Anda di halaman 1dari 33

Laporan Kasus

ERYTHEMA NODOSUM
LEPROSUM

Oleh:

Githa Natalis Sitompul

Pembimbing:

Dr. Sugianto, Sp.KK

Dibawakan Dalam Rangka

Tugas Program Internship Dokter Indonesia

RSUD Kudungga, Sangatta

2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Reaksi kusta timbul akibat dari perubahan tiba-tiba dari status imun seseorang
terhadap bacillus yang hidup maupun mati. Terkadang hal ini menjadi gambaran
klinis penyakit tersebut. Reaksi dapat timbul kapan saja, baik sebagai perjalanan
alami penyakit, selama pengobatan atau bahkan setelah selesai pengobatan dengan
MDT. Terdapat dua tipe dari reaksi akut, yaitu rekasi 1 (reaksi reversal) dan reaksi 2
(Eritema nodosum leprosum = ENL). Kebanyakan deformitas dan disabilitas pada
penyakit kusta justru akibat reaksi kusta. Namun, reaksi kusta tidak diindikasikan
sebagai kegagalan pengobaan; justru diartikan sebagai pembasmian bakteri dan
pembersihan antigen.1

Erythema nodosum leprosum (ENL) merupakan komplikasi dari penyakit lepra


akibat suatu reaksi imun. Eritema nodosum leprosum ditandai dengan adanya
beberapa infeksi berupa nodul pada kulit dan gejala sistemik seperti demam, malaise,
artritis, iritis, neuritis dan linfadenitis. Walaupun penyebaran kasus lepra berkurang,
kasus reaksi lepra ini menjadi hal yang penting. ENL dapat mengenai kurang lebih
30-40% pasien lepra, menyebabkan rasa nyeri yang parah dan kecacatan. ENL
merupakan komplikasi imunologi yang serius serta sukar ditangani, khusunya ada
spektrum BL dan LL. Sebagian besar penderita dengan ENL akan mengalami
beberapa kali episode ENL selama bertahun-tahun, yaitu sebagai episode multipel
akut atau kronik.1,2

Pasien dengan lepra lepromatosa (LL) atau borderline paling memungkinkan


terkena reaksi ENL yang dapat timbul sebelum, selama ataupun sesudah diobati
dengan obat paket (MDT = multidrug treatment). Prevalensi ENL di Asia Tenggara

2
dan Brazil lebih banyak (25-49% kasus LL) dibanding dengan Africa (5%),
kemungkinan berhubungan dengan genetik.1

1.2.Tujuan

Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah untuk menambah pengetahuan
tentang penyakit kusta dan untuk menambah kemampuan menganalisa suatu kasus.

3
BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama: Tn. R

Jenis kelamin: Laki-laki

Usia: 53 tahun

Alamat: Jalan Poros Kaliorang, Kaliorang, Kutai Timur

Suku: Jawa

Agama: Islam

MRS: 10 Juni 2018

No RM: 142844

2.2 Anamnesis

Keluhan utama: benjolan-benjolan merah pada kulit

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien rujukan dari RS Pratama Sangkulirang datang dengan keluhan muncul


benjolan kemerahan pada hampir seluruh badan sejak kurang lebih satu minggu
SMRS. Benjolan awalnya muncul di bagian punggung atas kemudian muncul di
leher, wajah, lengan serta kaki dan sedikit di perut. Awalnya benjolan kecil seperti
bisul, semakin lama membesar dan bertambah banyak disertai rasa nyeri dan panas.
Pasien mengatakan bahwa pasien riwayat berobat penyakit kusta di RSUD Kudungga
kurang lebih 3-4 bulan yang lalu, kemudian pasien melanjutkan pengobatan di
Puskesmas setempat dan mengatakan saat obat habis, diberikan obat yang berbeda
dengan obat yang diberikan di RSUD. Sejak mengonsumsi obat dari PKM tersebut,
gejala tersebut muncul. Pasien juga mengeluh demam hilang timbul dan tidak
menentu kapan munculnya.

4
Selain keluhan tersebut, pasien juga mengeluh diare sejak 3 hari SMRS, dengan
frekuensi buang air besar lebih dari 10 kali, encer, berwarna coklat dan pernah
kehitaman serta bau sekali. Oleh karena itu pasien juga merasa nyeri perut dan mual,
namun tidak ada muntah.

Riwayat penyakit dahulu:

Pasien dikatakan terkena penyakit kusta kurang lebih sejak bulan Maret 2018
dan sudah mendapatkan pengobatan kusta dalam bentuk obat paket. Namun pasien
belum pernah mengalami keluhan seperti saat ini.

Riwayat penyakit keluarga:

Tidak ada keluarga pasien yang pernah mengalami penyakit kusta

2.3. Pemeriksaan fisik:

Dilakukan tanggal 10 Juni 2018

KU: tampak sakit sedang

Kesadaran: Compos mentis, GCS E4M6V5

Tanda-tanda vital:

TD: 120/80 mmHg

N: 80x/menit

RR: 20x/menit

T: 37,9°C

Kepala dan leher

Mata: CA +/+, SI -/-, pupil isokor, RCL +/+

Telinga: tampak penebalan kedua cuping telinga

Leher: KGB tidak teraba membesar

Tidak teraba pembesaran N. aurikularis magnus

5
Thorax

Inspeksi: Simetris ka=ki; Retraksi –

Palpasi: Pergerakkan dinding dada simetris, Fremitus vokal simtris ka=ki

Perkusi: Sonor ka=ki

Auskultasi: Paru: BND: vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/-

Jantung: S1-S2 tunggal, M -, G –

Abdomen

Inspeksi: Tampak datar

Palpasi: Supel +, nyeri tekan epigastrium +

Perkusi: Timpani +, nyeri ketok –

Auskultasi: BU + normal

Extremitas: Akral hangat +, edema -, CRT <2”

