Anda di halaman 1dari 29

REFERAT ILMU KEDOKTERAN

FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


INFEKSI DAPATAN PADA INSTALASI KEDOKTERAN
FORENSIK

Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Ujian


Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Bengkulu

Disusun Oleh:
Wenny Efrina - H1AP12008
Fitrah Hayati - H1AP12014
Nurhapsari - H1AP12019
Olivia Kurnia Putri - H1AP12029
Suci Mentari - H1AP12045

Penguji:
dr. Wian Pisia A, MH, Sp.KF

Residen Pembimbing:
dr. Yudhitya Meglan H

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BENGKULU
RSUP DR. KARIADI SEMARANG
PERIODE 9 JULI – 4 AGUSTUS 2018

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat ini. Referat ini disusun untuk
memenuhi tugas dan melengkapi syarat ujian Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal RSUP Dr. Kariadi, Fakultas Kedokteran Universitas
Bengkulu, Bengkulu.
Pada kesempatan ini Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Wian Pisia A, MH, Sp.KF, sebagai referat ini.
2. dr. Yudhitya Meglan H, sebagai pembimbing yang telah bersedia meluangkan
waktu dan telah memberikan masukan-masukan, petunjuk serta bantuan dalam
penyusunan tugas ini.
3. Teman – teman yang telah memberikan dukungan dalam menyusun tinjauan
pustaka ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam referat ini, maka
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak. Penulis sangat
berharap agar referat ini dapat bermanfaat bagi semua.

Semarang, 26 Juli 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. i

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 3

A. Definisi............................................................................................. 3
1. Pengertian Infeksi........................................................................ 3
B. Infeksi Dapatan Dari Kamar Jenazah .............................................. 5
1. Pengertian Infeksi Dapatan Dari Kamar Janazah........................ 5
2. Faktor Yang Memengaruhi Infeksi ............................................. 5
C. Klasifikasi Agen Infeksius Pada Jenazah ........................................ 6
1. Infeksi Bakteri ............................................................................. 7
a. Infeksi Mycobacterium tuberculosis ...................................... 7
1) Definisi dan Epidemiologi ................................................. 7
2) Etiologi .............................................................................. 8
3) Masa Inkubasi .................................................................... 8
4) Masa Penularan .................................................................. 8
5) Gejala Klinis ...................................................................... 9
2. Infeksi Virus ................................................................................ 9
a. HIV - AIDS ............................................................................ 10
1) Definisi dan Epidemiologi ................................................. 10
2) Etiologi .............................................................................. 10
3) Masa Penularan Post Mortem ............................................ 11
4) Gejala Klinis ...................................................................... 11
b. Hepatitis B .............................................................................. 15
1) Definisi dan Etiologi .......................................................... 15
2) Manifestasi Klinis dan Masa Inkubasi .............................. 15
3) Masa Penularan Post Mortem ............................................ 16
c. Hepatitis C .............................................................................. 17
1) Definisi dan Etiologi .......................................................... 17
2) Masa Inkubasi dan Manifestasi Klinis............................... 17
3) Masa Penularan Post Mortem ............................................ 18
3. Infeksi Jamur ............................................................................... 22

iii
a. Aspergillus ............................................................................ 23
b. Candida ................................................................................. 24
D. Pencegahan Infeksi di Ruang Otopsi ............................................... 31

BAB III PENUTUP ............................................................................................ 32

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 33

iv
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Praktek kedokteran forensik berhubungan dengan peningkatan risiko
penularan infeksi yang signifikan di banding praktek spesialis kedokteran lain,
baik penularan penyakit lewat udara maupun penularan penyakit melalui
parenteral. Hal ini dikarenakan kasus meninggal karena penyakit infeksi saat
ini semakin meningkat terutama di negara berkembang. Beberapa studi
menyatakan terjadinya peningkatan prevalensi HIV, Hepatitis B dan C,
Tuberkulosis, infeksi H5N1, Infeksi bakteri atau HTCV pada pekerja di ruang
autopsi.1,2
Salah satu penyakit menular lainnya yang saat ini menjadi perhatian di
Indonesia adalah HIV-AIDS, karena angka kejadian yang meningkat dengan
sangat cepat. Virus HIV masih tetap aktif selama kurang lebih empat jam
didalam tubuh penderita yang telah meninggal sehingga tetap berpotensi
menular pada orang disekelilingnya. Penularan dapat terjadi melalui cairan-
cairan yang keluar dari dalam tubuh jenazah. Beberapa studi telah melaporkan
bahwa dengan berakhirnya kehidupan seseorang, mikroorganisme patogenik
tertentu masih dapat dilepaskan dari tubuh jenazah, yang jika tidak diwaspadai
dapat ditularkan kepada orang–orang yang menangani jenazah tersebut.2,3
Autopsy safety belum menjadi pertimbangan hingga tahun 1980-an ketika
kasus infeksi HIV pertama kali muncul. Pada awalnya hal tersebut masih baru
ditekankan pada pencegahan infeksi dengan menegakkan kewaspadaan
universal dan pengembangan peraturan Occupational Safety and Health
Adminsitration (OSHA). Sejalan dengan itu diberlakukan peraturan-peraturan
dan prosedur untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya luka dan tertusuk
jarum. Bahaya-bahaya lainnya teridentifikasi seiring berjalannya waktu dan
penanganan yang sesuai diberlakukan dalam tingkatan yang bervariasi.4,5
Walaupun peraturan OSHA awalnya ditentang dan disambut dengan
keengganan, peraturan-peraturan tersebut pada akhirnya memiliki dampak
yaitu menciptakan kesadaran akan pentingnya autopsy safety. Hal ini sangat
penting karena sebagian besar kecelakaan kerja adalah disebabkan faktor
kelalaian manusia dan kesadaran akan perlindungan diri. Dalam autopsy safety
semua telah diatur sedemikian rupa agar mencegah terjadinya penularan
infeksi, mulai dari syarat-syarat kamar autopsi, alat pelindung diri yang
digunakan dalam pemeriksaan dan langkah-langkah disinfeksi kamar autopsi.4,5

1
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang dibahas dalam penulisan referat ini adalah :
1. Apa sajakah infeksi dapatan yang ada di kamar jenazah?
2. Bahaya apa saja yang dapat ditimbulkan dari infeksi dapatan kamar
jenazah?
3. Bagaimana cara mencegah terjadinya infeksi dapatan dari kamar
jenazah?

C. Tujuan
1. Mengetahui jenis infeksi dapatan dapatan yang ada di kamar jenazah.
2. Mengetahui bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan dari infeksi dapatan
dari kamar jenazah.
3. Mengetahui cara pencegahan infeksi dapatan dari kamar jenazah.

