti-bukti permulaan atau alasan-alasannya.
Selanjutnya penyidiklah yang akan melakukan penyidikan dengan melakukan tindakan-tindakan
kepolisian, seperti pemeriksaan para saksi dan tersangka, pemeriksaan dokumen (rekam medis di satu
sisi dan bylaws, standar dan petunjuk di sisi lainnya), serta pemeriksaan saksi ahli. Visum et repertum
mungkin saja dibutuhkan penyidik. Berkas hasil pemeriksaan penyidik disampaikan kepada jaksa
penuntut umum untuk dapat disusun tuntutannya. Dalam hal penyidik tidak menemukan bukti yang
cukup maka akan dipikirkan untuk diterbitkannya SP3 atau penghentian penyidikan.

Selain itu, kasus medikolegal dan kasus potensial menjadi kasus medikolegal, juga harus diselesaikan
dari sisi profesi dengan tujuan untuk dijadikan pelajaran guna mencegah terjadinya pengulangan di
masa mendatang, baik oleh pelaku yang sama ataupun oleh pelaku lain. Dalam proses tersebut dapat
dilakukan pemberian sanksi (profesi atau administratif) untuk tujuan penjeraan, dapat pula tanpa
pemberian sanksi - tetapi memberlakukan koreksi atas faktor-faktor yang berkontribusi sebagai
penyebab terjadinya "kasus" tersebut. Penyelesaian secara profesi umumnya lebih bersifat audit
klinis, dan dapat dilakukan di tingkat institusi kesehatan setempat (misalnya berupa Rapat Komite
Medis, konferensi kematian, presentasi kasus, audit klinis terstruktur, proses lanjutan dalam incident
report system, dll), atau di tingkat yang lebih tinggi (misalnya dalam sidang Dewan Etik Perhimpunan
Spesialis, MKEK, Makersi, MDTK, dll).

11
Bila putusan MKEK menyatakan pihak medis telah melaksanakan profesi sesuai dengan standar dan
tidak melakukan pelanggaran etik, maka putusan tersebut dapat digunakan oleh pihak medis sebagai
bahan pembelaan.

12
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK)
Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa melanggar
norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
(MKEK) IDI untuk dimintai pertanggung-jawaban (etik dan disiplin profesi)nya. Persidangan
MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas, profesionalisme dan keluhuran
profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi yang menyidangkan kasus
dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan kedokteran. Di kemudian hari
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), lembaga yang dimandatkan
untuk didirikan oleh UU No 29 / 2004, akan menjadi majelis yang menyidangkan dugaan
pelanggaran disiplin profesi kedokteran. Dalam hal MKDKI dalam sidangnya menemukan
adanya pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan kasus tersebut kepada MKEK.

Fungsi MKEK
Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota)
bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai penuntut.
Persidangan MKEK secara formil tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana
lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya

13
melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim. Dalam
melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :
a. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait
(pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya yang
dibutuhkan
b. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet dan
pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek
Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan
rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain
yang berkaitan dengan kasusnya.

Tugas MKEK
a. Melakukan tugas bimbingan, pengawasan dan penilaian dalam pelaksanaan etik
kedokteran, termasuk perbuatan anggota yang melanggar kehormatan dan tradisi luhur
kedokteran.
b. Memperjuangkan agar etik kedokteran dapat ditegakkan di Indonesia.
c. Memberikan usul dan saran diminta atau tidak diminta kepada pengurus cabang.
d. Membina hubungan baik dengan majelis atau instansi yang berhubungan dengan etik
profesi, baik pemerintah maupun organisasi profesi lain
e. Bertanggung jawab kepada musyawarah cabang.

Persidangan MKEK
a. Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan anggota)
bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai
penuntut.
b. Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian sebagaimana
lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap berupaya
melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim

Wewenang MKEK :
Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :
a. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait
(pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya yang
dibutuhkan
b. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet
dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin Praktek

14
Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter dengan
rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan surat-surat lain
yang berkaitan dengan kasusnya.