Teraba pembesaran N. ulnaris dextra et sinistra

Efloresensi:

Status Dermatologis:

Jenis: makula eritema, nodul

Lokasi: wajah, punggung, lengan tangan kanan dan kiri, tungkai kanan dan
kiri,

Distribusi: generalisata

Susunan: sirsinar

Bentuk: bulat

Ukuran: numularis

Batas: tegas

6
Tepi: aktif

Bagian tengah: tidak ada central healing

Gambar Klinis Pasien datang, 10 Juni 2018

7
2.3 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium 10 Juni 2018

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Hb 6,3 gr% P: 14-16; W: 12-14
Leukosit 20.000/mm3 5.000-10.000
Eritrosit 3,16/mm3 P: 4,5-5,5 ; W: 4,0-4,5
Ht 20,8 % P: 40-48 ; W: 34-37
Trombosit 331.000/mm3 150.000-450.000
GDS 130 mg/dl 60-150
Ureum 41 mg/dl 10-50
Creatinin 1,38 mg/dl P: 0,7–1,2; W: 0,5-0,9
SGOT 21 U/l P<37; W: <31
SGPT 11 U/l P <41; W: <31

Laboratorium 14 Juni 2018

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


Hb 8,9 gr% P: 14-16; W: 12-14
Leukosit 11.500/mm3 5.000-10.000
Eritrosit 4,02/mm3 P: 4,5-5,5 ; W: 4,0-4,5
Ht 28,2 % P: 40-48 ; W: 34-37
Trombosit 283.000/mm3 150.000-450.000

8
Laboratorium 15 Juni 2018

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


BTA telinga +++ Negatif
Kanan
BTA telinga ++++ Negatif
kiri

2.4 Diagnosis Kerja

Eritema Nodosum Leprosum

Gastroenteritis akut

Anemia Sedang e.c. melena e.c susp ulkus peptikum

2.5. Terapi

Hari 0 (10 Juni 2018)

- Ceftriaxone 2 gr/24 jam (IV)  Skin test

- Paracetamol 1 gr/ 8 jam (IV)

Konsul/ rawat bersama dengan dr. F. Wilson, Sp.PD, advis:

- IVFD RL 30 tetes/menit

- Levofloxcin 500 mg / 24 jam (IV)

- Pantoprazole 40 mg/ 12 jam (IV)

- Ondansentron 8mg/ 8 jam (IV)

- Rhillus tablet 2 x 1 tablet (dikunyah)

- transfusi PRC 1 kantong/hari sampai dengan Hb 8 gr%

9
Hari 1 (11 Juni 2018) Hari 2 (12 Juni 2018) Hari 3 (13 Juni 2018) Hari 4 (14 Juni 2018)
- Inj. Ceftriaxone - Inj. Ceftriaxone - Inj. Ceftriaxone - Inj. Ceftriaxone
2gr/24 jam 2gr/24 jam 2gr/24 jam 2gr/24 jam
- PCT infus/ 8 jam - PCT infus/ 8 jam - PCT infus/ 8 jam - PCT infus/ 8 jam
- Salap - Salap - Inj. - Inj.
Dexosimethasone Dexosimethasone Metilprednisolon Metilprednisolon
30gr + Genalten 30gr + Genalten 62,5 mg/ 24 jam 62,5 mg/ 24 jam
20 gr 20 gr - Salap - Salap
- IVFD RL 20 tpm - IVFD RL 20 tpm Dexosimethasone Dexosimethasone
- Inf. Levofloxacin - Inf. Levofloxacin 30gr + Genalten 30gr + Genalten
500 mg/ 24 jam 500 mg/ 24 jam 20 gr 20 gr
- Inj. Pantoprazole - Inj. Pantoprazole - IVFD RL 20 tpm - IVFD RL 20 tpm
40 mg/ 12 jam 40 mg/ 12 jam - Inf. Levofloxacin - Inf. Levofloxacin
- Inj. Ondansentron - Inj. Ondansentron 500 mg/ 24 jam 500 mg/ 24 jam
8 mg/ 8 jam 8 mg/ 8 jam - Inj. Pantoprazole - Inj. Pantoprazole
- Rhillus tablet 2 x - Rhillus tablet 2 x 40 mg/ 12 jam 40 mg/ 12 jam
1tablet (dikunyah) 1tablet (dikunyah) - Inj. Ondansentron - Inj. Ondansentron
- Transfusi PRC - Transfusi PRC 8 mg/ 8 jam 8 mg/ 8 jam
sampai Hb 8gr% sampai Hb 8gr% - Rhillus tablet 2 x - Rhillus tablet 2 x
1tablet (dikunyah) 1tablet (dikunyah)
- Transfusi PRC
sampai Hb 8gr%

10
BAB 3

Tinjauan Pustaka

3.1.Definisi

Erythema nodosum leprosum (ENL) merupakan komplikasi dari penyakit lepra


akibat suatu reaksi imun. Eritema nodosum leprosum ditandai dengan adanya
beberapa infeksi berupa nodul pada kulit dan gejala sistemik seperti demam, malaise,
artritis, iritis, neuritis dan linfadenitis.1