D. Manfaat
Diharapkan melalui penulisan ini dapat memberikan pengetahuan dan manfaat
kepada semua pihak, khususnya kepada penulis, teman sejawat dan petugas
pemulasaran jenazah untuk mencegah infeksi dapatan dan meningkatkan
kualitas pelayanan di kamar jenazah.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Infeksi
1. Definisi
Infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen dan
bersifat sangat dinamis. Mikroba sebagai makhluk hidup memiliki cara
bertahan hidup dengan berkembang biak pada suatu reservoir yang cocok
dan mampu mencari reservoir lainnya yang baru dengan cara menyebar
atau berpindah. Penyebaran mikroba patogen ini tentunya sangat
merugikan bagi orang-orang yang dalam kondisi sehat, lebih-lebih bagi
orang-orang yang sedang dalam keadaan sakit. Orang yang sehat akan
menjadi sakit dan orang yang sedang sakit serta sedang dalam proses
asuhan keperawatan di rumah sakit akan memperoleh “tambahan beban
penderita” dari penyebaran mikroba patogen ini.3
Secara garis besar, mekanisme transmisi mikroba patogen ke pejamu
yang rentan (suspectable host) dapat terjadi melalui dua cara:1
a. Transmisi langsung (direct transmission)
Penularan langsung oleh mikroba patogen ke pintu masuk (port
d’entrée) yang sesuai dari pejamu.Sebagai contoh adalah adanya
sentuhan, gigitan, ciuman, atau adanya droplet nuclei saat bersin,
batuk, berbicara, atau saat transfusi darah dengan darah yang
terkontaminasi mikroba patogen.
b. Transmisi tidak langsung (indirect transmission)
Penularan mikroba patogen melalui cara ini memerlukan adanya
“media perantara” baik berupa barang / bahan, udara, air, makanan
/ minuman, maupun vektor.
1) Vehicle-borne
Dalam kategori ini, yang menjadi media perantara penularan
adalah barang / bahan yang terkontaminasi seperti peralatan
makan dan minum, instrumen bedah / kebidanan, peralatan
laboratorium, peralatan infus / transfusi.
2) Vector-borne
Sebagai media perantara penularan adalah vektor (serangga),
yang memindahkan mikroba patogen ke pejamu dengan cara
sebagai berikut.

3
a) Cara mekanis
Pada kaki serangga yang menjadi vektor melekat
kotoran/ sputum yang mengandung mikroba patogen,
lalu hinggap pada makanan / minuman, dimana
selanjutnya akan masuk ke saluran cerna pejamu.
b) Cara biologis
Sebelum masuk ke tubuh pejamu, mikroba mengalami
siklus perkembangbiakan dalam tubuh vektor /
serangga, selanjutnya mikroba berpindah tempat ke
tubuh pejamu melalui gigitan.
3) Food-borne
Makanan dan minuman adalah media perantara yang terbukti
cukup efektif untuk menjadi saran penyebaran mikroba patogen
ke pejamu, yaitu melalui pintu masuk (port d’entrée) saluran
cerna.
4) Water-borne
Tersedianya air bersih baik secara kuantitatif maupun kualitatif,
terutama untuk kebutuhan rumah sakit, adalah suatu hal yang
mutlak. Kualitas air yang meliputi aspek fisik, kimiawi, dan
bakteriologis, diharapkan telah bebas dari mikroba patogen
sehingga aman untuk dikonsumsi manusia. Jika tidak, sebagai
salah satu media perantara, air sangat mudah menyebarkan
mikroba patogen ke pejamu, melalui pintu masuk (port
d’entrée) saluran cerna maupun pintu masuk lainnya.
5) Air-borne
Udara bersifat mutlak diperlukan bagi setiap orang, namun
sayangnya udara yang telah terkontaminasi oleh mikroba
patogen sangat sulit untuk dapat dideteksi.Mikroba patogen
dalam udara masuk ke saluran napas pejamu dalam bentuk
droplet nuclei yang dikeluarkan oleh penderita (reservoir)
saat batuk atau bersin, bicara atau bernapas melalui mulut
atau hidung. Sedangkan dust merupakan partikel yang dapat
terbang bersama debu lantai/tanah. Penularan melalui udara
ini umumnya mudah terjadi di dalam ruangan yang tertutup
seperti di dalam gedung, ruangan/bangsal/ kamar perawatan,
atau pada laboratorium klinik.

4
B. Infeksi Dapatan Instalasi Kedokteran Forensik
1. Pengertian Infeksi Dapatan Dari Instalasi Kedokteran Forensik
Infeksi nosokomial, atau dikenal sebagai infeksi yang didapat di rumah
sakit atau unit layanan perawatan kesehatan, tanpa adanya tanda-tanda
infeksi sebelumnya dan pertama kali muncul 48 jam.2
Kamar jenazah dapat menjadi suatu tempat yang berbahaya bagi
kesehatan. Namun akan lebih berbahaya lagi bila orang yang bekerja
dalam lingkungan tersebut tidak mempedulikan atau bahkan tidak
mengetahui potensi bahaya yang bisa didapat dari kamar jenazah. Infeksi
dapatan dari kamar jenazah adalah infeksi yang didapat dari jenazah,
dimana didalam tubuh jenazah masih terdapat kuman patogen yang
berpotensi menimbulkan sakit bila dapat berpindah atau menginfeksi
manusia yang masih hidup.

2. Rute Infeksi
Infeksi di ruang otopsi dapat diperoleh dengan salah satu dari rute
berikut:8
a. Luka akibat cedera jarum suntik (misalnya benda tajam) yang
terkontaminasi dengan darah atau cairan tubuh.
b. Percikan darah atau cairan tubuh lainnya ke luka terbuka atau area
dermatitis.
c. Kontak darah atau cairan tubuh lainnya dengan selaput lendir mata,
hidung atau mulut.
d. Menghirup dan menelan partikel aerosol.

3. Faktor yang Mempengaruhi Infeksi


Beberapa faktor dapat berperan dalam terjadinya infeksi yang mana
kemudian dibagi menjadi 4 faktor, yaitu :7
a. Faktor intrinsik, yaitu umur, jenis kelamin, kondisi umum, risiko
terapi, adanya penyakit lain, tingkat pendidikan dan lama
pengalaman kerja.
b. Faktor ekstrinsik, yaitu dokter, perawat, penderita lain, bangsal atau
lingkungan, peralatan, material medis, pengunjung atau keluarga,
makanan dan minuman.
c. Faktor keperawatan, yaitu durasi hari perawatan, menurunnya
standart perawatan, dan padatnya pasien.

5
d. Faktor mikroba patogen, yaitu kemampuan invasi atau merusak
jaringan dan lamanya paparan.