Putusan MKEK
a. Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan  tidak dapat
dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam
bentuk permintaan keterangan ahli.
b. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli di pemeriksaan
penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya persidangan
dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham dengan
putusan MKEK

Eksekusi
a. Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau
Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan.
b. Khusus untuk SIP, eksekusinya diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila
eksekusi telah dijalankan maka dokter teradu menerima keterangan telah menjalankan
putusan

Penanganan Sengketa Medik


a. Identifikasi seluruh masalah keluhan utama pasein
b. Dokter teradu diminta untuk membuat kronologi lengkap mengenai kasus itu
c. Menganalisa secara ilmiah dengan pertimbangan dari ahli terkait
d. Lakukan konfrontasi dengan pengaduupayakan damai

Bila Sampai Pengadilan


a. Tidak jarang kasus sudah disidik polisi
b. Dan dilimpahkan kejaksaan
c. Terus sampai pengadilan
d. IDI dalam hal ini MKEK akan diminmta menjadi saksi ahli
e. Keputusan di majelis hakim
f. Vonis sesuai undang-2 yang berlaku

15
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang berwenang untuk
menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan
disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi. Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia,
dan dalam menjalankan tugasnya bersifat independen, serta bertanggung jawab kepada Konsil
Kedokteran Indonesia. Berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia. Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran di tingkat provinsi dapat dibentuk oleh Konsil Kedokteran
Indonesia atas usul Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

Pimpinan MKDKI terdiri atas seorang ketua, seorang wakil ketua, dan seorang sekretaris.
Keanggotaan MKDKI terdiri atas 3 orang dokter gigi dan organisasi profesi masing-masing,
seorang dokter dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3 orang sarjana
hukum. Anggota MKDKI ditetapkan oleh Menteri atas usul organisasi profesi. Masa bakti
keanggotaan MKDKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 adalah 5 tahun dan dapat
diangkat kembali untuk 1 kali masa jabatan. Pimpinan MKDKI dipilih dan ditetapkan oleh
rapat pleno anggota. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan MKDKI
diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

Fungsi MKDKI
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) adalah lembaga Negara yang
berwenang untuk :
a. Menentukan ada atau tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter/dokter gigi dalam
penerapan disiplin ilmu kedokteran/kedokteran gigi
b. Menetapkan sanksi bagi dokter/dokter gigi yang dinyatakan bersalah.
c. Dasar pembentukan dan kewenangan MKDKI adalah Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran.

Tugas MKDKI
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertugas :
a. Menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter
dan dokter gigi yang diajukan
b. Menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau
dokter gigi.

3. Informed consent

16
1. Definisi
Menurut Permenkes No.585/Menkes/Per/IX/1989, PTM berarti ”persetujuan yang
diberikan pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut”. Dari pengertian di atas PTM adalah persetujuan yang
diperoleh dokter sebelum melakukan pemeriksaan, pengobatan atau tindakan medik apapun
yang akan dilakukan.

2. Tujuan
Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup untuk
dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan. Informed consent juga berarti
mengambil keputusan bersama. Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat terpenuhi
dengan sempurna apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan sehingga
ia dapat mengambil keputusan yang tepat. Kekecualian dapat dibuat apabila informasi yang
diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien.

Dokter harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar moral dan etik yang
kuat. Menurut American College of Physicians’ Ethics Manual, pasien harus mendapat
informasi dan mengerti tentang kondisinya sebelum mengambil keputusan. Berbeda dengan
teori terdahulu yang memandang tidak adanya informed consent menurut hukum
penganiayaan, kini hal ini dianggap sebagai kelalaian. Informasi yang diberikan harus lengkap,
tidak hanya berupa jawaban atas pertanyaan pasien.

3. Manfaat
a. Perlindungan pasien untuk segala tindakan medik. Perlakuan medik tidak
diketahui/disadari pasien/keluarga, yang seharusnya tidak dilakukan ataupun yang
merugikan/membahayakan diri pasien.
b. Perlindungan tenaga kesehatan terhadap terjadinya akibat yang tidak terduga serta
dianggap meragukan pihak lain. Tak selamanya tindakan dokter berhasil, tak terduga
malah merugikan pasien meskipun dengan sangat hati-hati, sesuai dengan SOP. Peristiwa
tersebut bisa ”risk of treatment” ataupun ”error judgement”.