Eritema Nodosum Leprosum (ENL) adalah suatu episode peradangan akut yang
terjadi dalam perjalanan kronis penyakit kusta, terutama pada spektrum klinis
lepromatosa. Secara klinis ditandai dengan munculnya gejala umum seperti panas
badan, nyeri pada berbagai sendi disertai timbulnya nodul yang multipel di seluruh
badan dengan seluruh gejala peradangan akut.Bila reaksi ini mengenai saraf tepi bisa
terjadi neuritis akut dan akhirnya menjurus ke kecacatan. Bila hebat, dapat terjadi
ulserasi pada kulit (ENL necroticans) dan bila terjadi di organ dalam bisa terjadi
glomerulo-nefritis atau iridosiklitis.1,2,3

3.2.Etiologi

Tidak ada perbedaan organisme penyebab terjadinya reaksi kusta.Kuman


penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh G. A. Hansen pada
tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam
media artifisial. M. leprae berbentuk kuman dengan ukuran 3-8 mikro x 0,5 mikro,
tahan asam dan alkohol serta merupakan bakteri Gram positif.1
Yang membedakan adalah reaksi kusta terjadi justru akibat perubahan tiba-tiba
dari status imun seseorang terhadap bacillus yang hidup maupun mati. Namun
perubahan status imun ini bisa dipengaruhi dari jenis kusta yang dimiliki pasien.
Reaksi kusta seperti ENL lebih sering terjadi pada tipe kusta multi basilar

11
dibandingkan dengan tipe pausi basilar dikarenakan semakin banyaknya bacillus di
dalam tubuh pasien.2.3

3.3.Patogenesis

Reaksi tipe 2 juga disebut Erythema Nodosum Leprosum (ENL). Reaksi ini biasa
muncul pada kusta tipe MB mengarah ke akhir dari spektrum lepromatosa. Selama
masa pengobatan banyak bacillus lepra yang terbunuh dan antigen dikeluarkan.
Antigen-antigen ini menyatu dengan antibodi di dalam jaringan dan darah,
menghasilkan kompleks antigen-antibodi yang mengaktifkan sistem komplemen,
menghasilkan reaksi Arthus (Coombs ad Gel Type III). Kompleks imun tersimpan di
berbagai jaringan menyebabkan inflamasi. Organ vital dapat terkena seperti mata,
testis, ginjal, hati, saraf, endokardium dan otot.2,3,4

Konsep klasik terjadinya ENL adalah terjadinya reaksi hipersenstivitas tipe III
dengan bentuk reaksi lokal atau disebut Fenomena Arthus, di mana terjadi kompleks
antigen-antibodi yang selanjutnya akan mengendap di sepanjang pembuluh darah
yang akan menimbulkan vaskulitis. Dalam keadaan normal, kompleks imun dalam
sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke hati, limpa dan akan dimusnahkan oleh sel
fagosit mononuclear, terutama di hati, limpa, dan paru tanpa bantuan komplemen.
Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dan cepat dimusnahkan
oleh makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan, karena
itu dapat lebih lama berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa gangguan fungsi fagosit
merupakan salah satu penyebab mengapa kompleks tersebut sulit dimusnahkan.
Meskipun kompleks imun berada di dalam sirkulasi untuk jangka waktu lama,
biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun tersebut
mengendap di jaringan.2,5

12
Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten, bahan yang
terhirup, atau dari jaringan sendiri. Infeksi dapat disertai antigen dalam jumlah yang
berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif. Makrofag yang
diaktifkan kadang belum dapat menyingkirkan kompleks imun sehingga makrofag
dirangsang terus menerus untuk melepas berbagai bahan yang dapat merusak
jaringan. Kompleks imun yang terdiri atas antigen dalam sirkulasi dan IgM ata IgG3
(dapat juga IgA) diendapkan di membrane basal vaskular dan membran basal ginjal
yang menimbulkan reaksi inflamasi lokal dan luas. Kompleks yang terjadi dapat
menimbulkan agregasi trombosit, aktivasi makrofag, perubahan permeabilitas
vaskular, aktivasi sel mast, produksi dan pengelepasan mediator inflamasi dan bahan
kemotaksik serta influks neutrofil. Bahan toksik yang dilepas neutrofil dapat
menimbulkan kerusakan jaringan setempat (gambar 2).5

Gambar 2. Peran Neutrofil pada ENL

Tedapat dua bentuk reaksi pada hipersensitivitas tipe 3, yaitu reaksi lokal dan
sistemik, di mana yang terjadi pada ENL merupakan reaksi lokal atau disebut juga
fenomena Arthus. Arthus yang menyuntikan serum kuda ke dalam kelinci secara
intradermal berulang kali di tempat yang sama menemukan reaksi yang makin

13
menghebat di tempat suntikan. Mula-mula hanya terjadi eritem ringan dan edem
dalam 2-4 jam sesudah suntikan. Reaksi tersebut menghilang keesokan harinya.
Suntikan kemudian menimbulkan edem yang lebih besar dan suntikan yang ke 5-6
menimbulkan perdarahan dan nekrosis yang sulit sembuh. Hal tersebut disebut
fenomena Arthus yang merupakan bentuk reaksi dari kompleks imun (gambar 3).
Antibodi yang ditemukan adalah jenis presipitin.5

Pada pemeriksaan mikroskopis, terlihat neutrofil menempel pada endotel vaskular


dan bermigrasi ke jaringan tempat kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul
berupa kerusakan jaringan lokal dan vaskular akibat akumulasi cairan (edem) dan sel
darah merah (eritem) sampai nekrosis. Reaksi Tipe Arthus dapat terjadi
intrapulmoner yang diinduksi kuman, spora jamur atau protein fekal kering yang
dapat menimbulkan pneumonitis atau alveolitis atau Farmer’s lung.5