C. Klasifikasi Agen Infeksius Pada Jenazah


1. Bakteri
a. Infeksi Mycobacterium tuberculosis
1) Definisi dan Epidemiologi
Mycobacterium adalah salah satu bakteri yang banyak
ditemukan di masyarakat. Salah satu spesiesnya adalah
Mycobacterium tuberculosis yang dapat menularkan kuman
tuberculosis melalui udara, percikan dahak atau ludah yang
terinfeksi oleh kuman tuberculosis.11
Prevalensi tuberkulosis di Romania pada populasi
umum adalah 25/100.000 penduduk. Berdasarkan sebuah
penelitian yang dilakukan selama 32 tahun tentang prevalensi
tuberkulosis pada petugas kesehatan seperti dokter/perawat
ditemukan 60 kasus tuberkulosis diderita oleh perawat pada
220 tenaga kesehatan yang diperiksa, 6 kasus pada dokter,
dimana rata-rata pertahun adalah 1363/100.000 yaitu sepuluh
kali lipat lebih tinggi dibanding populasi umum.11
2) Etiologi
Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh kuman atau basil tahan
asam (BTA) yakni Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini
cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat
bertahan hidup beberapa hari di tempat yang lembab dan
gelap. Beberapa jenis Mycobacterium lain juga dapat
menyebabkan penyakit pada manusia (M. atipik). Hampir
semua organ tubuh dapat diserang bakteri ini seperti kulit,
kelenjar, otak, ginjal, tulang dan paling sering paru. 11
3) Masa Inkubasi
Sejak masuknya kuman hingga timbul gejala adanya lesi
primer atau reaksi tes tuberculosis positif memerlukan waktu
antara 2-10 minggu. Risiko menjadi TB paru (breakdown)
dan TB ekstrapulmoner progresif setelah infeksi primer
umumnya terjadi pada tahun pertama dan kedua. Infeksi laten
bisa berlangsung seumur hidup. Pada pasien dengan

6
imunodefisiensi seperti HIV, masa inkubasi bisa lebih
pendek. 11
4) Masa Penularan
Pasien TB paru berpotensi menular selama penyakitnya
masih aktif dan dahaknya mengandung BTA. Pada umumnya
kemampuan untuk menularkan jauh berkurang apabila pasien
telah menjalani pengobatan adekuat selama minimal 2
minggu. Sebaliknya pasien yang tidak diobati atau diobati
secara tidak adekuat dan pasien dengan “persistent AFB
positive” dapat menjadi sumber penularan sampai waktu
lama. Tingkat penularan tergantung pada jumlah basil yang
dikeluarkan, virulensi kuman, terjadinya aerosolisasi waktu
batuk atau bersin dan tindakan medis berisiko tinggi seperti
intubasi, bronkoskopi. 11
Risiko penularan infeksi Mycobacterium tuberculosis
tidak hanya terjadi saat penderita masih hidup, akan tetapi
risiko tersebut masih bisa terjadi pada penderita yang
terinfeksi mycobacterium tuberculosis saat meninggal.
Penularan organisme dari jenazah ke petugas di ruang autopsi
bisa melalui tubuh jenazah yang terbuka dan kontaminasi dari
permukaan yang berdekatan, juga bisa melalui udara berupa
droplet atau partikel kering dan melalui penetrasi bacillus
kedalam kulit pemeriksa yang mengalami trauma, atau
melalui tusukan jarum. Bacillus ini bertahan selama 24-48
jam setelah jenazah yang terinfeksi dilakukan embalming.7
5) Gejala klinis
Gejala klinis penyakit TB paru yang utama adalah batuk terus
menerus disertai dahak selama 3 minggu atau lebih, batuk
berdarah, sesak napas, nyeri dada, badan lemah, sering
demam, nafsu makan menurun dan penurunan berat badan.
Pada post mortem dapat ditemui granuloma tuberculosis yang
berupa nekrosis perkijuan dan kalsifikasi pada kelenjar getah
bening dan terdapat lesi pada paru-paru, hati, limpa, dan
ginjal serta dapat juga ditemukan nodul pada pleura dan
peritoneum.11

7
2. Virus
a. HIV-AIDS
1) Definisi dan Epidemiologi
HIV adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh
manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. AIDS dapat
diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang
disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi
HIV. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV.12
HIV telah menginfeksi 50–60 juta orang dan
menyebabkan kematian pada orang dewasa dan anak – anak
lebih dari 22 juta orang. Lebih dari 42 juta orang hidup dengan
infeksi HIV dan AIDS, yang kira – kira 70% berada di Afrika
dan 20% berada di Asia, dan hampir 3 juta orang meninggal
setiap tahun.Telah dilaporkan sebanyak 13.449 orang telah
meninggal akibat HIV (tidak termasuk DKI Jakarta dan
Sumatera Barat). Pola penularan HIV berdasarkan kelompok
umur didapatkan infeksi HIV paling banyak terjadi pada
kelompok usia produktif 25-49 tahun, diikuti kelompok usia
20-24 tahun2,13
2) Etiologi
Virus HIV yang termasuk dalam famili retrovirus genus
lentivirus ditemukan oleh Luc Montagnier, seorang ilmuwan
Perancis (Institute Pasteur, Paris 1983), yang mengisolasi virus
dari seorang penderita dengan gejala limfadenopati, sehingga
pada waktu itu dinamakan Lymphadenopathy Associated Virus
(LAV). Gallo (National Institute of Health, USA 1984)
menemukan Virus HTLV-III (Human T Lymphotropic Virus)
yang juga adalah penyebab AIDS. Pada penelitian lebih lanjut
dibuktikan bahwa kedua virus ini sama, sehingga berdasarkan
hasil pertemuan International Committee on Taxonomy of
Viruses (1986) WHO memberi nama resmi HIV.12
3) Masa Penularan Post Mortem
Media penularan HIV pada pasien hidup hampir sama dengan
pada pasien yang telah meninggal. Dalam hal ini yang
memiliki resiko besar untuk mendapat paparan HIV adalah ahli
patologi, dokter yang melakukan otopsi dan asisten otopsi.
Beberapa cara tentang penularan HIV yaitu:14

8
a) Penularan melalui hubungan seksual dengan seorang
pengidap HIV tanpa perlindungan atau menggunakan
kontrasepsi (kondom).
b) HIV dapat menular melalui transfusi dengan darah yang
sudah tercemar HIV.
c) Seorang ibu yang mengidap HIV bisa pula menularkannya
kepada bayi yang dikandung, itu tidak berarti HIV /AIDS
merupakan penyakit turunan, karena penyakit turunan
berada di gen-gen manusia sedangkan HIV menular saat
darah atau cairan vagina ibu membuat kontak dengan
cairan atau darah anaknya.
d) Penularan melalui pemakaian jarum suntik, jarum tindik
dan peralatan lainnya yang sudah dipakai oleh pengidap
HIV.

