Anda di halaman 1dari 9

Nama : Safa Kamila Nur Azizah

Kelas : XII-E
No Absen : 10

Kasus Pelanggaran HAM


Menurut Perspektif Pancasila

Pelanggaran Sila Pertama

a. Pura di Lumajang dirusak orang tak dikenal

Tak hanya Lamongan, di hari yang sama, masyarakat Lumajang juga digegerkan dengan
perusakan sebuah Pura di daerah Senduro. Para pelaku menghancurkan setidaknya tiga
arca. "Pelaku ini sepertinya memanfaatkan kasus yang ada sekarang ini. Makanya harus diusut
mulai sekarang. Jangan sampai meluas," tegas Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Frans
Barung Mangera saat melakukan konferensi pers, Senin (19/2). Tak hanya Polda Jawa Timur,
Frans mengatakan bahwa kasus ini juga mendapat perhatian dari Mabes Polri. Wakapolri,
Komjen Syafruddin langsung turun ke lapangan untuk memeriksa kejadian tersebut.

b. Perusakan masjid di Tuban

Belum usai kasus perusakan gereja di Yogya dan pengusiran Bikhsu di Tangerang,
penyerangan tempat ibadah kembali terjadi. Kali ini, masjid Baiturrahim di Tuban, Jawa Timur
diserang sekolompok orang.
Kepala Bidang Humas Polda Jawa Timur Kombes Pol Frans Barung Mangera mengatakan,
perusakan masjid terjadi pada Selasa (13/2) pukul 01.00 WIB. Pada pukul 03.00 WIB, Polres
Tuban langsung mengamankan para pelaku yang berjumlah dua orang.
Satu pelaku bernama M Zaenudin (40) warga Desa Karangharjo RT 02 RW 01, Kecamatan
Kragan, Rembang, Jawa Tengah. Zaenudin diamankan di Polda Jatim karena indikasi gangguan
jiwa, satu lain masih dalam penangangan Polres Tuban.
Sebelum kejadian, pelaku Zaenudin pada malam hari mencari-cari seorang Kiai Pondok
Al Ishlahiyah, Gus Mad. Seorang warga, Muhammad, sempat menanyakan tujuan pelaku
mencari-cari hingga ke belakang masjid. Namun, pelaku malah marah dan memukul
Muhammad.
Pelaku kemudian pemecahan kaca masjid, hingga masyarakat sekitar menangkapnya.
Pelaku kemudian diserahkan kepada kepolisian setempat. Dalam proses pemeriksaan, kepolisian
menemukan buku-buku ilmu sufi dan buku makrifat. Namun dugaan ilmu menyimpang dan lain-
lain masih dikembangkan Polda Jatim.

Pelanggaran Sila Kedua

a. Peristiwa Tanjung Priok (1984)

Tragedi tanjung priok merupakan peristiwa yang melibatkan massa Islam dan pemerintahan
Orba (Orde baru). Tragedi di tanggal 12 September 1984 ini menewaskan ratusan orang dari
masyarakat Muslim. (informasi korban simpang siur).
Peluru- peluru timah diberondongkan tentara bersenjata lengkap yang sudah siap
menghadang ribuan massa yang menuntut pembebasan 4 tahanan di Mapolres Jakarta Utara dan
Kodim yang jaraknya berdekatan.
Masa pun berhamburan dan korban berjatuhan. Bahkan, menurut saksi dalam kejadian
tersebut (AQ Djaelani). Beberapa orang yang bertiarap menghindari desingan peluru dilindas
oleh 2 truk yang saat itu mengangkut pasukan tambahan dari arah pelabuhan. (tirtoid)

b. Kerusuhan Mei 1998

Peristiwa ini adalah kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi 13-15 Mei 1998 di
Jakarta dan beberapa kota lainnya. Kejadian ini dipicu oleh penembakan mahasiswa Trisakti
sehari sebelumnya dan juga anggapan bahwa pengusaha- pengusaha Tionghoa-lah yang
menyebabkan ekonomi Indonesia carut-marut.
Toko toko, rumah, kantor swasta, bengkel dan pusat perbelanjaan milik warga keturunan
TIonghoa di hancurkan, dibakar dan dijarah. Sementara itu banyak wanita keturunan tionghoa
yang mengalami pelecehan seksual bahkan dianiaya sampai dibunuh.
Banyak pihak menilai peristiwa tersebut bukanlah sesuatu yang terjadi secara spontanitas.
Namun ada pihak- pihak yang menggerakan kejadian tersebut secara sistematis.