Gambar 3: Fenomena Arthus pada Hipersensitivitas Tipe 3

14
C3a dan C5a (anafilaktoksin) yang terbentuk pada aktivitasi komplemen,
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah yang dapat menimbulkan edem. C3a
dan C5a berfungsi juga sebagai faktor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit mulai
dikerahkan di tempat reaksi dan menimbulkan stasis dan obstruksi total aliran darah.
Sasaran anafilaktoksin adalah pembuluh darah kecil, sel mast, otot polos dan leukosit
perifer, yang menimbulkan kontraksi otot polos, degranulasi sel mast, peningkatan
permeabilitas vaskular dan respons tripel terhadap kulit. Neutrofil yang diaktifkan
memakan kompleks imun dan bersama dengan trombosit yang digumpalkan melepas
berbagai bahan seperti protease, kolagenase, dan bahan vasoaktif. Akhirnya terjadi
perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat (gambar 4 dan 5).5

Gambar 4: Reaksi Hipersensitivitas tipe III

Dengan pemeriksaan imunofluoresens, antigen, antibodi dan berbagai komponen


komplemen dapat ditemukan di tempat kerusakan pada dinding pembuluh darah. Bila

15
kadar komplemen atau jumlah granulosit menurun, maka kerusakan khas dari Arthus
tidak terjadi. Reaksi Arthus di dalam klinik dapat berupa vaskulitis.

Gambar 5: Skema Interaksi molekular, selular dan jaringan pada reaksi Arthus

Kadar TNF-α (Tumor Necrosis Factor Alpha), yang merupakan sitokin


proinflamasi, yang berlebihan dan IL-6 yang meningkat pada serum penderita ENL
menandakan bawa respons imun seluler sangat berperan terhadap mekanisme
terjadinya ENL. TNF-α berasal dari beragam sel terutama fagosit mononuclear dan
sel T yang diaktifkan oleh antigen, natural killer (sel NK) dan sel mast. Efek
biologinya dapat berpengaruh secara lokal maupun sistemik, serta dapat bersifat
protektif maupun patologis tergantung pada konsentrasi, lama pajanan, dan
tersedianya mediator lain pada lingkungan seluler. Produksi lokal dapat
meningkatkan pertahanan tubuh terhadap patogen dengan memberikan respons
inflamasi yaitu menyebabkan datangnya neutrofil dan monosit ke tempat infeksi serta
mengaktifkan sel-sel tersebut untuk membunuh mikroba, memacu ekspresi vascular
cell adhesion molecule (VCAM), merangsang makrofag mensekresi kemokin dan

16
menginduksi kemotaksin, merangsang fagosit mononuclear untuk mensekresi IL-1
dengan efek yang sama dengan TNF-α dan sebagainya.6,7,8

Seperti diketahui bahwa neutrofil berguna untuk pergerakan sel, meliputi E-


selectin yang diregulasi oleh IL-1β. Aktivasi Tol-Like Receptor 2 (TLR2) secara in-
vitro menginduksi IL-1β yang bersama dengan Interferon gamma (IFN-γ) akan
merangsang ekspresi E-selectin dan perlekatan neutrofil pada sel endotel (Gambar 2).
Sedangkan bila dihasilkan secara luas, kadar TNF-α dapat membahayakan pejamu
karena dapat menimbulkan terjadinya thrombus sel endotel, lebih jauh lagi dapat
terjadi sindroma klinis yang sangat fatal yaitu syok septik.

Sekresi TNF-α yang berlebih pada ENL diduga berasal dari dinding bagian dalam
Mycobacterium leprae yang dapat merangsang kekebalan alami pada tubuh manusia,
yaitu Triacetylated Lipoprotein (TLP) dan merupakan Pathogen Associated
Molecular Pattern (PAMPs). TLP merupakan komponen membrane lipoprotein pada
semua genus mikrobakteria dan diduga merupakan indikator utama sekresi TNF-α
oleh makrofag. IFN-γ yang diproduksi oleh sel T dan sel NK juga merangsang
makrofag untuk meningkatkan sintesis TNF-α.6,7

Sitokin pro inflamasi, diantaranya TNF-α, IFN-γ, dan IL-1β telah dilaporkan
berperan dalam mekanisme terjadinya reaksi kusta baik reaksi tipe 1 (reaksi reversal)
maupun reaksi tipe 2 (termasuk ENL). Pada ENL, kadar TNF-α yang dilepaskan oleh
sel mononuclear darah tepi lebih banyak dibandingkan penyakit lain. Di satu sisi
TNF-α dapat bekerja sinergis dengan INF-γ sebagai protektif imunitas dengan
memperantarai terbentuknya granuloma dan menghambat pertumbuhan M. leprae
secara in-vitro, sedangkan di sisi lain, TNF-α dapat menimbulkan kerusakan saraf dan
terjadinya nekrosis jaringan. Pada percobaan klinis, injeksi intralesi IFN-γ untuk
terapi penderita kusta, didapatkan bahwa injeksi IFN-γ hingga 6-12 bulan dapat
menimbulkan terjadinya ENL pada 6 dari 10 penderita kusta tersebut. Ternyata
diketahui 6 dari penderita tersebut adalah penderita kusta tipe LL sedangkan sisanya
adalah tipe BL atau LL subpoar. Hal ini menunjukkan bahwa penderita BL/LL

17
subpolar tidak memiliki kemampuan untuk meningkatkan sistem imunitas selulernya,
sehingga yang berperan adalah sistem imunitas humoral. Selain itu injeksi IFN-γ
dapat menginduksi makrofag untuk memproduksi TNF-α sehingga makrofag akan
menjadi lebih aktif. Hal ini dapat menjadi penjelasan mengenai terjadinya ENL
setelah injeksi IFN-γ.7,8

