Anda di halaman 1dari 2

Virda Yustika

1706035901

Kerukunan Umat Beragama dengan Pemerintah

Fundamentalisme seperti yang telah dikemukakan oleh Karen Armstrong, merupakan salah
satu fenomena yang sangat mengejutkan pada abad ke-20. Lantas kenapa terlihat lumrah dan biasa
saja? Karena mereka mampu menempatkan diri dan cara pandang secara tepat, bahwa negara
adalah negara, politik adalah politik, agama adalah agama. Mereka juga paham betul bahwa politik
dan agama adalah dua sisi yang berbeda laksana kepala dan ekor pada uang logam. Tidak boleh
terlalu rapat tapi jangan juga terlalu jauh. Keduanya mempunyai fungsi dan tabiatnya masing-
masing. Laiknya minyak dan air yang tak boleh dicampuradukkan, tapi dua-duanya tetap
dibutuhkan.

Begitu mengerikan ekspresi dari fundamentalisme saat ini, peristiwa paling menghebohkan
dunia yang terjadi pada Semtember 2001 silam yaitu penghancuran gedung World Trade Center
(WTC) di New York, Amerika Serikat, kejadian tersebut dihubungkan dengan fundamentalisme.
Sementara di Indonesia terjadi peristiwa bom bunuh diri di berbagai tempat. tempat seperti Bom
Bali I, Bom Bali II, Bom Kedutaan Besar Australia di Jakarta, dan lain sebagainya. Motif dari
berbagai peristiwa terorisme tadi mewujudkan betapa toleransi harus menjadi pola komunikasi
antar warga. Terlepas dari perbedaan agama, suku, etnis, budaya dan Negara juga status sosial.
Dengan sikap toleran inilah diharapkan terciptanya kerukunan antar warga yang relasinya akan
menciptakan dunia yang damai. Perdamaian dengan tidak pertumpah darahan. Perdamaian dengan
tidak adanya kelompok yang merasa di marjinalkan. Untuk itu penulis rasa perlunya memahami
toleransi sebagai sebuah jalan menuju perdamaian yang diharapkan tadi. Meski perlu disadari
benturan-benturan peradaban memang tak dapat disangkal secara empiris. Peristiwa itu tidak jauh
dari fundamentalisme agama yaitu menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan dengan
dilandasi fanatisme agama yang berlebihan.

Perang Salib (1069-1291) merupakan perang antar umat Kristen Eropa dengan umat Islam
yang memperebutkan Yerussalem/Palestina. Perang Salib berlangsung hinggga tujuh kali (Perang
Salib VII tahun 1270-1291) status Yerusalem/Palestina tidak berubah, yaitu tetap dikuasai umat
Islam. Bahkan kedudukan Barat/Kristen di Syira dan Palestina hilang. Keuntungan dari
peperangan itu, Barat menjadi mengenal dan memanfaatkan kebudayaan umat Islam yang sudah
lebih tinggi daripada yang mereka miliki saati itu. Selain itu, hubungan dagang Asia-Eropa
menjadi lebuh hidup dan berkembang.

Sebenarnya kita harus benar-benar peka terhadap hubungan agama dan Negara ini bahkan
banyak kalangan tidak setuju terhadap partai-partai berbasis agama. Kenapa? Karena justru saat
ini agama dijadikan alat politik (dan sangat sering diperalat politisi) untuk mencapai tujuan,
bahkan bilapun itu harus dengan menghalalkan segala cara. Makanya jangan heran kalau
kemurnian dan kesucian agama ini justru semakin menghilang dan tercemar. Agama seharusnya
menawarkan apa yang tidak bisa diberikan dunia, bukan justru ikut-ikutan dan bahkan diperalat.
Secara dasariah agama itu baik adanya, para pelakunya yang justru harus koreksi diri.
Untuk meminimalkan konflik antar umat beragama dapat dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut:

1. Tidak memperdebatkan segi perbedaan dalam agama


2. Melakukan kegiatan sosial yang melibatkan agama berbeda
3. Membuat orientasi pendidikan pada pengembangan aspek pemahaman agama yang
bersifat universal
4. Meningkatkan pembinaan individu yang mengarah pada terbentuknya pribadi yang
berbudi pekerti
5. Menghindari jauh-jauh sifat egoisme dalam beragama yang mengklaim mereka paling
benar

Agama merupakan pondasi hidup setiap manusia, tanpa adanya agama manusia tidak bisa
berpikir secara naluri dan tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Indonesia merupakan negara yang meyakini keberadaan agama sebagai hal tersebut, ada 6
keyakinan yang terdapat di Indonesia dan masing-masing keyakinan mempunyai dasar ataupun
pedoman sesuai dengan keyakinannya. Pancasila khususnya Sila ke-1 menyebutkan “Ketuhanan
Yang Maha Esa”, sudah jelas dan tidak diragukan lagi, setiap manusia pasti mempunyai Tuhan
dan percaya bahwa Tuhan itu ada.

Manusia adalah makhluk beragama dan bernegara. Agama memberikan nilai-nilai moral,
norma pelajaran tentang tanggung jawab individu dan sosial serta memberi petunjuk mencapai
kebaikan setelah kematian. Sedangkan dari negara manusia mendapat jaminan ketertiban dan
kenyamanan dalam kehidupanya didunia. Untuk mewujudkan pola hubungan yang dinamis antara
agama dan negara diIndonesia, kedua komponen Indonesia tersebut seyogyanya mengedepankan
cara-cara diologis manakala terjadi persisihan pandangan antara kelompok masyarakat sipil
dengan negara. Untuk menompang tumbuhnya budaya dialog tersebut negara bisa menyediakan
fasilitas-fasilitas demokrasi, kebebasan pers, kebebasan beroeganisasi, serta meningkatkan
fasilitas publik guna menampung opini warga.

Daftar Pustaka

Azra, Azyumardi, pendidikan kewarganegaraan edisi ketiga, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta:2008

Dadang Kahmad Msi, Dr. H. Sosiologi agama.Pt. Remaja Rosdakarya, Bandung, Januari 2002

Departemen Agama RI. Konflik sosial Bernuansa Agama DiIndonesia ,Badan Litbang Agama dan
Diklat Keagamaan. Jakarta:2003

Djauhari. Pedoman Dasar Kerukunan Hidup Beragama. Jakarta: Depag. 1983

Kurniawan, Civic Education. Lembaga Penerbitan dan Percetakan STAIN Curup. Curup: 2010

Anda mungkin juga menyukai