Pelanggaran Sila 3

a. Dayak vs Madura (sampit)

Penduduk asli Kalimantan Barat adalah Suku Dayak yang hidup sebagai petani dan nelayan
Selain suku asli, suku lainnya yang juga telah masuk ke bumi Kalimantan adalah Melayu, Cina,
Madura, Bugis, Minang dan Batak.
Dalam berkomunikasi penduduk yang heterogen ini menggunakan bahasa Indonesia atau
Melayu sebagai bahasa sehari-hari. Tetapi karena tingkat pendidikan mereka rendah, kebanyakan
mereka memakai bahasa daerahnya masing-masing. Dengan demikian seringkali ditemui
kesalahpahaman di antara mereka. Terlebih jika umumnya orang Madura berbicara dengan orang
Dayak, gaya komunikasi orang Madura yang keras ditangkap oleh Orang Dayak sebagai
kesombongan dan kekasaran.
Kebudayaan yang berbeda seringkali dijadikan dasar penyebab timbulnya suatu konflik pada
masyarakat yang berbeda sosial budaya. Demikian juga yang terjadi pada konflik Dayak dan
Madura yang terjadi pada akhir tahun 1996 yaitu terjadinya kasus Sanggau Ledo, Kabupaten
Bengkayang (sebelum pertengahan tahun 1999 termasuk Kabupaten Sambas), di Kalimantan
Barat. Konflik sosial sepertinya agak sulit terpisahkan dari dinamika kehidupan masyarakat
Kalimantan. Setelah itu, pertikaian antar-etnis terjadi lagi di Sambas, lalu disusul di Kota
Pontianak, dan terakhir di Sampit serta menyebar ke semua wilayah di Kalimantan Tengah.
Orang Dayak yang ramah dan lembut merasa tidak nyaman dengan karakter orang Madura
yang tidak menghormati atau menghargai orang Dayak sebagai penduduk lokal yang menghargai
hukum adatnya. Hukum adat memegang peranan penting bagi orang Dayak. Tanah yang mereka
miliki adalah warisan leluhur yang harus mereka pertahankan. Seringkali mereka terkena
tipudaya masyarakat pendatang yang akhirnya berhasil menguasai atau bahkan menyerobot tanah
mereka. Perilaku dan tindakan masyarakat pendatang khususnya orang Madura menimbulkan
sentimen sendiri bagi orang Dayak yang menganggap mereka sebagai penjarah tanah mereka.
Ditambah lagi dengan keberhasilan dan kerja keras orang Madura menelola tanah dan
menjadikan mereka sukses dalam bisnis pertanian.
Kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi merupakan dasar dari munculnya suatu konflik2.
Masyarakat Dayak juga mempunyai suatu cirri yang dominan dalam mata pencarian yaitu
kebanyakan bergantung pada kehidupan bertani atau berladang. Dengan masuknya perusahaan
kayu besar yang menggunduli kayu-kayu yang bernilai, sangatlah mendesak keberadaannya
dalam bidang perekonomian. Perkebunan kelapa sawit yang menggantikannya lebih memilih
orang pendatang sebagai pekerja daripada orang Dayak. Hal yang demikian menyebabkan
masyarakat adat merasa terpinggirkan atau tertinggalkan dalam kegiatan perekonomian penting
di daerahnya mereka sendiri. Perilaku orang Madura terhadap orang Dayak dan keserakahan
mereka yang telah menguras dan merusak alamnya menjadi salah satu dasar pemicu timbulnya
konflik di antara mereka.