4. Bentuk
a. Implied Constructive Consent (Keadaan Biasa)
Tindakan yang biasa dilakukan, telah diketahui, telah dimengerti oleh
masyarakat umum, sehingga tidak perlu lagi dibuat tertulis. Misalnya pengambilan
darah untuk laboratorium, suntikan, atau hecting luka terbuka.
b. Implied Emergency Consent (Keadaan Gawat Darurat)
Bila pasien dalam kondiri gawat darurat sedangkan dokter perlu melakukan
tindakan segera untuk menyelematkan nyawa pasien sementara pasien dan keluarganya
tidak bisa membuat persetujuan segera. Seperti kasus sesak nafas, henti nafas, henti
jantung.
c. Expressed Consent (Bisa Lisan/Tertulis Bersifat Khusus)
Persetujuan yang dinyatakan baik lisan ataupun tertulis, bila yang akan dilakukan
melebihi prosedur pemeriksaan atau tindakan biasa. Misalnya pemeriksaan vaginal,
pencabutan kuku, tindakan pembedahan/operasi, ataupun pengobatan/tindakan
invasive.

5. Persetujuan

17
Bentuk persetujuan atau penolakan
Rumah sakit memiliki tugas untuk menjamin bahwa informed consent sudah didapat.
Istilah untuk kelalaian rumah sakit tersebut yaitu ”fraudulent concealment”. Pasien yang akan
menjalani operasi mendapat penjelasan dari seorang dokter bedah namun dioperasi oleh dokter
lain dapat saja menuntut malpraktik dokter yang tidak mengoperasi karena kurangnya informed
consent dan dapat menuntut dokter yang mengoperasi untuk kelanjutannya.
Bentuk persetujuan tidaklah penting namun dapat membantu dalam persidangan bahwa
persetujuan diperoleh. Persetujuan tersebut harus berdasarkan semua elemen dari informed
consent yang benar yaitu pengetahuan, sukarela dan kompetensi.
Beberapa rumah sakit dan dokter telah mengembangkan bentuk persetujuan yang
merangkum semua informasi dan juga rekaman permanen, biasanya dalam rekam medis
pasien. Format tersebut bervariasi sesuai dengan terapi dan tindakan yang akan diberikan. Saksi
tidak dibutuhkan, namun saksi merupakan bukti bahwa telah dilakukan informed consent.
Informed consent sebaiknya dibuat dengan dokumentasi naratif yang akurat oleh dokter yang
bersangkutan.
Otoritas untuk memberikan persetujuan
Seorang dewasa dianggap kompeten dan oleh karena itu harus mengetahui terapi yang
direncanakan. Orang dewasa yang tidak kompeten karena penyakit fisik atau kejiwaan dan
tidak mampu mengerti tentu saja tidak dapat memberikan informed consent yang sah. Sebagai
akibatnya, persetujuan diperoleh dari orang lain yang memiliki otoritas atas nama pasien.
Ketika pengadilan telah memutuskan bahwa pasien inkompeten, wali pasien yang ditunjuk
pengadilan harus mengambil otoritas terhadap pasien.
Persetujuan pengganti ini menimbulkan beberapa masalah. Otoritas seseorang terhadap
persetujuan pengobatan bagi pasien inkompeten termasuk hak untuk menolak perawatan
tersebut. Pengadilan telah membatasi hak penolakan ini untuk kasus dengan alasan yang tidak
rasional. Pada kasus tersebut, pihak dokter atau rumah sakit dapat memperlakukan kasus
sebagai keadaan gawat darurat dan memohon pada pengadilan untuk melakukan perawatan
yang diperlukan. Jika tidak cukup waktu untuk memohon pada pengadilan, dokter dapat
berkonsultasi dengan satu atau beberapa sejawatnya.
Jika keluarga dekat pasien tidak setuju dengan perawatan yang direncanakan atau jika
pasien, meskipun inkompeten, mengambil posisi berlawanan dengan keinginan keluarga, maka
dokter perlu berhati-hati. Terdapat beberapa indikasi dimana pengadilan akan
mempertimbangkan keinginan pasien, meskipun pasien tidak mampu untuk memberikan
persetujuan yang sah. Pada kebanyakan kasus, terapi sebaiknya segera dilakukan (1) jika
keluarga dekat setuju, (2) jika memang secara medis perlu penatalaksanaan segera, (3) jika
tidak ada dilarang undang-undang.
Cara terbaik untuk menghindari risiko hukum dari persetujuan pengganti bagi pasien
dewasa inkompeten adalah dengan membawa masalah ini ke pengadilan.
Kemampuan memberi perijinan
Perijinan harus diberikan oleh pasien yang secara fisik dan psikis mampu memahami
informasi yang diberikan oleh dokter selama komunikasi dan mampu membuat keputusan
terkait dengan terapi yang akan diberikan. Pasien yang menolak diagnosis atau tatalaksana
tidak menggambarkan kemampuan psikis yang kurang. Paksaan tidak boleh digunakan dalam
usaha persuasif. Pasien seperti itu membutuhkan wali biasanya dari keluarga terdekat atau yang
ditunjuk pengadilan untuk memberikan persetujuan pengganti.
Jika tidak ada wali yang ditunjuk pengadilan, pihak ketiga dapat diberi kuasa untuk
bertindak atas nama pokok-pokok kekuasaan tertulis dari pengacara. Jika tidak ada wali bagi
pasien inkompeten yang sebelumnya telah ditunjuk oleh pengadilan, keputusan dokter untuk
memperoleh informed consent diagnosis dan tatalaksana kasus bukan kegawatdaruratan dari
keluarga atau dari pihak yang ditunjuk pengadilan tergantung kebijakan rumah sakit. Pada