Gambar 1. Diagram Cara Penularan Infeksi HIV

Otopsi terbuka lengkap memiliki risiko lebih besar terkena


HIV dan juga aerosolisasi dan penyebaran patogen
oportunistik, sebuah otopsi lengkap tidak wajib
dipertimbangkan ketika diagnosis ante-mortem AIDS
ditegakkan. Namun, jika prasarana yang memadai dan fasilitas
yang ada pemeriksaan dapat dipertimbangkan untuk tujuan
akademis. 14
HIV dapat masuk ke tubuh melalui cedera perkutan
(misalnya, tertusuk jarum atau terpotong dengan benda tajam)
dan kontak mukosa atau kulit yang tidak utuh. Studi telah
memperkirakan rata-rata risiko penularan HIV setelah pajanan
percutaneous sebesar 0,3%. Rata-rata 99,7% dari petugas
kesehatan, yang terpapar HIV, tidak akan terinfeksi. Untuk

9
paparan mukosa risiko adalah 0,09% dan untuk kulit yang
tidak utuh bahkan kurang.Ini meningkat ketika kulit yang
terkena pecah-pecah, terkelupas, atau menderita
dermatitis. Dalam konteks otopsi, beberapa cairan tubuh
lainnya (kecuali darah) yang berpotensi menular:
a) Air mani
b) Ekskresi vagina
c) Cairan serebrospinal
d) Cairan synovial
e) Cairan pleural
f) Cairan peritoneal
g) Cairan pericardial
h) Cairan ketuban.
Weston dan Locker menunjukkan prevalensi 8% dari
tusukan sarung tangan di petugas kesehatan di kamar mayat,
dan peningkatan risiko tusukan 3 - 4 kali lipat jika seorang
teknisi bukan ahli patologi melakukan pembedahan tubuh.
Namun, 31,8% dari tusukan sarung tangan tidak diketahui, dan
kulit terpapar dengan bahan yang berpotensi terinfeksi secara
berkepanjangan. Tercatat juga bahwa sekitar 67% dari luka
pisau bedah didapatkan di daerah tersebut terdiri dari jari
kelingking, ibu jari dan jari tengah distal dari tangan tidak
dominan.14
Penelitian menyarankan bahwa beberapa faktor dapat
mempengaruhi risiko HIV transmisi setelah pemaparan dalam
pekerjaan berikut:
a) Prosedur yang melibatkan jarum ditempatkan langsung
di vena atau arteri,
b) Alat-alat terlihat terkontaminasi dengan darah pasien,
c) Pasien cedera,
d) Pasien dengan penyakit terminal.
Virus HIV masih tetap aktif selama kurang lebih empat
jam didalam tubuh penderita yang telah meninggal sehingga
tetap berpotensi menular pada orang disekelilingnya. Ada
beberapa penelitian yang telah melihat seberapa lama HIV
bertahan dalam tubuh yang sudah meninggal. Dalam tubuh
yang tidak didinginkan, HIV umumnya bertahan hingga 24-36

10
jam setelah kematian. Namun dalam sebuah penelitian pada
badan berpendingin, tubuh yang disimpan pada suhu 6 derajat
celcius, HIV masih dapat bertahan hingga 6 hari. Dalam studi
lain, badan yang didinginkan pada 2 derajat Celcius ditemukan
memiliki HIV hingga 16,5 hari.15
4) Gejala Klinis
Gejala infeksi HIV pada awalnya sulit dikenali karena
seringkali mirip penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan
diare sehingga penderita tampak sehat dan terkadang dalam 6
minggu pertama setelah kontak penularan timbul gejala tidak
khas berupa demam, rasa lelah, nyeri sendi, nyeri menelan dan
pembengkakan kelenjar getah bening dibawah telinga, ketiak
dan selangkangan. Gejala ini biasanya sembuh sendiri dan
sampai 4-5 tahun mungkin tidak muncul gejala.12,13,16
Pada tahun ke 5 atau 6 tergantung masing-masing
penderita, mulai timbul diare berulang, penurunan berat badan
secara mendadak, sering sariawan di mulut dan pembengkakan
di daerah kelenjar getah bening. Kemudian tahap lebih lanjut
akan terjadi penurunan berat badan secara cepat (>10%), diare
terus-menerus lebih dari 1 bulan disertai panas badan yang
hilang timbul atau terus menerus.17
Tanda-tanda seorang tertular HIV sebenarnya tidak ada
tanda-tanda khusus yang bisa menandai apakah seseorang telah
tertular HIV, karena keberadaan virus HIV sendiri
membutuhkan waktu yang cukup panjang (5 sampai 10 tahun
hingga mencapai masa yang disebut AIDS). Adanya HIV di
dalam darah bisa terjadi tanpa seseorang menunjukan gejala
penyakit tertentu dan ini disebut masa HIV positif. Bila
seseorang terinfeksi HIV untuk pertama kali dan kemudian
memeriksakan diri dengan menjalani tes darah, maka dalam tes
pertama tersebut belum tentu dapat dideteksi adanya virus HIV
didalam darah. Hal ini disebabkan karena tubuh kita
membutuhkan waktu sekitar 3–6 bulan untuk membentuk
antibodi yang nantinya akan dideteksi oleh tes darah tersebut.
Masa ini disebut window period (periode jendela). Dalam masa
ini, bila orang tersebut ternyata sudah mempunyai virus HIV di

11
dalam tubuhnya (walaupun belum bisa di deteksi melalui tes
darah), ia sudah bisa menularkan HIV.12,13,16

Secara umum, tanda-tanda utama yang terlihat pada


seseorang yang sudah sampai pada tahapan AIDS adalah:17
a) Berat badan menurun lebih dari 10% dalam waktu singkat
b) Demam tinggi berkepanjangan (lebih dari satu bulan)
c) Diare berkepanjangan (lebih dari satu bulan)
Sedangkan gejala-gejala tambahan berupa:
a) Batuk berkepanjagan (lebih dari satu bulan)
b) Kelainan kulit dan iritasi (gatal)
c) Infeksi jamur pada mulut dan kerongkongan
d) Pembengkakan kelenjar getah bening di seluruh tubuh,
seperti di bawah telinga, leher, ketiak dan lipatan paha.