b. POLRI vs KPK

Adalah para pengacara Irjen Polisi Djoko Susilo yang meminta fatwa hukum kepada
Mahkamah Agung, untuk menentukan siapa yang memiliki kewenangan melakukan penyidikan
atas kasus dugaan korupsi pengadaan alat uji simulator SIM. Mereka adalah para pengacara
terkenal, tentunya paham betul tata cara dan aturan bagaimana meminta fatwa hukum pada MA.
Senin kemarin Ketua Muda MA Bidang Pidana Khusus, Djoko Sarwoko menyatakn : ”MA tak
akan mengeluarkan fatwa hukum, sebab yang berhak meminta fatwa MA hanyalah lembaga
negara”. Dengan kata lain, MA tak akan melayani permintan perorangan!
Dengan sikap MA seperti itu, maka mestinya besok, tanggal 5 Oktober 2012,tak ada lagi
alasan bagi Irjen. Pol. Djoko Susilo untuk menolak panggilan pemeriksaan oleh KPK. Aneh
sebenarnya, ketika DS menolak diperiksa oleh KPK dengan alasan masih menunggu putusan
MA – siapa yang berhak memeriksa kasus ini : KPK atau Polri – sementara ia sudah memenuhi
panggilan Polri. Bukankah seharusnya DS tak mau dipanggil lembaga penegak hukum mana pun
– termasuk Kepolisian – sebelum ada putusan MA?
Pasca penolakan DS untuk memenuhi panggilan KPK, Kapolri Jendral Timur Pradopo
ditanya wartawan soal bersediakah beliau datang jika dipanggil KPK terkait kasus ini, mengingat
Kapolri lah yang membubuhkan tanda tangan pada surat keputusan penunjukan vendor dalam
pengadaan alat uji simulator SIM itu. Dengan tegas dan spontan Kapolri menjawab dirinya
bersedia. Bahkan Kapolri meminta DS untuk memenuhi panggilan KPK.
Nah, jika apa yang dikatakan Kapolri ini memang benar tulus dan bukan retorika semata,
maka seharusnya penolakan DS untuk memenuhi panggilan KPK dapat dikategorikan sebagai
bentuk penolakan / pembangkangan perintah atasan. Logikanya, jika Polri memegang teguh
doktrin patuh pada komando atasan, mestinya DS diberi sanksi. Bukankah DS masih Jendral
Polisi aktif yang terikat pada kode etik Kepolisian yang mengharuskannya patuh pada perintah
atasan dan bukan pada saran pengacara?
Kini, yang menghimbau DS untuk memnuhi panggilan KPK bukan hanya Kapolri, tapi
juga Menkopolhukam. Akankah himbauan para petingi Polri dan militer ini hanya jadi macan
ompong belaka? Akankah dikalahkan oleh perang urat syaraf yang dilancarkan para pengacara
DS? Kita akan bisa lihat 5 Oktober besok. Demi harga diri dan kehormatan Irjen. Pol. Djoko
Susilo dan institusi Polri, seharusnya DS dengan gentle memenuhi panggilan KPK. Inilah
kesempatan bagi DS menunjukkan dirinya bersih. Dengan mengulur-ulur proses
pemeriksaannya, sama saja DS mengijinkan dirinya dan Polri jadi bulan-bulanan media massa.
Semakin besar resistensi DS menolak panggilan KPK, makin besar pula kecurigaan
publik. Kalau bersih, kenapa harus risih Jendral?

Kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM ini seolah membuat Polri
tersengat. Mereka kompak menghadapi KPK. Irjen DS tak dibiarkan menghadapi masalahnya
sendiri. Setidaknya perang urat syaraf dan opini untuk mendelegitimasi KPK dilancarkan. Salah
satunya lewat pernyataan Wakil Kepala Polri Komjen Pol. Nanan Sukarna pada 26 September
2012 lalu. Nanan menuduh KPK mengeluarkan dana sangat besar untuk membayar konsultan
pencitraan. Entah fakta apa yang mendasarI Nanan melontarkan sinyalemen itu. Apakah Nanan
bisa membuktikan tuduhannya atau tidak, masih perlu diuji.

Metro TV pernah membahas tuduhan ini dalam sebuah dialog. Sayangnya Kabag.
Penum. Div. Humas Mabes Polri, Agus Rianto, yang menjadi nara sumber mewakili Polri, tak
bisa secara spesifik menjelaskan tuduhan yang dilontarkan Wakapolri indikasinya apa.
Sebaliknya, Alex Laay, pengacara KPK, menjelaskan bahwa para pengacara, praktisi hukum,
penggiat anti korupsi, tokoh masyarakat, akademisi dan pemuka agama yang sejak kasus cicak
vs buaya tahun 2009 lalu berada di belakang KPK, semuanya melakukan semata untuk
memberikan dorongan moril kepada KPK, karena semangat melawan korupsi. Mereka
melakukannya dengan sukarela, tanpa dibayar.