Secara imunopatologis, ENL termasuk respons imun humoral, berupa fenomena


kompleks imun akibat reaksi antara antigen M. leprae + antibody (IgM, IgG) +
komplemen  kompleks imun. Tampaknya reaksi ini analog dengan reaksi fenomena
unik, tidak dapat disamakan dengan penyakit lain. Dengan terbentuknya kompleks
imun ini, maka ENL termasuk dalam golongan penyakit kompleks imun, oleh karena
salah satu protein M. leprae bersifat antigenik, maka antibodi dapat terbentuk.
Ternyata kadar imunuglobulin penderita kusta lepromatosa lebih tinggi daripada tipe
tuberkuloid. Hal ini terjadi oleh karena pada tipe lepromatosa jumlah kuman jauh
lebih banyak daripada tipe tuberkuloid.1,2,3

ENL lebih banyak terjadi pada saat pengobatan. Hal ini dapat terjadi karena
banyak kuman kusta yang mati dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan
dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan sistem komplemen. Kompleks
imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan
berbagai organ.1,2,3

3.4.Manifestasi Klinis

Manifestasi dari ENL berupa eritema, nodul atau plak pada kutan atau subkutan.
Gambaran klinis tersebut biasa diikuti oleh gejala simptomatik seperti demam, lemas,
anoreksia, dan nyeri otot. Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus
eritema dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai
organ lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis,
artritis, orkitis, dan nefritis akut dengan adanya proteinuria.1

18
Selain itu karena ini merupakan reaksi dari penyakit kusta maka memungkinkan
bahwa manifestasi klinis dari kusta masih terdapat pada pasien seperti anestesia dan
penebalan saraf.1,2

3.5.Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding

Diagnosis kerja pada kasus eritema nodosum leprosum adalah berdasarkan


anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis maka
akan didapakan keluhan-keluhan khas ENL seperti munculnya benjolan-benjolan
merah yang dirasakan nyeri pada pasien dengan riwayat kusta dan terutama yang
sedang dalam pengobatan. Selain gejala pada kulit pasien juga akan mengeluhkan
demam serta nyeri-nyeri pada seluruh tubuh.1,3

19
Pada pemeriksaan fisik akan ditemukan efloresensi pada kulit seperti yang telah
dijelaskan di manifestasi klinis yaitu berupa nodul eritema disertai rasa nyeri. Bisa
juga didapkan anestesia dan penebalan saraf di beberapa bagian tertentu. Penebalan
cuping telinga juga paling sering ditemukan.

Sedangkan pada pemeriksaan penunjang yang mungkin ditemukan adalah


peningkatan leukosit akibat infeksi dari bakteri dan juga diperlukan pemeriksaan
cukit kulit untuk menilai BTA pada pasien karena pada kasus ENL hampir selalu
ditemukan BTA postif.1,3

Diagnosis banding:

- Reaksi reversal
- Dermatofitosis

3.6.Pengobatan

Obat yang paling sering digunakan adalah tablet kortikosteroid, misalnya


prednisone. Dosisnya tergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-
30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya,
tetapi bila reaksinya terlalu ringan, tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan
reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali. Perlu
diperhatikan kontraindikasi pemberian kortikosteroid. Dapat ditambahkan obat
analgetik-antipiretik dan sedative atau bila berat, penderita dapat menjalani rawat
inap. Ada kemungkinan timbul ketergantungan terhadap kortikosteroid, sehingga
ENL akan timbul kalau obat tersebut dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu,
sehingga penderita ini perlu mendapatkan kortikosteroid terus-menerus.1,3

Obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama adalah talidomid, tetapi harus
berhati-hati karena memiliki sifat teratogenik, jadi tidak boleh diberikan pada orang
hamil atau masa subur. Namun di Indonesia obat ini belum ada.

Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga digunakan sebagai anti
reaksi ENL, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat

20
ringannya reaksi, makin berat makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300 mg
sehari. Khasiatnya lebih lambat daripada kortikosteroid. Juga dosisnya diturunkan
secara bertahap disesuaikan dengan perbaikan ENL. Keuntungan lain dari klofazimin
dapat digunakan sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan kosrtikosteroid. Salah
satu efek samping yang tidak dikehendaki oleh banyak penderita adalah bahwa kulit
menjadi berwarna merah kecoklatan, apalagi pada dosis tinggi. Tapi masih bersifat
reversible, meskipun menghilangnya lambat sejak obatnya dihentikan.1,3

Pemberian Prednison1

Minggu Pemberian Dosis harian yang dianjurkan


Minggu 1-2 40 mg
Minggu 3-4 30 mg
Minggu 5-6 20 mg
Minggu 7-8 15 mg
Minggu 9-10 10 mg
Minggu 11-12 5 mg

Pemberian Lampren

ENL yang berat dan berkepanjangan dan terdapat ketergantungan pada steroid,
perlu ditambahkan klofazimin. Untuk dewasa 300 mg/hari selama 2-3 bulan. Bila ada
perbaikan diturunkan menjadi 200 mg/hari selama 2-3 bulan. Jika ada perbaikan,
diturunkan lagi menjadi 100 mg/hari selama 2-3 bulan, dan selanjutnya kembali ke
dosis awal klofazimin, 50 mg/hari, jika penderita masih dalam pengobatan MDT, atau
dihentikan jika penderita sudah dinyatakan RFT (release from treatment). Pada saat
yang sama dosis prednisone diturunkan.1

