Anda di halaman 1dari 2

TAJUK RENCANA

Rabu, 12 Januari 2011 | 03:21 WIB

Kritik atas Kebohongan Publik

Keresahan sejumlah tokoh agama mengawali tahun 2011 bukan tanpa alasan. Mereka menyuarakan
keresahan umat. Pamrihnya kepentingan publik.

Oleh karena itu, pertemuan para tokoh agama yang digagas Maarif Institute, Senin (10/1), itu bermakna
profetis. Di antaranya jauh dari muatan kepentingan politik praktis, kecuali sesuai dengan fungsi
kenabian agama-agama menyuarakan apa yang dirasakan umat. Dan, justru dalam konteks fungsi itu,
seruan mereka sah secara etis dan moral, sepantasnya mendapatkan perhatian.

Seruan profetisnya jelas. Pemerintah melakukan kebohongan-kebohongan publik, menyitir istilah


Ahmad Syafii Maarif. Kekuasaan atas nama rakyat dikelola tidak terutama untuk kebaikan bersama.
Seruan itu terdengar sarkastis yang menggambarkan gentingnya keadaan. Kebohongan tidak saja
dilakukan eksekutif, tetapi juga yudikatif dan legislatif—tiga lembaga negara demokratis.

Peristiwa aktual-heboh pelantikan terdakwa kasus korupsi Wali Kota Tomohon Jefferson Rumajar dan
penanganan terdakwa kasus mafia pajak Gayus Tambunan sekadar dua contoh. Legalitas pelantikan
berbenturan dengan rasa keadilan publik. Kasus pelesir Gayus ke Bali, Makau, dan entah ke mana lagi
mungkin hanya aberration (penyimpangan) kasus raksasa masalah mafia pajak.

Dua contoh di atas merupakan puncak gunung es sikap dasar (optio fundamentalis) tidak jujur, tertutup
praksis politis yang menafikan kebaikan bersama sebagai acuan berpolitik. Media massa sudah nyinyir
menyampaikan praksis kebohongan yang seolah-olah majal berhadapan dengan kerasnya batu karang
nafsu berkuasa.

Begitu liat-rakusnya kekuasaan sampai kebenaran yang menyangkut data pun dinafikan. Kebohongan
demi kebohongan dilakukan tanpa sadar sebagai bagian dari praksis kekuasaan tidak prorakyat. Jati diri
sosiologi praktis para tokoh agama adalah menyuarakan seruan profetis, representasi keresahan dan
keprihatinan umat. Kita tangkap dalam ranah itulah kritik atas kebohongan publik para tokoh agama.
Hendaknya disikapi sebagai seruan profetis, seruan mengingatkan rakusnya kekuasaan, dan ajakan elite
politik kembali kepada jati diri sebagai pelayan masyarakat.
Kritik atas kebohongan niscaya disampaikan semata- mata karena rasa memiliki atas masa depan negeri
bangsa ini. Seruan mereka tidak dengan maksud mengajak berevolusi, tetapi menyuarakan nurani etis-
moralistis. Mereka pun tidak bermaksud membakar semangat revolusioner, tetapi penyadaran bersama
tentang gawatnya keadaan. Suara kenabian mengajak laku otokritik, bersama-sama melakukan evaluasi
dan refleksi. Bahwa kekuasaan atas mandat rakyat perlu dikelola untuk bersama-sama maju.

Pluralitas Indonesia sebagai realitas yang sudah niscaya perlu terus dikembangkan, dimanfaatkan
sebagai sarana memajukan rakyat. Sekaligus menghentikan ”patgulipat” apologetis atas nama rakyat.
Rakyat seharusnya menjadi titik pusat dan batu penjuru atas praksis kekuasaan.

Anda mungkin juga menyukai