Pelanggaran sila keempat

a. “Demo Ricuh, Sejumlah Mahasiswa Ditangkap”

SUKOHARJO – Demo penolakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di pertigaan
Universitas Veteran Bangun Nusantara, Jalan Jenderal Sudirman, Kabupaten Sukoharjo,
semalam, ricuh. Akibatnya, sejumlah mahasiswa ditangkap oleh pihak Polres Sukoharjo.
Awalnya demo gabungan 80 mahasiswa dari BEM Univet, Staimus, IMM dan BEM UMS,
LMND dan HMI Sukoharjo, berlangsung tenang. Namun mahasiswa mencoba membakar ban di
protokol dan sempat menyala besar. Tidak lama, terjadi kericuhan karena adanya pelemparan
telur, batu dan bambu ke arah polisi. Hanya saja pihak mahasiswa mengklaim tidak
melakukannya. ”Demo penolakan kenaikan harga BBM, kami tidak menggunakan perangkat
seperti telur dan batu,” terang Korlap, Anggun Hatta.
Saat terjadi kericuhan, mahasiswa berhamburan masuk ke dalam kampus Univet Bangun
Nusantara yang tidak jauh dari Jalan Jenderal Sudirman. Namun sejumlah mahasiswa ditangkap
dan dimintai keterangan di Polres Sukoharjo.
Beda Versi Pihak mahasiswa menyatakan dari mereka ada enam orang yang ditangkap. Versi
kepolisian ada empat orang. ”Teman kami terluka bagian mata, sehingga lebam. Ada yang
telinga berdarah. Empat orang diinterogasi di Polres, kemudian yang lainnya keberadaannya
tidak jelas,” ungkap Anggun keras.
Ketegangan sempat terjadi saat Kapolres Sukoharjo AKBP Andy Rifai mendatangi para
pendemo. Bahkan sebelumnya, spanduk besar berukuran 3×2 meter berisi ”Mengutuk Kekerasan
terhadap Mahasiswa” yang membentang di depan kampus, diturunkan paksa. Kapolres Andy
menegaskan, hanya empat mahasiswa yang ditangkap. Mereka terindikasi melempar telur busuk,
batu dan bambu ke arah polisi yang tengah menjaga aksi demo.
Andy menjelaskan, ada 100 personel yang ditugaskan untuk mengamankan demo gabungan
mahasiswa tersebut. Karena sebenarnya, menurut dia, demo yang digelar setelah pukul 18.00,
tidak diperbolehkan. Sesuai UU No 9/1998 tentang Menyampaikan pendapat, maksimal digelar
pukul 18.00. Bahkan Andy mengklaim, tidak ada izin pada pihak kepolisian.

b. Kasus korupsi e-KTP


Megakorupsi yang sedang hangat-hangatnya menghantui negeri ini. KPK sendiri menilai
bahwa kasus KTP elektronik ini adalah kasus yang sangat serius lantaran melibatkan banyak
sekali para petinggi negara.
Korupsi e-ktp yang menggerogoti negara. [Image Source].Kasusnya bermula pada saat
Kemendagri mengumumkan Konsorsium PT PNRI sebagai pemenang tender proyek dengan
harga Rp 5,9 triliun. Namun, lembaga Indonesian Corruption Watch menilai adanya kejanggalan
dalam megaproyek tersebut. Dan benar saja, enam bulan kemudian, Komisi Pengawas
Persaingan Usaha menyatakan adanya persekongkolan dalam tender tersebut.
Lalu siapa saja para petinggi negeri yang diduga kuat terlibat? Nama-nama yang diduga
mendapat uang panas dan akan segera diperiksa oleh KPK di antaranya adalah mantan Mendagri
Gamawan Fauzi, Gubernur aktif Jawa Tengah Ganjar Pranowo, hingga Ketua DPR saat ini Setya
Novanto. Sedangkan KPK sudah menetapkan dua tersangka dalam kasus ini: Dirjen
Kependudukan dan Catatan Sipil Sugiharto dan stafnya, Irman. Dalam proyek ini negara merugi
hingga Rp 2,3 triliun

Pelanggaran Sila kelima

a. “Janda miskin tak dapat psks”