21
Kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan obat-obatan yang banyak digunakan sebagai terapi


supresi reaksi host terhadap graft pada transplantasi, kelainan neoplastik jaringan
limfoid dan terutama sebagai anti inflamasi sehingga diharapkan akan menghambat
semua proses peradangan dan mengurangi permeabilitas kapiler yang terjadi.
Kortikosteroid pertama kali digunakan untuk pengobatan pada tahun 1949 oleh
Hence et al untuk pengobatan rheumatoid arthritis. Sejak saat tersebut kortikosteroid
semakin luas dipakai dan dikembangkan usaha-usaha untuk membuat senyawa-
senyawa glukokortikoid sintetik untuk mendapatkan efek glukokortikoid yang lebih
besar dengan efek mineralokortikoid lebih kecil serta serendah mungkin efek
samping.9

Kelenjar adrenal mengeluarkan dua kelas steroid, yaitu kortikosteroid


(glukokortikoid dan mineralokortikoid) dan sex hormon. Mineralokortikoid banyak
berperan dalam pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit, sedangkan
glukokortikoid berperan dalam metabolism karbohidrat. 9

Produksi normal dari glukokortikoid endogen tidak akan berpengaruh secara


bermakana terhadap proses peradangan dan penyembuhan. Kelebihan glukokortikoid
endogen dapat menekan fungsi imunologis dan dapat mengaktivasi infeksi laten. Efek
imunosupresi ini digunakan dalam pengobatan penyakit-penyakit autoimun, proses
inflamasi dan transplantasi organ. Peran glukokortikoid dalam proses imunologis dan
inflamasi adalah:

- Merangsang pembentukan protein yang menghambat phospholipase A2


sehingga mencegah aktivasi kaskade asam arachidonat dan pengeluaran
prostaglandin.
- Menurunkan jumlah limfosit dan monosit di perifer dalam 4 jam, hal ini
karena terjadi redistribusi temporer limfosit dari intravaskular ke dalam limpa,
kelenjar limfe, duktus thoracicus dan sumsum tulang.

22
- Meingkatkan pengeluaran granulosit dari sumsum tulang ke sirkulasi, tetapi
menghambat akumulasi neutrofil pada daerah yang radang.
- Meningkatkan proses apoptosis.
- Menghambat sintesis sitokin.
- Menghambat sintesis nitrit oksida.
- Menghambat respons proliferative monosit terhadap Colony Stimulating
Factor dan diferensiasinya menjadi makrofag.
- Menghambat fungsi fagositik dan sitotoksik makrofag.
- Menghambat pengeluaran sel-sel radang dan cairan ke tempat radang.
- Menghambat plasminogen activators (PAs) yang mengubah plasminogen
menjadi plasmin yang berperan dalam pemecahan kininogen menjadi kinin
yang berfungsi sebagai vasodilator dan meningkatkan permeabilitas pembuluh
darah.

MDT

Untuk mencegah resistensi, pengobatan tuberkulosis telah menggunakan multi


drug treatment (MDT) sejak 1951, sedangkan untuk kusta baru dimulai sejak tahun
1971. Pada saat ini ada berbagai macam dan cara MDT dan yang dilaksanakan di
Indonesia sesuai rekomendasi WHO, dengan obat alternatif sejalan dengan kebutuhan
dan kemampuan. Yang paling ditakutkan adalah resistensi terhadap DDS
(diaminodifenil sulfon), karena DDS adalah obat antikusta yang paling banyak
dipakai dan paling murah. Obat ini sesuai dengan para penderita yang ada di negara
berkembang dengan social ekonomi rendah.1

MDT ini adalah usaha untuk:1

- Mencegah dan mengobati resistensi


- Memperpendek masa pengobatan
- Mempercepat pemutusan mata rantai penularan
-

23
DDS (diaminodifenil sulfon)

Penggunaan DDS 20 tahun pertama digunakan sebagai monoterapi kusta. Pada


tahun 1960 SHEPARD berhasil melakukan inokulasi M. leprae pada kaki mencit.
Pada tahun 1964, pembuktian pertama kali dengan inokulasi adanya resistensi
terhadap DDS oleh PETTIT dan REES, disusul secara beruntun pembuktian adanya
resistensi yang meningkat di berbagai negara. Dengan adanya pembuktian tersebut
berubahlah pola pikir dari monoterapi menjadi MDT.

Pengertian relaps atau kambuh pada kusta ada 2, yaitu relaps sensitif dan relaps
resisten. Pada relaps sensitif penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan
sesuai dengan waktu yang ditentukan. Secara klinis, bakterioskopik, histopatologik
dapat dinyatakan penyakit tiba-tiba aktif kembali dengan timbulnya lesi baru dan
bakterioskopik positif kembali. Tetapi setelah dibuktikan dengan pengobatan dan
inokulasi pada mencit, ternyata M. leprae masih sensitif terhadap DDS. M. leprae
yang semula dorman aktif kembali. Pada pengobatan sebelumnya kuman dorman
sukar dihancurkan dengan obat atau MDT apapun.

Pada relaps resisten, peyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai


dengan waktu yang ditentukan, tetapi tidak dapat diobati dengan obat yang sama.
Dengan gejala klinis, bakterioskopik, dan histopatologik yang khas, dapat dibuktikan
dengan percobaan pengobatan dan inokulasi pada mencit bahwa M. leprae resisten
terhadap DDS. Cara pembuktiannya adalah dengan percobaan pengobatan dengan
DDS 100 mg sehari selama 3 sampai 6 bulan disertai pengamatan secara klinis,
bakteriologik dan histopatologik.

Resistensi hanya terjadi pada kusta multi basilar, tidak pada kusta pausibasilar
oleh karena sistem imun seluler penderita pausibasiler tinggi dan pengobatannya
relatif singkat.

