Anda di halaman 1dari 7

PERITONITIS (3B)

A. Etiologi

Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk:


· Peritonitis primer (Spontaneus)
Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari rongga peritoneum. Penyebab paling sering
dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kira-kira 10-30%
pasien dengan sirosis hepatis dengan ascites akan berkembang menjadi peritonitis bakterial.
· Peritonitis sekunder
Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi gaster dan penyakit ulkus
duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid) akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus
halus.
Penyebab Peritonitis Sekunder
Regio Asal Penyebab
Boerhaave syndrome
Malignancy
Esophagus
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Peptic ulcer perforation
Malignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma, gastrointestinal
Stomach stromal tumor)
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Peptic ulcer perforation
Duodenum Trauma (blunt and penetrating)
Iatrogenic*
Cholecystitis
Stone perforation from gallbladder (ie, gallstone ileus) or common
duct
Biliary tract Malignancy
Choledochal cyst (rare)
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic*
Pancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)
Pancreas Trauma (blunt and penetrating)
Iatrogenic*
Ischemic bowel
Incarcerated hernia (internal and external)
Closed loop obstruction
Small bowel Crohn disease
Malignancy (rare)
Meckel diverticulum
Trauma (mostly penetrating)
Ischemic bowel
Diverticulitis
Malignancy
Large bowel
Ulcerative colitis and Crohn disease
and
Appendicitis
appendix
Colonic volvulus
Trauma (mostly penetrating)
Iatrogenic
Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis, tubo-ovarian
Uterus,
abscess, ovarian cyst)
salpinx, and
Malignancy (rare)
ovaries
Trauma (uncommon)

· Peritonitis tertier
Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat tindakan operasi sebelumnya
Sedangkan infeksi intraabdomen biasanya dibagi menjadi generalized (peritonitis) dan localized (abses intra
abdomen).

B. Gejala

· Nyeri abdomen
Nyeri abdomen merupakan gejala yang hamper selalu ada pada peritonitis. Nyeri biasanya dating dengan onset
yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita dengan perforasi nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen.
Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada henti-hentinya, rasa seperti
terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri biasanya lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan
peritoneum. Menurunnya intensitas dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi dari proses peradangan,
ketika intensitasnya bertambah meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri menandakan penyebaran dari
peritonitis.

· Anoreksia, mual, muntah dan demam


Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti dengan muntah. Penderita biasanya
juga mengeluh haus dan badan terasa seperti demam sering diikuti dengan menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya
suhu tubuh biasanya sekitar 38OC sampai 40 OC.

· Facies Hipocrates
Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini termasuk ekspresi yang tampak gelisah,
pandangan kosong, mata cowong, kedua telinga menjadi dingin, dan muka yang tampak pucat.
Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada pada stadium pre terminal. Hal
ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan lutut di fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas karena
setiap gerakan dapat menyebabkan nyeri pada abdomen.
Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat kematian yang tinggi, akan tetapi
dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan perawatan yang lebih baik, angka kematian dapat lebih banyak .

· Syok
Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor. Pertama akibat perpindahan cairan
intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke lumen dari intestinal. Yang kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata.
Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman gram negative diman dapat
menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok. Mekanisme dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari
penelitian diketahui bahwa efek dari endotoksin pada binatang dapat memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala yang
mirip seperti gambaran yang terlihat pada manusia.

C. Pemeriksaan Fisik

· Tanda Vital
Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau komplikasi yang timbul pada peritonitis. Pada
keadaan asidosis metabolic dapat dilihat dari frekuensi pernafasan yang lebih cepat daripada normal sebagai mekanisme
kompensasi untuk mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi, berkurangnya volume nadi perifer dan tekanan nadi
yang menyempit dapat menandakan adanya syok hipovolemik. Hal-hal seperti ini harus segera diketahui dan
pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan dengan bagian tertentu mendapat perhatian khusus untuk mencegah
keadaan yang lebih buruk.

· Inspeksi
Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi dari abdomen. Akan tetapi, tidak
adanya tanda distensi abdomen tidak menyingkirkan diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada awal
dari perjalanan penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini terjadi akibat
penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitik.

· Auskultasi
Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara usus dapat bervariasi dari yang bernada
tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai hamper tidak terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan
ileus. Adanya suara borborygmi dan peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada suara perut yang
tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen akut, penyebabnya kemungkinan adalah perforasi
dari usus yang mengalami strangulasi.

· Perkusi
Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman pemeriksa. Hilangnya pekak hepar merupakan
tanda dari adanya perforasi intestinal, hal ini menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum yang berasal
dari intestinal yang mengalami perforasi. Biasanya ini merupakan tanda awal dari peritonitis.
Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga, udara akan menumpuk di bagian kanan
abdomen di bawah diafragma, sehingga akan ditemukan pekak hepar yang menghilang.

· Palpasi
Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada kondisi ini. Kaidah dasar dari
pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang kurang terdapat nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang
dicurigai terdapat nyeri tekan. Ini terutama dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat langsung pada daerah yang
nyeri membuat semua pemeriksaan tidak berguna. Kelompok orang dengan kelemahan dinding abdomen seperti pada
wanita yang sudah sering melahirkan banyak anak dan orang yang sudah tua, sulit untuk menilai adanya kekakuan atau
spasme dari otot dinding abdomen. Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari
satu titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan spasme otot abdomen
secara involunter. Orang yang cemas atau yang mudah dirangsang mungkin cukup gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal
tersebut dapat dilakukan dengan mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh
suatu proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi local, atau dapat menjadi
menyebar seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas dapat hanya terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar
ke titik peradangan yang maksimal.
Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan spasme secara involunter sebagai
mekanisme pertahanan. Pada peritonitis, reflek spasme otot menjadi sangat berat seperti papan.