Perjalanan penyakit dan gejala yang timbul: 12,13,16


a) Dalam masa sekitar 3 bulan setelah tertular, tubuh belum
membentuk antibodi secara sempurna, sehingga tes darah
tidak memperlihatkan bahwa orang tersebut telah tertular
HIV. Masa 3 bulan ini sering disebut dengan masa
jendela.
b) Masa tanpa gejala, yaitu waktu (5 - 7 tahun) dimana tes
darah sudah menunjukkan adanya anti bodi HIV dalam
darah, artinya positif HIV, namun pada masa ini tidak
timbul gejala yang menunjukkan orang tersebut menderita
AIDS, atau dia tampak sehat.
c) Masa dengan gejala, ini sering disebut masa sebagai
penderita AIDS. Gejala AIDS sudah timbul dan biasanya
penderita dapat bertahan 6 bulan sampai 2 tahun dan
kemudian meninggal.

b. Hepatitis B
1) Definisi dan Etiologi
Hepatitis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus
hepatitis B, suatu anggota famili Hepadnavirus yang dapat
menyebabkan peradangan hati akut atau kronis yang dapat
berlanjut menjadi sirosis hati atau kanker hati.18

12
2) Manifestasi klinis dan Masa inkubasi
Manifestasi klinis infeksi HBV pada pasien hepatitis akut
cenderung ringan. Kondisi asimtomatis ini terbukti dari
tingginya angka pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut.
Apabila menimbulkan gejala hepatitis, gejalanya menyerupai
hepatitis virus yang lain tetapi dengan intensitas yang lebih
berat. Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu:
a) Fase Inkubasi
Waktu antara masuknya virus dan timbulnya gejala atau
ikterus. Fase inkubasi Hepatitis B berkisar antara 15-180
hari dengan rata- rata 60-90 hari.
b) Fase prodromal (pra ikterik)
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan
timbulnya gejala ikterus. Awitannya singkat atau insidous
ditandai dengan malaise umum, mialgia, artalgia, mudah
lelah, gejala saluran napas atas dan anoreksia. Diare atau
konstipasi dapat terjadi. Nyeri abdomen biasanya ringan
dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrum,
kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang
menimbulkan kolestitis.
c) Fase ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul
bersamaan dengan munculnya gejala. Banyak kasus pada
fase ikterus tidak terdeteksi. Setelah timbul ikterus jarang
terjadi perburukan gejala prodromal, tetapi justru akan
terjadi perbaikan klinis yang nyata.
d) Fase konvalesen (penyembuhan)
Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain,
tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada.
Muncul perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu
makan. Sekitar 5-10% kasus perjalanan klinisnya mungkin
lebih sulit ditangani, hanya <1% yang menjadi fulminan.18
Perjalanan hepatitis B kronik dibagi menjadi tiga fase
penting yaitu :
a) Fase Imunotoleransi
Sistem imun tubuh toleren terhadap HBV sehingga
konsentrasi virus tinggi dalam darah, tetapi tidak terjadi

13
peradangan hati yang berarti. Virus Hepatitis B berada
dalam fase replikatif dengan titer HBsAg yang sangat
tinggi.
b) Fase Imunoaktif (Clearance)
Sekitar 30% individu persisten dengan HBV akibat
terjadinya replikasi virus yang berkepanjangan, terjadi
proses nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan
konsentrasi ALT. Fase clearance menandakan pasien
sudah mulai kehilangan toleransi imun terhadap HBV.
c) Fase Residual
Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan
pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi HBV. Sekitar 70%
dari individu tersebut akhirnya dapat menghilangkan
sebagian besar partikel virus tanpa ada kerusakan sel hati
yang berarti. Fase residual ditandai dengan titer HBsAg
rendah, HBeAg yang menjadi negatif dan anti-HBe yang
menjadi positif, serta konsentrasi ALT normal.18
3) Masa Penularan Post Mortem
Hepatitis B mempunyai angka transmisi paling tinggi diantara
virus parenteral dengan rata-rata sekitar 100 kali lebih besar
dari pada HIV. Hepatitis B dapat menjadi infeksi laten dengan
peningkatan resiko penyakit kronik dan karsinoma hepatobilier
atau infeksi akut dengan angka kesembuhan yang tinggi.
Risiko kontaminasi sangat tinggi untuk petugas kesehatan
dari pada populasi umum. Risiko paling tinggi terdapat pada
orang yang berkontak dengan darah atau orang yang
melakukan tindakan invasif. CDC menemukan resiko infeksi
umum per orangan pada autopsi sekitar 5% sedangkan jika
darahnya terkontaminasi dengan antigen HbeAg terjadi
peningkatan menjadi 30%. HBV terdapat dalam semua cairan
tubuh termasuk saliva, darah, cairan semen dan
cerebrospinal.15
Infeksi biasanya terjadi secara parenteral (lewat jarum
suntik) tetapi dapat juga terjadi lewat paparan jaringan mukosa
dengan cairan terinfeksi (partikel dari cairan tindakan selama
pembukaan rongga kepala yang dapat dengan mudah mencapai
konjunctiva atau rongga mulut). Tidak seperti HIV, HBV dapat

14
hidup diluar tubuh selama 7 hari pada darah kering atau pada
cairan tubuh yang telah mengering. Penelitian yang dilakukan
oleh Cussenot bahwa pada HBV, 9 korban meninggal
dimasukkan dalam sampel terdapat 5 sampel terbukti positif
untuk HBsAg, dan terus menunjukkan hasil positif sampai 48
jam, dan 8 dari sampel didapatkan hasil reaktif untuk anti-HBc
sampai 48 jam dan 1 sampel bertahan sampai 36 jam post-
mortem (sampel dengan 48 jam tidak tersedia).15

c. Hepatitis C
1) Definisi dan Etiologi
Hepatitis C adalah infeksi virus pada organ hati dan ditemukan
dalam darah penderita. Penyebab utama penyakit hati kronis,
termasuk sirosis dan kanker hati adalah virus hepatitis C. HCV
merupakan virus RNA yang digolongkan dalam Flavivirus
bersama sama dengan virus hepatitis G, yellow fever, dan
dengue. Virus ini umumnya masuk kedalam darah melalui
transfusi atau kegiatan-kegiatan yang memungkinkan virus ini
langsung terpapar dengan sirkulasi darah.
2) Masa Inkubasi dan Manifestasi Klinis
Masa inkubasi infeksi HCV adalah 2 minggu sampai 2 bulan
dan tidak semua penderita menunjukkan gejala klinis. Sekitar
80% penderita tidak menunjukkan gejala atau tanda klinis.
Gejala klinis yang sering adalah lemah, letih, lesu, kehilangan
nafsu makan, nyeri perut, nyeri otot dan sendi, mual dan
muntah. Ada 2 bentuk infeksi HCV yaitu:
a) Infeksi Akut
Sekitar 20% penderita dapat mengadakan perlawanan
terhadap infeksi HCV dalam 6 bulan setelah terpapar tapi
tidak menghasilkan imunitas untuk infeksi berikutnya.
b) Infeksi Kronis
Sekitar 80% penderita berkembang menjadi kronis dimana
virus dapat tidur (dormant) selama bertahun-tahun. Sirosis
terjadi karena hati berusaha terus mengadakan perlawanan
terhadap HCV sehingga menimbulkan sikatrik (scar) pada
hepar, sehingga terjadi gangguan fungsi hepar dan dapat