18
keadaan dimana terdapat perbedaan pendapat diantara anggota keluarga terhadap perawatan
pasien atau keluarga yang tidak dekat secara emosional atau bertempat tinggal jauh, maka
dianjurkan menggunakan laporan legal dan formal untuk menentukan siapa yang dapat
memberikan perijinan bagi pasien inkompeten.
Pihak Yang Berhak Menyatakan Persetujuan:
1. Pasien sendiri (bila telah berumur 21 tahun atau telah menikah)
2. Bagi pasien di bawah umur 21 tahun diberikan oleh mereka menurut hak sebagai
berikut: (1) Ayah/ibu kandung, (2) Saudara-saudara kandung.
3. Bagi yang di bawah umur 21 tahun dan tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya
berhalangan hadir diberikan oleh mereka menurut urutan hak sebagai berikut: (l)
Ayah/ibu adopsi, (2) Saudara-saudara kandung, (3) Induk semang.
4. Bagi pasien dewasa dengan gangguan mental, diberikan oleh mereka menurut urutan
hak sebagai berikut: (1) Ayah/ibu kandung, (2) Wali yang sah, (3) Saudara-saudara
kandung.
5. Bagi pasien dewasa yang berada dibawah pengampuan (curatelle), diberikan menurut
urutan hak sebagai berikut: (1) Wali, (2) Curator.
6. Bagi pasien dewasa yang telah menikah/orang tua, diberikan oleh mereka menurut
urutan hak sebagai berikut: a. Suami/istri, b. Ayah/ibu kandung, c. Anak-anak kandung,
d. Saudara-saudara kandung.
Wali: yang menurut hukum menggantikan orang lain yang belum dewasa untuk
mewakilinya dalam melakukan perbuatan hukum atau yang menurut hukum
menggantikan kedudukan orang tua. Induk semang : orang yang berkewajiban untuk
mengawasi serta ikut bertanggung jawab terhadap pribadi orang lain seperti pimpinan
asrama dari anak perantauan atau kepala rumah tangga dari seorang pembantu rumah
tangga yang belum dewasa.
6. isi
Dalam Permenkes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dinyatakan
bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien / keluarga diminta
atau tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan.
Mengenai apa yang disampaikan, tentulah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyakit
pasien. Tindakan apa yang dilakukan, tentunya prosedur tindakan yang akan dijalani pasien
baik diagnostic maupun terapi dan lain-lain sehingga pasien atau keluarga dapat
memahaminya. Ini mencangkup bentuk, tujuan, resiko, manfaat dari terapi yang akan
dilaksanakan dan alternative terapi (Hanafiah, 1999).\
Secara umum dapat dikatakan bahwa semua tindakan medis yang akan dilakukan
terhadap pasien yang harus diinformasikan sebelumnya, namun izin yang harus diberikan oleh
pasien dapat berbagai macam bentuknya, baik yang dinyatakan ataupun tidak. Yang paling
untuk diketahui adalah bagaimana izin tersebut harus dituangkan dalam bentuk tertulis,
sehingga akan memudahkan pembuktiannya kelak bila timbul perselisihan.
Secara garis besar dalam melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus
menjelaskan beberapa hal, yaitu:
1) Garis besar seluk beluk penyakit yang diderita dan prosedur perawatan / pengobatan yang
akan diberikan / diterapkan.
2) Resiko yang dihadapi, misalnya komplikasi yang diduga akan timbul.