SRAGEN – Salah satu warga miskin, Sutarni (60) asal Kampung Kuwung Sari RT 003 RW
20, Kelurahan Sragen Kulon, ternyata tidak mendapat dana program simpanan keluarga sejahtera
(PSKS). Ironisnya, janda beranak satu itu tinggal satu kampung dengan Bupati Agus Fachtur
Rahman. Rumahnya pun hanya berjarak sekitar 100 meter dari kediaman Bupati.
Di temui di rumahnya, Selasa (14/4), dia mengaku sejak tahun lalu tak mendapat bantuan uang
kompensasi dari pemerintah yang sebelumnya berlabel Bantuan Langsung Tunai (BLT). Dirinya
selama ini hanya memperoleh batuan beras untuk rakyat miskin (raskin).
Dari pantauan, rumah nenek itu tidak layak huni. Di rumah selebar empat meter dan panjang
enam meter itu, dirinya tinggal bersama anak tunggalnya, Sri Lestari (18) yang bekerja sebagai
karyawan toko.
‘’Tahun lalu dan sekarang tidak dapat (bantuan PSKS-red). Padahal saya ya ingin dapat
untuk keperluan sehari-hari membeli seperti membeli sembako,’’ ungkapnya.

Dia mengaku selama ini tidak bekerja, lantaran kondisi tubuh yang tidak memungkinkan.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, dirinya hanya mengandalkan pemasukan anak serta bantuan
dari tetangga. Diakuinya, dia kali pertama mendiami Bumi Sukowati setelah pindah dari Matesih
Karanganyar sejak 18 tahun silam, saat Bupati HR Bawono membuka lowongan petugas
penyapu jalan.
Setelah itu berbagai pekerjaan serabutan ia lakukan, seperti mengamen dan membantu warga
sekitar. ‘’Saya hanya bisa berahrap agar pemerintah memberi bantuan. Mereka yang mampu
malah dapat.
Saya sungkan terus menerima bantuan dari tetangga,’’ paparnya. Nasib sama juga dialami
tetangga Sutarni, Harmin (60). Pria yang selama ini bekerja sebagai tukang angkut sampah
tersebut mengaku selama ini tidak terdaftar sebagai penerima bantuan PSKS.
Dia mengaku pernah didata oleh pihak kelurahan untuk bantuan dana kompensasi, namun
belum ada tindak lanjut. Menurutnya, penghasilannya Rp 200 ribu sebulan tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup.
‘’Kami berharap pemerintah bersikap adil. Karena uang itu banyak membantu warga seperti
saya,’’ujar dia.

b. 35,90 Persen Anak Tidak Sekolah Karena Biaya

Sebanyak 35,90 persen anak di perkotaan dan pedesaan berumur antara 7 hingga 17 tahun
yang tidak sekolah, akibat tidak ada biaya.
"Dari beberapa alasan yang disampaikan, tidak ada biaya menjadi penyebab paling dominan
bagi anak usia 7 sampai 17 tahun untuk tidak sekolah atau belum pernah sekolah, atau juga tidak
bersekolah lagi," ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(PPPA) Yohana Yembise seperti dilansir Antara (24/11/2016).
Yohana menjelaskan, pendidikan yang diupayakan pemerintah sebagai usaha untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, dilihat dari Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan
Tahun.
Yohana menegaskan, melalui program itu, anak-anak Indonesia harus sekolah minimal
hingga sembilan tahun, atau lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP). Namun, program tersebut
dirasakan belum optimal jika melihat masih banyak anak putus sekolah.

"Pendidikan murah atau gratis yang banyak diwacanakan dan diinginkan kalangan
masyarakat, memang akan menolong jika ditinjau secara faktor ekonomi," kata dia.
Meski demikian, Yohana mengatakan, kebijakan tersebut harus juga ditunjang dengan
kebijakan lain, untuk menuntaskan berbagai faktor penyebab putus sekolah lainnya.
"Sebab faktor ekonomi bukanlah penyebab satu-satunya anak putus sekolah. Karena masih
ada beberapa alasan lain, seperti faktor psikologis, geografis, dan lingkungan sosial yang
mengakibatkan anak mengalami putus sekolah," ujar dia.
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat,
selain faktor tidak ada biaya, terdapat tujuh alasan lain yang mengakibatkan anak putus sekolah.
Pertama, bekerja atau mencari nafkah sebesar 15,06 persen. Kedua, menikah atau mengurus
rumah tangga 7,52 persen.
Ketiga, merasa pendidikan cukup sebesar 4,90 persen. Keempat, malu karena ekonomi
sebesar 2,11 persen. Kelima, sekolah jauh 3,10 persen. Keenam, cacat atau difabilitas 4,56
persen. Dan ketujuh, karena faktor lainnya sebesar 26,84 persen.

Anda mungkin juga menyukai