15
berkembang menjadi kanker hati (hepatocellulare
carcinoma).
Penyakit hepar kronis terjadi pada 70% penderita yang
terkena infeksi kronis. Sirosis hepatis tejadi pada 20%
penderita yang mengalami infeksi kronis. Kematian akibat
penyakit hepar kronis terjadi <3% dari yang terinfeksi
kronis.
3) Masa penularan Postmortem
Penelitian yang dilakukan oleh Cussenot bahwa pada HCV
dari total 20 orang meninggal (14 laki-laki, 6 perempuan)
berusia 32-81 tahun, yang dilakukan penelitian. Tiga kasus
harus dikeluarkan dari studi karena keluarga tidak memberikan
persetujuan. 17 subjek sisanya terbukti anti-HCV positif pada
saat pemeriksaan pertama kali (sesaat datang, 12 atau 24 jam
post-mortem, dan 1 kasus 36 jam post-mortem). Ke-16 subjek
ini tetap menunjukkan hasil positif sampai 48 jam post-
mortem. 1 subjek hanya dapat diukur hingga 36 jam post-
mortem karena ketidaktersediaannya sampel untuk
pengecekkan 48 jam. Hasil pada 36 jam post-mortem pun
memberikan hasil positif.15

3. Jamur
Jamur merupakan mikroorganisme saprofit pada manusia yang terdapat
luas pada permukaan tubuh maupun pada mukosa. Penelitian terhadap
patofisiologi infeksi jamur pada manusia, relatif masih sedikit
dibandingkan dengan infeksi patogen lain seperti bakteri dan parasit. Hal
ini dikarenakan pada individu yang imunokompeten, jamur tidak dapat
menginvasi barrier proteksi mekanis yang merupakan barrier pertama
sistem imunitas alamiah. Infeksi jamur dapat bersifat invasif dan
menginduksi infeksi opportunistik pada pasien yang imunokompromais.20
Infeksi jamur penyebab kematian yang teridentifikasi saat otopsi
memiliki proporsi yang sangat sedikit, dari data epidemiologi didapatkan
hanya 5,9 % di India (Sarodeh et al., 1993) dan 16,4% di United State
(Bond et al., 2003). Infeksi jamur sulit didiagnosis pada saat masih hidup
dan biasanya hanya ditemukan pada pasien-pasien immunocompromised.
Pada pasien yang immunocompromised, infeksi jamur invasif atau
Invasive Fungal Infection (IFI) adalah penyebab utama morbiditas dan

16
mortalitas. Pneumocystosis, cryptococcosis, dan histoplasmosis yang
berhubungan dengan AIDS, tetapi jamur lain seperti Candida albicans
dan Aspergillus spp juga dapat memperparah infeksi HIV. IFI dianggap
penyebab utama kematian ketika infeksi melibatkan organ vital.
Berdasarkan penelitian Antinori et al., pada tahun 2009 didapatkan bahwa
pada tahun 1984 sampai 1997 prevalensi terbanyak IFI saat otopsi adalah
pneumositosis dan yang paling terendah histoplasmosis.21

Tabel 1. Prevalensi IFI saat Otopsi21

Menurut penelitian Sidrim (2009) aspergillus, penicilium dan


candida berhubungan dengan proses pembusukan kadaver. Dari sampel
rambut, kulit, mukosa dan paru-paru kadaver yang diperiksa ketika fase
bloated stage, jamur aspergillus paling banyak ditemukan dibandingkan
dengan candida. Pada fase putrefaction stage didapatkan bahwa
aspergillus hanya ditemukan pada sampel kulit dan rambut kadaver,
sedangkan candida ditemukan pada sampel mukosa dan paru saja. Pada
fase skeletonized stage, aspergillus masih ditemukan pada sampel rambut
sedangkan candida tidak ditemukan lagi. Dari sampel tulang, pakaian,
dan tanah di sekitar kadaver yang diperiksa ketika fase skeletonized stage,
aspergillus masih ditemukan sedangkan dari sampel peti jenazah hanya di
temukan candida.22
a. Aspergillus
Aspergillus merupakan jamur yang berbentuk filamen-filamen
panjang bercabang, dan dalam media biakan membentuk miselia dan
konidiospora. Aspergillus berkembang biak dengan membentuk hifa
atau tunas dan menghasilkan konidiofora yang akan bentuk spora.
Sporanya tersebar bebas di udara terbuka sehingga inhalasinya tidak
dapat dihindarkan dan masuk melalui saluran pernapasan ke dalam
paru.23

17
Masuknya spora jamur aspergillus ke manusia pada umumnya
melalui inhalasi, walaupun cara lain dapat juga dijumpai seperti
terpapar secara lokal akibat luka operasi, kateter intravena dan
armboard yang terkontaminasi. Masa inkubasinya tidak diketahui.
Aspergillus sering menginvasi pasien imunokompromais seperti
pasien dengan neutropenia, leukemia akut, transplantasi sumsum
tulang belakang, transplantasi organ dan pasien AIDS. Aspergillosis
invasif jarang ditemui pada pasien imunokompeten.23
Manifestasi klinis aspergillosis dapat berupa respon alergi,
kolonisasi aspergillus, invasif aspergillosis dan disseminated
aspergillosis. Pada individu imunokompromais, inhalasi spora jamur
aspergillus dapat menyebabkan infeksi yang invasif pada paru
maupun sinus dan sering diikuti perluasan infeksi secara hematogen
ke organ lain. Pada individu imunokompeten inhalasi spora jamur
aspergillus dapat menyebabkan infeksi yang terlokalisasi pada paru,
sinus ataupun pada tempat lain.23

b. Candida
Penyakit jamur yang disebabkan oleh spesies Candida disebut
kandidiasis, dapat bersifat akut atau subakut dan dapat mengenai
mulut, vagina, kulit, kuku, bronki atau paru, kadang-kadang dapat
menyebabkan septikemia, endokarditis, atau meningitis.24
Pada sediaan apus eksudat, Candida tampak sebagai ragi yang
berbentuk lonjong, berukuran 2-3 x 4-6 μm, berdinding tipis,
bertunas, bersifat gram positif, dan yang memanjang menyerupai
hifa (pseudohifa). Candida berkembangbiak dengan budding.24
Sumber utama infeksi Candida adalah flora normal dalam
tubuh pada pasien dengan sistem imun yang menurun, dapat juga
berasal dari luar tubuh seperti pada bayi baru lahir yang
mendapatkan infeksi Candida dari jalan lahir. Masa hidup spesies
Candida di kulit sangat pendek.24

D. Pencegahan Infeksi di Ruang Pemulasaran Jenazah


Setiap jenazah harus dianggap berpotensi infeksius dan perlu ditangani sesuai
dengan tindakan pencegahan yang disarankan, teknik prosedural dan
mengetahui prinsip profilaksis sebelum terpapar. Seluruh area otopsi dan isinya
harus ditetapkan sebagai tanda peringatan Biohazard dan tepat ditempatkan di

18
tempat jenazah. Oleh karena itu kesadaran akan keselamatan di kamar jenazah
adalah langkah pencegahan yang efektif.
Enam kategori risiko potensial ditemukan oleh staf otopsi selama
melakukan otopsi dan ini adalah:12
1. Cedera mekanis seperti mengalami jatuh atau tergelincir di lantai.
2. Cedera akibat pemotongan tajam.
3. Electrocution.
4. Paparan bahan kimia beracun (Formalin, sianida)
5. Infeksi.
6. Paparan radiasi.