Resistensi terhadap DDS dapat primer maupun sekunder. Resistensi primer terjadi
apabila orang ditulari oleh M. leprae yang telah resisten dan manifestasinya dapat

24
dalam berbagai tipe, tergantung pada sistem imun seluler penderita. Derajat resistensi
rendah masih dapat diobati dengan dosis DDS yang lebih tinggi, sedangkan pada
derajat resistensi yang tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi. Resistensi sekunder
terjadi oleh karena:

- Monoterapi DDS
- Dosis terlalu rendah
- Minum obat tidak teratur
- Minum obat tidak adekuat, baik dosis maupun lama pemberiannya
- Pengobatan terlalu lama, setalah 4-24 tahun.

Efek samping DDS antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik,
leukopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS, nekrosis epidermal toksik,
hepatitis, hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia.

Rifampisin

Rifampisin adalah obat yang menjadi komponen kombinasi DDS dengan dosis
10mg/kg berat badan; diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak boleh
diberikan sebagai monoterapi karena memperbesar kemungkinan terjadinya
resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi selalu diikutkan, tidak boleh diberikan
setiap minggu atau 2 minggu mengingat efek sampingnya.

Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala


gastrointestinal, flu like syndrome dan erupsi kulit.

Klofazimin (lamprene)

Obat ini dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh Brown dan Hoogerzeil.
Dosis antikusta adalah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari, atau 3 x 100 mg
tiap minggu. Juga bersifat antiinflamasi sehingga dapat digunakan pada pengobatan

25
ENL dengan dosis lebih yaitu 200 mg – 300 mg/hari namun awitan kerja baru timbul
setelah 2-3 minggu.

Efek sampingnya adalah warna merah kecoklatan pada kulit dan warna
kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus, apalagi pada dosis tinggi, yang sering
merupakan masalah dalam ketaatan berobat. Hal tersebut disebabkan karena
klofazimin adalah zat warna dan dideposit terutama pada sel sistem
retikuloendotelial, mukosa dan kulit. Pigmentasi bersifat reversibel, meskipun
menghilangnya lambat sejak obat dihentikan. Efek samping lain yang hanya terjadi
pada dosis tinggi yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain
itu dapat juga terjadi penurunan berat badan.

Obat alternative

Ofloksasin

Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap


Mycobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. dosis tunggal
diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman M. leprae hidup sebesar 99,99%.
Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai
gangguan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness, dan
halusinasi. Walaupun demikian hal tersebut jarang ditemukan dan biasanya tidak
membutuhkan penghentian obat.

Minosiklin

Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada


klaritomisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar harian 100 mg.
efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang
menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membrane mukosa, berbagai gejala saluran
cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu
tidak dianjurkan untuk anak-anak atau selama kehamilan.

26
Klaritomisin

Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal


terhadap Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta
lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari
dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus dan
diare yang terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg.

Cara pemberian MDT1,3,6

Pausibasiler Multibasiler
PB lebih dari 1 lesi: Rifampisin 600 mg/bln + DDS 100
mg/hari + Cfz 300 mg/ bln + 50 mg/hari
Rifampisin 600 mg/ bln + DDS 100 mg/
hari

PB dengan 1 lesi:

Dosis tunggal ROM

(Rifampisin 600 mg + Ofloksasin 400mg


+ Minosiklin 100 mg)

27
BAB 4

PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik pada pasien atas nama Tn. AS
usia 53 tahun datang ke IGD RSUD Kudungga pada tanggal 10 Juni 2018 dengan
keluhan muncul benjolan-benjolan merah pada kulit. Diagnosa masuk dan diagnosa
kerja pasien ini adalah Eritema Nodoum Leprosum. Diagnosa ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

4.1. Anamnesis

Teori1,2,3,6 Kasus
 Tidak ada perbedaan usia dan  Laki-laki, 53 tahun
jenis kelamin  Benjolan-benjolan merah pada
 Nodul eritema pada kulit, terasa kulit yang nyeri
nyeri  Badan terasa pegal-pegal, demam
 Nyeri sendi, demam  Pasien penderita kusta, berobat
 Timbul pada penderita kusta sejak Maret 2018
terutama tipe MB dan sering
terjadi selama pengobatan

Menurut teori tidak didapatkan pengaruh usia dan jenis kelamin untuk
terjadinya reaksi ENL karena setiap penderita kusta memungkinkan untuk terjadi
reaksi kusta baik reaksi reversal ataupun reaksi ENL, yang membedakan adalah ENL
lebih sering terjadi pada pasien kusta dengan tipe MB, yang kemungkinan diderita
oleh pasien sejak Maret 2018.

Gejala yang ditemukan pada pasien berupa demam,badan terasa pegal-pegal,


dan terutama muncul benjolan-benjolan yang terasa nyeri hampir seluruh tubuh.

28
4.2. Pemeriksaan Fisik

Teori1,3 Kasus
 Tampak lemas  Tampak lemas
 Demam  Demam
 Terdapat nodul eritema/  Terdapat nodul eritema
hiperpigmentasi, nyeri generalisata, nyeri +
 Penebalan saraf, nyeri +/-,  Terdapat penebalan N. ulnaris
gangguan fungsi +/- dextra et sinistra, nyeri –
 Tidak terdapat bagian kulit yang
anestesia

Munculnya nodul eritema merupakan salah satu gejala yang khas pada pasien
ENL. Nodul ini bisa muncul hampir di seluruh bagian tubuh. Nodul biasanya terasa
nyeri disertai gejala lain seperti demam serta malaise. Pada beberapa kasus daapat
ditemukan penebalan saraf serta gangguan fungsi saraf sehingga bagian kulit tertentu
akan mengalami rasa baal atau berkurangnya fungsi sensorik.