D. Pemeriksaan Penunjang

 Laboratorium
Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat penyakit dengan pemeriksaan fisik.
Tes yang paling sederhana dilakukan adalah termasuk hitung sel darah dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel
darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm3, kecuali pada penderita yang sangat tua atau seseorang yang sebelumnya
terdapat infeksi dan tubuh tidak dapat mengerahkan mekanisme pertahanannya.
Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh polimorfonuklear yang
memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah leukosit tidak menunjukkan peningkatan yang nyata.
Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes fungsi hepar dan ginjal dapat dilakukan.

 Radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup foto thorak PA dan lateral serta foto
polos abdomen. Pada foto thorak dapat memperlihatkan proses pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan
proses intraabdomen. Dengan menggunakan foto polos thorak difragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau
keduanya akibat adanya udara bebas dalam cavum peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos abdomen.
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus halus dan usus besar mengalami dilatasi,
udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi. Foto polos abdomen paling tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu
posisi berdiri/tegak lurus atau lateral decubitus atau keduanya. Foto harus dilihat ada tidaknya udara bebas. Gas harus
dievaluasi dengan memperhatikan pola, lokasi dan jumlah udara di usus besar dan usus halus.

Winamp.lnk

E. Terapi

Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol operatif terhadap sepsis
dan pemberian antibiotik sistemik.

 Penanganan Preoperatif
 Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan perpindahan cairan ekstraseluler ke
dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial.
Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular sangat diperlukan untuk menjaga
produksi urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit
dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan
untuk mengganti cairan yang hilang.
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan intravaskuler, tapi cairan ini lebih
mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena
kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal.
Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan ginjal telah adekuat dan urin telah
diprodukasi.

 Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri aerob yaitu E.
Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan bakteri anaerob yang tersering adalah Bacteriodes spp,
Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris
harus dapat melawan kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi peritoneum.
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur dan dapat diubah sesuai dengan
hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat tanda infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai dengan
penurunan demam dan menurunnya hitung sel darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati
meskipun sudah didapatkan hasil dari uji sensitivitas.
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti: (1) besar kecilnya kontaminasi
bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau nontrauma, (3) ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar
terapi menjadi lebih efektif, terpai antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi.
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus segera diberikan. Kedua obat ini
merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam dosis tinggi dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin
juga memberikan cakupan dari bakteri gram negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram
streptomycin sehari sampai didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang logis. Pada penderita yang sensitif
terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik daripada chloramphenicol pada
stadium awal infeksi.
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan aminoglikosida sama baiknya jika
memberikan cephalosporin generasi kedua.
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram negatif, metronidazole dan
clindamycin untuk organisme anaerob.
Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada pemilihan terapi tunggal atau
kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang kurang adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan
aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari
peritonitis dan penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel. Pemberian antibiotik
diberikan sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel darah putih yang normal.

 Oksigen dan Ventilator


Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis cukup diperlukan, karena pada
peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism tubuh akibat adanya infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru.
Ventilator dapat diberikan jika terdapat kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar
yang dapat ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang ditandai dengan
PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang cepat dan dangkal.

 Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik


Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen, mencegah muntah, aspirasi dan yang
lebih penting mengurangi jumlah udara pada usus. Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih
dan pengeluaran urin. Tanda vital (temperature, tekanan darah, nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam.
Evaluasi biokimia preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali fosfatase dan
urinalisis.

 Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya dilakukan untuk mengontrol sumber
dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis primer
atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi
berlangsung, serta membuang bahan-bahan dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus
lambung dan membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen.

 Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan semua material-material yang
terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang
terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan
menjadi fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang rutin dari seluruh permukaan
peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan mungkin
memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase
(pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan
setelah memasuki kavum peritoneum.

 Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat menghilangkan material-material seperti
darah, gumpalan fibrin, serta bakteri. Penambahan antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan
berbahaya karena dapat memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara parenteral
akan mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian bersama lavage.
Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi
karena kelompok obat ini menghambat kerja dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di
kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda
asing dan membuang permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri.

 Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal dengan cairan yang cukup banyak.
Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang
merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis
difus tidak dapat mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase
berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk peradangan massa
terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi.
 Pengananan Postoperatif
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak stabil. Tujuan utama adalah untuk
mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi organ-organ vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping
pemberian cairan. Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang
baik ditandai dengan produksi urin yang normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan
umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan peritonitis. Pelepasan kateter
(arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan resiko infeksi sekunder.

F. Edukasi

Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan sistemik. Infeksi pada luka
dalam, abses residual dan sepsis intraperitoneal, pembentukan fistula biasanya muncul pada akhir minggu pertama
postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema generalisata, peningkatan distensi abdomen, apatis yang
berkepanjangan merupakan indicator adanya infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut
misalnya CT-Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ yang multiple yaitu organ
respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem imun.

Anda mungkin juga menyukai