Tabel 2. Risiko dan Bahaya dalam Kamar Jenazah12


Kategori Risiko Aktivitas Risiko
Risiko Fisik 1. Penggunaan alat berat. 1. Cedera tak disengaja
2.Mengangkat dan 2. Cedera muskuloskeletal
menyeret jenazah di atas terutama regangan
lantai licin punggung. Tergelincir dan
jatuh
Cedera benda tajam Selama otopsi, kesalahan Memotong atau luka
penanganan : tusukan. Jempol distal,
a. Scalpel / jarum, peluru telunjuk dan jari tengah,
yang terfragmentasi adalah luka yang paling
dengan jaket sering diderita oleh ahli
b. ujung runcing dari patologi.
tulang panjang yang
terfragmentasi c. Alat-alat
medis seperti staples bedah
d. Fragmen jarum di
pecandu narkoba.
Electrical Injury 1. Instrumen listrik Shock and Electrocution
(gergaji) secara rutin
ditangani dengan wet
gloves
2. peralatan dan koneksi
listrik yang buruk, kurang
terawatt.
3. Sering ditanamkan
cardioverter-defibrillator
pada jenazah
Paparan Kimia 1. Formaldehida Efek iritasi pada selaput
2. Digunakan sebagai lendir mata, saluran
fiksatif untuk pernafasan, dan kulit.
mempertahankan jaringan Gangguan reproduksi
pemeriksaan histopatologi. menstruasi, disfungsi
3. Menangani organ-organ seksual.
/ spesimen yang Paparan jangka panjang
berformalin yang belum terhadap zat terkait dengan
dicuci bersih peningkatan risiko untuk
a. Bekerja di area dengan semua kanker terutama

19
ventilasi yang buruk kanker paru-paru.
b. Paparan aerosol yang
sangat beracun, gas atau
zat volatie misalnya.
Organo-fosfat malathion,
parathion) kematian
keracunan, hidrogen
sulfida, sianida yang
merembes saat membuka
perut / rongga tubuh
lainnya.
Paparan Radiasi 1.Bahan radioaktif yang Potensi risiko untuk cedera
ditanamkan untuk radiasi.
pengobatan kanker. Malfomation dan anomali
2. Paparan sinar X sebelum kongenital pada wanita
dan selama otopsi diambil hamil dan pekerja di kamar
secara rutin dan sering. jenazah.

Penyakit Menular Terkena cipratan / Aerosol: Agen


kontak dekat. mikobakteri. Darah /
Permukaan kulit yang cairan tubuh: HIV,
rusak. Hepaitis B, Hepatitis C &
Permukaan mukosa. infeksi parasit.
Darah, cairan tubuh dan Penyalahgunaan narkoba
jaringan dari jenazah intravena: merupakan
dengan penyakit infeksi risiko terbesar penularan
dan pecandu narkoba. virus, agen bakteri
seperti staphylococcus
streptococcus dan
salmonella

Tabel 3: Tindakan Pencegahan dari Kontaminan Penyakit Infeksi pada Kamar


jenazah.25
Sumber Infeksi Tindakan Pencegahan
Patogen yang terdapat di darah 1. Vaksinasi hepatitis B
2. Pencegahan akses imunosupresi atau
individu dengan defisiensi imun dan
individu yang memiliki luka terbuka, dan
lesi kulit.
3. 10% harus dimasukkan ke paru-paru setelah
spesimen mikrobiologi yang sesuai telah
diambil dan sebelum pemeriksaan paru.
4. Standar tindakan pencegahan universal
tidak berlaku untuk feses, sekresi hidung,
dahak, keringat, air mata, air kencing
danvomitus kecuali mereka mengandung
darah yang terlihat.
Agen yang disebarkan oleh 1. Ventilasi yang memadai di kamar post-
aerosol misalnya Mycobacterium mortem.
tuberculosis 2. Masuk tanpa izin dan pergerakan bebas
dalam kamar jenazah harus dibatasi
3. Permukaan tulang harus dibasahi sebelum
digergaji untuk mengurangi dispersi debu

20
tulang.
4. Plastik penutup atau pengumpul debu tulang
vakum yang melekat pada vibrating saw.
5. Imunisasi BCG.
6. Dalam kasus infeksi tuberkulosis, masker
bedah telah terbukti tidak cukup, dalam
kasus seperti itu, pemakaian masker
respirator N-95 harus dibuat wajib (Efisiensi
Tinggi Udara Partikulat (HEPA).
Exotic agents (Aercsol 1. Menghindari luka dan tusukan
transmitted and blood borne) 2. Perlindungan terhadap tetanus
yang tidak ada profilaksis atau 3. Semua orang di ruang otopsi harus
perawatan pasca paparan. mengenakan baju bedah dengan lengan
panjang, topi bedah, kacamata, sepatu
tertutup sebagai perangkat keselamatan
yang direkomendasikan untuk melindungi
mata, kulit, dan selaput lendir.
4. Semua personil yang terpapar harus
memiliki akses ke fasilitas kesehatan yang
tepat secepatnya. Informasi harus diberikan
kepada para ahli dan meminta saran medis
yang sesuai.
5. Personil otopsi harus memiliki pemeriksaan
darah dasar/status serologi dari HBV dan
HIV dan tuberkulin skin test pada saat
bekerja dan pemeriksaan ulang secara
berkala.
6. Pelatihan dan edukasi staf di lingkungan
kerja yang aman dan sesuai praktik kerja
7. Penggunaan label seperti "Bahaya infeksi"
pada jenazah dianggap tepat
 BLUE label: Tindakan pencegahan
standar direkomendasikan.
 YELLOW label: Tindakan pencegahan
tambahan direkomendasikan
 RED label: Tindakan pencegahan
infeksi yang ketat direkomendasikan

Tabel 4. Penggunaan Pakaian Pelindung.25


Tangan
Sarung tangan pemeriksaan (latex atau nitril): untuk menangani bahan-bahan
berbahaya. Pakailah setiap kali memeriksa tubuh. Hanya untuk sekali pemakaian dan
kemudian dibuang. Selalu cuci tangan setelah menggunakannya. Sarung tangan
berbahan latex dapat memberikan perlindungan jangka pendek (10 menit) terhadap
formaldehid sedangkan sarung tangan berbahan nitril bisa memberikan perlindungan
lebih lama.
Pelindung saluran nafas
Masker pelindung: tipe EN 149 FFP2 (atau sejenisnya, seperti N95) untuk bahan
berbahaya spesifik seperti debu timbal, spora jamur, dan aerosol lainnya
Masker bedah yang diproduksi secara khusus: Masker dapat memberikan
perlindungan terhadap cipratan, terutama jika anti air, tetapi tidak seefektif masker
filter dalam melindungi tehadap partikel halus karena ukurannya tidak di desain
seperti masker filter