19
3) Prospek / prognosis keberhasilan ataupun kegagalan.
4) Alternative metode perawatan / pengobatan.
5) Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk memberikan persetujuan.
6) Prosedur perawatan / pengobatan yang akan dilakukan merupakan suatu percobaan atau
menyimpang dari kebiasaan, bila hal itu yang akan dilakukan Dokter juga perlu
menyampaikan (meskipun hanya sekilas), mengenai cara kerja dan pengalamannya dalam
melakukan tindakan medis tersebut (Achadiat, 2007).
Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran
dilaksanakan adalah:
1. Diagnosa yang telah ditegakkan.
2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
4. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran
tersebut.
5. Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif cara
pengobatan yang lain.
6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.
Resiko resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan
tindakan kedokteran :
 Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
 Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.
Dalam hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang
akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1 Permenkes No
290 / Menkes / PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan perluasan tindakan kedokteran
sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar daripada persetujuan (Ayat 2).
Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan
tindakan kedokteran adalah:
 Dalam keadaan gawat darurat (emergency), dimana dokter harus segera bertindak untuk
menyelamatkan jiwa.
 Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi
dirinya.Ini tercantum dalam PerMenKes no 290/Menkes/Per/III/2008.

KETENTUAN INFORMED CONSENT


Ketentuan persetujuan tidakan medik berdasarkan SK Dirjen Pelayanan Medik
No.HR.00.06.3.5.1866 Tanggal 21 April 1999, diantaranya :
1 Persetujuan atau penolakan tindakan medik harus dalam kebijakan dan prosedur (sop) dan
ditetapkan tertulis oleh pimpinan rs.
2 Memperoleh informasi dan pengelolaan, kewajiban dokter
3. Informed consent dianggap benar :

 Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan untuk tindakan medis yang
dinyatakan secara spesifik.
 Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan tanpa paksaan (valuentery)

20
 Persetujuan dan penolakan tindakan medis diberikan oleh seseorang (pasien) yang
sehat mental dan memang berhak memberikan dari segi hukum
 Setelah diberikan cukup (adekuat) informasi dan penjelasan yang diperlukan

4 Isi informasi dan penjelasan yang harus diberikan :

 Tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang ada dilakukan (purhate
of medical procedure)
 Tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan (consenpleated medical
procedure)
 Tentang risiko
 Tentang risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
 Tentang alternatif tindakan medis lain yang tersedia dan risiko –risikonya (alternative
medical procedure and risk)
 Tentang prognosis penyakit, bila tindakan dilakukan
 Diagnosis
5. Kewajiban memberi informasi dan penjelasan

 Dokter yang melakukan tindakan medis tanggung jawab


 Berhalangan diwakilkan kepada dokter lain, dengan diketahui dokter yang
bersangkutan
6. Cara menyampaikan informasi

 Lisan
 Tulisan
7. Pihak yang menyatakan persetujuan
a. Pasien sendiri, umur 21 tahun lebih atau telah menikah
b. Bagi pasien kurang 21 tahun dengan urutan hak :
 Ayah/ibu kandung
 Saudara saudara kandung
c. Bagi pasien kurang 21 tahun tidak punya orang tua/berhalangan, urutan hak :
 Ayah/ibu adopsi
 Saudara-saudara kandung
 nduk semang
d. Bagi pasien dengan gangguan mental, urutan hak :
 Ayah/ibu kandung
 Wali yang sah
 Saudara-saudara kandung
e. Bagi pasien dewasa dibawah pengampuan (curatelle) :
 Wali
 Kurator
f. Bagi pasien dewasa telah menikah/orangtua
 Suami/istri
 Ayah/ibu kandung
 Anak-anak kandung
21
 Saudara-saudara kandung
8. Cara menyatakan persetujuan