Munculnya nodul akibat neutrofil dan trombosit mulai dikerahkan di tempat


reaksi dan menimbulkan stasis dan obstruksi total aliran darah. Sasaran anafilaktoksin
adalah pembuluh darah kecil, sel mast, otot polos dan leukosit perifer, yang
menimbulkan kontraksi otot polos, degranulasi sel mast, peningkatan permeabilitas
vaskular dan respons tripel terhadap kulit. Neutrofil yang diaktifkan memakan
kompleks imun dan bersama dengan trombosit yang digumpalkan melepas berbagai
bahan seperti protease, kolagenase, dan bahan vasoaktif. Akhirnya terjadi perdarahan
yang disertai nekrosis jaringan setempat. Neutrofil yang menempel pada endotel
vaskular akan bermigrasi ke jaringan tempat kompleks imun diendapkan. Reaksi
yang timbul berupa kerusakan jaringan lokal dan vaskular akibat akumulasi cairan
(edem) dan sel darah merah (eritem) sampai nekrosis.3,6

29
4.3. Pemeriksaan Penunjang

Teori1,3 Kasus
 Ditemukan BTA dari cukit kulit  BTA dari cukit kulit telinga:
Kanan +++
Kiri ++++
4.4. Penatalaksanaan

Teori1,3,6 Kasus
 Kortikosteroid  Hari 0 (10 Juni 2018)
 MDT dilanjutkan - Ceftriaxone 2 gr/24 jam (IV) Skin
test
- Paracetamol 1 gr/ 8 jam (IV)
Konsul/ rawat bersama dengan dr. F.
Wilson, Sp.PD, advis:
- IVFD RL 30 tetes/menit
- Levofloxcin 500 mg / 24 jam (IV)
- Pantoprazole 40 mg/ 12 jam (IV)
- Ondansentron 8mg/ 8 jam (IV)
- Rhillus tablet 2 x 1 tablet (dikunyah)
- transfusi PRC 1 kantong/hari sampai
dengan Hb 8 gr%
 Hari ke-2: sama dengan hari
pertama
 Hari ke-3
- Inj. Ceftriaxone 2gr/24 jam
- PCT infus/ 8 jam
- Inj. Metilprednisolon 62,5 mg/ 24
jam
- Salap Dexosimethasone 30gr +

30
Genalten 20 gr
- IVFD RL 20 tpm
- Inf. Levofloxacin 500 mg/ 24 jam
- Inj. Pantoprazole 40 mg/ 12 jam
- Inj. Ondansentron 8 mg/ 8 jam
- Rhillus tablet 2 x 1tablet (dikunyah)
- Transfusi PRC sampai Hb 8gr%
 Hari ke-4: sama dengan hari ke-3

Pengobatan pertama pada kasus reaksi kusta ini adalah pemberian


kortikosteroid. Pada kasus ini kortikosteroid diberikan pada hari ketiga karena
pertimbangan kondisi pasien dalam keadaan nyeri ulu hati serta riwayat bab cair
warna kehitaman, sehingga pemberian kortikosteroid ditunda sampai kondisi fisik
pasien lebih baik dengan bantuan terapi lainnya.

Kortikosteroid merupakan obat-obatan yang banyak digunakan sebagai terapi


supresi reaksi host terhadap graft pada transplantasi, kelainan neoplastik jaringan
limfoid dan terutama sebagai anti inflamasi sehingga diharapkan akan menghambat
semua proses peradangan dan mengurangi permeabilitas kapiler yang terjadi.

31
BAB 5

Kesimpulan

• ENL atau eritema nodosum leprosum merupakan salah satu reaksi kusta yang
sering terjadi pada kusta tipe multibasilar yang terjadi akibat respons imun.

• Manifestasi klinis dari ENL adalah lesi kulit berupa nodus eritema dan nyeri
di tempat predileksi lengan dan tungkai.

• Tatalaksana dari ENL adalah pemberian kortikosteroid ataupun lampren serta


MDT dilanjutkan jika reaksi ENL telah membaik.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A, Mochtar H, Siti A. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin, edisi 6. Jakarta:
Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2010, pg. 73-88
2. …Pathogenesis of Leprosy Diunduh dari
http://nlep.nic.in/pdf/Ch%205%20Pathogenesis.pdf
3. …Leprosy Reaction and Its ManagementDiunduh dari
http://nlep.nic.in/pdf/Ch%208%20-%20Lepra%20reaction.pdf
4. …Leprosy Type 1 Reactions and Erythema Nodosum Leprosum. Anais
Brasileiros de Dermatologia, vol. 83 No.1. Rio de Janeiro: Januari-
February, 2008, diunduh dari:
http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S0365-
05962008000100010
5. Baratawidjaja KG, Iris R. Imunologi Dasar, Edisi 9. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Indonesia, 2010, pg. 383-388
6. Nakamura K, Takeshi A, Yuko Ishido, et all. Leprosy as a Model of Immunity.
Future Microbiol, 2014; 9 (1); 43-54
7. Prameswari R,Yulianto L, Cita RSP. Peran TNF-α pada Imunopatogenesis ENL
dan Kontribusinya pada Penatalaksanaan ENL. Surabaya: Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit & Kelamin, vol. 24 No. 1, April 2012
8. Dharmasanti PA, Yulianto L, Indropo A. Ekspresi TNF-α di Jaringan Kulit pada
Eritema Nodosum Leprosum. Surabaya: Berkala Ilmu Kesehatan Kulit &
Kelamin, Vol. 22 No. 3, Desember 2010
9. Azis AL. Penggunaan Kortikosteroid di Klinik. Surabaya: Divisi Gawat Darurat
FK Unair

33

Anda mungkin juga menyukai