21
Masker bedah kain: masker ini memberikan perlindungan minimal dan mungkin
tidak aman digunakan, tetapi lebih baik daripada tidak sama sekali.
Pelindung terhadap percikan
Wajah: Visor. Perlindungan terhadap percikan berbahaya ke mata, hidung dan mulut
(juga perlindungan mekanis). Masker pelindung pernapasan dan masker bedah kain
atau kertas biasanya memberikan perlindungan percikan ke mulut dan hidung saja.
Beberapa masker bedah menggunakan pelindung mata transparan.
Tubuh: Apron. Melindungi percikan ke badan disaat persiapan higienis,
pembalseman, pengumpulan jenazah yang mengalami trauma, pemeriksaan post-
mortem. Paling baik dikenakan di bawah gaun atau mantel jika percikan cenderung
menjadi berlimpah.
Kaki: Sepatu bot karet. Dalam situasi basah (kamar jenazah, kamar pembalseman,
pengumpulan beberapa kasus trauma yang parah).
Perlindungan Seluruh Tubuh
Gaun/mantel: Untuk melindungi pakaian dari cipratan.
Pakaian pelindung dengan tudung kepala: Untuk melindungi pakaian dan rambut dari
impregnasi debu, spora, dll.
Pakaian pelindung lainnya (helm pengaman, sepatu bot, kacamata pengaman, sarung
tangan kerja) harus dipakai sesuai kebutuhan untuk melindungi cedera mekanis.

22
BAB III

PENUTUP

Risiko untuk terjadinya penularan infeksi pada petugas kesehatan di ruang


pemulasaran jenazah terhadap jenazah yang mengalami infeksi memiliki prevalensi
yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penularan tersebut dapat melalui udara,
penetrasi ke kulit dan sebagainya. Tindakan untuk mencegah terjadinya penularan
infeksi dapat berupa penerapan kewaspadaan universal meliputi penggunaan alat
pelindung diri yang tepat, perilaku dan tindakan mencegah infeksi.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Hostiuc S, Curca GC, Ceausu M, Rusu MC, Niculescu E, Dermengiu D (2011).


Infectious risks in autopsy practice. Romanian J Legal Med 19:183-8.
2. Komisi Penangggulangan AIDS (2012). Tata cara pemulasaran jenazah orang
dengan HIV dan AIDS. Jawa Tengah.
3. Darmadi (2008). Infeksi Nosokomial, Problematika dan
Pengendaliannya.Jakarta: Salemba Medika.
4. Charles V, Wetli (2001). Autopsy safety. Center of Forensic Sciences, Happauge
and Departement of Pathology, State University. New York. Laboratory
Medicine 32(8).
5. OSHA Compliance Guidelines for Funeral Home. Atlanta; Georgia Institute of
technology. Available from https://www.funeralcourse.com/wp-
content/uploads/southcarolina/SC-OSHA-Compliance-Guidance-Funeral-
Homes-6hr.pdf
6. Kluwer, W. Healthcare – associated infections: A public health problem.
Nigerian Medical Journal: Journal Of The Nigeria Medical Association, vol. 53,
no. 2, pp. 1-2, 2012.
7. Creely KS (2004). Infection risk and Embalming. Reaserch Report. Institutes
Occupational Medicine.
8. The Royal College of Pathologist (2002). Guidelines on autopsy practice main
document.pdf ; Chapter 6 (6.5, 6.7, 6.8), Health dan safety – infection. Available
from: www.rcpath.org/publications-media/publications/guidelines-on- autopsy-
practice.
9. J. L. Burton (2003). Health and safety at necropsy. J Clin Pathol. April; 56(4):
254–260.
10. Al-Wali A (2001). biological safety. In: Burton JL, Rutti GN, Eds. The Hospital
Autopsy. London: Arnold, 25-36.
11. Sotgiu G, Arbore AS, Cojocariu V, Piana A, Ferrara G, Cirillo DM, Matteelli A.
(2008) High risk of tuberculosis in health care workers in Romania. Int J Tuberc
Lung Dis 122:600-11.
12. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2014). Situasi dan analisis HIV
AIDS.http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Infodatin
%20AIDS.pdf

24
13. Djoerban Z, Djauzi S (2016). HIV/AISD di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Marcellus S, Setiati S (eds). Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi VI Jilid III. Jakarta: Interna Publishing, pp: 2861-68.
14. Gan´czak, et al.(2003). Pathologist and HIV - Are Safe Autopsies Possible?
(PDF) Pol J Pathol 54(2) 143-146.
15. Mehta S, Singh V, Kaur B, Aggarwal OP (2012). Pre-testing Screening for HIV
before Conducting Post-mortem Examinations. JK SCIENCE 14(2): 70–3.
16. Virginia M (2006). Human Immunodeficiency Virus (HIV) and Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Dalam: Hartanto H, editor. Patofisiologi:
konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. Jakarta: ECG.
17. DirektoratJenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2011). Pedoman nasional
tatalaksana klinis infeksi HIV dan terapi antiretrovirus pada orang dewasa.
http://www.spiritia.or.id/Dok/pedomanart2011.pdf
18. Sudoyo, Aru W (2016). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi VI.
Jakarta: Interna Publishing.
19. Jufrie M., et al. (2012). Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi. 3rd ed. Jakarta:
IDAI, 285-305.
20. Blanco, JL., Garcia, ME. 2008. Immune response to fungal infections.
Veterinary Immunology and Immunopathology. 125: 47–70.
21. Antinori et al. Trends in the Postmortem Diagnosis of Opportunistic Invasive
Fungal Infections in Patients With AIDS. American Society for Clinical
Pathology.2009. 132:221-227
22. Sidrim JCC et al. Fungal Microbiota Dynamic asa A Postmortem Investigation
Tool: Focu On Aspergillus, Penicillium, and Candida species. Brazil: Univerity
of Ceara. 2009.
23. Patterson TF. Aspergillosis. In: Dismukes WE, Pappas PG, Sobel JD editor.
Clinical Mycology. Oxford University Press, INC. 2003: 221-35
24. Brooks G.F., Carrol K.C., Butel J.S., dan Morse S.A. Medical Microbiology. Ed.
24 Mc Graw Hill, 2007 : 642-5.
25. Kusa KS (2013). Awareness of Risks, Hazards and Preventions in autopsy
practice. A review. JEMDS.

25

Anda mungkin juga menyukai