 Tertulis; mutlak pada tindakan medis resiko tinggi


 Lisan; tindakan tidak beresiko
9. Jenis tindakan medis yang perlu informed consent disusun oleh komite medik ditetapkan
pimpinan RS.
10. Tidak diperlukan bagi pasien gawat darurat yang tidak didampingi oleh keluarga pasien.
11. Format isian informed consent persetujuan atau penolakan

 Diketahui dan ditandatangani oleh kedua orang saksi, perawat bertindak sebagai
salah satu saksi
 Materai tidak diperlukan
 Formulir asli harus dismpan dalam berkas rekam medis pasien
 Formulir harus ditandatangan 24 jam sebelum tindakan medis dilakukan
 Dokter harus ikut membubuhkan tanda tangan sebagai bukti telah diberikan
informasi
 Bagi pasien/keluarga buta huruf membubuhkan cap jempol ibu jari tangan
kanannya
12. Jika pasien menolak tandatangan surat penolakan maka harus ada catatan pada rekam
medisnya.

4. Pandanganislam tentang malpraktik


Bentuk-bentuk malpraktek

Malpraktek yang menjadi penyebab dokter bertanggungjawab secara profesi bisa


digolongkan sebagai berikut:

1. Tidak punya keahlian ( jahil ).

Yang dimaksudkan disini adalah melakukan praktek pelayanan kesehatan tanpa memiliki
keahlian, baik tidak memiliki keahlian sama sekali dalam bidang kedokteran, atau memiliki
sebagian keahlian tapi bertindak di luar keahliannya. Orang yang tidak memiliki keahlian di
bidang kedokteran kemudian nekat membuka praktek disinggung oleh Nabi -shallallah
'alaihi wasallam- dalam sabda beliau:

“Barang siapa yang praktek menjadi dokter dan sebelumnya tidak diketahui memiliki
keahlian, maka ia bertanggungjawab”

Kesalahan ini sangat berat, karena menganggap remeh kesehatan dan nyawa banyak orang,
sehingga paru ulama sepakat bahwa pelakunya ( mutathabbib) harus bertanggungjawab jika
timbul masalah dan harus dihukum agar jera dan menjadi pelajaran bagi orang lain.

2. Menyalahi prinsip-prinsip ilmiah ( mukhalafatul ushul al-'ilmiyyah).

22
Yang dimaksud dengan pinsip ilmiah adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah yang telah baku
dan biasa dipakai oleh para dokter, baik secara teori maupun praktek, dan harus dikuasai oleh
dokter saat menjalani profesi kedokteran.

Para ulama telah menjelaskan kewajiban para dokter untuk mengikuti prinsip-prinsip ini dan
tidak menyalahinya.Imam asy-Syafi'i –misalnya- mengatakan: "Jika menyuruh seseorang
untuk membekam, mengkhitan anak, atau mengobati hewan piaraan, kemudian semua
meninggal karena praktek itu, jika orang tersebut telah melakukan apa yang seharusnya dan
biasa dilakukan untuk maslahat pasien menurut para pakar dalam profesi tersebut, maka ia
tidak bertanggungjawab. Sebaliknya jika ia tahu dan menyalahinya, maka ia
bertanggungjawab." Bahkan hal ini adalah kesepakatan para ulama semuanya, sebagaimana
disebutkan oleh Ibnul Qayyim.

Hanya saja, hakim harus lebih jeli dalam menentukan apakah benar-benar terjadi pelanggaran
prinsip-prinsip ilmiah dalam kasus yang diangkat, karena ini termasuk permasalahan yang
pelik.

3. Ketidaksengajaan ( khatha' ).

Ketidaksengajaan adalah sesuatu yang orang tidak punya maksud di dalamnya.Misalnya


tangan dokter bedah terpeleset sehingga ada anggota tubuh pasien yang terluka. Bentuk
malpraktek ini tidak membuat pelakunya berdosa, tapi ia harus bertanggungjawab terhadap
akibat yang ditimbulkan sesuai dengan yang telah digariskan Islam dalam bab jinayat, karena
ini termasuk jinayat khatha' (tidak sengaja).

4. Sengaja menimbulkan bahaya ( I'tida' ).

Maksudnya adalah membahayakan pasien dengan sengaja.Ini adalah bentuk malpraktek yang
paling buruk.Tentu saja sulit diterima bila ada dokter atau paramedis yang melakukan hal ini,
sementara mereka telah menghabiskan umur mereka untuk mengabdi dengan profesi
ini. Kasus seperti ini terhitung jarang dan sulit dibuktikan karena berhubungan dengan isi hati
orang.Biasanya pembuktiannya dilakukan dengan pengakuan pelaku, meskipun mungkin
juga mengetahui kesengajaan ini melalui indikasi-indikasi kuat yang menyertai terjadinya
malpraktek yang sangat jelas.Misalnya, adanya perselisihan antara pelaku malpraktek dengan
pasien atau keluarganya.

Pembuktian malpraktek

Agama Islam mengajarkan bahwa tuduhan harus dibuktikan.Demikian pula, tuduhan


malparaktek harus diiringi dengan bukti, dan jika terbukti harus ada pertanggungjawaban dari
pelakunya.Ini adalah salah satu wujud keadilan dan kemuliaan ajaran Islam.Jika tuduhan
langsung diterima tanpa bukti, dokter dan paramedis terzhalimi, dan itu bisa membuat
mereka meninggalkan profesi mereka, sehingga akhirnya membahayakan kehidupan umat
manusia.Sebaliknya jika tidak ada pertanggungjawaban atas tindakan malpraktek yang
terbukti, pasien terzhalimi, dan para dokter bisa jadi berbuat seenak mereka.

Seorang hakim bisa memakai bukti-bukti yang diakui oleh syariat sebagai berikut:

1. Pengakuan pelaku malpraktek ( iqrar ).

23
Iqrar adalah bukti yang paling kuat, karena merupakan persaksian atas diri sendiri, dan ia
lebih mengetahuinya. Apalagi dalam hal yang membahayakan diri sendiri, biasanya
pengakuan ini menunjukkan kejujuran.

2. Kesaksian ( syahadah ).

Untuk pertanggungjawaban berupa qishash dan ta'zir, dibutuhkan kesaksian dua pria yang
adil. Jika kesaksian akan mengakibatkan tanggung jawab materiil, seperti ganti rugi,
dibolehkan kesaksian satu pria ditambah dua wanita. Adapun kesaksian dalam hal-hal yang
tidak bisa disaksikan selain oleh wanita, seperti persalinan, dibolehkan persaksian empat
wanita tanpa pria. Di samping memperhatikan jumlah dan kepantasan saksi, hendaknya
hakim juga memperhatikan ada tidaknya tuhmah (kemungkinan mengalihkan tuduhan
malpraktek dari dirinya ).

3. Catatan medis.

Yaitu catatan yang dibuat oleh dokter dan paramedis, karena catatan tersebut dibuat agar bisa
menjadi referensi saat dibutuhkan. Jika catatan ini valid, ia bisa menjadi bukti yang sah.

Bentuk tanggung jawab malpraktek

Jika tuduhan malpraktek telah dibuktikan, ada beberapa bentuk tanggung jawab yang dipikul
pelakunya. Bentuk-bentuk tanggung jawab tersebut adalah sebagai berikut:

1. Qishash.

Qishash ditegakkan jika terbukti bahwa dokter melakukan tindak malpraktek sengaja
menimbulkan bahaya ( I'tida' ), dengan membunuh pasien atau merusak anggota tubuhnya,
dan memanfaatkan profesinya sebagai pembungkus tindak kriminal yang dilakukannya.
Ketika memberi contoh tindak kriminal yang mengakibatkan qishash, Khalil bin Ishaq al-
Maliki mengatakan: "Misalnya dokter yang menambah (luas area bedah) dengan sengaja."

2. Dhaman (tanggung jawab materiil berupa ganti rugi atau diyat).

Bentuk tanggungjawab ini berlaku untuk bentuk malpraktek berikut:

a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan
tidak ada kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.
c. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi terjadi kesalahan
tidak disengaja.
d. Pelaku memiliki keahlian, mengikuti prinsip-prinsip ilmiah, tapi tidak mendapat ijin
dari pasien, wali pasien atau pemerintah, kecuali dalam keadaan darurat.

3. Ta'zir berupa hukuman penjara, cambuk, atau yang lain. Ta'zir berlaku untuk dua
bentuk malpraktek:
a. Pelaku malpraktek tidak memiliki keahlian, tapi pasien tidak mengetahuinya, dan
tidak ada kesengajaan dalam menimbulkan bahaya.
b. Pelaku memiliki keahlian, tapi menyalahi prinsip-prinsip ilmiah.

24
Medical errors:

Institusi pelayanan kesehatan merupakan sistem kompleks yang ditandai dengan


penggunaan teknologi tinggi dan kebebasan profesi. Kompleksitas itu menimbulkan
kerawanan kesalahan medik (medical error) yang dapat menyebabkan tragedi kemanusiaan.
Kelalaian medis adalah salah satu bentuk dari malpraktik medis, sekaligus merupakan bentuk
malpraktik medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian terjadi apabila seseorang
dengan tidak sengaja, melakukan sesuatu (komisi) yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak
melakukan sesuatu (omisi) yang seharusnya dilakukan oleh orang lain dengan kualifikasi yang
sama pada suatu keadaan, dalam kondisi serta situasi yang sama pula.
Menurut Gunwadi (2005) medical error adalah suatu kekeliruan, suatu peristiwa yang
tidak diduga akan terjadi, yang tidak dikehendaki dalam pemberian pelayanan medis yang
dapat mengakibatkan luka ataupun tidak sampai menimbulkan luka terhadap pasien.
Institute of Medicine (IOM) mendifinisikan medical error sebagai ‘kegagalan untuk
menyelesaikan tindakan yang direncanakan sebagaimana yang dimaksud atau penggunaan
strategi yang salah untuk mencapai suatu tujuan.’
Medical error dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Kegagalan/ketidakberhasilan terapi dalam tindakan operasi, yang antara lain
disebabkan oleh :
a. Terjadinya komplikasi (penyulit)
b. Kecelakaan (surgical mishap)
c. Kecelakaan anesthesi (reaksi hipersensitif terhadap obat anesthesi dan sebagainya)
2. Ketidakberhasilan/kegagalan dalam pemberian pengobatan, yang dapat dikarenakan
hal-hal sebagai berikut :
a. Komplikasi dari pengobatan
b. Kecelakaan medis
c. Kesalahan menentukan diagnosis
d. Kesalahan dalam memilih obat

Kebanyakan orang percaya bahwa kesalahan medis biasanya melibatkan obat-obatan,


seperti pasien mendapatkan resep atau dosis yang salah atau salah penanganan operasi seperti
amputasi anggota tubuh yang salah. Namun terdapat banyak jenis kesalahan medis seperti:

25
 Kesalahan diagnostik : seperti misdiagnosis yang mengarah ke pilihan terapi yang
salah, kegagalan untuk menggunakan tes diagnostic yang ditunjukkan, kesalahan
mentafsir hasil tes dan kegagalan untuk bertindak atas hasil abnormal.
 Kegagalan peralatan: seperti defibrillator dengan bateri yang mati atau pompa infus
yang katupnya mudah lepas atau terbentur sehingga menyebabkan peningkatan dosis
obat yang terlalu banyak dalam masa yang terlalu singkat.
 Infeksi: seperti infeksi nosocomial luka dan pascaoperasi
 Kecederaan yang melibatkan trasfusi darah : seperti memberikan pasien darah yang
salah jenis
 Kesalahan mentafsir perintah medis lain: seperti gagal memberikan pasien makanan
yang bebas garam seperti yang diperintah oleh dokter.

DAFTAR PUSTAKA

Chadha,P.Vijay.1995.Ilmu Forensik dan Toksikologi.Jakarta:Widya Medika Indonesia.

Hanafiah MJ, Amir Amri. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 3. Jakarta: EGC .
1998

National Cancer Institute. A Guide to Understanding Informed Consent. Available


at:www.cancer.gov/ClinicalTrials

World Health Organization, Medical Records Manual , A Guide for Developing Countries,
2006
26
http://rekamkesehatan.wordpress.com/2009/02/25/definisi-dan-isi-rekam-medis-sesuai-
permenkes-no-269menkesperiii2008/

http://www.ilunifk83.com/t143-informed-consent

27

Anda mungkin juga menyukai